manajemen keuangan publik
DESCRIPTION
MANAJEMEN KEUANGAN PUBLIKTRANSCRIPT
![Page 1: MANAJEMEN KEUANGAN PUBLIK](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022081812/577c78101a28abe0548e9511/html5/thumbnails/1.jpg)
Tugas Akhir
Korupsi Menggrogoti Sistem Anggaran di Indonesia
Mata Kuliah
Manajemen Keuangan Sektor Publik
Dosen: Abdul Halim, Prof., Dr., M.B.A., Ak., CA
Disusun Oleh:
Sri Rachmawati Rachman
15/391689/PEK/21135
PROGRAM MAGISTER AKUNTANSI
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2016
![Page 2: MANAJEMEN KEUANGAN PUBLIK](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022081812/577c78101a28abe0548e9511/html5/thumbnails/2.jpg)
I. Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Kebijakan pemerintah Indonesia menempatkan daerah sebagai objek pembangunan
dengan diterbitkannya UU Nomor 22 Tahun 1999 dan UU Nomor 32 tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah, yang menjadi landasan yuridis pengembangan otonomi daerah di
Indonesia. Setelah satu dekade, fakta di lapangan menunjukkan bahwa otonomi daerah belum
optimal. Dalam otonomi daerah, rendahnya kemampuan mengelola keuangan dan aset
menjadi pekerjaan rumah sejumlah pemerintah daerah baik provinsi maupun kabupaten/kota.
Lemahnya perencanaan, pemprograman, penganggaran, pelaksanaan, pengendalian,
pengawasan dan pertanggungjawaban mengakibatkan munculnya indikasi korupsi,
pemborosan, salah alokasi serta banyaknya berbagai macam pungutan yang justru mereduksi
upaya pertumbuhan perekonomian daerah.
Euforia otonomi daerah ternyata banyak memunculkan dampak negatif. Menurut
Soleh (2004) salah satu yang menonjol adalah munculnya "kejahatan institusional". Baik
eksekutif maupun legislatif seringkali membuat peraturan yang tidak sesuai dengan logika
kebijakan publik. Jika kejahatan institusional itu dipraktikkan secara kolektif antara eksekutif
dan legislatif. Legislatif yang mestinya mengawasi kinerja eksekutif justru ikut bermain dan
melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama dengan cara yang "legal". "Legal"
karena dilegitimasi dengan keputusan.
Korupsi sudah menjadi masalah yang sangat kompleks di negara kita. Dihampir
seluruh lembaga baik itu eksekutif dalam hal ini pemerintah, legislatif yang lebih dikenal
dengan istilah wakil rakyat ( DPR atau DPRD ), yudikatif sebagai lembaga penegakan hukum
maupun swasta korupsi sudah sering terdengar adanya praktek korupsi. Bahkan praktek
korupsi baik secara sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan ini dilaksanakan oleh
berbagai kalangan mulai dari atasan bahkan sampai bawahan atau mulai dari tingat
![Page 3: MANAJEMEN KEUANGAN PUBLIK](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022081812/577c78101a28abe0548e9511/html5/thumbnails/3.jpg)
pemerintah yang peling tertinggi sampai dengan tingkatan pemerintahan yang paling rendah
sekalipun.
Beberapa pasal menjelaskan mengenai korupsi, yaitu pasal 2 UU No. 31 Tahun 1999
jo. UU No. 20 Tahun 2001 mengenai tindakan melawan hukum untuk memperkaya diri,
Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang penyalahgunaan
wewenang, Pasal 5 ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang
menyuap pegawai negeri, Pasal 7 ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001
tentang pemborong berbuat curang dan masih banyak pasal lainnya.
Satu hal yang bisa diamati dari undang-undang diatas adalah korupsi berkembang
sedemikian rupa sehingga muncul berbagai undang-undang yang mampu menjelaskan
mengenai tindak pidana tersebut lebih detail. Dengan munculnya berbagai macam undang-
undang tersebut, kita juga dapat menyimpulkan bahwa korupsi masih menjadi permasalahan
utama Indonesia, penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi masih belum sempurna
dan cara korupsi di Indonesia berkembang sedemikian rupa.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan penjelasan latar belakang di atas, maka penulis merumusakan beberapa
rumusan masalah antara lain:
1. Bagaimana korupsi yang menggrogoti sistem anggaran di Indonesia?
2. Bagaimana solusi untuk mencegah korupsi dalam penggunaan anggaran di Indonesia?
![Page 4: MANAJEMEN KEUANGAN PUBLIK](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022081812/577c78101a28abe0548e9511/html5/thumbnails/4.jpg)
II. Pembahasan
Sistem anggaran merupakan hal yang sangat krusial karena menjadi pintu pertama
dalam melakukan korupsi. Sistem anggaran akan menjadi suatu hal yang tidak hanya bersifat
teknis terkait dengan alokasi dana ke tiap kementerian atau departemen dibawahnya, tetapi
juga bersifat politis. Motif-motif politik inilah yang kadang memicu tindakan korupsi.
Sistem anggaran menjadi proses bagi penentuan program atau kebijakan yang akan
dilakukan pemerintah selama satu periode. Apabila proses ini tidak dijalankan dengan benar,
maka kita akan menyaksikan praktik korupsi elite dari penggunaan anggaran negara yang
sampai hari ini masih marak dilakukan.
2.1 Korupsi yang Menggrogoti Sistem Anggaran
Pada mulanya fungsi anggaran publik adalah pedoman bagi pemerintah dalam
mengelola daerah otonom untuk satu periode di masa yang akan datang. Namun, karena
sebelum anggaran publik dijalankan harus mendapatkan persetujuan dari DPRD, maka
anggaran publik berfungsi sebagai alat pengawasan masyarakat terhadap kebijakan publik
yang dipilih oleh pemerintah daerah. Selain itu, karena pada akhirnya setiap anggaran publik
harus dipertanggunjawabkan pelaksanaannya oleh pemerintah kepada lembaga perwakilan
rakyat, berarti anggaran negara juga berfungsi sebagai alat pengawas bagi masyarakat
terhadap kemampuan pemerintah dalam melaksanakan kebijakan yang telah dipilihnya.
Dengan melihat fungsi anggaran publik diatas maka anggaran publik harus dilihat
sebagai power relation antara eksekutif, legislatif dan rakyat. Bagi rakyat yang harus
dilakukan adalah memantau arah dari prioritas kebijakan yang dibuat pemerintah satu tahun
mendatang yang akan dinyatakan dalam bentuk nominal dalam anggaran. Tujuan pemantauan
prioritas adalah memantau apakah prioritas kebijakan efektif untuk kepentingan rakyat
banyak atau tidak.
![Page 5: MANAJEMEN KEUANGAN PUBLIK](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022081812/577c78101a28abe0548e9511/html5/thumbnails/5.jpg)
Semenjak DPRD mempunyai otoritas dalam penyusunan APBD terdapat perubahan
kondisi yang menimbulkan banyak masalah. Pertama, sistem pengalihan anggaran yang tidak
jelas dari pusat ke daerah. Kedua, karena keterbatasan waktu partisipasi rakyat sering
diabaikan. Ketiga, esensi otonomi dalam penyusunan anggaran masih dipelintir oleh
pemerintah pusat karena otonomi pengelolaan sumber-sumber pendapatan masih dikuasai
oleh pusat sedangkan daerah hanya diperbesar porsi belanjanya. Keempat, ternyata DPRD
dimanapun memiliki kesulitan untuk melakukan asessment prioritas kebutuhan rakyat yang
harus didahulukan dalam APBD. Kelima, volume APBD yang disusun oleh daerah
meningkat hingga 80% dibandingkan pada masa orde baru, hal ini menimbulkan masalah
karena sedikit-banyak DPRD dan pemerintah daerah perlu berkerja lebih keras untuk
menyusun APBD. Keenam, meskipun masih harus melalui pemerintah pusat namun
pemerintah menurut UU No 25 tahun 1999 memiliki kewenangan untuk melakukan pinjaman
daerah baik ke dalam negeri maupun ke luar negeri.
Kondisi yang berubah diatas memicu beberapa kecenderungan. Pertama, adanya jargon
dari pemerintah daerah yang begitu kuat untuk meningkatkan PAD (Pendapatan Asli Daerah)
dalam rangka otonomi daerah. Dengan demikian bagi beberapa daerah yang miskin SDA
akan memilih menggali PAD dengan meningkatan pajak. Bagi daerah kaya sekalipun
meningkatkan pajak adalah alternatif yang paling mudah karena tidak perlu melakukan
banyak investasi dibandingkan jika mengekplorasi SDA. Oleh karena itu tidak heran bila
kecenderungan meningkatkan pajak ini terjadi di banyak daerah bahkan daerah yang kaya
sekalipun.
Tingkat korupsi birokrasi daerah di Indonesia masih tinggi, hal ini ditunjukkan dalam
survey kecenderungan korupsi birokrasi yang diselenggarakan oleh PERC. Pada tahun 1999,
angka kecenderungan korupsi birokrasi menunjukkan angka 8,0 dari skala 0-10. Dimana
angka nol berarti mutlak bersih dan 10 berarti mutlak memiliki kecenderungan korupsi. Dan
![Page 6: MANAJEMEN KEUANGAN PUBLIK](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022081812/577c78101a28abe0548e9511/html5/thumbnails/6.jpg)
satu tahun kemudian, tahun 2000, angka ini tidak mengalami perbaikan. Berdasarkan hasil
penelitian tersebut maka meningkatkan PAD akan lebih baik bila diprioritaskan dengan cara
mengurangi kebocoran pendapatan pemerintah daerah yang selama ini ada bukan dengan cara
meningkatkan pajak karena akan menyengsarakan rakyat (Ardyanto, 2002)
Selain itu, otoritas yang sangat besar bagi DPRD untuk menyusun APBD dan
menyusun anggaran untuk DPRD sangat memungkinkan terjadinya korupsi APBD karena
tidak ada pengawasan yang sistematis kecuali jika rakyat mempunyai kesadaran yang tinggi.
Dengan demikian kembali pada kenyataan bahwa anggaran adalah power relation maka
kemungkinan terjadinya suap (bribery) terhadap DPRD untuk menyetujui pos anggaran
tertentu yang tidak dibutuhkan rakyat sangat mungkin terjadi.
Korupsi telah menjadi suatu hal lazim tapi zalim dilakukan ditandai dengan
banyaknya kasus korupsi yang disebabkan oleh penyalahgunaan kekuasaan pejabat
penyelenggaran negara atau daerah. Seperti berita yang dilansir oleh Kompas.com (2016)
menyatakan bahwa berdasarkan pemantauan Indonesia Corruption Watch (ICW) terdapat
sejumlah 550 kasus korupsi sepanjang 2015 yang ditangani oleh aparat penegak hukum
masuk ke tahap penyidikan. Adapun dari jumlah kasus tersebut, modus yang paling banyak
digunakan adalah penyalahgunaan anggaran dengan jumlah 134 kasus. Sementara kerugian
negaranya mencapai Rp 803,3 miliar.
Pertanyaan yang muncul adalah mengapa korupsi begitu merajalela di Indonesia?
Secara teoritis Tanzi (1998) menunjukkan terjadinya korupsi APBD dipengaruhi oleh faktor
permintaan dan faktor penawaran. Dari sisi permintaan dimungkinkan karena adanya (1)
regulasi dan otorisasi yang memungkinkan terjadinya korupsi, (2) karakteristik tertentu dari
sistem perpajakan, dan (3) adanya provisi atas barang dan jasa di bawah harga pasar.
Sedangkan dari sisi penawaran dimungkinkan terjadi karena (1) tradisi birokrasi yang
cenderung korup, (2) rendahnya gaji di kalangan birokrasi, (3) kontrol atas institusi yang
![Page 7: MANAJEMEN KEUANGAN PUBLIK](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022081812/577c78101a28abe0548e9511/html5/thumbnails/7.jpg)
tidak memadai, dan (4) transparansi dari peraturan dan hukum. Lebih Lengkap lihat catatan
atas kelompok Anggaran (Helmi, Ahmad dkk, 2002).
2.2 Solusi Mencegah Korupsi dalam Penggunaan Anggaran
Korupsi di Indonesia merupakan fenomena gunung es, dengan sedikit penampakan di
permukaan namun sangat besar sekali kasus korupsi yang terjadi namun tidak terdeteksi.
Korupsi merupakan masalah utama dalam proses pengadaan belanja modal di Indonesia.
Hampir 80% dari seluruh kasus yang ditangani oleh KPK bersumber dari penyimpangan yang
muncul dalam kegiatan belanja modal, berupa pengadaaan barang/jasa pemerintah.
Menurut Halim (2014) berbagai masalah atau kasus yang ditemui dalam penggunaan
anggaran untuk kegiatan belanja modal antara lain:
1. Masalah kebenaran formal kegiatan pengadaan
Dalam sebuah kegiatan belanja modal sering dijumpai adanya kondisi misalnya bukti
penerimaan hasil pekerjaan hanya dibuat secara formalitas antara panitia penerima
barang dan pihak rekanan. Hal ini biasanya terjadi paa akhir tahun anggaran, saat bukti
yang dibuat hanya sekedar untuk memenuhi kewajiban pertanggungjawaban kegiatan
secara formal, tanpa melihat dan menguji hasil pekerjaan yang diserahkan oleh rekanan
aakah sesuai dengan spesifikasi pekerjaan yang telah ditetapkan dikontrak.
Solusi dari permasalahan ini adalah dengan memberikan kewenangan kepada bagian
keuangan pemda untuk melakukan verifikasi dengan kebnaran substansional apabila
diraskan memang diperlukan sebelum melakukan pembayaran. Disamping itu,
Inspektorat daerah harus mulai difungsikan secara optimal dalam proses pelanksaan
pengadaan belanja modal sebagai langkah preventif agar kualitas keluaran dari proses
belanja modal dapat sesuai dengan yang direncanakan.
![Page 8: MANAJEMEN KEUANGAN PUBLIK](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022081812/577c78101a28abe0548e9511/html5/thumbnails/8.jpg)
2. Masalah penyerapan anggaran
Pada awal tahun anggaran sampai dengan akhir semester pertama, persentase
penyerapan sangat kecil yaitu dibawah 50%, namun pada dua bulan menjelang akhir
tahun anggaran semua instansi pemerintah seperti berpacu untuk menyerap atau
menghabiskan seluruh anggaran yang tersedia, dengan melakukan kegiatan yang sedikit
“dipaksakan”. Seolah-olah apabila anggaran diserap semua, maka kinerja seorang
pimpinan intansi akan bagus. Dalam keadaan seperti ini, banyak pegawai maupun
pimpinan instansi yang tersandung kasus korupsi karena melakukan upaya untuk
penghabisan anggaran yang tersedia pada akhir tahun, namun dengan cara yang tidak
benar dan mengundang kecurigaan. Terdapat beberapa kondisi yang meyebabkan
anggaran tidak dapat diserap seluruhnya, yaitu:
1. Adanya rasa ketakutan dari para pelaku pengadaan belanja modal terhadap aspek
hukum, dari jenis pengadaan yang dasar hukumnya belum jelas atau memiliki
multitafsir.
2. Adanya perasaan dari para pelaku pengadaan bahwa pendapatan yang diterima
dengan risiko yang ditanggung di dalam proses pengadaan belanja modal tidak
seimbang.
3. Banyak pelaku pengadaan yang belum memiliki serfitikat keahlian untuk
pengadaan barang dan jasa pemerintahan.
4. Anggaran disusun secara tidak realistis (asal jadi).
5. Kegagalan pelelangan belanja modal.
6. Keterbatasan rekanan yang mampu mengerjakan proyek di suatu wilayah dengan
syarat target waktu penyelesaian yang hampir bersamaan.
![Page 9: MANAJEMEN KEUANGAN PUBLIK](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022081812/577c78101a28abe0548e9511/html5/thumbnails/9.jpg)
Solusi yang perlu dipertimbangkan oleh seorang manajer pemerintahan daerah dalam
penyebab di atas antara lain dengan cara berikut ini:
1. Penyelesaian secara ketat terhadap personel yang akan duduk di dalam panitia
anggaran.
2. Pengiriman sebanyak-banyaknya personel untuk mengikuti pendidikan dan
pelatihan pengadaan barang/jasa pemerintah, dengan harapan agar makin banyak
personel yang mampu dan memiliki sertifikat keahlian untuk duduk di dalam
kepanitian pengadaan barang/jasa pemerintah.
3. Pengarahan kepada Pejabat Pembuat Komitmen agar membuat harga perhitungan
sendiri (HPS) secara benar sesuai dengan keahliannya.
4. Penganggaran pemberian honor yang memadai kepada para panitia pengadaan
dengan mempertimbangkan risiko yang dihadapi.
Korupsi adalah bagian gejala sosial yang masuk dalam klasifikasi menyimpang,
karena merupakan suatu aksi tindak dan perilaku sosial yang merugikan individu lain dalam
masyarakat, menghilangkan kesepakatan bersama yang berdasar pada keadilan, serta
pembunuhan karakter terhadap individu itu sendiri. Makna korupsi, sebagai suatu tindakan
amoral, tidak memihak kepentingan bersama (egois), mengabaikan etika dan melanggar
aturan hukum, termasuk melanggar aturan agama. Sementara itu, kolusi adalah suatu kerja
sama secara melawan hukum antar penyelenggara Negara dan pihak lain yang merugikan
orang lain, masyarakat, dan atau Negara.
Sedangkan nepotisme adalah tindakan atau perbuatan yang menguntungkan
kepentingan keluarganya atau kroninya di atas kepentingan masyarakat, bangsa dan Negara.
Baik korupsi, kolusi maupun nepotisme merupakan perbuatan yang melanggar hukum dan
salah satu wujud dari pengelolaan uang rakyat yang tidak bertanggungjawab.
![Page 10: MANAJEMEN KEUANGAN PUBLIK](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022081812/577c78101a28abe0548e9511/html5/thumbnails/10.jpg)
Pembangunan Nasional bertujuan mewujudkan manusia Indonesia seutuhnya dan
masyarakat Indonesia seluruhnya yang adil, makmur, sejahtera, dan tertib berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Untuk mewujudkannya, perlu secara terus
menerus ditingkatkan usaha-usaha pencegahan dan pemberantasan tindak pidana KKN pada
umumnya serta tindak pidana korupsi pada khususnya. Karena tidak hanya dapat
menghambat laju pembangunan nasional, namun juga dapat merugikan keuangan negara
pada khususnya serta kesejahteraan rakyat pada umumnya.
Khususnya dalam rangka menggalakkan upaya pemberantasan dan pencegahan tindak
pidana KKN di Indonesia, sejak tahun 1999 telah dikeluarkan UU Nomor 31 Tahun 2009
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Lahirnya UU ini juga merupakan dasar
terbentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yang diharapkan mampu memenuhi
dan mengantisipasi perkembangan kebutuhan hukum masyarakat dalam rangka mencegah
dan memberantas secara lebih efektif setiap bentuk tindak pidana korupsi yang sudah sangat
memperihatinkan dan meresahkan masyarakat ini.
Penyebab terjadinya KKN sangatlah beragam, mulai diakibatkan karena lemah dan
rumitnya peraturan perundang-undangan, lemahnya moral pejabat atau aparat pemerintah dan
penegak hukum, tekanan ekonomi atau gaji yang rendah, lemahnya pengendalian dan
pengawasan, sampai kepada faktor kebiasaan dan sosial. Untuk menghilangkan kebiasaan
buruk ini maka tidak cukup hanya dengan melakukan pemberantasan korupsi saja, namun
juga harus diikuti dengan upaya pencegahan, agar praktik KKN tidak semakin merajalela di
Indonesia. Upaya pencegahan KKN harus dilakukan sejak dini dan perlu melibatkan
partisipasi aktif dari masyarakat umum. Sejak dini baik pelajar maupun mahasiswa perlu
diperkenalkan tentang KKN dan dampak buruknya terhadap kesejahteraan rakyat, serta
upaya-upaya pencegahannya, termasuk peran serta masyarakat dalam mencegah semakin
meluasnya praktik KKN di Indonesia.
![Page 11: MANAJEMEN KEUANGAN PUBLIK](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022081812/577c78101a28abe0548e9511/html5/thumbnails/11.jpg)
Masyarakat mempunyai hak dan tanggung jawab dalam upaya pencegahan dan
pemberantasan tindak pidana KKN, namun harus dilaksanakan dengan berpegang teguh pada
asas-asas atau ketentuan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku dan
dengan menaati norma agama dan norma sosial lainnya. Dalam hal ini, masyarakat berhak
mencari, memperoleh, dan memberikan informasi adanya dugaan telah terjadi tindak pidana
KKN kepada aparat penegak hukum, selain itu, bagi mereka yang telah mengungkapkan
adanya praktek KKN, selain berhak untuk mendapatkan perlindungan hukum juga
seharusnya diberikan penghargaan oleh Pemerintah.
Praktek KKN ini akan berlangsung terus menerus sepanjang tidak adanya kontrol dari
pemerintah dan masyarakat, sehingga timbul golongan pegawai yang memperkaya diri
sendiri.Agar tercapai tujuan pembangunan nasional, maka mau tidak mau korupsi harus
diberantas. Ada beberapa solusipenanggulangan korupsi, dimulai yang sifatnya preventif
maupun yang represif. Upaya penanggulangan korupsi adalah sebagai berikut :
Ada beberapa solusi penanggulangan korupsi, dimulai yang sifatnya preventif
maupun yang represif. Upaya penanggulangan korupsi adalah sebagai berikut:
a. Preventif:
Membangun etos pejabat dan pegawai baik di instansi pemerintah maupun swasta
tentang pemisahan yang jelas dan tajam antara milik pribadi dan milik perusahaan
atau milik negara.
Memulai dari diri sendiri, dari sekarang dan dari yang kecil untuk menghindari
korupsi. Karena ini adalah cara yang sederhana tapi sulit untuk dilakukan.
Mengusahakan perbaikan penghasilan (gaji) bagi pejabat dan pegawai negeri sesuai
dengan kemajuan ekonomi dan kemajuan swasta, agar pejabat dan pegawai saling
menegakkan wibawa dan integritas jabatannya dan tidak terbawa oleh godaan dan
kesempatan yang diberikan oleh wewenangnya.
![Page 12: MANAJEMEN KEUANGAN PUBLIK](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022081812/577c78101a28abe0548e9511/html5/thumbnails/12.jpg)
Menumbuhkan kebanggaan-kebanggaan dan atribut kehormatan diri setiap jabatan
dan pekerjaan. Kebijakan pejabat dan pegawai bukanlah bahwa mereka kaya dan
melimpah, akan tetapi mereka terhormat karena jasa pelayanannya kepada masyarakat
dan negara.
Pimpinan harus memberi teladan. Karena kewajiban seorang pemimpin adalah
memberi teladan yang baik bagi yang di pimpin. Seorang pemimpin harus berupaya
memikirkan solusi korupsi yang sudah menjadi tradisi klasik di tanah air. Contoh
yang bersih ini otomatis akan memberi kekuatan bagi seorang pemimpin untuk
menegakkan hukum bagi para pelaku korupsi secara tegas, dan atasan lebih efektif
dalam memasyarakatkan pandangan, penilaian dan kebijakan.
Hal yang tidak kalah pentingnya adalah bagaimana menumbuhkan “sense of
belongingness” dikalangan pejabat dan pegawai, sehingga mereka merasa perusahaan
tersebut adalah milik sendiri dan tidak perlu korupsi, dan selalu berusaha berbuat
yang terbaik.
Memberi pelajaran pendidikan anti korupsi sejak dini. Bagi kalangan pendidik, peran
mereka sangat penting dalam menanamkan prinsip untuk tidak melakukan korupsi
dari sekolah. Relevansi antara pendidikan karakter sejak dini untuk membentengi
generasi masa depan bebas korupsi sangat jelas. Sebagai individu yang akan
melanjutkan estafet kepemimpinan di masa depan, seorang anak tentunya harus
ditanamkan nilai-nilai positif dalam dirinya. Sikap, prilaku, mental dan karakternya
harus dibangun dan dikembangkan dari awal agar tidak terjadi penyimpangan.
Dengan karakter yang kuat dan mentalitas yang sarat dengan nilai moral religius akan
tumbuh tunas harapan generasi masa depan yang bersih dari praktek-praktek korupsi.
![Page 13: MANAJEMEN KEUANGAN PUBLIK](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022081812/577c78101a28abe0548e9511/html5/thumbnails/13.jpg)
b. Represif:
Perlu penayangan wajah koruptor di televisi, Dengan adanya penayangan ini maka
secara langsung koruptor tersebut akan dilihat oleh masyarakat luas sehingga muncul
rasa malu baik dari dirinya atau keluarganya. Hal ini bisa menjadi pelajaran bagi
koruptor-koruptor yang lain.
Pencatatan ulang terhadap kekayaan pejabat, Kekayaan pejabat harus dipantau oleh
lembaga khusus, setiap beberapa periode. Proses pencatatan terhadap kekayaan
pejabat ini bisa berupa uang tunai, harta benda atau investasi berupa perhiasan, tanah
dan lain lain. Ini bertujuan agar jika ada kepemilikan yang mencurigakan harus segera
ditelusuri.
Penegakan hukum, para koruptor perlu diberi hukuman seberat beratnya yang
membuat mereka jera. Sistem penegakan hukum di Indonesia kerap terhambat dengan
sikap para penegak hkum itu sendiri yang tidak serius menegakkan hukum dan
undang undang. Para pelaku hukum malah memanfaatkan hukum itu sendiri untuk
mencari keuntungan pribadi, ujungnya juga pada tindakan korupsi. Alih-alih
munculah istilah mafia hukum, yakni mereka yng diharapkan mampu menegakkan
mampu menegakkan masalah hukum malah mencari hidup dari penegakan hukum
tersebut.
![Page 14: MANAJEMEN KEUANGAN PUBLIK](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022081812/577c78101a28abe0548e9511/html5/thumbnails/14.jpg)
III. Kesimpulan
Korupsi yang melanda Indonesia saat ini bersifat sistemik. Agenda memberantas
korupsi menjadi hal yang sangat krusial karena tidak hanya merugikan negara secara material
tetapi sudah menggerogoti mental rakyat Indonesia sendiri. Banyaknya kasus penyalagunaan
anggaran negara dan daerah, membuat prioritas kebijakan tidak efektif untuk kepentingan
rakyat banyak.
Anggaran publik berfungsi sebagai pedoman bagi pemerintah dalam mengelola
daerah otonom untuk satu periode di masa yang akan datang. Namun, karena sebelum
anggaran publik dijalankan harus mendapatkan persetujuan dari DPRD, maka anggaran
publik berfungsi sebagai alat pengawasan masyarakat terhadap kebijakan publik yang dipilih
oleh pemerintah daerah. Selain itu, karena pada akhirnya setiap anggaran publik harus
dipertanggunjawabkan pelaksanaannya oleh pemerintah kepada lembaga perwakilan rakyat,
berarti anggaran negara juga berfungsi sebagai alat pengawas bagi masyarakat terhadap
kemampuan pemerintah dalam melaksanakan kebijakan yang telah dipilihnya.
Oleh karena itu, sangat dibutuhkannya perbaikan pada sistem maupun penggunaan
anggaran agar lebih taat pada peraturan perundang-undangan, efektif, efisien, ekonomis,
transparan, dan bertanggung jawab dengan memperhatiakn asas keadilan, keptuta, dan
memberikan manfaat untuk masyarakat.
![Page 15: MANAJEMEN KEUANGAN PUBLIK](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022081812/577c78101a28abe0548e9511/html5/thumbnails/15.jpg)
Daftar Pustaka
Ardyanto, Donny. 2002. Korupsi di sektor pelayanan Publik dalam Basyaib, H., dkk. (ed.)
2002, Mencuri Uang Rakyat : 16 kajian Korupsi di Indonesia, Buku 2. Jakarta:
Yayasan aksara dan Patnership for Good Governance Reform.
Diunduh dari www.kompas.com
Halim, Abdul. 2014. Manajemen Keuangan Sektor Publik: Problematika Penerimaan dan
Pengeluaran Pemerintah (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/Daerah).
Jakarta: Salemba Empat.
Helmi, Ahmad, dkk. 2003. Memahami Anggaran Publik: Jogjakarta: Idea Press.
Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2009 jo. Undang-Undang No. 20
Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
_______. Undang-Undang No 25 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah.
_______. Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Soleh, Khudori. 2004.Wacana Baru Filsafat Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Tanzi, Vito. 1998. “Corruption Around the World: Cauces, Consequences, Scope and
Cures”, IMF Staff Papers, Vol. 45, No. 4.