makalah tugas akhir pak irsan adm 2014
DESCRIPTION
Fayol mengembangkan teori yang memusatkan perhatiannya pada pemecahan masalah-masalah fungsional kegiatan administrasi. Menurut Fayol kegiatan administrasi dapat dipecah secara fungsional dalam 5 fungsi, yaitua. Planning atau perencanaan b. Organizing atau pengorganisasianc. Command atau perintahd. Coordination atau koordinasie. Control atau pengawasanTRANSCRIPT
UJIAN FINALMATA KULIAH TEORI ADMINISTRASI DAN MANAJEMEN PENDIDIKAN
“PRINSIP ADMINISTRASI HENRY FAYOL DAN MANAJEMEN PENDIDIKAN TONY BUSH”(TANGGAL 18 DESEMBER 2014)
DOSEN PENGAMPU :
Dr. Irsan Rangkuti, M.Si, M.Pd
Oleh :
HABIBULLAH HASIBUAN8146132040
KELAS A1.W
PROGRAM STUDI ADMINISTRASI PENDIDIKAN KONSENTRASI KEPENGAWASAN
PROGRAM PASCA SARJANAUNIVERSITAS NEGERI MEDAN
Desember 2014
SOAL UJIAN
1. Ada beberapa prinsip administrasi yang dikemukakan oleh Henry Fayol. Menurut saudara
apakah prinsip-prinsip tersebut masih relevan dengan kondisi tata kelola lembaga
pendidikan saat ini ? jika relevan berikan alasannya dan jika tidak relevan berikan juga
alasannya ?.
2. Tony Bush salah seorang ahli manajemen dan redaktur salah satu jurnal Educational
Manajement, beliau mengemukakan 6 pendekatan manajemen pendidikan, sebutkanlah
ke-6 pendekatan/teori yang dimaksud, kemudian jelaskanlah pendekatan teori mana yang
paling sesuai dengan kondisi organisasi lembaga pendidikan di daerah saudara ?.
JAWAB :
1. Fayol mengembangkan teori yang memusatkan perhatiannya pada pemecahan masalah-
masalah fungsional kegiatan administrasi. Menurut Fayol kegiatan administrasi dapat
dipecah secara fungsional dalam 5 fungsi, yaitu
a. Planning atau perencanaan
b. Organizing atau pengorganisasian
c. Command atau perintah
d. Coordination atau koordinasi
e. Control atau pengawasan
Kelima elemen fungsional dari administrasi ini kemudian menjadi landasan bagi
fungsi dasar manajemen. Dalam karyanya yang sama, Fayol juga mengemukakan 14 prinsip
yang menyeluruh yang digunakan sebagai petunjuk bagi manajer, yaitu
a. Pembagian kerja
b. Wewenang dan tanggung jawab
c. Disiplin
d. Kesatuan dalam perintah
e. Kesatuan arah
f. Mengutamakan kepentingan umum (general interest) di atas kepentingan individu
g. Pemberian upah bagi pekerja
h. Sentralisasi
i. Rantai perintah
j. Ketertiban
k. Keadilan
l. Kestabilan masa kerja pekerja
m
. Inisiatif
n. Semangat jiwa kesatuan atau korps.
Dari prinsip-prinsip tersebut dapat dilihat bahwa tujuh prinsip di antaranya
berkaitan dengan rantai perintah dan alokasi kewenangan. Sedangkan dua prinsip lainnya
berkaitan dengan keadilan dalam sistem dan dua lainnya berkaitan dengan stabilitas dan
ketertiban. Menurut Fayol, jumlah dan prinsip-prinsip tersebut tidaklah merupakan harga
mati, artinya jika dari pengalaman ternyata muncul prinsip baru, maka penambahan prinsip
itu bukanlah masalah yang penting. Menurut Fayol, hal yang lebih penting adalah bahwa
prinsip-prinsip tersebut dapat diterapkan dalam setiap organisasi. Ini merupakan hal yang
baru dalam perkembangan teori organisasi karena asas universalitas mulai dikenal dan
dipergunakan dalam perkembangan dan penerapan teori organisasi.
Dari uraian di atas, prinsip-prinsip manajemen yang dikemukakan oleh Henry Fayol
masih relevan diterapkan dalam tata kelola pendidikan saat ini. Hal itu dikarenakan tata
kelola pendidikan pada dasarnya sama dengan tata kelola dalam dunia bisnis hanya saja
produk dari dunia pendidikan berujud peningkatan kemampuan dan karakter dari manusia,
maka dalam proses pelaksanaanya tidak sama dengan yang dilakukan di dunia bisnis. Dunia
pendidikan dapat menerapkan prinsip-prinsip manajemen dari Henry Fayol tapi dengan
dilandasi bahwa pencapaian target (peningkatan kemampuan dan pembentukan karakter
siswa) tidak dapat dilakukan dalam waktu yang cepat atau serta merta, namun target
tersebut dapat dicapai dalam waktu yang relatif agak lama.
2. Tony Bush salah seorang ahli manajemen dan redaktur salah satu jurnal Educational
Manajement, beliau mengemukakan 6 pendekatan manajemen pendidikan antara lain
sebagai berikut :
1) Formal Models
Formal Models beranggapan bahwa lembaga/organisasi adalah sistem hirarki yang
di dalamnya menejer mempergunakan cara –cara rasional guna mencapai tujuan yang
telah disepakati. Para menejer memiliki kekuasaan yang disahkan oleh kedudukan formal
mereka dalam lembaga tersebut dan berhak mensponsori badan/lembaga untuk kegiatan
organisasi atau lembaganya (Bush, 2003, p.37).
Model ini memiliki tujuh keutamaan:
1. Model tersebut memberlakukan lembaga/organisasi sebagai system. Sebuah system
yang di dalamnya terdiri dari berbagai elemen kelembagaan yang satu dengan lainnya
saling berhubungan. Termasuk sekolah, sebagai contoh, seluruh bagian dan sub unit
berhubungan satu dengan lainnya secara sistimatis.
2. Formal Models memberikan kedudukan penting kepada pemegang kewenangan dalam
organisasi tersebut. Susunan formal sering digambarkan dalam struktur organisasi ,
yang menunjukkan hubungan dan urutan kewenangan antar anggota dalam lembaga
tersebut.
3. Dalam Formal Models susunan kewenangan dalam organisasi/lembaga bersifat hirarki
(yang merupakan alat control para pemimpin atas stafnya). Para guru bertanggung
jawab kepada para ketua bidang yang secara berkala memberikan pelaporan atas semua
kegiatan di departemennya kepada kepala sekolah.
4. Semua pendekatan formal menggambarkan sekolah sebagai lembaga atau sarana
pencapaian tujuan. Lembaga tersebut dianggap memiliki tujuan resmi yang dapat
diterima dan diusahakan pencapaiannya oleh seluruh anggota organisasi tersebut.
Tujuan itu senndiri penetapannya disesuaikan dengan perkembangan dan perubahan
visii sekolah tersebut.
5. Segala keputusan yang dihasilkan/diambil merupakan hasil dari pemikiran yang
seksama. Semua pilihan (yang merupakan keputusan) dipertimbangkan dan dievaluasi
dalam rangla pencapaian tujuan lembaga.
6. Pendekatan - pendekatan formal menghadirkan kewenangan para pemimpin karena
jabatannya.
7. Adanya penekanan khusus berkenaan dengan pertanggungjawaban lembaga kepada
pihak sponsor. Di Negara penganut sistim sentralisasi, kepala sekolah bertanggung
jawab kepada pemerintah pusat, sedang pada sistim desentralisasi mereka bertanggung
jawab kepada pemerintah daerah. Ketujuh cirri utama di atas hadir dengan kelbihan dan
kekurangannya masing-masing, namun kesemuanya adalah merupakan bagian dari
“Formal Models”.
2) Collegial Models
Hal terpenting dari model ini (yang popular ssejak tahun 1980-an) mencakup
keseluruhan teori yang menekankan bahwa pengambilan keputusan penting berkenaan
dengan tujuan lembaga yang hendak dicapai melalui proses musyawarah. Kewenangan
diberikan kepada individu – individu yang dipandang berhak memiliki pemahaman
terhadap tujuan lembaga (Bush 2003). “selagi para guru mendiskusikan dan mengerjakan
segala sesuatunya bersama-sama itulah kolegalitas” (Brundrett 1998 p. 305); “… sesuatu
akan dicapai manakala para guru bekerjasama , dan sesuatu akan hilang bila mereka tidak
bekerjasama” Little (1990 p. 166).
Collegial Models dan keutamaannya:
1. Bersifat Normatif. Keyakinan mendasar dari kolegalitas terbentuk berdasarkan rencana
atau pertimbangan belaka, dan tidak berdasar pada hasil penelitian pelaksanaan
pendidikan.
2. Model ini tampaknya cocok penerapannya pada lembaga seprti sekolah perguruan
tinggi yang secara signifikan memiliki sejumlah tenaga professional. Guru, selain
memiliki kewenangan untuk mempraktikkan keahliannya, kewenangan untuk mengatur
dan mengelola kegiatan kelasnya dalam rangka pencapaian tujuan, mereka juga perlu
bekerja sama untuk menentukan pendekatan filosofis yang cocok untuk kegiatan belajar
mengajar (Brundrett, 1998, p. 307). Para professional memiliki hak berperanserta dalam
proses pengambilan keputusan. Segala keputusan lebih baik diinformasikan, dan lebih
penting dari itu dapat terlaksana secara efektif.
3. Mereka beranggapan bahwa norma umum yang dilaksanakan anggota organisasi
mengarahkan kegiatan managerial lembaga meraih. tujuan kependidikan. Norma
umum para professional menyatakan keoptimisan bahwa selalu mungkin untuk
mencapai kesepakatan yang berkenaan dengan tujuan-tujuan dan kebijakan lembaga.
“shared vision” mendasari mereka dalam pengambilan keputusan.
4. Jumlah peserta dalam pengambilan keputusan merupakan elemen penting. Makin
sedikit orang berarti pendapat orang perorang makin dapat didengar dan diperhatikan.
Barangkali model ini dapat bekerja dengan baik di lembaga pendidikan tingkat dasar
atau sub-unit, dari pada lembaga tingkat menengah. Di sekolah lanjutan dan perguruan
tinggi pertemuan seluruh staff biasanya hanya diperuntukkan pertukaran informasi.
Model in memahami dan mengatasi kesulitan tersebut dengan membangun asumsi
bahwa guru memiliki perwakilan formal.
5. Keputusan tercapai karena konsensus. Keyakinan bahwa ada nilai-nilai umum dan
tujuan bersama meyakinkan mereka bahwa dapatlah kiranya dikehendaki dan
dimungkinkan untuk memecahkan permasalahan dengan kesepakatan. Proses
pencapaian keputusan bisa jadi diperlama dengan pencarian kesepakatan; tetapi ini
berkenaan dengan sesuatu yang berharga dan dapat diterima sebagai upaya menjaga
aura nilai-nilai dan keyajinan bersama. (Bush, 2003, p. 65-67).
3) Political Models
Political Models mencakup segala teori yang menggolongkan penetapan keputusan
merupakan proses penawaran. Analisis focus pada pembagian kekuasaan dan pengaruh
dalam organisasi dan pada penawaran dan perundingan antara kelompok yang
berkepentingan. Konflik dipandang sebagai endemik (terjadi pada ranah tertentu dan
sering serta biasa terjadi) dalam organisasi, dan management diarahkan pada aturan yang
sesuai dengan perilaku politik. (Bush, 2003, p. 89). Baldridge’s (1971) meneliti di universitas
di U.S. menyimpulkan bahwa Political Models dibanding dengan pandangan Formal dan
Collegial Models, merupakan model yang paling tepat dan sesuai dengan dengan
kehidupan nyata di pendidikan yang lebih tinggi. Keutamaan Political Models meliputi:
1. Mereka lebih mengutamakan kegiatan kelompok dari pada lembaga sebagai
keseluruhan. Ball (1987) merujuk pada “baronial politics” (p.221) dan menguraikan
bagaimana konflik antar pimpinan kelompok-kelompok kecil terjadi. Konflik antar
“baron” utamanya berkenaan dengan segala sumber (segala hal yang menopang
kelangsunagn hidup kelompok) dan kekuasaan.
2. Menekankan diri pada kepentingan (tujuan kelompok) dan kelompok yang
berkepentingan. Setiap individu menjadi anggota kelompok lebih dikarenakan mereka
memiliki berbagi kepentingan(tujuan, nilai, keinginan pengharapan, dan orientasi
lainnya) pribadi yang menuntunnya untuk berbuat sesuai dengan caranya. (Morgan,
1997, p. 61).
3. Model ini menekankan penghentian konflik di organisasi. Kelompok-kelompok
kepentingan mencoba mencapai tujuannya masing-masing., yang terkadang sangat
berbeda dengan tujuan sub-sub unit yang ada dalam organisasi dan mendorong
terjadinya konflik di antara mereka. “Konflik akan selalu hadir daalam organisasi…. Yang
penyebabnya adalah perbedaan berbagai kepentingan” Morgan, 1997, p. 167).
4. Mereka beranggapan bahwa tujuan organisasi itu tak tetap, ambigu bermakna ganda),
dan dipertunjukkan (kamilah yang paling…). Orang perorangan, kelompok-kelompok
kepentingan dan koalisi mempunyai tujuan, dan masing-masing bergerak untuk
pencapaiannya,” …serta berusaha mengadakan tawar menawar dengan sesama anggota
atau koalisi untuk mempengaruhi penetuan tujuan dan proses pembuatan keputusan”
(Bolman & Deal, 1991, p. 190).
5. “Tujuan-tujuan dan keputusan organisasi merupakan hasil dari proses tawar-menawar,
diskusidan, perjokian (usaha mencapai tujuan pribadi dengan memanfaatkan orang
lain / pihak koalisi) untuk memperoleh kedudukan / pengaruh anggota dari berbagai
koalis” (Bolman & Deal, 1991, p. 185).
6. Central dari Political Theories (teori politik) adalah KEKUASAAN. Hasil dari proses
pengambilan keputusan yang rumit (perdebatan sengit) lebih ditentukan berdasarkan
kekuatan relatif dari para individu dan kelompok kepentingan yang terlibat.
“Kekuasaan/Kekuatan merupakan media /alat untuk menyelesaikan segala bentuk
konflik kepentingan. Kekuatan/kekuasaan mempengaruhi/menentukan siapa yang
dapat apa, kapan dan bagaimana . . . sumber kekuasaan adalah kaya (uang,
kewenangan dan pengaruh, ssrta factor pendukung lain) dan beragam” (Morgan, 1997,
p. 170-171)
4) Subjective Models
Subjective Model focus pada anggotanya, bukan pada organisasi secara keseluruhan
dan sub-sub unitnya. Masing-masing personal memiliki (subjektifitas) pandangan yang
berbeda-beda terhadap organisasi. Situasi dan setiap peristiwa memiliki arti yang berbeda
untuk setiap anggota organisasi. Organisasi digambarkan sebagai unit-unit yang komplek,
yang merefleksikan berbagai makna dan persepsi orang-orang di dalamnya. Organisasi
merupakan manifestasi (perwujudan) nilai-nilai dan keyakinan individu bukan kenyataan
konkrit seperti ditunjukkan dalam Formal Models.
“Sujective Models mengaanggap bahwa organisasi merupakan kreasi/karya orang-orang
yang terlibat di dalamnya. Anggota berusaha dengan sungguh-sungguh untuk
menerjemahkan berbagai situasi dalam berbagai cara dan persepsi perorangan itu didasari
latar belakang dan nilai-nilai yang mereka miliki. Organisasi memiliki makna yang berbeda-
beda untuk setiap anggota sesuai dengan latar belakang pengalamannya. (P. 113) Mulai
terkenal dalam manajemen kependidikan sebagai hasil usaha Thomas Greenfield di era
1970-an dan 1980-an. Greenfield konsern pada beberapa aspek teori pendukung yang
menurutnya cocok dan dominan di dalam organisasi kependidikan. Menurutnya teori
pendukung merupakan “bad theory” yang focus pada lembaga sebagai seperti adanya.
Mereka focus pada keyakinan dan persepsi dari para anggotanya, bukan pada tingkat
kelembagaan atau kelompok-kelompok kepentingan; dan ini merupakan perbedaan
mendasar antara Subjective Models dan Formal Models, dant Hodgkinson (1993)
memendang nya sebagai pemisashan yang tak mungkin terjembatani. “Kenyataan tak akan
pernah lepas dari kebaikan dan keburukan (sebuah keyakinan), dan perorangan tidak akan
pernah menjadi tim” (p. xii)’
Keutamaan dari interpretive or qualitative research sesuai ideyang dikemukakan Subjective
Models:
1. Focus pada penanggapan individual dari pada keseluruhan organisasi. Subjek pandangan
individu merupakan isu sentral dalam penelitian kualitatif (Morison, 2002, p. 19).
2. Menekankan pada pemaknaan atau interpretasi, didasarkan pada kegiatan para
anggota. “Seluruh kehidupan manusia terjalani dan terbangun dari subjektifitas sudut
pandang” (Morrison, 2002, p. 19).
3. Hasil penelitian diinterpretasikan menggunakan teori yang terpisah-pisah. “Teori harus
baru dan sedang/masih berkembang dan harus muncul dari situasi tertentu; haruslah
terurai pada data hasil penelitian. Theory seharusnya tidak menyimpang dari penelitian
tetapi mengikutinya” (Cohen et al, 2000, p.23)
5) Ambiguity Models
Dalam organisasi, model ini menekankan ketidakmenentuan dan ketidakpastian
(ambiguitas). (Bush, 2003): Ambiguity Models menganggap bahwa ketidakpastian dan
situasi yang tak menentu merupakan keutamaan yang dominan dalam organisasi. Tidak ada
kejelasan tujuan lembaga, serta prose mereka tidak mudah untuk dipahami. Ambiguity
models tergabung dengan sebuah grup (para ahli teori), kebanyakan dari U.S. yeng
membangun semua ide meraka di era 1970-an.mereka kecewa terhadap Formal Models,
yang mereka pandang tidak cocok untuk kebanyakan organisasi. Julukan dari Ambiguity
perspective adalah the “garbage can” model (tong sampah), yang dekembangkan oleh
Chohen and March (1986). Segalanya terjadi hanya sekejap (sekali); teknologi berubah dan
sulit dimengerti; persekutuan, kepentingan/keutamaan, danpersepsi berubah; masalah,
solusi, kesempatan, penalaran/ide, manusia, serta hasil menyatu pada satu cara yang
membuat interpretasi mereka tidak jelas dan hubungannya juga tak jelas (March, p. 36).
Keutamaan Ambiguity Models:
1. Tidak ada kejelasan berkenaan dengan tujuan organisasi. Banyak lembaga dianggap
memiliki tujuan yang tidak pasti dan sulit untuk dipahami, dengan kata lain tujuan dan
maksud menjadi hanya melalui pola laku anggota – anggota organisasi (Chohan &
March, 1986). Organisasi ada untuk bekerja pada berbagai ketidakpastian dan miskin
skala prioritas. Mereka lebih sering menemukan skala prioritas (mana yang lebih utama)
melalu aksi/tindakan, tidak bertindak berdasarkan skala prioritas (p. 3). Lembaga
Kependidikan yang ada dipandang sebagai organsiasi penerap model tersebut. Sebab
guru bekerja dengan leluasanya (merdeka), boleh jadi jarang menemui kesulitan dalam
pencapaian keinginannya.
2. Organisasi memiliki permasalahan pemahaman terhadap tindakan/proses mereka yang
sulit dipahami. Di dalam pendidikan, tidaklah jelas bagaimana siswa memperoleh
pengetahuan dan ketrampilan sehingga proses pengajaran diliputi keraguan dan
ketidakpastian. Bell (1980) menyatakan bahwa ketidakpastian memasuki fungsi sentrl
sekolah.
3. Teori ambiguity (ketidakpastian) berpendapat bahwa organisasi dipersamakan dengan
pembabagan (layaknya drama). Sekolah dibagi menjadibeberapa kelompok yang
memiliki emikiran/tujuan internal berdasar nilai-nilai dan tujuan umum. Hubungan antar
kelompok lemah, tidak menentu dan tak terduga. Weick (1976) menggunakan istilah
“loose coupling” untuk menggambarkan hubungan antar sub- unit. “Loose coupling . . .
membawa konotasi dari ketidaktetapan, kebuntuan (sesuatu masalah tak terpecahkan),
dan kehampaan yang kesemuanya secara secara potensial merupakan kelengkapan
perekat (lem)” (p.3) yang menjalankan organisasi bersama.
4. Dengan model tersebut, struktur keorganisasian dipandang sebagai permasalahan.
Seluruh komite dan lembaga formal memiliki hak dan tanggungjawab, yang saling
melampaui kewenangannya dan dengan kewenangan yang diberikan kepada manager
perseorangan. Kekuasaan efektif dari setiap elemen dalam struktur berbeda dengan
persoalan dan sesuai dengan tingkatan partisipasi anggota komite.
5. Model ini lebih cocok untuk organisasi professional pelayanan pelanggan (biro jasa
konsultasi). Persyaratan bahwa para professional membuat keputusan individual, dari
pada bertindak dalam ketentuan rumusan managerial, menuntun pada pandangan
bahwa sekolah dan perguruan tinggi yang lebih besar bertidak dalam suasana
ketidakpastian.
6. Mereka menyatakan adanya alur/aliran partisipasi managemen organisasi. “Partisipan
didalam organisasi saling berbeda dalam waktu dan usaha yang mereka berikan kepada
organisasi; partisipan secara individu berbeda dari waktu ke waktu. Sebagai hasil teori
standar dari kekuasaan dan kegiatan memiih tampaknya tidak penting.” (Chohen
&March, 1986, p. 3).
7. Sumber lain dari teori ketidakpastian disediakan pesan-pesan yang dihasilkam oleh
lingkungan organisasi. Pada era di mana perubahan terjadi dengan cepatnya (rapid
change), sekolah boleh jadi menghadapi berbagai kesulitan dalam pemahaman bebagai
rmacam pesanyang disalurkan lewat lingkungan dan bertautan ketidaksepahaman dari
pesan-pesan tersebut. Ketidakpastian yang timbul dari luar menambah ketidakpastian
dari proses pembuatan keputusan dalam lembaga.
8. Teori ini mengedepankan hasil keputusan yang tak terencana. Tidak adanya tujuan yang
disepakati berarti segala keputusan tak punya keutamaan (tak focus). Persoalan, solusi,
hubungan antara anggota pilihan dengan takterduga muncul melalu siatuasi
kebingungan.
9. Menekankan pada keuntungan dari sistem desentralisasi. Dengan memberikan
keruwetan dan ketidakpastian pada organisasi, diharapkan bahwa banyak keputusan
sebaiknya dibebankan kepada sun-sub unit dan perorangan. Weick (1976) berpendapat
bahwa pembebanan memungkinkan organisasi tetap hidup, sedangkan sub-unit
tertentu terancam.
6) Cultural Models
Cultural Models meyakini bahwa nilai-nilai, keyakinan, serta idiologi merupakan
jantung dari organisasi. Individual memiliki ide dan keutamaan, yang mempengaruhi
bagaimana mereka bersikap dan bagaimana mereka memandang perilaku anggota lainnya.
Norma tersebut menjadi tradisi organisasi, yang terkomunikasikan di dalam grupdan
diperkuat dengan lambang/symbol dan ritual (perbuatan) (p. 156). Beare, Caldwell, and
Millikan (1992) menyatakan bahwa kultur memungkinkan untuk menjelaskan kualitas dari
individual dalam organisasi . keunikan adalah perilaku kehidupan, nilai-nilai itu penting, dan
mereka seharusnya diayomi.
Societal Culture: societal cultures utamanya membedakan pada tingkatan nilai-nilai
dasar; artinya lebih bersifat dapat terus diikuti dan perubahan terjadi untuk waktu yang
lama; sedangkan organizational cultures lebih membedakan untuk tingkatan
pelaksanaan/kegiatan yang ada /tampak, dan setiap saat diubah dan diatur.
Keutamaan Organisational Cultures:
1. Fokus pada nilai-nilai dan keyakinan yang dimiliki para anggota organisasi. Focus juga
pada pemahaman kultur yang dominan dalam organisasi tetapi tidak serta merta bahwa
nilai-nilai individual selalu selaras satu samalainnya. Boleh jadi ada sistem nilai yang
berbeda yang menciptakan gambaran kenyataan-kenyataan keorganisasian dari pada
keseragaman kultur yang berlaku. Organisasi-organisasi besar yang memiliki berbagai
tujuan, secara khusus tampaknya memiliki berbagai kultur.
2. Menekankan pengembangan norma-norma yang makna yang dimiliki atau berlaku.
Asumsinya bahwa interaksi antar anggota organisasi atau sub gup-nya, suatu waktu
menuju pada norma-norma perilaku yang secara bertahap menjadi keutamaan budaya
sekolah atau perguruan tinggi. Norma kelompok ini terkadang mengikuti perkembangan
dari monokultur di sekolah dengan faham yang dimiliki dengan perantaraan staff-“the
way we do things around here-“inilah cara kami melakukan segalanya di sini. Kami
sadari, bagaimanapun, boleh jadi ada beberapa sub-kultur berdasar pada professional
dan kepentingan-kepentingan personal dari kelompok lain. Hal ini secara internal tidak
ada masalah, akan tetapi menghadapi kesulitan dalam menjalani hubungan dengan
kelompok lain yang norma-norma perilakunya berbeda. Budaya secara khusus
diekspresikan melalui ritual dan upacara, yang digunakan untuk mendukung dan
mengungkapkan keyaknan-keyakinan dan norma. Sekolah kaya akan perlambang.
“Perlambang central untuk proses untuk pembentukan makna.” (Hoyle, 1986, p. 152).
3. Organizational cultur meyakini keberadaan pria dan wanita hebat (dijadikan tokoh
panutan/pahlawan) yang mengespresikan nilai-nilai dan keyakinan organisasi. Mereka
mencontohkan/memerankan perilaku organisasi. Champbell-Evan (1993, p. 106)
menekankan bahwa pria/wanita panutan (tokoh pahlawan) adalah mereka yang
keberhasilanya sesuai dengan budaya yang berlaku.
Dari uraian di atas maka saya berkesimpulan bahwa yang sesuai dengan
kondisi organisasi lembaga pendidikan di daerah saya di Kabupaten Aceh Selatan, Propinsi
Aceh yaitu cultural models. Aceh sendiri memiliki julukan serambi aceh yang kental
dengan Agama dan masih memegang teguh adat istiadat dan beraneka ragam budaya
termasuk tempat saya bertugas yaitu di Dinas Pendidikan Aceh Selatan. Di Aceh sendiri
merupakan daerah otonomi khusus yang memiliki peraturan-peraturan daerah atau
yang disebut Qanun. Jalannya organisasi di Dinas Pendidikan Kab. Aceh Selatansendiri
menekankan pengembangan norma-norma yang berlaku dimana pada norma-norma
perilaku yang secara bertahap menjadi keutamaan budaya sekolah atau perguruan
tinggi. Di sekolah masih memegang teguh adat istiadat setempat yang berpengaruh
pada jalannya organisasi pendidikan di Kab. Aceh Selatan. Aturan-aturan atau norma-
norma tersebut juga tidak bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila yang menjadi
ideologi bangsa Indonesia. Suatu aturan akan mudah ditaati dan dijalankan jika sesuai
dengan kepribadian dari masyarakat tempat aturan tersebut dijalankan, sehingga
aturan-aturan atau prinsip-prinsip organisasi dalam culture models akan berjalan lancar
dan dapat ditegakkan di Aceh.