lp ca sinonasal (dahlia 5).docx

27
ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN NY.”S” DENGAN CA SINONASAL DEKSTRA DI RUANG DAHLIA 5 RSUP. DR. SARDJTO YOGYAKARTA Disusun Oleh : FITRIA DAMASTUTY 2220111953 AKADEMI KEPERAWATAN NOTOKUSUMO YOGYAKARTA 2014

Upload: desy-ambar-sari

Post on 27-Dec-2015

130 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

untuk memenuhi askep kmb iv

TRANSCRIPT

ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN NY.”S” DENGAN CA SINONASAL DEKSTRA

DI RUANG DAHLIA 5RSUP. DR. SARDJTO

YOGYAKARTA

Disusun Oleh :

FITRIA DAMASTUTY2220111953

AKADEMI KEPERAWATAN NOTOKUSUMOYOGYAKARTA

2014

LEMBAR PENGESAHAN

Asuhan keperawatan pada klien Ny.”S” dengan Ca Sinonasal Dekstra

Di Ruang Dahlia 5 RSUP. Dr. Sardjto Yogyakarta, disusun untuk memenuhi tugas individu

PKK Keperawatan Medikal Bedah IV yang disahkan pada:

Hari :

Tanggal :

Tempat :

Praktikan

( Fitria Damastuty )

Mengetahui,

Pembimbing Lahan Pembimbing Akademik

( ) ( Siti Aminah, APP, SPd )

LAPORAN PENDAHULUAN

CA SINONASAL

A. Pengertian Tumor Ganas Sinonasal

Karsinoma sinonasal Pertumbuhan jaringan abnormal di sinus paranasal dan

jaringansekitar hidung . Tumor ganas sinonasal merupakan penyebab kesakitan dan

kematian di bidang otorinolaringologi di seluruh dunia. Kebanyakan tumor ini

berkembang dari sinus maksilaris dan tipe histologi yang paling sering ditemukan adalah

karsinoma selskuamosa (Fasunla dan Lasisi, 2007; Luce et al, 2002). Tumor rongga

hidung adalah pertumbuhan ke arah ganas yang mengenai hidung dan lesi yang

menyerupai tumor pada rongga hidung, termasuk kulit dari hidung dan vestibulum nasi.

B. Anatomi Fisiologi

1. Anatomi Hidung

a. Embriologi hidung

Perkembangan rongga hidung secara embriologi yang mendasari

pembentukan anatomi sinonasal dapat dibagi menjadi dua proses. Pertama,

embrional bagian kepala berkembang membentuk dua bagian rongga hidung yang

berbeda ; kedua adalah bagian dinding lateral hidung yang kemudian

berinvaginasi menjadi kompleks padat, yang dikenal dengan konka (turbinate),

dan membentuk ronga-rongga yang disebut sebagai sinus. (Walsh WE, 2002).

Sejak kehamilan berusia empat hingga delapan minggu , perkembangan

embrional anatomi hidung mulai terbentuk dengan terbentuknya rongga hidung

sebagai bagian yang terpisah yaitu daerah frontonasal dan bagian pertautan

prosesus maksilaris. Daerah frontonasal nantinya akan berkembang hingga ke otak

bagian depan, mendukung pembentukan olfaktori. Bagian medial dan lateral

akhirnya akan menjadi nares (lubang hidung). Septum nasal berasal dari

pertumbuhan garis tengah posterior frontonasal dan perluasan garis tengah

mesoderm yang berasal dari daerah maksilaris.(Walsh WE, 2002).

b. Anatomi hidung luar

Hidung terdiri atas hidung luar dan hidung bagian dalam. Hidung bagian

luar menonjol pada garis tengah di antara pipi dan bibir atas ; struktur hidung luar

dibedakan atas tiga bagian : yang paling atas : kubah tulang yang tak dapat

digerakkan; di bawahnya terdapat kubah kartilago yang sedikit dapat digerakkan ;

dan yang paling bawah adalah lobulus hidung yang mudah digerakkan. Bentuk

hidung luar seperti piramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke bawah : 1)

pangkal hidung (bridge), 2) batang hidung (dorsum nasi), 3) puncak hidung

(hip),4) ala nasi,5) kolumela, dan 6) lubang hidung (nares anterior). Hidung luar

dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh kulit, jaringan

ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau menyempitkan

lubang hidung. Kerangka tulang terdiri dari : 1) tulang hidung (os nasal) , 2)

prosesus frontalis os maksila dan 3) prosesus nasalis os frontal ; sedangkan

kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan yang terletak di

bagian bawah hidung, yaitu 1) sepasang kartilago nasalis lateralis superior, 2)

sepasang kartilago nasalis lateralis inferior yang disebut juga sebagai kartilago ala

mayor dan 3) tepi anterior kartilago septum. (Soetjipto D & Wardani RS,2007).

c. Anatomi hidung dalam

Bahagian hidung dalam terdiri atas struktur yang membentang dari

os.internum di sebelah anterior hingga koana di posterior, yang memisahkan

rongga hidung dari nasofaring. Kavum nasi dibagi oleh septum, dinding lateral

terdapat konka superior, konka media, dan konka inferior. Celah antara konka

inferior dengan dasar hidung dinamakan meatus inferior, berikutnya celah antara

konka media dan inferior disebut meatus media dan sebelah atas konka media

disebut meatus superior. (Ballenger JJ,1994 ; Dhingra PL, 2007; Hilger PA,1997).

Gambar Anatomi Hidung Dalam

1) Septum nasi

Septum membagi kavum nasi menjadi dua ruang kanan dan kiri. Bagian

posterior dibentuk oleh lamina perpendikularis os etmoid, bagian anterior oleh

kartilago septum (kuadrilateral) , premaksila dan kolumela membranosa; bagian

posterior dan inferior oleh os vomer, krista maksila , Krista palatine serta krista

sfenoid. (Ballenger JJ,1994 ; Dhingra PL, 2007).

2) Kavum nasi

Kavum nasi terdiri dari:

a) Dasar hidung

Dasar hidung dibentuk oleh prosesus palatine os maksila dan prosesus

horizontal os palatum. . (Ballenger JJ,1994).

b) Atap hidung

Atap hidung terdiri dari kartilago lateralis superior dan inferior, os nasal,

prosesus frontalis os maksila, korpus os etmoid, dan korpus os sphenoid.

Sebagian besar atap hidung dibentuk oleh lamina kribrosa yang dilalui

oleh filament-filamen n.olfaktorius yang berasal dari permukaan bawah

bulbus olfaktorius berjalan menuju bagian teratas septum nasi dan

permukaan kranial konka superior. . (Ballenger JJ,1994).

c) Dinding Lateral

Dinding lateral dibentuk oleh permukaan dalam prosesus frontalis os

maksila, os lakrimalis, konka superior dan konka media yang merupakan

bagian dari os etmoid, konka inferior, lamina perpendikularis os platinum

dan lamina pterigoideus medial. . (Ballenger JJ,1994).

d) Konka

Fosa nasalis dibagi menjadi tiga meatus oleh tiga buah konka ; celah

antara konka inferior dengan dasar hidung disebut meatus inferior ; celah

antara konka media dan inferior disebut meatus media, dan di sebelah

atas konka media disebut meatus superior. Kadang-kadang didapatkan

konka keempat (konka suprema) yang teratas. Konka suprema, konka

superior, dan konka media berasal dari massa lateralis os etmoid,

sedangkan konka inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pada

maksila bagian superior dan palatum. (Ballenger JJ,1994).

3) Meatus superior

Meatus superior atau fisura etmoid merupakan suatu celah yang sempit

antara septum dan massa lateral os etmoid di atas konka media. Kelompok sel-sel

etmoid posterior bermuara di sentral meatus superior melalui satu atau beberapa

ostium yang besarnya bervariasi. Di atas belakang konka superior dan di depan

korpus os sfenoid terdapat resesus sfeno-etmoidal, tempat bermuaranya sinus

sfenoid. (Ballenger JJ,1994).

4) Meatus media

Merupakan salah satu celah yang penting yang merupakan celah yang lebih

luas dibandingkan dengan meatus superior. Di sini terdapat muara sinus maksila,

sinus frontal dan bahagian anterior sinus etmoid. Di balik bagian anterior konka

media yang letaknya menggantung, pada dinding lateral terdapat celah yang

berbentuk bulan sabit yang dikenal sebagai infundibulum. Ada suatu muara atau

fisura yang berbentuk bulan sabit yang menghubungkan meatus medius dengan

infundibulum yang dinamakan hiatus semilunaris. Dinding inferior dan medial

infundibulum membentuk tonjolan yang berbentuk seperti laci dan dikenal

sebagai prosesus unsinatus. Di atas infundibulum ada penonjolan hemisfer yaitu

bula etmoid yang dibentuk oleh salah satu sel etmoid. Ostium sinus frontal,

antrum maksila, dan sel-sel etmoid anterior biasanya bermuara di infundibulum.

Sinus frontal dan sel-sel etmoid anterior biasanya bermuara di bagian anterior

atas, dan sinus maksila bermuara di posterior muara sinus frontal. Adakalanya sel-

sel etmoid dan kadang-kadang duktus nasofrontal mempunyai ostium tersendiri di

depan infundibulum. (Ballenger JJ,1994 ; Dhingra PL, 2007)

5) Meatus Inferior

Meatus inferior adalah yang terbesar di antara ketiga meatus, mempunyai

muara duktus nasolakrimalis yang terdapat kira-kira antara 3 sampai 3,5 cm di

belakang batas posterior nostril. (Ballenger JJ,1994 ; Dhingra PL, 2007).

6) Nares

Nares posterior atau koana adalah pertemuan antara kavum nasi dengan

nasofaring, berbentuk oval dan terdapat di sebelah kanan dan kiri septum. Tiap

nares posterior bagian bawahnya dibentuk oleh lamina horisontalis palatum,

bagian dalam oleh os vomer, bagian atas oleh prosesus vaginalis os sfenoid dan

bagian luar oleh lamina pterigoideus. (Ballenger JJ,1994)

Di bahagian atap dan lateral dari rongga hidung terdapat sinus yang terdiri

atas sinus maksila, etmoid, frontalis dan sphenoid. Sinus maksilaris merupakan

sinus paranasal terbesar di antara lainnya, yang berbentuk piramid yang irregular

dengan dasarnya menghadap ke fossa nasalis dan puncaknya menghadap ke arah

apeks prosesus zygomatikus os maksilla. (Ballenger JJ,1994 ; Dhingra PL, 2007 ;

Hilger PA,1997).

Sinus paranasal adalah rongga-rongga di dalam tulang kepala yang berisi

udara yang berkembang dari dasar tengkorak hingga bagian prosesus alveolaris

dan bagian lateralnya berasal dari rongga hidung hingga bagian inferomedial dari

orbita dan zygomatikus. Sinus-sinus tersebut terbentuk oleh pseudostratified

columnar epithelium yang berhubungan melalui ostium dengan lapisan epitel dari

rongga hidung. Sel-sel epitelnya berisi sejumlah mukus yang menghasilkan sel-sel

goblet (Sobol SE, 2007).

7) Kompleks ostiomeatal (KOM)

Kompleks ostiomeatal (KOM) adalah bagian dari sinus etmoid anterior yang

berupa celah pada dinding lateral hidung. Pada potongan koronal sinus paranasal

gambaran KOM terlihat jelas yaitu suatu rongga di antara konka media dan lamina

papirasea. Struktur anatomi penting yang membentuk KOM adalah prosesus

unsinatus, infundibulum etmoid, hiatus semilunaris, bula etmoid, agger nasi dan

ressus frontal. (Nizar NW, 2000 ; Soetjipto D & Wardani RS,2007).

Serambi depan dari sinus maksila dibentuk oleh infundibulum karena sekret

yang keluar dari ostium sinus maksila akan dialirkan dulu ke celah sempit

infundibulum sebelum masuk ke rongga hidung. Sedangkan pada sinus frontal

sekret akan keluar melalui celah sempit resesus frontal yang disebut sebagai

serambi depan sinus frontal. Dari resesus frontal drainase sekret dapat langsung

menuju ke infundibulum etmoid atau ke dalam celah di antara prosesus unsinatus

dan konka media (Nizar NW, 2000).

2. Fisiologi Hidung

Berdasarkan teori struktural, teori revolusioner dan teori fungsional, maka fungsi

fisiologis hidung dan sinus paranasal adalah : 1) fungsi respirasi untuk mengatur

kondisi udara (air conditioning), penyaring udara, humidifikasi, penyeimbang dalam

pertukaran tekanan dan mekanisme imunologik lokal ; 2) fungsi penghidu, karena

terdapanya mukosa olfaktorius (penciuman) dan reservoir udara untuk menampung

stimulus penghidu ; 3) fungsi fonetik yang berguna untuk resonansi suara, membantu

proses berbicara dan mencegah hantaran suara sendiri melalui konduksi tulang ; 4)

fungsi statistik dan mekanik untuk meringankan beban kepala, proteksi terhadap

trauma dan pelindung panas; 5) refleks nasal. (Soetjipto D & Wardani RS,2007)

C. Etiologi

Etiologi tumor ganas sinonasal belum diketahui dengan pasti, tetapi diduga beberapa

zat kimia atau bahan industri merupakan penyebab antara lain nikel, debu kayu, kulit,

formaldehid, kromium, isopropyl oil dan lain-lain. Pekerja di bidang ini mendapat

kemungkinan terjadi keganasan sinonasal jauh lebih besar. Alkohol, asap rokok, makanan

yang diasin atau diasap diduga meningkatkan kemungkinan terjadi keganasan, sebaliknya

buah-buahan dan sayuran mengurangi kemungkinan terjadi keganasan (Roezin, 2007;

Myers, 1989; D’Errico, Pasian, Baratti, Zanelli, Alfonzo, Gilardi, 2009).

Paparan yang terjadi pada pekerja industri kayu, terutama debu kayu keras seperti

beech dan oak, merupakan faktor resiko utama yang telah diketahui untuk tumor ganas

sinonasal. Peningkatan resiko (5-50 kali) ini terjadi pada adenokarsinoma dan tumor

ganas yang berasal dari sinus. Efek paparan ini mulai timbul setelah 40 tahun atau lebih

sejak pertama kali terpapar dan menetap setelah penghentian paparan. Paparan terhadap

thorotrast, agen kontras radioaktif juga menjadi faktor resiko tambahan (Roezin, 2007;

Myers, 1989; Dhingra, 2007).

D. Patofisiologi

Berbagai jenis tipe tumor berbeda telah dijelaskan terdapat pada rahang atas. Jenis

histologis yang paling umum adalah karsinima sel skuamosa, mewakili sekitar 80%

kasus. Lokasi primer tidak selalu mudah untuk ditentukan dengan sejumlah sinus berbeda

yang secara umum terlibat seiring waktu munculnya pasien. Mayoritas (60%) tumor

tampaknya berasal dari antrum, 30% muncul dalam rongga hidung, dan sisa 10% muncul

dari etmoid. Tumor primer frontal dan sfenoid sangat jarang. Limfadenopati servikal

teraba muncul pada sekitar 15% pasien pada presentasi. Gambaran kecil ini disebabkan

drainase limfatik sinus paranasal ke nodus retrofaring dan dari sana ke rantai servikal

dalam bawah. Sebagai akibat nya, nodus yang terlibat diawal tidak mudah dipalpasi di

bagian leher manapun.

E. Manifestasi Klinis

Tumor nasal dan sinus paranasal dalam keadaan tertentu tidak memberikan gejala

yang tetap. Mungkin hanya berupa rasa penekanan atau nyeri, atau tidak dijumpai rasa

nyeri. Sumbatan nasal satu sisi dapat diduga suatu tumor sampai dapat dibuktikan dengan

pemeriksaan-pemeriksaan penunjang lain. Sekret dapat encer, serosanguinosa atau

purulen. Mungkin ditemukan parastesia, anestesia atau paralisis saraf-saraf otak. Nyeri

apabila dijumpai, lebih terasa di malam hari atau bila pasien berbaring. Mungkin pula

gejalanya menjalar ke gigi atas atau gigi palsu bagian atas terasa menjadi tidak pas lagi.

Dapat terjadi pembengkakan wajah sebelah atas seperti sisi batang nasal dan daerah

kantus medius, penonjolan daerah pipi, pembengkakan palatum durum, palatum mole,

tepi alveolar atau lipatan mukosa mulut dan epistaksis. Pada 9% hingga 12% pasien

sering asimtomatik sehingga diagnosis sering terlambat dan penyakit telah memasuki

stadium lanjut (Bailey, 2006; Ballenger, 1994).

Perubahan daerah orbita pada tumor sinus relatif sering ditemukan. Dapat pula

terdapat gangguan persarafan otot-otot eksterna bola mata. Isi rongga orbita dapat

terdorong ke berbagai arah dengan akibat timbulnya proptosis dan enoftalmus.

Penonjolan di belakang tepi infraorbital atau tepi supraorbital dapat teraba. Sumbatan

saluran lakrimalis dapat timbul. Trismus merupakan gejala yang mengganggu dan ini

merupakan pertanda perluasan penyakit ke arah daerah pterigoid. Perluasan ke arah

nasofaring dapat menimbulkan gejala sumbatan tuba Eustachius, seperti nyeri telinga,

tinnitus dan gangguan pendengaran (Ballenger, 1994).

Metastasis regional dan jauh sering tidak terjadi meskipun penyakit telah berada

dalam stadium lanjut. Insidensi metastasis servikal pada gejala awal bervariasi dari 1%

hingga 26%, dari kasus yang pernah dilaporkan yang terbanyak adalah kurang dari 10%.

Hanya 15% pasien dengan keganasan sinus paranasal berkembang menjadi metastasis

setelah pengobatan pada lokasi primer. Jumlah ini berkurang hingga 11% pada pasien

yang mendapat terapi radiasi pada leher (Bailey, 2006).

Gejala dini tidak khas, pada stadium lanjut tergantung asal tumor dan arah

perluasannya.

Gejala hidung:

1. Buntu hidung unilateral dan progresif.

2. Buntu bilateral bila terjadi pendesakan ke sisi lainnya.

3. Skret hidung bervariasi, purulen dan berbau bila ada infeksi.

4. Sekret yang tercampur darah atau adanya epistaksis menunjukkan kemungkinan

keganasan.

5. Rasa nyeri di sekitar hidung dapat diakibatkan oleh gangguan ventilasi sinus,

sedangkan rasa nyeri terus-menerus dan progresif umumnya akibat infiltrasi tumor

ganas.

Gejala lainnya dapat timbul bila sinus paranasal juga terserang tumor seperti:

1. Pembengkakan pipi

2. Pembengkakan palatum durum

3. Geraham atas goyah, maloklusi gigi

4. Gangguan mata bila tumor mendesak rongga orbita.

F. Pemeriksaan Penunjang

  Foto polos sinus paranasal kurang berfungsi dalam mendiagnosis dan menentukan

parluasan tumor kecuali pada tumor tulang seprti osteoma. Tetapi foto polos teetap

berfungsi sebagai diagnosis awal, terutama jika ada erosi tulang dan perselubungan padat

unilateral, harus dicurigai keganansan dan buatlah tomogram atau CT scan. CT scan

merupakan sarana terbaik karenalebihjelas memperlihatkan perluasan tumor dan destruksi

tulang. MRI atau magnetic resonance imaging dapat membedakan jaringan tumor dari

jaringan normaltetapi kurang begitu baik dalam memperlihatkan destruksi tulang.Foho

polos paru diperlukan untuk melihat adanya metastase tumor di paru.

G. Penatalaksanaan

1. Pembedahan

a. Drainage/Debridement

Drainage adekuat (seperti nasoantral window) seharusnya dibuka pada

pasien dengan sinusitis sekunder dan pada pasien yang mendapat terapi radiasi

sebagai pengobatan primer (Bailey, 2006).

b. Resection

Surgical resection selalu direkomendasikan dengan tujuan kuratif. Palliative

excision dipertimbangkan untuk mengurangi nyeri yang parah, untuk dekompresi

cepat dari struktur-struktur vital, atau untuk debulking lesi massif, atau untuk

membebaskan penderita dari rasa malu. Pembedahan merupakan penatalaksanaan

tunggal untuk tumor maligna traktus sinonasal dengan angka ketahanan hidup 5

tahun sebesar 19% hingga 86% (Bailey, 2006).

Dengan kemajuan-kemajuan terbaru dalam preoperative imaging,

intraoperative image-guidance system, endoscopic instrumentation dan material

untuk hemostasis, teknik sinonasal untuk mengangkat tumor nasal dan sinus

paranasal mungkin merupakan alternatif yang dapat dilakukan untuk traditional

open technique. Pendekatan endoskopik dapat dipakai untuk melihat tumor dalam

rongga nasal, etmoid, sfenoid, medial frontal dan sinus maksilaris medial. Frozen

section harus digunakan untuk melihat batas bebas tumor (Bailey, 2006; Zinreich,

2006; Nicolai et al, 2008; Lund et al, 2007; Poetker et al, 2005).

2. Rehabilitasi

Tujuan utama rehabilitasi post operasi adalah penyembuhan luka primer,

memelihara atau rekonstruksi bentuk wajah dan pemulihan oronasal yang terpisah

kemudian memperlancar proses bicara dan menelan. Rehabilitasi setelah reseksi

pembedahan dapat dicapai dengan dental prosthesis atau reconstructive flap seperti

flap otot temporalis dengan atau tanpa inklusi tulang kranial, pedicled atau

microvascular free myocutaneous dan cutaneous flap (Bailey, 2006).

3. Terapi Radiasi

Radiasi digunakan sebagai metode tunggal untuk membantu pembedahan atau

sebagai terapi paliatif. Radiasi post operasi dapat mengontrol secara lokal tetapi tidak

menyebabkan kelangsungan hidup spesifik atau absolut. Sel-sel tumor yang sedikit

dapat dibunuh, pinggir tumor non radiasi dapat dibatasi sepanjang pembedahan dan

penyembuhan luka post operasi lebih dapat diperkirakan (Bailey, 2006).

4. Kemoterapi

Peran kemoterapi untuk pengobatan tumor traktus sinonasal biasanya paliatif,

penggunaan efek cytoreductive untuk mengurangi rasa nyeri dan penyumbatan, atau

untuk mengecilkan lesi eksternal massif. Penggunaan cisplatin intrarterial dosis

tinggi dapat digunakan secara bersamaan dengan radiasi pada pasien dengan

karsinoma sinus paranasal. Angka ketahanan hidup 5 tahun sebesar 53%. Pasien yang

menunjukkan resiko pembedahan yang buruk dan yang menolak untuk dilakukan

operasi dipertimbangkan untuk mendapatkan kombinasi radiasi dan kemoterapi

(Bailey, 2006).

H. Diagnosa Keperawatan

Menurut Doenges tahun 2000:

1. Kecemasan b/d krisis situasi (keganasan), ancaman perubahan status kesehatan-sosial-

ekonomik, perubahan fungsi-peran, perubahan interaksi sosial, ancaman kematian,

perpisahan dari keluarga.

2. Gangguan harga diri b/d kelainan bentuk bagian tubuh akibat keganasan, efek-efek

radioterapi/kemoterapi.

3. Nyeri b/d kompresi/destruksi jaringan saraf dan proses inflamasi.

4. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d peningkatan status metabolik

akibat keganasan, efek radioterapi/kemoterapi dan distres emosional.

5. Risiko infeksi b/d ketidak-adekuatan pertahanan sekunder dan efek imunosupresi

radioterapi/kemoterapi

I. Intervensi

Menurut Doenges tahun 2000:

1. Kecemasan b/d krisis situasi (keganasan), ancaman perubahan status kesehatan-sosial-

ekonomik, perubahan fungsi-peran, perubahan interaksi sosial, ancaman kematian,

perpisahan dari keluarga.

INTERVENSI KEPERAWATAN RASIONAL

 

1. Orientasikan klien dan orang

terdekat terhadap prosedur rutin

dan aktivitas yang diharapkan.

 

1. Eksplorasi kecemasan klien dan

berikan umpan balik.

 

1. Tekankan bahwa kecemasan adalah

masalah yang lazim dialami oleh

banyak orang dalam situasi klien

saat ini.

 

1. Ijinkan klien ditemani keluarga

(significant others) selama fase

kecemasan dan pertahankan

ketenangan lingkungan.

 

1. Kolaborasi pemberian obat sedatif.

 

1. Pantau dan catat respon verbal dan

non verbal klien yang menunjukan

kecemasan.

 

 

Informasi yang tepat tentang situasi yang

dihadapi klien dapat menurunkan

kecemasan/rasa asing terhadap lingkungan

sekitar dan membantu klien mengantisipasi

dan menerima situasi yang terjadi.

Mengidentifikasi faktor pencetus/pemberat

masalah kecemasan dan menawarkan solusi

yang dapat dilakukan klien.

Menunjukkan bahwa kecemasan adalah

wajar dan tidak hanya dialami oleh klien

satu-satunya dengan harapan klien dapat

memahami dan menerima keadaanya.

Memobilisasi sistem pendukung, mencegah

perasaan terisolasi dan menurunkan

kecemsan.

Menurunkan kecemasan, memudahkan

istirahat.

Menilai perkembangan masalah klien.

 

2. Gangguan harga diri b/d kelainan bentuk bagian tubuh akibat keganasan, efek-efek

radioterapi/kemoterapi.

 

INTERVENSI KEPERAWATAN RASIONAL

 

1. Diskusikan dengan klien dan

keluarga pengaruh diagnosis dan

terapi terhadap kehidupan pribadi

klien dan aktiviats kerja.

 

1. Jelaskan efek samping dari

pembedahan, radiasi dan

kemoterapi yang perlu diantisipasi

klien

 

1. Diskusikan tentang upaya

pemecahan masalah perubahan

peran klien dalam keluarga dan

masyarakat berkaitan dengan

penyakitnya.

 

1. Terima kesulitan adaptasi klien

terhadap masalah yang dihadapinya

dan informasikan kemungkinan

perlunya konseling psikologis

 

1. Evaluasi support sistem yang dapat

 

Membantu klien dan keluarga memahami

masalah yang dihadapinya sebagai langkah

awal proses pemecahan masalah.

Efek terapi yang diantisipasi lebih

memudahkan proses adaptasi klien terhadap

masalah yang mungkin timbul.

Perubahan status kesehatan yang membawa

perubahan status sosial-ekonomi-fungsi-

peran merupakan masalah yang sering terjadi

pada klien keganasan.

Menginformasikan alternatif konseling

profesional yang mungkin dapat ditempuh

dalam penyelesaian masalah klien.

Mengidentifikasi sumber-sumber pendukung

yang mungkin dapat dimanfaatkan dalam

meringankan masalah klien.

Menilai perkembangan masalah klien.

membantu klien (keluarga, kerabat,

organisasi sosial, tokoh spiritual)

 

1. Evaluasi gejala keputusasaan, tidak

berdaya, penolakan terapi dan 

perasaan tidak berharga yang

menunjukkan gangguan harga diri

klien.

 

3. Nyeri b/d kompresi/destruksi jaringan saraf dan proses inflamasi.

INTERVENSI KEPERAWATAN RASIONAL

 

1. Lakukan tindakan kenyamanan

dasar (reposisi, masase punggung)

dan pertahankan aktivitas hiburan

(koran, radio)

 

1. Ajarkan kepada klien manajemen

penatalaksanaan nyeri (teknik

relaksasi, napas dalam, visualisasi,

bimbingan imajinasi)

 

1. Berikan analgetik sesuai program

terapi.

 

1. Evaluasi keluhan nyeri (skala,

 

Meningkatkan relaksasi dan mengalihkan

fokus perhatian klien dari nyeri.

Meningkatkan partisipasi klien secara aktif

dalam pemecahan masalah dan

meningkatkan rasa kontrol diri/keman-dirian.

Analgetik mengurangi respon nyeri.

Menilai perkembangan masalah klien.

lokasi, frekuensi, durasi)

 

 

4. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d peningkatan status metabolik

akibat keganasan, efek radioterapi/kemoterapi dan distres emosional.

INTERVENSI KEPERAWATAN RASIONAL

 

1. Dorong klien untuk meningkatkan

asupan nutrisi (tinggi kalori tinggi

protein) dan asupan cairan yang

adekuat.

 

1. Kolaborasi dengan tim gizi untuk

menetapkan program diet

pemulihan bagi klien.

 

1. Berikan obat anti emetik dan

roborans sesuai program terapi.

 

1. Dampingi klien pada saat makan,

identifikasi keluhan klien tentang

makan yang disajikan.

 

1. Timbang berat badan dan ketebalan

lipatan kulit trisep (ukuran

 

Asupan nutrisi dan cairan yang adekuat

diperlukan untuk mengimbangi status

hipermetabolik pada klien dengan

keganasan.

Kebutuhan nutrisi perlu diprogramkan secara

individual dengan melibatkan klien dan tim

gizi bila diperlukan.

Anti emetik diberikan bila klien mengalami

mual dan roborans mungkin diperlukan

untuk meningkatkan napsu makan dan

membantu proses metabolisme.

Mencegah masalah kekurangan asupan yang

disebabkan oleh diet yang disajikan.

Menilai perkembangan masalah klien.

Menilai perkembangan masalah klien.

antropometrik lainnya) sekali

seminggu

 

1. Kaji hasil pemeriksaan

laboratorium (Hb, limfosit total,

transferin serum, albumin serum)

 

 

5. Risiko infeksi b/d ketidak-adekuatan pertahanan sekunder dan efek imunosupresi

radioterapi/kemoterapi

INTERVENSI KEPERAWATAN RASIONAL

 

1. Tekankan penting oral hygiene.

 

1. Ajarkan teknik mencuci tangan

kepada klien dan keluarga,

tekankan untuk menghindari

mengorek/me-nyentuh area luka

pada rongga hidung (area operasi).

 

1. Kaji hasil pemeriksaan

laboratorium yang menunjukkan

penurunana fungsi pertahanan

tubuh (lekosit, eritrosit, trombosit,

Hb, albumin plasma)

 

Infeksi pada cavum nasi dapat bersumber

dari ketidakadekuatan oral hygiene.

Mengajarkan upaya preventif untuk

menghindari infeksi sekunder.

Menilai perkembagan imunitas seluler/

humoral.

Antibiotik digunakan untuk mengatasi

infeksi atau diberikan secara profilaksis pada

pasien dengan risiko infeksi.

Protein diperlukan sebagai prekusor

pembentukan asam amino penyusun

antibodi.

Efek imunosupresif terapi radiasi dan

kemoterapi dapat mempermudah timbulnya

 

1. Berikan antibiotik sesuai dengan

program terapi.

 

1. Tekankan pentingnya asupan

nutrisi kaya protein sehubungan

dengan penurunan daya tahan

tubuh.

 

1. Kaji tanda-tanda vital dan

gejala/tanda infeksi pada seluruh

sistem tubuh.

 

infeksi lokal dan sistemik.

 

DAFTAR PUSTAKA

Adams at al (2004), Buku Ajar Penyakit THT, Ed. 6, EGC, Jakarta

Carpenito (2000), Diagnosa Keperawatan-Aplikasi pada Praktik Klinis, Ed. 6, EGC, Jakarta

Doenges at al (2000), Rencana Asuhan Keperawatan, Ed.3, EGC, Jakarta

Tim RSUD Dr. Soetomo (2004), Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Penyakit THT, RSUD

Dr. Soetomo, Surabaya.

Price & Wilson (2005), Patofisologi-Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit, Ed.4, EGC,

Jakarta

http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/24571/4/Chapter%20II.pdf, diunduh pada

tanggal 7 April 2014

http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/25985/4/Chapter%20II.pdf, diunduh pada

tanggal 8 April 2014