makalah perjanjian surplus pemanfaatan

Upload: deny-hartati

Post on 19-Jul-2015

267 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

BAB I PENDAHULUAN

Pengakuan Indonesia atas Zona Ekonomi Eksklusif pertama kali dilakukan melalui Pengumuman Pemerintah pada tanggal 21 Maret 1980. Tiga tahun setelah pengumuman tersebut, Indonesia mengeluarkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia. Pengaturan ZEEI tersebut mempertegas pengaturan ZEE di Indonesia dan mencabut pengumuman pemerintah tentang ZEE. Tidak hanya itu setelah ketentuan hukum laut internasional berhasil disepakati melalui Konvensi Hukum Laut 1982 di Montego Bay, Jamaica, Indonesia segera meratifikasi Konvensi tersebut melalui UndangUndang nomor 17 Tahun 1985. Berdasarkan pengaturan- pengaturan diatas maka Negara Indonesia memiliki luas Zona Ekonomi Ekskusif (ZEE)sebesar 1.577.300 mil persegi. 1Apabila dilihat dari luas ZEE Indonesia maka dapat diperkirakan bahwa Indonesia juga memiliki kekayaan sumber daya perikanan dan kelautan yang cukup besar yaitu sekitar 1.931.300 ton. 2Bukan hanya itu saja, Sebagai negara yang memiliki ZEE paling luas se-Asia Tenggara,3 Indonesia juga memiliki hak berdaulat yurisdiksi maupun kewajiban yang timbul atas ZEE yang dimilikinya yaitu:

Hak berdaulat untuk keperluan eksplorasi dan eksploitasi, konservasi dan pengelolaan sumber kekayaan alam, baik hayati maupun non hayati, dari perairan di atas dasar laut dan tanah dibawahnya dan berkenaan dengan kegiatan lain untuk keperluan eksplorasi dan eksploitasi ekonomi zona tersebut, seperti produksi energi dari air, arus dan angin;4

Yurisdiksi negara meliputi Pembuatan dan pemakaian pulau buatan,

instalasi dan

bangunan, Riset ilmiah kelautan dan Perlindungan dan pelestarian lingkungan laut.51

Djoko Prabowo, Hukum Perikanan Indonesia, Bandung, Citra Aditya Bakti, 2002, h.105

2

Departemen Kelautan dan Perikanan, Tingkat Pemanfaatan Potensi Sumber Daya Perikanan ZEEI diperoleh pada tahun 2001. Data yang digunakan adalah data pada tahun 1999. Hal ini dikarena dasar pembuatan perjanjian pemanfaatan surplus sumber daya perikanan adalah pada tahun 2001.3

Luas ZEE Malaysia, 138.700 mill 2, Fhilipina 551.400 mill 2, Thailand 94.700 mill2, Brunai 7100 mill 2, Vietnam 210.600mill 24

Pasal 56 ayat 1 huruf (a) Dewan Kelautan Indonesia, UNCLOS, Jakarta, 2008, h.31 Pasal 56 ayat 1 huruf (b), Ibid, h.32

5

1

Kewajiban negara pantai : Memperhatikan hak-hak dan kewajiban-kewajiban negara lain dan bertindak sesuai dengan Konvensi / UNCLOS6 Berkaitan dengan hak berdaulat yang diberikan oleh Konvensi Hukum Laut 1982

berkaitan dengan konservasi dan pemanfaatan sumber daya kekayaan hayati maka Indonesia memiliki kewajiban sebagaimana berikut;

Negara pantai wajib menetukan jumlah tangkapan sumber kekayaan hayati yang diperbolehkan di ZEEI.7 Dalam hal ini dibuktikan dengan perkiraan jumlah sumber daya perikanan yang dikeluarkan oleh Komisi Pengkajian Stock Sumber Daya Ikan Laut sebagaimana berikut:8 Tabel 1 POTENSI SUMBER DAYA IKAN DAN JUMLAH TANGKAPAN YANG DIPERBOLEHKAN (JTB) No 1 Kelompok Sumber Daya Ikan Pelagis Besar Tuna Cakalang Paruh Panjang Tongkol Tengiri Pelagis Kecil Demersial Udang Peneid Cumi-Cumi TOTAL (ribuan ton) Potensi JTB 463,5 370,8 118,7 95,0 154,7 12,8 22,7 18,2 59,5 47,6 35,9 28,7 978,9 783,0 458,4 366,8 25,7 20,6 4,8 3,8

2 3 4 5

Negara pantai wajib melakukan tindakan konservasi dan pengelolaan yang tepat sehingga pemeliharaan sumber kekayaan alam di ZEEI tidak dibahayakan oleh eksploitasi yang berlebihan.9

6

Pasal 56 ayat 2, Ibid

7

Pasal 61 ayat 1 KHL 1982, The coastal State shall determine the allowable catch of the living resources in its exclusive economic zone. 8 Keputusan Menteri Pertanian Nomor 995/Kpts/IK.210/99 tentang Potensi Sumber Daya Ikan dan Jumlah Tangkapan yang Diperbolehkan (JTB) di Wilayah Perikanan Republik Indonesia, Lampiran 2, (Tabel dimodifikasi penulis)9

Pasal 61 ayat 2 KHL 1982 : The coastal State, taking into account the best scientific evidence available to it, shall ensure through proper conservation and management measures that the maintenance of the living 2

Dalam rangka menggalakkan tujuan pemanfaatan yang optimal maka negara pantai wajib menetapkan jumlah kemampuannya untuk memanfaatkan sumber kekayaan hayati. (yang dimaksudkan adalah jumlah tangkapan yang diperbolehkan)10 Berkaitan dengan hal tersebut maka negara pantai tidak memiliki kemampuan untuk memanfaatkan seluruh jumlah tangkapan yang diperbolehkan maka negara tersebut melalui perjanjian internasional atau ketentuan pengaturan lainnya harus memberikan kesempatan kepada negara lain untuk turut serta memanfaatkan jumlah tangkapan ikan yang diperbolehkan yang masih tersisa (berkaitan dengan hal ini dalam penulisan selanjutnya penulis akan menyebutnya dengan surplus sumber daya perikanan) dengan memperhatikan semua faktor yang relevan termasuk kepentingan ekonomi dan nasional negara pantai, kebutuhan negara berkembang dalam memanfaatkan surplus tersebut dan kebutuhan untuk mengurangi dislokasi ekonomi. Dalam rangka alokasi jumlah kapal penangkap ikan yang telah diizinkan beroperasi

(IUP) di ZEEI maka diperkirakan produksi perikanan diharapkan menjcapai 1,511.535 ton dan potensi yang dimanfaatkan sebesar 80,46%. Sedangkan prakiraan jumlah apabila dilihat dari jumlah realisasi kapal perikanan berdasarkan Surat Penangkapan Ikan(SPI) sebesar 478.475 ton dengan jumlah potensi ikan yang telah dimanfaatkan sebanyak 25,47 surplus perikanan sebesar 68,16%.11

%. Dari jumlah

tangkapan yang diperbolehkan baru dapat dimanfaatkan sekitar 31,84% sehingga terdapat Bedasarkan hal tersebut maka Indonesia memberikan kesempatan kepada pihak negara lain untuk memanfaatkan surplus sumber daya perikanan di ZEEnya melalui perjanjian internasional. Dalam hal ini sebagaimana yang ditegaskan dalam pasal 62 ayat 2 yaitu: The coastal State shall determine its capacity to harvest the living resources of the exclusive economic zone. Where the coastal State does not have the capacity to harvest the entire allowable catch, it shall, through agreements or other arrangements and pursuant to the terms, conditions, laws and regulations referred to in paragraph 4, give other States access to the surplus of the allowable catch, having particular regard to the provisions of articles 69 and 70, especially in relation to the developing States mentioned therein

resources in the exclusive economic zone is not endangered by over-exploitation. ...1011

Pasal 62 ayat 2 KHL 1982

Departemen Kelautan dan Perikanan, Tingkat Pemanfaatan Potensi Sumber Daya Perikanan ZEEI diperoleh pada tahun 2001. Data yang digunakan adalah data pada tahun 1999. Hal ini dikarena dasar pembuatan perjanjian pemanfaatan surplus sumber daya perikanan adalah pada tahun 2001.

3

Berkaitan dengan hal itu maka Pemerintah Indonesia lantas membuka hak akses terhadap ZEEI dengan negara lain seperti Cina, Thailand, Fhilipina, Vietnam, Malaysia. Namun dalam paper ini, penulis membatasi ruang lingkup dengan menganalisis perjanjian bilateral antara negara Indonesia dengan Negara Cina dalam rangka memanfaatkan surplus sumber daya perikanan di ZEEI. Perjanjian tersebut adalah Bilateral Arrangement Between the Ministry of Marine Affairs and Fisheries of the Republic of Indonesia and the Ministry of Agriculture of the People`s Republic of China on the Utilization of Part of the Total Allowable Catch in the Indonesian Exclusive Economic Zone (Perjanjian Bilateral antara Departemen Kelautan dan Perikanan dengan Kementerian Republik Rakyat Cina mengenai Pemanfaatan Bagian dari Jumlah Tangkapan yang Diperbolehkan di ZEEI). Pada BAB II yaitu pembahasan, akan diuraikan mengenai analisis perjanjian internasinal tersebut baik dilihat dari struktur perjanjiannya, maupun ksesesuaian perjanjian bilateral tersebut dengan pengaturan-pengaturan yang ada baik secara internasional dan secara nasional. Berdasarkan pengaturan secara internasional maka penulis akan menggunakan dasar hukum Konvensi Hukum Laut 1982 (UNCLOS 198) dan Konvensi Wina 1969 tentang Hukum Perjanjian. Sedangkan dasar Hukum secara nasional yang akan digunakan adalah sebagai berikut;1. Undang-undang Nomor 5 tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia

2. Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 1984 tentang Pengelolaan Sumber Daya Alam Hayati di ZEEI3. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1985 tentang perikanan yang kemudian diganti dengan

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan4. Ratifikasi Konvensi Hukum Laut 1982 melalui Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985

tentang Pengesahan United Nations Convention On The Law Of The Sea (Konvensi Perserikatan Bangsa Bangsa Tentang Hukum Laut)

4

BAB II PEMBAHASAN

Perjanjian internasional mengenai pemanfaatan surplus sumber daya perikaann di ZEEI merupakan suatu persyaratan mutlak yang harus dipenuhi bagi negara yang akan berperan serta dalam pemanfaatan sumber daya tersebut. Perjanjian internasional ini juga dapat dikatakan sebagai bentuk realisasi persetujuan yang diberikan oleh Negara Indonesia bagi negara yang bersangkutan. Hal ini sebagaimana yang tertuang dalam pasal 62 Konvensi Hukum Laut 19825

yang mensyaratkan adanya perjanjian internasional sebagai bentuk persetujuan negara pantai yang diberikan kepada negara asing dalam pemanfaatan surplus sumber daya perikanan di kawasan ZEE negara pantai. Selain tertuang dalam konvensi Hukum Laut 1982, ketentuan mengenai perluanya adanya perjanjian internasional sebagai dasar pemberian izin juga tercantum dalam peraturan perundang-undangan nasional seperti diantaranya: 1. Undang-undang Nomor 5 tahun 1983 tentang ZEEI pasal 5 yang dalam penjelasan pasal tersebut dinyatakan bahwa setiap negara asing, orang, maupun badan hukum asing berhak untuk melakuan eksplorasi dan eksploitasi di ZEEI (surplus sumber dapa perikanan) selama mendapat persetujuan internasional dari pemerintah Indonesia dimana di dalam perjanjian tersebut dicantumkan hak-hak dan kewajiban yang harus dipenuhi oleh pihak asing. 2. Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 1984 tentang Pengelolaan Sumber Daya Alam Hayati di ZEEI pasal 3 junto pasal 9 yang menyebutkan bahwa orang atau badan hukum asing diberikan kesempatan untuk turut memanfaatkan surplus sumber daya perikanan di ZEEI selama telah dibuat persetujuan antara pemerintah Republik Indonesia dengan negara asing asal orang atau badan hukum asing tersebut. Setelah dibuatnya perjanjian maka barulah orang atau badan hukum asing memperoleh izin dari pemerintah Indonesia untuk melakukan kegiatan penangkapan ikan di ZEEI

3. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan pasal 29 yang menyatakan bahwa orang atau badan hukum asing boleh melakukan usaha penangkapan ikan di ZEEI sepanjang hal tersebut menyangkut kewajiban negara Indonesia berdasarkan persetujuan Internasional atau ketentuan hukum yang berlaku.4. Ratifikasi Konvensi Hukum Laut 1982 melalui Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985

tentang Pengesahan United Nations Convention On The Law Of The Sea (Konvensi Perserikatan Bangsa Bangsa Tentang Hukum Laut) Perjanjian internasional dalam pemanfataan surplus sumber daya perikanan di ZEEI atau bagian dari jumlah tangkapan ikan yang diberpolehkan dimana tidak dapat dimanfaatkan oleh Indonesia (The utilization of part of total allowable cacth in the Indonesian Exlusive Economic Zone) yang dilakukan antara Indonesia dengan negara lain (Dalam kaitannya dengan paper ini adalah negara Cina) berbentuk bilateral sehingga hanya melibatkan pihak-pihak yang mengadakan perjanjian. Dalam perjanjian tesebut tentuanya berlaku asa pacta sunt servanda6

sebagaimana yang berlaku pada perjanjian internasional. Perjanjian Bilateral tersebut tergolong dalam perjanjian yang bersifat tertutup maksudnya suatu perjanjian yang bersifat mengikat dan menimbulkan hak dan kewajiban hanya bagi negara-negara yang mengadakan perjanjian tersebut. Hal ini sesuai dengan asas perjanjian pacta tertiis nex nocent nec prosunt dimana suatu perjanjian tidak dapat menimbulkan kewajiban-kewajiban ataupun memberikan hak kepada pihak-pihak di luar perjanjian. Asas tersebut juga ditegaskan dalam perjanjian Wina 1969 tentang Hukum Perjanjian pasal 34 yang berbunyi sebagai berikut: A treaty does not create either obligations or rights for a third state without its consent Selain tercantum dalam konvensi Wina 1969, asas tersebut juga tercermin dalam Konvensi Hukum Laut 1982 pasal 72 ayat 1 yang menyatakan bahwa hak akses dalam pemanfaatan surplus sumber daya perikanan di ZEE negara pantai yang diberikan pada negara asing berdasarkan perjanjian internasional tidak dapat dialihkan kepada negara ketiga.

Rights provided under articles 69 and 70 to exploit living resources shall not be directly or indirectly transferred to third States or their nationals by lease or licence, by establishing joint ventures or in any other manner which has the effect of such transfer unless otherwise agreed by the States concerned. Asas perjanjian tertiis nex nocent nec prosunt juga terdapat dalam perjanjian

bilateral antara Indonesia dan Cina. Hal ini ditegaskan dalam pasal 2 yang menyatakan bahwa hanya kapal-kapal perikanan asing yang berasal dari negara Cina yang telah melakukan perjanjian dengan Indonesia diberikan jaminan untuk memanfaatkan surplus perikanan di ZEEI. Untuk lebih memperjelas analisis mengenai perjanjian pemanfaatan surplus sumber daya perikanan yang dilakukan antara Cina dan Indonesia maka penulis akan mencoba untuk memaparkan lebih lanjut perjanjian tersebut dari struktur perjanjian. Perjanjian Bilateral antara Indonesia dan Cina dapat dikatakan sebagai perjanjian yang bersifat sederhana karena hanya memuat 7 pasal dan penjelasan yang terdiri dari :

Pasal 1 : Maksud dibuat perjanjian (Purpose)7

Pasal 2 :Jaminan akses (Acces Granted) Pasal 3: Alat penangkap ikan, kapal penangkap ikan, dan kawasan penangkapan ikan Fishing Gears, Fishing Vessels, and Fishing Zone)

Pasal 4 : Pelaksanaan hak (Exercise of Rights) Pasal 5 : Amandemen(amandement), Pasal 6 : penyelesaian sengketa (Settlement of Disputes), Pasal 7 : mulai berlakunya perjanjian, jangka waktu dan batas akhir perjanjian (Entry into Force, Duration and Termination) Bedasarkan hal diatas maka struktur perjanjian tersebut dapat dibedakan menjadi 4

yaitu ;a. Mukadimah bersisi nama perjanjian dasar hukum dan maksud serta tujuan

(pertimbangan dibuat perjanjian). b. Batang tubuh yang terdiri dari 7 pasal yaitu Maksud dibuat perjanjian Klausula teknis : Jaminan akses (psl 2), Alat penangkap ikan, kapal penangkap ikan, dan kawasan penangkapan ikan (ps.3), Pelaksanaan hak (ps 4)

Klausula penutup : Amandemen(ps.5), penyelesaian sengketa (pasal.6), : mulai berlakunya perjanjian, jangka waktu dan batas akhir perjanjian (pasal 7)

c. Bagian Akhir terdiri dari kesaksian pihak yang mengadakan perjanjian, tempat dan tanggal dibuatnya perjanjian dan tanda tangan para pihak. Atau dapat disebut juga klausula hukum d. Penjelasan yang berisi tambahan penjelsan yang bersifat teknis seperti nama pelabuhan yang digunakan untuk melapor, daerah penangkapan ikan, ukuran alat penangkapan dan jenis tangkapan yang diperbolehkan

Ad. A Mukadimah8

Nama atau judul yang digunakan untuk perjanjian bilateral tersebut adalah Bilateral Arrangement Between the Ministry of Marine Affairs and Fisheries of the Republic of Indonesia and the Ministry of Agriculture of the People`s Republic of China on the Utilization of Part of the Total Allowable Catch in the Indonesian Exclusive Economic Zone (Perjanjian Bilateral antara Departemen Kelautan dan Perikanan dengan Kementerian Republik Rakyat Cina mengenai Pemanfaatan Bagian dari Jumlah Tangkapan yang Diperbolehkan di ZEEI). Penggunaan istilah arragement dalam perjanjian internasional pada umumnya digunakan untuk mengatur teknik operasional suatu perjanjian induk atau dapat dipakai untuk melaksanakan proyek-proyek jangka pendek yang bersifat teknik. Penggunaan tersebut juga bisa dipakai karena di dalamnya mengatur hak-hak berdaulat yang dimiliki oleh Indonesia di wilayah perikanan ZEEI sehingga dapat dibuat dalam bentuk persetujuan. (Agreement atau arragement). Apabila dikaitkan dengan Konvensi Hukum Laut 1982 khususnya pasal 62 ayat 2, istilah yang digunakan adalah agreement dan arragement. Walaupun demikian dalam KHL 1982 tidak ada ketentuan yang menyebutkan harus memakai istilah tersebut dalam pembuatan perjanjian perikanan karena hal tersebut merupakan kebijakan negara-negara yangbersangkutan. Demikian pula halnya dengan Konvensi Wina 1969 tentang Hukum Perjanjian maupun Undang-Undang Nomor 24 tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional yang tidak membeda-bedakan istilah penamaan yang digunakan untuk menyebut suatu perjanjian internasional sebagaimana dituangkan dalam definisi perjanjian yaitu: Perjanjian Internasional adalah perjanjian, dalam bentuk dan nama tertentu, yang diatur dalam hukum internasional yang dibuat secara tertulis serta menimbulkan hak dan kewajiban di bidang hukum publik (pasal 1) Definisi perjanjian internasinal menurut Konvensi Wina 1969 yaitu: treaty means an international agreement concluded between States/international organizations in written form and governed by international law, whether embodied in a single instrument or in two or more related instruments and whatever its particular designation

Dasar Hukum dari pembuatan perjanjian tersebut adalah sebagai berikut;9

Ketentuan yang relevant dalam UNCLOS 1982 (dalam hal ini terkait

dengan BAB tentang ZEE) ZEE diatur dalam BAB V pasal 55 75. Sedangkan pasal yang menegaskan diperlukannya suatu persetujuan internasional dalam pemanfaatan ZEE negara lain dituangkan secara tegas dalam pasal 62 Konvensi Hukum Laut 1982.

Memorandum of Understanding between Ministry of Marine Affairs

and Fisheries of the RI and the Ministry of Agriculture of The Peoples Republic of the China on the Fisheries Cooperation yang ditandatangani di Beijing, 23 April 2001) Menurut Chairul Anwar perjanjian perikanan yang bersifat bilateral dapat dibedakan menjadi 3 yaitu :121. Perjanjian bilateral mengenai masalah perikanan yang menjadi bagian dari

kerjasama bidang lain yang lebih luas seperti bidang ekonnomi, kerjasama teknis dan kerjasama persahabatan. 2. Perjanjian bilateral yang merupakan suatu perjanjian induk (umbrella agreement atau framework agrement) yang menetapakan hal-hal umum yang biasanya dilengkapai dengan perjanjian-perjanjian jangka pendek atau suatu protokol.3. Perjanjian bilateral mengenai masalah yang diatur dalam perjanjian batas maritim,

Apabila dilihat dari pembagian tersebut maka perjanjian bilateral tersebut dapat dikategorikan sebagai perjanjian bilateral dengan model ke 2 karena perjanjian tersebut mengacu pada MoU kerjasama yang telah dilakukan oleh Indonesia dan Cina dalam bidang perikanan. Pertimbangan lain yang digunakan untuk melakukan perjanjian. Atau dapat juga disebut sebagai maksud dibuatnya perjanjian. Pertimbangan tersebut diantaranya:13 pelaksanaan hak-hak berdaulat berdasarkan hukum internasional12

Chairul Anwar, ZEE Di dalam Hukum Internasional dilengkapi dengan Analisis ZEEI dan ZEE Asia Pasifik, Jakarta, Sinar Grafika, H.9613

Mukadimah, Bilateral Arrangement Between the Ministry of Marine Affairs and Fisheries of the Republic of Indonesia and the Ministry of Agriculture of the People`s Republic of China on the Utilization of Part of the Total Allowable Catch in the Indonesian Exclusive Economic Zone

10

Kesepakatan negara-negara yang bersangkutan terhadap upaya manajemen, konservasi dan Sumber Daya Perikanan Keinginan menyediakan sejumlah persyaratan yang harus dipenuhi oleh kapal-kapal china dalam pelaksanaan hak Membangun sistem perikanan yang bertanggung jawab Mewujudkan kerjasama perikanan yang saling menguntungkan Ad. B Batang Tubuh Batang tubuh perjanjian tersebut dapat dibedakan menjadi 3 bagian yang terdiri dari : a. Maksud dibuat perjanjian Tujuan dari pembuatan perjanjian ditegaskan dalam pasal 1 yaitu untuk mewujudkan kerjasama yang saling menguntungkan berdasarkan prinsip-prinsip dan prosedur yang berkaitan dengan jaminan akses terhadap bagian dari jumlah tangkapan ikan yang diperbolehkan dalam ZEEI bagi kapal perikanan Cina. the purpose of this arragement is to establish a mutual cooperation on the basis of principles and procedures under which acces to part of the total allowable catch (TAC) in the IEEZ, as stupulated by the existing Indonesia Ministerial Decree, may be granted to Fishing vessels of the Peoples Repbublic China Berdasarkan hal tersebuut maka Perjanjian mengenai pemanfaatan surplus sumber daya perikanan di ZEEI dapat dikatakan sebagai suatu bentuk kerjasama teknis antara negara asing dengan negara Indonesia di bidang perikanan. Prinsip kerja sama yang saling menguntungkan ini juga ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 pasal 4 Ayat 2 yang menjelaskan bahwa pemerintah Indonesia dalam membuat perjanjian internasional berpedoman pada kepentingan nasional dan berdasarkan pada prinsip-prinsip kesamaan kedudukan yang saling menguntungkan dengan memperhatikan hukum nasional dan hukum internasional yang berlaku.b. Klausula teknis yang terdiri dari Jaminan akses (psl 2), Alat penangkap ikan, kapal

penangkap ikan, dan kawasan penangkapan ikan (ps.3), Pelaksanaan hak (ps 4)11

Jaminan Akses yang diberikan oleh pemerintah Republik Indonesia bagai kapal Cina diatur dalam pasal 2. Pada jaminan akses tersebut terkandung beberapa hal pokok diantarannya; jenis ikan tangkapan yaitu jenis tuna dan billfsh stock serta demersal wilayah penangkapan yaitu 1280 BT 140BT ZEEI kawasan Samudera Pasifik

dan 920BT- 1020BT ZEEI kawasan Samudera Hindia, stok ikan demersal di di kawasan ZEEI sebelah utara provinsi Riau dan ZEEI di bagian Laut Arafura dengan pelabuhan check yang diatur dalam penjelasan. Berkaitan dengan hak akses yang diberikan dalam pemanfaatan surplus sumber daya perikanan maka masing-masing kapal Cina dapat memilih satu daerah penangkapan ikan di kawasan ZEEI yang diperbolehkan. Dalam pemberian hak akses tersebut kapal penangkap ikan diperbolehkan untuk mengganti daerah penangkapan ikan di kawasan ZEEI selama alokasi dari jumlah tangkapan ikan yang diijinkan untuk kapal penangkapan Cina masih tersedia. Misalnya pada awalnya kapal perikanan Cina diberikan akses di kawasan ZEEI bagian Samudera Hindia, namun di tengah jalan dia ingin mengganti daerah penagkapannya di Samudera Pasifik. Hal tersebut diijinkan tetapi dengan syarat surat ijinnya harus diperbaiki sebagaimana yang tertuang dalam pasal 2 ayat 2; Each vessel will be allocated a single fishing ground. The Chinese fishing vessels will be granted to change the fishing ground as long as the allocation for chinese fishing vessels is available but the fishing licences need to be renewed before the vessels move to another new fishing ground. Dalam melakukan penangkapan ikan di ZEEI dilakukan pembatasanpembatasan mengenai alat dan kapal penangkapan ikan serta kawasan untuk masing-masing alat tangkap yang dijelaskan diatur dalam pasal 3 dan lebih lanjut dalam penjelasan. Kapal Penangkap ikan China diijinkan untuk menggunakan purse seine, long line, drift gill net (masing-masing ukuran lubang pancing tidak boleh lebih dari 3,5 inchi) dan fish trawl dengan lubang pancing tidak boleh lebih dari 2 inci.Sedangkan pengaturan mengenai jumlah kapal dan kawasan perikanan adalah sebagai berikut;

12

Di atas 12 mill laut dari garis laut teritorial Indonesia digunakan kapal-kapal

jenis alat tangkap fish trawl, drift gill net, long line, dan single purse seine. (kapal-kapal yang berkekuatan 100-300 GT) Di atas 50 mill dari garis dasar laut teritorial untuk kapal-kapal berkekuatan

300-800 GT dengan alat tangkap single purse seine dan kapal berkekuatan 100-300 GT dengan alat tangkap group purseine) Diatas 100 mill dari garis dasar laut teritorial untuk kapal-kapal berkekuatan lebih 800 GT dengan alat tangkap single purse seine dan kapal berkekuatan lebih 300 GT dengan alat tangkap group purse seine) Sedangkan jumlah maksimal kapal tangkapan ikan yang diijinkan untuk melakukan kegiatannya di ZEEI ditentukan sebagai berikut; Kapal dengan alat tangkap purse seine baik tunggal maupun berkelompok

berjumlah 43.000 GT , dengan jumlah kapal 140 kapal. Kapal dengan alat tangkap long line berjumlah 25.000 GT, sebanyak 100 kapal Kapal dengan alat tangkap drift gill net berjumlah 7500 GT, sebanyak 50 kapal Kapal dengan alat tangkap fish trawl berjumlah 90.000 GT sebanyak 300 kapal.

Pengaturan mengenai jenis-jenis alat tangkap pada kapal penangkap ikan, kawasan penangkapan ikan, kawasan penangkapan ikan, dan jumlah maksimal kapal penangkapan ikan yang diijinkan dalam beroperasi di kawasan ZEEI sangat dibutuhkan untuk menjaga kelestarian jumlah sumber daya lam di kawasan itu. Selain juga dimaksudkan untuk menjaga keseimbangan surplus antara negaranegara lain yang turut memanfaatkan sumber daya perikanan di kawasan ZEEI. Pada pasal 4 mengenai Pelaksanaan Hak ditegaskan mengenai kewajiban kapal penangkap ikan sebagaimana berikut In orders to ensure proper and effective implementationof the exercise rights under this arragement, the chinese vessels shall subject to be existing and relevant Indonesia law and except as provided herein.

13

Bedasarkan pasal-pasal tersebut maka setiap kapal perikanan Cina harus menaati hukum dan peraturan Indonesia yang relevan dalam rangka menjamin pelaksanaan hak dalam rangka memanfaatkan surplus sumber daya perikanan secara layak dan efektif. Dapat diartikan lebih jauh lagi adalah dalam penerapan pelaksanaan hak yang telah diberikan baik oleh Ketentuan Hukum Laut 1982 dan Perjanjian Bilateral tersebut tidak dapat diterapkan secara otomatis oleh kapalkapal Cinas. Maksudnya masih ada persyaratan-persyaratan lain yang harus dipenuhi dan ditaati seperti administrasi, Operasional dan Teknis yang telah ditetapkan oleh Pemerintah Indonesia melalui Peraturan-peraturan perundangan nasional. Syarat teknis Operasional ini meliputi pemberian ijin, jenis ikan yang boleh ditangkap, dan kapal penangkap ikan yang diijinkan dan lain sebagainya.(ini diatur dalam perjanjian itu sendiri yaitu dalam 3 dan bagian penjelasannya). Sedangkan yang termasuk syarat adminitrasi seperti pungutan perikanan, jasa-jasa pelabuhan, ijin perikanan seperti Izin Usaha Perikanan, Surat Izin Penangkapan Ikan, Surat Pengkutan Ikan dan Alokasi Penangkapan Ikan Asing. Hal ini juga sesuai dengan ketentuan Konvensi Hukum Laut 1982 pasal 62 ayat 4 sebagaimana berikut;14 Nationals of other states fishing in the Exclusive Economis Zone shall comply with the conservation measures and with the other terms and conditions established in the laws and regulations of the coastal state.. Apabila dikaitkan dengan peraturan perundang-undangan maka ada beberapa kewajiban yang harus dipenuhi oleh kapal Cina dalam melakukan penangkapan di ZEEI diantaranya;

Izin-izin yang diperlukan bagi kapal penangkap ikan asing yang tedapat dan Nomor SK.1/AL/003/PHB-1996 tentang

dalam Keputusan Bersama Menteri Pertanian dan Perhubungan Nomor 492/Kpts/IK.120/7/1996 penyederhanaan Perizinan Kapal Perikanan, Peraturan Nomor 54 Tahun 2002 tentang Usaha Perikanan dan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor : KEP.60/MEN/2001 tentang Penggunaan Penataan Kapal Perikanan di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia15

14

Dewan Kelautan Indonesia, Op.cit,h.36

14

Pengawasan dan pemeriksaan serta penegakan hukum bagi kapal ikan

yang melakukan aktivitasnnya di ZEEI yang tedapat dalam UU nomor 9 tahun 1985 tentang Perikanan (Nb. Pada saat perjanjian dibuat Indonesia masih menggunakan Undang-Undang tersebut namun sekarang peraturan tersebut sudah dicabut dan diganti dengan UU no 31 tahun 2004 jo UU no 45 Tahun 2009 tentang perikanan). Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 1984 tentang Pengelolaan Sumber Daya Alam Hayati di Zona Eknomi Eksklusif Indonesia dan KUHAP dan peraturan lainnya.

Pungutan Perikanan sebagaimana yang diatur dalam Peraturan

Pemerintah Nomor 54 Tahun 2002 tentang Usaha Perikanan dan Peraturan Pemerintah Nomor 62 Tahun 2002 tentang Tarif atas Jenis Penerimaan Bukan Pajak yang Berlaku pada Departemen Kelautan dan Perikanan. Selain itu dalam pelaksanaan hak tersebut diperlukan adanya ketentuan mengenai pengawasan terhadap pelaksanaan ha di atas dari kedua belah pihak. Hal ini dilakukan untuk mengantisipasi segala bentuk pelanggaran yang dilakukan oleh penangkapan ikan asing dalam melakukan aktivitasnya misalnya tidak memiliki izin penangkapan ikan, pelanggaran alat tangkap dan mengangkap ikan tidak pada tempatnya. Disamping itu juga diperlukan adanya pengawasan dari keda belah pihak yaitu negara Cina dan Indonesia. Berdasarkan hal diatas, apabila digambarkan melalui skema maka dapat dilihat sebagaimana alur di bawah yaitu:

15

Masih berlaku pengaturan yang lama karena pada saat itu Deaprtemen Kelautan dan Perikanan masih belum melakukan evaluasi terhadap hasil sumber daya perikanan nasional dan belum dibentuk pengaturan yang baru.

15

Negara Indonesia

Negara Asing yang menfaatkan surplus ikan di ZEEI

Persetujuan dalam bentuk MoU tentang Kerjasama Perikanan

Perjanjian Internasional (Arragement) dibuat berdasarkan KHL 1982dan Konvensi Wina 1969 dan serta peraturan nasional P e n g a w a s a n P e n g a w a s a n

Hak akses terhadap surplus SDI Kewajiban yang harus dipenuhi berdasarkan KHL 1982 dan peraturan perundangan nasional lainnya misalnya membuat joint venture dengan perushaan ikan nasional, Izin (IUP, SIPI, dll), Pungutan perikanan

Pelaksanaan hak

16

c.

Klausula penutup : Amandemen(pasal.5), penyelesaian sengketa (pasal.6), mulai berlakunya perjanjian (pasal 7) Ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam perjanjian dapat diamandemen setiap waktu melalui perjanjian tertulis yang saling menguntungkan antara kedua belah pihak. Namun dalam perjanjian antara Indonesia dan Cina tersebut amandemen dilakukan dengan cara konsultasi melalui komite Gabungan tentang kerjasama perikanan yang dibentuk anatara Indonesia dan Cina (the Sino Indonesia Joint Comitte on Fisheries Cooperation) sebagaimana diuraiakan sebagai berikut: the amandement of the arragement should go through the consultation between the two sides on the Sino Indonesia Joint Comitte on Fisheries Cooperation. Klausula mengenai amandemen ini pada umumnya sealu dicantumkan pada setiap perjanjian inmternasional. Hal ni dimaksudkan karena amandemen merupakan cara yang paling lazim digunakan untuk penyesuaian ketentuan ketentuan perjanjian terhadap kedaan yang sering berubah.16 Pada prinsipnya suatu perjanjian daapt diamandemen jika terdapat persetujuan antara pihak-pihak yang menjadi pesert adalam perjanjian. Prinsip tersebut ditegaskan dalam Konvensi Wina 1969 pasal 39 yang berbunyi : A treaty may be amanded by agreement between parties Apabila dalam pelaksanaan hak dan kewajiban ternyata timbul

permasalahan dianatara kedua belah pihak seperti misalnya daalm hal interprestasi, pelaksanaan maupun pengimplementasian ketentuan-ketentuan dalam perjanjian maka dapat dilakukan upaya-upaya penyelesaian sengketa sebagaimana berikut: Any dispute arising out of interprestation, application or implementation of its arrgeemnt shall be setled throught consultation, negoitation between parties seperti konsultasi, negoisasi antara kedua belah pihak. Hal tersebut ditegaskan dalam perjanjian

16

J.G Starke, Pengantar Hukum Internasional 2, Jakarta, Sinar Grafika, 2001,h.614

17

Bila ditinjau dari pendapat Starke maka pasal tersebut dapat dikatakan sebagai klausula sengketa.17 Klausula sengketa ini pada prakteknya banyak digunakan untuk menyelesaikan masalah-msalah yang timbul berkaitan dengan penafsiran ataupun pelaksanaan perjanjian. Sedangkan cara-cara penyelesaian yang pada umumnya digunakan dalam praktek adaalah perundingan, arbitrase, konsultasi atau penyelesai yudisial. Berdasarkan Konvensi Wina 1969 penafsiran perjanjian diatur pada pasal 31 ayat 1 yang berbunyi sebagai berikut: A treaty shall be interpreted in good faith in accordance with the ordinary meaning, to be given to the term of the treaty in their context and in the light of its object and purpose Penafsiran tersebut hanya dilakukan pada kata-kata ataupun kalimat yang kurang jelas, atau bermakna ganda. Penafsiran menurut tujuan pada umumnya dilihat pada mukadimah, lampiran-lampiran, dan perjanjian-perjanjian ataupun instrumen-instrumen yang dibuat ada hubungannya dengan pembuatan perjanjian tersebut. Pada pasal terakhir tersebut diatur mengenai mulai berlakunya perjanjian, jangka waktu dan batas akhir perjanjian. Perjanjian mengenai pemanfaatan surplus sumber daya perikanan ini berlaku selama jangka waktu 3 tahun sejak perjanjian tersebut ditanda tangani oleh pihak-pihak yang berwenang. Sejak ditandatanganinya perjanjian tersebut maka secara otomatis negara peserta terikat dengan segaal hak dan kewajiban yang timbul dari ketentuan-ketentuan yang disepakati bersama. Hal ini dikarenakan dalam pasal tersebut ditegaskan bahwa perjanjian ini langsung berlaku sesudah ditandatangani oleh para pihak sebagaimana berikut This arragement shall enter into force on the date of its signing.It shall be valid for three years and subsequently continue to be force for another three years, unless terminated by written notice by the parties submitted within six months Pada pasal ini dapat diartikan kalau para pihak menggabungkan beberapa tahapan yaitu;

17

J.G Starke, Op.cit,h.30

18

tahap penerimaan naskah,18 tahap pengesahan naskah19 sekaligus tahap pengikatan diri20 terhadap perjanjian

dengan cara penadatanganan. Melalui penggabungan ketiga tahap tersebut maka perjanjian tersebut dapat langsung mengikat para pihak setelah penandatangan oleh wakil-wakil dari peserta perjanjian. Hal ini bermakna persetujuan untuk terikat dalam perjanjian.21 Proses semacam ini pada umumnya dilakukan untuk memepercepat suatu perjanjian internasional yang bersifat sederhana agar tercapai efisiensi dan efektivitas. Berdasarkan hal tersebut maka perjanjian sudah dapat langsung berlaku. Keadaan seperti ini sesuai yang digambarkan oleh Konvensi Wina 1969 pasal 24 ; A treaty enters into the force in such manner and upon the date as it may provide or as negoitating states may agree Perjanjian ini dapat berakhir kapan juga atas permintaan dari salah satu pihak dengan memberi pemberitahuan 6 bulan sebelumnya kepada pihak lain. Berakhirnya perjanjian tersebut sebagaimana diatur dalam pasal 7 sesuai dengan yang datur dalam pasal 54 Konvensi Wina 1969 yang menyatakan bahwa perjanjian dapat berakhir sebagaimana ketentuan dari perjanjian itu sendiri atau penarikan diri atas permintaan salah satu pihak di setiap saat dengan persetujuan pihak lain setelah diadakan perundingan.22 Pengaturan tentang berakhirnya perjanjian juga ditegaskan dalam Undang-undang Nomor 24 Tahun 2000 yang menyatakan bahwa perjanjian internasional dapat berakhir karena kesepakatan para pihak melalui prosedur yang ditetapkan dalam perjanjian Ad c Bagian Akhir

18

Vienna Convention 1969, Article 9 : 1 : The adoption of the text of a treaty takes place by the consent of all the States participating in its drawing up except as provided in paragraph 2.19

Vienna Convention 1969, Article10 : The text of a treaty is established as authentic and definitive by such procedure as may be provided for in the text or agreed upon by the States participating in its drawing up; or 20 Vienna Convention 1969, Article11: The consent of a State to be bound by a treaty may be expressed by signature,...21

I Wayan Parthiana, Hukum Perjanjian Internasional, Bagian 1, Bandung, Mandar Maju, 2002, h.10822

Vienna Convention 1969, Article 54

19

Bagian akhir perjanjian antara Indonesia dengan Cina terdiri dari kesaksian pihak yang mengadakan perjanjian, tempat dan tanggal dibuatnya perjanjian dan tanda tangan para pihak. Atau dapat disebut juga klausula hukum. Perjanjian tersebut dilakukan di Beijing Cina, pada tanggal 19 Desember 2001 dengan salinan dua rangkap dalam bahasa Inggrish. Penandatangan dilakukan oleh Dr.Made L Nurjana, Direktur Jenderal Perikanan Tangkap yang merupakan perwakilan dari Departemen Kelautan dan Perikanan, Republik Indonesia. Sedangkan wakil dari Kementerian Pertanian dari Repbulic Rakyat Cina dilakukan Li Jianhua, Direktur Jenderal dari Biro Perikanan. Ad.d Penjelasan Penjelasan dari Perjanjian Bilateral tersebut terdiri dari 3 bagian yaitu:

Penjelasan I menjelaskan mengenai Pelabuhan di Indonesia yang ditetapkan bagi kapal-kapal Cina untuk diperiksa dan tempat pendaratannya. Pada penjelasan ini diuraiakan mengenai masing-masing area penangkapan dengan pelabuhan tempat pemeriksaan.

Penjelasan II mengatur mengenai Daerah penangkapan Ikan untuk Kapal dengan menggunakan alat tangkap purse seine, long line, drift-gillnet, Fish trawl di ZEEI.

Penjelasan III tentang Jumlah dan Ukuran Kapal Penangkapan Ikan dan Kekuatan Kapal Penangkap Ikan (pada umumnya berat yang dipakai menggunakan GT) yang diijinkan untuk pemanfaatan di ZEEI.

Pada perkembangannya perjanjian internasional di bidang perikanan yang pernah dilakukan antara Indonesia dan Cina selama ini adalah sebagai berikut;

N No 1 1

Bentuk dan Judul Perjanjian

Lokasi Penandatanganan

Ratifikasi

MoU between Ministry of Marine AffairsBeijing and Fisheries of the RI and the Ministry of23 April 2001 Agriculture of The Peoples Republic of the China on the Fisheries Cooperation

Tidak memerlukan ratifikasi

20

2 2

Arrangement Beijing Bilateral Arrangement Between the 19 December 2001 Ministry of Marine Affairs and Fisheries of the Republic of Indonesia and the Ministry of Agriculture of the People`s Republic of China on the Utilization of Part of the Total Allowable Catch in the Indonesian Exclusive Economic Zone. (Pengaturan Bilateral Antara Departemen Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia dan Kementerian Pertanian Republik Rakyat China Mengenai Pemanfaatan Sebagian dari Jumlah Tangkapan yang Diperbolehkan di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia). Record of Discussion Jakarta Record of Discussion the First Meeting 8 August 2003 of the Sino-Indonesian Joint Committee on Fisheries Cooperation, Jakarta, 6-8 August 2003. (Catatan Hasil Perbincangan pada Pertemuan Pertama Komisi Bersama Sino-Indonesia Mengenai Kerjasama Perikanan, Jakarta 6-8 Agustus 2003). MoU Memorandum of Understanding Between the Government of the Republic of Indonesia and the Government of the People`s Republic of China on Maritime Cooperation. (Memorandum Saling Pengertian Antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Republik Rakyat China Mengenai Kerjasama Kelautan). Jakarta 25-Apr-05

Tidak memerlukan ratifikasi

3 3

Tidak memerlukan ratifikasi

4 4

Tidak memerlukan ratifikasi.

Perjanjian perikanan tersebut berakhir pada tanggal 19 Desember 2004 namun berdasarkan ketentuan pasal 7 dari perjanjian bilateral maka perjanjian tersebut berlanjut kembali hingga tahun 2007. Namun karena banyaknya praktek-praktek IUU fishing di Indonesia dan banyak keberatan-keberatan yang disampaikan oleh perusahaan perikanan nasional terkait dengan pemanfaatan ZEEI oleh kapal asing maka pemerintah memperbarui kebijakannya. negara asing yang ingin memanfaatkan perikanan di ZEEI harus membangun atau berinvestasi terhadap pabrik pengolahan ikan di negara Indonesia. Hal ini diatur dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 5 Tahun 2008 yang diperbaiki dengan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 9 Tahun 2009 tentang Usaha Perikanan Tangkap pasal 50 ayat 1 jo pasal pasal 53 (1) sebagaimana berikut:21

Setiap orang atau badan hukum asing yang akan melakukan usaha penangkapan ikan harus melakukan investasi usaha pengolahan dengan pola usaha perikanan tangkap terpadu. (pasal 50 ayat 1) Setiap orang atau badan hukum asing yang akan melakukan usaha perikanan tangkap terpadu wajib menggunakan fasilitas penanaman modal, dengan mendirikan usaha perikanan tangkap terpadu berbadan hukum Indonesia dan berlokasi di Indonesia. (pasal 53 ayat 1) Dalam perkembangannya hingga tahun 2010 terlihat bahwa Pemerintah belum mengeluarkan persetujuan internasional dalam bentuk agreement atau arragement lagi terkait dengan pemanfaatan surplus sumber daya perikanan di ZEEI. Walaupun negara-negara seperti Fhilipina, Cina, Thailand, Vietnam dan Malaysia masih mempunyai keinginan yang kuat untuk meneruskan persetujuan tersebut. Pengketatan persyaratan terhadap akses ini mungkin disebabkan oleh karena adanya keinginan pemerintah untuk meningkatkan perusahaan perikanan nasional di tingkat pemasaran Dunia. Berdasarkan gambaran diatas maka dapat dikatakan bahwa perjanjian bilateral antara Indonesia dan Cina termasuk dalam persetujuan yang sederhana. Hal ini selain dapat dilihat dari jumlah pasal-pasal yang diatur di dalamnya juga dalam tahap pembuatannya.23 Pada tahap pembuatan perjanjian tersebut terdapat penggabungan antara tahap penerimaan naskah dengan tahap pengesahan naskah perjanjian. Hal ini dapat dilihat dari pasal yang dicantumkan dalam perjanjian tesebut langsung berlaku segera setelah ditanda tanganinya oleh wakil-wakil yang menjadi pihaknya. Dengan demikian maka dapat dikatakan bahwa bahwa perjanjian antara Indonesia dan Cina terdiri dari 2 tahapan yaitu tahap negoisasi dan tahap penerimaan sekaligus tahap pengesahan naskah. Apabila dikaitkan dengan pendapat Boer Mauna maka perjanjian bilateral antara Indonesia dan Cina dapat dikategorikan sebagai perjanjian yang sederhana karena dapat langsung berlaku sesudah ditandatanganinya perjanjian tanpa memerlukan pengundangan baik dalam Keppres ataupun dalam Undang-undang sebagaimana yang diatur dalam Pasal 9 ayat 2 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 yaitu Pengesahan perjanjian internasional dilakukan dengan undang-undang atau keputusan presiden.24

23

Boer Mauna, Hukum Internasional, Pengertia Peranan dan Fungsi Dalam Era Dinamika Global, Bandung, Alumni, 2003, h.17624

Boer Mauna, Ibid

22

BAB III PENUTUP

Dalam rangka pemanfaatan surplus sumber daya perikanan di kawasan ZEEI berdasarkan pada pasal 62 Konvensi Hukum Laut 1982 serta peraturan perundangan nasional Indonesia maka Pemerintah Indonesia mengeluarkan kebijakan untuk memberikan hak akses terhadap negara lain yang ingin memanfaatkan surplus sumber daya perikanan. Hal ini dikarenakan kemampuan Indonesia dalam memanfaatkan Jumlah Tangkapan yang23

diperbolehkan di kawasan ZEEI masih sebesar 31, 84% sehingga negara lain dapat memanfaatkan sisa dari Jumlah Tangkapan yang diperbolehkan dimana Indonesia belum mampu memaksimalkannya. Perjanjian internasional mengenai pemanfaatan surplus sumber daya perikaann di ZEEI merupakan suatu persyaratan mutlak yang harus dipenuhi bagi negara yang akan berperan serta dalam pemanfaatan sumber daya tersebut. Perjanjian internasional ini juga dapat dikatakan sebagai bentuk realisasi persetujuan yang diberikan oleh Negara Indonesia bagi negara yang bersangkutan. Dalam rangka memanfaatkan hal tersebut maka ada beberapa negara yang telah membuat perjanjian dengan Indonesia antara lain Thailand, Fhilipina,China, Vietnam dan Malaysia. Perjanjian internasional mengenai pemanfaatan surplus sumber daya perikaann di ZEEI antara Indonesia dan Cina dapat dikatakan perjanjian yang sederhana karena hanya terdiri dari 7 pasal dan tahap pembuatannya pun hanya terdiri dari 2 tahap saja. Hal ini disebabkan pada tahap pembuatan perjanjian tersebut terdapat penggabungan antara tahap penerimaan naskah dengan tahap pengesahan naskah perjanjian. Apabila dilihat dari struktur perjanjian maka perjanjian tersebut dapat dibedakan menjadi : 1. Mukadimah bersisi nama perjanjian dasar hukum dan maksud serta tujuan (pertimbangan dibuat perjanjian).2. Batang tubuh yang terdiri dari 7 pasal yaitu (Maksud dibuat perjanjian, Klausula teknis, dan

Klausula penutup) 3. Bagian Akhir terdiri dari kesaksian pihak yang mengadakan perjanjian, tempat dan tanggal dibuatnya perjanjian dan tanda tangan para pihak. Atau dapat disebut juga klausula hukum4. Penjelasan yang berisi tambahan penjelsan yang bersifat teknis seperti nama pelabuhan

yang digunakan untuk melapor, daerah penangkapan ikan, ukuran alat penangkapan dan jenis tangkapan yang diperbolehkan. Apabila disimpulkan dari seluruh uraian diatas maka perjanjian yang dibuat antara Indonesia dan Cina tentang pemanfaatan sumber daya perikanan selain berpedoman pada Konvensi Hukum Laut 1982, secara umum perjanjian tesebut juga merujuk pada Konvensi Wina 1969 tentang Perjanjian Internasional. Hal ini terlihat bahwa dalam perjanjian tersebut24

dicantumkan prinsip-prinsip yang terdapat dalam Konvensi Wina 1969 seperti amandemen, penafsiran perjanjian, berlakunya perjanjian, berakhirnya perjanjian dan lain sebagainya. Hal ini dikarenakan Konvensi Wina 1969 merupakan kodifikasi dari praktek-praktek pembuatan perjanjian internasional yang dilakukan oleh negara-negara di dunia. Oleh karena itu maka dapat dikatakan bahwa perjanjian Internasional yang dilakukan oleh Negara Indonesia dan Negara Cina telah seimbang dan selarang dengan peraturan Internasional dan nasional.

DAFTAR PUSTAKA

1. 2.

Djoko Prabowo, Hukum Perikanan Indonesia, Bandung, Citra Aditya Bakti, 2002 Boer Mauna, Hukum Internasional, Pengertia Peranan dan Fungsi Dalam Era Dinamika Global, Bandung, Alumni, 2003

3.

I Wayan Parthiana, Hukum Perjanjian Internasional, Bagian 1, Bandung, Mandar Maju, 2002

4.

J.G Starke, Pengantar Hukum Internasional 2, Jakarta, Sinar Grafika, 200125

5.

Chairul Anwar, ZEE Di dalam Hukum Internasional dilengkapi dengan Analisis ZEEI dan ZEE Asia Pasifik, Jakarta, Sinar Grafika, 2001

6.

Departemen Kelautan dan Perikanan, Tingkat Pemanfaatan Potensi Sumber Daya Perikanan ZEEI diperoleh pada tahun 2001. Data yang digunakan adalah data pada tahun 1999

7.8.

Dewan Kelautan Indonesia, UNCLOS, Jakarta, 2008 Vienna Convention on the Law of Treaties Undang-undang Nomor 5 tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 1984 tentang Pengelolaan Sumber Daya Alam Hayati di ZEEI

9. 10.

11.

Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1985 tentang perikanan yang kemudian diganti dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan

12.

Ratifikasi Konvensi Hukum Laut 1982 melalui Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan United Nations Convention On The Law Of The Sea (Konvensi Perserikatan Bangsa Bangsa Tentang Hukum Laut)

26