manajemen keuangan publik

15
Tugas Akhir Korupsi Menggrogoti Sistem Anggaran di Indonesia Mata Kuliah Manajemen Keuangan Sektor Publik Dosen: Abdul Halim, Prof., Dr., M.B.A., Ak., CA Disusun Oleh: Sri Rachmawati Rachman 15/391689/PEK/21135 PROGRAM MAGISTER AKUNTANSI UNIVERSITAS GADJAH MADA YOGYAKARTA 2016

Upload: sri-rachmawaty

Post on 07-Jul-2016

217 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

MANAJEMEN KEUANGAN PUBLIK

TRANSCRIPT

Page 1: MANAJEMEN KEUANGAN PUBLIK

Tugas Akhir

Korupsi Menggrogoti Sistem Anggaran di Indonesia

Mata Kuliah

Manajemen Keuangan Sektor Publik

Dosen: Abdul Halim, Prof., Dr., M.B.A., Ak., CA

Disusun Oleh:

Sri Rachmawati Rachman

15/391689/PEK/21135

PROGRAM MAGISTER AKUNTANSI

UNIVERSITAS GADJAH MADA

YOGYAKARTA

2016

Page 2: MANAJEMEN KEUANGAN PUBLIK

I. Pendahuluan

1.1 Latar Belakang

Kebijakan pemerintah Indonesia menempatkan daerah sebagai objek pembangunan

dengan diterbitkannya UU Nomor 22 Tahun 1999 dan UU Nomor 32 tahun 2004 tentang

Pemerintahan Daerah, yang menjadi landasan yuridis pengembangan otonomi daerah di

Indonesia. Setelah satu dekade, fakta di lapangan menunjukkan bahwa otonomi daerah belum

optimal. Dalam otonomi daerah, rendahnya kemampuan mengelola keuangan dan aset

menjadi pekerjaan rumah sejumlah pemerintah daerah baik provinsi maupun kabupaten/kota.

Lemahnya perencanaan, pemprograman, penganggaran, pelaksanaan, pengendalian,

pengawasan dan pertanggungjawaban mengakibatkan munculnya indikasi korupsi,

pemborosan, salah alokasi serta banyaknya berbagai macam pungutan yang justru mereduksi

upaya pertumbuhan perekonomian daerah.

Euforia otonomi daerah ternyata banyak memunculkan dampak negatif. Menurut

Soleh (2004) salah satu yang menonjol adalah munculnya "kejahatan institusional". Baik

eksekutif maupun legislatif seringkali membuat peraturan yang tidak sesuai dengan logika

kebijakan publik. Jika kejahatan institusional itu dipraktikkan secara kolektif antara eksekutif

dan legislatif. Legislatif yang mestinya mengawasi kinerja eksekutif justru ikut bermain dan

melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama dengan cara yang "legal". "Legal"

karena dilegitimasi dengan keputusan.

Korupsi sudah menjadi masalah yang sangat kompleks di negara kita. Dihampir

seluruh lembaga baik itu eksekutif dalam hal ini pemerintah, legislatif yang lebih dikenal

dengan istilah wakil rakyat ( DPR atau DPRD ), yudikatif sebagai lembaga penegakan hukum

maupun swasta korupsi sudah sering terdengar adanya praktek korupsi. Bahkan praktek

korupsi baik secara sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan ini dilaksanakan oleh

berbagai kalangan mulai dari atasan bahkan sampai bawahan atau mulai dari tingat

Page 3: MANAJEMEN KEUANGAN PUBLIK

pemerintah yang peling tertinggi sampai dengan tingkatan pemerintahan yang paling rendah

sekalipun.

Beberapa pasal menjelaskan mengenai korupsi, yaitu pasal 2 UU No. 31 Tahun 1999

jo. UU No. 20 Tahun 2001 mengenai tindakan melawan hukum untuk memperkaya diri,

Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang penyalahgunaan

wewenang, Pasal 5 ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang

menyuap pegawai negeri, Pasal 7 ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001

tentang pemborong berbuat curang dan masih banyak pasal lainnya.

Satu hal yang bisa diamati dari undang-undang diatas adalah korupsi berkembang

sedemikian rupa sehingga muncul berbagai undang-undang yang mampu menjelaskan

mengenai tindak pidana tersebut lebih detail. Dengan munculnya berbagai macam undang-

undang tersebut, kita juga dapat menyimpulkan bahwa korupsi masih menjadi permasalahan

utama Indonesia, penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi masih belum sempurna

dan cara korupsi di Indonesia berkembang sedemikian rupa.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan penjelasan latar belakang di atas, maka penulis merumusakan beberapa

rumusan masalah antara lain:

1. Bagaimana korupsi yang menggrogoti sistem anggaran di Indonesia?

2. Bagaimana solusi untuk mencegah korupsi dalam penggunaan anggaran di Indonesia?

Page 4: MANAJEMEN KEUANGAN PUBLIK

II. Pembahasan

Sistem anggaran merupakan hal yang sangat krusial karena menjadi pintu pertama

dalam melakukan korupsi. Sistem anggaran akan menjadi suatu hal yang tidak hanya bersifat

teknis terkait dengan alokasi dana ke tiap kementerian atau departemen dibawahnya, tetapi

juga bersifat politis. Motif-motif politik inilah yang kadang memicu tindakan korupsi.

Sistem anggaran menjadi proses bagi penentuan program atau kebijakan yang akan

dilakukan pemerintah selama satu periode. Apabila proses ini tidak dijalankan dengan benar,

maka kita akan menyaksikan praktik korupsi elite dari penggunaan anggaran negara yang

sampai hari ini masih marak dilakukan.

2.1 Korupsi yang Menggrogoti Sistem Anggaran

Pada mulanya fungsi anggaran publik adalah pedoman bagi pemerintah dalam

mengelola daerah otonom untuk satu periode di masa yang akan datang. Namun, karena

sebelum anggaran publik dijalankan harus mendapatkan persetujuan dari DPRD, maka

anggaran publik berfungsi sebagai alat pengawasan masyarakat terhadap kebijakan publik

yang dipilih oleh pemerintah daerah. Selain itu, karena pada akhirnya setiap anggaran publik

harus dipertanggunjawabkan pelaksanaannya oleh pemerintah kepada lembaga perwakilan

rakyat, berarti anggaran negara juga berfungsi sebagai alat pengawas bagi masyarakat

terhadap kemampuan pemerintah dalam melaksanakan kebijakan yang telah dipilihnya.

Dengan melihat fungsi anggaran publik diatas maka anggaran publik harus dilihat

sebagai power relation antara eksekutif, legislatif dan rakyat. Bagi rakyat yang harus

dilakukan adalah memantau arah dari prioritas kebijakan yang dibuat pemerintah satu tahun

mendatang yang akan dinyatakan dalam bentuk nominal dalam anggaran. Tujuan pemantauan

prioritas adalah memantau apakah prioritas kebijakan efektif untuk kepentingan rakyat

banyak atau tidak.

Page 5: MANAJEMEN KEUANGAN PUBLIK

Semenjak DPRD mempunyai otoritas dalam penyusunan APBD terdapat perubahan

kondisi yang menimbulkan banyak masalah. Pertama, sistem pengalihan anggaran yang tidak

jelas dari pusat ke daerah. Kedua, karena keterbatasan waktu partisipasi rakyat sering

diabaikan. Ketiga, esensi otonomi dalam penyusunan anggaran masih dipelintir oleh

pemerintah pusat karena otonomi pengelolaan sumber-sumber pendapatan masih dikuasai

oleh pusat sedangkan daerah hanya diperbesar porsi belanjanya. Keempat, ternyata DPRD

dimanapun memiliki kesulitan untuk melakukan asessment prioritas kebutuhan rakyat yang

harus didahulukan dalam APBD. Kelima, volume APBD yang disusun oleh daerah

meningkat hingga 80% dibandingkan pada masa orde baru, hal ini menimbulkan masalah

karena sedikit-banyak DPRD dan pemerintah daerah perlu berkerja lebih keras untuk

menyusun APBD. Keenam, meskipun masih harus melalui pemerintah pusat namun

pemerintah menurut UU No 25 tahun 1999 memiliki kewenangan untuk melakukan pinjaman

daerah baik ke dalam negeri maupun ke luar negeri.

Kondisi yang berubah diatas memicu beberapa kecenderungan. Pertama, adanya jargon

dari pemerintah daerah yang begitu kuat untuk meningkatkan PAD (Pendapatan Asli Daerah)

dalam rangka otonomi daerah. Dengan demikian bagi beberapa daerah yang miskin SDA

akan memilih menggali PAD dengan meningkatan pajak. Bagi daerah kaya sekalipun

meningkatkan pajak adalah alternatif yang paling mudah karena tidak perlu melakukan

banyak investasi dibandingkan jika mengekplorasi SDA. Oleh karena itu tidak heran bila

kecenderungan meningkatkan pajak ini terjadi di banyak daerah bahkan daerah yang kaya

sekalipun.

Tingkat korupsi birokrasi daerah di Indonesia masih tinggi, hal ini ditunjukkan dalam

survey kecenderungan korupsi birokrasi yang diselenggarakan oleh PERC. Pada tahun 1999,

angka kecenderungan korupsi birokrasi menunjukkan angka 8,0 dari skala 0-10. Dimana

angka nol berarti mutlak bersih dan 10 berarti mutlak memiliki kecenderungan korupsi. Dan

Page 6: MANAJEMEN KEUANGAN PUBLIK

satu tahun kemudian, tahun 2000, angka ini tidak mengalami perbaikan. Berdasarkan hasil

penelitian tersebut maka meningkatkan PAD akan lebih baik bila diprioritaskan dengan cara

mengurangi kebocoran pendapatan pemerintah daerah yang selama ini ada bukan dengan cara

meningkatkan pajak karena akan menyengsarakan rakyat (Ardyanto, 2002)

Selain itu, otoritas yang sangat besar bagi DPRD untuk menyusun APBD dan

menyusun anggaran untuk DPRD sangat memungkinkan terjadinya korupsi APBD karena

tidak ada pengawasan yang sistematis kecuali jika rakyat mempunyai kesadaran yang tinggi.

Dengan demikian kembali pada kenyataan bahwa anggaran adalah power relation maka

kemungkinan terjadinya suap (bribery) terhadap DPRD untuk menyetujui pos anggaran

tertentu yang tidak dibutuhkan rakyat sangat mungkin terjadi.

Korupsi telah menjadi suatu hal lazim tapi zalim dilakukan ditandai dengan

banyaknya kasus korupsi yang disebabkan oleh penyalahgunaan kekuasaan pejabat

penyelenggaran negara atau daerah. Seperti berita yang dilansir oleh Kompas.com (2016)

menyatakan bahwa berdasarkan pemantauan Indonesia Corruption Watch (ICW) terdapat

sejumlah 550 kasus korupsi sepanjang 2015 yang ditangani oleh aparat penegak hukum

masuk ke tahap penyidikan. Adapun dari jumlah kasus tersebut, modus yang paling banyak

digunakan adalah penyalahgunaan anggaran dengan jumlah 134 kasus. Sementara kerugian

negaranya mencapai Rp 803,3 miliar.

Pertanyaan yang muncul adalah mengapa korupsi begitu merajalela di Indonesia?

Secara teoritis Tanzi (1998) menunjukkan terjadinya korupsi APBD dipengaruhi oleh faktor

permintaan dan faktor penawaran. Dari sisi permintaan dimungkinkan karena adanya (1)

regulasi dan otorisasi yang memungkinkan terjadinya korupsi, (2) karakteristik tertentu dari

sistem perpajakan, dan (3) adanya provisi atas barang dan jasa di bawah harga pasar.

Sedangkan dari sisi penawaran dimungkinkan terjadi karena (1) tradisi birokrasi yang

cenderung korup, (2) rendahnya gaji di kalangan birokrasi, (3) kontrol atas institusi yang

Page 7: MANAJEMEN KEUANGAN PUBLIK

tidak memadai, dan (4) transparansi dari peraturan dan hukum. Lebih Lengkap lihat catatan

atas kelompok Anggaran (Helmi, Ahmad dkk, 2002).

2.2 Solusi Mencegah Korupsi dalam Penggunaan Anggaran

Korupsi di Indonesia merupakan fenomena gunung es, dengan sedikit penampakan di

permukaan namun sangat besar sekali kasus korupsi yang terjadi namun tidak terdeteksi.

Korupsi merupakan masalah utama dalam proses pengadaan belanja modal di Indonesia.

Hampir 80% dari seluruh kasus yang ditangani oleh KPK bersumber dari penyimpangan yang

muncul dalam kegiatan belanja modal, berupa pengadaaan barang/jasa pemerintah.

Menurut Halim (2014) berbagai masalah atau kasus yang ditemui dalam penggunaan

anggaran untuk kegiatan belanja modal antara lain:

1. Masalah kebenaran formal kegiatan pengadaan

Dalam sebuah kegiatan belanja modal sering dijumpai adanya kondisi misalnya bukti

penerimaan hasil pekerjaan hanya dibuat secara formalitas antara panitia penerima

barang dan pihak rekanan. Hal ini biasanya terjadi paa akhir tahun anggaran, saat bukti

yang dibuat hanya sekedar untuk memenuhi kewajiban pertanggungjawaban kegiatan

secara formal, tanpa melihat dan menguji hasil pekerjaan yang diserahkan oleh rekanan

aakah sesuai dengan spesifikasi pekerjaan yang telah ditetapkan dikontrak.

Solusi dari permasalahan ini adalah dengan memberikan kewenangan kepada bagian

keuangan pemda untuk melakukan verifikasi dengan kebnaran substansional apabila

diraskan memang diperlukan sebelum melakukan pembayaran. Disamping itu,

Inspektorat daerah harus mulai difungsikan secara optimal dalam proses pelanksaan

pengadaan belanja modal sebagai langkah preventif agar kualitas keluaran dari proses

belanja modal dapat sesuai dengan yang direncanakan.

Page 8: MANAJEMEN KEUANGAN PUBLIK

2. Masalah penyerapan anggaran

Pada awal tahun anggaran sampai dengan akhir semester pertama, persentase

penyerapan sangat kecil yaitu dibawah 50%, namun pada dua bulan menjelang akhir

tahun anggaran semua instansi pemerintah seperti berpacu untuk menyerap atau

menghabiskan seluruh anggaran yang tersedia, dengan melakukan kegiatan yang sedikit

“dipaksakan”. Seolah-olah apabila anggaran diserap semua, maka kinerja seorang

pimpinan intansi akan bagus. Dalam keadaan seperti ini, banyak pegawai maupun

pimpinan instansi yang tersandung kasus korupsi karena melakukan upaya untuk

penghabisan anggaran yang tersedia pada akhir tahun, namun dengan cara yang tidak

benar dan mengundang kecurigaan. Terdapat beberapa kondisi yang meyebabkan

anggaran tidak dapat diserap seluruhnya, yaitu:

1. Adanya rasa ketakutan dari para pelaku pengadaan belanja modal terhadap aspek

hukum, dari jenis pengadaan yang dasar hukumnya belum jelas atau memiliki

multitafsir.

2. Adanya perasaan dari para pelaku pengadaan bahwa pendapatan yang diterima

dengan risiko yang ditanggung di dalam proses pengadaan belanja modal tidak

seimbang.

3. Banyak pelaku pengadaan yang belum memiliki serfitikat keahlian untuk

pengadaan barang dan jasa pemerintahan.

4. Anggaran disusun secara tidak realistis (asal jadi).

5. Kegagalan pelelangan belanja modal.

6. Keterbatasan rekanan yang mampu mengerjakan proyek di suatu wilayah dengan

syarat target waktu penyelesaian yang hampir bersamaan.

Page 9: MANAJEMEN KEUANGAN PUBLIK

Solusi yang perlu dipertimbangkan oleh seorang manajer pemerintahan daerah dalam

penyebab di atas antara lain dengan cara berikut ini:

1. Penyelesaian secara ketat terhadap personel yang akan duduk di dalam panitia

anggaran.

2. Pengiriman sebanyak-banyaknya personel untuk mengikuti pendidikan dan

pelatihan pengadaan barang/jasa pemerintah, dengan harapan agar makin banyak

personel yang mampu dan memiliki sertifikat keahlian untuk duduk di dalam

kepanitian pengadaan barang/jasa pemerintah.

3. Pengarahan kepada Pejabat Pembuat Komitmen agar membuat harga perhitungan

sendiri (HPS) secara benar sesuai dengan keahliannya.

4. Penganggaran pemberian honor yang memadai kepada para panitia pengadaan

dengan mempertimbangkan risiko yang dihadapi.

Korupsi adalah bagian gejala sosial yang masuk dalam klasifikasi menyimpang,

karena merupakan suatu aksi tindak dan perilaku sosial yang merugikan individu lain dalam

masyarakat, menghilangkan kesepakatan bersama yang berdasar pada keadilan, serta

pembunuhan karakter terhadap individu itu sendiri. Makna korupsi, sebagai suatu tindakan

amoral, tidak memihak kepentingan bersama (egois), mengabaikan etika dan melanggar

aturan hukum, termasuk melanggar aturan agama. Sementara itu, kolusi adalah suatu kerja

sama secara melawan hukum antar penyelenggara Negara dan pihak lain yang merugikan

orang lain, masyarakat, dan atau Negara.

Sedangkan nepotisme adalah tindakan atau perbuatan yang menguntungkan

kepentingan keluarganya atau kroninya di atas kepentingan masyarakat, bangsa dan Negara.

Baik korupsi, kolusi maupun nepotisme merupakan perbuatan yang melanggar hukum dan

salah satu wujud dari pengelolaan uang rakyat yang tidak bertanggungjawab.

Page 10: MANAJEMEN KEUANGAN PUBLIK

Pembangunan Nasional bertujuan mewujudkan manusia Indonesia seutuhnya dan

masyarakat Indonesia seluruhnya yang adil, makmur, sejahtera, dan tertib berdasarkan

Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Untuk mewujudkannya, perlu secara terus

menerus ditingkatkan usaha-usaha pencegahan dan pemberantasan tindak pidana KKN pada

umumnya serta tindak pidana korupsi pada khususnya. Karena tidak hanya dapat

menghambat laju pembangunan nasional, namun juga dapat merugikan keuangan negara

pada khususnya serta kesejahteraan rakyat pada umumnya.

Khususnya dalam rangka menggalakkan upaya pemberantasan dan pencegahan tindak

pidana KKN di Indonesia, sejak tahun 1999 telah dikeluarkan UU Nomor 31 Tahun 2009

tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Lahirnya UU ini juga merupakan dasar

terbentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yang diharapkan mampu memenuhi

dan mengantisipasi perkembangan kebutuhan hukum masyarakat dalam rangka mencegah

dan memberantas secara lebih efektif setiap bentuk tindak pidana korupsi yang sudah sangat

memperihatinkan dan meresahkan masyarakat ini.

Penyebab terjadinya KKN sangatlah beragam, mulai diakibatkan karena lemah dan

rumitnya peraturan perundang-undangan, lemahnya moral pejabat atau aparat pemerintah dan

penegak hukum, tekanan ekonomi atau gaji yang rendah, lemahnya pengendalian dan

pengawasan, sampai kepada faktor kebiasaan dan sosial. Untuk menghilangkan kebiasaan

buruk ini maka tidak cukup hanya dengan melakukan pemberantasan korupsi saja, namun

juga harus diikuti dengan upaya pencegahan, agar praktik KKN tidak semakin merajalela di

Indonesia. Upaya pencegahan KKN harus dilakukan sejak dini dan perlu melibatkan

partisipasi aktif dari masyarakat umum. Sejak dini baik pelajar maupun mahasiswa perlu

diperkenalkan tentang KKN dan dampak buruknya terhadap kesejahteraan rakyat, serta

upaya-upaya pencegahannya, termasuk peran serta masyarakat dalam mencegah semakin

meluasnya praktik KKN di Indonesia.

Page 11: MANAJEMEN KEUANGAN PUBLIK

Masyarakat mempunyai hak dan tanggung jawab dalam upaya pencegahan dan

pemberantasan tindak pidana KKN, namun harus dilaksanakan dengan berpegang teguh pada

asas-asas atau ketentuan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku dan

dengan menaati norma agama dan norma sosial lainnya. Dalam hal ini, masyarakat berhak

mencari, memperoleh, dan memberikan informasi adanya dugaan telah terjadi tindak pidana

KKN kepada aparat penegak hukum, selain itu, bagi mereka yang telah mengungkapkan

adanya praktek KKN, selain berhak untuk mendapatkan perlindungan hukum juga

seharusnya diberikan penghargaan oleh Pemerintah.

Praktek KKN ini akan berlangsung terus menerus sepanjang tidak adanya kontrol dari

pemerintah dan masyarakat, sehingga timbul golongan pegawai yang memperkaya diri

sendiri.Agar tercapai tujuan pembangunan nasional, maka mau tidak mau korupsi harus

diberantas. Ada beberapa solusipenanggulangan korupsi, dimulai yang sifatnya preventif

maupun yang represif. Upaya penanggulangan korupsi adalah sebagai berikut :

Ada beberapa solusi penanggulangan korupsi, dimulai yang sifatnya preventif

maupun yang represif. Upaya penanggulangan korupsi adalah sebagai berikut:

a. Preventif:

Membangun etos pejabat dan pegawai baik di instansi pemerintah maupun swasta

tentang pemisahan yang jelas dan tajam antara milik pribadi dan milik perusahaan

atau milik negara.

Memulai dari diri sendiri, dari sekarang dan dari yang kecil untuk menghindari

korupsi. Karena ini adalah cara yang sederhana tapi sulit untuk dilakukan.

Mengusahakan perbaikan penghasilan (gaji) bagi pejabat dan pegawai negeri sesuai

dengan kemajuan ekonomi dan kemajuan swasta, agar pejabat dan pegawai saling

menegakkan wibawa dan integritas jabatannya dan tidak terbawa oleh godaan dan

kesempatan yang diberikan oleh wewenangnya.

Page 12: MANAJEMEN KEUANGAN PUBLIK

Menumbuhkan kebanggaan-kebanggaan dan atribut kehormatan diri setiap jabatan

dan pekerjaan. Kebijakan pejabat dan pegawai bukanlah bahwa mereka kaya dan

melimpah, akan tetapi mereka terhormat karena jasa pelayanannya kepada masyarakat

dan negara.

Pimpinan harus memberi teladan. Karena kewajiban seorang pemimpin adalah

memberi teladan yang baik bagi yang di pimpin. Seorang pemimpin harus berupaya

memikirkan solusi korupsi yang sudah menjadi tradisi klasik di tanah air. Contoh

yang bersih ini otomatis akan memberi kekuatan bagi seorang pemimpin untuk

menegakkan hukum bagi para pelaku korupsi secara tegas, dan atasan lebih efektif

dalam memasyarakatkan pandangan, penilaian dan kebijakan.

Hal yang tidak kalah pentingnya adalah bagaimana menumbuhkan “sense of

belongingness” dikalangan pejabat dan pegawai, sehingga mereka merasa perusahaan

tersebut adalah milik sendiri dan tidak perlu korupsi, dan selalu berusaha berbuat

yang terbaik.

Memberi pelajaran pendidikan anti korupsi sejak dini. Bagi kalangan pendidik, peran

mereka sangat penting dalam menanamkan prinsip untuk tidak melakukan korupsi

dari sekolah. Relevansi antara pendidikan karakter sejak dini untuk membentengi

generasi masa depan bebas korupsi sangat jelas. Sebagai individu yang akan

melanjutkan estafet kepemimpinan di masa depan, seorang anak tentunya harus

ditanamkan nilai-nilai positif dalam dirinya. Sikap, prilaku, mental dan karakternya

harus dibangun dan dikembangkan dari awal agar tidak terjadi penyimpangan.

Dengan karakter yang kuat dan mentalitas yang sarat dengan nilai moral religius akan

tumbuh tunas harapan generasi masa depan yang bersih dari praktek-praktek korupsi.

Page 13: MANAJEMEN KEUANGAN PUBLIK

b. Represif:

Perlu penayangan wajah koruptor di televisi, Dengan adanya penayangan ini maka

secara langsung koruptor tersebut akan dilihat oleh masyarakat luas sehingga muncul

rasa malu baik dari dirinya atau keluarganya. Hal ini bisa menjadi pelajaran bagi

koruptor-koruptor yang lain.

Pencatatan ulang terhadap kekayaan pejabat, Kekayaan pejabat harus dipantau oleh

lembaga khusus, setiap beberapa periode. Proses pencatatan terhadap kekayaan

pejabat ini bisa berupa uang tunai, harta benda atau investasi berupa perhiasan, tanah

dan lain lain. Ini bertujuan agar jika ada kepemilikan yang mencurigakan harus segera

ditelusuri.

Penegakan hukum, para koruptor perlu diberi hukuman seberat beratnya yang

membuat mereka jera. Sistem penegakan hukum di Indonesia kerap terhambat dengan

sikap para penegak hkum itu sendiri yang tidak serius menegakkan hukum dan

undang undang. Para pelaku hukum malah memanfaatkan hukum itu sendiri untuk

mencari keuntungan pribadi, ujungnya juga pada tindakan korupsi. Alih-alih

munculah istilah mafia hukum, yakni mereka yng diharapkan mampu menegakkan

mampu menegakkan masalah hukum malah mencari hidup dari penegakan hukum

tersebut.

Page 14: MANAJEMEN KEUANGAN PUBLIK

III. Kesimpulan

Korupsi yang melanda Indonesia saat ini bersifat sistemik. Agenda memberantas

korupsi menjadi hal yang sangat krusial karena tidak hanya merugikan negara secara material

tetapi sudah menggerogoti mental rakyat Indonesia sendiri. Banyaknya kasus penyalagunaan

anggaran negara dan daerah, membuat prioritas kebijakan tidak efektif untuk kepentingan

rakyat banyak.

Anggaran publik berfungsi sebagai pedoman bagi pemerintah dalam mengelola

daerah otonom untuk satu periode di masa yang akan datang. Namun, karena sebelum

anggaran publik dijalankan harus mendapatkan persetujuan dari DPRD, maka anggaran

publik berfungsi sebagai alat pengawasan masyarakat terhadap kebijakan publik yang dipilih

oleh pemerintah daerah. Selain itu, karena pada akhirnya setiap anggaran publik harus

dipertanggunjawabkan pelaksanaannya oleh pemerintah kepada lembaga perwakilan rakyat,

berarti anggaran negara juga berfungsi sebagai alat pengawas bagi masyarakat terhadap

kemampuan pemerintah dalam melaksanakan kebijakan yang telah dipilihnya.

Oleh karena itu, sangat dibutuhkannya perbaikan pada sistem maupun penggunaan

anggaran agar lebih taat pada peraturan perundang-undangan, efektif, efisien, ekonomis,

transparan, dan bertanggung jawab dengan memperhatiakn asas keadilan, keptuta, dan

memberikan manfaat untuk masyarakat.

Page 15: MANAJEMEN KEUANGAN PUBLIK

Daftar Pustaka

Ardyanto, Donny. 2002. Korupsi di sektor pelayanan Publik dalam Basyaib, H., dkk. (ed.)

2002, Mencuri Uang Rakyat : 16 kajian Korupsi di Indonesia, Buku 2. Jakarta:

Yayasan aksara dan Patnership for Good Governance Reform.

Diunduh dari www.kompas.com

Halim, Abdul. 2014. Manajemen Keuangan Sektor Publik: Problematika Penerimaan dan

Pengeluaran Pemerintah (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/Daerah).

Jakarta: Salemba Empat.

Helmi, Ahmad, dkk. 2003. Memahami Anggaran Publik: Jogjakarta: Idea Press.

Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2009 jo. Undang-Undang No. 20

Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

_______. Undang-Undang No 25 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah.

_______. Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

Soleh, Khudori. 2004.Wacana Baru Filsafat Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Tanzi, Vito. 1998. “Corruption Around the World: Cauces, Consequences, Scope and

Cures”, IMF Staff Papers, Vol. 45, No. 4.