makalah pnemukoniosis

37
MAKALAH PENYAKIT PARU AKIBAT KERJA “PNEUMOKONIOSIS” (Memenuhi Tugas Komunitas IV) Dosen Pembimbing: Ns. Mirnawati S.Kep Disusun Oleh : Noveldi Pitna 143010036 PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN FAKULTAS KESEHATAN UNIVERSITAS PATRIA ARTHA MAKASSSAR 2015/2016 i

Upload: noveldy-pitna

Post on 11-Apr-2017

680 views

Category:

Health & Medicine


3 download

TRANSCRIPT

Page 1: Makalah Pnemukoniosis

MAKALAHPENYAKIT PARU AKIBAT KERJA

“PNEUMOKONIOSIS”

(Memenuhi Tugas Komunitas IV)

Dosen Pembimbing:

Ns. Mirnawati S.Kep

Disusun Oleh :

Noveldi Pitna

143010036

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATANFAKULTAS KESEHATAN

UNIVERSITAS PATRIA ARTHAMAKASSSAR

2015/2016

i

Page 2: Makalah Pnemukoniosis

KATA PENGANTARPuji dan syukur kehadirat Allah SWT, atas berkat, rahmat, serta hidayah-NYA

sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah Penyakit Paru akibat kerja

“Pneumokoniosis” tepat pada waktunya. Makalah ini dibuat berdasarkan penilaian

dalam mata kuliah Komunitas IV pada semester tujuh sebagai pengetahuan bagi

penulis maupun pembaca makalah ini untuk mengetahui lebih lanjut mengenai

Pneumokoniosis.

Penulis sangat menyadari akan kekurangan yang dimiliki begitu pula dengan

pembuatan makalah ini. Karena itu, kritik dan saran sangat diharapkan guna

memperbaiki segala kekurangan dalam makalah ini.

Ucapan terimakasih tak lupa penulis haturkan kepada Ibu Mirnawati

S.Kep.,Ns sebagai dosen mata kuliah Keperawatan Konmunitas IV yang telah

membimbing penulis dalam pembuatan makalah ini serta teman-teman yang ikut

membantu dalam pembuatan makalah baik secara langsung ataupun tidak.

Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca maupun bagi

penulis sendiri. Aamiin ya Rabbal’alamin

Makassar , 17 Januari 2016

Penyusun

ii

Page 3: Makalah Pnemukoniosis

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL

KATA PENGANTAR....................................................................................................i

DAFTAR ISI.................................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang.......................................................................................................1

1.2 Rumusan Masalah.................................................................................................2

1.3 Tujuan Penulisan...................................................................................................2

1.4 Manfaat Penulisan.................................................................................................3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Pneumokoniosis .......................................................................................4

2.2 Etiologi .................................................................................................................5

2.3 Epidemiologi ……..................................................................................................5

2.4 Jenis - jenis Pneumokoniosis .............................................................................6

2.5 Pathogenesis Pneumokoniosis............................................................................16

2.6 Diagnosis Pneumokoniosis..................................................................................19

2.7 Penatalaksanaan Pneumokoniosis………………………………………………….20

BAB 3 PENUTUP

3.1 Kesimpulan..........................................................................................................21

3.2 Saran...................................................................................................................21

DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………………………22

iii

Page 4: Makalah Pnemukoniosis

BAB 1PENDAHULUAN

1.1  Latar BelakangSektor industri menjadi salah satu lapangan pekerjaan yang banyak

menggunakan sumber daya manusia, salah satunya adalah industri pabrik. Pabrik

triplek merupakan salah satu industri strategis yang berhubungan dengan sistem

agroindustri (agro-based industry). Berkembangnya industri pabrik triplek yang

dimaksud dapat pula membawa dampak negatif yaitu timbulnya pencemaran udara

oleh debu yang timbul pada proses pengolahan atau hasil dari industri triplek

tersebut. Debu kayu ini akan mencemari udara dan lingkungannya sehingga pekerja

industri triplek dapat tepapar debu karena bahan baku atau pun produk akhir.

Algasaf (2004) mengatakan bahwa perkembangan kegiatan industri secara umum

juga merupakan sektor yang potensial sebagai sumber pencemaran yang akan

merugikan bagi kesehatan dan lingkungan. (Jurnal Respiratory Research Disease,

2010)

Menurut (Direktorat Bina Kesehatan, 2010) terdapat beberapa penyebab

penyakit akibat kerja yang digolongkan berdasarkan penyebab dari penyakit yang

ada ditempat kerja yaitu dari golongan fisik seperti bising, radiasi, suhu ekstrem,

tekanan udara, vibrasi dan penerangan, dari golongan kimiawi berasal dari semua

bahan kimia dalam bentuk debu, uap, gas, larutan, dan kabut. Golongan biologik

berasal dari bakteri, virus, jamur dan lain-lain, kemudian dari golongan fisiologik

berasal dari desain tempat kerja dan beban kerja serta dari golongan psikososial

yaitu stress psikis, tuntutan pekerja dan lain sebagainya. Cedera akibat kerja dapat

bersifat ergonomik, ortopedik, fisik, mengenai mata, telinga dan lainnya. Penyakit-

penyakit akibat pajanan di lingkungan kerja dapat berupa toksik, infeksi, kanker,

gangguan hati, saraf, alat reproduksi, kardiovaskular, kulit dan saluran napas.

Pneumokoniosis merupakan penyakit paru restriktif akibat inhalasi okupasional

debu, biasanya dari pasir, batu, batubara, tumbuh-tumbuhan dan serat buatan (Corwin,

2009). Pneumokoniosis adalah penyakit paru yang biasa terjadi pada pekerja industri

1

Page 5: Makalah Pnemukoniosis

akibat pajanan partikel anorganik. Partikel anorganik tersebut dapat berupa debu

nonfibrogenik ataupun fibrogenik. Debu yang terinhalasi ini akan dibawa makrofag ke

jaringan limfoid terdekat dan membentuk fibrosis. Tiga penyakit yang paling sering

terjadi adalah pneumokoniosis batu bara, asbestosis, dan silikosis.

Data American Lung Association State of Lung Diverse in Diverse

Community (2010) menyebutkan bahwa perusahaan swasta melaporkan

terjadi14.800 kasus penyakit paru akibat kerja (occupational lung disease), dan

pemerintahan pusat melaporkan sebanyak 7.800 kasus penyakit paru akibat kerja

(occupational lung disease) terjadi pada tahun 2008. Data penyakit pernafasaan di

provinsi Riau sebanyak 8,861 kasus. (Dinkes Riau 2011). Kasus kecelakaan kerja

di Indonesia pada tahun 2003 tercatat 440 kasus dan 10.393 orang (9,8%)

mengalami kecacatan (Depkes R.I, 2004). Kejadian masalah kesehatan akibat kerja

berupa kejadian kecelakaan kerja dan kecacatan,kesakitan hingga kematian yang

menimpa pekerja di provinsi Riau dan kota Pekanbaru tercatat 1.357 kasus (Jamsostek

Cabang Riau, 2007).

Sebelum terjadi sutau hal tidak diinginkan, penyakit paru akibat kerja dapat

dicegah dengan lebih memperhatikan Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) yang

telah ditetapkan seperti menggunaan APD (Alat Perlindungan Diri), namun apabila

pekerja telah mengidap penyakit paru maka perlu beberapa pengobatan yang harus

dilakukan. Penyakit paru juga dapat dicegah dengan mengurangi kadar serat dan debu

asbes serta silika di lingkungan kerja. Selain itu, pengurangan kebiasaan merokok akan

mengurangi resiko kanker paru-paru.

1.2Rumusan MasalahBagaimana Konsep dan penanggulangan penyakit akibat kerja Pneumokonisosis ?

1.3TujuanTujuan UmumMenjelaskan konsep dan penanggulangan penyakit kusta.

Tujuan Khusus1. Menjelaskan definisi pneumokoniosis.

2. Menjelaskan penyebab pneumokoniosis

2

Page 6: Makalah Pnemukoniosis

3. Menjelaskan epideimoilogi pneumokoniosis.

4. Menjelaskan jenis – jenis pneumokoniosis.

5. Menjelaskan pathogenesis pneumokoniosis.

6. Menjelaskan diagnosis pneumokoniosis.

7. Menjelaskan penatalaksanaan pneumokoniosis.

1.4 Manfaat1. Bagi Mahasiswa

Menambah pengetahuan mahasiswa tentang definisi, etiologi, masalah

kesehatan, serta tindakan pencegahan dengan langkah – langkah yang tepat

serta mengenali gejala – gejala awal akibat akibat debu – debu berbahaya

tersebut.

2. Bagi Masyarakatkan

Dapat meningkatkan pengetahuan masyarakat agar dapat mengetahui tentang

debu-debu berbahaya pada pekerja di lingkungan pekerja atau di rumah

sehingga dapat dilakukan tindakan pencegahan dengan langkah-langkah yang

tepat serta mengenali gejala-gejala awal akibat debu-debu berbahaya tersebut,

sehingga tindakan kuratif yang lebih dini dapat diusahakan.

3

Page 7: Makalah Pnemukoniosis

BAB 2TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi PneumokoniosisIstilah pneumokoniosis berasal dari bahasa yunani yaitu “pneumo” berarti paru dan

“konis” berarti debu. Terminologi pneumokoniosis pertama kali digunakan untuk

menggambarkan penyakit paru yang berhubungan dengan inhalasi debu mineral.

International Labour Organization (ILO) mendefinisikan pneumokoniosis sebagai

suatu kelainan yang terjadi akibat penumpukan debu di dalam paru yang menyebabkan

reaksi jaringan terhadap debu tersebut. Reaksi utama akibat pajanan debu di paru

adalah fibrosis (Susanto, 2011).

Pneumokoniosis adalah penyakit paru restriktif akibat inhalasi okupasional debu,

biasanya dari pasir, batu, batubara, tumbuh-tumbuhan dan serat buatan (Corwin, 2009).

Pneumokoniosis digunakan untuk menyatakan berbagai keadaan berikut:

1. Kelainan yang terjadi akibat pajanan debu anorganik seperti silika (silikosis),

asbes (asbestosis) dan timah (stannosis)

2. Kelainan yang terjadi akibat pekerjaan seperti pneumoconiosis batubara.

3. Kelainan yang ditimbulkan oleh debu organik seperti kapas (bisinosis).

Berdasarkan macamnya debu dibedakan menjadi berikut:

1. Debu organik : debu yang berasal dari tanaman (debu kapas, debu daun-

daunan, tembakau).

2. Debu anorganik, terdiri dari

a. Debu mineral : debu yang berasal dari senyawa kompleks (SiO2, SiO3,

dan arang batu).

a. Debu metal : debu yang mengandung unsur logam (Pb, Hg, Cd,

Arsen, dan lain-lain).

Ukuran partikel debu yang semakin kecil dan konsentrasi yang semakin besar pada

udara akan memperbesar kemungkinan partikel terdeposisi di alveoli. Menurut WHO

(1996), ada beberapa ukuran partikel debu berdasarkan organ yang dapat dicapai,

yaitu:

4

Page 8: Makalah Pnemukoniosis

1. 5-10 mikron : akan tertahan oleh saluran pernapasan bagian atas

2. 3-5 mikron : akan tertahan oleh saluran pernapasan bagian tengah

3. 1-3 mikronn : sampai di permukaan alveoli

4. 0,5-1 mikron : mengendap di permukaan alveoli/selaput lendir sehingga

menyebabkan fibrosis paru

5. 0,1-0,5 mikron: melayang di permukaan alveoli.

Meskipun batas debu adalah 5 mikron, namun debu ukuran 5-10 mikron dengan

kadar berbeda dapat masuk kedalam alveoli. Debu yang berukuran >5 mikron akan

dikeluarkan semuanya bila jumlahnya kurang dari 10 partikel/mmᶟ udara. Bila

jumlahnya 1000 partikel/mmᶟ udara, maka 10% akan tertimbun dalam paru.

2.2. Penyebab PneumokoniosisPneumokoniosis disebabkan karena inhalasi (biasanya) debu anorganik di tempat

kerja, seperti:

Kelainan yang terjadiakibatpajanandebuanorganiksepertisilika (silikosis),

asbes (asbestosis) dantimah (stannosis).

Kelainan yang terjadiakibatpekerjaansepertipneumokoniosisbatubara.

Kelainan yang ditimbulkanolehdebuorganiksepertikapas (bisinosis).

Silikosis, pneumoconiosis pekerja batu bara, asbestosis, berylliosis dan talcosis

adalah contoh dari pneumoconiosis fibrosis. Siderosis, stannosis dan baritosis

adalah bentuk non-fibrosis pneumokoniosis yang dihasilkan dari inhalasi oksida

besi, timah oksida, dan barium sulfat partikel.

2.3. Epidemiologi Data prevalensi pneumokoniosis bervariasi pada tiapnegara di dunia. Data

SWORD di Inggris tahun 1990-1998menunjukkan kasus pneumokoniosis sebesar

10%. DiKanada, kasus pneumokoniosis pada tahun 1992-1993sebesar 10%,

sedangkan data di Afrika Selatan tahun 1996-1999 sebesar 61%.Jumlah kasus

kumulatif pneumokoniosis di Cina dari tahun 1949-2001 mencapai 569 129 dan

5

Page 9: Makalah Pnemukoniosis

sampaitahun 2008 mencapai 10 963 kasus.Di Amerika Serikat,kematian akibat

pneumokoniosis tahun 1968-2004 mengalamipenurunan, pada tahun 2004

ditemukan sebanyak 2 531 kasuskematian.

Silikosis, asbestosis dan pneumokoniosis batubara merupakan jenis

pneumokoniosis terbanyak. Data di Australia tahun 1979-2002 menyebutkan,

terdapat >1000 kasuspneumokoniosis terdiri atas 56% asbestosis, 38%

silikosisdan 6% pneumokoniosis batubara.Prevalensi pneumoko-niosis batubara di

berbagai pertambangan di Amerika Serikatdan Inggris bervariasi (2,5-30%)

tergantung besarnyakandungan batubara pada daerah pertambangan tersebut.

Data prevalensi pneumokoniosis nasional di Indonesia belum ada. Data yang

ada adalah penelitian-penelitian berskala kecil pada berbagai industri yang

berisiko terjadi pneumokoniosis. Dari beberapa penelitian tersebut ditemukan

prevalensipneumokoniosis bervariasi 0,5-9,8%. Penelitian Darmanto et al.di

tambang batubara tahun 1989 menemukan prevalensi pneumokoniosis batubara

sebesar 1,15%.Data penelitian di Bandung tahun 1990 pada pekerja tambang

batu menemukan kasus pneu-mokoniosis sebesar 3,1%.

Penelitian oleh Bangun et al.tahun 1998 pada pertambangan batu di Bandung

menemukan kasus pneumokoniosis sebesar 9,8%. Kasmara (1998) pada pekerja

semen menemukan kecurigaan pneumokoniosis 1,7%. Penelitian OSH

centertahun 2000 padapekerja keramik menemukan silikosis sebesar 1,5%.

Penelitian Pandu et al.di pabrik pisau baja tahun 2002menemukan 5% gambaran

radiologis yang diduga pneumoko-niosis. Damayanti et al.pada pabrik semen

menemukan kecurigaan pneumokoniosis secara radiologis sebesar 0,5%.

2.4 Jenis PneumokoniosisPenamaan pneumokoniosis tergantung pada debu penyebabnya, pajanan asbes

menyebabkan asbestosis, debu silika berhubungan dengan silikosis, debu batubara

menyebabkan pneumokoniosis batubara dan lain-lain. Secara ringkas beberapa yang

dikategorikan pneumokoniosis berdasarkan jenis debu penyebabnya terlihat pada tabel

2.1.

6

Page 10: Makalah Pnemukoniosis

Tabel 2.1. Beberapa Jenis Pneumokoniosis Berdasarkan Debu Penyebabnya

Jenis DebuPneumokoniosis

Silika Silikosis

Asbes Asbestosis

Batu bara Pneumokoniosis Batu bara

Besi Siderosis

Berilium Beriliosis

Timah Stanosis

Aluminium Aluminosis

Grafit Pneumokoniosis grafit

Debu antimony Antimony Pneumokoniosis

Debu Karbon Pneumokoniosis karbon

Debu Polyvinyl Chloride (PVC) Pneumokoniosis PVC

Debu Bakelite Pneumokoniosis Bakelite

Titanium Oksida Pneumokoniosis Titanium

Zirkonium Pneumokoniosis Zirkonium

Silikon Carbide Carborundum Pneumokoniosis

Hard Metal Tungsten Carbide Pneumokoniosis

Nylon Flock Flock Worker’s Lung

Debu Campuran :

- Campuran silica dan besi

- Silikat

- Slate (Campuran mica, feldspar,

crystalline quartz)

- Kaolin

- Mica

- Silikosiderosis

- Silikatosis

- Slate Worker’s Pneumokoniosis

- Pneumokoniosis Kaolin

- Mica

Sumber : Susanto, 2011

7

Page 11: Makalah Pnemukoniosis

a. Pneumokoniosis Pekerja Tambang Batu Bara Penyakit terjadi akibat penumpukan debu batubara di paru dan menimbulkan

reaksi jaringan terhadap debu tersebut. Penyakit ini terjadi bila paparan cukup lama

, biasanya setelah pekerja terpapar > 10 tahun. Berdasarkan gambaran foto Thorax

dibedakan atas bentuk simple dan complicated.

Simple Coal Workers Pneumoconiosis (Simple CWP) terjadi karena inhalasi

debu batubara saja. Gejalanya hampir tidak ada, dan bila paparan tidak berlanjut

maka penyakit ini tidak akan memburuk. Penyakit ini dapat berkembang menjadi

bentuk complicated. Kelainan foto thorax pada simple CWP berupa perselubungan

halus bentuk lingkar, perselubungan dapat terjadi di bagian mana saja pada

lapangan paru, yang paling sering di lobus atas. Sering ditemukan perselubungan

bentuk p dan q. Pemeriksaan Faal Paru biasanya tidak menunjukkan kelainan. Nilai

VEP₁ dapat sedikit menurun sedangkan kapasitas difusi biasanya normal.

Complicated Coal Workers Pneumoconiosis atau Fibrosis Masif Progresif (PMF)

ditandai adanya daerah fibrosis yang luas hampir selalu terdapat di lobus atas.

Fibrosis biasanya terjadi karena satu atau lebih faktor berikut :

1. Terdapat silika bebas dalam debu batubara.

2. Konsentrasi debu yang sangat tinggi.

3. Infeksi Mycobacterium tuberculosis atau atipik

4. Imunologi penderita buruk.

Pada daerah fibrosis dapat timbul kavitas dan ini bisa menyebabkan

pneumotoraks; foto thorax pada PMF sering mirip tuberkulosis, tetapi sering ditemukan

bentuk campuran karena terjadi emfisema. Tidak ada korelasi antara kelainan faal paru

dan luasnya lesi pada foto thorax. Gejala awal biasanya tidak khas. Batuk dan sputum

menjadi lebih sering, dahak berwarna hitam (melanoptisis). Kerusakan yang luas

menimbulkan sesak napas yang makin bertambah, pada stadium lanjut terjadi kor

hipertensi pulmonal, gagal ventrikel kanan dan gagal napas.

8

Page 12: Makalah Pnemukoniosis

Penelitian pada pekerja tambang batubara di Tanjung Enim tahun 1988

menemukan bahwa dari 1735 pekerja ditemukan 20 orang / 1,15% , foto thoraxnya

menunjukkan gambaran pneumokoniosis.

Tanda dan gejala

CWP sederhana biasanya dengan asimtomatik tanpa adanya bukti dari

kerusakan paru pada uji fungsi paru. Pasien sering melaporkan adanya bronkitis

dari paparan debu batu bara tanpa memperhatikan bahwa mereka terdeteksi

pneumokoniosis pada rontgen dada. CWP sederhana dapat berubah menjadi

CWP komplikata, pasien mengeluhkan batuk, produksi sputum (kadang-kadang

berwarna hitam), an dyspnoe. Debu batu bara, seperti debu silika, biasanya

menyebabkan bronkitis kronik pada pekerja yang terpapar. Pada pemeriksaan

fisik terdapat ronki basah kasar, deviasi trake karena FIBROSIS MASIF YANG

PROGRESIF dan tanda gagal jantung kanan. FIBROSIS MASIF YANG

PROGRESIF diasosiasikan dengan dyspnoe saat istirahat atau dengan tenaga,

gejala dari bronkitis kronik, infeksi dada yang berulang, hipertrofi ventrikel kanan

dan episode gagal jantung kanan.

Komplikasi

CWP dikaitkan dengan peningkatan insiden infeksi mikobakteri, meskipun

mereka kurang umum daripada silikosis. Pekerja Batubara juga dapat menjadi

sindrom Caplan, yang menimbulkan hasil radiografis berupa nodul beberapa

perifer (diameter 0,5-5 cm) diikuti pada CWP nodular sederhana. Pasien CWP

dengan sindrom Caplan's baik dengan rheumatoid arthritis atau akan menjadi

rematoid artritis di masa yang akan datang.

Insiden dari gagal nafas kronik dan cor pulmonale meningkat pada CWP yang

komplikata.

9

Page 13: Makalah Pnemukoniosis

Pencegahan

Strategi pencegahan membutuhkan monitor lingkungan kerja dalam hal tingkat

debu batu bara yang terhirup dan surveillans medik pada lingkungan kerja.

Ventilasi udara yang baik dan penekanan debu memungkinkan pengusaha untuk

memenuhi standar kepatuhan dan peraturan paparan debu. Dokter tidak boleh

berasumsi bahwa pasien yang bekerja di tambang batu bara telah cukup

dilindungi atau penggunaan respirator cukup untuk melindungi pekerja dari debu

batu bara. Semua penambang batubara harus dianjurkan untuk di uji fungsi paru

secara berkala dan foto rontgen dada.

b. Silikosis Penyakit ini terjadi karena inhalasi dan retensi debu yang mengandung

kristalin silikon dioksida atau silika bebas. Pada berbagai jenis pekerjaan yang

berhubungan dengan silika, penyakit silikosis ini dapat terjadi , seperti pada

pekerja :

1. Pekerja tambang logam dan batubara

2. Penggali terowongan untuk membuat jalan

3. Pemotongan batu seperti untuk patung, nisan

4. Pembuat keramik dan batubara

5. Penuangan besi dan baja

6. Industri yang memakai silika sebagai bahan, misalnya pabrik amplas & gelas

7. Pembuat gigi enamel

8. Pabrik semen

Usaha untuk menegakkan diagnosis silikosis secara dini sangat penting, oleh

karena penyakit dapat terus berlanjut meskipun paparan telah dihindari. Pada

penderita silikosis, insidensi tuberkulosis lebih tinggi dari populasi umum.

10

Page 14: Makalah Pnemukoniosis

Secara klinis terdapat 3 bentuk silikosis, yakni silikosis akut, silikosis kronik,

silikosis terakselerasi.

1. *Silikosis Akut*

Penyakit dapat timbul dalam beberapa minggu, bila pekerja terpapar dengan

konsentrasi sangat tinggi. Perjalanan penyakit sangat khas, yaitu gejala sesak

napas yang progresif, demam, batuk dan penurunan berat badan setelah

paparan silika konsentrasi tinggi dalam waktu relatif singkat. Lama paparan silika

berkisar antara beberapa minggu hingga 4 atau 5 tahun. Kelainan Faal paru

yang timbul adalah restriksi berat dan hipoksemia disertai penurunan kapasitas

difusi.

2. *Silikosis Kronik*

Kelainan pada penyakit ini mirip dengan pneumokoniosis pekerja tambang

batubara, yakni terdapat nodul yang biasanya dominan di lobus atas. Bentuk

silikosis kronik paling sering ditemukan, terjadi setelah paparan 20 hingga 45

tahun oleh kadar debu yang relatif rendah. Pada stadium simple, nodul di paru

biasanya kecil dan tanpa gejala/ minimal. Walaupun paparan tidak ada lagi,

namun kelainan paru dapat menjadi progresif sehingga terjadi fibrosis yang

masif.

Pada silikosis kronik yang sederhana, foto Thorax menunjukkan nodul terutama

di lobus atas dan mungkin disertai kalsifikasi. Pada bentuk lanjut terdapat massa

yang besar yang tampak seperti sayap malaikat (angel’s wing). Sering terjadi

reaksi pleura pada lesi besar yang padat. Kelenjar hilus biasanya membesar dan

membentuk bayangan egg shell calcification. Jika fibrosis masif progresif terjadi,

volume paru berkurang dan bronkus mengalami distorsi. Faal paru menunjukkan

gangguan restriksi, obstruksi atau campuran. Kapasitas difusi dan komplian

menurun. Timbulnya gejala sesak napas, biasanya disertai batuk dan produksi

sputum. Sesak pada awalnya terjadi saat aktivitas, kemudian pada waktu

istirahat dan akhirnya timbul gagal kardiorespirasi.

11

Page 15: Makalah Pnemukoniosis

Di pabrik semen daerah cibinong (1987) dari 176 pekerja yang diteliti ditemukan

silikosis sebanyak 1,13% dan diduga silikosis 1,7%. Pada tahun 1991 penelitian

pada 200 pekerja pabrik semen ditemukan dugaan silikosis sebanyak 7%.

Perbedaan angka yang didapat, diduga karena perbedaan kualitas foto thorax,

dan kadar silika bebas dalam debu yang memapari pekerja.

3. *Silikosis Terakselerasi*

Bentuk kelainan ini serupa dengan silikosis kronik, hanya saja perjalanan

penyakit lebih cepat dari biasanya, menjadi fibrosis masif, sering terjadi infeksi

mikobakterium tipikal / atipik. Setelah paparan 10 tahun sering terjadi hipoksemia

yang berakhir dengan gagal napas.

Faktor Penyebab penyakit  tubercolusis adalah bakteri Mycobaacterium

Tuberculosis , factor yang mempermudah penyebaran penyakit infeksi ini antara

lain:

- lingkungan kerja yang padat dengan tenaga kerja.

- gizi buruk

- serta tingginya angka kesakitan  penyebab tuberkolusis

Hubungan paparan kumulatif ( penjumplahan kadar diudara dan lamanya

paparan  ) serta lamanya debu didalam paru-paru Sampai saat ini belum jelas

mekanisme silika bebas menimbulkan sislikosis ,

c.     empat teori tentang mekanisme Silika

a)    Teori mekanisme yang menganggap permukaan runcing debu-debu

merangsang terjadinya penyakit.

b)    Teori electromagnetic yang menduga bahwa gelombang gelombang

electromagnetic sebagai penyebab fibrosis paru-paru

c)     Teori silikat yang menjelaskan bahwa SiO2 bereaksi dengan air dan

jaringan paru-paru  , sehingga terbentuk silikat yang mengakibatkan kelainan

pada paru-paru

12

Page 16: Makalah Pnemukoniosis

d)    Teori immunologis , dalam halmini tubuh mengadakan zat anti yang bereaksi

di paru-paru dengan antigen yang berasal dari debu

Gejala dan tanda

Kebanyakan bentuk dari silikosis adalah onset penyakit yang tersembunyi, gejala

dan tanda dari penyakit ini timbul setelah 10-30 tahun masa latent setelah

pajanan pertama. Gejala dari penyakit ini dikarenakan bronkitis kronik akibat

silika. Pasien akan mengeluhkan batuk, produksi sputum, dan dyspnoe.

Walaupun banyak dengan gejala yang minimalis, namaun lama kelamaan dapat

berkembang menjadi gejala yang berat yaitu gejala cor pulmonale. Banyak

pekerja dengan silikosis yang ringan tidak akan berkembang menjadi kompleks.

Gejala yang timbul dari fibosis masif yang progresif termasuk fatik, dyspnoe, dan

batuk. Pemeriksaan fisik ditemukan ronki basah halus yang bilateral dan deviasi

trakea pada penyakit yang lanjut karena fibrosis masif yang progresif akibat

kehilangan volume pada paru atas.

Komplikasi

Komplikasi dari silikosis termasuk infeksi paru yang bersamaan , kanker paru,

pneumothoraks spontan, dan bronkolithiasis. Perhatian khusus adalah infeksi

tuberkulosis yang terjadi bersamaan. Walaupun insiden tuberkulosis meningkat

dalam berbagai bentuk dari penyakit ini, tingkat infeksi meningkat pada silikosis

akut dan silikosis yang cepat. Tes tuberkulin kulit yang positif harus dievaluasi

yang sesuai dengan silikotuberkulosis.

Penyakit lain yang dihubungkan dengan paparan silika termasuk penyakit

jaringan konektif seperti sklerosis sistemik, artritis rheumatoid dan SLE.

Resiko kanker paru meningkat pada pekerja dengan silikosis. Pasien dengan

fibrosis masisf yang progresif dapat menimbulakan gagal nafas kronik dan cor

pulmonale.

13

Page 17: Makalah Pnemukoniosis

Pencegahan

Upaya untuk mencegah silikosis adalah pembatasan paparan dengan debu.

Menghilangkan paparan sangat penting untuk mencegah kasus yang baru.

Selain itu, paparan lebih lanjut dengan tingkat silika yang tinggi di udara yang

membentuk silikosis dihubungkan dengan penyakit paru progresif. Pusat

kesehatan masyarakat setempat harus dihubungi jika terdapat kasus baru

ditemukan.

c. Asbestosis Penyakit ini terjadi akibat inhalasi debu asbes, menimbulkan pneumokoniosis

yang ditandai dengan fibrosis paru. Paparan dapat terjadi di daerah industri dan

tambang, atau daerah yang udaranya terpolusi debu asbes. Pekerja yang dapat

terkena asbestosis adalah pekerja tambang, penggilingan, trransportasi, pedagang,

pekerja kapal dan pekerja penghancur asbes.

Pada stadium awal mungkin tidak ada gejala meskipun foto Thorax menunjukka

gambaran asbestosis / penebalan pleura. Gejala utama adalah sesak napas yang

pada awalnya terjadi pada waktu aktivitas. Pada stadium akhir gejala yang umum

adalah sesak napas pada saat istirahat, batuk, dan penurunan berat badan. Sesak

napas terus memburuk meskipun penderita dijauhkan dari paparan asbes, 15 tahun

sesudah awal penyakit biasanya terjadi kor pulmonal dan kematian. Penderita sering

mengalami infeksi saluran napas, keganasan pada bronkus, gastrointestinal dan

pleura sering menjadi penyebab kematian.

Pada stadium awal, pemeriksaan fisik tidak banyak menunjukkan

kelainan, akibat fibrosis difus dapat terdengar ronki basah di lobus bawah bagian

posterior. Bunyi ini makin jelas bila terjadi bronkiektasis (penyakit yang ditandai

dengan adanya dilatasi bronkus yang bersifat patologis dan berlangsung kronik)

14

Page 18: Makalah Pnemukoniosis

akibat distorsi paru yang luas karena fibrosis. Jari tabuh (Clubbing finger) sering

ditemukan pada penderita asbestosis.

Perubahan pada foto Thorax lebih jelas pada bagian tengah dan bawah

paru, dapat berupa bercak difus atau bintik-bintik putih, bayangan jantung sering

menjadi kabur. Diafragma dapat meninggi pada stadium lanjut larena paru yang

mengecil. Penebalan pleura biasanya terjadi bilateral, terlihat di daerah tengah

dan bawah terutama bila timbul kalsifikasi. Bila proses lanjut, terlihat gambaran

sarang tawon di lobus bawah. Mungkin ditemukan keganasan bronkus atau

Mesothelioma ( Kanker pleura ). Berbeda dengan pneumokoniosis batubara dan

silikosis yang penderitanya dapat mempunyai gejala sesak napas tanpa kelainan

foto Thorax.

Pemeriksaan faal paru menunjukkan kelainan restriksi meskipun tidak ada

gejala ,pada sebagian penderita terdapat kelainan obstruksi. Kapasitas difusi

dan komplians paru menurun, pada tahap lanjut terjadi hipoksemia.

Biopsi paru mungkin perlu pada kasus tertentu untuk menegakkan diagnosis.

Biopsi paru transbronkial hendaknya dilakukan untuk mendapatkan jaringan

paru. Pemeriksaan bronkoskopi juga berguna menyingkirkan atau

mengkonfirmasi adanya karsinoma bronkus yang dapat terjadi bersamaan

dengan kejadian asbestosis.

Gejala dan tanda

Gejala dari asbestosis adalah mirip dengan penyakit paru intersisial lainnya.

Pasien mengalami onset yang bertahap dari dyspnoe yang eeksersional dan

batuk yang kering non produktif setelah terpajan selama 20-40 tahun. Gejala lain

yaitu dada sesak, nyeri dada, malaise, dan nafsu makan berkurang. Hemoptysis

bukan merupakan karakteristik dan jika ada harus diperiksa kemungkinan kanker

paru. Pemeriksaan fisik menunjukkan ronki basah kasar terutama saat inspirasi,

dan tidak berkurang jika dibatukkan. Wheezing biasanya tidak ada. Meskipun

pemeriksaan fisik lain dapat secara luar biasa abnormal seperti jari tabuh,

sianosis, dan tanda dari cor pulmonale sebagai akibat fibrosis paru yang semakin

15

Page 19: Makalah Pnemukoniosis

berat. Jari tabuh yang semakin berat atau penabuhan secara radiografi

memungkinkan sebagai kanker paru yang berdampingan dengan penyakit ini.

Komplikasi

Komplikasi dari asbestosis termasuk episode dari gagal napas yang akut yang

dihubungkan dengan peningkatan insiden dari infeksi paru (bronkitis dan

pneumonia) sama seperti kegagalan napas kronik dan hipoksia kronik pada

penyakit cor pulmonale pada hipoksia kronik.

Pengobatan dan Pencegahan

Tidak ada pengobatan spesifik dan efektif pada penyakit paru yang

disebabkan oleh debu industri. Penyakit biasanya memberi gejala bila kelainan

telah lanjut. Pengobatan umumnya bersifat simtomatis, yaitu hanya mengobati

gejala saja. Obat-obat yang diberikan bersifat suportif. Tindakan pencegahan

merupakan tindakan yang paling penting pada penatalaksanaan penyakit paru

akibat debu industri.

2.5. Patogenesis Pneumokoniosis

Faktor utama yang berperan pada patogenesis pneumokoniosis adalah partikel

debu dan respons tubuh khususnya saluran napas terhadap partikel debu

tersebut.Komposisi kimia, sifat fisis, dosis dan lama pajananmenentukan dapat atau

mudah tidaknya terjadi pneumokoniosis. Sitotoksisitas partikel debu terhadap

makrofag alveolar memegang peranan penting dalam patogenesis pneumokoniosis.

Debu berbentuk quartz lebih sitotoksik dibandingkan yang sulit larut. Sifat kimiawi

permukaan partikel debu yaitu aktivitas radikal bebas dan kandungan besi juga

merupakan hal yang terpenting pada patogenesis pneumokoniosis.

Patogenesis pneumokoniosis dimulai dari respons makrofag alveolar terhadap

debu yang masuk ke unit respirasi paru. Terjadi fagositosis debu oleh makrofag dan

proses selanjutnya sangat tergantung pada sifat toksisitas partikel debu.Reaksi

jaringan terhadap debu bervariasi menurut aktivitas biologi debu. Jika pajanan

16

Page 20: Makalah Pnemukoniosis

terhadap debu anorganik cukup lama maka timbul reaksi inflamasi awal. Gambaran

utama inflamasi ini adalah pengumpulan sel di saluran napas bawah. Alveolitis

dapat melibatkan bronkiolus bahkan saluran napas besar karena dapat

menimbulkan luka dan fibrosis pada unit alveolar yang secara klinis tidak diketahui.

Sebagian debu seperti debu batubara tampak relatif inert dan menumpuk dalam

jumlah relatif banyak di paru denganreaksi jaringan yang minimal.Debu inertakan

tetap beradadi makrofag sampai terjadi kematian oleh makrofag karena umurnya,

selanjutnya debu akan keluar dan difagositosislagi oleh makrofag lainnya, makrofag

dengan debu didalamnya dapat bermigrasi ke jaringan limfoid atau kebronkiolus dan

dikeluarkan melalui saluran napas. Pada debuyang bersifat sitoktoksik, partikel debu

yang difagositosis makrofag akan menyebabkan kehancuran makrofag tersebut

yang diikuti dengan fibrositosis.

Partikel debu akan merangsang makrofag alveolar untuk mengeluarkan produk

yang merupakan mediator suatu respons peradangan dan memulai proses

proliferasi fibro-blast dan deposisi kolagen. Mediator yang paling banyakberperan

pada patogenesis pneumokoniosis adalah TumorNecrosis Factor(TNF)-α,

Interleukin(IL)-6, IL-8, plateletderived growth factor dan transforming growth

factor(TGF)-β. Sebagian besar mediator tersebut sangat pentinguntuk proses

fibrogenesis.

Mediator makrofag penting yangbertanggung jawab terhadap kerusakan

jaringan, pengum-pulan sel dan stimulasi pertumbuhan fibroblast adalah:

Radikal oksigen/spesies oksigen reaktif dan protease.

Leukotrien L TB4 dan IL-8 yang bersifat kemotaksisterhadap leukosit.

Sitokin IL-1, TNF-α, fibronektin, PDGF dan IGF-1 yangberperan dalam

fibrogenesis.

Sitokin telah terbukti berperan dalam patogenesis pneumokoniosis. Sitokin yang

diha-silkan oleh makrofag alveolar dalam merespons partikel debuyang masuk ke

paru yang selanjutnya menyebabkan fibrosis pada jaringan interstitial paru. Sitokin ini

terdiri atas faktor fibrogenesis seperti TNF-α, PDGF , IGF-1 dan fibronektin serta

faktor proinflamasi seperti LBT4, IL-8, IL-6, MIP1a. Disamping proses fagositosis

17

Page 21: Makalah Pnemukoniosis

debu oleh makrofag alveolar, yang lebihpenting adalah interstisialisasi partikel debu

tersebut.

Bila partikel debu telah difagositosis oleh makrofag dan ditransfer ke sistem

mukosilier maka proses pembersihan debu yang masuk dalam saluran napas

dikategorikan berhasil. Hilangnya integritas epitel akibat mediator inflamasi yang

dilepaskan makrofag alveolar merupakan kejadian awal proses fibrogenesis di

interstitial paru. Bila partikel debu telah masuk dalam interstitial maka nasibnya

ditentukan oleh makrofag interstitial, difagositosis untuk kemudian di transfer ke

kelenjar getah bening mediastinum atau terjadi sekresi me-diator inflamasi kronik

pada interstitial. Sitokin yang dilepaskan di interstitial seperti PDGF, TGF, TNF, IL-1

menyebabkan proliferasi fibroblas dan terjadilah pneumokoniosis.

Sifat toksisitas debu menentukan reaksi jaringan yangterjadi pada

pneumokoniosis. Debu silika dan asbes mempunyai efek biologis yang sangat kuat.

Reaksi parenkim dapat berupa fibrosis nodular yaitu contoh klasik dari silikosis,

fibrosis difus pada asbestosis dan pembentukan makula dengan emfisema fokal

akibat debu batubara. Gambaran fibrotik campuran dan tidak beraturan terjadi pada

pajanan debu campuran. Empat gambaran respons patologi terlihat pada

pneumokoniosis yaitu fibrosis interstisial, fibrosis nodular , fibrosis nodular dan

interstisial serta emfisema fokal dan pembentukan makula.

Adapun mekanisme terjadinya pneumokoniosis dibagi menjadi tiga tahap yakni

tahap impaksi, sedimentasi dan difusi.

1. Impaksi

Mekanisme impaksi adalah kecenderungan partikel tidak dapat berubah

arah pada percabangan saluran napas. Akibat hal tersebut banyak partikel

tertahan di mukosa hidung, faring ataupun percabangan saluran napas besar.

Sebagian besar partikel berukuran lebih besar dari 5 mm tertahan di nasofaring.

Mekanisme impaksi juga terjadi bila partikel tertahan di percabangan bronkus

karena tidak bisa berubah arah.

18

Page 22: Makalah Pnemukoniosis

2. Sedimentasi

Sedimentasi adalah deposisi partikel secara bertahap sesuai dengan

berat partikel terutama berlaku untuk partikel berukuran sedang (1-5 mm).

Umumnya partikel tertahan di saluran napas kecil seperti bronkiolus terminal dan

bronkiolus respiratorius. Debu ukuran 3-5 mikron akan menempel pada mukosa

bronkioli sedangkan ukuran 1-3 mikron (debu respirabel) akan langsung ke

permukaan alveoli paru. Mekanisme terjadi karena kecepatan aliran udara

sangat berkurang pada saluran napas tengah. Sekitar 90% dari konsentrasi 1000

partikel per cc akan dikeluarkan dari alveoli, 10% sisanya diretensi dan secara

lambat dapat menyebabkan pneumokoniosis.

3. Difusi

Difusi adalah gerakan acak partikel akibat kecepatan aliran udara. Terjadi

hanya pada partikel dengan ukuran kecil. Debu dengan ukuran 0,1 mm sampai

0,5 mm keluar masuk alveoli, membentur alveoli sehingga akan tertimbun di

dinding alveoli (gerak Brown).

2.6 Diagnosis

Ada tiga kriteria mayor yang dapat membantu untuk diagnosis

pneumokoniosis. Ketiga kriteria tersebut adalah:

1. Pajanan yang signifikan dengan debu mineral yang dicurigai dapat

menyebabkan pneumokoniosis dan disertai dengan periode laten yang

mendukung. Oleh karena itu, diperlukan anamnesis yang teliti mengenai kadar

debu di lingkungan kerja, lama pajanan dan penggunaan alat pelindung diri

serta kadang diperlukan pemeriksaan kadar debu di lingkungan kerja. Gejala

seringkali timbul sebelum kelainan radiologisseperti batuk produktif yang

menetap dan atau sesak napassaat aktivitas yang mungkin timbul 10-20 tahun

setelahpajanan

2. Gambaran spesifik penyakit terutama pada kelainan radiologi dapat membantu

menentukan jenis pneumokoniosis. Gejala dan tanda gangguan respirasi serta

19

Page 23: Makalah Pnemukoniosis

abnormalitas faal paru sering ditemukan pada pneumoconiosis tetapi tidak

spesifik untuk mendiagnosis pneumokoniosis.

3. Tidak dapat dibuktikan ada penyakit lain yang menyerupai pneumokoniosis.

Pneumokoniosis kemungkinan mirip dengan penyakit interstisial paru difus

seperti sarkoidosis, idiophatic pulmonary fibrosis (IPF) atau interstitial lung

disease (ILD) yang berhubungan dengan penyakit kolagen vaskular.

2.7 Tatalaksana

Pneumokoniosis tidak akan mengalami regresi, menghilang ataupun berkurang

progresivitasnya hanya dengan menjauhi pajanan. Tata laksana medis umumnya

terbatas hanya pengobatan simptomatik.Tidak ada pengobatan yang efektif yang

dapat menginduksi regresi kelainan ataupun menghentikan progesivitas

pneumokoniosis. Pencegahan merupakan tindakan yang paling penting.

Regulasi dalam pekerjaan dan kontrol pajanan debu telah dilakukan sejak lama

terutama di negara industri dan terusdilakukan dengan perbaikan-perbaikan. Pada

bentukpneumokoniosis subakut dengan manfaat yang didapatuntuk efek jangka

panjangnya terutama jika bahan penyebabmasih ada di paru. Menjaga kesehatan

dapat dilakukanseperti berhenti merokok, pengobatan adekuat dilakukan

biladicurigai terdapat penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) dan pencegahan infeksi

dengan vaksinasi dapat diper-timbangkan.

20

Page 24: Makalah Pnemukoniosis

BAB III

PENUTUP

3.1Kesimpulan Debu industri di tempat kerja dapat menimbulkan kelainan dan penyakit paru.

Berbagai faktor berperan pada mekanisme timbulnya penyakit, diantaranya

adalah jenis, konsentrasi , sifat kimia debu, lama paparan dan faktor individu

pekerja. Timbulnya penyakit seperti pneumokoniosis ini terjadi karena paparan

debu batubara yang lama > 10 tahun. Sehingga berbagai tindakan pencegahan

perlu dilakukan untuk mencegah timbulnya penyakit / mengurangi laju penyakit

akibat kerja. Juga perlu diketahui apakah pada suatu industri / tempat kerja ada

zat-zat yang dapat menimbulkan kelainan pada paru. Kadar debu pada tempat

kerja diturunkan serendah mungkin dengan memperbaiki teknik pengolahan

bahan, misalnya pemakaian air untuk mengurangi debu yang berterbangan. Bila

kadar debu tetap tinggi, pekerja diharuskan memakai alat pelindung.

Pemeriksaan Faal Paru dan Radiologis sebelum seorang menjadi pekerja dan

pemeriksaan secara berkala untuk mendeteksi secara dini kelainan-kelainan

yang timbul. Bila pekerja telah menderita penyakit akibat debu, berpindah ke

tempat yang tidak ada paparan debu mungkin dapat mengurangi laju penyakit.

Dengan kata lain menghindari faktor pencetus penyakit.

3.2Saran Pekerja yang merokok hendaknya mengurangi konsumsi rokok sedikit-demi sedikit,

terutama bila bekerja di tempat-tempat yang beresiko terjadi penyakit bronkitis

industri dan kanker paru, karena konsumsi rokok dapat meninggikan resiko timbulnya

penyakit. Pengobatan penyakit paru akibat debu industri hanya bersifat simtomatis

(mengurangi gejala) dan suportif. Sehingga usaha pencegahan merupakan langkah

penatalaksanaan yang penting.

21

Page 25: Makalah Pnemukoniosis

DAFTAR PUSTAKA

IB, N. R., 2003. Pneumokoniosis. Patogenesis dan gangguan fungsi. Naskah lengkap

pertemuan ilmiah khusus (PIK) X Perhimpunan Dokter paru Indonesia. Makassar, s.n.

Ikhsan, Mukhtar. 2010. Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi

Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Jakarta. “Penyakit Paru Kerja.”

Pandita, S. (2010). Sejua tenaga kerja Asia diderita penyakit akibat kerja. Di peroleh

tanggal 18 Januari 2016 jam 21: 45 WITA diakses dari http: //kampungtki.com/.

Sari, R. Y.N.I (2009). Pemakaian alat pelindung diri sebagi upaya dalam

memberikan perlindungan bagi tenaga kerja. Semarang: Universitas

Diponegoro.

Susanto, A. D. (2012). Pneumoconiosis. Journal of the Indonesian Medical Association,

61(12).

Anonym, 2011 ;Dampak Debu Indutri pada Paru-Paru,

http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/14DampakDebuIndustripadaParuPekerja115.pdf/1

DampakDebuIndustripadaParuPekerja115.html; Diakses pada tanggal 18 Januari 2016.

Anonym,2013;http://repository.ui.ac.id/contents/koleksi/

11/29bae5b3c08395cf20b0562ac209b1996ea04507.pdf; Diakses pada tanggal

18 Januari 2016.

22