makalah (sierra leone) fix

32
TUGAS HUKUM HUMANITER (KONFLIK INTERNAL DI SIERRA LEONE) 1.Ronald R 2007200130 2. Gita Mareta 2007200169 3. Indriani D.H 2008200101 4. Andri A 2008200175 5. Alvin Summa 2008200190 6. Indri D.P 2 2008200273 Kelas A Fakultas Hukum

Upload: ldycitra

Post on 01-Dec-2015

579 views

Category:

Documents


28 download

TRANSCRIPT

TUGAS HUKUM HUMANITER

(KONFLIK INTERNAL DI SIERRA LEONE)

1. Ronald R 20072001302. Gita Mareta 20072001693. Indriani D.H 20082001014. Andri A 20082001755. Alvin Summa 20082001906. Indri D.P 2 2008200273

Kelas A

Fakultas Hukum

Universitas Katolik Parahyangan

Bandung 2013

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG PERISTIWA

Sumber daya alam memegang peran kunci dalam konflik yang telah melanda

sejumlah negara di Afrika beberapa dekade terakhir. Hal ini mendorong konflik kekerasan

dan konflik bersenjata. Pendapatan dari eksploitasi sumber daya alam tidak hanya digunakan

untuk mempertahankan pasukan tetapi juga untuk pengayaan pribadi dan membangun

dukungan politik.

Sierra Leone, atau nama resminya adalah Republik Sierra Leone, merupakan sebuah

negara di Afrika Barat yang berbatasan langsung dengan negara Guinea di timur laut, dengan

negara Liberia di tenggara, dan dengan Samudra Atlantik di barat daya. Sierra Leone

merupakan negara yang mengandalkan sektor pertambangan sebagai tulang punggung

perekonomiannya. Negara ini merupakan salah satu negara penghasil bauksit dan titanium

terbesar di dunia, dan juga emas di dalamnya.

Sierra Leone adalah salah satu negara bekas koloni Inggris pada abad ke-19. Pada saat

itu Inggris sedang mengalami stagnasi dan depresi ekonomi karena sangat kekurangan

sumber daya alam. Pada tahun 1930, sebuah tim survei geologi menemukan berlian di Distrik

Kono. Sejak penemuan berlian ini, pemerintah kolonial mulai memanfaatkan berlian sebagai

sumber pendapatan mereka. Pada awal tahun 1950-an, sejumlah besar penambang gelap dari

negara-negara tetangga datang ke Sierra Leone. Pada tahun 1956, telah terdapat 75.000

penambang gelap yang melakukan penyelundupan berlian dalam skala besar. Tindakan dari

para penambang gelap berlian ini telah menyebabkan kekacauan hukum dan peraturan di

Sierra Leone. Peristiwa penyelundupan berlian dalam skala besar ini disebut dengan istilah

Great Diamond Rush. Pada tahun 1961 , Sierra Leone memperoleh kemerdekaan dari

pemerintah kolonial Inggris. Negara yang baru merdeka ini diperintah oleh Milton Margai

dengan cara memerintah yang sama dengan pemerintah kolonial Inggris. Kemudian pada

tahun 1967, Siaka Stevens memenangkan pemilihan umum dan menjadi Presiden Sierra

Leone berikutnya. Stevens memberikan dukungan kepada kelompok penambang gelap

berlian. Selain itu, Stevens dan rekan-rekannya juga mengeksploitasi berlian untuk

kepentingan pribadi mereka. Setelah Stevens pensiun, ia menunjuk Kepala Militer Mayor

Jenderal Joseph Saidu Momoh sebagai penggantinya. Pemerintahan Momoh menunjukkan

tanda-tanda kehancuran karena didominasi oleh sisa-sisa Rezim Stevens yang korup.

Akibatnya, perekonomian negara menjadi kolaps sehingga negara kekurangan pendapatan

fiskal dan rakyat kehilangan kesempatan ekonomi serta bantuan sosial. Sehingga pada

akhirnya pemerintah Sierra Leone tidak mampu membayar gaji para guru-guru sekolah

sehingga sistem pendidikan di negara tersebut menjadi hancur berantakan. Pada tahun 1991,

Sierra Leone merupakan salah satu negara termiskin di dunia, walaupun memiliki sumber-

sumber pertambangan yang besar, termasuk diantaranya adalah berlian, emas, bauksit, dan

bijih besi.

Yang akan disorot dalam tulisan ini adalah mengenai perang sipil yang terjadi di

Sierra Leone yang terjadi pada tahun 1991 hingga tahun 2002. Pihak yang terlibat dalam

perang ini adalah Revolutionary United Front (RUF) yang dipimpin oleh Issa Sesay, Morris

Kallon, dan Augustine Gbao, dengan dukungan dari National Patriotic Front of Liberia

(NPFL) yang dipimpin oleh Charles Taylor dengan Pemerintah Sierra Leone. Perang ini

dimulai tepatnya pada tanggal 23 Maret 1991, untuk menjatuhkan Pemerintahan Sierra Leone

yang dipimpin oleh Mayor Jendral Joseph Saidu Momoh. Perang sipil ini menyelimuti Sierra

Leone selama 11 tahun dan pada akhirnya mengakibatkan korban jiwa lebih dari 50.000

orang.

Pada tahun-tahun pertama peperangan, pihak RUF menguasai bagian selatan dan

timur Sierra Leone, yang merupakan daerah yang kaya akan tambang-tambang berlian.

Berlian-berlian yang berhasil ditambang dan dikuasai inilah yang menjadi sumber dana bagi

RUF untuk membeli senjata dan amunisi dari Guinea, Liberia, atau bahkan dari tentara Sierra

Leone Army (SLA) atau tentara pemerintah Sierra Leone. Pada awalnya pemberontakan yang

dilakukan oleh RUF dapat dipadamkan oleh SLA, tetapi RUF tetap memiliki kekuasaan di

timur dan selatan Sierra Leone, dan mengganggu perekonomian pemerintah. Tidak lama

kemudian pemerintah tidak mampu membayar gaji personil SLA dan akhirnya terjadi kudeta

yang dipimpin oleh Kapten Valentine Strasser yang mengakibatkan jatuhnya pemerintahan

Joseph Saidu Momoh di Sierra Leone. Lalu dibentuklah National Provisional Ruling Council

(NPRC) oleh Strasser, yang menjanjikan peningkatan ekonomi, pengusiran RUF, dan

mengembalikan kedamaian di Sierra Leone. Pada awalnya NPRC mendapatkan dukungan

besar dari masyarakat Sierra Leone, tetapi ternyata janji itu tidak bertahan lama.

Pada bulan Maret tahun 1993, dengan bantuan besar dari Economic Community of

West African States Monitoring Group (ECOMOG), sebuah pasukan militer multilateral dari

negara-negara Afrika Barat, SLA berhasil menguasai distrik Koidu dan Kono yang

merupakan penghasil berlian dan berhasil mendesak RUF hingga mencapai perbatasan Sierra

Leone-Liberia. Dengan hasil tersebut, banyak pihak yang menduga bahwa perang telah

selesai karena pasukan SLA telah menguasai daerah-daerah penghasil berlian. Tetapi pihak

pemerintah sangat lalai dalam memperhatikan pasukan SLA, terutama pasukan di garis

depan. Pemerintah membiarkan pasukan tersebut dalam kondisi yang memprihatinkan,

sehingga para pasukan tersebut menolong dirinya sendiri dengan cara mencari berlian dan

bahkan menjual senjata mereka kepada pasukan RUF demi mendapatkan uang tunai.

Wilayah-wilayah yang awalnya merupakan wilayah kekuasaan dari RUF, berhasil

dikuasai oleh SLA. Untuk memisahkan warga sipil dan pasukan pemberontak, SLA

memindahkan penduduk-penduduk sipil ke kamp-kamp konsentrasi. Walaupun sebagai

tentara pemerintah, tidak dipungkiri bahwa tentara SLA memiliki sikap yang sangat buruk.

Setelah para penduduk sipil dievakuasi, tidak jarang terjadi penjarahan terhadap harta milik

penduduk sipil yang telah ditinggalkan, dan juga tindakan-tindakan pelecehan seksual

terhadap penduduk sipil. Karena sikap-sikap tentara SLA inilah yang menyebabkan banyak

penduduk sipil yang lebih memilih untuk bergabung menjadi milisi RUF daripada harus

melawan mereka.

Pada tahun 1995, pemerintah Sierra Leone meminta bantuan atau lebih tepatnya

menggunakan jasa tentara bayaran dari Afrika Selatan. Perusahaan penyedia tentara bayaran

itu adalah Executive Outcomes, dengan bayaran sebesar $ 1.8 juta dolar. Executives

Outcomes disewa untuk memenuhi tiga tujuan, yaitu yang pertama mengembalikan tambang

berlian dan mineral kepada pemerintah, mencari dan menghancurkan markas besar dari RUF,

dan menyebarkan propaganda kepada warga Sierra Leone agar kembali mendukung

pemerintah. Pasukan Executives Outcomes terdiri dari 500 penasihat militer dan 3000

pasukan militer yang sangat terlatih. Operasi-operasi militer yang dilakukan oleh pasukan

Executives Outcomes berhasil memukul mundur pasukan RUF dalam waktu 10 hari. Pasukan

Executives Outcomes menggungguli pasukan RUF di segala bidang. Hanya dalam waktu 7

bulan, pasukan Executives Outcomes dengan bantuan SLA dan batalion Kamajors, berhasil

menguasai tambang berlian di distrik Kangari Hills yang juga merupakan benteng pasukan

RUF, dan menghancurkan pangkalan utama RUF di dekat daerah Bo. Karena kekalahan-

kekalahan inilah yang akhirnya memaksa RUF menyatakan kekalahannya dan

menandatangani perjanjian damai yang disebut Abidjan Peace Accord di Abidjan, Pantai

Gading pada tanggal 30 November 1996.

Dengan perginya Executives Outcomes, terjadi kudeta terhadap pemerintah yang

dilakukan oleh kelompok yang bernama Armed Forces Revolutionary Council (AFRC) yang

dipimpin oleh Major Johnny Paul Koroma, dan mengklaim sebagai pemerintah baru di Sierra

Leone. Pemerintahan Junta AFRC/RUF banyak ditentang oleh kelompok sipil Sierra Leone,

seperti persatuan pelajar, asosiasi jurnalis, kelompok wanita, dan juga lainnya, bukan hanya

karena kekerasan yang dilakukan AFRC, tetapi juga terhadap pelanggaran hak-hak politik

warga sipil dan juga hak asasi manusia. Dunia Internasional, termasuk juga PBB mengutuk

kudeta tersebut. Para duta besar negara-negara lain ditarik dari Sierra Leone dan juga

keanggotaan Sierra Leone di Commonwealth juga ditangguhkan. Pasukan militer negara-

negara Afrika Barat (ECOMOG) juga meminta kepada AFRC/RUF untuk menyerahkan

kembali pemerintahan kepada Presiden Kabbah secara damai.

Atas intervensi dari militer ECOMOG, maka pihak AFRC/RUF mau menandatangani

perjanjian damai sementara yang disebut dengan Conarky Peace Plan. Meskipun telah

menyetujui perjanjian damai tersebut, pihak AFRC/RUF tetap melanjutkan pertempuran.

Pada bulan Maret 1998, pasukan ECOMOG mengambil alih ibukota Sierra Leona, yaitu

Freetown dan mengembalikan posisi pemerintahan presiden Kabbah, tetapi membiarkan

AFRC/RUF pergi. Pada bulan Januari tahun 1999, AFRC/RUF melaksanakan operasi yang

disebut “Operation No Living Thing” di Freetown untuk merampok, memperkosa, dan

membunuh secara masif. Human Rights Watch melaporkan bahwa paling tidak ada 7.000

korban tewas dan diperkirakan setengahnya adalah warga sipil. Karena tidak mampu

menghadapi AFRC/RUF, presiden Kabbah akhirnya terpaksa menandatangani perjanjian

damai yang disebut dengan Lome Peace Accord. Isi dari perjanjian ini kurang lebih adalah

untuk memberikan posisi strategis di pemerintahan bagi pimpinan AFRC/RUF yaitu Foday

Sankoh dan juga memberikan amnesti kepada dirinya dan juga pasukannya atas segala

perbuatan yang telah dilakukan. Setelah perjanjian tersebut, ternyata kondisi di Sierra Leone

tetap tidak stabil karena banyak pemberontak yang menolak untuk mematuhi perjanjian

tersebut.

Akhirnya PBB membentuk United Nations Mission to Sierra Leone (UNAMSIL)

untuk memberikan bantuan pelucutan senjata. Berbeda dengan pasukan perdamaian

sebelumnya, UNAMSIL dibekali dengan perlengkapan militer yang tidak main-main dan

dengan jumlah pasukan hingga 17.500 orang, jumlah pasukan terbesar yang diterjunkan oleh

PBB dalam suatu misi perdamaian. Tetapi jumlah pasukan yang besar ini tidak menyurutkan

nyali pihak RUF, bahkan berani menyerang dan menyandera pasukan UNAMSIL. Tetapi

pada akhirnya setelah sekian operasi-operasi yang dilakukan UNAMSIL, keadaan di Sierra

Leone dapat dikendalikan. Pada tanggal 18 Januari 2002, presiden Kabbah menyatakan

bahwa perang sipil telah berakhir, perang yang menyebabkan 50.000 orang kehilangan

nyawanya.

B. Akar Permasalahan Konflik Sierra Leone

Konflik yang terjadi di suatu wilayah dapat dipahami dari berbagai perspektif, yaitu

antara lain dari ;

1. Perspektif kebutuhan manusia, yang berasumsi bahwa konflik yang berakar dalam

disebabkan oleh kebutuhan dasar manusia – fisik, mental, dan sosial – yang tidak

terpenuhi atau dihalangi.

2. Perspektif identitas, yang berasumsi bahwa konflik disebabkan karena identitas

yang terancam, yang sering berakar pada hilangnya sesuatu atau penderitaan di

masa lalu yang tidak diselesaikan. dan

3. Perspektif transformasi konflik, yang berasumsi bahwa konflik disebabkan oleh

masalah-masalah ketidaksetaraan dan ketidakadilan yang muncul sebagai

masalah-masalah sosial, budaya dan ekonomi.

Greg Mitchell, menjelaskan mengenai eksploitasi berlian yang telah mencemari

konflik internal di Sierra Leone. Menurut Mitchell, Sierra Leone adalah negara yang sangat

kaya, namun diperintah oleh pemerintahan yang korup dan predator sehingga muncul gerakan

pemberontakan revolusioner RUF yang meneror populasi sipil dan memperoleh keuntungan

dari industri berlian Sierra Leone. Dalam tulisannya, Mitchell menjelaskan eksploitasi

ekonomi terhadap berlian dalam tingkat lokal, regional dan internasional yang terjadi selama

periode perang. Eksploitasi berlian itu sendiri dilakukan oleh RUF dan Presiden Liberia

Charles Taylor.

B.1 Faktor Pemerintahan yang buruk

Secara umum akar permasalahan pada perang internal di Sierra Leone telah dialami

sejak awal pembentukan negaranya. Menurut Michael E.Brown kondisi domestik yang pada

akhirnya dapat membawa suatu negara pada perang internal umumnya terletak pada

persoalan mendasar yang telah berlangsung dalam waktu yang cukup lama. Persoalan

mendasar pada kasus perang internal di Sierra Leone ini terutama disebabkan oleh beberapa

faktor, yaitu:

1. Bidang politik dan ekonomi.

Oleh karena itu, usaha untuk menciptakan perdamaian di Sierra Leone harus

diarahkan pada penyelesaian persoalan mendasar yang terjadi di negara tersebut.

2. Warisan historis dari pemerintah.

Selain faktor persoalan mendasar tadi, faktor lain yang juga menjadi pemicu

timbulnya konflik internal di Sierra Leone adalah warisan historis dari pemerintah,

karena warisan historis tersebut, baik langsung maupun tidak langsung, juga turut

berperan dalam membentuk struktur politik dan ekonomi di suatu negara.

3. Perdagangan budak.

Konflik internal yang berlarut-larut di Sierra Leone berhubungan erat dengan sejarah

negara ini yang merupakan bekas koloni Inggris. Motif pemerintah Inggris

mendirikan koloni di Sierra Leone adalah untuk kepentingan ekonominya. Sebagian

besar penduduk asli di benua Afrika sejak tahun 1750 telah dijadikan komoditas

utama perdagangan budak oleh pemerintah kolonial. Ketika tahun 1787 perbudakan

mulai dihapuskan dan Sierra Leone dijadikan sebagai tempat penampungan bagi

budak-budak yang dibebaskan, pemerintah kolonial Inggris tetap berperan dalam

struktur pemerintahan yang baru dibentuk di negara tersebut. Faktor persediaan

sumber daya alam yang melimpah, terutama tambang berlian di Sierra Leone menjadi

alasan Inggris untuk tetap menjalankan peran sebagai pemerintah kolonial dan meraih

keuntungan dari sumber daya alam tersebut. Atas dasar kepentingan ekonomi

tersebut, maka peran pemerintah kolonial tidak dapat dipisahkan dari akar

permasalahan yang terjadi dalam perang internal di Sierra Leone. Sejak periode

perdagangan budak di benua Afrika, pertikaian antar kelompok etnik di Afrika sudah

menjadi fenomena yang umum terjadi. Sebagian hal tersebut disebabkan oleh adanya

politik “adu domba” dan kebijakan segregasi yang diterapkan oleh pemerintah

kolonial untuk menciptakan pertikaian antar kelompok etnik. Kebijakan ini

diberlakukan agar antar kelompok etnis tersebut tidak dapat mengadakan konsolidasi

untuk menciptakan perlawanan terhadap pemerintah colonial. Dengan demikian

kepentingan ekonomi untuk mengambil penduduk asli sebagai komoditas

perdagangan budak tidak akan terganggu. Tetapi untuk periode selanjutnya,

kepentingan penguasaan sumber daya alam akan menjadi faktor yang lebih dominan

bagi keterlibatan pemerintah kolonial, seperti Inggris, di benua Afrika.

4. Karakteristik pemerintahan.

Dalam kasus di Sierra Leone, pasca pemberian kemerdekaan dari pemerintah Inggris,

karakteristik pemerintahannya memiliki kesamaan pola. Pertama, di bidang politik

sejak awal seluruh pemerintah yang memimpin di Sierra Leone memiliki persamaan

dalam praktek penyelenggaraannya negara. Sentralisasi power pada kelompok politik

tertentu, misalnya SLPP atau APC, umumnya bernuansakan sentimen antar kelompok

etnik meskipun secara keseluruhan sentralisasi ini tetap berfokus pada landasan

penggolongan berdasarkan partai politik.

Dalam hal ini setiap partai yang berkuasa di Sierra Leone memiliki kecenderungan

untuk mempertahankan dominasi kelompoknya dengan cara mengeliminir kelompok

politik lainnya. Seringkali sentimen antar kelompok politik ini meluas pada

kecenderungan untuk menekan kelompok etnik yang minoritas. Kecepatan dan

kemudahan yang dialami oleh Sierra Leone dalam memperoleh kemerdekaan

membuat negara ini harus menghadapi tantangan yang besar. Kebanyakan negara-

negara Afrika baru tersebut ditinggalkan untuk memerintah negara mereka sendiri

tanpa manajer dan teknisi yang memiliki kemampuan yang mencukupi, baik dalam

pemerintahan maupun bisnis. Sierra Leone semakin melemah pada tahun 1970-an dan

1980-an, dan kemudian collapse/hancur pada tahun 1990-an. Kegagalan negara Sierra

Leone tidak hanya didorong oleh kevakuman kekuasaan yang mendadak saja, tetapi

juga berasal dari strategi para pemimpin politik yang disengaja untuk melemahkan

struktur Negara, pelayanan masyarakat dan institusi ketika mereka memonopoli dan

mengekploitasi sumber daya ekonomi. Semua pemerintahan yang pernah berkuasa di

Sierra Leone, tidak memiliki kesiapan politik, sosial, ekonomi, dan pendidikan untuk

memimpin Sierra Leone. Pada akhirnya hal ini berdampak pada ketidakmampuan

mereka untuk menjalankan pemerintahan yang baik sehingga akibatnya Sierra Leone

menjadi collapse/hancur dan lemah terhadap berbagai serangan pemberontakan yang

berlarut-larut.

Pergantian pemerintahan dari satu figur ke figur yang lainnya memenuhi kriteria yang

lazim terjadi dalam politik di Afrika sebagai Big Man atau Strong Man. Figur

pemimpin ini memiliki kemampuan untuk menguasai massa, cenderung manipulatif

dalam memanfaatkan kelompok pendukungnya, dapat menjalankan

kepemimpinannya secara otoriter ataupun dengan persuasif sesuai dengan kondisi

yang diinginkannya. Pemimpin dengan model Big Man ini seringkali memegang kursi

pemerintahan di banyak negara-negara Afrika; demikian pula halnya dengan yang

terjadi di Sierra Leone. Sejak awal Albert Margai, Siaka Stevens, dan pemimpin

Sierra Leone berikutnya memiliki kecenderungan untuk hal tersebut.

B.2 Faktor Berlian

Permasalahan dalam sektor berlian, baik secara langsung atau tidak langsung telah

mencemari konflik di Sierra Leone. Pertama; berlian adalah insentif untuk melakukan

kekerasan. Hal ini dipraktekkan baik oleh RUF dan tentara pemerintah. Kedua kelompok ini

menunjukkan ketertarikan dalam penambangan berlian secara illegal. Pertempuran yang

teratur dalam konflik internal ini memang jarang terjadi, namun pertempuran yang terjadi

seringkali berlokasi di sekitar wilayah berlian. Ribuan penduduk sipil telah dijauhkan dan

diusir dari wilayah yang kaya akan berlian oleh para pemberontak RUF. Kedua; berlian telah

membantu dalam hal pembiayaan aksi kekerasan. Kelompok RUF telah menggunakan berlian

untuk membeli persenjataan, baik dari tentara pemerintah maupun dari luar negara. Sejumlah

pedagang berlian yang ikut memperoleh keuntungan dari aksi kekerasan, juga membantu

membiayai aksi pemberontakan RUF. Ketiga; berlian juga telah membantu memperburuk

konflik karena telah menimbulkan frustrasi yang diakibatkan oleh keuntungan yang tidak

seimbang dari penambangan berlian. Secara historis, keuntungan berlian telah diperoleh lebih

banyak oleh pihak luar. Alluvial Diamond Mining Scheme yang dibentuk pada tahun 1955

telah menciptakan kesempatan penambangan legal oleh penduduk lokal, namun demikian

pada prakteknya yang mampu membeli perijinan dan peralatan dasar yang diperlukan adalah

para pedagang, polisi setempat, para pejabat dan pegawai sipil. Mereka ini kemudian

membagi keuntungan kepada rakyat biasa dengan syarat rakyat biasa berkewajiban untuk

menggalinya.

Warga Lebanon di Sierra Leone kemudian menggunakan akses superiornya untuk

memperoleh modal sehingga dapat mendominasi sektor pertambangan berlian lokal yang

baru. Di sisi lain, Siaka Stevens pada saat itu menawarkan kekebalan kepada para pendukung

yang loyal pada penggalian berlian illegal. Sementara itu, para pemimpin di wilayah berlian

menjadi semakin kaya karena berlian dan memperoleh keuntungan dari kemampuan mereka

dalam mengolah perijinan dan menguasai wilayah yang terbaik. Keluarga penguasa pasti

mempunyai hak kepemilikan di tanah yang kemudian akan mereka sewakan kepada orang

lain berdasarkan keturunan, dimana kepemilikan utama tetap dipegang oleh keluarga

penguasa untuk mempertahankan kekuasaan mereka.

Rendahnya pendapatan pajak yang diperoleh pemerintah dari penambangan berlian

juga menjadi pemicu timbulnya konflik internal. Berlian selalu menjadi hal penggoda bagi

para penyelundup karena bentuknya yang sangat kecil dan nilainya yang sangat berharga.

Cara penyelundupan berlian hingga sampai ke pasar internasional ditentukan oleh kemudahan

mereka untuk dibawa keluar dari satu negara ke negara lain secara tersembunyi. Perbatasan

negara yang melintasi batas daratan Afrika Barat sangat lemah dan terisolasi sehingga para

penyelundup, imigran dan pedagang dengan mudah dapat menyeberangi perbatasan untuk

membawa barang-barang selundupan ke pasar.

Pada jalur perlintasan resmi antara Sierra Leone, Guinea dan Liberia, terdapat 60-80

perbatasan yang tidak dijaga melalui semak-semak yang lebat, menyeberangi sungai dan

melalui pegunungan, dimana ribuan mil dari daerah perbatasan sangat lemah dalam hal

penjagaan sehingga seringkali terjadi penyelundupan berskala besar. Arus berlian selundupan

yang keluar dari Afrika Barat sangat sulit untuk dilacak keberadaannya, sehingga komunitas

internasional enggan menyalahkan penyelundupan kepada aktor lokal dan regional. Pada

tahun 1999, ekspor resmi berlian Liberia hanya 8500 karat, padahal sebenarnya jumlah

berlian yang diselundupkan hampir mencapai 80.000 karat. Secara historis, Liberia telah

menjadi jalur utama bagi para penyelundup berlian. Liberia memperoleh berlian selundupan

dari para penambang gelap di Sierra Leone dan juga dari kelompok pemberontak RUF. Dari

Liberia, berlian dapat dijual dengan mudah karena dollar Amerika adalah mata uang

resminya dan dalam penjualannya hanya ada sedikit pengawasan dari Tel Aviv dan Antwerp.

Hal ini menunjukkan adanya interaksi antara tingkat lokal, regional dan internasional dalam

hal penyelundupan berlian.

Perdagangan berlian adalah sebuah masalah yang sangat mengkhawatirkan karena

adanya pencemaran ekonomi (selama berlangsungnya konflik tersebut, dapat dilihat bahwa

akibat keuntungan yang besar dari berlian, rakyat Sierra Leone mengalami terror,

pembunuhan dan kemiskinan) dalam konflik di Sierra Leone, yang sebagian besar disebabkan

oleh berlian. Hal ini semakin memperburuk perekonomian Sierra Leone karena perang

internal tersebut, sehingga Sierra Leone tercatat sebagai salah satu negara termiskin di dunia,

menurut Bank Dunia.

C. Kasus posisi

1. Pada tahun 1930, telah ditemukan suatu deposit berlian dalam jumlah yang

besar di bagian Timur Distrik Kono. Berlian ini kemudian menjadi komoditas

ekspor terbesar di Sierra Leone, setelah kelapa sawit. Selanjutnya di tahun

1933, di daerah Marampa, Distrik Port Loko, dibangun sebuah pertambangan

biji besi, yang kemudian juga mempunyai peran yang signifikan dalam total

ekspor dari Sierra Leone. Besi dan berlian kemudian menjadi dua komoditas

utama yang pada akhirnya sangat berperan dalam meningkatkan

perekonomian Sierra Leone.

2. Pada tahun 1933, di daerah Marampa, distrik Port Loko dibangun sebuah

pertambangan bijih besi, yang kemudian juga mempunya peran yang

signifikan di Sierra Leone. Besi dan berlian menjadi dua komoditas utama

yang sangat berperan untuk meningkatkan perekonomian di Sierra Leone.

3. Sekitar tahun 1951-1961 terjadi peralihan kekuasaan di Sierra Leone dimana

pemerintah kolonial memberikan kursi pemerintahannya kepada beberapa

warga negara Sierra Leone. Hal ini terlihat dari beberapa warga Sierra Leone

menjadi menteri pada tahun 1953. Kementerian ini bertugas untuk mengatur

pemerintahan dalam negeri, kecuali masalah hubungan luar negeri dan

pertahanan. Dalam susunan kementerian tersebut Sir Milton Margai

merupakan salah satu warga negara Sierra Leone yang ada di dalamnya dan

menjabat sebagai CHIEF MINISTER.

4. Sierra Leone memperoleh kemerdekaannya yang diberikan pemerintah

kolonila inggris pada tahun 1961. Dari sejak itu Sierra Leone mewarisi sistem

pemerintahan parlementer, dengan Milton Margai yang merupakan pimpinan

Sierra Leone People Party yang ditunjuk sebagai Presiden. Milton Margai

kemudian meninggal pada tahun 1964 dan di gantikan oleh adiknya Sir Albert

Margai yang memimpin sierra Leone dari tahun 1964-1967.

5. Pada pemilihan umum 1967, Gubernur Jenderal Sierra Leone menetapkan

Siaka Stevens, yang merupakan pemimpin partai All People’s Conggers

(APC), sebagai presiden Sierra Leone. Pada masa pemerintahannya di Sierra

Leone, terdapat kesenjangan antara kelompok etnik Kreole di Freetown yang

mendominasi sector politik dan ekonomi di awal periode colonial selama 150

tahun dengan kelompok lainnya yang mempunyai tingkat kependudukan yang

lebih tinggi dan bersifat less developed. Selain itu juga terdapat kesenjangan di

bidang ekonomi dan politik antara wilayah bagian utara Sierra Leone yang

didominasi kelompok Temne dan Kriom, dengan wilayah bagian selatan yang

di dominasi oleh kelompok yang menggunakan bahasa Mende.

6. Pada pertengahan 1980-an kondisi domestic di Sierra Leone, ditandai dengan

adanya tingkat inflasi yang tinggi dan menurunnya kekuasaan pemerintah,

tidak tersedianya bahan pangan, meluasnya korupsi, dan juga semakin

tingginya tingkat penggangguran pada generasi muda serta meningkatnya

gerakan radikalisme dari mahasiswa.

7. Stevens pensiun pada tahun 1985, dan ia menunjuk Mayor Jenderal Joseph

Saidu Momoh menjadi penggantinya. Pada masa pemerintahan Momoh,

terdapat kecenderungan meningkatnya jumlah penggangguran sehingga

menjadi pemicu timbulnya kekerasan dan kriminalitas, serta penggunaan obat-

obatan terlarang, serta meningkatnya tingkat korupsi yang dilakukan oleh

Momoh.

8. Lemahnya kepemimpinan dari Momoh ini, kemudian di manfaatkan oleh dua

pihak oposisi. Pertama ; Kopral Foday Sankoh yang memimpin

pemberontakan melalui Revolutionary United Front (RUF) dan didukung oleh

pasukan pemberontak National People Front (NPFL) di Liberia. RUF

merupakan sebuah kelompok pemberontak yang berasal dari spillover

pemberontakan di negara tetangga Liberia. Pada tahun 1987, terjadi percobaan

kudeta terhadap pemerintah Momoh yang menandai awal dari kejatuhan

pemerintahannya. Hal ini di dukung dengan sikap dendam Charles Taylor,

warlodrs / tokoh perang Liberia ( menjadi presiden pada tahun 1997 ), yang

diakibatkan oleh ditolaknya tawaran Taylor, untuk beroperasi di sebelah timur

Sierra Leone dengan iming-iming uang , oleh Momoh.

9. Pada tanggal 23 Maret 1991, RUF menyerang sebelah timur Sierra Leone dari

Liberia. Pada saat ini lah konflik internal di Sierra Leona terjadi. Tujuan RUF

melakukan aksi pemberontakan ini adalah untuk mengakhiri kekuasaan rezim

APC yang telah berlangsung kurang lebih 24 tahun di Sierra Leone.

10. Kedua; Kapten Valentine Strasser yang memimpin kelompok yang terdiri dari

para tentara, melakukan aksi kudeta militer. Pada tahun 1992, Strasser berhasil

menjatuhkan pemerintahan Momoh dan kemudian memerintah Sierra Leone

melalui badan pemerintahan yang baru, The National Provisional Rulling

Council (NPRC). Pada masa pemerintahannya Strasser menyewa EO

(Executive Outcomes), perusahaan keamanan tentara bayaran dari Afrika

Selatan, dengan tujuan membantu tentara pemerintahan untuk melawan RUF.

11. Pada tahun 1991, pecah perang sipil antara pasukan pemerintah dan kelompok

pemberontak di seluruh wilayah Sierra Leona. Tahun 1996 diadakan

pemilihan umum multipartai yang dimenangkan oleh Ahmad Tejan Kabbah

yang merupakan memimpin dari Sierra Leone People Party (SLPP), yang

kemudian menjadi presiden Sierra Leone berikutnya. Pada masa

pemerintahannya, presiden Kabbah menandatangani perjanjian damai Abidjan

(Abidjan Peace Accord) dengan pihak RUF pada akhir November 1996.

Perjanjian ini menetapkan pembentukan pasukan penjaga perdamaian yang

netral, penarikan EO dan penarikan semua pasukan asing dari Sierra Leona.

Kelompok pemberontak utama, Revolutionary United Front (RUF), yang

dipimpin Foday Sankoh, menandatangani gencatan senjata dengan presiden

Ahmad Tejan Kabbah pada Mei 1999. Tanggal 29 April 2000 pasukan PBB

digelar dalam kapasitasnya sebagai pasukan penjaga perdamaian. Pada awal

Mei gencatan senjata dibatalkan karena RUF menawan 500 pasukan penjaga

perdamaian PBB dan menyerang ibukota Freetown.

12. Pada tanggal 7 Mei 2000, 800 personil battalion ke-1 Parachute Regiment

diterjunkan di Sierra Leone untuk memperkuat pasukan PBB. Batalion ini

melakukan operasi militer yang tujuan pertama adalah mengamankan bandara

internasional Sierra Leone di Lunghi sebelah utara ibukota Freetown, yang

berhasil menagamankan bandara tanpa insiden. Kemudian, pada tanggal 25

Agustus 2000, kelompok geng milisi yang dikenal dengan sebutan “ West Side

Boys “ berhasil menyandera 11 anggota Royal Irish Regiment British Army, 5

orang dilepaskan sebagai ganti permintaan telepon satelit. Para prajurit yang

dibebaskan kembali dengan kisah penyiksaan, eksekusi pura-pura dan

perampasan air dan makanan. Pemerintah inggris menyadari bahwa mereka

harus bertindak cepat untuk menyelamatkan sandera yang masih ditawan.

Operasi penyelamatan dinamakan Operasi BARRAS dilaksanakan pada

tanggal 10 September 2000.

BAB II

Kejahatan Kemanusiaan yang Terjadi Selama

Perang Sipil Sierra Leone

Selama perang sipil yang terjadi 11 tahun di Sierra Leone, telah terjadi berbagai

kejahatan terhadap kemanusiaan. Salah satu yang terjadi adalah penggunaan tentara anak

yang dilakukan oleh pihak RUF. Diperkirakan terdapat 10.000 tentara anak yang dimiliki,

dan sebagian besar terlibat dalam konflik tersebut. Tentara anak ini umumnya digunakan

untuk menyerang desa-desa dan menjaga tambang-tambang berlian dan gudang-gudang

persenjataan milik RUF. Tentara anak ini digunakan secara luas oleh RUF, dan RUF

melakukan tindakan pencucian otak terhadap anak-anak tersebut yang mengakibatkan mereka

menjadi ganas. Ribuan anak-anak diculik dari desa mereka dan dipaksa menjadi tentara dan

ada pula yang dijadikan prostitusi. Mereka yang dipilih menjadi tentara tidak jarang dipaksa

untuk membunuh orang tua mereka sendiri. Disamping melakukan tindakan pencucian otak,

para tentara anak ini dipaksa untuk mengkonsumsi kokain agar mereka tidak memiliki rasa

takut.

Selama perang tersebut, anggota-anggota militer RUF yang tertangkap oleh tentara

pemerintah langsung dieksekusi mati. RUF sendiri tidak tinggal diam atas tindakan tersebut,

para tentara pemerintah yang berhasil ditangkap oleh RUF, dipotong tangannya dengan

mengirim pesan “Kau tidak mengangkat senjata untuk menghadapi saudaramu”. Dengan

menggunakan parang, para anggota RUF juga memotong anggota tubuh warga sipil Sierra

Leone, seperti tangan, lengan, dan juga kaki. Alasan tindakan ini adalah agar mereka tidak

mampu lagi melakukan tindakan penambangan dan juga tidak akan mampu membantu

pasukan pemerintah, termasuk juga supaya tidak bisa ikut serta dalam pemilihan umum.

Pasukan RUF mengatakan bahwa terkadang mereka juga melakukan praktek kanibalisme

BAB III

Para Pelaku Kejahatan Kemanusiaan

A. Charles Taylor

Charles Taylor, atau nama lengkapnya adalah Charles McArthur Ghankay Taylor,

adalah Presiden ke-22 Liberia. Selama jabatannya sebagai presiden, Charles Taylor dituduh

telah melakukan kejahatan perang dan juga kejahatan terhadap kemanusiaan dalam

keterlibatannya dalam Perang Sipil di Sierra Leone. Kejahatan yang dilakukannya selama

perang sipil tersebut adalah :

1. Tindakan Terorisme

2. Pembunuhan

3. Kekerasan Terhadap Kesehatan, Jiwa, dan Hidup Orang Lain

4. Perkosaan

5. Perbudakan Seksual

6. Kekerasan Terhadap Martabat Orang Lain

7. Menggunakan Anak-Anak Sebagai Tentara

8. Perbudakan

9. Dan Tindakan Penjarahan

Atas kejahatan-kejahatan tersebut, Charles Taylor dinyatakan bersalah oleh Special

Court Of Sieraa Leone (SCSL) di Den Haag, dan dijatuhi hukuman penjara selama 50 tahun.

B. Foday Sankoh

Foday Saybana Sankoh adalah pendiri dan pemimpin kelompok pemberontak di

Sierra Leone, Revolutionary United Front (RUF). Selama Perang Sipil di Sierra Leone, dia

dituduh melakukan berbagai kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan, seperti

perkosaan, perbudakan seksual, pembunuhan, penggunaan tentara anak, dan perbudakan.

Tetapi Foday Sankoh meninggal dunia akibat stroke pada saat sedang menunggu

dilaksanakannya peradilan untuknya.

C. Issa Sesay

Issa Hasan Sesay, merupakan perwira senior dan komandan dari RUF dan

AFRC/RUF. Pada tanggal 7 Maret 2003, dia didakwa oleh Special Court for Sierra Leone

(SCSL) atas kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan, termasuk di dalamnya

adalah meneror warga sipil, pembunuhan brutal, kekerasan seksual, penggunaan tentara anak,

penculikan, kerja paksa, penjarahan, dan penyerangan terhadap pasukan perdamaian PBB

UNAMSIL. Dia akhirnya dijatuhi hukuman 40 tahun penjara oleh Special Court for Sierra

Leone di Freetown, Sierra Leone.

D. Morris Kallon

Morris Kallon atau nama lainnya adalah Bilai Karim, adalah komandan dari RUF.

Pada bulan Februari 2009 dia dinyatakan bersalah atas kejahatan perang dan kejahatan

terhadap kemanusiaan dan dijatuhi hukuman penjara selama 40 tahun oleh Special Court for

Sierra Leone di Freetown, Sierra Leone.

E. Augustine Gbao

Augustine Gbao adalah komandan dari RUF dari tahun 1991 hingga penangkapan

terhadap dirinya pada tahun 2002. Pada bulan Februari 2009 dia dinyataka bersalah oleh

Special Court For Sierra Leone atas kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan

dan dijatuhi hukuman penjara selama 25 tahun.

F. Johnny Paul Koroma

Johnny Paul Koroma adalah pemimpin dari kelompok AFRC/RUF. Selama

pemerintahannya di Sierra Leone terjadi berbagai kejahatan perang dan kejahatan terhadap

kemanusiaan. Setelah pemerintahan yang dipimpinnya jatuh, dia dilaporkan melarikan diri

dan menjadi buronan. Diperkirakan dia telah meningal dunia pada tahun 2003.

BAB IV

Peran PBB dalam Konflik Sierra Leone

A. Peran Diplomasi dan Mediasi

Keterlibatan PBB dalam mengatasi konflik internal di Sierra Leone dimulai pada

bulan November 1994. Diawali dengan permohonan dari Presiden Sierra Leone melalui surat

kepada Sekjen PBB, untuk membantu memfasilitasi negosiasi antara pemerintahan Sierra

Leone dengan RUF. Pada bulan Desember 1994, PBB kemudian mengadakan misi

eksploratif untuk menganalisis konflik tersebut. Berdasarkan laporan dari tim misi eksploratif

tersebut, dapat dikatakan bahwa negara tersebut mengalami banyak kerusakan dalam

berbagai hal sebagai akibat dari konflik yang sudah berjalan selama tiga tahun. Baik secara

politik, ekonomi, sosial, moral dan struktural, Sierra Leone telah mengalami suatu

kemunduran. Salah satu faktor yang merupakan pemicu konflik tersebut adalah berlian. Hal

ini terbukti pada tindakan yang dilakukan baik oleh RUF dan tentara pemerintah, dimana

berlian telah membantu RUF dalam hal membiayai tindakan kekerasan yang dilakukan

mereka. RUF menggunakan berlian untuk membeli persenjataan, baik dari tentara

pemerintah, maupun dari luar negeri. Selain itu faktor pemerintahan yang lemah dan buruk

juga memperparah keadaan di Sierra Leone dimana pemerintahan yang ada selama ini tidak

dapat menjalankan pemerintahan yang baik sehingga akibatnya Sierra Leone menjadi

collapse dan lemah terhadap berbagai serangan pemberontakan yang berlarut-larut.

Berdasarkan data-data tersebut, PBB kemudian menunjuk utusan khusus dari

Ethiopia, Berhanu Dinka, untuk menegosiasikan perjanjian yang mengutamakan

dikembalikannya asas pemerintahan di tangan rakyat. Hal tersebut dilakukan karena selama

ini rakyat tidak mendapat perlakuan yang adil dan tidak dapat menentukan nasibnya sendiri,

yang diakibatkan oleh pemerintahan yang bersifat otoriter selama ini.

Dalam hal ini PBB, bekerjasama dengan OAU (Organization of African Unity) dan

ECOWAS (Economic Community of West African States), dengan diwakili utusannya

masing-masing, melakukan mediasi dan perundingan untuk mencari penyelesaian dan

mengembalikan kekuasaan sipil. Kerjasama ini dilakukan karena OAU dan ECOWAS

merupakan organisasi regional di Afrika. DK PBB dapat memberikan pengesahan operasi

perdamaian kepada organisasi regional, karena organisasi regional memiliki peran yang

penting dalam operasi perdamaian mengingat kedekatan wilayah dengan daerah konflik,

organisasi regional memiliki kekhawatiran yang besar terhadap situasi yang terjadi dan akan

berusaha untuk mencegah penyebaran konflik yang dapat membahayakan keseluruhan

kawasan. Adanya kesamaan budaya, tradisi, geografi dan\ terkadang persamaan sejarah,

agama dan kesamaan persenjataan dan pelatihan militer, yang dimiliki oleh organisasi

regional, memberikan pengetahuan dan analisa yang lebih mendalam mengenai akar

permasalahan, sehingga hal-hal ini juga menjadi faktor penting dalam mengatasi dan

menghentikan konflik.

Hasil dari proses perundingan tersebut terlihat dengan diadakannya Pemilu Sierra

Leone pada Februari 1996, dengan kesepakatan kelompok tentara (dibawah pimpinan

Brigadir Jenderal Julius Maada Bio) melepaskan kekuasaan pada pemenang pemilu tersebut,

yaitu Ahmad Tejan Kabbah. Namun demikian, RUF tidak menyetujui atas hasil pemilu

tersebut, karena kekuasaan di negara ini telah diambil oleh pemerintah sipil, sehingga konflik

pun kembali terjadi. Pada bulan November 1996, Berhanu Dinka kembali melakukan

negosiasi perjanjian perdamaian antara RUF (dibawah pimpinan Foday Sankoh) dan

pemerintahan Sierra Leone, yang kemudian dikenal dengan Abidjan Accord/ Perjanjian

Damai Abidjan, yang isinya antara lain; menetapkan pembentukan pasukan penjaga

perdamaian yang netral dan penarikan semua pasukan asing dari Sierra Leone.

Akan tetapi, perjanjian tesebut pun gagal terlaksana, karena setelah itu muncul

gerakan militer dari RUF yang didukung dengan bergabungnya Mayor Jenderal Paul Karoma,

yang merupakan pemimpin dari tentara Sierra Leone/Sierra Leone Army (SLA), yang

kemudian membentuk pemerintahan Junta Militer, sehingga menyebabkan Presiden Kabbah

dan seluruh staf pemerintahannya melarikan diri ke Guinea. Hal ini menunjukkan bahwa

hukum tidak berlaku dan tidak dapat ditegakkan lagi di Sierra Leone.

Melihat hal tersebut, pada tanggal 8 Oktober 1997, DK PBB kemudian mengeluarkan

Resolusi 1132 yang isinya antara lain; memberlakukan sanksi terhadap junta AFRC,

melarang segala bentuk impor terhadap perlengkapan militer dan minyak ke dalam Sierra

Leone, serta menghimbau semua negara anggota untuk menyediakan bantuan teknis dan

logistik dalam rangka mendukung dan membantu ECOWAS untuk menyelesaikan

tanggungjawabnya pada implementasi dari resolusi ini. Selain itu dalam resolusi ini PBB juga

memberikan wewenang kepada ECOWAS untuk menjamin pelaksanaan embargo, dengan

menggunakan pasukan ECOMOG (The Economic Community of West African States

Monitoring Group).

B. Peran Pasukan Perdamaian PBB

Melengkapi diplomasi pencegahan, peran PBB yang lain pada konflik internal di

Sierra Leone adalah peran operasi perdamaian melalui penempatan preventif dan pelucutan

senjata preventif. Penempatan preventif/penempatan para pengawas perdamaian di lapangan

dilakukan untuk mencegah kemungkinan terjadinya konflik yang dimaksudkan untuk

menarik ”garis biru yang tipis” (Thin Blue Line) , guna membantu menahan jangan sampai

terjadi konflik dan membangun rasa saling percaya. Thin Blue Line sendiri ditujukan kepada

penempatan pasukan pengawas perdamaian, yang dikenal dengan sebutan ”the blue helmet”,

secara merata di daerah konflik tersebut. Pelucutan senjata preventif berusaha untuk

mengurangi jumlah senjata ringan di wilayah-wilayah konflik. Di El Salvador, Mozambique

dan di tempat-tempat lain, upaya ini menghasilkan demobilisasi kekuatan-kekuatan

bersenjata dan pengumpulan serta penghancuran senjata mereka yang terlibat sebagai bagian

menyeluruh dari perjanjian damai. Menghancurkan senjata-senjata kemarin akan mencegah

pemanfaatannya dalam peperangan di kemudian hari.

Dalam kaitannya dengan konflik internal Sierra Leone, operasi perdamaian yang

dilakukan oleh PBB dapat dikatakan telah meliputi dan mencakup tugas-tugas dan mandat-

mandat mulai dari yang sederhana (seperti bantuan terhadap kegiatan sipil, good offices dan

lain-lain) sampai dengan yang sulit (seperti melakukan negosiasi, pengawasan gencatan

senjata, kontrol senjata, demobilisasi dan reintegrasi, bantuan/pengembalian pengungsi,

perlindungan terhadap bantuan kemanusiaan, melindungi korban sipil, menjaga kondisi agar

tetap aman, menciptakan kondisi yang aman dan kontrol senjata secara paksa, dan lain-lain),

sesuai dengan penjelasan diatas, melalui peran UNOMSIL dan UNAMSIL.

BAB 5

KESIMPULAN

1. Konflik ini merupakan campuran dari berbagai penyebab yang rumit.

Akar penyebabnya secara esensial kemungkinan adalah masalah internal,

tetapi menjadi lebih rumit karena terlibatnya masalah penyebrangan batas

baik oleh negara atau kepentingan ekonomi, serta keterlibatan pelaku

non-negara.

2. Konflik-konflik yang terjadi menunjukan kumpulan dari berbagai

masalah diantaranya berupa pertikaian sipil dan ekspor ilegal sumber

daya alam yang pada akhirnya mendorong pembelian senjata.

3. Pada umumnya negara-negara di Afrika Barat memiliki pemerintahan

yang lemah karena mereka sebenarnya tidak memiliki kesiapan politik,

sosial dan ekonomi untuk memimpin negaranya, sehingga pada akhirnya

hal ini berdampak pada ketidakmampuan mereka untuk menjalankan

pemerintahan dengan baik dan mengatasi berbagai pemberontakan. Hal

inilah yang terjadi di Sierra Leone.