makalah permasalahan pendidikan di
TRANSCRIPT
MAKALAH
Mutu Pendidikan Di Indonesia
Mata Kuliah
Metode Penelitian SosialDosen Pengampu :
Dr.Elsa Putri E.Syafril, M.Pd
Disusun oleh :
MARYONO, ARIS WAHYUDI, PURWAKA, EKA PURWANTARA
INDRI ASTUTI, EKO PRATIWININGSIH, ENI PUJILESTARI
UNIVERSITAS PERSATUAN GURU REPUBLIK IINDONESIA
PROGRAM PASCASARJANA (S-2) PROGRAM STUDI PENDIDIKAN ILMU
PENGETAHUAN SOSIAL
YOGYAKARTA 2015
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan merupakan proses sistematis untuk meningkatkan kualitas sumber daya
manusia, yang pada hakekatnya untuk memupuk dan mengembangkan aspek kognitif,
afektif dan psikomotor. Aspek kognitif pikir dan daya intelektualitas untuk menggali ilmu
pengetahuan dan mengembangkan serta menguasai teknologi; aspek afektif berkaitan
dengan kemampuan yang tercermin pada kualitas keimanan dan ketakwaan, etika dan
estetika, serta akhlak mulia dan budi pekerti luhur; aspek psikomotorik yang tercermin
pada kemampuan mengembangkan ketrampilan teknis dan kecakapan praktis (Depdiknas,
2005).
Untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia melalui pendidikan merupakan
tanggung jawab bersama antara pemerintah, lembaga pendidikan, lembaga nonperintah
termasuk dalam hal ini adalah dunia usaha. Lembaga pendidikan sebagai institusi memiliki
tanggung jawab yang sangat besar terhadap keberhasilan pembangunan bidang pendidikan.
Dunia usaha memiliki peran yang tidak dapat diabaikan dalam keberhasilan pendidikan
karena dunia usaha adalah lembaga yang menerima lulusan sekolah sebagai produk
pendidikan.
Pendidikan merupakan pondasi untuk membangun sebuah bangsa yang bersifat
fundamental. Untuk melaksanakan pembangunan diperlukan sistem yang solid dan tangguh
untuk mencapai tujuan. Sebagai suatu sistem, berarti untuk mencapai tujuan pendidikan
melalui pemberdayaan komponen-komponen yang membentuknya, maka sistem erat
kaitannya dengan perencanaan. Menurut Ely (Sanjaya, 2013: 196) sistem bermanfaat untuk
merancang suatu program pendidikan. Perencanaan adalah proses dan cara berfikir yang
dapat membantu menciptakan hasil yang diharapkan.
Melalui media massa banyak pemberitaan mengenai perilaku pelajar dan mahasiswa
yang mencoreng pendidikan. Maraknya perkelahian antar pelajar, pencurian, pemerkosaan
bahkan prostitusi online dilakukan oleh pelajar maupun mahasiswa. Kebocoran soal ujian
nasional menambah citra buruk pendidikan di Indonesia. Penghentian pelaksanaan
kurikulum 2013 untuk sekolah-sekolah tertentu menunjukkan ketidakkonsistenan
pemerintah dalam menentukan kebijakan di bidang pendidikan.
Dalam era globalisasi menempatkan Indonesia berada di tengah-tengah dunia yang
baru, dunia yang tanpa batas. Yang kita alami sekarang adalah adanya ketertinggalan di
2
dalam mutu pendidikan dibandingkan dengan negara lain. Pendidikan memang telah
menjadi fondasi dalam meningkatkan sumber daya manusia Indonesia. Oleh karena itu,
kita seharusnya dapat meningkatkan sumber daya manusia Indonesia yang tidak kalah
bersaing dengan sumber daya manusia di negara-negara lain. Masalah yang serius dalam
peningkatan mutu pendidikan di Indonesia adalah rendahnya mutu pendidikan di berbagai
jenjang pendidikan. Dan hal itulah yang menyebabkan terhambatnya penyediaan sumber
daya menusia yang mempunyai keahlian dan keterampilan untuk melaksanakan
pembangunan bangsa di berbagai bidang. Penyebab rendahnya mutu pendidikan di
Indonesia antara lain adalah masalah efektifitas, efisiensi dan standardisasi pengajaran. Hal
tersebut masih menjadi masalah pendidikan di Indonesia pada umumnya. Adapun
permasalahan khusus dalam dunia pendidikan yaitu:(1). Rendahnya sarana fisik,(2).
Rendahnya kualitas guru, (3). Rendahnya prestasi siswa, (4). Rendahnya relevansi
pendidikan dengan kebutuhan. Permasalahan-permasalahan yang tersebut di atas akan
menjadi bahan bahasan dalam makalah yang berjudul “ Rendahnya Kualitas Pendidikan di
Indonesia” ini.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah sistem pendidikan di Indonesia?
2. Apa faktor penyebab rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia?
3. Bagaimana solusi untuk mengatasi permasalahan-permasalahan pendidikan di
Indonesia?
C. Tujuan Penulisan
1. Mendeskripsikan sistem pendidikan di Indonesia.
2. Mendeskripsikan hal-hal yang menjadi penyebab rendahnya mutu pendidikan di
Indonesia.
3. Mendeskripsikan solusi untuk mengatasi permasalahan permasalahan pendidikan di
Indonesia.
D. Manfaat Penulisan
1. Bagi Pemerintah
Bisa dijadikan sebagai sumbangsih dalam meningkatkan kualitas pendidikan di
Indonesia.
2. Bagi Guru
Bisa dijadikan sebagai acuan dalam melaksanakan tugas agar lebih berkualitas
3
3. Bagi Mahasiswa
Bisa dijadikan sebagai bahan kajian belajar dalam rangka meningkatkan prestasi diri
pada khususnya dan meningkatkan kualitas pendidikan pada umumnya.
4
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sistem Pendidikan di Indonesia
Dewasa ini, dunia pendidikan di Indonesia kerap kali menjadi bahan pembicaraan
berbagai pihak. Banyak aspek yang dibahas ketika membicarakan sistem pendidikan di
Indonesia mulai dari segi kurikulum, segi akademis hingga kualitas para peserta didik.
Dilihat dari segi kurikulum, sistem pendidikan Indonesia dinilai terlalu kompleks karena
jumlah mata pelajaran yang harus diemban oleh peserta didik cukup banyak, seperti contoh
siswa kelas 1 SD sekarang harus mendapat 10 mata pelajaran padahal mereka masih
dibawah 10 tahun.
Lebih ironis lagi, ketika kita melihat ‘hajatan besar’ dunia pendidikan Indonesia
yaitu ujian nasional yang masih saja terus dijalankan meskipun banyak menuai kontroversi.
Sebagian besar siswa yang kurang percaya diri akan kemampuan akademisnya melakukan
kecurangan dan mengambil jalan pintas dengan membeli kunci jawaban. Ujian nasional
dan kunci jawaban seperti dua mata uang yang tak bisa dipisahkan. Meskipun disetiap
ujian nasional Kementerian pendidikan nasional memberi pernyataan bahwa soal UN tidak
bocor dan disimpan ditempat yang aman namun, tetap saja kunci jawaban itu beredar di
kalangan peserta didik baik di kota-kota besar sampai di pelosok sekalipun. Hal yang harus
diperhatikan adalah Ujian nasional sering menjadi stimulus bagi sebagian siswa untuk
mencari jalan pintas dan melakukan kecurangan yang tentunya perilaku ini bukanlah
perilaku terpuji. Bahayanya lagi, bila perilaku ini terus terbawa sampai siswa tersebut lulus
dan bekerja di sebuah institusi atau perusahaan tentunya perilaku ini akan menjadi cikal
bakal tumbuhnya perilaku korupsi.
Indonesia sekarang menganut sistem pendidikan nasional. Namun, sistem
pendidikan nasional masih belum dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya. Ada beberapa
sistem di Indonesia yang telah dilaksanakan, di antaranya:
1. Sistem Pendidikan Indonesia yang berorientasi pada nilai.
Sistem pendidikan ini telah diterapkan sejak sekolah dasar. Disini peserta didik diberi
pengajaran kejujuran, tenggang rasa, dan kedisiplinan. Nilai dan norma ini
disampaikan melalui pelajaran Pkn, bahkan disampaikan hingga tingkat pendidikan
menengah dan pendidikan tinggi.
5
2. Indonesia menganut sistem pendidikan terbuka.
Menurut sistem pendidikan ini, peserta didik dituntut untuk dapat bersaing dengan
teman, berfikir kreatif dan inovatif
3. Sistem pendidikan beragam.
Di Indonesia terdiri dari beragam suku, bahasa, daerah, dan budaya. Serta pendidikan
Indonesia yang terdiri dari pendidikan formal, non-formal dan informal
4. Sistem pendidikan yang efisien dalam pengelolaan waktu.
Sistem di dalam kegiatan pembelajaran, waktu diatur sedemikian rupa agar peserta
didik tidak merasa terbebani dengan materi pelajaran yang disampaikan karena
waktunya terlalu singkat atau sebaliknya.
5. Sistem pendidikan yang disesuaikan dengan perubahan zaman.
Dalam sistem ini, bangsa Indonesia harus menyesuaikan kurikulum dengan keadaan
saat ini. Oleh karena itu, kurikulum di Indonesia sering mengalami perubahan /
pergantian dari waktu ke waktu, hingga sekarang Indonesia menggunakan kurikulum
KTSP dan Kurikulum 2013.
Pelaksanaan pendidikan di Indonesia tidak terlepas dari tujuan pendidikan di
Indonesia, sebab pendidikan Indonesia yang dimaksud di sini ialah pendidikan yang
dilakukan di bumi Indonesia untuk kepentingan bangsa Indonesia. Aspek Ketuhanan sudah
dikembangkan dengan banyak cara seperti melalui pendidikan agama di sekolah maupun di
perguruan tinggi, melalui ceramah agama di masyarakat, melalui kehidupan beragama di
asrama, lewat mimbar agama dan Ketuhanan di televisi, radio, surat kabar dan media
lainnya. Bahan yang diserap melalui media itu akan berintegrasi dalam rohani para
siswa/mahasiswa. Pengembangan pikiran sebagian besar dilakukan di sekolah atau
perguruan tinggi melalui bidang studi-bidang studi yang mereka pelajari. Pikiran para
siswa/mahasiswa diasah melalui pemecahan soal, pemecahan berbagai masalah,
menganalisis sesuatu serta menyimpulkannya.
B. Penyebab rendahnya mutu pendidikan di Indonesia.
Seperti yang kita lihat sekarang ini, standar dan kompetensi dalam pendidikan formal
maupun informal terlihat hanya sebagai standar dan kompetensi belaka. Kualitas
pendidikan diukur oleh standard dan kompetensi di dalam berbagai versi, demikian pula
dengan dibentuknya badan baru untuk melaksanakan standardisasi dan kompetensi tersebut
seperti Badan Standardisasi Nasional Pendidikan (BSNP).Tinjauan terhadap standarisasi
dan kompetensi untuk meningkatkan mutu pendidikan akhirnya membawa kami dalam
pengungkapan adanya bahaya yang tersembunyi yaitu kemungkinan adanya pendidikan
6
yang terkukung oleh standar kompetensi saja sehingga kehilangan makna dan tujuan
pendidikan. Peserta didik terkadang hanya memikirkan bagaimana agar mencapai nilai
yang bagus saja, bukan bagaimana agar pendidikan yang dijalani dapat efektif. Tidak
peduli bagaimana cara agar memperoleh nilai yang diperoleh, yang terpenting adalah
memenuhi nilai ditentukan sekolah.
Hal tersebut sangat disayangkan karena berarti pendidikan seperti kehilangan makna
karena terlalu menuntut capaian kompetensi, yang menjadi penyebab rendahnya mutu
pendidikan di Indonesia. Selain itu, akan lebih baik jika kita mempertanyakan kembali
apakah standar pendidikan di Indonesia sudah sesuai atau belum. Dalam kasus UAN yang
hampir selalu menjadi kontrofersi misalnya, banyak hal lain juga yang sebenarnya dapat
kami bahas dalam pembahasan standarisasi pengajaran di Indonesia. Juga permasalahan
yang ada di dalamnya, yang tentu lebih banyak, dan membutuhkan penelitian yang lebih
dalam lagi. Penyebab rendahnya mutu pendidikan di Indonesia tidak hanya sebatas yang
kami bahas di atas. Banyak hal yang menyebabkan rendahnya mutu pendidikan kita.
Tentunya permasalahan itu dapat kita temukan jika kita menggali lebih dalam akar
permasalahannya. Berikut ini akan dipaparkan pula secara khusus beberapa masalah yang
menyebabkan rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia :
1. Rendahnya Kualitas Sarana Fisik
Pada saat ini banyak sekali sekolah dan perguruan tinggi yang gedungnya
rusak, kepemilikan dan penggunaan media belajar rendah, buku perpustakaan tidak
tersedia dengan baik. Sementara laboratorium tidak standar, pemakaian teknologi
informasi tidak memadai dan sebagainya. Keadaan ini sangat berpengaruh terhadap
keamanan dan kenyamanan berlangsungnya proses pembelajaran. Tuntutan
pembelajaran sekarang adalah peserta didik mampu melakukan eksplorasi terhadap
materi pelajaran guna mengapatkan pemgalaman belajar untuk menuntaskan
kompetensi dasar yang telah ditetapkan
2. Rendahnya Kualitas Guru
Keadaan guru di Indonesia juga masih ada yang memprihatinkan. Masih ada
sebagian guru belum memiliki profesionalisme yang memadai untuk menjalankan tugasnya
sebagaimana disebut dalam pasal 39 UU No 20/2003 yaitu merencanakan pembelajaran,
melaksanakan pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan,
melakukan pelatihan, melakukan penelitian dan melakukan pengabdian masyarakat.
Menurut Sanjaya (2013: 198) guru adalah komponen yang sangat menentukan dalam
implementasi suatu strategi pembelajaran. Tanpa guru, bagaimanapun bagus dan idealnya
7
suatu strategi pembelajaran itu tidak mungkin dapat diimplementasikan. Guru dalam proses
pembelajaran memegang peranan yang sangat penting. Dalam proses pembelajaran, guru
bukanlah hanya berperan sebagai model atau teladan bagi siswa yang diajarnya, akan tetapi
juga sebagai pengelola penentu proses pembelajaran.
3. Rendahnya Prestasi Siswa
Salah satu upaya utnuk mengetahui prestasi belajar peserta didik adalah
melalui penilaian. Sunarti (2013: 7) menyatakan bahwa penilaian merupakan
rangkaian kegiatan untuk memperoleh, manganalisis dan menafsirkan data tentang
proses dan hasil belajar peserta didik yang dilakukan secara sistematis dan
berkesinambungan, sehingga menjadi informasi yang bermakna dalam pengambilan
keputusan. Penilaian adalah bagian dari kegiatan pembelajaran yang dilakukan untuk
mengetahui pencapaian kompetensi peserta didik yang meliputi pengetahuan,
keterampilan dan sikap.
Rendahnya prestasi siswa sangat menentukan kemajuan dan mutu pendidikan
di Indonesia. Namun yang sangat disayangkan terjadi sekarang ini adalah rendahnya
prestasi yang diraih pelajar Indonesia. Masih kurangnya kesadaran akan pentingnya
pendidikan adalah faktor utama, juga semangat belajar yang kurang, budaya
mencontek merupakan penyebab kurangnya daya kreatifitas yang dimiliki anak.
4. Kurangnya Pemerataan Kesempatan Pendidikan
Masalah pemerataan pendidikan timbul apabila masih banyak warga Negara
khususnya anak usia sekolah yang tidak dapat di tampung dalam sistem atau lembaga
pendidikan karena kurangnya fasilita pendidikan yang tersedia. Saat ini kondisi
pendidikan di Indonesia masih belum merata. Misalnya saja di kota-kota besar sarana
dan prasarana pendidikan disana sudah sangat maju. Sedangkan di desa-desa hanya
mengandalkan sarana dan prasarana seadanya. Bukan hanya masyarakat di desa saja
yang masih tertinggal pendidikannya.
Daerah-daerah di Indonesia timur bukan hanya sarana dan prasarana yang
kurang tapi juga kurangnya tenaga pengajar sehingga sekolah disana masih
membutuhkan guru-guru dari daerah lain. Walaupun ada warga negara Indonesia yang
tinggal di kota-kota besar tapi karena mereka termasuk ke dalam warga negara yang
kurang mampu sehingga mereka tidak bisa merasakan pendidikan. Banyak anak di
bawah umur sudah bekerja untuk membantu orang tua mereka dalam
mempertahankan hidupnya. Padahal, bagi anak tersebut sangat membutuhkan
pendidikan minimal sekali adalah SMP, sebab jika anak-anak usia sekolah
8
memperoleh kesempatan belajar sampai jenjang SMP, maka mereka memiliki bekal
dasar berupa kemampuan membaca, menulis, dan berhitung sehingga mereka dapat
mengikuti perkembangan kemajauan melalui berbagai media massa dan sumber
belajar yang tersedia baik mereka itu nantinya berperan sebagai produsen maupun
konsumen. (http://edukasi.kompasiana.com )
5. Rendahnya Relevansi Pendidikan Dengan Kebutuhan Dunia Kerja
Relevansi Pendidikan yaitu masalah yang berhubungan dengan relevansi
(kesesuaian) pemilikan pengetahuan, keterampilan dan sikap lulusan suatu sekolah
dengan kebutuhan masyarakat (kebutuhan tenaga kerja). Jika hal ini tidak terjadi maka
hal inilah yang menimbulkan dampak yang di sebut dampak tidak relevannya
pendidikan, yaitu:
1. Bagi perusahaan-perusahaan yang masih harus mengeluarkan dana untuk
pendidikan atau pelatihan bagi calon karyawannya, karena mereka dinilai
belum memiliki keterampilan kerja seperti yang diharapkan.
2. Banyaknya lulusan dari satuan pendidikan tertentu yang tidak siap secara
kemampuan kognitif dan teknikal untuk melanjutkan ke satuan pendidikan di
atasnya.
3. Banyaknya lulusan dari satuan pendidikan tertentu, yaitu sekolah kejuruan dan
pendidikan tinggi yang belum atau bahkan tidak siap untuk bekerja.
4. Jumlah angka pengangguran yang semakin meningkat di Indonesia.
C. Solusi dari permasalahan-permasalahan pendidikan di Indonesia
Untuk mengatasi beberapa permasalahan pendidikan di Indonesia perlu
ditempuh beberapa hal berikut ini :
1 Pemerintah meninjau ulang penerapan kurikulum 2013, jangan hanya demi kepentingan
sesaat tetapi melupakan kepentingan masyarakat banyak terutama para siswa, guru dan
orang-orang yang berkecimpung di lingkungan pendidikan. Beberapa pelajaran yang
memang layak ditambah seperti pelajaran agama dan pendidikan moral harus ditambah,
agar para siswa bisa menghargai orang lain, berperilaku sopan, tidak melanggar susila
dan tidak mudah terpancing emosinya yang berakibat fatal buat dirinya sendiri, dan
orang lain. Selain itu pelajaran TIK sebaiknya jangan dihapuskan karena negara ini
akan ketinggalan mengenai teknologi, informasi dan telekomunikasi dengan negara lain
yang tingkat penggunaan komputer dan gadgetnya sangat tinggi.
9
2 Mata pelajaran pendidikan moral dan keagamaan harusnya ditambah dari tingkat SD
sampai perguruan tinggi. Karena pendidikan moral dan agama ini sangat penting untuk
membentengi para siswa dan mahasiswa dari perbuatan-perbuatan asusila, melanggar
hukum dan melanggar agama.
3 Pemerintah harus sering mengadakan pelatihan kepada seluruh guru sesuai dengan
bidangnya masing-masing, agar pengetahuan dan kompetensi mereka semakin
bertambah.
4 Pemerintah memberikan tunjangan kepada tenaga kependidikan harus adil dan tepat
sasaran. Karena masih banyak guru yang mengajar asal-asalan (jarang datang) tetapi
mendapat tunjangan sertifikasi. Sementara guru honorer yang gajinya kecil tiap hari
mengajar dengan rajin tidak mendapatkan tunjangan apa-apa, kalaupun ada jumlahnya
tidak seberapa.
5 Banyak bantuan berupa alat peraga yang diberikan pemerintah kepada sekolah yang
tidak digunakan sebagaimana mestinya, bahkan alat peraga yang rusak bukan karena
sering dipakai tetapi rusak karena tidak pernah dipakai. Padahal peralatan tersebut dibeli
dengan harga yang mahal bahkan nilainya sampai puluhan juta.
6 Pemerintah mengkaji ulang mata pelajaran yang diajarkan di sekolah mulai dari tingkat
SD, SMP, sampai SMA/SMK. Harusnya pendidikan mengacu pada kebutuhan masa
depan siswa dan kebutuhan lapangan pekerjaan. Jangan sampai pelajar terpaksa belajar
pelajaran yang tidak ia sukai padahal mereka memiliki kelebihan dan ketrampilan pada
pelajaran tertentu.
7 Peran serta orang tua dalam pendidikan sangat dibutuhkan karena waktu yang paling
banyak tentu saat berada di lingkungan keluarga. Di sekolah, para siswa hanya belajar
beberapa jam saja. Kasih sayang orang tua sangat dibutuhkan agar anak tidak
melakukan hal-hal yang tidak diinginkan.
Di bawah ini akan diuraikan beberapa solusi tentang peningkatan mutu
pendidikan atau kualitas pendidikan di Indonesia yaitu:
1. Efektifitas Pendidikan di Indonesia
Pendidikan yang efektif adalah suatu pendidikan yang memungkinkan
peserta didik untuk dapat belajar dengan mudah, menyenangkan dan dapat
tercapai tujuan sesuai dengan yang diharapkan. Efektifitas pendidikan di
Indonesia sangat rendah. Setelah praktisi pendidikan melakukan penelitian dan
survey ke lapangan, salah satu penyebabnya adalah tidak adanya tujuan
pendidikan yang jelas sebelm kegiatan pembelajaran dilaksanakan. Hal ini
10
menyebabkan peserta didik dan pendidik tidak tahu “goal” apa yang akan
dihasilkan sehingga tidak mempunyai gambaran yang jelas dalam proses
pendidikan. Jelas hal ini merupakan masalah terpenting jika kita menginginkan
efektifitas pengajaran. Selama ini, banyak pendapat beranggapan bahwa
pendidikan formal dinilai hanya menjadi formalitas saja untuk membentuk
sumber daya manusia Indonesia. Tidak perduli bagaimana hasil pembelajaran
formal tersebut, yang terpenting adalah telah melaksanakan pendidikan di jenjang
yang tinggi dan dapat dianggap hebat oleh masyarakat. Anggapan seperti itu
jugalah yang menyebabkan efektifitas pengajaran di Indonesia sangat rendah.
Setiap orang mempunyai kelebihan dibidangnya masing-masing dan diharapkan
dapat mengambil pendidikaan sesuai bakat dan minatnya bukan hanya untuk
dianggap hebat oleh orang lain.
Dalam pendidikan di sekolah menengah misalnya, seseorang yang
mempunyai kelebihan dibidang sosial dan dipaksa mengikuti program studi IPA
akan menghasilkan efektifitas pengajaran yang lebih rendah jika dibandingkan
peserta didik yang mengikuti program studi yang sesuai dengan bakat dan
minatnya. Hal-hal sepeti itulah yang banyak terjadi di Indonesia. Dan sayangnya
masalah gengsi tidak kalah pentingnya dalam menyebabkan rendahnya efektifitas
pendidikan di Indonesia.
2. Efisiensi Pengajaran di Indonesia
Efisien adalah bagaimana menghasilkan efektifitas dari suatu tujuan
dengan proses yang lebih ‘murah’. Dalam proses pendidikan akan jauh lebih baik
jika kita memperhitungkan untuk memperoleh hasil yang baik tanpa melupakan
proses yang baik pula. Hal-hal itu jugalah yang kurang jika kita lihat pendidikan
di Indonesia Kita kurang mempertimbangkan prosesnya, hanya bagaimana dapat
meraih standar hasil yang telah disepakati. Beberapa masalah efisiensi pengajaran
di Indonesia adalah mahalnya biaya pendidikan, waktu yang digunakan dalam
proses pendidikan, mutu pegajar dan banyak hal lain yang menyebabkan kurang
efisiennya proses pendidikan di Indonesia. Masalah mahalnya biaya pendidikan
di Indonesia sudah menjadi rahasia umum bagi kita. Sebenarnya harga
pendidikan di Indonesia relative lebih randah jika kita bandingkan dengan Negara
lain yang tidak mengambil sistem free cost education.
Kurangnya mutu tenaga pendidikan menyebabkan peserta didik kurang
mencapai hasil yang diharapkan dan akhirnya mengambil pendidikan tambahan
11
yang juga membutuhkan uang lebih. Sistem pendidikan yang baik juga berperan
penting dalam meningkatkan efisiensi pendidikan di Indonesia. Sangat
disayangkan juga sistem pendidikan kita berubah-ubah sehingga membingungkan
pendidik dan peserta didik.
3. Standarisasi Pendidikan di Indonesia
Jika kita ingin meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia, kita juga
berbicara tentang standarisasi pengajaran yang kita ambil. Kompetensi yang
dibutuhkan oleh masyarakat terus-menerus berubah apalagi di dalam dunia
modern dalam era globalisasi. Kualitas pendidikan diukur oleh standard dan
kompetensi sehingga dibentuk badan-badan baru untuk melaksanakan
standardisasi dan kompetensi tersebut seperti Badan Standardisasi Nasional
Pendidikan (BSNP). Peserta didik Indonesia terkadang hanya memikirkan
bagaiman agar mencapai standar pendidikan saja, bukan bagaimana agar
pendidikan yang diambil efektif dan dapat digunakan. Tidak perduli bagaimana
cara agar memperoleh hasil atau lebih spesifiknya nilai yang diperoleh, yang
terpenting adalah memenuhi nilai di atas standar saja.
BAB III
PENUTUP
12
A. Simpulan
Sistem pendidikan yang diterapkan Indonesia adalah sistem pendidikan nasional.
Beberapa sistem di Indonesia yang telah dilaksanakan, adalah :
1. Sistem Pendidikan Indonesia yang berorientasi pada nilai,
2. Indonesia menganut sistem pendidikan terbuka.
3. Sistem pendidikan beragam.
4. Sistem pendidikan yang efisien dalam pengelolaan waktu.
5. Sistem pendidikan yang disesuaikan dengan perubahan zaman.
Kualitas pendidikan di Indonesia memang masih sangat rendah bila di bandingkan
dengan kualitas pendidikan di negara-negara lain. Hal-hal yang menjadi penyebab
utamanya yaitu efektifitas, efisiensi, dan standardisasi pendidikan yang masih kurang
dioptimalkan. Masalah-masalah lainya yang menjadi penyebabnya yaitu:
1. Rendahnya sarana fisik,
2. Rendahnya kualitas guru,
3. Rendahnya prestasi siswa,
4. Rendahnya kesempatan pemerataan pendidikan,
5. Rendahnya relevansi pendidikan dengan kebutuhan
Adapun solusi yang dapat diberikan dari permasalahan di atas antara lain dengan
efektifitas pendidikan di Indonesia, efisiensi pengajaran di Indonesia dan standariisasi
pendidikan di Indonesia.
B. Saran
Perkembangan dunia di era globalisasi ini memang banyak menuntut perubahan
kesistem pendidikan nasional yang lebih baik serta mampu bersaing secara sehat dalam
segala bidang. Salah satu cara yang harus di lakukan bangsa Indonesia agar tidak semakin
ketinggalan dengan negara-negara lain adalah dengan meningkatkan kualitas
pendidikannya terlebih dahulu.
Dengan meningkatnya kualitas pendidikan berarti sumber daya manusia yang terlahir akan
semakin baik mutunya dan akan mampu membawa bangsa ini bersaing secara sehat dalam
segala bidang di dunia internasional
DAFTAR PUSTAKA
13
Depdiknas. 2001. Buku 1 Manajemen Peningkatan Mutu Pendidikan Berbasis Sekolah.
Jakarta: Depdiknas.
Sanjaya, Wina. 2013. Kurikulum dan Pembelajaran. Kencana: Jakarta
Sunarti, Selly Rahmawati. 2014. Penilaian dalam Kurikulum 2013. Andi Ofset: Yogyakarta
Undang-undang Republik Indonesia,No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional dan Penjelasannya, Pen. CV Aneka Ilmu, cet. 1 tahun 2003
http://ekonomi.kompasiana.com/manajemen/2014/05/24
http://sistempendidikannegarakita.blogspot.com/
14
MAKALAH PERMASALAHAN PENDIDIKAN
DI INDONESIA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan mempunyai pengertian yaitu proses pengubahan sikap dan tata laku
seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya
pengajaran dan latihan, proses perbuatan, cara mendidik. Ki Hajar Dewantara, sebagai
15
Tokoh Pendidikan Nasional Indonesia, peletak dasar yang kuat pendidkan nasional yang
progresif untuk generasi sekarang dan generasi yang akan datang merumuskan
pengertian pendidikan sebagai berikut : Pendidikan umumnya berarti daya upaya untuk
memajukan bertumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin, karakter), pikiran (intelektual
dan tubuh anak); dalam Taman Siswa tidak boleh dipisahkan bagian-bagian itu agar
supaya kita memajukan kesempurnaan hidup, kehidupan, kehidupan dan penghidupan
anak-anak yang kita didik, selaras dengan dunianya (Ki Hajar Dewantara, 1977:14)
Pendidikan merupakan proses yang terus menerus, tidak berhenti. Di dalam proses
pendidikan ini, keluhuran martabat manusia dipegang erat karena manusia (yang terlibat
dalam pendidikan ini) adalah subyek dari pendidikan. Karena merupakan subyek di
dalam pendidikan, maka dituntut suatu tanggung jawab agar tercapai suatu hasil
pendidikan yang baik. Jika memperhatikan bahwa manusia itu sebagai subyek dan
pendidikan meletakkan hakikat manusia pada hal yang terpenting, maka perlu
diperhatikan juga masalah otonomi pribadi. Maksudnya adalah, manusia sebagai subyek
pendidikan harus bebas untuk “ada” sebagai dirinya yaitu manusia yang berpribadi,
yang bertanggung jawab.
Hasil dari pendidikan tersebut yang jelas adalah adanya perubahan pada subyek-
subyek pendidikan itu sendiri. Katakanlah dengan bahasa yang sederhana demikian, ada
perubahan dari tidak bisa menjadi bisa, dari tidak mengerti menjadi mengerti. Tetapi
perubahan-perubahan yang terjadi setelah proses pendidikan itu tentu saja tidak
sesempit itu. Karena perubahan-perubahan itu menyangkut aspek perkembangan
jasmani dan rohani juga.
Pendidikan Indonesia kualitasnya masih rendah, berdasarkan Survey United Nations
Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO), terhadap kualitas
pendidikan di Negara-negara berkembang di Asia Pacific, Indonesia menempati
peringkat 10 dari 14 negara. Sedangkan untuk kualitas para guru, kulitasnya berada
pada level 14 dari 14 negara berkembang.
16
Salah satu faktor rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia adalah karena lemahnya
para guru dalam menggali potensi anak. Belum secara spesifik memperhatikan
kebutuhan, minat dan bakat yang dimiliki siswanya. Pendidikan seharusnya
memperhatikan kebutuhan anak bukan malah memaksakan sesuatu yang membuat anak
kurang nyaman dalam menuntut ilmu. Selain kurang kreatifnya para pendidik dalam
membimbing siswa, kurikulum yang sentralistik membuat potret pendidikan semakin
buram. Kurikulum hanya didasarkan pada pengetahuan pemerintah tanpa
memperhatikan kebutuhan masyarakat. Lebih parah lagi, pendidikan tidak mampu
menghasilkan lulusan yang kreatif. Ini salahnya, kurikulum dibuat di Jakarta dan tidak
memperhatikan kondisi di masyarakat bawah. Jadi, para lulusan hanya pintar cari kerja
dan tidak pernah bisa menciptakan lapangan kerja sendiri, padahal lapangan pekerjaan
yang tersedia terbatas. Sedangkan untuk kemampuan membaca, Indonesia berada pada
peringkat 39 dari 42 negara berkembang di dunia. Ini juga kesalahan negara yang tidak
serius untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Dari sinilah penulis mencoba untuk
membahas lebih dalam mengenai pendidikan di Indonesia dan segala dinamikanya.
B. Pembatasan Masalah
1.Apa permasalahan dalam pendidikan yang ada di Indonesia?
2.Apa penyebab Kualitas pendidikan di Indonesia masih rendah?
3.Bagaimana Solusi nya tentang permasalahan Pendidikan di Indonesia?
C. Tujuan Penulisan
1. Mengidentifikasikan masalah-masalah apa saja yang terjadi pada pendidikan di Indoensia
2. Mendiskripsikan penyebab Kualitas pendidikan di Indonesia masih rendah
3. Mendiskripsikan Solusi nya tentang permasalahan Pendidikan di Indonesia
D.Manfaat Penulisan
Dari penulisan ini diharapkan mendatangkan manfaat berupa penambahan pengetahuan
serta wawasan penulis kepada pembaca tentang keadaan pendidikan sekarang ini
sehingga kita dapat mencari solusinya secara bersama agar pendidikan di masa yang
akan dapat meningkat baik dari segi kualitas maupun kuantitas yang diberikan.
17
BAB II
PEMABAHASAN
A. Masalah Mendasar Pendidikan di Indonesia
18
Banyak faktor-faktor yang menyebabkan kualitas pendidikan di Indonesia masih
rendah. Faktor-faktor tersebut yaitu :
1. Rendahnya Kualitas Sarana Fisik
Untuk sarana fisik misalnya, banyak sekali sekolah dan perguruan tinggi kita
yang gedungnya rusak, kepemilikan dan penggunaan media belajar rendah, buku
perpustakaan tidak lengkap. Sementara laboratorium tidak standar, pemakaian
teknologi informasi tidak memadai dan sebagainya. Bahkan masih banyak
sekolah yang tidak memiliki gedung sendiri, tidak memiliki perpustakaan, tidak
memiliki laboratorium dan sebagainya.
2. Rendahnya Kualitas Guru
Keadaan guru di Indonesia juga amat memprihatinkan. Kebanyakan guru belum
memiliki profesionalisme yang memadai untuk menjalankan tugasnya
sebagaimana disebut dalam pasal 39 UU No 20/2003 yaitu merencanakan
pembelajaran, melaksanakan pembelajaran, menilai hasil pembelajaran,
melakukan pembimbingan, melakukan pelatihan, melakukan penelitian dan
melakukan pengabdian masyarakat.
Kendati secara kuantitas jumlah guru di Indonesia cukup memadai, namun
secara kualitas mutu guru di negara ini, pada umumnya masih rendah. Secara
umum, para guru di Indonesia kurang bisa memerankan fungsinya dengan
optimal, karena pemerintah masih kurang memperhatikan mereka, khususnya
dalam upaya meningkatkan profesionalismenya. Secara kuantitatif, sebenarnya
jumlah guru di Indonesia relatif tidak terlalu buruk. Apabila dilihat ratio guru
dengan siswa, angka-angkanya cukup bagus yakni di SD 1:22, SLTP 1:16, dan
SMU/SMK 1:12. Meskipun demikian, dalam hal distribusi guru ternyata banyak
mengandung kelemahan yakni pada satu sisi ada daerah atau sekolah yang
kelebihan jumlah guru, dan di sisi lain ada daerah atau sekolah yang kekurangan
guru. Dalam banyak kasus, ada SD yang jumlah gurunya hanya tiga hingga
empat orang, sehingga mereka harus mengajar kelas secara paralel dan simultan.
19
Bila diukur dari persyaratan akademis, baik menyangkut pendidikan minimal
maupun kesesuaian bidang studi dengan pelajaran yang harus diberikan kepada
anak didik, ternyata banyak guru yang tidak memenuhi kualitas mengajar (under
quality).
Hal itu dapat dibuktikan dengan masih banyaknya guru yang belum sarjana,
namun mengajar di SMU/SMK, serta banyak guru yang mengajar tidak sesuai
dengan disiplin ilmu yang mereka miliki. Keadaan seperti ini menimpa lebih
dari separoh guru di Indonesia, baik di SD, SLTP dan SMU/SMK. Artinya lebih
dari 50 persen guru SD, SLTP dan SMU/SMK di Indonesia sebenarnya tidak
memenuhi kelayakan mengajar. Dengan kondisi dan situasi seperti itu,
diharapkan pendidikan yang berlangsung di sekolah harus secara seimbang
dapat mencerdaskan kehidupan anak dan harus menanamkan budi pekerti
kepada anak didik. “Sangat kurang tepat bila sekolah hanya mengembangkan
kecerdasan anak didik, namun mengabaikan penanaman budi pekerti kepada
para siswanya.
Walaupun guru dan pengajar bukan satu-satunya faktor penentu keberhasilan
pendidikan tetapi, pengajaran merupakan titik sentral pendidikan dan kualifikasi,
sebagai cermin kualitas, tenaga pengajar memberikan andil sangat besar pada
kualitas pendidikan yang menjadi tanggung jawabnya. Kualitas guru dan
pengajar yang rendah juga dipengaruhi oleh masih rendahnya tingkat
kesejahteraan guru.
3. Rendahnya Kesejahteraan Guru
Rendahnya kesejahteraan guru mempunyai peran dalam membuat rendahnya
kualitas pendidikan Indonesia. Dengan pendapatan yang rendah, terang saja
banyak guru terpaksa melakukan pekerjaan sampingan. Ada yang mengajar lagi
di sekolah lain, memberi les pada sore hari, menjadi tukang ojek, pedagang mie
rebus, pedagang buku/LKS, pedagang pulsa ponsel, dan sebagainya.
20
Dengan adanya UU Guru dan Dosen, barangkali kesejahteraan guru dan dosen
(PNS) agak lumayan. Pasal 10 UU itu sudah memberikan jaminan kelayakan
hidup. Di dalam pasal itu disebutkan guru dan dosen akan mendapat penghasilan
yang pantas dan memadai, antara lain meliputi gaji pokok, tunjangan yang
melekat pada gaji, tunjangan profesi, dan/atau tunjangan khusus serta
penghasilan lain yang berkaitan dengan tugasnya. Mereka yang diangkat
pemkot/pemkab bagi daerah khusus juga berhak atas rumah dinas.
Tapi, kesenjangan kesejahteraan guru swasta dan negeri menjadi masalah lain
yang muncul. Di lingkungan pendidikan swasta, masalah kesejahteraan masih
sulit mencapai taraf ideal. Diberitakan Pikiran Rakyat 9 Januari 2006, sebanyak
70 persen dari 403 PTS di Jawa Barat dan Banten tidak sanggup untuk
menyesuaikan kesejahteraan dosen sesuai dengan amanat UU Guru dan Dosen.
4. Rendahnya Prestasi Siswa
Dengan keadaan yang demikian itu (rendahnya sarana fisik, kualitas guru, dan
kesejahteraan guru) pencapaian prestasi siswa pun menjadi tidak memuaskan.
Sebagai misal pencapaian prestasi fisika dan matematika siswa Indonesia di
dunia internasional sangat rendah. Menurut Trends in Mathematic and Science
Study (TIMSS) 2003 (2004), siswa Indonesia hanya berada di ranking ke-35 dari
44 negara dalam hal prestasi matematika dan di ranking ke-37 dari 44 negara
dalam hal prestasi sains. Dalam hal ini prestasi siswa kita jauh di bawah siswa
Malaysia dan Singapura sebagai negara tetangga yang terdekat.
Dalam hal prestasi, 15 September 2004 lalu United Nations for Development
Programme (UNDP) juga telah mengumumkan hasil studi tentang kualitas
manusia secara serentak di seluruh dunia melalui laporannya yang berjudul
Human Development Report 2004. Di dalam laporan tahunan ini Indonesia
hanya menduduki posisi ke-111 dari 177 negara. Apabila dibanding dengan
negara-negara tetangga saja, posisi Indonesia berada jauh di bawahnya.
21
Dalam skala internasional, menurut Laporan Bank Dunia (Greaney,1992), studi
IEA (Internasional Association for the Evaluation of Educational Achievement)
di Asia Timur menunjukan bahwa keterampilan membaca siswa kelas IV SD
berada pada peringkat terendah. Rata-rata skor tes membaca untuk siswa SD:
75,5 (Hongkong), 74,0 (Singapura), 65,1 (Thailand), 52,6 (Filipina), dan 51,7
(Indonesia).
Anak-anak Indonesia ternyata hanya mampu menguasai 30% dari materi bacaan
dan ternyata mereka sulit sekali menjawab soal-soal berbentuk uraian yang
memerlukan penalaran. Hal ini mungkin karena mereka sangat terbiasa
menghafal dan mengerjakan soal pilihan ganda.
Selain itu, hasil studi The Third International Mathematic and Science Study-
Repeat-TIMSS-R, 1999 (IEA, 1999) memperlihatkan bahwa, diantara 38 negara
peserta, prestasi siswa SLTP kelas 2 Indonesia berada pada urutan ke-32 untuk
IPA, ke-34 untuk Matematika. Dalam dunia pendidikan tinggi menurut majalah
Asia Week dari 77 universitas yang disurvai di asia pasifik ternyata 4 universitas
terbaik di Indonesia hanya mampu menempati peringkat ke-61, ke-68, ke-73 dan
ke-75.
5. Kurangnya Pemerataan Kesempatan Pendidikan
Kesempatan memperoleh pendidikan masih terbatas pada tingkat Sekolah Dasar.
Data Balitbang Departemen Pendidikan Nasional dan Direktorat Jenderal
Binbaga Departemen Agama tahun 2000 menunjukan Angka Partisipasi Murni
(APM) untuk anak usia SD pada tahun 1999 mencapai 94,4% (28,3 juta siswa).
Pencapaian APM ini termasuk kategori tinggi. Angka Partisipasi Murni
Pendidikan di SLTP masih rendah yaitu 54, 8% (9,4 juta siswa). Sementara itu
layanan pendidikan usia dini masih sangat terbatas. Kegagalan pembinaan dalam
usia dini nantinya tentu akan menghambat pengembangan sumber daya manusia
secara keseluruhan. Oleh karena itu diperlukan kebijakan dan strategi
22
pemerataan pendidikan yang tepat untuk mengatasi masalah ketidakmerataan
tersebut.
6. Rendahnya Relevansi Pendidikan dengan Kebutuhan
Hal tersebut dapat dilihat dari banyaknya lulusan yang menganggur. Data
BAPPENAS (1996) yang dikumpulkan sejak tahun 1990 menunjukan angka
pengangguran terbuka yang dihadapi oleh lulusan SMU sebesar 25,47%,
Diploma/S0 sebesar 27,5% dan PT sebesar 36,6%, sedangkan pada periode yang
sama pertumbuhan kesempatan kerja cukup tinggi untuk masing-masing tingkat
pendidikan yaitu 13,4%, 14,21%, dan 15,07%. Menurut data Balitbang
Depdiknas 1999, setiap tahunnya sekitar 3 juta anak putus sekolah dan tidak
memiliki keterampilan hidup sehingga menimbulkan masalah ketenagakerjaan
tersendiri. Adanya ketidakserasian antara hasil pendidikan dan kebutuhan dunia
kerja ini disebabkan kurikulum yang materinya kurang funsional terhadap
keterampilan yang dibutuhkan ketika peserta didik memasuki dunia kerja.
7. Mahalnya Biaya Pendidikan
Pendidikan bermutu itu mahal. Kalimat ini sering muncul untuk menjustifikasi
mahalnya biaya yang harus dikeluarkan masyarakat untuk mengenyam bangku
pendidikan. Mahalnya biaya pendidikan dari Taman Kanak-Kanak (TK) hingga
Perguruan Tinggi (PT) membuat masyarakat miskin tidak memiliki pilihan lain
kecuali tidak bersekolah. Orang miskin tidak boleh sekolah.
Untuk masuk TK dan SDN saja saat ini dibutuhkan biaya Rp 500.000, sampai
Rp 1.000.000. Bahkan ada yang memungut di atas Rp 1 juta. Masuk
SLTP/SLTA bisa mencapai Rp 1 juta sampai Rp 5 juta.
Makin mahalnya biaya pendidikan sekarang ini tidak lepas dari kebijakan
pemerintah yang menerapkan MBS (Manajemen Berbasis Sekolah). MBS di
Indonesia pada realitanya lebih dimaknai sebagai upaya untuk melakukan
23
mobilisasi dana. Karena itu, Komite Sekolah/Dewan Pendidikan yang
merupakan organ MBS selalu disyaratkan adanya unsur pengusaha.
Asumsinya, pengusaha memiliki akses atas modal yang lebih luas. Hasilnya,
setelah Komite Sekolah terbentuk, segala pungutan uang selalu berkedok,
“sesuai keputusan Komite Sekolah”. Namun, pada tingkat implementasinya, ia
tidak transparan, karena yang dipilih menjadi pengurus dan anggota Komite
Sekolah adalah orang-orang dekat dengan Kepala Sekolah. Akibatnya, Komite
Sekolah hanya menjadi legitimator kebijakan Kepala Sekolah, dan MBS pun
hanya menjadi legitimasi dari pelepasan tanggung jawab negara terhadap
permasalahan pendidikan rakyatnya.
Kondisi ini akan lebih buruk dengan adanya RUU tentang Badan Hukum
Pendidikan (RUU BHP). Berubahnya status pendidikan dari milik publik ke
bentuk Badan Hukum jelas memiliki konsekuensi ekonomis dan politis amat
besar. Dengan perubahan status itu Pemerintah secara mudah dapat
melemparkan tanggung jawabnya atas pendidikan warganya kepada pemilik
badan hukum yang sosoknya tidak jelas. Perguruan Tinggi Negeri pun berubah
menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN). Munculnya BHMN dan MBS
adalah beberapa contoh kebijakan pendidikan yang kontroversial. BHMN
sendiri berdampak pada melambungnya biaya pendidikan di beberapa Perguruan
Tinggi favorit.
Privatisasi atau semakin melemahnya peran negara dalam sektor pelayanan
publik tak lepas dari tekanan utang dan kebijakan untuk memastikan
pembayaran utang. Utang luar negeri Indonesia sebesar 35-40 persen dari APBN
setiap tahunnya merupakan faktor pendorong privatisasi pendidikan. Akibatnya,
sektor yang menyerap pendanaan besar seperti pendidikan menjadi korban. Dana
pendidikan terpotong hingga tinggal 8 persen (Kompas, 10/5/2005).
Dari APBN 2005 hanya 5,82% yang dialokasikan untuk pendidikan.
Bandingkan dengan dana untuk membayar hutang yang menguras 25% belanja
24
dalam APBN (www.kau.or.id). Rencana Pemerintah memprivatisasi pendidikan
dilegitimasi melalui sejumlah peraturan, seperti Undang-Undang Sistem
Pendidikan Nasional, RUU Badan Hukum Pendidikan, Rancangan Peraturan
Pemerintah (RPP) tentang Pendidikan Dasar dan Menengah, dan RPP tentang
Wajib Belajar. Penguatan pada privatisasi pendidikan itu, misalnya, terlihat
dalam Pasal 53 (1) UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
(Sisdiknas). Dalam pasal itu disebutkan, penyelenggara dan/atau satuan
pendidikan formal yang didirikan oleh Pemerintah atau masyarakat berbentuk
badan hukum pendidikan.
Seperti halnya perusahaan, sekolah dibebaskan mencari modal untuk
diinvestasikan dalam operasional pendidikan. Koordinator LSM Education
Network for Justice (ENJ), Yanti Mukhtar (Republika, 10/5/2005) menilai
bahwa dengan privatisasi pendidikan berarti Pemerintah telah melegitimasi
komersialisasi pendidikan dengan menyerahkan tanggung jawab
penyelenggaraan pendidikan ke pasar. Dengan begitu, nantinya sekolah
memiliki otonomi untuk menentukan sendiri biaya penyelenggaraan pendidikan.
Sekolah tentu saja akan mematok biaya setinggi-tingginya untuk meningkatkan
dan mempertahankan mutu. Akibatnya, akses rakyat yang kurang mampu untuk
menikmati pendidikan berkualitas akan terbatasi dan masyarakat semakin
terkotak-kotak berdasarkan status sosial, antara yang kaya dan miskin.
Hal senada dituturkan pengamat ekonomi Revrisond Bawsir. Menurut dia,
privatisasi pendidikan merupakan agenda Kapitalisme global yang telah
dirancang sejak lama oleh negara-negara donor lewat Bank Dunia. Melalui
Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP), Pemerintah
berencana memprivatisasi pendidikan. Semua satuan pendidikan kelak akan
menjadi badan hukum pendidikan (BHP) yang wajib mencari sumber dananya
sendiri. Hal ini berlaku untuk seluruh sekolah negeri, dari SD hingga perguruan
tinggi.
25
Bagi masyarakat tertentu, beberapa PTN yang sekarang berubah status menjadi
Badan Hukum Milik Negara (BHMN) itu menjadi momok. Jika alasannya
bahwa pendidikan bermutu itu harus mahal, maka argumen ini hanya berlaku di
Indonesia. Di Jerman, Prancis, Belanda, dan di beberapa negara berkembang
lainnya, banyak perguruan tinggi yang bermutu namun biaya pendidikannya
rendah. Bahkan beberapa negara ada yang menggratiskan biaya pendidikan.
Pendidikan berkualitas memang tidak mungkin murah, atau tepatnya, tidak harus
murah atau gratis. Tetapi persoalannya siapa yang seharusnya membayarnya?
Pemerintahlah sebenarnya yang berkewajiban untuk menjamin setiap warganya
memperoleh pendidikan dan menjamin akses masyarakat bawah untuk
mendapatkan pendidikan bermutu. Akan tetapi, kenyataannya Pemerintah justru
ingin berkilah dari tanggung jawab. Padahal keterbatasan dana tidak dapat
dijadikan alasan bagi Pemerintah untuk cuci tangan.
Bagi orang-orang yang berkompeten terhadap bidang pendidikan akan menyadari
bahwa dunia pendidikan kita sampai saat ini masih mengalami “sakit”. Dunia
pendidikan yang “sakit” ini disebabkan karena pendidikan yang seharusnya membuat
manusia menjadi manusia, tetapi dalam kenyataannya seringkali tidak begitu. Seringkali
pendidikan tidak memanusiakan manusia. Kepribadian manusia cenderung direduksi
oleh sistem pendidikan yang ada.
Masalah pertama adalah bahwa pendidikan, khususnya di Indonesia, menghasilkan
“manusia robot”. Kami katakan demikian karena pendidikan yang diberikan ternyata
berat sebelah, dengan kata lain tidak seimbang. Pendidikan ternyata mengorbankan
keutuhan, kurang seimbang antara belajar yang berpikir (kognitif) dan perilaku belajar
yang merasa (afektif). Jadi unsur integrasi cenderung semakin hilang, yang terjadi
adalah disintegrasi. Padahal belajar tidak hanya berfikir. Sebab ketika orang sedang
belajar, maka orang yang sedang belajar tersebut melakukan berbagai macam kegiatan,
seperti mengamati, membandingkan, meragukan, menyukai, semangat dan sebagainya.
Hal yang sering disinyalir ialah pendidikan seringkali dipraktekkan sebagai sederetan
instruksi dari guru kepada murid. Apalagi dengan istilah yang sekarang sering
26
digembar-gemborkan sebagai “pendidikan yang menciptakan manusia siap pakai. Dan
“siap pakai” di sini berarti menghasilkan tenaga-tenaga yang dibutuhkan dalam
pengembangan dan persaingan bidang industri dan teknologi. Memperhatikan secara
kritis hal tersebut, akan nampak bahwa dalam hal ini manusia dipandang sama seperti
bahan atau komponen pendukung industri. Itu berarti, lembaga pendidikan diharapkan
mampu menjadi lembaga produksi sebagai penghasil bahan atau komponen dengan
kualitas tertentu yang dituntut pasar. Kenyataan ini nampaknya justru disambut dengan
antusias oleh banyak lembaga pendidikan.
Masalah kedua adalah sistem pendidikan yang top-down (dari atas ke bawah) atau kalau
menggunakan istilah Paulo Freire (seorang tokoh pendidik dari Amerika Latin) adalah
pendidikan gaya bank. Sistem pendidikan ini sangat tidak membebaskan karena para
peserta didik (murid) dianggap manusia-manusia yang tidak tahu apa-apa. Guru sebagai
pemberi mengarahkan kepada murid-murid untuk menghafal secara mekanis apa isi
pelajaran yang diceritakan. Guru sebagai pengisi dan murid sebagai yang diisi. Otak
murid dipandang sebagai safe deposit box, dimana pengetahuan dari guru ditransfer
kedalam otak murid dan bila sewaktu-waktu diperlukan, pengetahuan tersebut tinggal
diambil saja. Murid hanya menampung apa saja yang disampaikan guru.
Jadi hubungannya adalah guru sebagai subyek dan murid sebagai obyek. Model
pendidikan ini tidak membebaskan karena sangat menindas para murid. Freire
mengatakan bahwa dalam pendidikan gaya bank pengetahuan merupakan sebuah
anugerah yang dihibahkan oleh mereka yang menganggap dirinya berpengetahuan
kepada mereka yang dianggap tidak mempunyai pengetahuan apa-apa.
Yang ketiga, dari model pendidikan yang demikian maka manusia yang dihasilkan
pendidikan ini hanya siap untuk memenuhi kebutuhan zaman dan bukannya bersikap
kritis terhadap zamannya. Manusia sebagai objek (yang adalah wujud dari
dehumanisasi) merupakan fenomena yang justru bertolak belakang dengan visi
humanisasi, menyebabkan manusia tercerabut dari akar-akar budayanya (seperti di
dunia Timur/Asia). Bukankah kita telah sama-sama melihat bagaimana kaum muda
zaman ini begitu gandrung dengan hal-hal yang berbau Barat? Oleh karena itu strategi
27
pendidikan di Indonesia harus terlebur dalam “strategi kebudayaan Asia”, sebab Asia
kini telah berkembang sebagai salah satu kawasan penentu yang strategis dalam bidang
ekonomi, sosial, budaya bahkan politik internasional. Bukan bermaksud anti-Barat
kalau hal ini penulis kemukakan. Melainkan justru hendak mengajak kita semua untuk
melihat kenyataan ini sebagai sebuah tantangan bagi dunia pendidikan kita. Mampukah
kita menjadikan lembaga pendidikan sebagai sarana interaksi kultural untuk membentuk
manusia yang sadar akan tradisi dan kebudayaan serta keberadaan masyarakatnya
sekaligus juga mampu menerima dan menghargai keberadaan tradisi, budaya dan situasi
masyarakat lain? Dalam hal ini, makna pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara
menjadi sangat relevan untuk direnungkan.
B. Kualitas Pendidikan di Indonesia
Ada dua faktor yang mempengaruhi kualitas pendidikan, khususnya di Indonesia yaitu :
- Faktor internal, meliputi jajaran dunia pendidikan baik itu Departemen Pendidikan
Nasional, Dinas Pendidikan daerah, dan juga sekolah yang berada di garis
depan.Dalam hal ini,interfensi dari pihak-pihak yang terkait sangatlah dibutuhkan
agar pendidikan senantiasa selalu terjaga dengan baik.
- Faktor eksternal, adalah masyarakat pada umumnya.Dimana,masyarakat merupakan
ikon pendidikan dan merupakan tujuan dari adanya pendidikan yaitu sebagai objek dari
pendidikan. Proses pendidikan yang baik adalah dengan memberikan kesempatan pada
anak untuk kreatif. Itu harus dilakukan sebab pada dasarnya gaya berfikir anak tidak
bisa diarahkan.
Untuk mengatasi masalah-masalah, seperti rendahnya kualitas sarana fisik,
rendahnya kualitas guru, dan lain-lain seperti yang telah dijelaskan diatas, secara
garis besar ada dua solusi yaitu:
28
- Solusi sistemik, yakni solusi dengan mengubah sistem-sistem sosial yang berkaitan
dengan sistem pendidikan. Seperti diketahui sistem pendidikan sangat berkaitan
dengan sistem ekonomi yang diterapkan. Sistem pendidikan di Indonesia
sekarang ini, diterapkan dalam konteks sistem ekonomi kapitalisme (mazhab
neoliberalisme), yang berprinsip antara lain meminimalkan peran dan tanggung
jawab negara dalam urusan publik, termasuk pendanaan pendidikan.
- Solusi teknis, yakni solusi yang menyangkut hal-hal teknis yang berkait langsung
dengan pendidikan. Solusi ini misalnya untuk menyelesaikan masalah kualitas
guru dan prestasi siswa.
Solusi untuk masalah-masalah teknis dikembalikan kepada upaya-upaya praktis
untuk meningkatkan kualitas sistem pendidikan. Rendahnya kualitas guru, misalnya,
di samping diberi solusi peningkatan kesejahteraan, juga diberi solusi dengan
membiayai guru melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, dan
memberikan berbagai pelatihan untuk meningkatkan kualitas guru. Rendahnya
prestasi siswa, misalnya, diberi solusi dengan meningkatkan kualitas dan kuantitas
materi pelajaran, meningkatkan alat-alat peraga dan sarana-sarana pendidikan, dan
sebagainya.
Maka dengan adanya solusi-solusi tersebut diharapkan pendidikan di Indonesia
dapat bangkit dari keterpurukannya, sehingga dapat menciptakan generasi-generasi
baru yang berSDM tinggi, berkepribadian pancasila dan bermartabat.
BAB IV
PENUTUP
A. Simpulan
29
Banyak sekali factor yang menjadikan rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia.
Factor-faktor yang bersifat teknis diantaranya adalah rendahnya kualitas guru,
rendahnya sarana fisik, mahalnya biaya pendidikan, rendahnya prestasi siswa,
rendahnya kesejahteraan guru, rendahnya relevansi pendidikan dengan kebutuhan,
kurangnya pemerataan kesempatan pendidikan. Namun sebenarnya yang menjadi
masalah mendasar dari pendidikan di Indonesia adalah sistem pendidikan di Indonesia
itu sendiri yang menjadikan siswa sebagai objek, sehingga manusia yang dihasilkan dari
sistem ini adalah manusia yang hanya siap untuk memenuhi kebutuhan zaman dan
bukannya bersikap kritis terhadap zamannya. Maka disinilah dibutuhkan kerja sama
antara pemerintah dan mesyarakat untuk mengatasi segala permasalahan pendidikan di
Indonesia
30
PERMASALAHAN PENDIDIKAN DI INDONESIA
Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Seminar Ekonomi Akuntansi
Dosen Pengampu Drs. Djoko Suwandi, SE., M.Pd
Disusun
ROMI VIRA LUKI P
A210100032
PENDIDIKAN AKUNTANSI
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2013
31
A. PENDAHULUAN
Pendidikan Indonesia semakin hari kualitasnya makin rendah. Berdasarkan Survey United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO), terhadap kualitas pendidikan di Negara-negara berkembang di Asia Pacific, Indonesia menempati peringkat 10 dari 14 negara. Sedangkan untuk kualitas para guru, kulitasnya berada pada level 14 dari 14 negara berkembang.
Salah satu faktor rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia adalah karena lemahnya para guru dalam menggali potensi anak. Para pendidik seringkali memaksakan kehendaknya tanpa pernah memperhatikan kebutuhan, minat dan bakat yang dimiliki siswanya. Kelemahan para pendidik kita, mereka tidak pernah menggali masalah dan potensi para siswa. Pendidikan seharusnya memperhatikan kebutuhan anak bukan malah memaksakan sesuatu yang membuat anak kurang nyaman dalam menuntut ilmu. Proses pendidikan yang baik adalah dengan memberikan kesempatan pada anak untuk kreatif. Itu harus dilakukan sebab pada dasarnya gaya berfikir anak tidak bisa diarahkan.
Selain kurang kreatifnya para pendidik dalam membimbing siswa, kurikulum yang sentralistik membuat potret pendidikan semakin buram. Kurikulum hanya didasarkan pada pengetahuan pemerintah tanpa memperhatikan kebutuhan masyarakat. Lebih parah lagi, pendidikan tidak mampu menghasilkan lulusan yang kreatif. Ini salahnya, kurikulum dibuat di Jakarta dan tidak memperhatikan kondisi di masyarakat bawah. Jadi, para lulusan hanya pintar cari kerja dan tidak pernah bisa menciptakan lapangan kerja sendiri, padahal lapangan pekerjaan yang tersedia terbatas. Kualitas pendidikan Indonesia sangat memprihatinkan. Berdasarkan analisa dari badan
32
pendidikan dunia (UNESCO), kualitas para guru Indonesia menempati peringkat terakhir dari 14 negara berkembang di Asia Pacifik. Posisi tersebut menempatkan negeri agraris ini dibawah Vietnam yang negaranya baru merdeka beberapa tahun lalu. Ini juga kesalahan negara yang tidak serius untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Dari sinilah penulis mencoba untuk membahas lebih dalam mengenai pendidikan di Indonesia dan segala dinamikanya.
B. Masalah Mendasar Pendidikan di Indonesia
Bagi orang-orang yang berkompeten terhadap bidang pendidikan akan menyadari bahwa dunia pendidikan kita sampai saat ini masih mengalami “sakit”. Dunia pendidikan yang “sakit” ini disebabkan karena pendidikan yang seharusnya membuat manusia menjadi manusia, tetapi dalam kenyataannya seringkali tidak begitu. Seringkali pendidikan tidak memanusiakan manusia. Kepribadian manusia cenderung direduksi oleh sistem pendidikan yang ada.
Masalah pertama adalah bahwa pendidikan, khususnya di Indonesia, menghasilkan “manusia robot”. Pendidikan ternyata mengorbankan keutuhan. Kurang seimbang antara belajar yang berpikir (kognitif) dan perilaku belajar yang merasa (afektif). Jadi unsur integrasi cenderung semakin hilang, yang terjadi adalah disintegrasi. Padahal belajar tidak hanya berfikir. Sebab ketika orang sedang belajar, maka orang yang sedang belajar tersebut melakukan berbagai macam kegiatan, seperti mengamati, membandingkan, meragukan, menyukai, semangat dan sebagainya. Hal yang sering disinyalir ialah pendidikan seringkali dipraktekkan sebagai sederetan instruksi dari guru kepada murid.
Masalah kedua adalah sistem pendidikan yang top-down (dari atas ke bawah) atau kalau menggunakan istilah Paulo Freire (seorang tokoh pendidik dari Amerika Latin) adalah pendidikan gaya bank. Sistem pendidikan ini sangat tidak membebaskan karena para peserta didik (murid) dianggap manusia-manusia yang tidak tahu apa-apa. Guru sebagai pemberi mengarahkan kepada murid-murid untuk menghafal secara mekanis apa isi pelajaran yang diceritakan. Guru sebagai pengisi dan murid sebagai yang diisi.Freire mengatakan bahwa dalam pendidikan gaya bank pengetahuan merupakan sebuah anugerah yang dihibahkan oleh mereka yang menganggap dirinya berpengetahuan kepada mereka yang dianggap tidak mempunyai pengetahuan apa-apa.
33
Yang ketiga, dari model pendidikan yang demikian maka manusia yang dihasilkan pendidikan ini hanya siap untuk memenuhi kebutuhan zaman dan bukannya bersikap kritis terhadap zamannya. Manusia sebagai objek (yang adalah wujud dari dehumanisasi) merupakan fenomena yang justru bertolak belakang dengan visi humanisasi, menyebabkan manusia tercerabut dari akar-akar budayanya (seperti di dunia Timur/Asia). Bukankah kita telah sama-sama melihat bagaimana kaum muda zaman ini begitu gandrung dengan hal-hal yang berbau Barat? Oleh karena itu strategi pendidikan di Indonesia harus terlebur dalam “strategi kebudayaan Asia”, sebab Asia kini telah berkembang sebagai salah satu kawasan penentu yang strategis dalam bidang ekonomi, sosial, budaya bahkan politik internasional.
C. Kualitas Pendidikan di Indonesia
Ada dua faktor yang mempengaruhi kualitas pendidikan, khususnya di Indonesia yaitu :
1. Faktor internal, meliputi jajaran dunia pendidikan baik itu Departemen Pendidikan Nasional, Dinas Pendidikan daerah, dan juga sekolah yang berada di garis depan.Dalam hal ini,interfensi dari pihak-pihak yang terkait sangatlah dibutuhkan agar pendidikan senantiasa selalu terjaga dengan baik.
2. Faktor eksternal, adalah masyarakat pada umumnya. Dimana masyarakat merupakan ikon pendidikan dan merupakan tujuan dari adanya pendidikan yaitu sebagai objek dari pendidikan.
D. Faktor-faktor penyebab terpuruknya kualitas pendidikan Indonesia
1. Rendahnya Kualitas Sarana Fisik
Untuk sarana fisik misalnya, banyak sekali sekolah dan perguruan tinggi kita yang gedungnya rusak, kepemilikan dan penggunaan media belajar rendah, buku perpustakaan tidak lengkap. Sementara laboratorium tidak standar, pemakaian teknologi informasi tidak memadai dan sebagainya. Bahkan masih banyak sekolah yang tidak memiliki gedung sendiri, tidak memiliki perpustakaan, tidak memiliki laboratorium dan sebagainya.
2. Rendahnya Kualitas Guru
Keadaan guru di Indonesia juga amat memprihatinkan. Kebanyakan guru belum memiliki profesionalisme yang memadai untuk menjalankan tugasnya
34
sebagaimana disebut dalam pasal 39 UU No 20/2003 yaitu merencanakan pembelajaran, melaksanakan pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan, melakukan pelatihan, melakukan penelitian dan melakukan pengabdian masyarakat.
Kendati secara kuantitas jumlah guru di Indonesia cukup memadai, namun secara kualitas mutu guru di negara ini, pada umumnya masih rendah. Secara umum, para guru di Indonesia kurang bisa memerankan fungsinya dengan optimal, karena pemerintah masih kurang memperhatikan mereka, khususnya dalam upaya meningkatkan profesionalismenya. Meskipun demikian, dalam hal distribusi guru ternyata banyak mengandung kelemahan yakni pada satu sisi ada daerah atau sekolah yang kelebihan jumlah guru, dan di sisi lain ada daerah atau sekolah yang kekurangan guru. Dalam banyak kasus, ada SD yang jumlah gurunya hanya tiga hingga empat orang, sehingga mereka harus mengajar kelas secara paralel dan simultan.
3. Rendahnya Kesejahteraan Guru
Rendahnya kesejahteraan guru mempunyai peran dalam membuat rendahnya kualitas pendidikan Indonesia. Dengan pendapatan yang rendah, terang saja banyak guru terpaksa melakukan pekerjaan sampingan.
Dengan adanya UU Guru dan Dosen, barangkali kesejahteraan guru dan dosen (PNS) agak lumayan. Pasal 10 UU itu sudah memberikan jaminan kelayakan hidup. Di dalam pasal itu disebutkan guru dan dosen akan mendapat penghasilan yang pantas dan memadai, antara lain meliputi gaji pokok, tunjangan yang melekat pada gaji, tunjangan profesi, dan/atau tunjangan khusus serta penghasilan lain yang berkaitan dengan tugasnya. Mereka yang diangkat pemkot/pemkab bagi daerah khusus juga berhak atas rumah dinas. Tapi, kesenjangan kesejahteraan guru swasta dan negeri menjadi masalah lain yang muncul. Di lingkungan pendidikan swasta, masalah kesejahteraan masih sulit mencapai taraf ideal.
4. Rendahnya Prestasi Siswa
Dengan keadaan yang demikian itu (rendahnya sarana fisik, kualitas guru, dan kesejahteraan guru) pencapaian prestasi siswa pun menjadi tidak memuaskan. Sebagai misal pencapaian prestasi fisika dan matematika siswa Indonesia di dunia internasional sangat rendah. Menurut Trends in Mathematic and Science Study (TIMSS) 2003 (2004), siswa Indonesia hanya berada di ranking ke-35 dari 44 negara dalam hal prestasi matematika dan di ranking ke-37 dari 44
35
negara dalam hal prestasi sains. Dalam hal ini prestasi siswa kita jauh di bawah siswa Malaysia dan Singapura sebagai negara tetangga yang terdekat.
Anak-anak Indonesia ternyata hanya mampu menguasai 30% dari materi bacaan dan ternyata mereka sulit sekali menjawab soal-soal berbentuk uraian yang memerlukan penalaran. Hal ini mungkin karena mereka sangat terbiasa menghafal dan mengerjakan soal pilihan ganda.
5. Mahalnya Biaya Pendidikan
Pendidikan bermutu itu mahal. Kalimat ini sering muncul untuk menjustifikasi mahalnya biaya yang harus dikeluarkan masyarakat untuk mengenyam bangku pendidikan. Mahalnya biaya pendidikan dari Taman Kanak-Kanak (TK) hingga Perguruan Tinggi (PT) membuat masyarakat miskin tidak memiliki pilihan lain kecuali tidak bersekolah. Orang miskin tidak boleh sekolah.
Sekolah tentu saja akan mematok biaya setinggi-tingginya untuk meningkatkan dan mempertahankan mutu. Akibatnya, akses rakyat yang kurang mampu untuk menikmati pendidikan berkualitas akan terbatasi dan masyarakat semakin terkotak-kotak berdasarkan status sosial, antara yang kaya dan miskin.
Bagi masyarakat tertentu, beberapa PTN yang sekarang berubah status menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN) itu menjadi momok. Jika alasannya bahwa pendidikan bermutu itu harus mahal, maka argumen ini hanya berlaku di Indonesia. Di Jerman, Prancis, Belanda, dan di beberapa negara berkembang lainnya, banyak perguruan tinggi yang bermutu namun biaya pendidikannya rendah. Bahkan beberapa negara ada yang menggratiskan biaya pendidikan.
E. Solusi Pendidikan di Indonesia
Untuk mengatasi masalah-masalah, seperti rendahnya kualitas sarana fisik, rendahnya kualitas guru, dan lain-lain seperti yang telah dijelaskan diatas, secara garis besar ada dua solusi yaitu:
1. Solusi sistemik, yakni solusi dengan mengubah sistem-sistem sosial yang berkaitan dengan sistem pendidikan. Seperti diketahui sistem pendidikan sangat berkaitan dengan sistem ekonomi yang diterapkan. Sistem pendidikan di Indonesia sekarang ini, diterapkan dalam konteks sistem ekonomi kapitalisme (mazhab neoliberalisme), yang berprinsip
36
antara lain meminimalkan peran dan tanggung jawab negara dalam urusan publik, termasuk pendanaan pendidikan.
2. Solusi teknis, yakni solusi yang menyangkut hal-hal teknis yang berkait langsung dengan pendidikan. Solusi ini misalnya untuk menyelesaikan masalah kualitas guru dan prestasi siswa.
Solusi untuk masalah-masalah teknis dikembalikan kepada upaya-upaya praktis untuk meningkatkan kualitas sistem pendidikan. Rendahnya kualitas guru, misalnya, di samping diberi solusi peningkatan kesejahteraan, juga diberi solusi dengan membiayai guru melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, dan memberikan berbagai pelatihan untuk meningkatkan kualitas guru. Rendahnya prestasi siswa, misalnya, diberi solusi dengan meningkatkan kualitas dan kuantitas materi pelajaran, meningkatkan alat-alat peraga dan sarana-sarana pendidikan, dan sebagainya.
Maka dengan adanya solusi-solusi tersebut diharapkan pendidikan di Indonesia dapat bangkit dari keterpurukannya, sehingga dapat menciptakan generasi-generasi baru yang berSDM tinggi, berkepribadian pancasila dan bermartabat.
F. Kesimpulan
Banyak sekali factor yang menjadikan rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia. Factor-faktor yang bersifat teknis diantaranya adalah rendahnya kualitas guru, rendahnya sarana fisik, mahalnya biaya pendidikan, rendahnya prestasi siswa, rendahnya kesejahteraan guru, rendahnya relevansi pendidikan dengan kebutuhan, kurangnya pemerataan kesempatan pendidikan. Namun sebenarnya yang menjadi masalah mendasar dari pendidikan di Indonesia adalah sistem pendidikan di Indonesia itu sendiri yang menjadikan siswa sebagai objek, sehingga manusia yang dihasilkan dari sistem ini adalah manusia yang hanya siap untuk memenuhi kebutuhan zaman dan bukannya bersikap kritis terhadap zamannya. Maka disinilah dibutuhkan kerja sama antara pemerintah dan mesyarakat untuk mengatasi segala permasalahanpendidikan di Indonesia.
37
MAKALAH
Masalah Pendidikan Di Indonesia
Mata Kuliah
PENGEMBANGAN KURIKULUM PENDIDIKAN IPS TERPADU
Dosen Pengampu :
Dra.Hj.Sri Pawiti,M.Pd
Disusun oleh :
MARYONO NIM : 15155140036
UNIVERSITAS PERSATUAN GURU REPUBLIK IINDONESIA
38
PROGRAM PASCASARJANA (S-2) PROGRAM STUDI PENDIDIKAN ILMU
PENGETAHUAN SOSIAL
YOGYAKARTA 201
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan Indonesia kualitasnya masih rendah, berdasarkan Survey
United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization
(UNESCO), terhadap kualitas pendidikan di Negara-negara
berkembang di Asia Pacific, Indonesia menempati peringkat 10 dari
14 negara. Sedangkan untuk kualitas para guru, kulitasnya berada
pada level 14 dari 14 negara berkembang.
Salah satu faktor rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia adalah
karena lemahnya para guru dalam menggali potensi anak. Belum
secara spesifik memperhatikan kebutuhan, minat dan bakat yang
dimiliki siswanya. Pendidikan seharusnya memperhatikan kebutuhan
anak bukan malah memaksakan sesuatu yang membuat anak kurang
nyaman dalam menuntut ilmu. Selain kurang kreatifnya para pendidik
dalam membimbing siswa, kurikulum yang sentralistik membuat
potret pendidikan semakin buram. Kurikulum hanya didasarkan pada
pengetahuan pemerintah tanpa memperhatikan kebutuhan
masyarakat. Lebih parah lagi, pendidikan tidak mampu menghasilkan
lulusan yang kreatif. Ini salahnya, kurikulum dibuat di Jakarta dan
tidak memperhatikan kondisi di masyarakat bawah. Jadi, para lulusan
hanya pintar cari kerja dan tidak pernah bisa menciptakan lapangan
kerja sendiri, padahal lapangan pekerjaan yang tersedia terbatas.
Sedangkan untuk kemampuan membaca, Indonesia berada pada
peringkat 39 dari 42 negara berkembang di dunia. Ini juga kesalahan
negara yang tidak serius untuk meningkatkan kualitas pendidikan.
39
Dari sinilah penulis mencoba untuk membahas lebih dalam mengenai
pendidikan di Indonesia dan segala dinamikanya.
Memasuki abad ke- 21 dunia pendidikan di Indonesia menjadi heboh.
Kehebohan tersebut bukan disebabkan oleh kehebatan mutu
pendidikan nasional tetapi lebih banyak disebabkan karena kesadaran
akan bahaya keterbelakangan pendidikan di Indonesia. Perasan ini
disebabkan karena beberapa hal yang mendasar.
Salah satunya adalah memasuki abad ke- 21 gelombang globalisasi
dirasakan kuat dan terbuka. Kemajaun teknologi dan perubahan yang
terjadi memberikan kesadaran baru bahwa Indonesia tidak lagi berdiri
sendiri. Indonesia berada di tengah-tengah dunia yang baru, dunia
terbuka sehingga orang bebas membandingkan kehidupan dengan
negara lain.
Yang kita rasakan sekarang adalah adanya ketertinggalan didalam
mutu pendidikan. Baik pendidikan formal maupun informal. Dan hasil
itu diperoleh setelah kita membandingkannya dengan negara lain.
Pendidikan memang telah menjadi penopang dalam meningkatkan
sumber daya manusia Indonesia untuk pembangunan bangsa. Oleh
karena itu, kita seharusnya dapat meningkatkan sumber daya
manusia Indonesia yang tidak kalah bersaing dengan sumber daya
manusia di negara-negara lain.
Setelah kita amati, nampak jelas bahwa masalah yang serius dalam
peningkatan mutu pendidikan di Indonesia adalah rendahnya mutu
pendidikan di berbagai jenjang pendidikan, baik pendidikan formal
maupun informal. Dan hal itulah yang menyebabkan rendahnya mutu
pendidikan yang menghambat penyediaan sumber daya menusia
yang mempunyai keahlian dan keterampilan untuk memenuhi
pembangunan bangsa di berbagai bidang.
Penyebab rendahnya mutu pendidikan di Indonesia antara lain adalah
masalah efektifitas, efisiensi dan standardisasi pengajaran. Hal
40
tersebut masih menjadi masalah pendidikan di Indonesia pada
umumnya. Adapun permasalahan khusus dalam dunia pendidikan
yaitu:(1). Rendahnya sarana fisik,(2). Rendahnya kualitas guru,(3).
Rendahnya kesejahteraan guru,(4). Rendahnya prestasi siswa,(5).
Rendahnya kesempatan pemerataan pendidikan,(6). Rendahnya
relevansi pendidikan dengan kebutuhan,(7). Mahalnya biaya
pendidikan.
Permasalahan-permasalahan yang tersebut di atas akan menjadi
bahan bahasan dalam makalah yang berjudul “ Rendahnya Kualitas
Pendidikan di Indonesia” ini.
B. Rumusan Masalah
1.Bagaimana ciri-ciri pendidikan di Indonesia?
2.Apa saja yang menjadi penyebab rendahnya kualitas pendidikan
diIndonesia?
3.Bagaimana solusi dari permasalahan-permasalahan pendidikan
di Indonesia?
C. Tujuan Penulisan
1.Mendeskripsikan ciri-ciri pendidikan di Indonesia.
2.Mendeskripsikan hal-hal yang menjadi penyebab rendahnya
mutu pendidikan di Indonesia.
3.Mendeskripsikan solusi yang dapat diberikan dari permasalahan-
permasalahan pendidikan di Indonesia.
D. Manfaat Penulisan
1. Bagi Pemerintah
Bisa dijadikan sebagai sumbangsih dalam meningkatkan kualitas
pendidikan di Indonesia.
2. Bagi Guru
Bisa dijadikan sebagai acuan dalam mengajar agar para peserta
didiknya dapat berprestasi lebih baik dimasa yang akan datang.
3. Bagi Mahasiswa
41
Bisa dijadikan sebagai bahan kajian belajar dalam rangka
meningkatkan prestasi diri pada khususnya dan meningkatkan
kualitas pendidikan pada umumnya.
BAB II
PEMBAHASAN
42
A. Ciri-ciri Pendidikan di Indonesia
Cara melaksanakan pendidikan di Indonesia sudah tentu tidak
terlepas dari tujuan pendidikan di Indonesia, sebab pendidikan
Indonesia yang dimaksud di sini ialah pendidikan yang dilakukan di
bumi Indonesia untuk kepentingan bangsa Indonesia.Aspek
ketuhanan sudah dikembangkan dengan banyak cara seperti melalui
pendidikan-pendidikan agama di sekolah maupun di perguruan tinggi,
melalui ceramah-ceramah agama di masyarakat, melalui kehidupan
beragama di asrama-asrama, lewat mimbar-mimbar agama dan
ketuhanan di televisi, melalui radio, surat kabar dan sebagainya.
Bahan-bahan yang diserap melalui media itu akan berintegrasi dalam
rohani para siswa/mahasiswa. Pengembangan pikiran sebagian besar
dilakukan di sekolah-sekolah atau perguruan-perguruan tinggi melalui
bidang studi-bidang studi yang mereka pelajari. Pikiran para
siswa/mahasiswa diasah melalui pemecahan soal-soal, pemecahan
berbagai masalah, menganalisis sesuatu serta menyimpulkannya.
Seperti yang telah kita ketahui, kualitas pendidikan di Indonesia
masih rendah, hal ini terbukti dari kualitas guru, sarana belajar, dan
murid-muridnya. Guru-guru tentunya punya harapan terpendam yang
tidak dapat mereka sampaikan kepada siswanya. Memang, guru-guru
saat ini kurang kompeten. Banyak orang yang menjadi guru karena
tidak diterima di jurusan lain atau kekurangan dana. Kecuali guru-
guru lama yang sudah lama mendedikasikan dirinya menjadi guru.
Selain berpengalaman mengajar murid, mereka memiliki pengalaman
yang dalam mengenai pelajaran yang mereka ajarkan. Belum lagi
masalah gaji guru. Jika fenomena ini dibiarkan berlanjut, tidak lama
lagi pendidikan di Indonesia akan hancur mengingat banyak guru-
guru berpengalaman yang pensiun.
Sarana pembelajaran juga turut menjadi faktor semakin terpuruknya
pendidikan di Indonesia, terutama bagi penduduk di daerah
43
terbelakang. Namun, bagi penduduk di daerah terbelakang tersebut,
yang terpenting adalah ilmu terapan yang benar-benar dipakai buat
hidup dan kerja. Ada banyak masalah yang menyebabkan mereka
tidak belajar secara normal seperti kebanyakan siswa pada
umumnya, antara lain guru dan sekolah.
B.Penyebab rendahnya mutu pendidikan di
Indonesia.
Seperti yang kita lihat sekarang ini, standar dan kompetensi dalam
pendidikan formal maupun informal terlihat hanya keranjingan
terhadap standar dan kompetensi. Kualitas pendidikan diukur oleh
standard an kompetensi di dalam berbagai versi, demikian pula
sehingga dibentuk badan-badan baru untuk melaksanakan
standardisasi dan kompetensi tersebut seperti Badan Standardisasi
Nasional Pendidikan (BSNP).
Tinjauan terhadap standardisasi dan kompetensi untuk
meningkatkan mutu pendidikan akhirnya membawa kami dalam
pengunkapan adanya bahaya yang tersembunyi yaitu
kemungkinan adanya pendidikan yang terkekung oleh standar
kompetensi saja sehngga kehilangan makna dan tujuan pendidikan
tersebut.
Peserta didik Indonesia terkadang hanya memikirkan bagaiman
agar mencapai standar pendidikan saja, bukan bagaimana agar
pendidikan yang diambil efektif dan dapat digunakan. Tidak
perduli bagaimana cara agar memperoleh hasil atau lebih
spesifiknya nilai yang diperoleh, yang terpentinga adalah
memenuhi nilai di atas standar saja.
Hal seperti di atas sangat disayangkan karena berarti pendidikan
seperti kehilangan makna saja karena terlalu menuntun standar
kompetensi. Hal itu jelas salah satu penyebab rendahnya mutu
pendidikan di Indonesia.
44
Selain itu, akan lebih baik jika kita mempertanyakan kembali
apakah standar pendidikan di Indonesia sudah sesuai atau belum.
Dalam kasus UAN yang hampir selalu menjadi kontrofesi misalnya.
Kami menilai adanya sistem evaluasi seperti UAN sudah cukup
baik, namun yang kami sayangkan adalah evaluasi pendidikan
seperti itu yang menentukan lulus tidaknya peserta didik
mengikuti pendidikan, hanya dilaksanakan sekali saja tanpa
melihat proses yang dilalu peserta didik yang telah menenpuh
proses pendidikan selama beberapa tahun. Selain hanya
berlanhsug sekali, evaluasi seperti itu hanya mengevaluasi 3
bidang studi saja tanpa mengevaluasi bidang studi lain yang telah
didikuti oleh peserta didik.
Banyak hal lain juga yang sebenarnya dapat kami bahas dalam
pembahasan sandardisasi pengajaran di Indonesia. Juga
permasalahan yang ada di dalamnya, yang tentu lebih banyak,
dan membutuhkan penelitian yang lebih dalam lagi
Penyebab rendahnya mutu pendidikan di Indonesia juga tentu
tidah hanya sebatas yang kami bahas di atas. Banyak hal yang
menyebabkan rendahnya mutu pendidikan kita. Tentunya hal
seperti itu dapat kita temukan jika kita menggali lebih dalam akar
permasalahannya. Dan semoga jika kita mengetehui akar
permasalahannya, kita dapat memperbaiki mutu pendidikan di
Indonesia sehingga jadi kebih baik lagi.
Selain beberapa penyebab rendahnya kualitas pendidikan di atas,
berikut ini akan dipaparkan pula secara khusus beberapa masalah
yang menyebabkan rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia.
1. Rendahnya Kualitas Sarana Fisik
Untuk sarana fisik misalnya, banyak sekali sekolah dan perguruan
tinggi kita yang gedungnya rusak, kepemilikan dan penggunaan
media belajar rendah, buku perpustakaan tidak lengkap.
45
Sementara laboratorium tidak standar, pemakaian teknologi
informasi tidak memadai dan sebagainya. Bahkan masih banyak
sekolah yang tidak memiliki gedung sendiri, tidak memiliki
perpustakaan, tidak memiliki laboratorium dan sebagainya.
2. Rendahnya Kualitas Guru
Keadaan guru di Indonesia juga amat memprihatinkan.
Kebanyakan guru belum memiliki profesionalisme yang memadai
untuk menjalankan tugasnya sebagaimana disebut dalam pasal 39
UU No 20/2003 yaitu merencanakan pembelajaran, melaksanakan
pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan
pembimbingan, melakukan pelatihan, melakukan penelitian dan
melakukan pengabdian masyarakat.
Bukan itu saja, sebagian guru di Indonesia bahkan dinyatakan
tidak layak mengajar. Persentase guru menurut kelayakan
mengajar dalam tahun 2002-2003 di berbagai satuan pendidikan
sbb: untuk SD yang layak mengajar hanya 21,07% (negeri) dan
28,94% (swasta), untuk SMP 54,12% (negeri) dan 60,99%
(swasta), untuk SMA 65,29% (negeri) dan 64,73% (swasta), serta
untuk SMK yang layak mengajar 55,49% (negeri) dan 58,26%
(swasta).
Kelayakan mengajar itu jelas berhubungan dengan tingkat
pendidikan guru itu sendiri. Data Balitbang Depdiknas (1998)
menunjukkan dari sekitar 1,2 juta guru SD/MI hanya 13,8% yang
berpendidikan diploma D2-Kependidikan ke atas. Selain itu, dari
sekitar 680.000 guru SLTP/MTs baru 38,8% yang berpendidikan
diploma D3-Kependidikan ke atas. Di tingkat sekolah menengah,
dari 337.503 guru, baru 57,8% yang memiliki pendidikan S1 ke
atas. Di tingkat pendidikan tinggi, dari 181.544 dosen, baru
18,86% yang berpendidikan S2 ke atas (3,48% berpendidikan S3).
46
Walaupun guru dan pengajar bukan satu-satunya faktor penentu
keberhasilan pendidikan tetapi, pengajaran merupakan titik sentral
pendidikan dan kualifikasi, sebagai cermin kualitas, tenaga
pengajar memberikan andil sangat besar pada kualitas pendidikan
yang menjadi tanggung jawabnya. Kualitas guru dan pengajar
yang rendah juga dipengaruhi oleh masih rendahnya tingkat
kesejahteraan guru.
3. Rendahnya Kesejahteraan Guru
Rendahnya kesejahteraan guru mempunyai peran dalam membuat
rendahnya kualitas pendidikan Indonesia. Berdasarkan survei FGII
(Federasi Guru Independen Indonesia) pada pertengahan tahun
2005, idealnya seorang guru menerima gaji bulanan serbesar Rp 3
juta rupiah. Sekarang, pendapatan rata-rata guru PNS per bulan
sebesar Rp 1,5 juta. guru bantu Rp, 460 ribu, dan guru honorer di
sekolah swasta rata-rata Rp 10 ribu per jam. Dengan pendapatan
seperti itu, terang saja, banyak guru terpaksa melakukan
pekerjaan sampingan. Ada yang mengajar lagi di sekolah lain,
memberi les pada sore hari, menjadi tukang ojek, pedagang mie
rebus, pedagang buku/LKS, pedagang pulsa ponsel, dan
sebagainya (Republika, 13 Juli, 2005).
Dengan adanya UU Guru dan Dosen, barangkali kesejahteraan
guru dan dosen (PNS) agak lumayan. Pasal 10 UU itu sudah
memberikan jaminan kelayakan hidup. Di dalam pasal itu
disebutkan guru dan dosen akan mendapat penghasilan yang
pantas dan memadai, antara lain meliputi gaji pokok, tunjangan
yang melekat pada gaji, tunjangan profesi, dan/atau tunjangan
khusus serta penghasilan lain yang berkaitan dengan tugasnya.
Mereka yang diangkat pemkot/pemkab bagi daerah khusus juga
berhak atas rumah dinas.
47
Tapi, kesenjangan kesejahteraan guru swasta dan negeri menjadi
masalah lain yang muncul. Di lingkungan pendidikan swasta,
masalah kesejahteraan masih sulit mencapai taraf ideal.
Diberitakan Pikiran Rakyat 9 Januari 2006, sebanyak 70 persen
dari 403 PTS di Jawa Barat dan Banten tidak sanggup untuk
menyesuaikan kesejahteraan dosen sesuai dengan amanat UU
Guru dan Dosen (Pikiran Rakyat 9 Januari 2006).
4. Rendahnya Prestasi Siswa
Dengan keadaan yang demikian itu (rendahnya sarana fisik,
kualitas guru, dan kesejahteraan guru) pencapaian prestasi siswa
pun menjadi tidak memuaskan. Sebagai misal pencapaian prestasi
fisika dan matematika siswa Indonesia di dunia internasional
sangat rendah. Menurut Trends in Mathematic and Science Study
(TIMSS) 2003 (2004), siswa Indonesia hanya berada di ranking ke-
35 dari 44 negara dalam hal prestasi matematika dan di ranking
ke-37 dari 44 negara dalam hal prestasi sains. Dalam hal ini
prestasi siswa kita jauh di bawah siswa Malaysia dan Singapura
sebagai negara tetangga yang terdekat.
Dalam hal prestasi, 15 September 2004 lalu United Nations for
Development Programme (UNDP) juga telah mengumumkan hasil
studi tentang kualitas manusia secara serentak di seluruh dunia
melalui laporannya yang berjudul Human Development Report
2004. Di dalam laporan tahunan ini Indonesia hanya menduduki
posisi ke-111 dari 177 negara. Apabila dibanding dengan negara-
negara tetangga saja, posisi Indonesia berada jauh di bawahnya.
Dalam skala internasional, menurut Laporan Bank Dunia
(Greaney,1992), studi IEA (Internasional Association for the
Evaluation of Educational Achievement) di Asia Timur menunjukan
bahwa keterampilan membaca siswa kelas IV SD berada pada
peringkat terendah. Rata-rata skor tes membaca untuk siswa SD:
48
75,5 (Hongkong), 74,0 (Singapura), 65,1 (Thailand), 52,6 (Filipina),
dan 51,7 (Indonesia).
Anak-anak Indonesia ternyata hanya mampu menguasai 30% dari
materi bacaan dan ternyata mereka sulit sekali menjawab soal-
soal berbentuk uraian yang memerlukan penalaran. Hal ini
mungkin karena mereka sangat terbiasa menghafal dan
mengerjakan soal pilihan ganda.
Selain itu, hasil studi The Third International Mathematic and
Science Study-Repeat-TIMSS-R, 1999 (IEA, 1999) memperlihatkan
bahwa, diantara 38 negara peserta, prestasi siswa SLTP kelas 2
Indonesia berada pada urutan ke-32 untuk IPA, ke-34 untuk
Matematika. Dalam dunia pendidikan tinggi menurut majalah Asia
Week dari 77 universitas yang disurvai di asia pasifik ternyata 4
universitas terbaik di Indonesia hanya mampu menempati
peringkat ke-61, ke-68, ke-73 dan ke-75.
5. Kurangnya Pemerataan Kesempatan Pendidikan
Kesempatan memperoleh pendidikan masih terbatas pada tingkat
Sekolah Dasar. Data Balitbang Departemen Pendidikan Nasional
dan Direktorat Jenderal Binbaga Departemen Agama tahun 2000
menunjukan Angka Partisipasi Murni (APM) untuk anak usia SD
pada tahun 1999 mencapai 94,4% (28,3 juta siswa). Pencapaian
APM ini termasuk kategori tinggi. Angka Partisipasi Murni
Pendidikan di SLTP masih rendah yaitu 54, 8% (9,4 juta siswa).
Sementara itu layanan pendidikan usia dini masih sangat terbatas.
Kegagalan pembinaan dalam usia dini nantinya tentu akan
menghambat pengembangan sumber daya manusia secara
keseluruhan. Oleh karena itu diperlukan kebijakan dan strategi
pemerataan pendidikan yang tepat untuk mengatasi masalah
ketidakmerataan tersebut.
49
6. Rendahnya Relevansi Pendidikan Dengan Kebutuhan
Hal tersebut dapat dilihat dari banyaknya lulusan yang
menganggur. Data BAPPENAS (1996) yang dikumpulkan sejak
tahun 1990 menunjukan angka pengangguran terbuka yang
dihadapi oleh lulusan SMU sebesar 25,47%, Diploma/S0 sebesar
27,5% dan PT sebesar 36,6%, sedangkan pada periode yang sama
pertumbuhan kesempatan kerja cukup tinggi untuk masing-masing
tingkat pendidikan yaitu 13,4%, 14,21%, dan 15,07%. Menurut
data Balitbang Depdiknas 1999, setiap tahunnya sekitar 3 juta
anak putus sekolah dan tidak memiliki keterampilan hidup
sehingga menimbulkan masalah ketenagakerjaan tersendiri.
Adanya ketidakserasian antara hasil pendidikan dan kebutuhan
dunia kerja ini disebabkan kurikulum yang materinya kurang
funsional terhadap keterampilan yang dibutuhkan ketika peserta
didik memasuki dunia kerja.
7. Mahalnya Biaya Pendidikan
Pendidikan bermutu itu mahal. Kalimat ini sering muncul untuk
menjustifikasi mahalnya biaya yang harus dikeluarkan masyarakat
untuk mengenyam bangku pendidikan. Mahalnya biaya pendidikan
dari Taman Kanak-Kanak (TK) hingga Perguruan Tinggi (PT)
membuat masyarakat miskin tidak memiliki pilihan lain kecuali
tidak bersekolah. Orang miskin tidak boleh sekolah.
Untuk masuk TK dan SDN saja saat ini dibutuhkan biaya Rp
500.000, — sampai Rp 1.000.000. Bahkan ada yang memungut di
atas Rp 1 juta. Masuk SLTP/SLTA bisa mencapai Rp 1 juta sampai
Rp 5 juta.
Makin mahalnya biaya pendidikan sekarang ini tidak lepas dari
kebijakan pemerintah yang menerapkan MBS (Manajemen
Berbasis Sekolah). MBS di Indonesia pada realitanya lebih
dimaknai sebagai upaya untuk melakukan mobilisasi dana. Karena
50
itu, Komite Sekolah/Dewan Pendidikan yang merupakan organ MBS
selalu disyaratkan adanya unsur pengusaha.
Asumsinya, pengusaha memiliki akses atas modal yang lebih luas.
Hasilnya, setelah Komite Sekolah terbentuk, segala pungutan uang
selalu berkedok, “sesuai keputusan Komite Sekolah”. Namun, pada
tingkat implementasinya, ia tidak transparan, karena yang dipilih
menjadi pengurus dan anggota Komite Sekolah adalah orang-
orang dekat dengan Kepala Sekolah. Akibatnya, Komite Sekolah
hanya menjadi legitimator kebijakan Kepala Sekolah, dan MBS pun
hanya menjadi legitimasi dari pelepasan tanggung jawab negara
terhadap permasalahan pendidikan rakyatnya.
Kondisi ini akan lebih buruk dengan adanya RUU tentang Badan
Hukum Pendidikan (RUU BHP). Berubahnya status pendidikan dari
milik publik ke bentuk Badan Hukum jelas memiliki konsekuensi
ekonomis dan politis amat besar. Dengan perubahan status itu
Pemerintah secara mudah dapat melemparkan tanggung jawabnya
atas pendidikan warganya kepada pemilik badan hukum yang
sosoknya tidak jelas. Perguruan Tinggi Negeri pun berubah
menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN). Munculnya BHMN dan
MBS adalah beberapa contoh kebijakan pendidikan yang
kontroversial. BHMN sendiri berdampak pada melambungnya
biaya pendidikan di beberapa Perguruan Tinggi favorit.
Privatisasi atau semakin melemahnya peran negara dalam sektor
pelayanan publik tak lepas dari tekanan utang dan kebijakan untuk
memastikan pembayaran utang. Utang luar negeri Indonesia
sebesar 35-40 persen dari APBN setiap tahunnya merupakan faktor
pendorong privatisasi pendidikan. Akibatnya, sektor yang
menyerap pendanaan besar seperti pendidikan menjadi korban.
Dana pendidikan terpotong hingga tinggal 8 persen (Kompas,
10/5/2005).
51
Dari APBN 2005 hanya 5,82% yang dialokasikan untuk pendidikan.
Bandingkan dengan dana untuk membayar hutang yang menguras
25% belanja dalam APBN (www.kau.or.id). Rencana Pemerintah
memprivatisasi pendidikan dilegitimasi melalui sejumlah
peraturan, seperti Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional,
RUU Badan Hukum Pendidikan, Rancangan Peraturan Pemerintah
(RPP) tentang Pendidikan Dasar dan Menengah, dan RPP tentang
Wajib Belajar. Penguatan pada privatisasi pendidikan itu, misalnya,
terlihat dalam Pasal 53 (1) UU No 20/2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Dalam pasal itu disebutkan,
penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan
oleh Pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum
pendidikan.
Seperti halnya perusahaan, sekolah dibebaskan mencari modal
untuk diinvestasikan dalam operasional pendidikan. Koordinator
LSM Education Network for Justice (ENJ), Yanti Mukhtar (Republika,
10/5/2005) menilai bahwa dengan privatisasi pendidikan berarti
Pemerintah telah melegitimasi komersialisasi pendidikan dengan
menyerahkan tanggung jawab penyelenggaraan pendidikan ke
pasar. Dengan begitu, nantinya sekolah memiliki otonomi untuk
menentukan sendiri biaya penyelenggaraan pendidikan. Sekolah
tentu saja akan mematok biaya setinggi-tingginya untuk
meningkatkan dan mempertahankan mutu. Akibatnya, akses
rakyat yang kurang mampu untuk menikmati pendidikan
berkualitas akan terbatasi dan masyarakat semakin terkotak-kotak
berdasarkan status sosial, antara yang kaya dan miskin.
Hal senada dituturkan pengamat ekonomi Revrisond Bawsir.
Menurut dia, privatisasi pendidikan merupakan agenda Kapitalisme
global yang telah dirancang sejak lama oleh negara-negara donor
lewat Bank Dunia. Melalui Rancangan Undang-Undang Badan
52
Hukum Pendidikan (RUU BHP), Pemerintah berencana
memprivatisasi pendidikan. Semua satuan pendidikan kelak akan
menjadi badan hukum pendidikan (BHP) yang wajib mencari
sumber dananya sendiri. Hal ini berlaku untuk seluruh sekolah
negeri, dari SD hingga perguruan tinggi.
Bagi masyarakat tertentu, beberapa PTN yang sekarang berubah
status menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN) itu menjadi
momok. Jika alasannya bahwa pendidikan bermutu itu harus
mahal, maka argumen ini hanya berlaku di Indonesia. Di Jerman,
Prancis, Belanda, dan di beberapa negara berkembang lainnya,
banyak perguruan tinggi yang bermutu namun biaya
pendidikannya rendah. Bahkan beberapa negara ada yang
menggratiskan biaya pendidikan.
C. solusi dari permasalahan-permasalahan
pendidikan di Indonesia
Pendidikan ini menjadi tanggung jawab pemerintah sepenuhnya,”
kata Presiden Susilo Bambang Yudhoyono usai rapat kabinet terbatas
di Gedung Depdiknas, Jl Jenderal Sudirman, Jakarta, Senin
(12/3/2007).
Presiden memaparkan beberapa langkah yang akan dilakukan oleh
pemerintah dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan di
Indonesia, antara lain yaitu:
1)Langkah pertama yang akan dilakukan pemerintah, yakni
meningkatkan akses terhadap masyarakat untuk bisa menikmati
pendidikan di Indonesia. Tolak ukurnya dari angka partisipasi.
2)Langkah kedua, menghilangkan ketidakmerataan dalam akses
pendidikan, seperti ketidakmerataan di desa dan kota, serta jender.
53
3)Langkah ketiga, meningkatkan mutu pendidikan dengan
meningkatkan kualifikasi guru dan dosen, serta meningkatkan nilai
rata-rata kelulusan dalam ujian nasional.
4)Langkah keempat, pemerintah akan menambah jumlah jenis
pendidikan di bidang kompetensi atau profesi sekolah kejuruan.
Untuk menyiapkan tenaga siap pakai yang dibutuhkan.
5)Langkah kelima, pemerintah berencana membangun infrastruktur
seperti menambah jumlah komputer dan perpustakaan di sekolah-
sekolah.
6)Langkah keenam, pemerintah juga meningkatkan anggaran
pendidikan. Untuk tahun ini dianggarkan Rp 44 triliun.
7)Langkah ketujuh, adalah penggunaan teknologi informasi dalam
aplikasi pendidikan.
8)Langkah terakhir, pembiayaan bagi masyarakat miskin untuk bisa
menikmati fasilitas penddikan.
Di bawah ini akan diuraikan beberapa penyebab rendahnya kualitas
pendidikan di Indonesia secara umum, yaitu:
1. Efektifitas Pendidikan Di Indonesia
Pendidikan yang efektif adalah suatu pendidikan yang memungkinkan
peserta didik untuk dapat belajar dengan mudah, menyenangkan dan
dapat tercapai tujuan sesuai dengan yang diharapkan. Dengan
demikian, pendidik (dosen, guru, instruktur, dan trainer) dituntut
untuk dapat meningkatkan keefektifan pembelajaran agar
pembelajaran tersebut dapat berguna.
Efektifitas pendidikan di Indonesia sangat rendah. Setelah praktisi
pendidikan melakukan penelitian dan survey ke lapangan, salah satu
penyebabnya adalah tidak adanya tujuan pendidikan yang jelas
sebelm kegiatan pembelajaran dilaksanakan. Hal ini menyebabkan
peserta didik dan pendidik tidak tahu “goal” apa yang akan dihasilkan
54
sehingga tidak mempunyai gambaran yang jelas dalam proses
pendidikan. Jelas hal ini merupakan masalah terpenting jika kita
menginginkan efektifitas pengajaran. Bagaimana mungkin tujuan
akan tercapai jika kita tidak tahu apa tujuan kita.
Selama ini, banyak pendapat beranggapan bahwa pendidikan formal
dinilai hanya menjadi formalitas saja untuk membentuk sumber daya
manusia Indonesia. Tidak perduli bagaimana hasil pembelajaran
formal tersebut, yang terpenting adalah telah melaksanakan
pendidikan di jenjang yang tinggi dan dapat dianggap hebat oleh
masyarakat. Anggapan seperti itu jugalah yang menyebabkan
efektifitas pengajaran di Indonesia sangat rendah. Setiap orang
mempunyai kelebihan dibidangnya masing-masing dan diharapkan
dapat mengambil pendidikaan sesuai bakat dan minatnya bukan
hanya untuk dianggap hebat oleh orang lain.
Dalam pendidikan di sekolah menegah misalnya, seseorang yang
mempunyai kelebihan dibidang sosial dan dipaksa mengikuti program
studi IPA akan menghasilkan efektifitas pengajaran yang lebih rendah
jika dibandingkan peserta didik yang mengikuti program studi yang
sesuai dengan bakat dan minatnya. Hal-hal sepeti itulah yang banyak
terjadi di Indonesia. Dan sayangnya masalah gengsi tidak kalah
pentingnya dalam menyebabkan rendahnya efektifitas pendidikan di
Indonesia.
2. Efisiensi Pengajaran Di Indonesia
Efisien adalah bagaimana menghasilkan efektifitas dari suatu tujuan
dengan proses yang lebih ‘murah’. Dalam proses pendidikan akan
jauh lebih baik jika kita memperhitungkan untuk memperoleh hasil
yang baik tanpa melupakan proses yang baik pula. Hal-hal itu jugalah
yang kurang jika kita lihat pendidikan di Indonesia. Kita kurang
mempertimbangkan prosesnya, hanya bagaimana dapat meraih
standar hasil yang telah disepakati.
55
Beberapa masalah efisiensi pengajaran di dindonesia adalah
mahalnya biaya pendidikan, waktu yang digunakan dalam proses
pendidikan, mutu pegajar dan banyak hal lain yang menyebabkan
kurang efisiennya proses pendidikan di Indonesia. Yang juga
berpengaruh dalam peningkatan sumber daya manusia Indonesia
yang lebih baik.
Masalah mahalnya biaya pendidikan di Indonesia sudah menjadi
rahasia umum bagi kita. Sebenarnya harga pendidikan di Indonesia
relative lebih randah jika kita bandingkan dengan Negara lain yang
tidak mengambil sitem free cost education. Namun mengapa kita
menganggap pendidikan di Indonesia cukup mahal? Hal itu tidak kami
kemukakan di sini jika penghasilan rakyat Indonesia cukup tinggi dan
sepadan untuk biaya pendidiakan.
Jika kita berbicara tentang biaya pendidikan, kita tidak hanya
berbicara tenang biaya sekolah, training, kursus atau lembaga
pendidikan formal atau informal lain yang dipilih, namun kita juga
berbicara tentang properti pendukung seperti buku, dan berbicara
tentang biaya transportasi yang ditempuh untuk dapat sampai ke
lembaga pengajaran yang kita pilih. Di sekolah dasar negeri, memang
benar jika sudah diberlakukan pembe
basan biaya pengajaran, nemun peserta didik tidak hanya itu saja,
kebutuhan lainnya adalah buku teks pengajaran, alat tulis, seragam
dan lain sebagainya yang ketika kami survey, hal itu diwajibkan oleh
pendidik yang berssngkutan. Yang mengejutkanya lagi, ada pendidik
yang mewajibkan les kepada peserta didiknya, yang tentu dengan
bayaran untuk pendidik tersebut.
Selain masalah mahalnya biaya pendidikan di Indonesia, masalah
lainnya adalah waktu pengajaran. Dengan survey lapangan, dapat
kita lihat bahwa pendidikan tatap muka di Indonesia relative lebih
56
lama jika dibandingkan negara lain. Dalam pendidikan formal di
sekolah menengah misalnya, ada sekolah yang jadwal pengajarnnya
perhari dimulai dari pukul 07.00 dan diakhiri sampai pukul 16.00.. Hal
tersebut jelas tidak efisien, karena ketika kami amati lagi, peserta
didik yang mengikuti proses pendidikan formal yang menghabiskan
banyak waktu tersebut, banyak peserta didik yang mengikuti
lembaga pendidikan informal lain seperti les akademis, bahasa, dan
sebagainya. Jelas juga terlihat, bahwa proses pendidikan yang lama
tersebut tidak efektif juga, karena peserta didik akhirnya mengikuti
pendidikan informal untuk melengkapi pendidikan formal yang dinilai
kurang.
Selain itu, masalah lain efisiensi pengajaran yang akan kami bahas
adalah mutu pengajar. Kurangnya mutu pengajar jugalah yang
menyebabkan peserta didik kurang mencapai hasil yang diharapkan
dan akhirnya mengambil pendidikan tambahan yang juga
membutuhkan uang lebih.
Yang kami lihat, kurangnya mutu pengajar disebabkan oleh pengajar
yang mengajar tidak pada kompetensinya. Misalnya saja, pengajar A
mempunyai dasar pendidikan di bidang bahasa, namun di
mengajarkan keterampilan, yang sebenarnya bukan kompetensinya.
Hal-tersebut benar-benar terjadi jika kita melihat kondisi pendidikan
di lapangan yang sebanarnya. Hal lain adalah pendidik tidak dapat
mengomunikasikan bahan pengajaran dengan baik, sehingga mudah
dimengerti dan menbuat tertarik peserta didik.
Sistem pendidikan yang baik juga berperan penting dalam
meningkatkan efisiensi pendidikan di Indonesia. Sangat disayangkan
juga sistem pendidikan kita berubah-ubah sehingga membingungkan
pendidik dan peserta didik.
Dalam beberapa tahun belakangan ini, kita menggunakan sistem
pendidikan kurikulum 1994, kurikulum 2004, kurikulum berbasis
57
kompetensi yang pengubah proses pengajaran menjadi proses
pendidikan aktif, hingga kurikulum baru lainnya. Ketika mengganti
kurikulum, kita juga mengganti cara pendidikan pengajar, dan
pengajar harus diberi pelatihan terlebih dahulu yang juga menambah
cost biaya pendidikan. Sehingga amat disayangkan jika terlalu sering
mengganti kurikulum yang dianggap kuaran efektif lalu langsung
menggantinya dengan kurikulum yang dinilai lebih efektif.
Konsep efisiensi akan tercipta jika keluaran yang diinginkan dapat
dihasilkan secara optimal dengan hanya masukan yang relative tetap,
atau jika masukan yang sekecil mungkin dapat menghasilkan
keluaran yang optimal. Konsep efisiensi sendiri terdiri dari efisiensi
teknologis dan efisiensi ekonomis. Efisiensi teknologis diterapkan
dalam pencapaian kuantitas keluaran secara fisik sesuai dengan
ukuran hasil yang sudah ditetapkan. Sementara efisiensi ekonomis
tercipta jika ukuran nilai kepuasan atau harga sudah diterapkan
terhadap keluaran.
Konsep efisiensi selalu dikaitkan dengan efektivitas. Efektivitas
merupakan bagian dari konsep efisiensi karena tingkat efektivitas
berkaitan erat dengan pencapaian tujuan relative terhadap harganya.
Apabila dikaitkan dengan dunia pendidikan, maka suatu program
pendidikan yang efisien cenderung ditandai dengan pola penyebaran
dan pendayagunaansumber-sumber pendidikan yang sudah ditata
secara efisien. Program pendidikan yang efisien adalah program yang
mampu menciptakan keseimbangan antara penyediaan dan
kebutuhan akan sumber-sumber pendidikan sehingga upaya
pencapaian tujuan tidak mengalami hambatan.
3. Standardisasi Pendidikan Di Indonesia
Jika kita ingin meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia, kita juga
berbicara tentang standardisasi pengajaran yang kita ambil. Tentunya
58
setelah melewati proses untuk menentukan standar yang akan
diambil.
Dunia pendidikan terus berudah. Kompetensi yang dibutuhka oleh
masyarakat terus-menertus berunah apalagi di dalam dunia terbuka
yaitu di dalam dunia modern dalam ere globalisasi. Kompetendi-
kompetensi yang harus dimiliki oleh seseorang dalam lembaga
pendidikan haruslah memenuhi standar.
Seperti yang kita lihat sekarang ini, standar dan kompetensi dalam
pendidikan formal maupun informal terlihat hanya keranjingan
terhadap standar dan kompetensi. Kualitas pendidikan diukur oleh
standard an kompetensi di dalam berbagai versi, demikian pula
sehingga dibentuk badan-badan baru untuk melaksanakan
standardisasi dan kompetensi tersebut seperti Badan Standardisasi
Nasional Pendidikan (BSNP).
Tinjauan terhadap standardisasi dan kompetensi untuk meningkatkan
mutu pendidikan akhirnya membawa kami dalam pengunkapan
adanya bahaya yang tersembunyi yaitu kemungkinan adanya
pendidikan yang terkekung oleh standar kompetensi saja sehngga
kehilangan makna dan tujuan pendidikan tersebut.
Peserta didik Indonesia terkadang hanya memikirkan bagaiman agar
mencapai standar pendidikan saja, bukan bagaimana agar pendidikan
yang diambil efektif dan dapat digunakan. Tidak perduli bagaimana
cara agar memperoleh hasil atau lebih spesifiknya nilai yang
diperoleh, yang terpentinga adalah memenuhi nilai di atas standar
saja.
59
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kualitas pendidikan di Indonesia memang masih sangat rendah bila di
bandingkan dengan kualitas pendidikan di negara-negara lain. Hal-hal
yang menjadi penyebab utamanya yaitu efektifitas, efisiensi, dan
standardisasi pendidikan yang masih kurang dioptimalkan. Masalah-
masalah lainya yang menjadi penyebabnya yaitu:
(1). Rendahnya sarana fisik,
(2). Rendahnya kualitas guru,
(3). Rendahnya kesejahteraan guru,
(4). Rendahnya prestasi siswa,
(5). Rendahnya kesempatan pemerataan pendidikan,
(6). Rendahnya relevansi pendidikan dengan kebutuhan,
(7). Mahalnya biaya pendidikan.
Adapun solusi yang dapat diberikan dari permasalahan di atas antara
lain dengan mengubah sistem-sistem sosial yang berkaitan dengan
sistem pendidikan, dan meningkatkan kualitas guru serta prestasi
siswa.
B. Saran
60
Perkembangan dunia di era globalisasi ini memang banyak menuntut
perubahan kesistem pendidikan nasional yang lebih baik serta
mampu bersaing secara sehat dalam segala bidang. Salah satu cara
yang harus di lakukan bangsa Indonesia agar tidak semakin
ketinggalan dengan negara-negara lain adalah dengan meningkatkan
kualitas pendidikannya terlebih dahulu.
Dengan meningkatnya kualitas pendidikan berarti sumber daya
manusia yang terlahir akan semakin baik mutunya dan akan mampu
membawa bangsa ini bersaing secara sehat dalam segala bidang di
dunia internasional.
DAFTAR PUSTAKA
Pidarta, Prof. Dr. Made. 2004. Manajemen Pendidikan Indonesia.
Jakarta: PT Rineka Cipta.
sayapbarat.wordpress.com/2007/08/29/masalah–pendidikan-di-
indonesia.
61