makalah tafsir al qur
TRANSCRIPT
Makalah Tafsir Al Qur’an:
Tafsir al-Ibriz Li Ma’rifah Tafsir al-Qur’an al-‘Aziz
Karya KH Bisri Mustofa
Oleh:
Priyo Utomo 206000208
Dodi G Somawikarta
Biografi Penulis : KH Bisri Mustofa
KH Bisri Musthof, lahir pada 1915 di Rembang Jawa Tengah dan meninggal pada 16/24
Februari 1977. Kiai Bisri menjadi siswa sekolah Ongko Loro. Kemudian nyantri di pesantren
Kajen s, pesantren Kasingan Rembang dan puncaknya di Makkah al-Mukarramah. Kiai Bisri
merupakan sosok multi dispilin, orator ulung, politikus, kiai pesantren sekaligus pengarang
yang sangat produktif. Juga seorang muballigh yang mampu berbicara tentang berbagai
persoalan; agama, sosial, politik, dan sebagainya. Misalnya pada Pemilu pertama 1955, Kiai
Bisri telah menampakkan keistimewaannya dalam merangkai kata dan menata vokal saat
kampanye untuk Partai Nahdhatul Ulama (PNU). Hasilnya, PNU waktu itu berhasil menjadi
partai papan atas setelah PNI dan Masyumi.
KH Bisri Musthofa adalah tokoh yang hidup dalam tiga zaman. Pertama, pada zaman
penjajahan, Kiai Bisri duduk sebagai salah satu Ketua NU dan Ketua Hizbullah cabang
Rembang. Lantas, setelah Majlis Islam A’la Indonesia (MIAI) dibubarkan Jepang, Kiai Bisri
diangkat menjadi Ketua Masyumi cabang Rembang yang ketua pusatnya waktu itu
Hadhratusysyaikh KH Hasyim Asy’ari dan wakilnya Ki Bagus Hadikusumo. Kiai Bisri juga
pernah menjabat sebagai Kepala Kantor Agama dan Ketua Pengadilan Rembang. Menjelang
kampanye Pemilu 1955, Kiai Bisri mulai aktif di PNU.
Kedua, pada zaman pemerintahan Ir. Soekarno atau Orde Lama, Kiai Bisri duduk sebagai
anggota konstituante, anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) dan
Pembantu Menteri Penghubung Ulama. Sebagai anggota MPRS, Kiai Bisri turut terlibat
dalam pengangkatan Letjen Soeharto sebagai presiden menggantikan Ir. Soekarno. Bahkan
Kiai Bisri diamanati memimpin do’a kala pelantikan Soeharto.
Ketiga, pada zaman pemerintahan Soeharto atau Orde Baru, Kiai Bisri pernah menjadi
anggota DPRD I Jawa Tengah hasil Pemilu 1971 dari Fraksi NU dan anggota MPR dari
Utusan Daerah Golongan Ulama. Pada 1977, ketika partai Islam berfusi ke Partai Persatuan
Pembangunan (PPP), Kiai Bisri menjadi Ketua Majlis Syura PPP pusat sekaligus anggota
Syuriah NU wilayah Jawa Tengah. Menjelang Pemilu 1977, Kiai Bisri terdaftar sebagai calon
No. 1 anggota DPR Pusat dari PPP untuk daerah pemilihan Jawa Tengah. Beliau meninggal
pada 1977.
Tentang Tafsir al-Ibriz
Karya tafsir Kiai Bisri Musthafa ini berjudul lengkap al-Ibriz Li Ma’rifah Tafsir al-Qur’an
al-‘Aziz dan lebih dikenal dengan al-Ibriz. Sebelum disebarluaskan kepada khalayak ramai,
karya tafsir ini terlebih dahulu di-taftisy oleh beberapa ulama terkenal, seperti al-‘Allamah al-
Hafidz KH Arwani Amin, al-Mukarram KH Abu ‘Umar, al-Mukarram al-Hafidz KH Hisyam,
dan al-Adib al-Hafidz KH Sya’roni Ahmadi. Semuanya ulama kenamaan asal Kudus Jawa
Tengah. Dengan demikian, kandungannya dapat dipertanggungjawabkan baik secara moral
maupun ilmiah.
Oleh penulisnya, seperti dinyatakan dalam kata pengantar, karya tafsir ini sengaja ditulis
dalam Bahasa Jawa, dengan tujuan supaya orang-orang lokal, Jawa, mampu memahami
kandungan al-Qur’an dengan seksama. Karya tafsir ini ditampilkan dengan ungkapan yang
ringan dan gampang dicerna, hatta oleh orang awam sekalipun. Dan sebagai penguatan
argumentasi di dalam karya ini, Kiai Bisri banyak ‘mencomot’ hasil pemikiran ulama-ulama
sebelumnya.
Kiai Bisri menuturkan, ‘Dene bahan-bahanipun tarjamah tafsir ingkang kawulo segahaken
puniko, mboten sanes inggih naming metik saking tafsir-tafsir mu’tabarah, kados Tafsir al-
Jalalain, Tafsir al-Baidhowi, Tafsir al-Khazin, lan sak panunggilanipun”. (Adapun bahan-
bahan terjemah tafsir yang kami suguhkan ini, tak lain hanya memetik dari kitab-kitab tafsir
yang mu’tabar, seperti Tafsir al-Jalalain, Tafsir al-Baidhowi, Tafsir al-Khazin, dan
sebagainya. Dari tuturan ini, dua point penting bisa diambil: karya ini disebutnya sebagai
tarjamah-tafsir dan bahan-bahannya diambil dari tafsir-tafsir mu’tabar karya para ulama
terdahulu.
Namun demikian, bukan berarti pemikiran Kiai Bisri tenggelam sama sekali di telan
gelombang pemikiran ulama-ulama sebelumnya. Ungkapan itu tak lain sebagai
penggambaran atau tepatnya pengakuan, bahwa tafsirnya lebih banyak menukil pendapat
ulama-ulama sebelumnya ketimbang pendapat pribadinya. Hanya saja sayangnya, Kiai Bisri
jarang sekali menyebutkan sumber-sumber asal penafsirannya, misalnya ada kitab ini atau
anu. Ketiadaan penyebutan sumber ini, pada akhirnya akan memberi kesan bahwa kitab al-
Ibriz memang betul-betul murni pemikiran sang penulis dan bukan hasil ‘comotan’ dari kitab-
kitab tafsir sebelumnya. Jarangnya penyebutan sumber ini, praktis menyisakan kesulitan
tersendiri bagi pemakalah untuk melacak warna pemikiran yang bertaburan dalam tafsir al-
Ibriz ini. Pemikiran al-Suyuti, al-Khazin, atau al-Baidhawi kah yang paling dominan
mewarnai al-Ibriz, semuanya masih remang-remang.
Metode Penulisan al-Ibriz
Dalam memetakan metodologi penulisan al-Ibriz yang ditetapkan KH Bisri Musthofa,
pemakalah hanya mengikuti apa yang telah dinyatakannya. Kiai Bisri menegaskan, metode
penulisan al-Ibriz adalah sebagai berikut:
a. Ayat al-Qur’an ditulis di tengah dengan diberi makna gandul atau jebres khas pesantren-
pesantren di wilayah Jawa.
b. Terjemahan tafsir ditulis di bagian pinggir.
Hal lain yang tak kalah menarik, itu terkait penggunaan bahasa dalam tafsir al-Ibriz. Selain
lokal, Jawa, bahasa ini juga memiliki unggah-ungguh. Ada semacam hirarki berbahasa yang
tingkat kehalusan dan kekasaran diksinya sangat tergantung pihak-pihak yang berdialog. Ini
kekhasan tersendiri dari bahasa Jawa (termasuk juga bahasa Sunda), yang tidak dimiliki
karya-karya tafsir lainnya. Karenanya, pemakalah berani menyimpulkan, bahasa Jawa yang
digunakan oleh Kiai Bisri berkisar pada dua hirarki: bahasa ngoko (kasar) dan bahasa kromo
(halus).
Kedua hirarki bahasa ini dipakai pada saat berbeda. Bahasa ngoko digunakan tatkala Kiai
Bisri menafsirkan ayat secara bebas, karena tidak ada keterkaitan dengan cerita tertentu dan
tidak terkait dengan dialog antar dua orang atau lebih. Sementara bahasa kromo digunakan
untuk mendeskripsikan dialog antara dua orang atau lebih, yang masing-masing pihak
memiliki status sosial berbeda. Satu di bawah dan lainnya di atas. Satu hina dan lainnya
mulia. Misalnya, deskripsi dialog yang mengalir antara Ashab al-Kahf dengan Raja Rumania
yang lalim, Diqyanus, antara Qithmir (anjing yang selalu mengiringi langkah Ashab al-Kahf)
dengan Ashab al-Kahf, antara Nabi Muhammad SAW dengan seorang konglomerat Arab-
Quraisy bernama Uyainah bin Hishn, antara Allah SWT dengan Iblis yang enggan menuruti
perintah-Nya untuk bersujud pada Adam AS, juga antara Khidir AS dengan Musa AS.
Kiai Bisri terkadang juga menampilkan Hadis Nabi apa adanya, tanpa menyebutkan
rangkaian sanadnya. Statusnya, shahih, hasan, atau dhaif-kah, juga tak disebutkannya.
Penyebutan semacam ini jelas akan menimbulkan pelbagai pertanyaan, utamanya terkait
status Hadis itu. Selain menampilkan Hadis Nabi, Kiai Bisri terkadang juga menampilkan
pendapat para shahabat. Misalnya, pendapat Ibn ‘Abbas dan ‘Aisyah, terkait penafsiran Qs
al-Isra’ ayat 111. Dalam menafsiri Qs. al-Baqarah ayat 1, alim-laam-miim, Kiai Bisri
sebenarnya juga menggunakan interpretasi a la Ibn ‘Abbas. Hanya saja, Kiai Bisri tidak
menyebut secara langsung, penafsiran siapa yang dinukilnya. Berdasarkan analisis yang
pemakalah lakukan, pemakalah cencerung menyimpulkan metodenya adalah ijmali.
Contoh Penafsiran dalam al-Ibriz
Terkait Qs. al-Isra’ ayat 23, KH Bisri menulis, ‘Allah Ta’ala wus perintah supoyo siro kabeh
ora nyembah kejobo namung marang Panjenengan Dewe, lan supoyo ambeciki marang wong
tuwo loro, ateges ngabekti marang bopo biyung. Lamun salah suwijine wong tuwo loro
utowo karo pisan wus tuwo, tur dadi tanggungan iro, ojo pisan-pisan siro ngucap marang
deweke: ‘opo’ utowo ‘hush’. Lan siro ojo nyentak marang wong tuwo loro. Ngucapo marang
wong tuwo loro sarono pangucap kang bagus, alus’.
(Allah Swt telah memerintahkan, supaya kamu semua tidak menyembah selain-Nya dan
supaya berbuat baik kepasa kedua orang tua, maksudnya berbakti kepada ibu-bapak. Jika
salah satu dari atau keduanya sudah lanjut usia, dan menjadi tanggunganmu, maka jangan
sekali-kali kamu berkata; ‘apa’ atau ‘hush’. Kamu jangan membentak keduanya. Berkatalah
pada keduanya dengan perkataan yang baik, halus).
Terkait Qs. al-Isra ayat 29, Kiai Bisri menulis, ‘Tangan iro ojo siro belenggu oleh gulu iro,
ateges medit ora infaq babar pisan, lan iyo ojo iro beber babar pisan, mundak-mundak siro
dadi wong pinahidu [meryo ora aweh babar pisan] utowo dadi getun ora duwe opo-opo
[mergo olehe infaq dikabehaken].’
(Tanganmu jangan kamu belenggukan pada leher, maksudnya pelit tidak berinfaq sama
sekali, pun jangan kamu umbar sama sekali, nanti kamu menjadi orang yang dicela (karena
tidak memberi sama sekali) atau menjadi menyesal tidak punya apa-apa [karena diinfakkan
semua]).
Misalnya lagi, terkait ayat yang berbunyi wa la tajhar bi shalatika, Kiai Bisri menulis:
Tanbih; Wa la tajhar bi shalatika. Dawuh bi shalatika iki ulama-ulama suloyo. Miturut
shahabat Ibn ‘Abbas, shalatika iku tafsirane moco al-Qur’an. Kolo iku Nabi Muhammad
SAW ora pareng banter-banter moco al-Qur’an mundhak kerungu wong-wong kafir, banjur
dadi sebabe wong-wong kafir podo misuh-misuhi al-Qur’an lan Allah Ta’ala. Rehning zaman
sak iki, ambanteraken moco al-Qur’an iku ora biso dadi sebabe wong kafir podo misuhi al-
Qur’an lan Allah Ta’ala. Mulo ambanteraken moco al-Qur’an iku ora dadi larang, asal ora
tasywisy. Miturut Siti ‘Aisyah, shalatika iku do’a. Dadi, do’a iku banter nemen-nemen ora
bagus, alon nemen-nemen sahinggo awake dewe ora kerungu iyo ora bagus.
Tanbih: wa la tajhar bi shalatika. (Tentang) firman bi shalatika ini ulama berbeda pendapat.
Menurut shahabat Ibn Abbas, penafsiran shalatika itu membaca al-Qur’an. Saat itu Nabi
Muhammad SAW tidak diperkenankan membaca al-Quran keras-keras, karena akan didengar
orang-orang kafir yang menjadi sebab (bagi) mereka untuk mengata-ngatai (menjelek-
jelekkan) al-Qur’an dan Allah Ta’ala. Adapaun saat ini, mengeraskan membaca al-Qur’an itu
bukan menjadi sebab bagi orang-orang kafir untuk mengata-ngatai (menjelek-jelekkan) al-
Qur’an dan Allah Ta’ala. Karenanya, mengeraskan membaca al-Qur’an tidak menjadi
larangan, asalkan tidak tasywisy. Menurut Siti ‘Aisyah, shalatika itu do’a. Jadi, membaca
do’a terlalu keras itu tidak baik, terlalu pelan sehingga diri kita tidak mendengarnya juga
tidak bagus. Wa Allah a’lam bi al-shawab.
Tentang penafsiran shalatika ini Kiai Bisri memang ‘mengekor’ kepada ulama sebelumnya,
yaitu Ibn ‘Abbas dan ‘Aisyah. Namun ketika persoalan larangan mengeraskan bacaan al-
Qur’an atau do’a itu dikontekkan pada saat ini, Kiai Bisri memberi ramuan penafsiran yang
berbeda. Menurutnya, jika saat ini pembacaan al-Qur’an secara keras tidak menjadi sebab
bagi orang-orang kafir menjelek-jelekkan al-Qur’an dan Allah Ta’ala, maka hukum
pelarangan itu menjadi hilang. Dalam hal ini, Kiai Bisri paham betul kaidah fikih, al-hukm
yadur ma’a al-‘illah wujudan wa ‘adaman, taghayyur al-ahkam bi taghayyur al-azman wa al-
amkan wa al-ahwal atau idza wujidat al-‘illah wujida al-hukm wa in intafat al-‘illah intafa al-
hukm.