manajemen nyeri pada pasien ca sinonasal

30
LAPORAN KASUS A. IDENTITAS PASIEN Nama : Tn. K RM : 567687 Tgl Lahir/Umur : 1 Januari 1949/ 63 tahun Jenis Kelamin : Pria Alamat/Tlp : Sidomulyo/ 085299554372 Pekerjaan : Tidak bekerja Agama : Islam Status perkawinan : Kawin Tgl Masuk RS : 13 Nov 2012 jam 13.27 B. ANAMNESIS Bagian THT-KL: PBM dengan keluhan utama nyeri pada hidung yang menjalar ke gusi dialami sejak ± 2 minggu yang lalu, hilang timbul. Rinore (+), cephalgia (+), blood stained rhirore (-), epistaksis (-), penghidu sinistra dirasakan berkurang. Riwayat operasi rinotomi lateral pada bulan September 2012 di RSWS dengan D/ Ca Sinonasal. Otalgia (-), otore (-), tinnitus (-), vertigo (-), pendengaran normal, disfagi (-), odinofagi (-), odinofoni (-), disfoni (-). C. PEMERIKSAAN FISIS THT : 1

Upload: rafly-suwandhi-wahid

Post on 18-Feb-2015

189 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

referat

TRANSCRIPT

Page 1: Manajemen Nyeri Pada Pasien CA Sinonasal

LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS PASIEN

Nama : Tn. K

RM : 567687

Tgl Lahir/Umur : 1 Januari 1949/ 63 tahun

Jenis Kelamin : Pria

Alamat/Tlp : Sidomulyo/ 085299554372

Pekerjaan : Tidak bekerja

Agama : Islam

Status perkawinan : Kawin

Tgl Masuk RS : 13 Nov 2012 jam 13.27

B. ANAMNESIS

Bagian THT-KL:

PBM dengan keluhan utama nyeri pada hidung yang menjalar ke gusi dialami

sejak ± 2 minggu yang lalu, hilang timbul. Rinore (+), cephalgia (+), blood

stained rhirore (-), epistaksis (-), penghidu sinistra dirasakan berkurang. Riwayat

operasi rinotomi lateral pada bulan September 2012 di RSWS dengan D/ Ca

Sinonasal. Otalgia (-), otore (-), tinnitus (-), vertigo (-), pendengaran normal,

disfagi (-), odinofagi (-), odinofoni (-), disfoni (-).

C. PEMERIKSAAN FISIS THT :

a. Otoskopi : Membran timpani kiri dan kanan intak, sekret (-), RC +/+

b. Rhinoskopi anterior : Tampak massa tumor pada cavum nasi sinistra, sekret

(+), tidak mudah berdarah

c. Faringoskopi : Tampak massa tumor pada daerah atas orofaring sinistra,

permukaan tidak rata, tidak mudah berdarah, warna hiperemis (+)

d. Inspeksi Kepala Leher : massa tumor di kantus medial, massa tumor pada

hidung sinistra, warna hiperemis (+).

1

Page 2: Manajemen Nyeri Pada Pasien CA Sinonasal

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. Hasil Pemeriksaan Laboratorium (13/11/2012)

HEMATOLOGI

HASIL NILAI

RUJUKAN

UNIT

WBC 20,06 4.00 – 10.0 [103/uL]

RBC 5,11 4.00 – 6.00 [106/uL]

HGB 14,8 12.0 – 16.0 [g/dL]

HCT 45,4 37.0 – 48.0 [%]

PLT 299 150 – 400 [103/uL]

Ureum 52 10-50 Mg/dl

Kreatinin 0,9 <1,3 Mg/dl

SGOT 110 <41 u/L

SGPT 279 <38 u/L

GDS 152 140 Mg/dl

Protein total 7,3 6,6-8,7 g/dl

Albumin 3,2 3,5-5 g/dl

Globulin 4,1 1,5-5 g/dl

PT 11,1 control 13,1 10-14 Detik

APTT 25,9 control 24,3 22-30 Detik

CT 8’00” 4-10 Menit

BT 3’00” 1-7 Menit

2

Page 3: Manajemen Nyeri Pada Pasien CA Sinonasal

Natrium 123 136-145 mmol/l

Kalium 3,4 3,5-5,1 mmol/l

Klorida 100 97-111 mmol/l

2. Hasil EKG (14/11/2012) : SR, HR 74x/mnt, anteroseptal ST elevation

E. DIAGNOSIS

Ca Sinonasal sinistra + post op rinotomi lateral sinistra

Pasien di konsul oleh bagian THT-KL ke poli nyeri RSWS untuk evaluasi,

pemeriksaan serta rawat sama pada tanggal 14 November 2012 jam 09.40.

Jawaban Konsul dari bagian Anestesi:

Dari hasil pemeriksaan yang dilakukan atas pasien Tn. K/ pria/ 64 tahun dengan

D/ Ca Sinonasal sinistra + post op rinotomi lateral sinistra didapatkan :

Anamnesis:

Nyeri pada hidung sebelah kiri menyebar ke kepala dialami sejak ± 2 minggu

yang lalu, terasa ditusuk-tusuk. Nyeri dirasakan hilang timbul. Nyeri juga

dirasakan mengganggu aktivitas, tidur, dan makan. OSI pernah dikonsul APS dan

memperoleh terapi PCT 4x500 mg post operasi rhinotomi lateral pada bulan

September 2012 di RSWS. Saat ini OSI datang lagi dengan konsul nyeri dan

direncanakan untuk radioterapi. Sekarang pasien belum mendapatkan terapi nyeri.

Pemeriksaan Fisis :

- Keadaan umum : sakit sedang/ gizi cukup/composmentis

- BB: 55 kg TB: 163 cm BMI: 20,67 kg/m2

- Tanda vital : Tekanan darah : 130/70 mmHg

Nadi : 100 x/menit

3

Page 4: Manajemen Nyeri Pada Pasien CA Sinonasal

Pernapasan : 24 x/menit

Suhu tubuh : 36,50C

VAS : 8/10

- Kepala : tampak benjolan di hidung kiri dan kantus medialis kiri

permukaan tidak rata.

rambut : hitam, sulit dicabut

- Leher : KGB : tidak ada pembesaran

- Paru

Inspeksi : simetris kiri = kanan

Palpasi : Nyeri tekan (-)

Perkusi : Sonor kiri=kanan

Auskultasi : bunyi pernapasan : vesikular

Bunyi tambahan : Rh - / - Wh -/-

- Jantung

Inspeksi : IC tidak nampak

Palpasi : IC tidak teraba

Perkusi : pekak (+)

auskultasi : BJ I / II murni, regular

- Abdomen

Inspeksi : datar, ikut gerak napas

Auskultasi : peristaltik (+), kesan normal

Palpasi : MT (-) NT (-), hepar / limpa tidak teraba

Perkusi : timpani (+)

- Ekstremitas : edema - / -

Kesimpulan: Pasien dengan severe pain step ladder III WHO

ASSESMENT & PLAN

4

Page 5: Manajemen Nyeri Pada Pasien CA Sinonasal

Pasien ini mengeluh nyeri hidung sebelah kiri yang menjalar ke kepala,

rasa tertusuk-tusuk, hilang timbul, mengganggu aktivitas, tidur, dan makan. Dari

Visual analog scale (VAS) didapati skala nyeri yang dirasakan pasien bernilai

8/10 maka diberikan terapi :

R/ Dynastat 40 mg/ 12 jam/ iv dan Duragesic patch 25 mcg

Follow up Bagian Anestesi

Tanggal Perjalanan penyakit Instruksi dokter

14/11/2012

Jam 14.13

KU :sedang

TD : 130/70 mmHg

N : 100x/m

P : 24 x/m

S : 36,50C

VAS 8/10

Pasien kategori severe pain

step ladder III WHO

R/

Dynastat 40 mg/ 12 jam/ iv

Duragesic patch 25 mcg

15/11/2012 KU : Baik

TD : 130/80 mmHg

N : 88x/m

P : 16 x/m

S : 36,60C

VAS : 2/10

R/

Dynastat 40 mg/ 12 jam/ iv

Duragesic patch 25 mcg

16/11/2012 KU : Baik

TD : 120/60 mmHg

N : 76x/m

P : 18 x/m

S : 36,60C

VAS : 2/10

R/

Dynastat 40 mg/ 12 jam/ iv

Duragesic patch 25 mcg

17/11/2012 KU : Baik

Keluhan : Nyeri kepala (+)

TD : 130/80 mmHg

N : 88x/m

P : 16 x/m

S : 36,70C

R/

Dynastat 40 mg/ 12 jam/ iv

Duragesic patch 25 mcg

5

Page 6: Manajemen Nyeri Pada Pasien CA Sinonasal

VAS : 2/10

18/11/2012 KU : Baik

TD : 120/80 mmHg

N : 80 x/m

P : 20 x/m

S : 36,50C

VAS : 3/10

R/

Dynastat 40 mg/ 12 jam/ iv

Duragesic patch 25 mcg

19/11/2012 KU : Baik

TD : 130/80 mmHg

N : 100 x/m

P : 18 x/m

S : 370C

VAS : 3/10

R/

Dynastat 40 mg/ 12 jam/ iv

Duragesic patch 25 mcg

Resume:

Seorang pasien pria, 63 tahun dikonsul dari bagian THT-KL dengan keluhan nyeri

pada hidung sebelah kiri menyebar ke kepala dialami sejak ± 2 minggu yang lalu,

terasa ditusuk-tusuk. Nyeri dirasakan hilang timbul. Nyeri juga dirasakan

mengganggu aktivitas, tidur, dan makan. OSI pernah dikonsul APS dan

memperoleh terapi PCT 4x500 mg post operasi rhinotomi lateral pada bulan

September 2012 di RSWS. Saat ini OSI datang lagi dengan konsul nyeri dan

direncanakan untuk radioterapi. Sekarang pasien belum mendapatkan terapi nyeri.

Dari pemeriksaan fisis didapatkan pasien sakit sedang, gizi cukup, composmentis.

Dari inspeksi pada kepala tampak benjolan di hidung kiri dan kantus medialis kiri

dengan permukaan tidak rata. Dari pemeriksaan fisis pada leher, paru, jantung,

abdomen dan ekstermitas tidak ditemukan kelainan. Hasil laboratorium

menunjukkan leukositosis (WBC=20.060 /uL), peningkatan enzim transaminase

(SGOT=110 u/L, SGPT=279 u/L), hiperglikemia (GDS=152 mg/dl), dan

hiponatremi (Na=123 mmol/l).

DISKUSI

6

Page 7: Manajemen Nyeri Pada Pasien CA Sinonasal

A. PENDAHULUAN

Tumor hidung dan sinus paranasal atau disebut juga tumor sinonasal pada

umumnya jarang ditemukan, baik yang jinak maupun ganas. Di Indonesia dan di

luar negeri, kekerapan jenis yang ganas hanya sekitar 1% dari keganasan seluruh

tubuh atau 3% dari seluruh keganasan di kepala dan leher. Insiden tertinggi

keganasan sinonasal ditemukan di Jepang yaitu 2 sampai 3,6% per 100.000

penduduk per tahun. Di departemen THT FKUI RS Cipto Mangunkusumo,

keganasan ini ditemukan pada 10-15% dari seluruh tumor ganas THT. Laki-laki

ditemukan lebih banyak dibanding wanita dengan rasio 2:1. 1

Area sinonasal merupakan rongga yang dibatasi oleh tulang-tulang wajah

yang merupakan daerah terlindungi sehingga tumor yang timbul di daerah ini sulit

diketahui secara dini, akibatnya biasanya pasien berobat dalam keadaan penyakit

telah lanjut dan tumor sudah memenuhi rongga hidung dan seluruh sinus. 1

Sekitar 70% penderita kanker dalam perjalanan penyakitnya mengalami

nyeri. Nyeri dapat berasal langsung dari kelainan onkologis dan juga dapat akibat

terapi yang diberikan terhadap penyakit. Penanganan nyeri kanker telah sampai

pada titik dimana penanganan nyeri yang efektif dianggap merupakan hak asasi

manusia dan penanganan nyeri yang tidak adekuat dianggap tidak etis.2

B. DEFINISI DAN KLASIFIKASI NYERI

IASP (International Association for The Study of Pain) mendefinisikan

nyeri sebagai suatu pengalaman sensorik dan emosional yang tidak

menyenangkan akibat kerusakan jaringan, baik aktual maupun potensial, atau

yang digambarkan dalam bentuk kerusakan tersebut.3,4 Definisi ini menunjukkan

terjadinya nyeri tidak lepas dari unsur subjektivitas, emosi, dan psikologis,

sehingga respon setiap orang terhadap nyeri sangat bervariasi.3

Nyeri berdasarkan patofisiologinya diklasifikasikan menjadi nyeri nosiseptif

dan nyeri neuropati, dan berdasarkan perlangsungannya diklasifikasikan atas nyeri

akut dan nyeri kronik. Ada pula yang membagi nyeri berdasarkan etiologinya

7

Page 8: Manajemen Nyeri Pada Pasien CA Sinonasal

seperti nyeri post operasi dan nyeri kanker. Klasifikasi ini dibuat untuk

memudahkan klinisi dalam menentukan modalitas terapi yang akan digunakan.3

Nyeri nosiseptif adalah nyeri yang terjadi akibat aktivasi nosiseptor perifer,

khususnya reseptor yang berperan dalam transduksi stimulus noxius. Nyeri

neuropati adalah akibat adanya abnormalitas atau trauma pada sistem saraf baik

sentral maupun perifer. 3

C. MEKANISME NYERI

Proses nyeri adalah suatu seri kejadian elektrik dan kimia yang dimulai

saat aktivasi nosiseptor oleh stimulus noxious (nyeri) sampai terjadinya

pengalaman subjektif nyeri. Selama proses tersebut terdapat 4 proses. 4,5,6

1. Transduksi: aktivasi reseptor. Pada proses ini, stimulus noxious diubah

menjadi potensial aksi. Fungsi nosiseptor adalah sebagai transduser yang

merubah energi mekanik, termal, atau kimia menjadi sinyal elektrik yang

kemudian ditransmisikan ke medulla spinalis melalui serabut saraf aferen

primer.

2. Transmisi: potensial aksi ditransmisikan menuju neuron susunan saraf

pusat yang berhubungan dengan nyeri. Impuls ini akan dibawa oleh

serabut saraf A Delta (mechanothermal receptor) dan serabut C (C-

polymodal nociceptor) sebagai neuron pertama yang membawa impuls

nyeri dari perifer menuju kornu dorsalis medula spinalis. Pada kornu

dorsalis ini, neuron pertama tersebut akan menyilang garis tengah dan naik

melalui traktus spinotalamikus kontralateral menuju talamus, yang disebut

sebagai neuron kedua. Pada neuron kedua inilah terjadi sensitisasi sentral.

Neuron kedua ini kembali bersinaps di talamus dengan neuron ketiga yang

memproyeksikan stimulus nyeri melalui kapsula interna dan korona

radiata menuju girus postcentralis korteks serebri.

3. Modulasi: proses modifikasi terhadap rangsang dan merupakan bagian

yang penting dari nyeri. Modifikasi ini dapat terjadi pada sepanjang titik

dari sejak transmisi pertama sampai ke korteks serebri, tetapi yang paling

banyak diketahui adalah pada kornu dorsalis. Modulasi pada tingkat spinal

8

Page 9: Manajemen Nyeri Pada Pasien CA Sinonasal

melibatkan sistem opioid endogen, inhibisi segmental, keseimbangan

antara input nosiseptif dan input aferen lainnya serta descending contol

mechanism.

Opioid endogen memberi efek analgesia melalui inhibisi presinaps dari

injury evoked neurotransmitter release dari neuron nosiseptif aferen

primer. Opioid endogen juga menyebabkan inhibisi postsinaps neuron

nociresponsif kornu dorsalis. Transmisi input nosiseptif pada medulla

spinalis dapat dihambat oleh aktivitas segmental dan aktivitas neuron

descenden dari pusat supra spinal. GABA dan glisin berperan penting pada

inhibisi segmental nyeri di medulla spinalis. GABA memodulasi transmisi

aferen informasi nosiseptif melalui mekanisme presinaps dan postsinaps.

Konsentrasi terbesar GABA adalah pada kornu dorsalis dimana disini

merupakan neurotransmitter inhibisi utama. Mekanisme modulasi

informasi nosiseptif oleh glisin di kornu dorsalis adalah melalui inhibisi

postsinaps.

Keseimbangan antara input nosiseptif dan input aferen lainnya dikenal

dengan istilah gate contol theory. Berdasarkan teori ini, aktivitas neuron

di medulla spinalis yang menerima input dari serabut nosiseptif dapat

dimodifikasi oleh input neuro aferen non-nosiseptif. Aktivitas pada serabut

Aβ menghambat respons neuron kornu dorsalis dari serabut Aδ dan

serabut C.

Kontrol nyeri supraspinal melalui dua jalur yang berasal dari midbrain

(periaqueductal gray matter dan locus ceruleus) dan medulla oblongata

(nucleus raphe magnus dan nucleus reticularis giganto cellularis). Sistem

modulasi nyeri ini menuju medulla spinalis melalui funikulus dorsolateral.

Neuron-neuron di rostroventral medulla oblongata membuat koneksi

inhibisi pada kornu dorsalis lamina I, II, dan V, sehingga stimulasi neuron

di rostroventral medulla oblongata akan menghambat neuron-neuron

traktus spinothalamikus di kornu dorsalis yang memberikan respon

stimulus noxius. Serabut desenden lain yang berasal dari medulla

oblongata dan pons juga berakhir pada kornu dorsalis superfisial dan

9

Page 10: Manajemen Nyeri Pada Pasien CA Sinonasal

menekan aktivitas nosiseptif neuron kornu dorsalis. Neurotransmitter

utama yang berperan pada descending pain control ini adalah serotonin (5-

hydroxytryptamine, 5-HT) dan norepinefrin (noradrenalin). Neuron-

neuron serotoninergik dan noradrenergik turun melalui funikulus

dorsolateral dari batang otak menuju medulla spinalis dan berakhir pada

kornu dorsalis, dan sangat berperanan pada modulasi nyeri. Stimulasi

elektrik pada daerah periaqueductal dan nucleus raphe magnus akan

mengakibatkan analgesia melalui pelepasan serotonin dan norepinefrin

endogen.

4. Persepsi: pesan nyeri di relay menuju ke otak dan menghasilkan

pengalaman yang tidak menyenangkan. Serabut aferen nosiseptik tingkat

dua mempunyai badan sel yang terletak di dalam kornu dorsal medula

spinalis yang memproyeksikan akson ke pusat-pusat di SSP yang

bertanggung jawab untuk pengolahan informasi nosiseptik. Traktus

spinotalamik juga mengirim cabang-cabang kolateral ke formasio

retikularis. Impuls yang dihantarkan melalui traktus ini bertanggung jawab

untuk diskriminasi atau pembedaan sensasi nyeri dan respon-respon

emosional yang menyertainya. Formasio retikularis kemungkinan

bertanggung-jawab untuk peningkatan bangkitan atau depolarisasi dan

peningkatan aspek komponen emosional-afektif pada nyeri serta

peningkatan refleks motorik somatik dan refleks motorik otonom. 7

D. PATOFISIOLOGI NYERI PADA KANKER

Tiga faktor utama yang berperan pada patogenesis nyeri pada penderita

kanker ialah mekanisme nosiseptif, mekanisme neuropati, dan proses psikologis.

Pada pasien dengan kanker kepala leher nyeri nosisepsi terjadi akibat

keterlibatan tulang, otot, dan jaringan subkutan. Nyeri neuropati terjadi akibat

invasi langsung tumor ke saraf kranial, atau lesi tumor menyebabkan kompresi

saraf atau polineuropati perifer sebagai efek samping kemoterapi.8

Menurut Woodforde dan Fielding, penderita-penderita kanker dengan

nyeri ini juga mengalami reaksi emosional, kecemasan (anxietas), depresi,

10

Page 11: Manajemen Nyeri Pada Pasien CA Sinonasal

hipokhondria serta neurosis yang lebih menonjol dari pada kasus-kasus bukan

keganasan.6 Dinyatakannya pula bahwa penderita-penderita tersebut memberikan

respons yang kurang baik terhadap pengobatan nyeri. Bond menemukan bahwa

tingkat hipokhondria ini lebih tampak pada penderita kanker dengan keluhan nyeri

dari pada tanpa nyeri. Tetapi keadaan ini segera berubah apabila keluhan nyeri

tersebut bisa diatasi dengan tindakan.9

E. PENILAIAN NYERI

Penilaian nyeri dimulai dengan melakukan anamnesis terkait nyeri, meliputi

onset dan durasi nyeri, apakah nyeri menetap atau hilang timbul, derajat

keparahan nyeri, pengaruh nyeri terhadap aktivitas harian (selera makan, tidur,

rutinitas harian), interkasi sosial (lebih mudah tersinggung), mood (sering

menangis, marah, atau berupaya bunuh diri), dan riwayat pengobatan yang pernah

diperoleh untuk mengatasi nyeri tersebut. Penting pula untuk ditanyakan adakah

faktor tertentu yang memperbert rasa nyeri yang diderita pasien atau faktor apa

yang meringankan nyeri, apakah pasien menderita keluhan lainnya di samping

nyeri seperti mual, muntah, konstipasi, gatal, kelemahan, atau sulit tidur.3,4

Penilaian terhadap nyeri juga dilanjutkan dengan pemeriksaan fisik, perlu

diperhatikan ada tidaknya keterlibatan tulang seperti deformitas tulang, apakah

terjadi pembengkakan sendi, hambatan gerakan dan perubahan tonus otot, apakah

menimbulkan gangguan fungsi saraf, serta penilaian terhadap keterlibatan organ

viscera. Penilaian pada kulit juga penting untuk mengetahui ada tidaknya

abnormalitas sistem saraf simpatis berupa perubahan suhu, hilangnya rambut pada

daerah kulit tertentu, perubahan vaskular dan diskolorisasi, serta ada tidaknya

gangguan sensoris.10

Penilaian aspek psikologis menjadi sangat penting terutama pada kasus

nyeri kronik atau nyeri kanker, karena nyeri yang berlangsung lama dapat

menimbulkan frustasi dan kemarahan. Seorang ahli psikologis perlu melakukan

eksplorasi terhadap kondisi emosional pasien-pasien dengan nyeri terutama nyeri

kronik. 10

11

Page 12: Manajemen Nyeri Pada Pasien CA Sinonasal

Pengukuran derajat nyeri secara kuantitatif dapat membantu menentukan

intervensi terapeutik dan mengevaluasi keberhasilan terapi yang diberikan. Untuk

itu, berbagai teknik pengukuran derajat nyeri telah dikembangkan. Numerical

rating scale, verbal rating scale, visual analog scale (VAS), dan faces rating scale

adalah skala yang paling sering digunakan untuk membantu menentukan derajat

nyeri.3

Numerical Rating Scale (NRS)

Ini merupakan cara pengukuran yang sederhana dan paling sering digunakan

untuk mengevaluasi nyeri. Terdapat skala 0-10, dimana angka 0 menunjukkan

tidak ada nyeri dan angka 10 menunjukkan nyeri yang hebat. Keuntungan

menggunakan skala ini karena mudah dimengerti oleh pasien karena pasien hanya

memillih nilai untuk menunjukkan nyerinya.4

Verbal Rating Scale (VRS)

Pasien ditanyakan tentang derajat nyeri yang dirasakan berdasarkan skala

lima poin ; tidak nyeri, nyeri ringan, sedang, berat dan sangat berat. 4

Visual Analog Scale (VAS)

VAS merupakan skala dengan garis lurus 10 cm, dimana awal garis diberi 0

sebagai penanda tidak ada nyeri dan akhir garis 100 menandakan nyeri hebat.

Pasien diminta untuk membuat tanda digaris tersebut untuk mengekspresikan

nyeri yang dirasakan. Penggunaan skala VAS lebih gampang, efisien dan lebih

mudah dipahami oleh penderita dibandingkan dengan skala lainnya. Penggunaan

VAS telah direkomendasikan oleh Coll dkk karena selain telah digunakan secara

luas, VAS juga secara metodologis kualitasnya lebih baik, dimana juga

penggunaannya relatif mudah, hanya dengan menggunakan beberapa kata

sehingga kosa kata tidak menjadi permasalahan. Pengukuran dengan VAS pada

nilai di bawah 4 dikatakan sebagai nyeri ringan, nilai 4-7 dinyatakan sebagai nyeri

sedang, dan nilai di atas 7 dianggap sebagai nyeri hebat. 4

12

Page 13: Manajemen Nyeri Pada Pasien CA Sinonasal

Wong-Baker Faces Pain Rating Scale

Wong-Baker Faces Pain Rating Scale adalah modifikasi VAS yang

digunakan untuk anak atau orang dewasa dengan gangguan kognitif,

menggantikan angka dengan kontinum wajah tersenyum sampai menangis.11

Gambar 1. Wong-Baker Faces Pain Rating Scale.

Pada gambar di atas, tampak wajah 0 tersenyum karena tidak merasakan

nyeri. Wajah 1 sampai 5 memperlihatkan peningkatan intensitas nyeri (sedikit

sampai yang paling parah) dengan ekspresi yang semakin sedih.11

F. MANAJEMEN NYERI

Penatalaksanaan nyeri menurut WHO terdiri dari Three Step ladder

berikut:2,12

Step I: Penderita dengan nyeri kanker ringan sampai sedang harus diobati

dengan analgesik nonopioid, yang harus dikombinasikan dengan obat-

obat tambahan jika ada indikasi. Pada step ini dapat digunakan golongan

NSAID (Non-Steroid Anti Inflamatory Drugs). Golongan obat ini

menghambat enzim cyclooxygenase sehingga konversi asam arachidonat

menjadi prostaglandin terinhibisi. Prostaglandin memediasi sejumlah

besar proses di tubuh termasuk inflamasi, nyeri, sekresi pelindung lapisan

lambung, mempertahankan perfusi renal dan agregasi platelet. Enzim

cyclooxygenase terdapat dalam 2 isoform yang disebut COX-1 dan COX-

2.

13

Page 14: Manajemen Nyeri Pada Pasien CA Sinonasal

Gambar 2. Jalur COX 1 dan COX 2

Step II: Penderita yang relatif tidak toleran dan menderita nyeri sedang sampai

berat, atau yang gagal mendapatkan perbaikan setelah percobaan dengan

analgesik nonopioid harus diobati dengan opioid konvensional yang

digunakan untuk nyeri sedang (opioid lemah). Yang termasuk dalam

golongan ini adalah kodein, hidrokodon, dihidrokodein, profoksifen.

Obat-obatan ini umumnya dikombinasikan dengan nonopioid dan bisa

diberikan bersama-sama dengan analgesik adjuvan.

Step III: Penderita yang menderita nyeri berat, atau gagal mendapatkan perbaikan

yang adekuat setelah pemberian obat pada tangga kedua, harus menerima

opioid konvensional yang digunakan untuk nyeri berat (opioid kuat).

Obat golongan ini terdiri atas2,8:

1. Opioid kerja lama, seperti fentanyl transdermal atau metadon yang

dapat menangani hampir semua keluhan nyeri. Opioid kerja lama

memiliki waktu paruh sekitar 12 jam, sehingga penderita

mendapatkan obat ini dua kali setiap harinya.

2. Opioid kerja cepat, seperti hidromorfon, atau tablet fentanyl

transmukosal yang digunakan untuk mengatasi nyeri insidental atau

breaktrough pain. Kebanyakan opioid kerja cepat memiliki waktu

14

Page 15: Manajemen Nyeri Pada Pasien CA Sinonasal

paruh 3-4 jam dan pada preparat oral kadar maximal dicapai dalam 60

menit, 30 menit melalui jalur subkutan dan 15 menit melalui intavena.

Obat-obatan golongan opioid ini dapat memberikan kesembuhan pada

70-90% penderita.

Gambar 3. Step Ladder WHO

15

Page 16: Manajemen Nyeri Pada Pasien CA Sinonasal

Gambar 4. Lokasi Kerja Analgetik

WHO menganjurkan pemakaian obat nyeri kanker adalah sebagai berikut13:

1. Obat diberikan secara oral

2. Tepat waktu. Harus dimakan sesuai jadwal, bila sedang tidur

dibangunkan untuk minum obat anti nyeri

3. Sesuai dengan pedoman step ladder WHO

4. Individual, pengobatan nyeri sama dengan pengobatan lain, setiap

pasien memberikan respon yang mungkin tidak sama, sehingga

perlakuannya bersifat individual.

5. Penuh perhatian terhadap hal-hal kecil

Pada pasien ini diberikan dysnatat intravena dan fentanyl transdermal.

Dysnatat (parecoxib) merupakan obat yang termasuk dalam golongan NSAID

yang bekerja selektif terhadap COX 2. Cyclooxygenase (COX) adalah suatu enzim

16

Page 17: Manajemen Nyeri Pada Pasien CA Sinonasal

yang mengkatalis sintesis prostaglandin dari asam arachidonat. Prostaglandin

memediasi sejumlah besar proses di tubuh termasuk inflamasi, nyeri, sekresi

pelindung lapisan lambung, mempertahankan perfusi renal dan agregasi platelet.

Pemilihan golongan NSAID yang bekerja pada COX 2 dimaksudkan untuk

mengurangi efek samping yang lebih besar jika dibandingkan pemberian NSAID

non-selektif karena dapat mempengaruhi barier mukosa lambung dan agregesi

platelet. Parecoxib merupakan inhibitor COX 2 spesifik yang hanya tersedia

dalam sediaan parenteral.14,15

Fentanyl yang merupakan golongan opiod sintetik dari kelompok

fenilpiperidin. Fentanyl merupakan opioid sintetik yang agonis selektif yang

bekerja terutama pada reseptor µ dengan sedikit berpengaruh pada reseptor δ dan

κ. Fentanyl merupakan opioid yang poten, mempunyai potensi analgesia 100-300

kali efek morfin. Bersifat lipofilik yang memungkinkan masuk ke struktur

susunan saraf pusat dengan cepat. Fentanyl transdermal melepaskan fentanyl

perlahan ke subkutis dan selanjutnya ke aliran darah. Nyeri mulai reda setelah 8-

12 jam dari pemasangan fentanyl patch dan perlu diganti setelah 72 jam.2,16

Pada pasien ini diberikan terapi analgesia multimodal yakni menggunakan

dua atau lebih obat analgetik yang memiliki mekanisme kerja yang berbeda untuk

mencapai efek analgetik yang maksimal tanpa dijumpainya peningkatan efek

samping dibandingkan dengan peningkatan dosis pada satu obat saja. Dynastat

yang merupakan golongan NSAID yang menghambat cyclooxygenase (COX) dan

selektif terhadap COX-2 sedangkan fentanyl merupakan salah satu opiod

kuat.14,15,16

G. KESIMPULAN

Nyeri merupakan masalah yang sering berdampingan dengan penyakit

kanker. Pemahaman mengenai mekanisme nyeri dan penilaian nyeri yang tepat

merupakan kunci keberhasilan pengobatan. Keluhan pasien merupakan arti sangat

penting dalam pengobatan nyeri, keluhan ini harus diuraikan dengan jelas.

Penanggulangan nyeri kanker merupakan bagian dari pengobatan kanker dan

sangat berpengaruh terhadap kualitas hidup pasien. Penanggulangan nyeri kanker

17

Page 18: Manajemen Nyeri Pada Pasien CA Sinonasal

harus secara interdispiliner. Untuk mencapai bebas nyeri diperlukan pengkajian

yang tepat, komprehensif dan berkesinambungan.

Untuk memudahkan pengobatan nyeri, WHO membuat suatu pedoman

penilaian nyeri yang sangat dikenal dan dipakai hampir di seluruh dunia, yaitu

Step ladder WHO. Berdasarkan pedoman ini akan lebih mudah untuk

menatalaksana nyeri kanker.

DAFTAR PUSTAKA

18

Page 19: Manajemen Nyeri Pada Pasien CA Sinonasal

1. Roezin A, Armiyanto. Tumor Hidung dan Sinonasal. Dalam: Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD, eds. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorokan Kepala & Leher Edisi Keenam. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2009; h. 178-81.

2. Myers J, Shetty N. Going beyond efficacy: strategies for cancer pain management. Current oncology. 2008; 15(1): 41-9.

3. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ, eds. Clinical Anesthesiology 4th Edition. New York: Blackwell Science; 2009.

4. Setiyohadi B, Sumariyono, Kasjmir YI, Isbagio H, Kalim H. Nyeri. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simanibrata M, Setiati S, eds. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi IV. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2006; h.1166-1173.

5. Giordano J. The Neuroscience of pain and analgesia. In Boswell MV, Cole BE, editors. Weiner's pain management a pratical guide for clinicians. 7th ed. New York: Taylor & Francis; 2006. p. 15-20.

6. Gottschalk A, Smith DS. American family physician. [Online].; 2001 [cited 2012 August. Available from: http://www.aafp.org.

7. Davis LE, King MK, Schultz JE. Disorders of Pain and Headache. In: Fundamentals of Neurologic Disease. New York: Demos Medical Publishing; 2005. p. 201-2.

8. Gubbels SP, Andersen PE. Head and Neck Cancers. In: Sibell, David M.; Kirsch, Jeffrey R, eds. 5 Minute Pain Management Consult, The , 1st Edition.New York: Lippincott Williams & Wilkins. 2007.

9. Susworo. Cermin dunia kedokteran. [Online]. [cited 2012 August. Available from URL : http://www.kalbe.co.id.

10. Gwinnutt CL, ed. Lecture Notes Clinical Anaesthesia Second Edition. Massachusetts: Blackwell Science Ltd. 2004. p. 139-50

11. David N. Wong Baker Faces Pain Rating Scale Permission Form. UK: Elsevier Ltd. 2005. [cited: November 2012]. Available from URL: http://www.us.elsevierhealth.com/media/us/US-promofiles/d/Wong%20Baker%20FACES%20Permissions%20Form.pdf

12. Worgo BW, Burton AW. Cancer pain. In wallace MS, Staats PS. Pain Medicine and management. New York: McGraw Hill; 2005. p. 183-189.

19

Page 20: Manajemen Nyeri Pada Pasien CA Sinonasal

13. Harsal A. Penanggulangan Nyeri pada Kanker. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simanibrata M, Setiati S, eds. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi IV. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2006; h.885-7

14. Wilmana PF, Gan S. Analgesik-antipiretik analgesik anti-inflamasi

nonsteroid dan obat gangguan sendi lainnya. Dalam: Farmakologi dan Terapi Edisi kelima. Jakarta: Balai penerbit FKUI; 2007.

15. Portenoy RK. Three Step Analgesic Ladder for management of cancer pain. 2006.

16. Dewoto HR. Analgesik opiod dan antagonis. Dalam: Farmakologi dan Terapi Edisi Kelima. Jakarta: Balai penerbit FKUI; 2006.

20