manajemen nyeri pada pasien ca sinonasal
DESCRIPTION
referatTRANSCRIPT
LAPORAN KASUS
A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. K
RM : 567687
Tgl Lahir/Umur : 1 Januari 1949/ 63 tahun
Jenis Kelamin : Pria
Alamat/Tlp : Sidomulyo/ 085299554372
Pekerjaan : Tidak bekerja
Agama : Islam
Status perkawinan : Kawin
Tgl Masuk RS : 13 Nov 2012 jam 13.27
B. ANAMNESIS
Bagian THT-KL:
PBM dengan keluhan utama nyeri pada hidung yang menjalar ke gusi dialami
sejak ± 2 minggu yang lalu, hilang timbul. Rinore (+), cephalgia (+), blood
stained rhirore (-), epistaksis (-), penghidu sinistra dirasakan berkurang. Riwayat
operasi rinotomi lateral pada bulan September 2012 di RSWS dengan D/ Ca
Sinonasal. Otalgia (-), otore (-), tinnitus (-), vertigo (-), pendengaran normal,
disfagi (-), odinofagi (-), odinofoni (-), disfoni (-).
C. PEMERIKSAAN FISIS THT :
a. Otoskopi : Membran timpani kiri dan kanan intak, sekret (-), RC +/+
b. Rhinoskopi anterior : Tampak massa tumor pada cavum nasi sinistra, sekret
(+), tidak mudah berdarah
c. Faringoskopi : Tampak massa tumor pada daerah atas orofaring sinistra,
permukaan tidak rata, tidak mudah berdarah, warna hiperemis (+)
d. Inspeksi Kepala Leher : massa tumor di kantus medial, massa tumor pada
hidung sinistra, warna hiperemis (+).
1
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Hasil Pemeriksaan Laboratorium (13/11/2012)
HEMATOLOGI
HASIL NILAI
RUJUKAN
UNIT
WBC 20,06 4.00 – 10.0 [103/uL]
RBC 5,11 4.00 – 6.00 [106/uL]
HGB 14,8 12.0 – 16.0 [g/dL]
HCT 45,4 37.0 – 48.0 [%]
PLT 299 150 – 400 [103/uL]
Ureum 52 10-50 Mg/dl
Kreatinin 0,9 <1,3 Mg/dl
SGOT 110 <41 u/L
SGPT 279 <38 u/L
GDS 152 140 Mg/dl
Protein total 7,3 6,6-8,7 g/dl
Albumin 3,2 3,5-5 g/dl
Globulin 4,1 1,5-5 g/dl
PT 11,1 control 13,1 10-14 Detik
APTT 25,9 control 24,3 22-30 Detik
CT 8’00” 4-10 Menit
BT 3’00” 1-7 Menit
2
Natrium 123 136-145 mmol/l
Kalium 3,4 3,5-5,1 mmol/l
Klorida 100 97-111 mmol/l
2. Hasil EKG (14/11/2012) : SR, HR 74x/mnt, anteroseptal ST elevation
E. DIAGNOSIS
Ca Sinonasal sinistra + post op rinotomi lateral sinistra
Pasien di konsul oleh bagian THT-KL ke poli nyeri RSWS untuk evaluasi,
pemeriksaan serta rawat sama pada tanggal 14 November 2012 jam 09.40.
Jawaban Konsul dari bagian Anestesi:
Dari hasil pemeriksaan yang dilakukan atas pasien Tn. K/ pria/ 64 tahun dengan
D/ Ca Sinonasal sinistra + post op rinotomi lateral sinistra didapatkan :
Anamnesis:
Nyeri pada hidung sebelah kiri menyebar ke kepala dialami sejak ± 2 minggu
yang lalu, terasa ditusuk-tusuk. Nyeri dirasakan hilang timbul. Nyeri juga
dirasakan mengganggu aktivitas, tidur, dan makan. OSI pernah dikonsul APS dan
memperoleh terapi PCT 4x500 mg post operasi rhinotomi lateral pada bulan
September 2012 di RSWS. Saat ini OSI datang lagi dengan konsul nyeri dan
direncanakan untuk radioterapi. Sekarang pasien belum mendapatkan terapi nyeri.
Pemeriksaan Fisis :
- Keadaan umum : sakit sedang/ gizi cukup/composmentis
- BB: 55 kg TB: 163 cm BMI: 20,67 kg/m2
- Tanda vital : Tekanan darah : 130/70 mmHg
Nadi : 100 x/menit
3
Pernapasan : 24 x/menit
Suhu tubuh : 36,50C
VAS : 8/10
- Kepala : tampak benjolan di hidung kiri dan kantus medialis kiri
permukaan tidak rata.
rambut : hitam, sulit dicabut
- Leher : KGB : tidak ada pembesaran
- Paru
Inspeksi : simetris kiri = kanan
Palpasi : Nyeri tekan (-)
Perkusi : Sonor kiri=kanan
Auskultasi : bunyi pernapasan : vesikular
Bunyi tambahan : Rh - / - Wh -/-
- Jantung
Inspeksi : IC tidak nampak
Palpasi : IC tidak teraba
Perkusi : pekak (+)
auskultasi : BJ I / II murni, regular
- Abdomen
Inspeksi : datar, ikut gerak napas
Auskultasi : peristaltik (+), kesan normal
Palpasi : MT (-) NT (-), hepar / limpa tidak teraba
Perkusi : timpani (+)
- Ekstremitas : edema - / -
Kesimpulan: Pasien dengan severe pain step ladder III WHO
ASSESMENT & PLAN
4
Pasien ini mengeluh nyeri hidung sebelah kiri yang menjalar ke kepala,
rasa tertusuk-tusuk, hilang timbul, mengganggu aktivitas, tidur, dan makan. Dari
Visual analog scale (VAS) didapati skala nyeri yang dirasakan pasien bernilai
8/10 maka diberikan terapi :
R/ Dynastat 40 mg/ 12 jam/ iv dan Duragesic patch 25 mcg
Follow up Bagian Anestesi
Tanggal Perjalanan penyakit Instruksi dokter
14/11/2012
Jam 14.13
KU :sedang
TD : 130/70 mmHg
N : 100x/m
P : 24 x/m
S : 36,50C
VAS 8/10
Pasien kategori severe pain
step ladder III WHO
R/
Dynastat 40 mg/ 12 jam/ iv
Duragesic patch 25 mcg
15/11/2012 KU : Baik
TD : 130/80 mmHg
N : 88x/m
P : 16 x/m
S : 36,60C
VAS : 2/10
R/
Dynastat 40 mg/ 12 jam/ iv
Duragesic patch 25 mcg
16/11/2012 KU : Baik
TD : 120/60 mmHg
N : 76x/m
P : 18 x/m
S : 36,60C
VAS : 2/10
R/
Dynastat 40 mg/ 12 jam/ iv
Duragesic patch 25 mcg
17/11/2012 KU : Baik
Keluhan : Nyeri kepala (+)
TD : 130/80 mmHg
N : 88x/m
P : 16 x/m
S : 36,70C
R/
Dynastat 40 mg/ 12 jam/ iv
Duragesic patch 25 mcg
5
VAS : 2/10
18/11/2012 KU : Baik
TD : 120/80 mmHg
N : 80 x/m
P : 20 x/m
S : 36,50C
VAS : 3/10
R/
Dynastat 40 mg/ 12 jam/ iv
Duragesic patch 25 mcg
19/11/2012 KU : Baik
TD : 130/80 mmHg
N : 100 x/m
P : 18 x/m
S : 370C
VAS : 3/10
R/
Dynastat 40 mg/ 12 jam/ iv
Duragesic patch 25 mcg
Resume:
Seorang pasien pria, 63 tahun dikonsul dari bagian THT-KL dengan keluhan nyeri
pada hidung sebelah kiri menyebar ke kepala dialami sejak ± 2 minggu yang lalu,
terasa ditusuk-tusuk. Nyeri dirasakan hilang timbul. Nyeri juga dirasakan
mengganggu aktivitas, tidur, dan makan. OSI pernah dikonsul APS dan
memperoleh terapi PCT 4x500 mg post operasi rhinotomi lateral pada bulan
September 2012 di RSWS. Saat ini OSI datang lagi dengan konsul nyeri dan
direncanakan untuk radioterapi. Sekarang pasien belum mendapatkan terapi nyeri.
Dari pemeriksaan fisis didapatkan pasien sakit sedang, gizi cukup, composmentis.
Dari inspeksi pada kepala tampak benjolan di hidung kiri dan kantus medialis kiri
dengan permukaan tidak rata. Dari pemeriksaan fisis pada leher, paru, jantung,
abdomen dan ekstermitas tidak ditemukan kelainan. Hasil laboratorium
menunjukkan leukositosis (WBC=20.060 /uL), peningkatan enzim transaminase
(SGOT=110 u/L, SGPT=279 u/L), hiperglikemia (GDS=152 mg/dl), dan
hiponatremi (Na=123 mmol/l).
DISKUSI
6
A. PENDAHULUAN
Tumor hidung dan sinus paranasal atau disebut juga tumor sinonasal pada
umumnya jarang ditemukan, baik yang jinak maupun ganas. Di Indonesia dan di
luar negeri, kekerapan jenis yang ganas hanya sekitar 1% dari keganasan seluruh
tubuh atau 3% dari seluruh keganasan di kepala dan leher. Insiden tertinggi
keganasan sinonasal ditemukan di Jepang yaitu 2 sampai 3,6% per 100.000
penduduk per tahun. Di departemen THT FKUI RS Cipto Mangunkusumo,
keganasan ini ditemukan pada 10-15% dari seluruh tumor ganas THT. Laki-laki
ditemukan lebih banyak dibanding wanita dengan rasio 2:1. 1
Area sinonasal merupakan rongga yang dibatasi oleh tulang-tulang wajah
yang merupakan daerah terlindungi sehingga tumor yang timbul di daerah ini sulit
diketahui secara dini, akibatnya biasanya pasien berobat dalam keadaan penyakit
telah lanjut dan tumor sudah memenuhi rongga hidung dan seluruh sinus. 1
Sekitar 70% penderita kanker dalam perjalanan penyakitnya mengalami
nyeri. Nyeri dapat berasal langsung dari kelainan onkologis dan juga dapat akibat
terapi yang diberikan terhadap penyakit. Penanganan nyeri kanker telah sampai
pada titik dimana penanganan nyeri yang efektif dianggap merupakan hak asasi
manusia dan penanganan nyeri yang tidak adekuat dianggap tidak etis.2
B. DEFINISI DAN KLASIFIKASI NYERI
IASP (International Association for The Study of Pain) mendefinisikan
nyeri sebagai suatu pengalaman sensorik dan emosional yang tidak
menyenangkan akibat kerusakan jaringan, baik aktual maupun potensial, atau
yang digambarkan dalam bentuk kerusakan tersebut.3,4 Definisi ini menunjukkan
terjadinya nyeri tidak lepas dari unsur subjektivitas, emosi, dan psikologis,
sehingga respon setiap orang terhadap nyeri sangat bervariasi.3
Nyeri berdasarkan patofisiologinya diklasifikasikan menjadi nyeri nosiseptif
dan nyeri neuropati, dan berdasarkan perlangsungannya diklasifikasikan atas nyeri
akut dan nyeri kronik. Ada pula yang membagi nyeri berdasarkan etiologinya
7
seperti nyeri post operasi dan nyeri kanker. Klasifikasi ini dibuat untuk
memudahkan klinisi dalam menentukan modalitas terapi yang akan digunakan.3
Nyeri nosiseptif adalah nyeri yang terjadi akibat aktivasi nosiseptor perifer,
khususnya reseptor yang berperan dalam transduksi stimulus noxius. Nyeri
neuropati adalah akibat adanya abnormalitas atau trauma pada sistem saraf baik
sentral maupun perifer. 3
C. MEKANISME NYERI
Proses nyeri adalah suatu seri kejadian elektrik dan kimia yang dimulai
saat aktivasi nosiseptor oleh stimulus noxious (nyeri) sampai terjadinya
pengalaman subjektif nyeri. Selama proses tersebut terdapat 4 proses. 4,5,6
1. Transduksi: aktivasi reseptor. Pada proses ini, stimulus noxious diubah
menjadi potensial aksi. Fungsi nosiseptor adalah sebagai transduser yang
merubah energi mekanik, termal, atau kimia menjadi sinyal elektrik yang
kemudian ditransmisikan ke medulla spinalis melalui serabut saraf aferen
primer.
2. Transmisi: potensial aksi ditransmisikan menuju neuron susunan saraf
pusat yang berhubungan dengan nyeri. Impuls ini akan dibawa oleh
serabut saraf A Delta (mechanothermal receptor) dan serabut C (C-
polymodal nociceptor) sebagai neuron pertama yang membawa impuls
nyeri dari perifer menuju kornu dorsalis medula spinalis. Pada kornu
dorsalis ini, neuron pertama tersebut akan menyilang garis tengah dan naik
melalui traktus spinotalamikus kontralateral menuju talamus, yang disebut
sebagai neuron kedua. Pada neuron kedua inilah terjadi sensitisasi sentral.
Neuron kedua ini kembali bersinaps di talamus dengan neuron ketiga yang
memproyeksikan stimulus nyeri melalui kapsula interna dan korona
radiata menuju girus postcentralis korteks serebri.
3. Modulasi: proses modifikasi terhadap rangsang dan merupakan bagian
yang penting dari nyeri. Modifikasi ini dapat terjadi pada sepanjang titik
dari sejak transmisi pertama sampai ke korteks serebri, tetapi yang paling
banyak diketahui adalah pada kornu dorsalis. Modulasi pada tingkat spinal
8
melibatkan sistem opioid endogen, inhibisi segmental, keseimbangan
antara input nosiseptif dan input aferen lainnya serta descending contol
mechanism.
Opioid endogen memberi efek analgesia melalui inhibisi presinaps dari
injury evoked neurotransmitter release dari neuron nosiseptif aferen
primer. Opioid endogen juga menyebabkan inhibisi postsinaps neuron
nociresponsif kornu dorsalis. Transmisi input nosiseptif pada medulla
spinalis dapat dihambat oleh aktivitas segmental dan aktivitas neuron
descenden dari pusat supra spinal. GABA dan glisin berperan penting pada
inhibisi segmental nyeri di medulla spinalis. GABA memodulasi transmisi
aferen informasi nosiseptif melalui mekanisme presinaps dan postsinaps.
Konsentrasi terbesar GABA adalah pada kornu dorsalis dimana disini
merupakan neurotransmitter inhibisi utama. Mekanisme modulasi
informasi nosiseptif oleh glisin di kornu dorsalis adalah melalui inhibisi
postsinaps.
Keseimbangan antara input nosiseptif dan input aferen lainnya dikenal
dengan istilah gate contol theory. Berdasarkan teori ini, aktivitas neuron
di medulla spinalis yang menerima input dari serabut nosiseptif dapat
dimodifikasi oleh input neuro aferen non-nosiseptif. Aktivitas pada serabut
Aβ menghambat respons neuron kornu dorsalis dari serabut Aδ dan
serabut C.
Kontrol nyeri supraspinal melalui dua jalur yang berasal dari midbrain
(periaqueductal gray matter dan locus ceruleus) dan medulla oblongata
(nucleus raphe magnus dan nucleus reticularis giganto cellularis). Sistem
modulasi nyeri ini menuju medulla spinalis melalui funikulus dorsolateral.
Neuron-neuron di rostroventral medulla oblongata membuat koneksi
inhibisi pada kornu dorsalis lamina I, II, dan V, sehingga stimulasi neuron
di rostroventral medulla oblongata akan menghambat neuron-neuron
traktus spinothalamikus di kornu dorsalis yang memberikan respon
stimulus noxius. Serabut desenden lain yang berasal dari medulla
oblongata dan pons juga berakhir pada kornu dorsalis superfisial dan
9
menekan aktivitas nosiseptif neuron kornu dorsalis. Neurotransmitter
utama yang berperan pada descending pain control ini adalah serotonin (5-
hydroxytryptamine, 5-HT) dan norepinefrin (noradrenalin). Neuron-
neuron serotoninergik dan noradrenergik turun melalui funikulus
dorsolateral dari batang otak menuju medulla spinalis dan berakhir pada
kornu dorsalis, dan sangat berperanan pada modulasi nyeri. Stimulasi
elektrik pada daerah periaqueductal dan nucleus raphe magnus akan
mengakibatkan analgesia melalui pelepasan serotonin dan norepinefrin
endogen.
4. Persepsi: pesan nyeri di relay menuju ke otak dan menghasilkan
pengalaman yang tidak menyenangkan. Serabut aferen nosiseptik tingkat
dua mempunyai badan sel yang terletak di dalam kornu dorsal medula
spinalis yang memproyeksikan akson ke pusat-pusat di SSP yang
bertanggung jawab untuk pengolahan informasi nosiseptik. Traktus
spinotalamik juga mengirim cabang-cabang kolateral ke formasio
retikularis. Impuls yang dihantarkan melalui traktus ini bertanggung jawab
untuk diskriminasi atau pembedaan sensasi nyeri dan respon-respon
emosional yang menyertainya. Formasio retikularis kemungkinan
bertanggung-jawab untuk peningkatan bangkitan atau depolarisasi dan
peningkatan aspek komponen emosional-afektif pada nyeri serta
peningkatan refleks motorik somatik dan refleks motorik otonom. 7
D. PATOFISIOLOGI NYERI PADA KANKER
Tiga faktor utama yang berperan pada patogenesis nyeri pada penderita
kanker ialah mekanisme nosiseptif, mekanisme neuropati, dan proses psikologis.
Pada pasien dengan kanker kepala leher nyeri nosisepsi terjadi akibat
keterlibatan tulang, otot, dan jaringan subkutan. Nyeri neuropati terjadi akibat
invasi langsung tumor ke saraf kranial, atau lesi tumor menyebabkan kompresi
saraf atau polineuropati perifer sebagai efek samping kemoterapi.8
Menurut Woodforde dan Fielding, penderita-penderita kanker dengan
nyeri ini juga mengalami reaksi emosional, kecemasan (anxietas), depresi,
10
hipokhondria serta neurosis yang lebih menonjol dari pada kasus-kasus bukan
keganasan.6 Dinyatakannya pula bahwa penderita-penderita tersebut memberikan
respons yang kurang baik terhadap pengobatan nyeri. Bond menemukan bahwa
tingkat hipokhondria ini lebih tampak pada penderita kanker dengan keluhan nyeri
dari pada tanpa nyeri. Tetapi keadaan ini segera berubah apabila keluhan nyeri
tersebut bisa diatasi dengan tindakan.9
E. PENILAIAN NYERI
Penilaian nyeri dimulai dengan melakukan anamnesis terkait nyeri, meliputi
onset dan durasi nyeri, apakah nyeri menetap atau hilang timbul, derajat
keparahan nyeri, pengaruh nyeri terhadap aktivitas harian (selera makan, tidur,
rutinitas harian), interkasi sosial (lebih mudah tersinggung), mood (sering
menangis, marah, atau berupaya bunuh diri), dan riwayat pengobatan yang pernah
diperoleh untuk mengatasi nyeri tersebut. Penting pula untuk ditanyakan adakah
faktor tertentu yang memperbert rasa nyeri yang diderita pasien atau faktor apa
yang meringankan nyeri, apakah pasien menderita keluhan lainnya di samping
nyeri seperti mual, muntah, konstipasi, gatal, kelemahan, atau sulit tidur.3,4
Penilaian terhadap nyeri juga dilanjutkan dengan pemeriksaan fisik, perlu
diperhatikan ada tidaknya keterlibatan tulang seperti deformitas tulang, apakah
terjadi pembengkakan sendi, hambatan gerakan dan perubahan tonus otot, apakah
menimbulkan gangguan fungsi saraf, serta penilaian terhadap keterlibatan organ
viscera. Penilaian pada kulit juga penting untuk mengetahui ada tidaknya
abnormalitas sistem saraf simpatis berupa perubahan suhu, hilangnya rambut pada
daerah kulit tertentu, perubahan vaskular dan diskolorisasi, serta ada tidaknya
gangguan sensoris.10
Penilaian aspek psikologis menjadi sangat penting terutama pada kasus
nyeri kronik atau nyeri kanker, karena nyeri yang berlangsung lama dapat
menimbulkan frustasi dan kemarahan. Seorang ahli psikologis perlu melakukan
eksplorasi terhadap kondisi emosional pasien-pasien dengan nyeri terutama nyeri
kronik. 10
11
Pengukuran derajat nyeri secara kuantitatif dapat membantu menentukan
intervensi terapeutik dan mengevaluasi keberhasilan terapi yang diberikan. Untuk
itu, berbagai teknik pengukuran derajat nyeri telah dikembangkan. Numerical
rating scale, verbal rating scale, visual analog scale (VAS), dan faces rating scale
adalah skala yang paling sering digunakan untuk membantu menentukan derajat
nyeri.3
Numerical Rating Scale (NRS)
Ini merupakan cara pengukuran yang sederhana dan paling sering digunakan
untuk mengevaluasi nyeri. Terdapat skala 0-10, dimana angka 0 menunjukkan
tidak ada nyeri dan angka 10 menunjukkan nyeri yang hebat. Keuntungan
menggunakan skala ini karena mudah dimengerti oleh pasien karena pasien hanya
memillih nilai untuk menunjukkan nyerinya.4
Verbal Rating Scale (VRS)
Pasien ditanyakan tentang derajat nyeri yang dirasakan berdasarkan skala
lima poin ; tidak nyeri, nyeri ringan, sedang, berat dan sangat berat. 4
Visual Analog Scale (VAS)
VAS merupakan skala dengan garis lurus 10 cm, dimana awal garis diberi 0
sebagai penanda tidak ada nyeri dan akhir garis 100 menandakan nyeri hebat.
Pasien diminta untuk membuat tanda digaris tersebut untuk mengekspresikan
nyeri yang dirasakan. Penggunaan skala VAS lebih gampang, efisien dan lebih
mudah dipahami oleh penderita dibandingkan dengan skala lainnya. Penggunaan
VAS telah direkomendasikan oleh Coll dkk karena selain telah digunakan secara
luas, VAS juga secara metodologis kualitasnya lebih baik, dimana juga
penggunaannya relatif mudah, hanya dengan menggunakan beberapa kata
sehingga kosa kata tidak menjadi permasalahan. Pengukuran dengan VAS pada
nilai di bawah 4 dikatakan sebagai nyeri ringan, nilai 4-7 dinyatakan sebagai nyeri
sedang, dan nilai di atas 7 dianggap sebagai nyeri hebat. 4
12
Wong-Baker Faces Pain Rating Scale
Wong-Baker Faces Pain Rating Scale adalah modifikasi VAS yang
digunakan untuk anak atau orang dewasa dengan gangguan kognitif,
menggantikan angka dengan kontinum wajah tersenyum sampai menangis.11
Gambar 1. Wong-Baker Faces Pain Rating Scale.
Pada gambar di atas, tampak wajah 0 tersenyum karena tidak merasakan
nyeri. Wajah 1 sampai 5 memperlihatkan peningkatan intensitas nyeri (sedikit
sampai yang paling parah) dengan ekspresi yang semakin sedih.11
F. MANAJEMEN NYERI
Penatalaksanaan nyeri menurut WHO terdiri dari Three Step ladder
berikut:2,12
Step I: Penderita dengan nyeri kanker ringan sampai sedang harus diobati
dengan analgesik nonopioid, yang harus dikombinasikan dengan obat-
obat tambahan jika ada indikasi. Pada step ini dapat digunakan golongan
NSAID (Non-Steroid Anti Inflamatory Drugs). Golongan obat ini
menghambat enzim cyclooxygenase sehingga konversi asam arachidonat
menjadi prostaglandin terinhibisi. Prostaglandin memediasi sejumlah
besar proses di tubuh termasuk inflamasi, nyeri, sekresi pelindung lapisan
lambung, mempertahankan perfusi renal dan agregasi platelet. Enzim
cyclooxygenase terdapat dalam 2 isoform yang disebut COX-1 dan COX-
2.
13
Gambar 2. Jalur COX 1 dan COX 2
Step II: Penderita yang relatif tidak toleran dan menderita nyeri sedang sampai
berat, atau yang gagal mendapatkan perbaikan setelah percobaan dengan
analgesik nonopioid harus diobati dengan opioid konvensional yang
digunakan untuk nyeri sedang (opioid lemah). Yang termasuk dalam
golongan ini adalah kodein, hidrokodon, dihidrokodein, profoksifen.
Obat-obatan ini umumnya dikombinasikan dengan nonopioid dan bisa
diberikan bersama-sama dengan analgesik adjuvan.
Step III: Penderita yang menderita nyeri berat, atau gagal mendapatkan perbaikan
yang adekuat setelah pemberian obat pada tangga kedua, harus menerima
opioid konvensional yang digunakan untuk nyeri berat (opioid kuat).
Obat golongan ini terdiri atas2,8:
1. Opioid kerja lama, seperti fentanyl transdermal atau metadon yang
dapat menangani hampir semua keluhan nyeri. Opioid kerja lama
memiliki waktu paruh sekitar 12 jam, sehingga penderita
mendapatkan obat ini dua kali setiap harinya.
2. Opioid kerja cepat, seperti hidromorfon, atau tablet fentanyl
transmukosal yang digunakan untuk mengatasi nyeri insidental atau
breaktrough pain. Kebanyakan opioid kerja cepat memiliki waktu
14
paruh 3-4 jam dan pada preparat oral kadar maximal dicapai dalam 60
menit, 30 menit melalui jalur subkutan dan 15 menit melalui intavena.
Obat-obatan golongan opioid ini dapat memberikan kesembuhan pada
70-90% penderita.
Gambar 3. Step Ladder WHO
15
Gambar 4. Lokasi Kerja Analgetik
WHO menganjurkan pemakaian obat nyeri kanker adalah sebagai berikut13:
1. Obat diberikan secara oral
2. Tepat waktu. Harus dimakan sesuai jadwal, bila sedang tidur
dibangunkan untuk minum obat anti nyeri
3. Sesuai dengan pedoman step ladder WHO
4. Individual, pengobatan nyeri sama dengan pengobatan lain, setiap
pasien memberikan respon yang mungkin tidak sama, sehingga
perlakuannya bersifat individual.
5. Penuh perhatian terhadap hal-hal kecil
Pada pasien ini diberikan dysnatat intravena dan fentanyl transdermal.
Dysnatat (parecoxib) merupakan obat yang termasuk dalam golongan NSAID
yang bekerja selektif terhadap COX 2. Cyclooxygenase (COX) adalah suatu enzim
16
yang mengkatalis sintesis prostaglandin dari asam arachidonat. Prostaglandin
memediasi sejumlah besar proses di tubuh termasuk inflamasi, nyeri, sekresi
pelindung lapisan lambung, mempertahankan perfusi renal dan agregasi platelet.
Pemilihan golongan NSAID yang bekerja pada COX 2 dimaksudkan untuk
mengurangi efek samping yang lebih besar jika dibandingkan pemberian NSAID
non-selektif karena dapat mempengaruhi barier mukosa lambung dan agregesi
platelet. Parecoxib merupakan inhibitor COX 2 spesifik yang hanya tersedia
dalam sediaan parenteral.14,15
Fentanyl yang merupakan golongan opiod sintetik dari kelompok
fenilpiperidin. Fentanyl merupakan opioid sintetik yang agonis selektif yang
bekerja terutama pada reseptor µ dengan sedikit berpengaruh pada reseptor δ dan
κ. Fentanyl merupakan opioid yang poten, mempunyai potensi analgesia 100-300
kali efek morfin. Bersifat lipofilik yang memungkinkan masuk ke struktur
susunan saraf pusat dengan cepat. Fentanyl transdermal melepaskan fentanyl
perlahan ke subkutis dan selanjutnya ke aliran darah. Nyeri mulai reda setelah 8-
12 jam dari pemasangan fentanyl patch dan perlu diganti setelah 72 jam.2,16
Pada pasien ini diberikan terapi analgesia multimodal yakni menggunakan
dua atau lebih obat analgetik yang memiliki mekanisme kerja yang berbeda untuk
mencapai efek analgetik yang maksimal tanpa dijumpainya peningkatan efek
samping dibandingkan dengan peningkatan dosis pada satu obat saja. Dynastat
yang merupakan golongan NSAID yang menghambat cyclooxygenase (COX) dan
selektif terhadap COX-2 sedangkan fentanyl merupakan salah satu opiod
kuat.14,15,16
G. KESIMPULAN
Nyeri merupakan masalah yang sering berdampingan dengan penyakit
kanker. Pemahaman mengenai mekanisme nyeri dan penilaian nyeri yang tepat
merupakan kunci keberhasilan pengobatan. Keluhan pasien merupakan arti sangat
penting dalam pengobatan nyeri, keluhan ini harus diuraikan dengan jelas.
Penanggulangan nyeri kanker merupakan bagian dari pengobatan kanker dan
sangat berpengaruh terhadap kualitas hidup pasien. Penanggulangan nyeri kanker
17
harus secara interdispiliner. Untuk mencapai bebas nyeri diperlukan pengkajian
yang tepat, komprehensif dan berkesinambungan.
Untuk memudahkan pengobatan nyeri, WHO membuat suatu pedoman
penilaian nyeri yang sangat dikenal dan dipakai hampir di seluruh dunia, yaitu
Step ladder WHO. Berdasarkan pedoman ini akan lebih mudah untuk
menatalaksana nyeri kanker.
DAFTAR PUSTAKA
18
1. Roezin A, Armiyanto. Tumor Hidung dan Sinonasal. Dalam: Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD, eds. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorokan Kepala & Leher Edisi Keenam. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2009; h. 178-81.
2. Myers J, Shetty N. Going beyond efficacy: strategies for cancer pain management. Current oncology. 2008; 15(1): 41-9.
3. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ, eds. Clinical Anesthesiology 4th Edition. New York: Blackwell Science; 2009.
4. Setiyohadi B, Sumariyono, Kasjmir YI, Isbagio H, Kalim H. Nyeri. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simanibrata M, Setiati S, eds. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi IV. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2006; h.1166-1173.
5. Giordano J. The Neuroscience of pain and analgesia. In Boswell MV, Cole BE, editors. Weiner's pain management a pratical guide for clinicians. 7th ed. New York: Taylor & Francis; 2006. p. 15-20.
6. Gottschalk A, Smith DS. American family physician. [Online].; 2001 [cited 2012 August. Available from: http://www.aafp.org.
7. Davis LE, King MK, Schultz JE. Disorders of Pain and Headache. In: Fundamentals of Neurologic Disease. New York: Demos Medical Publishing; 2005. p. 201-2.
8. Gubbels SP, Andersen PE. Head and Neck Cancers. In: Sibell, David M.; Kirsch, Jeffrey R, eds. 5 Minute Pain Management Consult, The , 1st Edition.New York: Lippincott Williams & Wilkins. 2007.
9. Susworo. Cermin dunia kedokteran. [Online]. [cited 2012 August. Available from URL : http://www.kalbe.co.id.
10. Gwinnutt CL, ed. Lecture Notes Clinical Anaesthesia Second Edition. Massachusetts: Blackwell Science Ltd. 2004. p. 139-50
11. David N. Wong Baker Faces Pain Rating Scale Permission Form. UK: Elsevier Ltd. 2005. [cited: November 2012]. Available from URL: http://www.us.elsevierhealth.com/media/us/US-promofiles/d/Wong%20Baker%20FACES%20Permissions%20Form.pdf
12. Worgo BW, Burton AW. Cancer pain. In wallace MS, Staats PS. Pain Medicine and management. New York: McGraw Hill; 2005. p. 183-189.
19
13. Harsal A. Penanggulangan Nyeri pada Kanker. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simanibrata M, Setiati S, eds. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi IV. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2006; h.885-7
14. Wilmana PF, Gan S. Analgesik-antipiretik analgesik anti-inflamasi
nonsteroid dan obat gangguan sendi lainnya. Dalam: Farmakologi dan Terapi Edisi kelima. Jakarta: Balai penerbit FKUI; 2007.
15. Portenoy RK. Three Step Analgesic Ladder for management of cancer pain. 2006.
16. Dewoto HR. Analgesik opiod dan antagonis. Dalam: Farmakologi dan Terapi Edisi Kelima. Jakarta: Balai penerbit FKUI; 2006.
20