makalah sppi

Upload: aniz-uniefa

Post on 12-Jul-2015

238 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sejarah filsafat layak diketengahkan agar generasi masa kini dapat memahami berbagai peristiwa besar dalam dunia pemikiran dan segala perubahannya dalam sepanjang zaman. Sejarah pemikiran itu sesungguhnya merupakan kenyataan tragis yang muncul dalam arena kehidupan, di mana banyak manusia besar yang telah memainkan peranan menonjol dan saling bertarung antara satu sama lain. Mulanya kaum filosof keluar sebagai pemenang. Tetapi akhirnya mereka terpental, dan layar turun menutup panggung filsafat. Filsafat divonis sebagai pemikiran kufur dan orang diharamkan menekuninya.1 Pembahasan tentang filsafat adalah pembahasan yang identik dengan polemik, debat dan kritik. Banyak kalangan yang menuduh kajian filsafat sebagai sesuatu yang tiada guna. Belajar filsafat pun sering diibaratkan seperti mencari kucing hitam di dalam ruangan yang gelap.2 Begitu juga dengan Filsafat Islam, filsafat Islam juga pernah mencapai puncak kejayaannya pada abad ke-9, akan tetapi kajian filsafat dalam Islam tidak lepas dari polemik, terutama jika pembahasannya terkait dengan masalah Ketuhanan, kenabian dan alam akhirat. Imam al-Ghazali misalnya, telah menulis sebuah buku yang berjudul Tahafut al-Falasifah yang isinya adalah kritik terhadap pemikiran beberapa filosuf muslim atas beberapa masalah yang dianggap telah menyesatkan umat Islam.

B. Rumusan Masalah Dari latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan yang akan dibahas adalah sebagai berikut : 1. 2. 3. Bagaimanakah perkembangan awal Filsafat Islam? Kapankah Filsafat Islam mengalami kejayaan? Bagaimanakah konflik antara Filsafat Islam dengan Ortodoksi?

1 2

Ahmad Fuad Al-Ahwani, Filsafat Islam (Jakarta : Pustaka Firdaus, 1997), 1. Muhammad Hamdi Zaqzuq, al-Din wa al-Falsafah wa al-Tanwir (Kairo: Dar al-Maarif, 1996),

10.

1

BAB II PEMBAHASAN A. Perkembangan Awal Filsafat Islam Filsafat Islam lahir dari spekulasi filosofis tentang warisan filsafat Yunani yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab pada sekitar abad ke-3 H atau abad ke-9 M ketika puncak kekuasaan khilafah dalam Islam dipegang oleh Khalifah alMamun.3 Akan tetapi terdapat perbedaan di antara keduanya, dimana filsafat Islam menjadikan al-Quran dan hadith sebagai sumber sentral bagi spekulasi filosofisnya, sementara filsafat Yunani menjadikan akal sebagai sumber tunggal bagi spekulasi filosofisnya.4 Pada abad pertama Hijriyah orang-orang Arab belum menaruh perhatian pada masalah filsafat dan penerjemahannya ke dalam bahasa Arab. Perhatian mereka pada saat itu tercurah hanya kepada cabang-cabang ilmu pengetahuan yang lain. Penerjemahan filsafat ke dalam bahasa Arab hanyalah aktivitas sampingan belaka, bukan tujuan utama. Zaman penerjemahan dalam arti yang sebenarnya baru dimulai pada zaman Daulat Abbasiyah. 5 Pada tahun 215 H, Khalifah al-Mamun mendirikan sebuah akademi penerjemahan dengan nama Baitul Hikmah, pusat penerjemahan yang berfungsi sebagai perguruan tinggi dengan perpustakaan yang besar. Untuk itu ia mengangkat beberapa orang kepala (bagian) dibantu oleh sejumlah penulis dan redaktur yang mengenal baik bahasa Suryani dan Yunani, disamping bahasa Arab yang telah mereka kuasai dengan baik. Diantara orang-orang yang terkenal pernah mengepalai Baitul Hikmah ialah Hunain bin Ishaq. Ia menguasai bahasa Yunani dengan baik sekali. Hunain menerjemahkan berbagai ilmu kedokteran yang ditulis oleh Galenus, disamping mengarang beberapa makalah tentang ilmu kedokteran. Ia juga telah menerjemahkan buku-buku Aristoteles perihal ilmu semantika (logika), filsafat dan ilmu jiwa. Sistem penerjemahannya lebih mengutamakan makna dan pengertian, bukan harfiah.6 Seorang filosof yang karyanya paling banyak diterjemahkan dan paling besar pengaruhnya terhadap pemikiran Islam ialah Aristoteles, yang filsafatnya terkenalMuhammad Abd al-Hadi, al-Falsafah wa Ilm al Kalam wa al Tasawwuf (Kuwait: Dar alMaarif, 1998), 47. 4 Seyyed Hossein Nasr, Eksiklopedia Oxford Dunia Islam Modern (Bandung: Mizan, 2001), 71. 5 Ahmad Fuad Al-Ahwani, Filsafat Islam, 42. 6 Ibid., 43-44.3

2

dengan sebutan Massyaiyyah di kalangan orang-orang Arab. Filsafat Islam lebih banyak diwarnai aliran Massyaiyyah daripada platonisme (aliran plato).7 Akan tetapi Filsafat Islam tidak hanya mengambil dari Massyaiyyah saja, tetapi juga beberapa pemikiran filsafat Plato (Platonisme), dari pemikiran-pemikiran filsafat Plotinus (Neo Platonisme), pemikiran filsafat Phytagoras, filsafat Hindu dan Filsafat Persia. Dari semua khazanah pemikiran filsafat tersebut orang Arab merumuskan pemikiran filsafat baru berdasarkan ajaran Islam,8 yang kita kenal dengan Filsafat Islam sekarang ini. B. Kejayaan Filsafat Islam Ketika filsafat muncul dalam kehidupan Islam, kemudian berkembang sehingga banyak dibicarakan oleh orang-orang Arab. Secara umum diterima dengan suara bulat bahwa Abu Yusuf Yaqub bin Ishaq Al-Kindi sebagai penggagas pertama penulisan kreatif dalam filsafat Islam, dan dianggap sebagai filosof Arab pertama, baik dalam arti etnik maupun kultural. Ketika Al-Kindi dilahirkan, kota Basrah dan Kufah merupakan pusat kegiatan pendidikan Islam. Ketika itu diskursus filsafat sudah mulai dikaji oleh kaum rasionalis Muslim (Muktazilah). Al-Kindi berperan aktif dalam memperkenalkan dan menyebarluaskan gagasan-gagasan filosofis Yunani, baik sebagai pelindung penerjemahan yang dilakukan sarjanasarjana lain, maupun sebagai ahli merevisi dan juru penerang naskah-naskah filsafat. Akan tetapi semua upaya Al-Kindi ini dapat berjalan mulus berkat dukungan langsung dari tiga orang khalifah Abbasiyah, yaitu al-Mamun (813-833), alMutashim (833-842) dan al-Watsiq (842-847).9 Mengikuti Aristoteles, Al-Kindi menganggap bahwa tujuan filsafat ialah menemukan hakekat sejati benda-benda melalui penjelasan-penjelasan kausal. Penjelasan-penjelasan alamiah bertujuan untuk mencari kebenaran tentang alam, sementara filsafat pertama atau metafisika, berkenaan dengan bidang yang lebih tinggi dan Ilahi. Menurut Al-Kindi, Allah adalah satu-satunya pelaku yang sejati (the only true agent), dan kepelakuan (agency) tindakan manusia bersifat sekunder dan metaforis. Seperti beberapa teolog dalam tradisi Kristen, Al-Kindi percaya bahwa hakekat Ilahi Allah memustahilkan manusia untuk memahami-Nya sepenuhnya.Ibid., 56. Ibid., 61. 9 Atang Abdul Hakim dan Beni Ahmad Saebani, Filsafat Umum : Dari Metodologi sampai Teofilosofi (Bandung : Pustaka Setia, 2008), 442.8 7

3

Karena itu pelukisan Al-Kindi tentang Allah pertama-tama dirumuskan dalam istilah-istilah negatif, seperti via negatifa-nya Philo. Akan tetapi dalam banyak hal, kepercayaan religius Al-Kindi disesuaikan dengan ortodoksi, dan ia bersedia mengakui akal budi mempunyai batas-batasnya. Seperti para Stois, ia mempunyai respek yang mendalam terhadap takdir.10 Pasca Al-Kindi, berkembang paham naturalisme dan tantangan terhadap dogma Islam melalui Ibnu Al-Rawandi dan Al-Razi. Pandangan-pandangan filosofis Al-Rawandi seperti keabadian dunia, keunggulan dualisme (manichaenisme) daripada monotheisme dan kebijaksanaan Ilahi yang tidak berguna, menguatkan kesan bahwa pemikir ini pada mulanya adalah teolog Mutazilah yang sangat ahli dan dihormati, akan tetapi mengalami problem skeptisisme yang akut. Adapun Abu Bakr Muhammad bin Zakariya al-Razi, menganggap filsafat sebagai keseluruhan jalan hidup, yang mencakup baik pengetahuan dan perilaku. Mengikuti Plato, ia meyakini bahwa akal budi adalah piranti-piranti untuk menentukan kebenaran, dan jika akal budi bertentangan dengan wahyu, wahyu harus ditinggalkan. Dalam pandangannya dunia diciptakan Allah tidak dari ketiadaan, karena materi yang bersifat abadi sudah eksis sebelum adanya penciptaan. Kecenderungan-kecenderungan Neo-Platonik yang (telah ada secara) implisit dalam sistem filsafat Al-Kindi dan Al-Razi, menjadi sangat dominan dalam tulisan Al-Farabi dan Ibnu Sina, dua orang filsuf Muslim pertama yang membangun sebuah sistem metafisika besar dan sangat kompleks. Abu Nashr Al-Farabi (870-950) dikenal sebagai guru kedua dan otoritas terbesar sesudah Aristoteles. Ia termasyhur karena telah memperkenalkan doktrin harmonisasi pendapat Plato dan Aristoteles, dan dia memulai wacananya dengan gagasan Plato tentang perlunya menempatkan harmonisasi seperti itu pada landasan filsafat yang paling dasar. Sumbangan filosofisnya yang asli, misalnya berkenaan dengan pendapat-pendapat Aristoteles tentang esensi dan eksistensi, dimana Al-Farabi membedakan antara esensi (struktur fundamental) pengada yang niscaya (yang wajib ada) dengan pengada yang kontingen (yang bergantung pada sebab-sebab dan dapat menjadi hal lain). Al-Farabi mengadopsi pandangan Neo-Platonisme tentang penciptaan. Ia percaya bahwa semua penciptaan ber-emanasi dari Allah, Sang penyebab pertama, dan bahwa

10

Ibid., 445.

4

pikiran manusia dapat mengetahui penciptaan ini melalui penerangan yang diberikan oleh intelegensi yang lebih tinggi dan eksternal.11 Sedangkan Ibnu Sina (980-1037) adalah filsuf Muslim ternama yang menjadi tokoh sentral filsafat paripatetik. Ia merupakan ilmuan-filsuf yang amat produktif menerbitkan karya-karya ilmiahnya yang hingga kini masih terus dipelajari oleh para sarjana Barat maupun Muslim. William Chittick menyebutnya sebagai kutub intelektual dunia Islam. Mengikuti konsep Neo-Platonisme, Ibnu Sina berargumen bahwa Allah menciptakan dunia melalui emanasi. Dia percaya bahwa Allah adalah pikiran murni dan ciptaan dihasilkan dari pemikiran Tuhan (sebagai aktifitas fundamentalNya). Walaupun demikian, Ibnu Sina meninggalkan ciri-ciri tertentu pandangan Neo-Platonisme, misalnya ia tidak menganggap materi sebagai fondasi abadi benda-benda, sejalan dengan pemahaman Aristoteles. Dalam perkembangan filsafat Islam; Ibnu Sina juga adalah perintis pemikiran iluminasi melalui karya terakhirnya seperti Isyarat Wa Tanbihat dan Mantiq Al-Masyriqiyyin (logika Timur) yang satu abad kemudian dirumuskan oleh Suhrawardi (w. 1191) dalam sistem filsafat iluminasi (Isyraqiyyah).12 C. Konflik antara Filsafat Islam dengan Ortodoksi Sebelum memasuki periode benturan dengan ortodoksi, filsafat Islam juga memasuki kecenderungan Neo-Pythagoreanisme yang tegas, gerakan ini dipelopori oleh Ikhwan al-Shafa. Meskipun mereka menghargai Pythagoras, sang bijaksawanan yang tiada henti-hentinya mereka puji dan kaji, tetapi Ikhwan mengumpulkan sedikit demi sedikit dari setiap sudut yang mungkin. Karena motto mereka untuk tidak meninggalkan sumber pengetahuan manapun, dan untuk meliput aspek positif semua kepercayaan dalam ajaran mereka. Persentuhan antara tradisi Hellenistik dengan dogma mulai terjadi sejak abad kedelapan, dimana teologi skolastik (kalam) mulai menemukan bentuknya, namun interaksi filsafat dengan dogma menghasilkan perpecahan bertahap antara keduanya. Perbenturan awal terjadi pada peristiwa mihnah (inquisition) pada periode AlMamun yang berupaya mempropagandakan doktrin Mutazilah, dan kemenangan partai Hambali dan tradisionalis (ahl al-Sunnah) pada era Mutawakkil. MunculnyaAbdurrohim Syamsu, Pasang Surut Filsafat Islam dan Benturannya dengan Ortodoksi, http://abdurrohimsyamsu.blogspot.com/2009/12/pasang-surut-filsafat-islam-dan.html, diakses tgl 18 oktober 2011. 12 Atang Abdul Hakim, Filsafat Umum, 502.11

5

pembaharuan teologi skolastik yang dipelopori Al-Asyari, Al-Baqillani dan AlJuwayni membawa angin segar baru dalam pemikiran Kalam, yang kemudian konsepsi teologis Asyariah menjadi sangat dominan, sehingga terbentuklah ortodoksi Sunni. Perbenturan filsafat Islam yang Neo-Platonik dengan ortodoksi Sunni terjadi secara sistematik pada karya klasiknya Kesesatan Kaum Filosof (Tahafut alFalasifah) karya Al-Ghazali. Buku tersebut berisi argumentasi terhadap kedudukan kaum filosof dalam hubungannya dengan doktrin keagamaan point demi point, dan mengungkapkan kontradiksi-kontradiksi dalam filsafat itu sendiri maupun kekurangannya ditinjau dari sudut pandangan agama.13 Buku tersebut mengelaborasi dua puluh proposisi, dimana enambelas proposisi (pernyataan) metafisik dan empat proposisi fisika yang mempunyai kaitan erat dengan agama dan terhadap mana Mukmin yang lengah harus diperingatkan. Dari proposisi-proposisi ini, ada tiga yang terutama sekali menjijikkan dilihat dari sudut pandang agama, dan karena itu orangorang yang membenarkannya harus dinyatakan murtad. Ketiga proposisi tersebut adalah, keabadian dunia melalui doktrin emanasi, pengetahuan Tuhan yang terbatas pada hal-hal yang universal dan penolakan terhadap kebangkitan jasmani di akhirat. Tujuh belas proposisi lainnya menurut hemat Al-Ghazali tidak dikategorikan sebagai kufur (kufr) melainkan bidah. Perselisihan Al-Ghazali dengan falasifah disebabkan argumen-argumen partikular filsuf Muslim Neo-Platonik secara logis salah dan aneka posisi yang mereka pegang dalam sistem keseluruhan tidak konsisten satu sama lain. Akan tetapi yang terpenting, karena sejumlah asumsi dasar mereka tidak ditemukan. Asumsiasumsi tersebut, yang dibuktikan Al-Ghazali dengan sangat kuat, tidak dapat di demonstrasikan secara logis dan tidak terbukti sendiri (self evident) melalui intuisi. Walaupun demikian, penulisan kitab Tahafut ini adalah upaya memperkuat penguasa ketika itu, yaitu Nizamul Mulk untuk mempropagandakan ortodoksi Sunni dalam rangka melawan doktrin Syiah Ismailiyah (bathini) dan falasifah yang sudah dicemari paham Neo-Platonisme dan teologi Aristotelian. Oleh karena itu ada kesan oppurtunistik dari kitab Tahafut, karena secara tidak langsung, melalui karya ini prestise Al-Ghazali semakin meningkat di mata penguasa, dan semakin meneguhkan

13

Fazlur Rahman, Islam, terj. Ahsin Mohammad (Bandung : Pustaka, 2000), 172.

6

posisi dia saat itu yang kebetulan telah menggantikan posisi Al-Juwayni (gurunya) sebagai guru besar Universitas Nizamiyah. Sementara itu telah diketahui bahwa Al-Ghazali ketika menulis Tahafut, sesungguhnya sedang dalam fase skeptis ringan (Asy-Syakk al-Khafi), yaitu ketika ia belum mendapat petunjuk akan hakekat kebenaran . Karenanya, kitab Tahafut tidak dapat dijadikan representasi pemikiran Al-Ghazali secara keseluruhan. Selain itu AlGhazali sendiri menegaskan dalam buku al-Arbain fi Usul ad-Din, bahwa buku Tahafut diketegorikan sebagai buku yang terlarang bagi selain yang berkompeten (al-Madhnun biha ala gayr ahliha). Celakanya, buku Tahafut ini dijadikan oleh para penganjur ortodoksi Sunni untuk menyerang filsafat dan memproteksi doktrin agama dari pengaruh filsafat. Akibatnya tanpa pernah disadari Al-Ghazalibuku Tahafut ini telah menidurkan ummat Islam dalam mimpi dogmatik selama berabad-abad. Maka wajar kemudian Al-Ghazali dituduh sebagai biang keladi dari kemunduran ummat Islam, walaupun tuduhan itu tidak sepenuhnya benar. Penerimaan buku Tahafut secara luas di masyarakat merupakan kemenangan telak teologi skolastik Asyarian terhadap filsafat, dan membuat falasifa menjadi tidak populer. Kenyataan ini diikuti dekadensi peradaban Islam, dimana kaum Muslim tenggelam dalam kecenderungan mistik (tasawuf) yang berimplikasi pada berkembangnya paham fatalisme yang berlebihan, sehingga semakin menambah panjang tidur dogmatik kaum Muslim. Meskipun demikian, filsafat Islam tidak pernah benar-benar habis dari wajah sisa-sisa peradaban Islam. Spekulasi filosofis kembali disemaikan di Spanyol Muslim oleh Ibnu Massarah, Al-Majrithi, Ibnu Bajjah, Ibnu Thufayl dan Ibnu Rusyd. Bahkan Ibnu Rusyd berupaya menyanggah buku Tahafut Al-Ghazali dengan menulis buku Tahafut at-Tahafut. Akan tetapi sudah sangat terlambat, karena ummat Islam terlanjur hanyut dalam mimpi dogmatiknya. Upaya Ibnu Rusyd untuk menghidupkan kembali tradisi Aristotelianisme justru dapat membangunkan Barat dari tidur panjangnya selama berabad-abad (dark ages).14

Abdurrohim Syamsu, Pasang Surut Filsafat Islam dan Benturannya dengan Ortodoksi, http://abdurrohimsyamsu.blogspot.com/2009/12/pasang-surut-filsafat-islam-dan.html, diakses tgl 18 oktober 2011.

14

7

BAB III PENUTUP Kesimpulan Filsafat Islam lahir dari spekulasi filosofis tentang warisan filsafat Yunani yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab pada sekitar abad ke-3 H atau abad ke-9 M ketika puncak kekuasaan khilafah dalam Islam dipegang oleh Khalifah al-Mamun. Pada abad pertama Hijriyah orang-orang Arab belum menaruh perhatian pada masalah filsafat dan penerjemahannya ke dalam bahasa Arab. Zaman penerjemahan dalam arti yang sebenarnya baru dimulai pada zaman Daulat Abbasiyah. Pada tahun 215 H, Khalifah alMamun mendirikan sebuah akademi penerjemahan dengan nama Baitul Hikmah, pusat penerjemahan yang berfungsi sebagai perguruan tinggi dengan perpustakaan yang besar. Ketika filsafat muncul dalam kehidupan Islam, kemudian berkembang sehingga banyak dibicarakan oleh orang-orang Arab. Secara umum diterima dengan suara bulat bahwa Abu Yusuf Yaqub bin Ishaq Al-Kindi sebagai penggagas pertama penulisan kreatif dalam filsafat Islam, dan dianggap sebagai filosof Arab pertama, baik dalam arti etnik maupun kultural. Pasca Al-Kindi, berkembang paham naturalisme dan tantangan terhadap dogma Islam melalui Ibnu Al-Rawandi dan Al-Razi. Sedangkan Ibnu Sina (9801037) adalah filsuf Muslim ternama yang menjadi tokoh sentral filsafat paripatetik. Perbenturan awal antara filsafat dengan ortodoksi terjadi pada peristiwa mihnah (inquisition) pada periode Al-Mamun yang berupaya mempropagandakan doktrin Mutazilah, dan kemenangan partai Hambali dan tradisionalis (ahl al-Sunnah) pada era Mutawakkil. Munculnya pembaharuan teologi skolastik yang dipelopori Al-Asyari, AlBaqillani dan Al-Juwayni membawa angin segar baru dalam pemikiran Kalam, yang kemudian konsepsi teologis Asyariah menjadi sangat dominan, sehingga terbentuklah ortodoksi Sunni. Perbenturan filsafat Islam yang Neo-Platonik dengan ortodoksi Sunni terjadi secara sistematik pada buku Tahafut al-Falasifah karya Al-Ghazali. Buku tersebut mengelaborasi dua puluh proposisi, dimana enambelas proposisi (pernyataan) metafisik dan empat proposisi fisika yang mempunyai kaitan erat dengan agama dan terhadap mana Mukmin yang lengah harus diperingatkan. Filsafat Islam tidak pernah benar-benar habis dari wajah sisa-sisa peradaban Islam. Spekulasi filosofis kembali disemaikan di Spanyol Muslim oleh Ibnu Massarah, Al-Majrithi, Ibnu Bajjah, Ibnu Thufayl dan Ibnu Rusyd. Ibnu Rusyd menyanggah buku Tahafut Al-Ghazali dengan menulis buku Tahafut at-Tahafut. 8

DAFTAR PUSTAKA

Al-Ahwani, Ahmad Fuad. Filsafat Islam. Jakarta : Pustaka Firdaus. 1997. Al-Hadi, Muhammad Abd. Al-Falsafah wa Ilm al Kalam wa al Tasawwuf. Kuwait: Dar al-Maarif. 1998. Hakim, Atang Abdul dan Beni Ahmad Saebani. Filsafat Umum : Dari Metodologi sampai Teofilosofi. Bandung : Pustaka Setia. 2008. Nasr, Seyyed Hossein. Eksiklopedia Oxford Dunia Islam Modern. Bandung: Mizan. 2001. Rahman, Fazlur. Islam, terj. Ahsin Mohammad. Bandung : Pustaka. 2000. Syamsu, Abdurrohim.Pasang Surut Filsafat Islam dan Benturannya dengan Ortodoksi. http://abdurrohimsyamsu.blogspot.com/2009/12/pasang-surut-filsafat-islamdan.html. diakses tgl 18 oktober 2011. Zaqzuq, Muhammad Hamdi. Al-Din wa al-Falsafah wa al-Tanwir. Kairo: Dar alMaarif. 1996.

9