manajemen peritonitis pada anak
TRANSCRIPT
-
8/10/2019 Manajemen Peritonitis Pada Anak
1/16
1
BAB I
PENDAHULUAN
Peritonitis merupakan Radang lapisan peritonium pada perut bisa akibat
infeksi , auto imun dan proses kimia. Peritonitis infeksiosa biasanya primer atau
sekunder. Pada peritonitis primer, sumber infeksi berasal dari luar perut dan
tumbuh di ruang peritonium lewat penyebaran hematogen atau limfogen
Peritonitis sekunder uncul dari ruang perut sendiri melalui perluasan dari atau
melalui viskus intra-abdomen atau abses dalam organ. 20
Pada keadaan normal, peritoneum resisten terhadap infeksi bakteri secara
inokulasi kecil-kecilan. Kontaminasi yang terus menerus, bakteri yang virulen,
penurunan resistensi, dan adanya benda asing atau enzim pencerna aktif,
merupakan faktor-faktor yang memudahkan terjadinya peritonitis. Keputusan
untuk melakukan tindakan bedah harus segera diambil karena setiap
keterlambatan akan menimbulkan penyakit yang berakibat meningkatkan
morbiditas dan mortalitas. Ketepatan diagnosis dan penanggulangannya
tergantung dari kemampuan melakukan analisis pada data anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. 18
Peritonitis pada masa nenonatus bisa berasal dari trans plasenta pada
infeksi dalam rahim; lebih sering merupakan akibat infeksi yang didapat selama
atau segera setelah lahir. Peritonitis mungkin manifestasi dari septikemia,
perluaan langsung dari umbilikus atau dari perforasi usus atau enterokolitis
nekrotikans, atau kadang-kadang , sekuele dari appendiks yang terobek atau
divertikulum meckel.
Peritonitis bakterial spontan adalah salah satu infeksi peritonitis yangdapat terjadi pada anak dengan sindrom nefrotik, atau sirosis yang meningkatkan
mortalitasdan morbiditas. Komplikasi ini biasanya terjadi pada 2 tahun pertama
sejak gejala klinis muncul. Kerentanan terhadap infeksi berhubungan dengan
berbagai faktor. Organisme penyebab peritonitis bakterial spontan pada umumnya
adalah bakteri Gram positif, terutama Streptococcuspneumoniae, dan bakteri
Gram negatif, terutamaE. coli. Diagnosis peritonitis bakterial spontan didasarkan
pada terdapatnya gejala inflamasi peritoneum, cairan peritoneum yang keruh,
-
8/10/2019 Manajemen Peritonitis Pada Anak
2/16
2
jumlah sel cairan peritoneum >100 /L atau hitung neutrofi l polimorfonuklear
>50 sel/L, disertai biakan cairan peritoneum positif, dan biakan darah positif.
Pemberian antibiotik merupakan terapi utama peritonitis bakterial spontan. Oleh
karena itu, referat ini dimaksudkan untuk mengetahui manjemen peritonitis pada
anak. 19
-
8/10/2019 Manajemen Peritonitis Pada Anak
3/16
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Peritonitis adalah peradangan pada peritonium yang merupakan
pembungkus visera dalam rongga perut. Peritoneum adalah lapisan tunggal dari
sel-sel mesoepitelial diatas dasar fibroelastik. Terbagi menjadi bagian viseral,
yang menutupi usus dan mesenterium; dan bagian parietal yang melapisi dinding
abdomen dan berhubungan dengan fasia muskularis.
Peritoneum viserale yang menyelimuti organ perut dipersarafi oleh sistem
saraf autonom dan tidak peka terhadap rabaan atau pemotongan. Dengan
demikian sayatan atau penjahitan pada usus dapat dilakukan tanpa dirasakan oleh
pasien. Akan tetapi bila dilakukan tarikan atau regangan organ, atau terjadi
kontraksi yang berlebihan pada otot yang menyebabkan iskemia misalnya pada
kolik atau radang seperti apendisitis, maka akan timbul nyeri. Pasien yang
merasaka nyeri viseral biasanya tidak dapat menunjuk dengan tepat letak nyeri
sehingga biasanya ia menggunakan seluruh telapak tangannya untuk menujuk
daerah yang nyeri.Peritoneum parietale dipersarafi oleh saraf tepi, sehingga nyeri dapat
timbul karena adanya rangsang yang berupa rabaan, tekanan, atau proses radang.
Nyeri dirasakan seperti seperti ditusuk atau disayat, dan pasien dapat
menunjukkan dengan tepat lokasi nyeri.
Area permukaan total peritoneum sekitar 2 meter, dan aktivitasnya
konsisten dengan suatu membran semi permeabel. Cairan dan elektrolit kecil
dapat bergerak kedua arah.
Organ-organ yang terdapat di cavum peritoneum yaitu gaster, hepar,
vesica fellea, lien, ileum, jejenum, kolon transversum, kolon sigmoid, sekum, dan
appendix (intraperitoneum); pankreas, duodenum, kolon ascenden & descenden,
ginjal dan ureter (retroperitoneum).
-
8/10/2019 Manajemen Peritonitis Pada Anak
4/16
4
2.2 Etiologi dan Klasifikasi
Etiologi penyakit bergantung pada tipe dan lokasi dari peritonitis;
1.
Peritonitis primer
Peritonitis bakterial spontan atau peritonitis primer adalah infeksi
peritoneum oleh bakteri yang berasal dari cairan asites tanpa adanya penyebab
intra-abdomen lain yang nyata.5 Peritonitis karena sebab lain misalnya
komplikasi dialisis peritoneal tidak termasuk dalam defi nisi ini. Peritonitis
bakterial spontan adalah salah satu komplikasi infeksi yang sering terjadi
dengan tingkat morbiditas serta mortalitas tinggi.2-4Insidens PBS diperkirakan
berkisar antara 1,5% hingga 16% dan kematian diperkirakan sebesar 1,5%.5
Peritonitis bakterial spontan adalah peritonitis yang paling sering menyerang
anak-anak
Peritonitis primer adalah infeksi bakteri rongga peritonum tanpa dapat
menunjukkan sumber di intra abdomen. Kebanyakan kasus terjadi pada anak-
anak dengan asites akibat dari sindroma nefrotik atau sirosis. Kadang-kadang
bisa terjadi pada anak-anak yang sebelumnya sehat. Jenis kelamin yang terjadi
seimbang. Kebanyakan kasus terjadi sebelum usia 6 tahun.
Streptococcus pneumoniae danEscherichia coli adalah organisme yang
paling sering menyebabkan peritonitis dan sepsis pada sindrom nefrotik.2,4,6,23
Bakteri Gram positif lain penyebab PBS antara lain Enterococcus,
Streptococcus group D, dan Streptococcus viridans yang sensitif terhadap
penisilin, sedangkan bakteri Gram negatif yang ditemukan adalahEnterobacter
cloacae, Klebsiella penumoniae, Acinetobacter baumanii, Neisseria
meningitidis, dan Salmonella group B yang sensitif terhadap aminoglikosida
dan sefalosporin. Pada penelitian retrospektif di RS Chang Gung tahun 1993-1997, didapatkan 10 episode sepsis dan 8 episode PBS dari 452 kasus rawat
inap. Hasil biakan steril didapatkan pada 4 kasus, sedangkan bakteri Gram
positif dan Gram negatif ditemukan pada masing-masing 7 kasus. 4
2. Peritonitis sekunder
Penyebab peritonitis sekunder yang paling sering adalah perforasi
apendisitis, perforasi gaster atau ulkus duodenum, perforasi colon sigmoid
-
8/10/2019 Manajemen Peritonitis Pada Anak
5/16
5
disebabkan diverticulitis, volvulus, atau kanker; dan strangulasi usus halus.
Pathogen peritonitis sekunder berbeda pada traktus gastrointestinal proksimal dan
distal. Organisme gram positif mendominasi traktus gastrointestinal atas, dengan
pergeseran ke arah organisme gram negative pada traktus gastrointestinal atas
pada pasien dengan terapi supresi asam lambung untuk jangka waktu yang lama.
Peritonitis yang terjadi hampir selalu bersifat polimikroba, dengan gabungan
bakteri aerob dan anaerob dengan dominan organisme gram negative.
Pada neonatus peritonitis mekonium dapat terjadi karena ruptur usus
proksimal dari obstruksi, yaitu terjadi akibat dindig usus yang lemah atau akibat
kelainan vaskuler.
Penyebab paling umum peritonitis postoperative adalah anastomotic leak,
dengan gejala biasanya muncul sekitar hari kelima sampai hari ketujuh
postoperasi.
3. Peritonitis tersier
Peritonitis tersier terjadi lebih sering pada pasien imunokompromised.
Walaupun jarang diobservasi pada uncomplicated peritoneal infections, insidens
peritonitis tersier pada pasien yang perlu rawat ICU untuk infeksi abdomen berat
dapat sebesar 50-74%.
4. Peritonitis kimiawi
Peritonitis kimiawi (steril) dapat disebabkan oleh iritan, seperti empedu,
darah, barium, dan bahan lainnya atau oleh inflamasi organ visceral transmural
tanpa adanya inokulasi bakteri pada cavum peritoneum. Tanda dan gejala klinis
tidak dapat dibedakan dari peritonitis sekunder atau abses peritoneal.
5. Abses peritoneal.
Kebanyakan abses terjadi setelah peritonitis sekunder. Pembentukan
abses dapat juga merupakan komplikasi dari operasi. Insiden pembentukan
abses setelah operasi abdomen kurang dari 1-2%, bahkan ketika operasi
dilakukan untuk proses inflamasi akut. Risiko abses meningkat 10-30%
abses pada kasus perforasi preoperatif dari kontaminasi feces yang signifikan dari
rongga peritoneal, iskemia usus, diagnosis dan terapi yang lambat pada
-
8/10/2019 Manajemen Peritonitis Pada Anak
6/16
6
awal peritonitis, dan kebutuhan untuk reoperation, serta dalam
pengaturan imunosupresi. Pembentukan abses adalah penyebab utama
infeksi persisten dan perkembangan peritonitis tersier.
2.3 Patofisiologi dan Patogenesis
Reaksi awal peritoneum terhadap invasi oleh bakteri adalah keluarnya
eksudat fibrinosa. Abses terbentuk di antara perlekatan fibrinosa, yang menempel
menjadi satu dengan permukaan sekitarnya sehingga membatasi infeksi.
Peradangan menimbulkan akumulasi cairan karena kapiler dan membran
mengalami kebocoran. Jika defisit cairan tidak dikoreksi secara cepat dan agresif,
maka dapat menimbulkan kematian sel. Pelepasan berbagai mediator, seperti
misalnya interleukin, dapat memulai respon hiperinflamatorius, sehingga
membawa ke perkembangan selanjutnya dari kegagalan banyak organ. Karena
tubuh mencoba untuk mengkompensasi dengan cara retensi cairan dan elektrolit
oleh ginjal, produk buangan juga ikut menumpuk. Takikardi awalnya
meningkatkan curah jantung, tapi ini segera gagal begitu terjadi hipovolemia.
Organ-organ didalam cavum peritoneum termasuk dinding abdomen
mengalami oedem. Oedem disebabkan oleh permeabilitas pembuluh darah kapiler
organ-organ tersebut meninggi. Pengumpulan cairan di dalam rongga peritoneum
dan lumen-lumen usus serta oedem seluruh organ intra peritoneal dan oedem
dinding abdomen termasuk jaringan retroperitoneal menyebabkan hipovolemia.
Hipovolemia bertambah dengan adanya kenaikan suhu, masukan yang tidak ada,
serta muntah.
Terjebaknya cairan di cavum peritoneum dan lumen usus, lebih lanjut
meningkatkan tekanan intra abdomen, membuat usaha pernapasan menjadi sulit
dan menimbulkan penurunan perfusi. Bila bahan yang menginfeksi tersebar luas
pada permukaan peritoneum atau bila infeksi menyebar, dapat timbul peritonitis
umum. Dengan perkembangan peritonitis umum, aktivitas peristaltik berkurang
sampai timbul ileus paralitik; usus kemudian menjadi atoni dan meregang. Cairan
dan elektrolit hilang kedalam lumen usus, mengakibatkan dehidrasi, syok,
gangguan sirkulasi dan oliguria.
-
8/10/2019 Manajemen Peritonitis Pada Anak
7/16
7
Pada sindrom nefrotik, terdapat faktor predisposisi yang menyebabkan
sindrom nefrotik rentan terhadap infeksi. Faktor tersebut antara lain disfungsi
limfosit T, konsentrasi IgG plasma yang rendah, berkurangnya protein yang
berperan pada jalur komplemen, defekopsonisasi akibat rendahnya faktor I dan B,
pemberian obat imunosupresan, dan faktor mekanik seperti edema dan asites.1
,10,14 Selain kelainan imunologis, pengobatan sindrom nefrotik dengan steroid
dosis tinggi maupun imunosupresan lain seperti sitostatik juga menyebabkan
penderita sindrom nefrotik rentan terhadap infeksi. Terjadinya infeksi
intraabdominal merupakan resultan patogenisitas bakteri dan mekanisme
pertahanan tubuh pejamu yang dapat mempengaruhi pertumbuhan, adherensi, atau
invasi bakteri. Beberapa mekanisme terjadinya infeksi peritonitis pada sindrom
nefrotik yaitu: infeksi langsung dari traktus genitourinarius (ascending infection),
penyebaran melalui pembuluh darah transdiafragmatikus, migrasi transmural
melalui dinding usus halus, dan penyebaran secara hematogen melalui mekanisme
translokasi bakteri. Bakteri dari usus halus bertranslokasi ke kelenjar limfa
mesenterium dan kemudian menyebar secara hematogen.13 Bakteri memasuki
kavum peritoneum dan menemukan lingkungan yang sesuai untuk berkembang
biak sehingga memudahkan timbulnya PBS. Asites atau cairan lain yang ada di
kavum peritoneum dapat menghambat pertahanan tubuh pejamu. Asites
menyebabkan dilusi cairan kaya protein yang menyebabkan reduksi opsonin,
seperti IgG, komplemen C3, atau mediator infl amasi lainnya. Selain itu,
fagositosis pada cairan kurang efektif dibandingkan di permukaan padat12.
Terjadinya infeksi peritonitis dipengaruhi juga oleh meningkatnya jumlah bakteri
anaerob di jejunum, perubahan sawar usus, dan faktor lain yang mempengaruhi
aliran darah.
13
2.4 Manifestasi Klinis
Mulanya mungkin terlihat samar dan akut, dan biasanya ditandai dengan
demam, nyeri perut, muntah, diare dan tampak toksis Hipotensi dan takikardi
sering bersama dengan pernapasan dangkal dan cepat karena rasa tidak enak
akibat pernapasan. Suara usus hipoaktif atau tidak ada. Pemakaian kortikosteroid
sebelumnya bisa mengurangi gejala klinis peritonitis.
-
8/10/2019 Manajemen Peritonitis Pada Anak
8/16
8
Adanya darah atau cairan dalam rongga peritonium akan memberikan
tandatanda rangsangan peritonium. Rangsangan peritonium menimbulkan nyeri
tekan dan defans muskular, pekak hati bisa menghilang akibat udara bebas di
bawah diafragma. Peristaltik usus menurun sampai hilang akibat kelumpuhan
sementara usus.
Bila telah terjadi peritonitis bakterial, suhu badan penderita akan naik dan
terjadi takikardia, hipotensi dan penderita tampak letargik dan syok. Rangsangan
ini menimbulkan nyeri pada setiap gerakan yang menyebabkan pergeseran
peritonium dengan peritonium. Nyeri subjektif berupa nyeri waktu penderita
bergerak seperti jalan, bernafas, batuk, atau mengejan. Nyeri objektif berupa nyeri
jika digerakkan seperti palpasi, nyeri tekan lepas, tes psoas, atau tes lainnya.
Pada keadaan lain (misal apendisitis), nyerinya mula-mula dikarenakan
penyebab utamanya, dan kemudian menyebar secara gradual dari fokus infeksi.
Selain nyeri, pasien biasanya menunjukkan gejala dan tanda lain yaitu nausea,
vomitus, syok (hipovolemik, septik, dan neurogenik), demam, distensi abdominal,
nyeri tekan abdomen dan rigiditas yang lokal, difus atau umum, dan secara klasik
bising usus melemah atau menghilang. Gambaran klinis untuk peritonitis non
bakterial akut sama dengan peritonitis bakterial.
Pada peritonitis mekonium, tampak abdomen membuncit dan tegang sejak
bayi dilahirkan. Bayi tampak sakit berat, sianosis, hiperpnu, dan merintih.
Dinding perut tampak sembab kebiruan. Byi tidak mau menyusui , muntah-
muntah dan konstipasi. Kadang-kadang didapatkan defekasi mekonium dengan
lendir dan darah.
Peritonitis bakterial kronik (tuberculous) memberikan gambaran klinis
adanya keringat malam, kelemahan, penurunan berat badan, dan distensiabdominal; sedang peritonitis granulomatosa menunjukkan gambaran klinis nyeri
abdomen yang hebat, demam dan adanya tanda-tanda peritonitis lain yang muncul
2 minggu pasca bedah.
2.5 Diagnosis dan Pemeriksaan Penunjang
Peritonitis dapat didiagnosis secara klinis dan dipastikan dengan hasil
biakan. Secara klinis, PBS pada anak sindrom nefrotik ditandai dengan gejala
-
8/10/2019 Manajemen Peritonitis Pada Anak
9/16
9
peritonitis antara lain demam (95%), nyeri perut (98%) dan mual atau muntah
(71%). Pada pemeriksaan fi sik anak tampak kesakitan, nyeri tekan abdomen, dan
defans muskular. Selain itu dapat juga disertai hipotensi, hipotermia, dan ileus
paralitik, Nyeri abdomen diperparah oleh gerakan, konstipasi, abdominal
bloating, mual, muntah, nyeri kepala, dispnu, takipnu, dan dehidrasi. Dapat terjadi
komplikasi berupa terbentuknya abses peritoneum, perlekatan peritoneum, ileus
paralitik, sepsis, dan syok septik.15 Perlu waspada terhadap gejala klinis berupa
nyeri abdomen atau nyeri epigastrium karena sering dianggap atau didiagnosis
sebagai efek samping prednison, padahal gejala tersebut dapat merupakan gejala
klinis PBS.
Hasil laboratorium menunjukkan leukositosis dengan rerata jumlah
leukositperifer 21.500/L (median 21.400/L, kisaran7.10044.800/L) dengan
persentase netrofil 83%. Kondisi tersebut biasanya ditemukan bersamaan dengan
edema dan asites.15 Diagnosis definitif peritonitis membutuhkan biakan cairan
peritoneum. Cairan peritoneum yang diperoleh dengan pungsi asites tampak keruh
dan pada pemeriksaan laboratorium menunjukkan uji Rivalta positip, jumlah
lekosit dan kadar protein meningkat. Pada cairan asites perlu diperiksa dengan
pulasan Gram. Pada banyak kasus PBS, parasentesis diagnostik sering tidak dapat
dilakukan sehingga pasien diterapi dengan antibiotik empiris tanpa pemeriksaan
cairan peritoneum.5Diagnosis PBS pada sindrom nefrotik sering sulit ditegakkan
karena gejala dan tanda sistemik dapat tersamarkan oleh penggunaan
kortikosteroid. Diagnosis peritonitis ditegakkan jika terdapat gejala klinis
peritonitis disertai satu atau lebih hasil pemeriksaan penunjang, yaitu: 1. cairan
peritoneum berwarna keruh atau jumlah sel cairan peritoneum >100 sel/ L atau
jumlah sel netrofil polimorfonuklear (PMN) >50 sel/L. 2. Terdapat bakteri dalamcairan peritoneum ditandai dengan pewarnaan Gram atau biakan cairan
peritoneum positif atau tes counter-immuno-electrophoreses yang positif untuk
antigen bakteri dari cairan asites; dan 3. biakan darah positif.15
Pemeriksaan radiologis merupakan pemeriksaan penunjang untuk
pertimbangan dalam memperkirakan pasien dengan abdomen akut. Pemeriksaan
rontgen abdomen menunjukkan dilatasi usus halus dan usus besar , dengan
peningkatan pemisahan lengkungan akibat penebalan dinding usus. Pada
-
8/10/2019 Manajemen Peritonitis Pada Anak
10/16
10
peritonitis dilakukan foto polos abdomen 3 posisi. Gambaran radiologis pada
peritonitis secara umum yaitu tampak adanya perselubungan pada cavum
abdomen, preperitonial fat dan psoas line menghilang, dan adanya udara bebas
subdiafragma atau intra peritoneal.
Membedakan peritonitis primer dan appendisitis mungkin tidak mungkin
pada penderita dengan riwayat sindroma nefrotik atau sirosis; karenanya,
diagnosis peritonitis primer dapat dibuat hanya pada saat laparotomi. Pada anak
yang diketahui dengan penyakit ginjal atau hati dan asites, adanya tanda
peritonium harus segera dilakukan parasintesis diagostik. Cairan yang terinfeksi
biasanya menunjukkan angka leukosit 250 sel/mm3 atau lebih dari 50% sel
polimorfonuklear.
Tanda caian peritonium yang mengesankan peritonitis primer adalah PH
kurang dari 7,5 perbedaan gradien PH cairan arteri-asites lebih besar dari 0,1 dan
kadar laktat meningkat. Pengecatan gram cairan asites secara khas menunjukkan
bakteri tunggal gram positif atau kadang-kadang gram negatif. Adanya flora
bakteri campuran pada pemeriksaan cairan asites atau udara bebas pada rontgen
abdomen anak dengan dugaan peritonitis primer mengisyaratkan laparotomi untuk
melokalisir sumber infeksi intra abdomen. Inokulasi cairan asites yang diambil
pada parasintesis secara langsung kedalam botol biakan darah akan meningkatkan
kepositifan biakan. Terpi antibiotik parenteral dengan sefotaksim dan
aminoglikosida harus dimulai dengan segera.
2.6 Penatalaksanaan
Prinsip umum terapi adalah penggantian cairan dan elektrolit yang hilang
yang dilakukan secara intravena, pemberian antibiotika yang sesuai, dekompresisaluran cerna dengan penghisapan nasogastrik dan intestinal, pembuangan fokus
septik (apendiks, dsb) atau penyebab radang lainnya, bila mungkin mengalirkan
nanah keluar dan tindakan-tindakan menghilangkan nyeri.
Tata laksana non-operatif merupakan terapi utama pada PBS, terdiri atas
pemberian antibiotik dan terapi suportif. Antibiotik spektrum luas digunakan pada
terapi awal kemudian disesuaikan menjadi spektrum yang lebih sempit
berdasarkan hasil biakan. Terapi antibiotik awal merupakan terapi empiris
-
8/10/2019 Manajemen Peritonitis Pada Anak
11/16
11
berdasarkan organisme yang sering menyebabkan PBS. Terapi empiris yang biasa
diberikan adalah kombinasi golongan penisilin dan aminoglikosida intravena
selama 2 minggu, kemudian disesuaikan dengan hasil biakan dan uji resistensi
Amoksisilin diberikan dengan dosis 50 mg/kgBB/hari dibagi 3 dosis dan
golongan aminoglikosida, antara lain amikasin dengan dosis 15 mg/kgBB/hari
atau gentamisin dengan dosis 3-5 mg/kgBB/ hari dibagi 2 dosis. Bila dicurigai
terdapat infeksi pneumococcus yang resisten, dapat diberikan penisilin dosis
tinggi. Dapat juga diberikan antibiotik golongan sefalosporin, seperti sefotaksim
dengan dosis 75-100 mg/ kgbb/hari, seftriakson 75-100 mg/kgBB/ hari, atau
seftazidim 50-100 mg/kgBB/hari Antibiotik golongan vankomisin (30-40 mg/
kgBB/hari), kloramfenikol (75-100 mg/kgBB/ hari), dan imipenem (50
mg/kgBB/hari) efektif digunakan untuk infeksi oleh Streptococcus
pneumoniae resisten penisilin.7,8,15
Perlu diperhatikan kebutuhan cairan dan elektrolit serta kalori karena
pasien sering mual muntah dan demam tinggi yang menyebabkan asupan cairan
dan kalori berkurang dan pengeluaran cairan dan elektrolit meningkat. Selain itu,
perlu diperhatikan terapi suportif lainnya. Jika perlu, dapat diberikan terapi
simtomatik. Pemberian obat spasmolitik tidak dianjurkan dan malah dapat
merupakan kontraindikasi. Pada sindrom nefrotik dengan keadaan infeksi berat
seperti PBS, pemberian steroid atau prednison perlu dihentikan sementara atau
dosisnya dikurangi atau di-taper-off , dan dilanjutkan lagi setelah infeksi teratasi.
Beberapa kepustakaan melaporkan kejadian infeksipneumococcus resisten
penisilin pada kasus PBS, bahkan angka kejadiannya meningkat di beberapa
daerah. Peningkatan frekuensi infeksi pneumokokus resisten penisilin ini
mempengaruhi dosis terapi. Pada tahun 1996, di Amerika Serikat dilaporkankasus peritonitis oleh kuman pneumokokus resisten penisilin. Berdasarkan kasus
tersebut direkomendasikan penggunaan penisilin dan sefalosporin dosis tinggi
untuk infeksi selain meningitis pada Streptococcus pneumoniaeyang intermediet
berdasarkan hasil biakan.7,8 Perlu diwaspadai penggunaan antibiotik spektrum luas
dapat meningkatkan angka resistensi dan mendorong pertumbuhan jamur serta
organisme patogen lain yang akan memperparah keadaan pasien.5
-
8/10/2019 Manajemen Peritonitis Pada Anak
12/16
12
Resusitasi dengan larutan saline isotonik sangat penting. Pengembalian
volume intravaskular memperbaiki perfusi jaringan dan pengantaran oksigen,
nutrisi, dan mekanisme pertahanan. Keluaran urine tekanan vena sentral, dan
tekanan darah harus dipantau untuk menilai keadekuatan resusitasi.
Pembuangan fokus septik atau penyebab radang lain dilakukan dengan
operasi laparotomi. Insisi yang dipilih adalah insisi vertikal digaris tengah yang
menghasilkan jalan masuk ke seluruh abdomen dan mudah dibuka serta ditutup.
Jika peritonitis terlokalisasi, insisi ditujukan diatas tempat inflamasi. Teknik
operasi yang digunakan untuk mengendalikan kontaminasi tergantung pada lokasi
dan sifat patologis dari saluran gastrointestinal. Pada umumnya, kontaminasi
peritoneum yang terus menerus dapat dicegah dengan menutup, mengeksklusi,
atau mereseksi viskus yang perforasi. 17
Lavase peritoneum dilakukan pada peritonitis yang difus, yaitu dengan
menggunakan larutan kristaloid (saline). Agar tidak terjadi penyebaran infeksi
ketempat yang tidak terkontaminasi maka dapat diberikan antibiotika ( misal
sefalosporin ) atau antiseptik (misal povidon iodine) pada cairan irigasi. Bila
peritonitisnya terlokalisasi, sebaiknya tidak dilakukan lavase peritoneum, karena
tindakan ini akan dapat menyebabkan bakteria menyebar ketempat lain.
Drainase (pengaliran) pada peritonitis umum tidak dianjurkan, karena pipa
drain itu dengan segera akan terisolasi/terpisah dari cavum peritoneum, dan dapat
menjadi tempat masuk bagi kontaminan eksogen. Drainase berguna pada keadaan
dimana terjadi kontaminasi yang terus-menerus (misal fistula) dan diindikasikan
untuk peritonitis terlokalisasi yang tidak dapat direseksi.
2.6 Pencegahan
Pencegahan utama PBS adalah tata laksana sindrom nefrotik yang adekuat
dengan steroid maupun obat imunosupresif lainnya. Asites perlu ditanggulangi
dengan pemberian diuretik dan albumin bila diperlukan.6 Pemberian golongan
penisilin profilaksis digunakan pada beberapa kasus secara sporadis. Laporan
yang mendukung penggunaan penisilin profi laksis ini belum banyak dan belum
ada penelitian acak terkontrol. Penggunaan penisilin profi laksis ini didasarkan
pada pasien dengan penyakit sel sabit yang memiliki kemiripan dengan sindrom
-
8/10/2019 Manajemen Peritonitis Pada Anak
13/16
13
nefrotik dalam hal risiko infeksi. Pada pasien penyakit sel sabit, kemoprofi laksis
dilaporkan dapat menurunkan insidens pnemonia bakterialis, terutama pada anak
berusia kurang dari 5 tahun. 6 Upaya lain mencegah PBS adalah imunisasi; yang
direkomendasikan adalah terhadap Streptococcus pneumoniae. Imunisasi telah
menunjukkan hasil yang efektif pada anak dengan sindrom nefrotik sensitif
steroid dan tidak mendapatkan terapi steroid pada saat imunisasi.6 Di Amerika
Serikat, Advisory Committee on Immunization Practices merekomendasikan
vaksinasi pneumokokus pada anak berumur 2-5 tahun dengan komorbiditas
tertentu, termasuk untuk sindrom nefrotik.16
2.7 Komplikasi
Komplikasi dapat terjadi pada peritonitis bakterial akut sekunder, dimana
komplikasi tersebut dapat dibagi menjadi komplikasi dini dan lanjut, yaitu :
a. Komplikasi dini
Septikemia dan syok septik
Syok hipovolemik
Sepsis intra abdomen rekuren yang tidak dapat dikontrol dengan
kegagalan multi sistem
Abses residual intraperitoneal
Portal Pyemia (misal abses hepar)
b. Komplikasi lanjut
Adhesi
Obstruksi intestinal rekuren
2.8 Prognosis
Prognosis untuk peritonitis lokal dan ringan adalah baik, sedangkan pada
peritonitis umum prognosisnya mematikan akibat organisme virulen.
-
8/10/2019 Manajemen Peritonitis Pada Anak
14/16
14
BAB III
KESIMPULAN
Peritonitis primer adalah infeksi bakteri rongga peritonum tanpa dapat
menunjukkan sumber di intra abdomen. Kebanyakan kasus terjadi pada anak-anak
dengan asites akibat dari sindroma nefrotik atau sirosis. Kadang-kadang bisa
terjadi pada anak-anak yang sebelumnya sehat. Jenis kelamin yang terjadi
seimbang. Kebanyakan kasus terjadi sebelum usia 6 tahun. Peritonitis dapat
didiagnosis secara klinis dan dipastikan dengan hasil biakan. Prinsip umum terapi
adalah penggantian cairan dan elektrolit yang hilang yang dilakukan secara
intravena, pemberian antibiotika yang sesuai, dekompresi saluran cerna dengan
penghisapan nasogastrik dan intestinal, pembuangan fokus septik (apendiks, dsb)
atau penyebab radang lainnya, dan tindakan-tindakan menghilangkan nyeri.
-
8/10/2019 Manajemen Peritonitis Pada Anak
15/16
15
DAFTAR PUSTAKA
AUAN PUSTAKA
1.
Eddy A, Symons JM. Nephrotic syndrome in children. Lancet. 2003;362:629-39.
2.
Alwadhi RK, Mathew JL, Rath B. Clinical profi le of children with
nephrotic syndrome not on glucocorticoid therapy, but presenting with
infection. J Pediatr Child Health. 2004;40:28-32.
3.
Uncu N, Bulbul M, Yildiz N, Noyan A, Kosan C, Kavukcu S, dkk..
Primary peritonitis in children with nephrotic syndrome: results of a 5-year
multicenter study. Eur J Pediatr. 2010;169:73-6.
4. Tain Y, Lin G, Cher T. Microbiological spectrum of septicemia and
peritonitis in nephrotic children. Pediatr Nephrol. 1999;13:835-7.
5.
Hingorani SR, Weiss NS, Watkins SL. Predictors of peritonitis in children
with nephrotic syndrome. Pediatr Nephrol. 2002;17:678-82.
6. Mcintyre P, Craig JC. Prevention of serious bacterial infection in children
with nephrotic syndrome. J Pediatr Child Health. 1998;34:314-7.
7. Ilyas M , Roy S, Abbasi S, Leggiadro RJ, English K, Wyatt RJ. Serious
infections due to penicillin-resistant Streptococcus pneumoniae in two
children with nephrotic syndrome. Pediatr Nephrol. 1996;10:639-41.
8. Waisman DC, Tyrell GJ, Kellner JD, Garg S, Marrie TJ. Pneumococcal
peritonitis: still with us and likely to increase in importance. Can J Infect
Dis Med Microbiol. 2010;21:e23-7.
9. Gbadegesin R, Smoyer WE. Nephrotic syndrome. Dalam: Geary DE,
Schaefer F., penyunting; Comprehensive Pediatric Nephrology.
Philadelphia: Mosby Elsevier. 2008.hal. 215-8.
10.Matsell DG, Wyatt RJ. The role of I and B in peritonitis associated with
the nephrotic syndrome of childhood. Ped Res. 1993;34:84-8.
11.
Han J, Lee K, Hwang J, Koh D, Lee J. Antibody status in children with
steroid-sensitive nephrotic syndrome. Yonsei Med J. 2009;51:239-43.
12.Farthmann EH, Schoff el U. Epidemiology and pathophysiology of
intraabdominal infections (IAI). Infection. 1998;26:329-34.
-
8/10/2019 Manajemen Peritonitis Pada Anak
16/16
16
13.Clark JH, Fitzgerald JF, Kleiman MB. Spontaneous bacterial peritonitis. J
Pediatr. 1984;104:495-500.
14.
Patiroglu T, Melikoglu A, Dusunsel R. Serum levels of C3 and factors I
and B in minimal change disease. Acta Paediatr Jpn. 1998;40:333-6.
15.Gorensek MJ, Lebel MH, Nelson JD. Peritonitis in children with nephrotic
syndrome. Pediatrics. 1988;81:849-56.
16.Advisory Committee on Immunization Practices. Preventing
pneumococcal among infants and young children. Recommendations on
the Advisory Committee on Immunization Practices (ACIP). MMWR
Recomm Rep. 2000;49(RR-9):1-35.
17.
Jong WD, Sjamsuhidayat R. Gawat Abdomen. Dalam Buku ajar Ilmu
Bedah. Jakarta: EGC. 1997. Hal 221-239
18.Reksoprodjo S. Bedah anak. Dalam kumpulan kuliah ilmu bedah. Jakarta:
FKUI. Hal 105-108
19.
Schwartz SJ, Shires ST, Spencer FC. Peritonitis dan Abses Intraabdomen.
Dalam Intisari prinsip-prinsip ilmu bedah. Edisi 6. Jakarta: EGC. 2000.
20.Sulton D. Gastroenterologi, dalam Buku ajar Radiologi untuk Mahasiswa
Kedokteran. Edisi 5. Jakarta: Hipokrates. 1995. Hal 34-38