makalah revisis neo-sufisme muhib

26
NEO-SUFISME DAN SPIRITUALITAS MASYARAKAT MODERN Oleh : Muhibuddin A. Pendahuluan Tasawuf atau sufisme, merupakan bagian terpenting dalam sejarah perkembangan pemikiran Islam, dan dipandang sebagai salah satu disiplin ilmu tersendiri dalam Islam, sebagaimana halnya Fiqih, Kalam, dan Falsafah. Bagi sebahagian kalangan Muslimin, sufisme atau tasawuf tidak relevan dengan kemodernan. Bahkan, sebaliknya, dipandang sebagai hambatan bagi kaum Muslimin dalam mencapai modernitas dan kemajuan dalam berbagai lapangan kehidupan. Pandangan ini, yang menempatkan sufisme sebagai ‘tertuduh’, bukanlah sesuatu yang baru. Bahkan, sejak bermulanya praktik sufistik di masa awal Islam, kaum Muhadditsin dan Fuqaha’ memandangnya sebagai tidak sesuai dengan sunnah Nabi, eksesif, dan spekulatif dalam hal-hal menyangkut Tuhan. Menurut Fazlur Rahman bahwa awal mulanya sufisme merupakan protes moral-spiritual terhadap perkembangan- perkembangan tertentu yang bersifat doktrinal dan politis di dalam ummat Muslim. Pada tahapan selanjutnya, sufisme berubah menjadi sebuah gerakan agama populer dan dari 1

Upload: muhib-uddin

Post on 03-Jul-2015

1.164 views

Category:

Documents


19 download

TRANSCRIPT

Page 1: Makalah Revisis Neo-Sufisme Muhib

NEO-SUFISME

DAN SPIRITUALITAS MASYARAKAT MODERN

Oleh : Muhibuddin

A. Pendahuluan

Tasawuf atau sufisme, merupakan bagian terpenting dalam sejarah

perkembangan pemikiran Islam, dan dipandang sebagai salah satu disiplin ilmu

tersendiri dalam Islam, sebagaimana halnya Fiqih, Kalam, dan Falsafah.

Bagi sebahagian kalangan Muslimin, sufisme atau tasawuf tidak relevan dengan

kemodernan. Bahkan, sebaliknya, dipandang sebagai hambatan bagi kaum Muslimin

dalam mencapai modernitas dan kemajuan dalam berbagai lapangan kehidupan.

Pandangan ini, yang menempatkan sufisme sebagai ‘tertuduh’, bukanlah sesuatu yang

baru.

Bahkan, sejak bermulanya praktik sufistik di masa awal Islam, kaum

Muhadditsin dan Fuqaha’ memandangnya sebagai tidak sesuai dengan sunnah Nabi,

eksesif, dan spekulatif dalam hal-hal menyangkut Tuhan.

Menurut Fazlur Rahman bahwa awal mulanya sufisme merupakan protes

moral-spiritual terhadap perkembangan-perkembangan tertentu yang bersifat

doktrinal dan politis di dalam ummat Muslim. Pada tahapan selanjutnya, sufisme

berubah menjadi sebuah gerakan agama populer dan dari abad-abad ke-6 dan ke-7

Hijriah (12-13 M) menyatakan dirinya “tidak hanya sebagai sebuah agama di dalam

agama tetapi juga sebagai sebuah agama yang lebih tinggi dari pada agama.

Oposisi ini terus bertahan dari waktu, meski Al Ghazali berhasil merukunkan

syariah dan tasawuf sejak abad 12. Bahkan, kebangkitan modernisme dan reformisme

Islam sejak awal abad 20 menjadikan tasawuf sebagai salah satu sasaran

pembaharuan dan pemurnian Islam. Bagi para pemikir, aktivis modernis, dan

reformis Muslim, kaum Muslim bisa mencapai kemajuan hanya dengan

meninggalkan kepercayaan dan praktik sufistik yang mereka pandang bercampur

1

Page 2: Makalah Revisis Neo-Sufisme Muhib

dengan bid'ah, khurafat, takhayul, dan taqlid buta kepada pimpinan tasawuf dan

tarekat.

Pandangan seperti itu perlu dikaji ulang. Modernitas dan modernisasi tidak

selalu berhasil memenuhi janjinya bagi peningkatan kesejahteraan kaum Muslimin.

Sebaliknya, modernisasi yang diikuti globalisasi juga memunculkan kesulitan baru:

mulai dari meningkatnya gaya hidup materialistik dan hedonistik sampai disorientasi

dan dislokasi sosial, politik, dan budaya.

Karena itulah, banyak dari kalangan pemikir yang kemudian menyuarakan

pesan-pesan sufisme di tengah-tengah dunia yang semakin cenderung kepada

materialistik dan konsumeristik.1

Hal ini merupakan dampak dari pengalaman keagamaan yang lebih intens, lebih

menusuk dalam pencarian nilai dan makna. Dalam perjalanan sejarah spiritualis

muslim, terlihat bahwa transendensi adalah mi’raj spiritual para sufi, karena jalan itu

dirasakan amat mengasikkan.

Dalam suasana transendensi, seorang sufi merasa memasuki kawasan realita

baru, realita yang terbebaskan dari hidup yang penuh kebengisan, kezaliman dan

keserakahan. Dengan memasuki dunia spiritual, seseorang merasakan hidup di alam

cinta, di alam kemenangan. Bagi kelompok ini, realitas spiritual yang dimasuki

bukanlah sesuatu yang semu, tetapi benar–benar suatu realitas yang dapat dinikmati

sebagai sesuatu pengalaman keagamaan.

Kebangkitan sufisme post-modernisme berkaitan dengan sejumlah faktor

keagamaan, sosial, politik, ekonomi, dan budaya yang kompleks. Secara keagamaan,

sejak 1980-an, terjadi gejala peningkatan attachmen kepada Islam, gejala yang di

Indonesia biasa disebut sebagai 'santrinisasi'. Proses itu dimungkinkan karena

terbentuknya kelas menengah Muslim saat terjadi perubahan politik rezim penguasa

yang lebih rekonsiliatif dan bersahabat terhadap kaum Muslimin dan Islam.

Relatif mapannya keadaan ekonomi kelas menengah tersebut tidak hanya

mendorong mereka, misalnya mengerjakan ibadah haji dan umrah. Akan tetapi, juga

1 Syeikh Fadhlalla Haeri, The Element of Sufism, (Longmead : G.B., 1990), h.

2

Page 3: Makalah Revisis Neo-Sufisme Muhib

mengeksplorasi pengalaman keagamaan dan spiritualitas yang lebih intens. Ini hanya

bisa diberikan sufisme, bahkan bentuk spiritualitas Islam lainnya, yang memang tidak

selalu sesuai dengan paradigma dan bentuk tasawuf konvensional.

Karena itulah, gejala sufisme kontemporer di Indonesia dan di dunia Muslim

lain tidak lagi hanya diwakili bentuk tasawuf konvensional, baik tarekat maupun

tasawuf yang diamalkan secara personal-individual. Tetapi, muncul pula bentuk baru

yang mirip dengan apa yang disebut 'new age movement', gerakan (spiritualitas

keagamaan) zaman baru.

Dalam konteks itu, jika secara konvensional, zikir misalnya, dilakukan secara

pribadi dan kelompok di ruang tertutup, kini dilakukan secara massal dan terbuka

dengan liputan TV. Gejala baru ini tidak membuat pengamalan sufisme konvensional

lenyap. Bahkan, sebaliknya, tidak hanya bertahan, tetapi juga menemukan

momentumnya, tidak hanya di kelas menengah, sekaligus juga pada setiap lapisan

masyarakat.

B. Pengertian dan Tokoh-tokoh Neo-Sufisme

Neo-Sufisme (neo-Sufism) pertama kali diperkenalkan oleh pemikir muslim

kontemporer, yakni Fazlur Rahman. Karena itu, pemahaman tentang istilah ini

haruslah dirujuk kepada Fazlur. Menurut Fazlur Rahman selaku penggagas istilah ini,

neo-sufisme adalah "reformed sufism", sufisme yang telah diperbaharui.2 Kalau pada

era kecemerlangan sufisme terdahulu, aspek yang paling dominan adalah sifat

ekstatik-metafisis atau mistis-filosofis, maka dalam sufisme baru ini digantikan atau

di-reform dengan prinsip-prinsip Islam orthodoks.

Neo-sufisme mengalihkan pusat pengamatan kepada rekonstruksi sosio-moral

masyarakat muslim, sedangkan sufisme terdahulu terkesan lebih bersifat individual

dan "hampir" tidak melibatkan diri dalam hal-hal kemasyarakatan. Oleh karena itu,

karakter keseluruhan neo-sufisme adalah "puritanis dan aktivis". Tokoh atau

2 Fazlur Rahman, Islam, Terj. Ahsin Muhammad, (Bandung: Pustaka, 1984), h. 196-205.

3

Page 4: Makalah Revisis Neo-Sufisme Muhib

kelompok yang paling berperan dalan reformasi sufisme ini, juga yang paling

bertanggung jawab dalam kristalisasi kebangkitan neo-sufisme menurut Fazlur

Rahman adalah kelompok ahlu al-hadits.3 Mereka ini mencoba mengakomodir

sebanyak mungkin warisan kaum sufi yang dapat direkonsiliasikan dengan Islam

orthodoks, terutama motif moral sufisme dan teknik dzikir atau muraqabah dalam

mendekatkan diri kepada Allah.

Kelihatannya, tujuan neo-sufisme adalah penekanan yang lebih intens (kuat)

pada penguatan iman sesuai dengan prinsip-prinsip aqidah Islam, dan penilaian

terhadap kehidupan duniawi sama pentingnya dengan kehidupan ukhrawi.

Konsekuensi dari sikap keberagamaan ini adalah terintegrasikannya nilai kehidupan

duniawi dengan nilai kehidupan ukhrawi. atau kehidupan yang terresterial dengan

kehidupan yang kosmologi.

Sikap puritanis (Paham Kemurnian Ajaran) pendukung neo-sufisme

menyebabkan berseberangan dengan paradigma sufisme terdahulu yang mengarahkan

pengikutnya untuk membenci duniawi sehingga mereka pasif, hal ini berlainan

dengan neo-sufisme, yang malahan mendorong dan memotivasi pengikutnya agar

aktif-kreatif dalam kehidupan ini, baik yang bersifat karya-karya praktis maupun

dalam kreativitas intelektual.

Al-Qusyasyi (w. 1071 H), salah seorang tokoh reformasi sufisme dan guru

Abdul Rauf As-Singkili (w. 1105 H) mengarahkan dan menganjurkan kaum

muslimin untuk meninggalkan kemalasan dan kebodohan dengan penggunaan waktu

sebaik-baiknya. Sehingga fungsi kekhalifahan manusia dapat dioptimalkan dalam

rangka pemenuhan kebutuhan jasmaniyah dan rohaniyah.

Sufi yang sebenarnya bukanlah yang mengasingkan dirinya dari masyarakat,

tetapi sufi yang tetap aktif di tengah kehidupan masyarakat dan melakukan amar

ma'ruf nahi munkar (ishlah) demi kemajuan dan kesejahteraan masyarakat.4

Menurut Rahman, neo-Sufisme mempunyai ciri utama berupa tekanan kepada

3 Ibid., h. 194.4 Wahab Mu'thi, Kritik Ibn Taimiyah terhadapTasawuf, (Disertasi, 1991), h.

4

Page 5: Makalah Revisis Neo-Sufisme Muhib

motif moral dan penerapan metode zikir dan muraqabah (konsentrasi kerohanian)

guna mendekati Tuhan, tetapi sasaran dan isi konsentrasi itu disejajarkan dengan

doktrin salafi (ortodoks), dan bertujuan untuk meneguhkan keimanan kepada aqidah

yang benar dan kemurnian moral dari jiwa. Melucuti dari ciri dan kandungan ekstatik

dan metafisiknya, dan diganti dengan kandungan yang sesuai dengan Al Quran dan

Sunnah.

Tasawuf model baru ini menekankan dan memperbarui faktor

moral asli dan kontrol diri yang puritan dalam tasawuf dengan

mengorbankan ciri-ciri berlebihan dari tasawuf yang menyimpang. Pusat perhatian

neo-sufisme adalah lebih kepada rekonstruksi sosio-moral dari masyarakat Muslim.

Ini berbeda dengan tasawuf sebelumnya, yang terutama menekankan individu dan

bukan masyarakat5. Sehingga, karakter keseluruhan neo-Sufisme adalah puritan dan

aktivis6. Para pengamalnya tidak mengundurkan diri dari kehidupan dunia, tetapi

sebaliknya melakukan inner detachment untuk mencapai realisasi spiritual yang lebih

maksimal.7

Menurut Nurcholish Madjid, neo-Sufisme cenderung untuk menghidupkan

kembali aktifisme salafi dan menanamkan kembali sikap positif kepada dunia. Dalam

makna inilah kaum Hanbali seperti Ibn Taimiyah dan Ibn Qayyim Al-Jauziyah,

sekalipun sangat memusuhi sufisme populer, adalah jelas kaum neo-sufi, malah

menjadi perintis ke arah kecenderungan ini.

Selanjutnya, kaum neo-sufi juga mengakui, sampai batas tertentu, kebenaran

klaim sufisme intelektual mereka menerima kasyf (pengalaman penyingkapan

kebenaran Ilahi) kaum Sufi atau ilham intuitif. Bahkan Ibn Taimiyah maupun Ibn

Qayyim sesungguhnya mengaku pernah mengalami kasyf sendiri. Jadi terjadinya

kasyf dibawa kepada tingkat proses intelektual yang sehat. Lebih jauh lagi, Ibn

Taimiyah dan para pengikutnya menggunakan keseluruhan terminologi kesufian -

5 Fazlur Rahman, Revival and Reform, dalam P. M. Holt et.al, The Cambridge History of Islam, 1970, II, h. 6376 Fazlur Rahman, Islam…, h. 1947 Azyumardi Azra, Historiograft Islam Kontemporer: Wacana, Aktualitas dan Aktor Sejarah, (Jakarta: Gramedia,

2002), h. 194.

5

Page 6: Makalah Revisis Neo-Sufisme Muhib

termasuk istilah salik, penempuh jalan keruhanian - dan mencoba memasukkan ke

dalamnya makna moral yang puritan dan etos salafi.8

Berdasarkan kajian Nurcholish Madjid, neo-Sufisme itu dalam

perkembangannya tampil dalam apa yang disebut oleh kelompok Dr. Sa'id Ramadhan

"Al-Ruhaniyah Al-Ijtima'iyah" (spiritualisme sosial) yang ciri-cirinya antara lain:

1. Membaca dan merenungkan makna kitab suci Al-Qur'an;

2. Membaca dan mempelajari makna kehadiran Nabi Saw. melalui sunnah dan sirah

(biografi) beliau,

3. Memelihara hubungan dengan orang-orang saleh seperti para ulama dan tokoh

Islam yang zuhud;

4. Menjaga, diri dari sikap dan tingkah laku tercela;

5. Mempelajari hal-hal tentang ruh dan metafisika dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah,

dengan sikap penuh percaya;

6. Melakukan ibadah-ibadah wajib dan sunnah seperti shalat lima waktu dan

tahajjud.

Dengan demikian, yang paling dipentingkan di sini adalah nilai keseimbangan

(mizan atau tawazun), sehingga menjadi prinsip utama hidup ideal seorang muslim.

Nampaknya gerakan "Neo Sufisme" dituntut untuk melakukan upaya sistematis

demi terkawalnya citra tasawuf yang sejati. Kelihatannya tasawuf semakin dicari

orang, karena diyakini bahwa pola hidup sufistik adalah pilihan terbaik untuk

mengobati penyakit–penyakit sosial yang ditularkan oleh racun "cinta dunia" yang

berlebihan. Adapun tokoh – tokoh utamanya ialah Ibn Taimiyah dan Ibn Qayyim Al-

Jauziyah, Dr. Sa'id Ramadhan, di Indonesia: Hamka, dan KH. Achmad Siddieq.

8 Nurcholish Madjid, Islam Agama Peradaban: Membangun Makna dan Relevansi Doktrin Islam dalam Sejarah, (Jakarta: Paramadina, 1995), h. 94.

6

Page 7: Makalah Revisis Neo-Sufisme Muhib

C. Konsep Neo-Sufisme Falur Rahman

Menurut Fazlur Rahman, spiritulisme itu telah ada semenjak nabi Muhammad

SAW dan ia sebagai penunjang misi kenabian dan kerasulannya. Dalam

perkembangan selanjutnya penanaman taat terhadap hukum Tuhan lama kelamaan

menjadi tahapan khusus interiorisasi dan instrospeksi motif moral. Praktek tersebut

mendapat dorongan kuat dari realitas sosial.

Kehidupan asketisme merupakan awal kehidupan tasawuf yang merupakan

reaksi atau protes spiritual dari keadaan pada waktu itu. Rahman sangat tidak sepakat

dengan model kehidupan para sufi yang mengisolasi terhadap dunia, sinis akan

politik yang akan mengakibatkan pesimisme, dan yang demikian itu bertentangan

dengan Al Quran, sebab yang utama dari Al Quran adalah implementasi actual dari

citra moral secara realistis dalam suatu konteks sosial.

Adalah sangat tidak tepat bila dikatakan bahwa di antara para sahabat ada yang

mengalami ektase-ektase seperti Abu Yaziz Al Busthami, Ibn 'Arabi, Al Hallaj dan

sebagainya, Namun dalam prakteknya Rahman tidak sependapat dengan pandangan

para tokoh tasawuf falsafi, yang menurutnya mereka telah mengadakan

"penambahan" dalam agama.9 Karena ektase (fana diri) yang dijalani telah

mengakibatkan pengisolasian diri yang dianggap sebagai the ultimate goal atau

perjalanan manusia menuju khaliknya.

Penolakan Fazlur Rahman tersebut berdasarkan pada prilaku Rasulullah saw.,

menurutnya, seandainya ektase (fana diri) dari para sufi itu dianggap sebagai

religious experience (pengalaman agama), maka Rasulullah pun mengalaminya.

Paradigma di atas jika dicermati lebih mendalam, maka sesungguhnya gagasan

Neo-Sufisme Fazlur Rahman tersebut dilatarbelakangi oleh anomaly atau problema

yang dipraktekkan oleh para sufi terutama puncaknya pada abad ke III Hijriah.

Anomaly tersebut antara lain;

Pertama anomaly teologis yang berhubungan dengan pengalaman ekstasik-fana'

dan ucapan-ucapan syatahat yang ganjil dan banyak ditandai oleh pemikiran-

9 Muhammad Wahyuni Nafis, Rekonstruksi dan Renungan Religius Islam, (Jakarta; Paramadina, 1996), hal. 34

7

Page 8: Makalah Revisis Neo-Sufisme Muhib

pemikiran spekulatif-metafisik, misalnya hulul, wahdat al-wujud, ittihad dan

sebagainya.

Kedua anomaly non-formalistik yang berhubungan dengan dasar praktek

aplikatif tasawuf yang tidak bersandar pada normativitas Al-quran dan Sunnah, dan

Ketiga, anomaly holistika yang berhubungan dengan aspek aksiologis

(implementasi) tasawuf di mana para sufisme lebih memilih isolasi dari kehidupan

dengan melakukan kontemplasi dan 'uzlah dan tidak mau aktif dalam praktis

kemasyarakatan.

Maka dengan demikian, Neo-Sufisme Fazlur Rahman dengan kerangka

berpikirnya bact to Qur'an and Sunnah yang begitu kuat, akan melahirkan alternative

kehidupan sufistik pada masa sekarang ini sesuai dengan tantangan zaman yang

semakin berkembang.

D. Analisis Perbandingan Dengan Sufi Klasik

Sejak dekade akhir abad II Hijriah, sufisme sudah populer di kalangan

masyarakat di kawasan dunia Islam, sebagai perkembangan lanjut dari gaya

keberagaman para zahid dan ‘abid - kesalehan asketisme yang mengelompok di

serambi masjid Madinah.

Fase awal ini juga disebut sebagai fase asketisme (zuhud) yang merupakan

bibit awal tumbuhnya sufisme dalam peradaban Islam. Keadaan ini ditandai oleh

munculnya individu–individu yang lebih mengejar kehidupan akhirat, sehingga

perhatiannya terpusat untuk beribadah dan mengabaikan keasyikan duniawi. Fase

asketisme ini setidaknya berlangsung sampai akhir abad II hijriah, dan memasuki

abad ke III sudah menampakkan adanya peralihan dari asketisme ke sufisme.

Fase ini dapat disebut sebagai fase kedua, yang ditandai oleh pergantian

sebutan zahid menjadi sufi. Di sisi lain, pada kurun waktu ini percakapan para zahid

sudah meningkat pada persoalan bagaimana jiwa yang bersih itu, apa itu moralitas

dan bagaimana pembinaannya, serta perbincangan masalah kerohanian lainnya.

Tindak lanjut dan diskusi ini, bermunculanlah berbagai konsepsi tentang

8

Page 9: Makalah Revisis Neo-Sufisme Muhib

jenjang perjalanan yang harus ditempuh seorang sufi (al-maqomat) serta ciri–ciri

yang dimiliki seorang salik (calon sufi) pada tingkatan tertentu (al-hal). Demikian

juga pada periode ini sudah mulai berkembang perbincangan tentang al-Ma'rifat

beserta perangkat metodenya ('uzlah) hingga pada derajat fana’ dan Ittihad.

Bersamaan dengan itu, tampillah para penulis tasawuf terkemuka, seperti al-

Muhasibi (w. 243 H), al-Harraj (w. 277 H) dan al-Junaid al-Bagdadi (w. 297 H) dan

penulis lainnya. Secara konseptual tekstual lahirnya sufisme barulah pada periode ini,

sedangkan sebelumnya hanya berupa pengetahuan perorangan dan atau semacam

langgam keberagamaan. Sejak kurun waktu itu sufisme berkembang terus ke arah

penyempurnaan dan spesifikasi terminologi, seperti konsep intuisi, dzauq dan al-

kasyf.10

Hingga pada abad kedelapan hijriah muncullah suatu gerakan "Noe Sufisme"

yang dipelopori oleh Ibn Taimiyah di mana sufisme terdahulu itu dituding sebagai

penyebab keterbelakangan umat Islam dalam percaturan kemajuan duniawi. Dari

keseluruhan pemaparan terdahulu telah kelihatan adanya persamaan dan perbedaan

antara sufisme terdahulu dengan neo-sufisme. Yang penting dicatat adalah sebagai

berikut:

a. Kelahiran Sufisme klasik dan kebangkitan Neo-Sufisme nampaknya dimotivasikan

oleh faktor–faktor yang sama, yakni: Gaya kehidupan yang glamour dan

materialistik-konsumeristik, formalisme pemahaman dan pengamalan keagamaan

sebagai imbas dari kegarangan rasionalisme, dan faktor kekerasan perebutan

hegemoni kekuasaan yang merasuki seluruh aspek kehidupan manusia.

b. Kesucian jiwa-rohaniyah, bahwa keduanya sama mendambakan dan menekankan

betapa urgennya kebeningan dan kesucian hati nurani dalam segala aspek

kehidupan umat manusia-aspek tazkiyah an-nafs.

c. Pendekatan esoteris (bersifat rahasia) ; keduanya sama berkeyakinan, bahwa untuk

memahami dan menghayati makna keagamaan harus melalui pendekatan esoteris,

pendekatan pengalaman metafisis atau al-kasyf. Namun dalam hal kemutlakan

10 Abu al-Wafa al-Ghanimi al-Taflazani, Madkhal Wa al-Tasmvuf, (Kairo: Daar al-Saqafah, 1974), h. 80-82

9

Page 10: Makalah Revisis Neo-Sufisme Muhib

nilai kebenarannya, terlihat antara keduanya ada perbedaan yang cukup tajam,

kalau sufisme terdahulu meyakini secara mutlak kebenaran yang diperoleh melalui

esoteris-al-kasyf, tetapi neo-sufisme akan meyakini kebenaran itu, apabila sejajar

dengan syariat. Di samping itu, sufisme terdahulu hanya mengakui pendekatan

esoteris satu-satunya yang dapat digunakan dalam rangka penghayatan

keagamaan, tetapi neo-sufisme tetap mengakui terhadap pluralitas pendapat.

d. Dzikrullah dan muraqabah, keduanya sama-sama meyakini betapa pentingnya

masalah ini dalam segala situasi demi tercapainya ridha Allah.

e. Sikap ‘uzlah, kalau sufisme terdahulu menempuh cara hidup ‘uzlah total, maka

neo-sufisme menempuh cara itu hanya sewaktu diperlukan saja sekedar untuk

menyegarkan wawasan melalui muhasabah—introspeksi.

f. Zuhd, askestisme, apabila sufisme terdahulu “membenci” kehidupan duniawi

karena dianggap menghalangi pencapaian tujuan, tetapi sufisme baru, meyakini

kehidupan duniawi ini sangat bermakna dan amat penting. Oleh karena itu,

kehidupan duniawi harus diperjuangkan tetapi harus disesuaikan dengan

kepentingan ukhrawi. Menurut pandangan ini, makna kehidupan duniawi

tergantung pada keterkaitannya dengan nilai ukhrawi yang dihasilkan aktivitas

duniawi itu. Karena mereka berkeyakinan, bahwa neo-sufisme, menjadi satu-

satunya alternatif culture yang dapat meng-counter culler materialistis-

konsumeristis dan hedonisme.

E. Fenomena Spiritualitas Masyarakat Modern

Apabila ditelusuri dari sejarah masuknya Islam ke Indonesia, nampaknya

sufisme yang diajarkan di Indonesia sudah diwarnai oleh tarekat sebagai lembaga

atau paguyuban. Akan tetapi apabila dilihat dari kegemaran para santri generasi awal

mempelajari tasawuf dari buku–buku yang pada umumnya karangan al-Ghazali,

10

Page 11: Makalah Revisis Neo-Sufisme Muhib

ternyata belum dicampuri ajaran tarekat. Dengan mengandalkan fakta–fakta sejarah

itu, barangkali tidak berlebihan kalau dikatakan, bahwa sebelum munculnya tarekat

sufi sebagai lembaga, sudah lebih dulu berkembang tasawuf, baik yang beraliran al-

Ghazali maupun aliran lainnya. Sedangkan tarekat tasawuf yang melembaga,

nampaknya datang kemudian bersamaan dengan kedatangan penyiar–penyiar yang

berasal dari Gujarat.

Dengan demikian, maka tasawuf yang berkembang pada masa awal itu,

didominasi oleh tasawuf aliran Sunni. Kalau pun ada penganut tasawuf aliran falsafi,

tidak begitu luas dan bahkan mendapat perlawanan dari pengikut Sunni. Karenanya

tanpa ragu Hamka menulis, bahwa tasawuf di Indonesia sejalan dan sedarah daging

dengan mazhab Ahlussunnah wal-Jama'ah.

Dalam perkembangan sufisme di Indonesia, pengaruh al-Ghazali as-Syafi'i

lebih besar daripada pengaruh al-Hallaj dari mazhab Syi'i. Bahkan pada masa

kerajaan Islam Pasai, telah ada orang Indonesia yang mengajar tasawuf di Mekkah,

yakni Syaikh Abu Abdullah Masud bin Abdullah al-Jawi.11

Tasawuf yang tadinya aktivitas independen, telah bergeser kepada bentuk

organisasi atau lembaga yang kemudian disebut tarekat. Dalam tarekat sebagai

pranata keagamaan, peranan guru (syekh, khalifah dan mursyid) sangat dominan.

Sebab, tasawuf yang diajarkan dalam satu tarekat, sangat tergantung pada "khibrah"

(penghayatan, pengamalan dan pengalaman dalam mengajarkan tasawuf) seorang

syeikh tarekat. Demikianlah perkembangan yang nyata dari sufisme di Indonesia,

terkesan sudah diwarnai tarekat sehingga tarekat diidentikkan dengan tasawuf.

Fenomena yang terjadi sekarang ini bahwa tarekat sudah menjadi suatu

pengajian sehingga membentuk suatu kumpulan (majlis dzikir), misalnya saja majlis

dzikir yang dipimpin oleh ustadz H. Haryono dengan metodenya dan sudah dikenal

oleh masyarakat luas mampu mengobati segala macam penyakit. Begitu juga dengan

ustadz H. Arifin Ilham dengan majelis dzikir Az-Zikranya dan KH. Abdullah

Gymnastiar dengan taushiyahnya mampu membangkitkan jiwa spiritualitas di tengah-

11 Hamka, Tasawuf Perkembangan dan Pemurniannya, (Jakarta: Yayasan Nurul Islam, 1978), h. 217-218.

11

Page 12: Makalah Revisis Neo-Sufisme Muhib

tengah masyarakat modern.

Di Indonesia sendiri dalam beberapa tahun terakhir, gejala munculnya tasawuf

ke panggung kehidupan keagamaan juga terlihat lebih jelas. media massa sering

melaporkan, bahwa literatur tasawuf termasuk diantaranya buku-buku terlaris

dipasaran. Kehidupan sufistik ini bahkan merambah ke dunia kepenyairan. Terdapat

seniman atau penyair, yang tidak malu-malu lagi meproklamasikan diri sebagai

penyair sufistik.

Kebangkitan tasawuf umumnya dan tarekat khususnya di masa modern ini,

tidak urung lagi menimbulkan banyak pertanyaan di kalangan para pengkaji sosiologi

agama dan modernisasi. Mengapa dalam situasi di mana kemajuan ilmu pengetahuan

dan teknologi yang kian marak, justru semakin banyak orang tertarik kepada tasawuf?

Apakah ini sekedar gejala eskapisme dalam dunia modern? Kesimpulan singkat yang

diberikan Naisbitt dan Aburdene dalam Megatrends 2000 (1990) sebagaimana yang

dikutif oleh Azyumardi Azra, agaknya menarik untuk dicatat. Menurut mereka, ilmu

pengetahuan dan teknologi tidak memberikan makna tentang kehidupan. Kebangkitan

agama (termasuk tasawuf) merupakan penolakan yang tegas terhadap kepercayaan

buta kepada ilmu pengetahuan dan teknologi, tulis keduanya.12

Demikianlah, modernisasi dipandang gagal memberikan kehidupan yang lebih

bermakna kepada manusia. Karena itu tidak heran kalau orang kembali kepada agama

yang memang berfungsi, antara lain, untuk memberikan makna dan tujuan hidup.

Modernisme dan modernisasi, ternyata gagal menyingkirkan agama dari kehidupan

masyarakat. modernisasi memang menciptakan tantangan-tantangan baru terhadap

agama, tetapi sama sekali tidak melumpuhkannya. Yang terjadi justru sebaliknya:

sepanjang menyangkut makna, modernisme dan modernisasi justru menghantarkan

manusia ke jalan buntu.

Dari fenomena tersebut di atas, telah mengantarkan pada kebangkitan tasawuf

di masa kontemporer saat ini. Hal ini dapat diamati pada terjadinya pendekatan yang 12 Muhammad Wahyuni Nafis, Rekonstruksi dan Renungan Religius Islam, (Jakarta:

Paramadina, 1996) h. 295

12

Page 13: Makalah Revisis Neo-Sufisme Muhib

lebih intens antara spiritualitas tasawuf dengan mainline (ide pokok) Islam. Karya-

karya dan manual sufistik yang dihasilkan pemikir sufi kontemporer menunjukkan

terdapatnya usaha-usaha yang kontinyu dan terarah untuk menegaskan bahwa tradisi

sufistik tidak pernah terlepas dari Islam ortodoks.

Kecenderungan perkembangan masyarakat dalam masa pasca-modernisme

seperti di atas mengisyaratkan bahwa Neo-Sufisme akan lebih mempunya prospek

perkembangan yang cerah dan akan semakin berkembang seiring dengan lajunya

perkembangan zaman. Satu keyakinan yang diungkapkan oleh Syaykh Fadhullah

Khayri, sebagaimana yang dikutip oleh Azyumardi Azra yang perlu di dicermati

bahwa pesan-pesan sufisme lebih urgen di dunia yang semakin materialistik dan

konsumeristik.13

13 Ibid, h.296

13

Page 14: Makalah Revisis Neo-Sufisme Muhib

F. Penutup

Demikianlah sejarah menunjukkan, bahwa sufisme tidak pernah tercabut dari

akar keislaman. Maka seirama dengan abad kebangkitan umat Islam, bangkit pula

gerakan spiritualis Islam, yang oleh Fazlur Rahman dinamai "neo-sufisme", sufisme

baru. Secara umum terlihat, bahwa ciri utama neo-sufisme ini adalah, penekanan pada

motif moral melalui penerapan metode zikr dan muraqabah guna "mendekati" Allah.

Bahwa Neo-Sufisme yang telah dikonstruk Fazlur Rahman dapat

dikategorikan sebagai tasawuf model salafi. Sebuah model tasawuf yang secara

epistimologis berdasarkan acuan normatif al-Quran dan al-Sunnah, menjadikan Nabi

dan para salaf al-shalihin sebagai panutan dalam aplikasinya yang tidak berlebih-

lebihan dalam menjalankan proses spiritualisasi ketuhanannya dengan mengeliminir

unsur mistik-metafisik dan asketik dalam tasawuf serta unsur-unsur heterodoks

asing lainnya, dan digantikan dengan doktrin-doktrin yang bernuansa salaf yang

quranik-normatif namun tidak elitis-esklusif. Doktrin ini dimaksudkan untuk

menjadikan tasawuf mampu berperan dalam konteks sosial kemasyarakatan.

Hal ini dilakukan karena berbagai anomali atau problem (teologis, normative

dan sosiologis) yang berkembang di tubuh tasawuf kala itu, harus diperbaharui agar

supaya tasawuf sebagai bagian dari keislaman dapat memberikan kontribusi positif-

konstruktif terhadap kehidupan masyarakat muslim dalam berbagai bidang

kehidupannya.

Dalam gerakan neo-sufisme, nampaknya juga tidak bebas dari penyakit

pertentangan pola gerakan dan pola anutan. Setidaknya ada dua warna yang

mengemuka, yaitu: (1) mereka yang tidak mengakui “al kasyf” sebagai hakikat

sufisme. Mereka ini berusaha menghidupkan kembali nilai sufisme yang

dipraktekkan para sahabat nabi, yakni sufisme yang lebih bertumpu pada ‘abid dan

zahid; (2) mereka yang tetap mengakui “kasyf” sebagai intisari sufisme, namun

kualitas kebenarannya harus dilegalisir syariat. Apabila diwawas dari perspektif

berbekal kemafhuman yang empatik, sesungguhnya ide neo sefisme ini melantunkan

nada cinta yang memperpanjang harapan terciptanya kehidupan yang seutuhnya.

14

Page 15: Makalah Revisis Neo-Sufisme Muhib

Unsur dasar yang harus diperhatikan dalam mengaktualisasikan gagasan Neo-Sufisme dalam konteks kekinian, adalah sifat kehidupan manusia yang senantiasa berubah. Artinya, konteks kehidupan tasawuf di abad lalu berbeda dengan konteks kekinian. Karena masyarakat manusia adalah realitas yang senantiasa berubah dan mencair, oleh karena itu perubahan masakini harus disikapi dengan pola yang baru pula. Tasawuf yang dipraktekkan masa kini harus dengan memperhatikan bahwa masalah kemanusiaan dalam kehidupan sosial merupakan bagian dari kerberagamaan para sufi. Tujuan yang dapat dicapai tetap sama yaitu Ketenangan, kedamaian dan kebahagiaan intuitif tetap kemudian dilebarkan bukan hanya untuk individu melainkan juga untuk dan dalam bentuk kesalehan sosial.

Jika ini mampu diaktulisasikan di tengah-tengah kesibukan dunia modern, maka akan lahir zahid-zahid baru, Ia adalah seorang mukmin, namun sekaligus seorang profesionalis, wiraswasta, birokrat, teknolog, atau bahkan seorang bankir. Atas dasar persepsi bahwa zahid tidak berbeda dengan sufi, maka ia dapat melakukan riadah (latihan ruhani) dalam konteks kesibukannya sebagai orang modern.

Kelebihan dari sosok praktek ini adalah masing-masing individu mencapai peningkatan spiritual sehingga memperoleh ketenangan hidup, kedamaian dan kebahagiaan di sisi Allah SWT, tidak perlu stress karena sikap zahidnya akan senantiasa membentuk qalbunya untuk tidak terikat dengan dunia, tidak perlu lupa diri menumpuk kekayaan karena sadar bahwa tujuan utamanya adalah memperoleh pengalaman fana dan baqa di sisi-Nya.

Sisi lain bahwa pola pengalaman keberadaan Tuhan yang terkait dengan mengalami pelaksanaan perintah-Nya dalam kehidupan sosial ini akan membangkitkan semangat sufinya untuk membangun dunia di sekitarnya.

15

Page 16: Makalah Revisis Neo-Sufisme Muhib

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Karim al-Qusyairi, al-Risalah al-Qusairiyah. Kairo, 1330 H.

Abu al-Wafa al-Ghanimi al-Taftazani, Madkhal ila al-Tasawuf. Kairo: Daar al Saqafah, 1974.

Azyumardi Azra, Historiografi Islam Kontemporer: Wacana, Aktualitas dan Aktor Sejarah. Jakarta: Gramedia, 2002.

Fazlur Rahman, Revival and Reform, dalam P. M. Holt et.al, The Cambridge History of Islam, 1970.

Fazlur Rahman, Islam, edisi II. Chicago: University of Chicago Press, 1979.

Fazlur Rahman, Islam, Terj. Ahsin Muhammad. Bandung: Pustaka, 1984.

Hamka, Tasawuf Perkembangan dun Pemurniannya. Jakarta: Yayasan Nurul Islam, 1978.

Ibrahim Basyuni, Nasy-at al-Tasawuf fil Islam. Kairo: Daar a]-Ma'arif, 1969. Lihat dalam tulisannya (bab pendahuluan) yang bedudul The Element of .Sufism. Longmead, G.B., 1990.

Nurcholish Madjid, Islam Agama Peradahan: Membangun Makna dan Relevansi Doktrin Islam dalam Sejarah. Jakarta: Paramadina, 1995.

Said Ramadlan, Al-Ruhaniyuh Al-ljtima'iyah fi Al-Islam. Jeneva: al Markaz al Islam, 1965.

Tulisan al-Kharraj, al-Thariq ila Allah-, Al-Muhasibi, al Ri'ayah 1i Huquq al-Insan; dan al-Junaidi al-Baghdadi, Dawa' al-Arwah

.Wahyuni Nafis, Muhammad (Ed), Rekonstruksi dan Renungan Religius Islam,

Jakarta: Paramadina1996

16