management fraktur tibia 1

Upload: jarot-manurdianto

Post on 12-Jul-2015

307 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Management Kegawatdaruratan Open Fraktur Tibia 1/3 Proksimal Dextra

Pembersihan luka Luka kotor, bekuan darah dan material benda asing harsu dibuang dan dicuci dengan air steril, dan lebih ideal dengan garam fisiologis. Debridemen/pembuangan jaringan avital a. Membuang benda asing b. Membuang jaringan avital Tujuan debridemen : a. b. Mengurangi derajat terkontaminasi Menciptakan luka yang bersih

Reposisi dan stabilisasi tulang Reposisi dilakukan secara anatomis dan optimal untuk menghilangkan terjadinya dead space dan penekanan tulang pada kulit, sehingga penutupan luka tidak menjadi trgang. Fiksasi/stabilisasi dilakukan setelah reposisi untuk mempertahankan kedudukan patahan tulang. Penutupan luka Penutupan luka untuk patah tulang teruka tipe 1 dapat dilakukan dengan penutupan secara primer Penutupan luka untuk patah tulang teruka tipe 2 dan 3 sebaiknya dibiarkan terbuka dan memerlukan debridemen ulang bila ada tanda-tanda infeksi.

-

Pemberian antibiotika Pemberian antibiotiotika pada patah tulang bukanlah tindakan profilaksis, tapi merupakan tindakan terapeutik Cephalosorin merupakan broad spectrum yang diberikan secara parenteral, penambahan dengan aminoglikosida diindikasikan bila luka hebat (patah tulang tipe 3)

-

Pencegahan tetanus Peda luka dan open frakture merupakan indikasi pemberian anti tetanus profilaksis untuk mencegah terjadinya tetanus

Indikasi: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. Luka lebih dari 1 cm luka tembak frost bite luka bakar luka kontaminasi luka yang sudah lebih dari 6 jam belum tertangani crush injury terdapat jaingan nekrotik luka dengan tepi ireguler

Pemberian: ATS 1500 IU skin test dulu Tetagam tanpa skin test

Analisis Management Rumah Sakit Terhadap Open Fraktur

Pada kasus ini seorang laki-laki usia 47 tahun datang akibat tertabrak motor dengan keluhan tungkai bawah kanan sulit digerakkan. Dari hasil pemeriksaan didapatkan diagnosis fraktur oblik inkomplit 1/3 proksimal tibia dextra terbuka grade II, dilakukan terapi konservatif berupa hecting situasi, pemasangan spalk, pemberian RL 30 tpm, pemasangan DC, injeksi ATS, injeksi antibiotik Cefotaxim 2x1 gr IV, injeksi Ketorolac 3x1 amp. Terapi operatif yang dilakukan adalah pemasangan ORIF pada 1/3 proksimal tibia dextra yakni, pemasangan miniplate dan cortical screw 4 buah dan K Wire 1 buah. Mengingat frakur oblik yang tidak stabil pada tulang tibia dextra (penyangga tubuh). Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang dan/atau tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa. Akibat trauma pada tulang bergantung pada jenis trauma, kekuatan, dan arahnya. Trauma tajam yang langsung atau trauma tumpul yang kuat dapat menyebabkan tulang patah dengan luka terbuka sampai ke tulang yang disebut fraktur terbuka. Fraktur di dekat sendi atau mengenai sendi dapat menyebabkan fraktur disertai luksasi sendi yang disebut fraktur dislokasi. Secara umum, fraktur dapat dibagi menjadi 2, berdasarkan ada tidaknya hubungan antara tulang yang fraktur dengan dunia luar, yaitu fraktur tertutup dan fraktur terbuka. Disebut fraktur tertutup apabila kulit di atas tulang yang fraktur masih utuh. Tetapi apabila kulit di atasnya tertembus maka disebut fraktur terbuka, yang memungkinkan kuman dari luar dapat masuk ke dalam luka sampai ke tulang yang patah.

Pemeriksaan untuk menentukan ada atau tidaknya patah tulang terdiri atas empat langkah: tanyakan (anamnesis, adakah cedera khas), lihat (inspeksi, bandingkan kiri dan kanan), raba (analisis nyeri), dan gerakan (akif dan/atau pasif). a) Riwayat pasien : diagnosis fraktur dimulai dengan anamnesis adanya trauma tertentu, seperti jatuh, terputar, tertumbuk, dan berapa kuatnya trauma tersebut. Anamnesis dilakukan untuk menggali riwayat mekanisme cedera (posisi kejadian) dan kejadian-kejadian yang berhubungan dengan cedera tersebut. Selain riwayat trauma, biasanya didapati keluhan nyeri meskipun fraktur yang fragmen patahannya stabil, kadang tidak menimbulkan keluhan nyeri. Banyak fraktur mempunyai cedera yang khas. Perlu ditanyakan mengenai keluhan penderita dan lokasi keluhannya. Keluhan klasik fraktur komplet adalah sakit, bengkak, deformitas, dan penurunan fungsi. Sakit akan bertambah apabila bagian yang patah digerakkan. Deformitas fraktur harus dijelaskan dengan lengkap. Kita harus mengetahui bagaimana terjadinya kecelakaan, tempat yang terkena dan kemungkinan adanya faktor presipitasi fraktur (misal, tumor tulang, dll). Untuk itu, perlu ditanyakan riwayat pasien sebelumnya, apakah pasien mengalami osteoporosis, hipertensi, mengkonsumsi kortikosteroid, dll. Perlu pula diketahui riwayat cedera atau fraktur sebelumnya, riwayat sosial ekonomi, pekerjaan, obat-obatan yang dikonsumsi, merokok, riwayat alergi, dan riwayat osteoporosis serta penyakit lain. b) Pemeriksaan fisik

a. Inspeksi / look: pada pemeriksaan fisik mula-mula dilakukan inspeksi dan terlihat adanya asimetris pada kontur atau postur, pembengkakan, dan perubahan warna local. Pasien merasa kesakitan, mencoba melindungi anggota badannya yang patah, terdapat pembengkakan, perubahan bentuk berupa bengkok, terputar, pemendekan, dan juga terdapat gerakan yang tidak normal. Adanya luka kulit, laserasi atau abrasi, dan perubahan warna di bagian distal luka meningkatkan kecurigaan adanya fraktur terbuka. Pasien diinstruksikan untuk menggerakkan bagian distal lesi, bandingkan dengan sisi yang sehat. b. Palpasi / feel: nyeri yang secara subyektif dinyatakan dalam anamnesis, didapat juga secara objektif pada palpasi. Nyeri itu berupa nyeri tekan yang sifatnya sirkuler dan nyeri tekan sumbu pada waktu menekan atau menarik dengan hati-hati anggota badan yang patah searah dengan sumbunya. Keempat sifat nyeri ini didapatkan pada lokalisasi yang tepat sama. Status neurologis dan vaskuler di bagian distalnya perlu diperiksa. Lakukan palpasi pada daerah ekstremitas tempat fraktur tersebut, meliputi persendian diatas dan dibawah cedera, daerah yang mengalami nyeri, efusi, dan krepitasi. Neurovaskularisasi yang perlu diperhatikan pada bagian distal fraktur diantaranya, pulsasi arteri, warna kulit, pengembalian cairan kapiler (capillary refill test), sensibilitas. Palpasi harus dilakukan di sekitar lesi untuk melihat apakah ada nyeri tekan, gerakan abnormal, kontinuitas tulang, dan krepitasi. Juga untuk mengetahui status vaskuler di bagian distal lesi. Keadaan vaskuler ini dapat diperoleh dengan memeriksa warna kulit dan suhu di distal fraktur. Pada tes gerakan, yang digerakkan adalah sendinya. Jika ada keluhan, mungkin sudah terjadi perluasan fraktur. c. Gerakan / moving :gerakan antar fragmen harus dihindari pada pemeriksaan karena menimbulkan nyeri dan mengakibatkan cedera jaringan. Pemeriksaan gerak persendian secara aktif termasuk dalam pemeriksaan rutin fraktur. Gerakan sendi terbatas karena nyeri, akibat fungsi terganggu (Loss of function). c) Pemeriksaan penunjang: pada pemeriksaan radiologis dengan pembuatan foto Rontgen dua arah o 90 didapatkan gambaran garis patah. Pada patah yang fragmennya mengalami dislokasi, gambaran garis patah biasanya jelas. Dalam banyak hal, pemeriksaan radiologis tidak dimaksudkan untuk

diagnostik karena pemeriksaan klinisnya sudah jelas, tetapi untuk menentukan pengelolaan yang tepat dan optimal. Sehingga pemeriksaan radiologi untuk fraktur ini dapat digunakan untuk diagnosis, konfirmasi diagnosis dan perencanaan terapi, serta untuk mengetahui prognosis trauma. Radiologis untuk lokasi fraktur harus menurut rule of two, terdiri dari : memuat 2 gambaran, anteroposterior (AP) dan lateral, memuat 2 sendi di proksimal dan distal fraktur, memuat gambaran foto 2 ekstremitas, yaitu ekstremitas yang tidak terkena cedera (pada anak), dilakukan foto sebanyak 2 kali, yaitu sebelum tindakan dan sesudah tindakan. Macam-macam cara untuk penanganan fraktur : 1. Proteksi tanpa reposisi dan imobilisasi:digunakan pada penanganan fraktur dengan dislokasi fragmen patahan yang minimal atau dengan dislokasi yang tidak akan menyebabkan kecacatan di kemudian hari. Contoh cara ini adalah fraktur costa, fraktur clavicula pada anak, dan fraktur vertebra dengan kompresi minimal. 2. Imobilisasi dengan fiksasi: dapat pula dilakukan imobilisasi luar tanpa reposisi, tetapi tetap memerlukan imobilisasi agar tidak terjadi dislokasi fragmen. Contoh cara ini adalah pengelolaan fraktur tungkai bawah tanpa dislokasi yang penting. 3. Reposisi dengan cara manipulasi diikuti dengan imobilisasi : ini dilakukan pada fraktur dengan dislokasi fragmen yang berarti seperti pada fraktur radius distal. 4. Reposisi dengan traksi: dilakukan secara terus menerus selama masa tertentu, misalnya beberapa minggu, dan kemudian diikuti dengan imobilisasi. Ini dilakukan pada fraktur yang bila direposisi secara manipulasi akan terdislokasi kembali di dalam gips. Cara ini dilakukan pada fraktur dengan otot yang kuat, misalnya fraktur femur. 5. Reposisi diikuti dengan imobilisasi dengan fiksasi luar: untuk fiksasi fragmen patahan tulang, digunakan pin baja yang ditusukkan pada fragmen tulang, kemudian pin baja tadi disatukan secara kokoh dengan batangan logam di luar kulit. Alat ini dinamakan fiksator ekstern. 6. Reposisi secara non operatif diikuti dengan pemasangan fiksasi dalam pada tulang secara operatif: misalnya reposisi fraktur collum femur. Fragmen direposisi secara non-operatif dengan meja traksi, setelah tereposisi, dilakukan pemasangan pen ke dalam collum femur secara operatif. 7. Reposisi secara operatif diikuti dengan fiksasi patahan tulang dengan pemasangan fiksasi interna :ini dilakukan misalnya, pada fraktur femur, tibia, humerus, atau lengan bawah.Fiksasi interna yang dipakai bisa berupa pen di dalam sumsum tulang panjang, bisa juga berupa plat dengan sekrup di permukaan tulang. Keuntungan reposisi secara operatif adalah bisa dicapai reposisi sempurna dan bila dipasang fiksasi interna yang kokoh, sesudah operasi tidak perlu lagi dipasang gips dan segera bisa dilakukan mobilisasi. Kerugiannya adalah reposisi secara operatif ini mengundang resiko infeksi tulang. 8. Eksisi fragmen fraktur dan menggantinya dengan prosthesis: dilakukan pada fraktur collum femur. Caput femur dibuang secara operatif dan diganti dengan prostesis. Ini dilakukan pada orang tua yang patahan pada collum femur tidak dapat menyambung kembali. Komplikasi fraktur dapat diakibatkan oleh trauma itu sendiri atau akibat penanganan fraktur yang disebut komplikasi iatrogenik.

1. Komplikasi umum : syok karena perdarahan ataupun oleh karena nyeri, koagulopati diffus dan gangguan fungsi pernafasan. 2. Komplikasi Lokal

a) Komplikasi dini: komplikasi dini adalah kejadian komplikasi dalam satu minggu pasca trauma, sedangkan apabila kejadiannya sesudah satu minggu pasca trauma disebut komplikasi lanjut. Pada Tulang (Infeksi, terutama pada fraktur terbuka, Osteomielitis. Pada Jaringan lunak (lepuh dan dekubitus). Pada Otot (Terputusnya serabut otot yang mengakibatkan gerakan aktif otot tersebut terganggu, hal ini terjadi karena serabut otot yang robek melekat pada serabut yang utuh, kapsul sendi dan tulang. Kehancuran otot akibat trauma dan terjepit dalam waktu cukup lama akan menimbulkan sindroma crush atau thrombus). Pada jaringan distal dari lesi akan mengalami iskemi bahkan nekrosis. Trauma atau manipulasi sewaktu melakukan reposisi dapat menimbulkan tarikan mendadak pada pembuluh darah sehingga dapat menimbulkan spasme. Lapisan intima pembuluh darah tersebut terlepas dan terjadi trombus. Pada kompresi arteri yang lama seperti pemasangan torniquet dapat terjadi sindrome crush. Pembuluh vena yang putus perlu dilakukan repair untuk mencegah kongesti bagian distal lesi. Sindroma kompartemen terjadi akibat tekanan intra kompartemen otot pada tungkai atas maupun tungkai bawah sehingga terjadi penekanan neurovaskuler sekitarnya. Fenomena ini disebut Iskhemi Volkmann. Ini dapat terjadi pada pemasangan gips yang terlalu ketat sehingga dapat menggangu aliran darah dan terjadi edema dalam otot. Apabila iskhemi dalam 6 jam pertama tidak mendapat tindakan dapat menimbulkan kematian/nekrosis otot yang nantinya akan diganti dengan jaringan fibrus yang secara periahan-lahan menjadi pendek dan disebut dengankontraktur volkmann. Gejala klinisnya adalah 5 P yaitu Pain (nyeri), Parestesia, Pallor (pucat), Pulseness(denyut nadi hilang) dan Paralisis. Pada saraf berupa kompresi, neuropraksi, neurometsis (saraf putus), aksonometsis (kerusakan akson). Setiap trauma terbuka dilakukan eksplorasi dan identifikasi nervus. b) Komplikasi lanjut : pada tulang dapat berupa malunion, delayedunion atau nonuniondan kekakuan sendi KESIMPULAN Seorang laki-laki usia 47 tahun yang didiagnosis Fraktur 1/3 proksimal tibia dextra terbuka grade II, dilakukan terapi konservatif berupa hecting situasi, pemasangan spalk, pemberian RL 30 tpm, pemasangan DC, injeksi ATS, injeksi antibiotik Cefotaxim 2x1 gr IV, injeksi Ketorolac 3x1 amp dan terapi operatif pemasangan ORIF. REFERENSI 1. 2. 3. 4. 5. Rasjad, Chairuddin. 2003. Pengantar Ilmu Bedah Orthopedi. Makassar: Bintang Lamumpatue Syamsuhidayat, R dan Wim de Jong. 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta:EGC Sabiston (1994), Buku Ajar Bedah, bagian 2, 228- 230, EGC, Jakarta. Ganong. 2007. Buku ajar Ilmu penyakit bedah. EGC: Jakarta Staff Pengajar FKUI, 1994. Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah, FK UI : Jakarta