malnutrisi energiprotein : patofisiologi, konsekuensi klinis, dan pengobatan
DESCRIPTION
MALNUTRISI ENERGIPROTEIN: PATOFISIOLOGI,KONSEKUENSI KLINIS, DAN PENGOBATANTRANSCRIPT
BAB 10 MALNUTRISI ENERGIPROTEIN : PATOFISIOLOGI,
KONSEKUENSI KLINIS, DAN PENGOBATAN
Jumlah anak yang terkena malnutrisi dan dampak jangka panjang dari malnutrisi tersebut telah menjadikannya sebagai salah satu masalah kesehatan masyarakat terbesar yang dihadapi dunia sekarang ini. WHO memperkirakan bahwa malnutrisi memberikan kontribusi sebesar 55% terhadap mortalitas anak di seluruh dunia. Bahkan malnutrisi ringan bisa melipatgandakan risiko mortalitas khususnya mortalitasi penyakit pernafasan dan diare dan malaria, tapi risiko ini lebih meningkat lagi pada malnutrisi yang parah. Malnutrisi yang parah, yang juga disebut malnutrisi energi protein (PEM), sebenarnya dapat diobati, tapi menyedihakannya, dalam hal ini terdapat kesenjangan yang sangat tinggi antara pengetahuan yang ada tentang praktek yang telah berhasil dengan realitas penatalaksanaan kebanyakan anakanak malnutrisi. Laporanlaporan terbaru mengilustraiskan bagaimana pengadopsian penatalaksanaan terbaru bisa secara drastis mengurangi mortalitas bahkan pada kondisi yang terbatas sumberdayanya. Pentingnya malnutrisi secara global dan dampak jangka panjang yang ditimbulkan telah dibahas di Bab 11, “Nutrisi Internasional”. Signifikansi kesehatan masyarakat, seperti dibahas di Bab 9.2, “Community Nutrition and Its Impact on Developing Countries (The Chilean Experience),” menekankan pentingnya kombinasi berbagai kebijakan yang dirancang untuk mencegah malnutrisi dan perawatan anak yang mengalami malnutrisi. Para peneliti menemukan keberhasilan di Chili dengan menggunakan pendekatan seperti ini. Kegagalan untuk mengenali malnutrisi juga bisa memberikan kontribusi bagi meningkatnya morbiditas dan mortalitas pada kondisikondisi lain yang terlihat di negaranegara maju seperti penyakit jantung bawaan dan fibrosis cystic. Bab ini membahas tentang penatalaksanaan klinis malnutrisi parah dan mencoba untuk menunjukkan bagaimana sebuah pemahaman tentang patofisiologinya dapat memberikan sebuah dasar untuk perawatan anakanak yang mengalami malnutrisi parah. Berbagai faktor yang memberikan kontribusi bagi terjadinya malnutrisi telah dijelaskan di bab lain: bab ini pada dasarnya berpusat pada PEM parah sebagai sebuah entitas klinis karena kegagalan untuk mengenali kebutuhan khusus dari anakanak dapat memberikan kontribusi bagi mortalitas yang tinggi. DEFINISIDEFINISI MALNUTRISI
Malnutrisi memiliki banyak penyebab. Pada setiap individu, intake makanan yang tidak layak, infeksi, pengekangan psikologis, lingkungan, dan kemungkinan variabilitas genetik bisa memberikan kontribusi. Manifestasi klinis pada anak tergantung pada durasi dan tingkat kekurangan intake makanan, kualitas makanan, faktorfaktor host seperti usia, dan interaksi dengan infeksi.
Tahap pertama dalam diagnosa malnutrisi adalah penilaian gizi. Ini merupakan
bagian penting dari setiap evaluasi anak secara klinis dan dibahas secara rinci di Bab 2, “Nutritional Status Assessment for Clinical Care.” Penilaian gizi secara berulang untuk semua anak yang sakit juga penting untuk mencegah onset malnutrisi secara internal, yang bisa menghambat penyembuhan. Pertumbuhan yang layak merupakan sebuah indikasi kesehatan dan penyembuhan. Untuk seorang anak, informasi paling penting diperoleh dari berbagai pengukuran yang menunjukkan pertumbuhan anak, dan ini dapat memberikan informasi penting untuk mendiagnosa penyebab dan memandu perawatan. Pentingnya penggunaan pengukuran ini seringkali disadari tapi informasi yang tidak dipertimbangkan dengan baik bisa tidak dimanfaatkan.
Walaupun pengukuran tinggi dan berat badan biasanya menjadi hal pokok dalam diagnosis, namun informasi tambahan tentang komposisi tubuh bisa diperoleh dari ketebalan lipatan kulit dan beberapa metode yang lebih canggih lainnya. Uji biokimia dan hematologi juga bisa bermanfaat, khususnya dalam memantau perkembangan. PEM sering terkait dengan kekurangan mikronutrien, dan pemeriksaan harus mencakup pencarian titiktitik Bitot spesifik atau xerophthalmia, manifestasi kekurangan vitamin A dan tandatanda kekurangan mikronutrien.
Dengan hanya tergantung pada berat dan panjang atau tinggi badan anak bisa menyebabkan kekeliruan untuk menilai kwashiorkor dan perkiraan keparahan malnutrisi terlalu rendah pada anakanak ini. Skema yang direkomendaiskan oleh WHO (Tabel 101) dapat membantu dalam membedakan kedua entitas ini dan bermanfaat dalam praktek klinis. Gambar 101 mengilustrasikan seorang anak penderita marasmus dan menunjukkan pemborosan otot karakteristik khususnya pada bokong, pinched face, dan anxious meanor. Gambar 102 menunjukkan anak yang sama pada penyembuhan. Gambar 103 menunjukkan seorang anak penderita kwashiorkor. Edema simetris dapat dilihat, khususnya pada tungkati bawah. Rambut jarang, dan terdapat ruam yang terasa sakit pada bokokng, lengan, dan tangan. Gambar 104 menunjukkan edema simetris bilateral pada kaki.
Marasmus pada umumnya dianggap sebagai akibat dari inteka protein dan energi yang tidak memadai. Metabolis anak telah beradaptasi, sehingga menghasilkan perubahan yang memperlama kelangsungan hidup dan melindungi fungsi otak dan visceral yang esensial. Tipe PEM ini biasanya terjadi pada kondisi kemiskinan, keterbatasan makanan atau anorexia. Kwashiorkor juga merupakan sebuah bentuk malnutrisi yang parah. Etiologinya belum diketahui dengan baik, tapi pandangan yang berlaku adalah bahwa kekurangan protein karena intaka energi yang tidak cukup dapat menyebabkan kwashiorko tidak dapat menjelaskan semua bukti yang ada. Hasil yang didapatkan lebih berkenaan dengan interaksi antara kekurangan gizi dan respon terhadpa injury, infeksi, dan stress oksidatif. Marasmus dan kwashiorkor pada umumnya muncul bersamaan, dan walaupun pendekatan sederhana dalam manajemen klinis bisa diaplikasikan dengan baik pada kedua kondisi ini, namuan keduanya merupakan entitas yang berbeda secara klinis. PATOFISIOLOGI
Responrespon Metabolik Terhadap Intake Energi Kurang PEM adalah akibat dari kegagalan untuk memenuhi persyaratan energi dan gizi
yang sudah bersifat kumulatif dan kronis. Manifestasi proses ini tergantung pada beberapa faktor, seperti: usia, infeksi, kondisi gizi sebelumnya, dan keterbatasan makanan, dan sebagainya. Studi eksperimental klasik terhadap kekurangan energi makanan dan kelaparan para hewan dan manusia dan penelitian pada anak yang kekurangan gizi parah pada awal penelitian dan selama penyembuhan telah menambah pemahaman kita, walaupun situasi ini semakin dipersulit dengan berbagai penyebab malnutrisi pada kebanyakan anak. Penjelasan rinci mengenai hal ini akan dibahas di bab ini, tapi pembaca yang tertarik bisa merujuk ke bukubuku lain.
Tanpa adanya infeksi, kondisi kelaparan bisa menyebabkan berkurangnya simpanan lemak dan simpanan glikogen yang dimediasi oleh perubahan metabolik dan endokrin yang memiliki fungsi umum untuk menjaga fungsifungsi vital, sehingga memungkinkan hewan atau manusia bertahan hidup sampai energi makanan bisa dipulihkan. Perubahanperubahan secara dini antara lain berkurangnya aktivitas yang menghemat pengeluaran energi. Pertumbuhan lambat, mengurangi energi yang diperlukan untuk mempertahankan kondisi ini, dan perubahan terjadi pada komposisi tubuh. Laju metabolisme dinyatakan dalam kaitannya dengan tinggi atau pengurangan massa tubuh. Otak dan viscera relatif terlindungi (Gambar 105), yang menghasilkan komposisi tubuh yang merupakan ciri khas dari anak penderita marasmus. Ada peningkatan total air dalam tubuh, yang utamanya berada di luar sel tapi bisa juga berada dalam sel.
Penyesuaian metabolisme ini terhadap kelaparan diperantai, sekurangkurangnya oleh hormon. Konsentrasi kortisol meningkat tetapi tetap merespon terhadap stress. Sekresi insulin berkurang, dan terjadi pengurangan kadar dalam plasma, respon yang berkurang terhadap glukosa, dan kekebalan insulin perifer. Hormon pertumbuhan pada umum tinggi, dan penekanan normal oleh muatan glukosa hilang, walaupun ada pengecualian untuk marasmus. Aktivitas faktor 1 pertumbuhan sepertiinsulin, yang merupakan efektor metabolisme dari pertumbuhan yang mempromosikan efek hormon pertumbuhan. Efek dari perubahanperubahan hormonal ini adalah mobilisasi lemak, degradasi protein otot, dan reduksi laju metabolisme asar. Aldosteron yang meningkat dapat memberikan kontribusi bagi kehilangan potassium yang sebelumnya dihambat oleh efek keterbatasan energi dan pengurangan sintesis adenosin triposfat pada pompa sodium. Adaptasi terhadap intake protein yang berkurang
Selama kekurangan protein, otototot rangka menjadi longgar pada saat protein struktural disiklus ulang untuk melindungi enzimenzim esensial dan memberikan energi untuk proses metabolisme. Terjadi penurunan sintesis protein dan peningkatan penguraian, yang menyediakan asamasam amin esensial bagi hati untuk sitnesis protein dan glukoneogenesis. Dalam hati, terjadi pergeseran laju sintesis beberapa protein; sintesis albumin, transferrin, dan apolpoprotein B berkurang, tapi sintesis
protein lain tetap terlindungi. Perubahan Elektrolit
Perubahan komposisi kimia dari tubuh yang terjadi selama malnutrisi memiliki dampak penting untuk perawatan. Khususnya sodium potassium, dan posfat, meski perubahan elektrolit lain, seperti magnesium dan kalsium, juga kemungkinan penting tapi belum diteliti secara mendalam.
Proporsi total potassium dalam tubuh yang paling banyak adalah dalam sel (intraseluler), sebaliknya dengan sodium, yang secara aktif dikeluarkan dari sel melalui pompa sodium. Baik pada marasmus maupun kwashiorkor, retensi sodium terjadi, yang menyebabkan peningkatan total sodium dalam seluruh tubuh, walaupun kadar daerah bisa rendah, yang mencerminkan peningkatan cairan ekstraseluler. Ada penurunan potassium secara menyeluruh, walaupun potassium darah bisa tetap normal. Alleyne dan rekanrekannya menjelaskan bagaimana kinetika potassium dapat berubah selama penyembuhan. Ada represi akuat awal dari potessium ketika hypokalemia dan defisiensi menyeluruh meningkat, diikuti dengan fase recovery membran sel yang lebih lama dan pembentukan ulang gradien Na/K yang normal. Fase ketiga terjadi apabila pertumbuhan otot skeletal yang cepat meningkatkan kebutuhan potassium. Nichols dan rekan0rekannya menghitung bahwa 7,0 mmol/kg potassium dipelrukan pada pekan pertama atau fase recovery akuat, sebuah jumlah yang mirip dengan kadar suplemen yang dapat memberikan hasil terbaik pada sebuah trial klinik di Malawi.
Ketidakkonsistenan antara potassium darah dan potassium total dalam tubuh dapat dijelaskan dengan peristiwaperistiwa yang terjadi pada membran sel. Pada marasmus, terjadi penurunan aktivitas pompa sodium tergantungenergi yang sensitif ouabuin, yang menyebabkan meningkatnya sodium intraseluler dan berkurangnya potassium. Perubahanperubahan membran sel ini terkait dengan perubahanperubahan intraseluler, dengan kadar K intraseluler yang relatif rendah dan kadar sodium yang relatif tinggi. Ada banyak mekanisme yang berlangsung pada kwashiorkor, dimana terdapat peningkatan kebocoran membran sel. Sodium, yang merespon terhadap dradien elektrolit, memasuki sel, menstimulasi aktivitas pompa sodium yang meningkat tapi tidak cukup untuk mencegah peningkatan Na dan kehilangan K. Perbedaan yang serupa antara marasmus dan kwashiorkor dilaporkan oleh Kaplay di India. Forrester dan rekanrekannya menemukan bahwa perubahan elektronit ini bisa direproduksi pada eritrosit in vitro jika glutation dikurangi secara buatan, yang menyerupai situasi pada kwashiorkor. Sodium dalam sel yang meningkat disertai dengan meningkatnya cairan sel, yang juga bisa menjadi salah satu penjelasan untuk edema pada kwashiorkor. Hypoinsulinemia juga terlibat dalam proses ini. Perubahan elektrolitelektrolit ini merupakan dasar untuk rekomendasi pembatasan sodium pada makanan, penggunaan larutan rehidrasi oral yang bersodium rendah (ROS), dan suplementasi potasisum pada semua anakanak yang kekurangan gizi parah.
Hypoposfatemia telah terbukti terjadi pada anakanak kekurangan gizi dan terkait dengan mortalitas yang tinggi. Pada sebuah penelitian yang dilaksanakan di Afrika Selatan, 10 dari 60 pasien meninggal, semua pasien ini memiliki kadar fosfat dalam darah yang sangat rendah kecuali satu pasien. Kadar posfat dalam darah yang terendah terkait dengan diare dan dehidrasi. Sebuah penelitian yang lebih baru dari Malawi mendukung hubungan antara hypoposfatemia dengan mortalitas yang meningkat. Akan tetapi, kita sulit membedakan pengaruh posfat rendah dengan hypokalemia, yang juga menyebabkan hypotonia dan kematian tibatiba. Di Jamaika, kadar fosfat dalam darah pada umumnya lebih tinggi dibanding yang ditemukan di Afrika dan walaupun berkorelasi dengan edema namun tidak terkait dengan mortalitas. Replesi memerlukan waktu 2 hingga 3 pekan, bahkan untuk diet susu. Di India, hypoposfatemia parah tidak terlihat. Interaksi dengan Infeksi
Infeksi dan gizi saling berkaitan dalam sebuah lingkaran setan yang beroperasi pada berbagai tingkatan, mulai dari interrelasi sosial budaya sampai metabolisme intraselular. Kondisikondisi lingkungan yang menyebabkan kekurangan intake energi dan protein juga terkait dengan kondisikondisi dimana bakteri dan kontaminasi mikroba lainnya sering terjadi. Disamping itu, pada kondisi miskin, makanan anakanak cenderung hanya terdiri dari makanan pokok berkarbohidrat dengan sedikit atau tidak produk hewan atau lemak. Produkproduk hewan seperti gading segar, daging unggas, ikan, susu, dan telur merupakan sumber mineral yang penting dan mikronutrien lain yang memiliki peranan penting dalam melawan infeksi. Lemak, yang diperlukan untuk menyediakan asam lemak esensian (EFA) dan mempermudah absorpsi vitmain yang larut lemak seperti E, D dan A, yang juga melindungi dari infeksi, seringkali kurang pada makananmakanan ini.
Selama infeksi, terjadi perubahan metabolik yang memusatkan sumber energi tubuh pad aproduksi protein faseakut dalam hati dan seringkali berlawanan dengan yang terlihat pada kelaparan. Produksi protein faseakut dan konsekuensi metabolik dari infeksi dimediasi oleh sitokin protein, faktorfaktor dari lipid yang mencakup prostaglandin, leukotriene, dan faktor aktivasi platelet. Perubahan endokrin juga memegang sebuah peranan; konsentrasi hormon katabolisme seperti glukokortikoid, glukagon, dan epinefrin juga meningkat. Interleukin sitokin (IL)6 meningkatkan norepinefrin, kortisol, dan glukagon dan merupakan stimulus utama untuk mobilisasi protein fase akut dalam hati. Sitokin juga meningkatkan pengaruh hormonhormon yang terkait stress terhadap produksi protein fase akut. Karena interaksi antara keterbatasan makanan dan nfeksi dalam patogenesis malnutrisi, maka setiap pendekatan terpadu untuk menjelaskan patofisiologinya harus mempertimbangkan kedu ahal ini. Perbedaan antara kwashiorkor dan marasmus bisa dijelaskan sebagian oleh meningkatnya pergeseran terhadap konsekuensi infeksi metabolik pada anak penderita kwashiorkor. Disamping itu, status gizi sebelumnya bisa merubah efek infeksi terhadap metabolisme. Contohnya adalah laju penguraian dan sintesis protein
yang meningkat sebagai respon terhadap infeksi pada anakanak yang mengalami marasmus tapi tidak pada anakanak yang menderita kwashiorkor dan penyembuhan yang lebih lambat dari diare infeksi. Sitokin
Peranan sitokin yang sangat fundamental dalam infeksi dan interaksinya dengan malnutrisi, maka sebuah ringkasan singkat tentang aksi sitokin diperlukan. Untuk lebih rincinya, silahkan para pembaca merujuk pada bukubuku yang lebih rinci. Sitokin merupakan proteinprotein kecil yang nonstruktural yang bisa direproduksi oleh hampir semua sel berinti dalam jumlah yang sangat kecil, memiliki efek lokal dan sistemik, dan terlibat dalam respon utama terhadap infeksi. Sintesis sitokin diinduksi secara cepat sebagai respon terhadap infeksi, trauja, ischemia dan kondisi lain. Sitokin juga terlibat dalam memediasi perubahan metabolisme protein dan fungsi otot yang menyertai infeksi, kelaparan, dan cachexia kanker. Family faktor nekrosis tumor (TNF), IL1, dan IL6 semuanya adalanya sitokin proinflammatory. Sitokin proinflammatory memediasi respon inflammatory lokal, yang mencakup panas lokal, kemerahmerahan, nyeri, pembengkakan, dan efek sistemik seperti demam dan anoreksia. Untuk menghindari injury selama respon inflammatory, induksi sintesis sitokin dikendalikan dengan sebuah proses yang sangat interaktif dan seimbang. Sistem yang terkontrol secara ketat ini terganggu pada malnutrisi. Anakanak yang mengalami malnutrisi parah seringkali memiliki reaksi inflammatory yang berkurang dan respon febrile yang tumpul. Dalam mempertahankan kondisi ini, tingkat produksi IL1 dan TNF in vitro oleh monositmonosit yang bersirkulasi telah dilaporkan terjadi pada malnutrisi. Sebaliknya, konsentrasi sitokin IL6 dan TNF yang tinggi telah dilaporkan pada daerah anak yang bergizi kurang tanpa infeksi. Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk menemukan peranan mediatormediator inflammatory ini dalam malnutrisi, tapi konsekuensi respon inflammatory yang berkurang terhadap infeksi memiliki konsekuensi penalaksanana klinis yang penting sebagia manifestasi umum dari infeksi yang mungkin tidak terdapat pada PEM. Protein faseakut
Sitokin memodulasi produksi protein faseakut. Protein Creaktif, 1αantiitrypsin, dan makroglobulin adalah contoh protein faseakut positif, disebutα demikian karena sintesisnya oleh hati meningkatkan respon terhadap stress, termasuk infeksi. Konsentrasi protein faseakut negatif dalam darah (albumin, praalbumin, fibronectin, protein pengikat retinol) berkurang pada anakanak yang malnutrisi meski sintesis protein hepatic secara keseluruhan meningkat. Kadar fibronectin yang rendah telah dilaporkan sebagai indikator malnutrisi yang bermanfaat. Proteinprotein faseakut merupakan bagian penting dari pertahanan terhadap infeksi, tapi inflamasi yang tak terkendali telah dilaporkant erkait dengan konsekuensi yang berbahaya, misalnya, pada penyakit perut inflammatory, rheumatoid arthritis, dan kemungkinan kwashiorkor. Penelitianpenelitian yang dilakukan dipersulit oleh adanya infeksi dan malnutrisi secara bersamasama dan kekurangan kadar dalam daerah yang
menginterpretasi, yang mewakili sebuah keseimbangan antara sintesis dan katabolisme. Penelitianpenelitian di Ghana terhadap anakanak yang tidak memiliki tanda infeksi menemukan peningkatan konsentrasi protein C reaktif pada kwashiorkor dan juga pada marasmus. Kadar glikoprotein asam Alfa1 meningkat pada anakanak penderita kwashiorkor di Thailand. Di sisi lain, Ekanem dan rekanrekannya, yang meneliti anakanak 75% diantaranya mengalami kwashiorkor, hanya menemukan sedikit peningkatan protein Creaktif pada anakanak yang tidak mengalai infeksi dan banyak peningkatan pada anakanak yang terinfeksi, sehingga menunjukkan terlindunginya respon faseakut terhadap infeksi pada populasi anakanak ini. Ini berlawanan dengan temuan di Jamaika tentang kadar protein Creaktif dan amyloid A dalam daerah dengan respon sedikit pada terhadap vaksinasi diphtheriaperturristetanus. Penelitian terbaru di Jamaica yang menggunakan isotopisotop stabil, dalam hal ini pada nakaanak marasmus, yang mengalami infeksi yang menunjukkan penignkatan kadar protein faseakut dalam plasma, bisa lebih dikaitkan dengan katabolisme dan bukan terhadap penignkatan sitnesis protein, sebeliknya dengan situasi pada anakanak bergizi baik yang terinfeksi. Penelitianpenelitian lebih lanjut seperti penelitian yang menggunakan asam amino berlabel masih diperlukan untuk mengklarifikasi peranan gangguan sintesis dan katabolisme protein faseakut dalam patofisiologi malnutrisi parah. Kwashiorkor
Kwashiorkor telah lama terkait dengan kekurangna protein pada makanan, dan edema dianggap terjadi akibat kadar albumin yang rendah. Sebagai konsekuensinya, anakanak dirawat dengan menggunakan diet yang berprotein tinggi. Akan tetapi, beberapa pengamatan telah menimbulkan keraguan terhadap hipotesis ini. Kwashiorkor seringkali terjadi setelah infeksi seerpti campak dan disentri dan telah dilaporkan pada bayi yang menyusui, yang diduga memiliki intake protein yang layak, dan anakanak dalam komunitas yang sama dengan makanan yang serupa juga bisa mengalami kwashiorkor atau marasmus. Edema telah terbukti meningkat tanpa adnaya albumin. Golden telah menunjukkan bahwa recovery bisa terjadi dengan makanan berkadar protein relatif rendah dan tergantung pada intake energi bukan protein. Kelihatannya tidak mungkin bahwa kekurangan protein biasa menjadi penyebab kakwashiorkor. Radikal Bebas
Kelebihan produksi radikal bebas telah disarankan sebagai penjelasan fundamental tentang temuan klinis pada kwashiorkor. Selsel inflammatory akut yang menjadi pertahanan pertama terhadap infeksi, memberikan respon dengan ledakan respirasi dimana pada momen ini radikal bebas dihasilkan. Ini dapat merespon terhadap infeksi atau injury sel yang bergantung pada radikal bebas untuk kerusakan bakteri. Radikalradikal bebas ditandai dengan satu atau lebih elektron yang tidak berpasangan, yang membuatnya sangat reaktif dan tidak stabil. Spesies oksigen reaktif antara lain radikal oksigen seperti oksigen tunggal dan nonradikal seperti hidrogen
peroksida; spesies nitrogen reaktif termasuk oksida nitrit. Radikal bebas yang paling potensial antara lain radikal hidroksil dan radikal bebas besi, yang terjadi apabila besi yang tidak terikat terdapat selama produksi radikal bebas. Radikal bebas dihasilkan dalam metabolisme normal, dan kadar tertentu dari radikal ini diperlukan untuk berfungsi secara normal. Akan tetapi, jumlah ini dipertahankan seminimal mungkin dengan beberapa mekanisme pengikatan radikal bebas, yang mendetoksifikasi radikalradikal tersebut. Produksi radikal bebas bisa meningkat karena adanya tekanantekanan (stress). Tekanan oksidatif merupakan sebuah proses dimana keseimbangan normal antara prooksidan dengan antioksigan bergeser ke sisi oksidan, sehingga menyebabkan mengnkatnya radikal bebas yang bisa menyebabkan kerusakan biologis. Peningkatan tekanan oksidatif telah ditunjukkan pada kwashiorkor. Kerusakan yang diakibatkan oleh radikal bebas mencakup antara lain enzim dan asam nukleat yang terganggu dan peroksidasi lipoprotein dan EFGA dalam membran sel oleh hidrogen peroksida. Antioksidan pada makanan bisa melindungi dari kerusakan oksidan baik secara langsng engan mengikat radikal bebas atau karena diperlukan untuk enzim, yang menetralisir radikal bebas seperti superoksida dismutase (tergantung tembaga dan zink) atau glutathion peroksidase (tergantung selenium) dan katalase. Banyak penelitian yang menunjukkan konsentrasi antioksidan yang rendah dalam daerah dan sel daerah merah anakanak yang menderita malnutrisi, khususnya kwashiorkor. Konsentrasi glutathion dalam sel darah merah, konsentrasi vitamin E, dan rasio vitamin E/kolesterol berkurang, sehingga menghasilkan berkurangnya resistensi terhadap tekanan oksidatif.