makalah skill lab blok2modul1
DESCRIPTION
makalah skill lab blok 2TRANSCRIPT
Terapi Lumba-lumba untuk Anak Autis
Fransisca Febriana (10-2010-184)
Fakultas Kedokteran UKRIDA
12 November 2010
Abstrak
Lumba-lumba termsuk dalam salah satu hewan yang cerdas didunia. Para peneliti
menemukan bahwa lumba-lumba dapat membantu para penderita gangguan saraf, terutama
pada anak-anak penderita autis. Terapi lumba-lumba diyakini dapat meningkatkan
kemampuan motorik dan sensorik anak-anak autis. Meskipun terapi ini tidak
menyembuhkan anak autis secara langsung atau sepenuhnya, tetapi hanya membantu
dalam proses peningktan kemampuan sensorik dan motorik mereka. Berdasarkan hasil
survei dan penelitian dari 20 orang anak yang melakukan terapi ini, 15 diantaranya telah
mengalami kemajuan sangat pesat dalam perkembangan penggambaran emosi serta
kemampuan fisiknya. Selain itu menurut para ahli interaksi yang menyenangkan dari
lumba-lumba dapat memungkinkan meningkatnya daya responsif anak autis. Lumba-
lumba dijadikan sebagai sarana terapi bagi anak autis karena adanya sisi yang
menyenangkan dari lumba-lumba, serta karena hewan ini memancarkan gelombang suara
ultrasonik yang dapat memberikan rangsangan kepada anak-anak penderita autis tersebut.
Kesimpulannya, terapi lumba-lumba ini sangatlah bermanfaat bagi anak-anak penderita
autis, dan terapi ini menjadi terapi modern terhadap pennderita autis yang mulai dirasakn
manfaatnya baik bagi anak penderita autis itu sendiri maupun para orang tua mereka.
PENDAHULUAN
Lumba-lumba termasuk salah satu hewan yang cerdas di dunia. Selain membantu
mengarahkan kapal di lautan, para peneliti juga menemukan kalau lumba-lumba bisa
membantu mereka yang menderita gangguan saraf, khususnya anak-anak autis. Dewasa ini
pun terapi lumba-lumba (dolphin therapy) diyakini bisa meningkatkan kemampuan
1
berbicara dan keahlian motorik anak-anak penderita autis, dan terapi ini menjadi salah satu
terapi yang paling diminati oleh para orang tua yang menginkan anak-anak mereka
mengalami kemajuan yang berarti. Terapi lumba-lumba ini bertujuan untuk meningkatkan
aktivitas sensorik anak autis. Terapi ini berlangsung didalam kolam berenang dengan
minimal dua ekor lumba-lumba, dan terapis pun akan membantu anak penderita autis yang
melakukan terapi. Anak-anak akan diminta untuk berenang, menyentuh, memberi makan
atau mengelus-elus hewan tersebut. Terapis akan menyesuaikan kegiatan terapi dengan
kebutuhan pasien. Tetapi terapi lumba-lumba ini tidak bisa menyembuhkan sepenuhnya.
Namun bisa meredakan beberapa gejala autisme dengan cara menguatkan proses
penyembuhan mereka.
Tinjauan Pustaka ini saya buat untuk memberikan masukan terapi modern kepada
orang tua yang memiliki anak penderita autis. Selain itu dapat menjadi pembelajaran serta
pemerluas wawasan bagi kita semua, mengenai alternatif lain dalam terapi anak-anak autis.
ISI
Gangguan Perkembangan
Autisme atau bahasa sehari-harinya autis adalah gangguan perkembangan yang
kompleks pada anak, yang disebabkan adanya kerusakan pada otak, yaitu gangguan
neurobiologis yang mempengaruhi fungsi otak sedemikian rupa sehingga anak tidak
mampu berinteraksi dan berkomunikasi dengan dunia luar secara efektif.1 Anak mengalami
gangguan seputar perkembangan komunikasi, perilaku, kemampuan bersosialisasi, dan
lain-lain. Anak dengan gangguan autis dikenal sebagai pribadi yang tidak atau kurang
mampu berkomunikasi dengan orang lain meskipun dengan orang terdekatnya. Anak autis
juga tidak atau kurang mampu mengekspresikan perasaan serta keinginannya, bahkan
seringkali tertawa atau menangis sendiri.
Meski secara fisik tidak ada kelainan, namun ciri yang menonjol pada anak autis
adalah sulit berbicara, motorik yang kurang dan kurang konsentrasi. Hingga kini, gangguan
ini belum diketahui secara pasti penyebabnya. Meski demikian, serangkaian terapi telah
banyak dilakukan orang, misalnya metode ABA (Applied Behavioral Analysis),
hidrotermal, hidromekanik, dan hidrokemis.2
Gejala yang sangat menonjol adalah sikap anak yang cenderung tidak
mempedulikan lingkungan dan orang-orang di sekitarnya, sulit berbicara sehingga seolah-
2
olah menolak berkomunikasi dan berinteraksi, serta seakan hidup dalam dunianya sendiri.
Anak autis juga mengalami kesulitan dalam memahami bahasa dan berkomunikasi secara
verbal. Disamping itu seringkali anak-anak autis melakukan gerakan-gerakan anggota
tubuh yang tidak wajar, seperti berputar-putar, mengepak-ngepakan tangan seperti sayap,
berjalan berjinjit dan lain sebagainya.
Gejala autisme sangat bervariasi. Sebagian anak berperilaku hiperaktif dan agresif
atau menyakiti diri, tapi ada pula yang pasif. Mereka cenderung sangat sulit
mengendalikan emosinya dan sering menangis, tertawa dan mengamuk tanpa alasan yang
jela.Selain berbeda dalam jenis gejalanya, intensitas gejala autisme juga berbeda-beda, dari
sangat ringan sampai sangat berat.
Terapi Lumba-lumba
Terapi ini dimulai oleh antropolog Dr. Betsy Smith di awal tahun 70-an setelah
melihat efek terapis lumba-lumba pada saudaranya yang mengalami gangguan saraf.
Selanjutnya terapi ini dikembangkan oleh Dr. Nathanson di the Dolphin Human Therapy
centre di Florida, Amerika. Nathanson mempelajari interaksi antara lumba-lumba dengan
anak-anak penderita keterbelakangan mental dan mendapatkan respon baik dengan
dibukanya pusat-pusat terapi lumba-lumba lain di seluruh dunia.
Terapi ini bertujuan untuk meningkatkan aktivitas sensorik anak. Dalam program
yang berlangsung di kolam renang dengan lumba-lumba ini dalam rangka untuk
mengurangi gangguan mental ataupun fisik dari anak autis tersebut. Terapis pun akan
membantu anak-anak autis tersebut. Anak-anak akan diminta untuk berenang, menyentuh,
memberi makan atau mengelus-elus hewan tersebut. Selanjutnya terapis akan membantu
pada bagian terapi tertentu seperti berbicara, bertingkah laku dan keahlian motorik. Terapis
akan menyesuaikan kegiatan terapi dengan kebutuhan anak tersebut. 3
Namun terapi lumba-lumba ini tidak bisa sepenuhnya menyembuhkan anak autis.
Para peneliti yang mengambil sampel darah sebelum dan sesudah anak melakukan terapi
menemukan adanya perubahan hormon endorphin dan enzim-enzim serta T-cells. Akan
tetapi, proses perubahan ini, menurut para peneliti belum diketahui penyebab pastinya.
Penelitian ini dilakukan kepada 20 orang anak autis di sebuah tempat terapi. Dimana 15
anak dari 20 anak autis tersebut mengalami kemajuan pesat dalam motorik dan
sennsoriknya setelah menjalani terapi lumba-lumba ini.4 Penelitian mengenai lumba-
lumba dan autisme ini terus dilakuan, tetapi para ilmuwan juga telah menemukan beberapa
3
hipotesis bahwa menyatu dan bermain dengan lumba-lumba akan membangkitkan respon
emosional yang mendalam dan juga memicu penggambaran perasaan dan emosi yang
mendalam dari anak autis tersebut.5 Para peneliti meyakini, anak-anak lebih responsif
terhadap terapi lumba-lumba ini karena mereka bermain di lingkungan yang
menyenangkan.
Kenapa Harus Lumba-lumba
Lumba-lumba bisa dijadikan sarana terapi karena mampu berinteraksi dengan
manusia. Hasil penelitian Vilchis Quiroz dari Medical Director Aragon Aquarium, Mexico
City, Meksiko, ketika berinteraksi dengan lumba-lumba, hormon endorfin pada manusia
meningkat. Hal ini membuat terbentuknya keseimbangan antara otak kiri dan kanan.1
Selain itu gelombang ultrasonik hasil stimulasi suara-suara atau sonar yang dikeluarkan
lumba-lumba, mampu diterima dengan sempurna oleh manusia.
Di Amerika Serikat, penyembuhan menggunakan lumba-lumba untuk anak-anak
dengan kebutuhan khusus, sudah tidak asing lagi. Kata Dr. Erwin Kusuma SpKJ, dari
Klinik Prorevital, Jakarta, sejak tahun 1978, metode penyembuhan dengan hewan ini sudah
dikembangkan DR. David Nathanson, Ph.D, psikolog yang telah menggeluti dunia lumba-
lumba lebih dari 30 tahun.2
DR. Nathanson mengamati dan meneliti ketika manusia dan lumba-lumba saling
berinteraksi, awalnya lumba-lumba akan menstimulasi panca indra anak-anak yang
mengalami down syndrome atau keterbelakangan mental dengan mengajak mereka
bermain dan berenang bersama lumba-lumba tersebut. Hasilnya, anak-anak tersebut
mampu menerima stimulasi dan mulai memberi perhatian. Dalam perkembangannya,
lumba-lumba tidak hanya diperuntukkan bagi anak-anak down syndrome atau autis saja,
namun juga untuk orang dewasa yang mengalami gangguan mental dan sensor saraf indra.
Dr. Ken Marten, ilmuwan di Earthtrust, Hawaii, Amerika Serikat, mengatakan
bahwa lumba-lumba mampu berenang dengan kecepatan lebih dari 40 km per jam. Hewan
ini mampu mengirimkan serangkaian sinyal ultrasonik untuk mendeteksi keberadaan benda
di sekitarnya. Lumba-lumba juga senang bermain-main. Otaknya yang lebih besar dari
simpanse atau kera, membuatnya tergolong binatang cerdas.5 Kegemaran bermainnya ini,
memudahkan hewan menyusui ini akrab dengan manusia. Cerita seputar hubungan
manusia dengan lumba-lumba juga pernah difilmkan, misalnya dalam Flipper, yang
dibintangi Paul Hogan dan Elijah Wood. Kepandaian lumba-lumba berinteraksi dengan
4
manusia dimanfaatkan oleh banyak ilmuwan sebagai terapi pengobatan. Stimulasi-
stimulasi yang dilakukan lumba-lumba pada panca indra memungkinkan dicapainya
kesembuhan bagi manusia.Selain itu, suara lumba-lumba membuat rileks dan perasaan
menjadi lebih tenang.
Sentuhannya pun dapat merangsang saraf sensorik, pendengaran, penglihatan, dan
konsentrasi anak.6 Sehingga setelah bermain dengan lumba-lumba, anak autis menjadi
lebih konsentrasi, dan memacu semangat belajar mereka.
Suara
Dari sisi lain, proses terapi lumba-lumba ini sama dengan terapi suara. Ritme dan
suara vibrasi membantu membangkitkan perubahan mood. Menurut Dr Cole, ketua
Aquathought Foundation, berenang dengan lumba-lumba bisa menciptakan perubahan sel-
sel psikologi dan jaringan dalam tubuh.3
Menurut Dr. Cole, lumba-lumba mempunyai sonar alami. Mereka akan
memancarkan gelombang ultrasonik untuk menentukan lokasi benda dan untuk
berkomunikasi. Bunyi yang dikeluarkan lumba-lumba, sangat kuat sehingga bisa
menyebabkan pembentukan lubang di struktur molekul-molekul cairan dan jaringan
lunak.3,6
Dr. Cole meyakini bahwa frekuensi sinyal lumba-lumba berpengaruh kuat
terhadap otak manusia dengan cara memodifikasi aktivitas gelombang otak. Hasil tes yang
dilakukan pada manusia menunjukkan kalau bunyi ini bisa mengubah frekuensi otak
manusia dari beta menjadi alpha. Bunyi ini membuat kedua belahan otak lebih sinkron atau
seimbang sehingga komunikasi antara otak kanan dan kiri menjadi jauh lebih baik. Selain
itu, terapi lumba-lumba ini juga dinyatakan bisa membuat perubahan emosi yang kuat,
menenangkan anak-anak, meningkatkan kemampuan komunikasi dan konsentrasi,
memperbaiki fungsi motorik dan koordinasi, membuat kontak mata, senyum, tawa, dan
daya sentuh anak semakin baik, serta meningkatkan sistem kekebalan tubuh.
Ringkasan
Terapi lumba-lumba pada anak-anak penderita autis sangatlah bermanfaat. Karena
pada dasarnya terapi ini telah membawa kemajuan baik fisik maupun mental bagi anak-
5
anak penderita autis, meskipun sampai saat ini masih ada perdebatan diantara para ahli
mengenai dampak negatif yang dapat ditimbulkan dari lumba-lumba itu sendiri. Dampak
negatif yang masih diperdebatkan antaralain adanya efek negatif dari gelombang suara
ultrasonik yang dihasilkan oleh lumba-lumba itu sendiri dan juga adanya bibit-bibt
penyakit lainnya yang terdapat pada lumba-lumba.
Namun dari hasil penelitian yang telah dilakukan manfaat positif dari terapi lumba-
lumba ini lebih banyak dari pada damapak negatifnya. Selain itu manfaat dari terapi
lumba-lumba ini dapat membawa proses penyembuhan anak autis kearah yang lebih baik
dari pada terapi yang lainnya. Karena dengan sifat alami dan gelombang suara yang
dihasilkan oleh lumba-lumba, dapat merangsang perkembangan kemampuan motorik dan
sensorik anak-anak autis. Sehingga terapi ini mulai dipercaya oleh para orang tua dapat
memberikan kemajuan dan juga sedikit menyembuhkan anak-anak mereka yang menderita
autis.
Daftar Pustaka
1. Media Indonesia-Media Hidup Sehat. Terapi lumba-lumba untuk anak autisme.
Agustus 2009. Diunduh dari
http://www.mediaindonesia.com/mediahidupsehat/index.php, 9 November 2010.
2. Antonioli, Kristen, Michael RA. Randomized controlled trial of animal facilitated
therapy with dolphins in the treatment of depression. British Medical Journal 2005
November; 25: 14.
3. Humphries TL. Efektivitas terapi dolphin-assisted sebagai intervensi perilaku
untuk anak muda penyandang cacat. New York; 2003.
4. Wermer M. Dolphin Therapy: the playful way to work toward the next step. The
Exceptional Parent 2008 May; 38(5): 70-3.
5. Lilienfeld S, Lynn S, Lohr J. Ilmu pseudosains dalam psikologi klinis. New York:
Guilford Press. 2002.
6. Marino L, Lilienfeld S. Dibantu terapi dolphin: data cacat dan kesimpulan cacat.
Anthrozoos 2000; 11(4): 194-200.
6