makalah pelaksanaan dan kunci keberhasilan mbs
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
A. Abstrack
Mana j emen Berbasis Sekolah merupakan satu bentuk
agenda reformasi pendidikan di Indonesia yang menjadi
sebuah kebutuhan untuk memberdayakan peranan sekolah
dan masyarakat dalam mendukung pengelolaan dan
penyelenggaraan pendidikan di sekolah. Secara esensial
Manajemen Berbasis Sekolah menawarkan diskursus ketika
sekolah tampil secara relatif otonom, dengan tidak mereduksi
peran pemerintah, terutama dalam bidang pendanaan. Hal
tersebut tentunya akan berakibat pada mutu pendidikan.
Apabila mutu pendidikan hendak diperbaiki, maka perlu ada
pimpinan dari para profesional pendidikan. Manajemen mutu
merupakan sarana yang memungkinkan para profesional
pendidikan dapat beradaptasi dengan kekuatan perubahan
yang akan bermuara pada sistem pendidikan bangsa kita.
Di beberapa negara maju pembangunan manusia
menjadi salah satu skala prioritas sebab dengan adanya
pembangunan manusia akan muncul orang-orang yang
memiliki kemampuan dalam membangun daerah serta
negara. Salah satu isu reformasi pendidikan yang penting
dewasa ini adalah desentralisasi pengelolaan pendidikan,
kebijakan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) merupakan
bentuk alternatif yang dipilih dalam pelaksanaan kebijakan
desentralisasi pendidikan. Dipilihnya kebijakan MBS karena
model ini diyakini akan mempermudah pencapaian tujuan
pendidikan. Program MBS bertujuan untuk memandirikan
1
atau memberdayakan sekolah melalui pemberian
kewenangan, keluwesan dan sumberdaya untuk
meningkatkan mutu kinerja sekolah dan pendidikan terutama
meningkatkan hasil belajar siswa.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor-
faktor yang
mempengaruhi keberhasilan implementasi kebijakan
Manajemen Berbasis Sekolah.
Salah satu permasalahan pendidikan yang saat ini
dihadapi oleh bangsa Indonesia adalah rendahnya mutu
pendidikan pada setiap jenjang dan satuan pendidikan,
khususnya pendidikan dasar dan menengah. Dari berbagai
pengamatan dan analisis, diantara faktor yang menyebabkan
mutu pendidikan tidak mengalami peningkatan adalah
Pertama, penyelenggaraan pendidikan nasional yang selama
ini dilakukan secara birokratik-sentralistik sehingga
menempatkan sekolah sebagai penyelenggara pendidikan
sangat tergantung kepada keputusan birokrasi yang
mempunyai jalur sangat panjang, dimana pusat sangat
dominan dalam pengambilan kebijakan, sedangkan sekolah
hanya berfungsi sebagai pelaksana kebijakan. Kedua,
minimnya peran serta masyarakat (PSM), terutama orang tua
siswa dalam penyelenggaraan pendidikan. Ketiga, kebijakan
penyelenggaraan pendidikan yang menggunakan pendekatan
"input-output analysis" yang tidak dilaksanakan secara
konsekuen.
Berdasarkan kenyataan di atas, tentu saja perlu
diadakan upaya-upaya perbaikan mutu pendidikan, salah
satunya adalah reorientasi penyelenggaraan pendidikan yaitu
2
dari manajemen peningkatan mutu berbasis pusat menuju
manajemen berbasis sekolah (MBS). MBS merupakan strategi
untuk memperbaiki mutu pendidikan dengan mengalihkan
kewenangan pengambilan keputusan dari pusat ke masing-
masing sekolah. Keberhasilan sekolah dalam melaksanakan
program pendidikan dan pengembangannya perlu didukung
dengan efektifitas kepemimpinan pendidikan yang dilakukan
oleh eksekutif pendidikan, khususnya kepala sekolah.
Kepala sekolah mempunyai peran yang sangat penting
dalam menentukan keberhasilan MBS di sekolah. Sebagai
seorang edukator, manajer, administrator, supervisor, leader,
innovator, dan motivator (EMASLIM). kepala sekolah
bertanggungjawab dalam membina dan membantu guru
yang mengalami kesulitan dalam pelaksanaan program
MBS.kemampuan dalam menggerakkan guru dalam
mencapai tujuan MBS merupakan faktor penentu dalam
keberhasilan pelaksanaan MBS. Sehingga penelitian ini
difokuskan pada peran kepala sekolah dalam implementasi
penyusunan, pelaksanaan dan evaluasi pelaksanaan MBS.
Penelitian ini menggunakan kualitatif, yang berlokasi di
SMA 1 PGRI Taman . Teknik pengumpulan data yang
digunakan meliputi: (1) teknik wawncara, (2) teknik
observasi, dan (3) teknik dokumentasi. Pengambilan data
dilakukan dengan menggunakan alat bantu berupa catatan
lapangan (field notes), alat perekam, dan alat dokumentasi.
Sampel dalam penelitian ini dilakukan secara snowball
sampling, dengan informan terdiri dari kepala sekolah, wakil
kepala sekolah (wakasek) humas, wakasek kurikulum,
wakasek keagamaan, wakasek kesiswaan, wakasek sarana
3
prasarana, kepala TU, ketua dewan sekolah, 3 orang guru,
dan penjaga sekolah. Data yang diperoleh kemudian
dianalisis dengan melakukan pengorganisasian data,
pengelompokkan data, pemaparan data, dan perumusan
temuan. Untuk memperoleh keabsahan data, dilakukan uji
triangulasi yaitu triangulasi sumber data dan metode
pengumpulan data.
Hasil yang diperoleh dari penelitian ini untuk masing-
masing fokus penelitian diinformasikan sebagai berikut: (1)
peran kepala sekolah dalam penyusunan rencana program
MBS yaitu kepala sekolah berperan sebagai leader, dimana ia
bertindak sebagai pengambil keputusan sekaligus
penanggungjawab keputusan yang telah dibahas dalam rapat
sekolah tersebut; (2) peran kepala sekolah dalam
implementasi MBS, kepala sekolah berperan seabagi
motivator dan fasilitator dalam kemajuan sekolah; dan (3)
peran kepala sekolah dalam evaluasi, dalam kepala berperan
sebagai evaluator dan supervisor, dimana kepla sekolah
melakukan pengawasan dan pembinaan kepada guru secara
kontuinitas berdasarkan acuan MBS dan melakukan
pembinaan (supervisi) seabagi tindak lanjut.
Kesimpulan yang dapat ditarik dari penelitian ini adalah
bahwa peran kepala sekolah dalam implementasi MBS sangat
tinggi, karena dalam setiap penyusunan, pelaksanaan dan
evaluasi MBS, kepala sekolah selalu terlibat secara langsung
sehingga apabila ada kesalahan kepala sekolah dapat segera
mencari pemecahannya.
B. Latar Belakang
4
Pada era globalisasi, Indonesia akan menghadapi
berbagai tantangan, seperti persaingan ketat dalam
perdagangan nasional sebagai konsekuensi dari berlakunya
pasar bebas di kawasan ASEAN dan Asia Afrika. Oleh karena
itu, pendidikan harus diorientasikan sesuai dengan kondisi
dan tuntutan tersebut, agar output (hasil) pendidikan dapat
mengikuti perkembangan yang terjadi dalam kondisi ini,
manajemen sentralisasi (pusat) yang telah menghasilkan pola
penyelenggaraan pendidikan yang seragam dalam berbagai
lapisan masyarakat yang berbeda, tidak bisa dipertahankan
lagi. Disamping itu juga unggulan daerah tidak dimanfaatkan
bagi kepentingan pendidikan di sekolah. Menyadari hal
tersebut pemerintah telah melakukan upaya penyempurnaan
sistem pendidikan, baik melalui penataan perangkat lunak
(software), maupun perangkat keras (hardware). Upaya
peningkatan kualitas pendidikan terus menerus dilakukan
baik secara konvensioal maupun inovatif. Diantara upaya
tersebut antara lain dengan dikeluarkannya Undang-Undang
No 22 dan 25 tahun 1999 tentang otonomi daerah, yang
secara langsung berpengaruh terhadap perencanaan
pelaksanaanya dan evaluasi pendidikan. Bila sebelumnya
pendidikan merupakan wewenang pusat (sentralisasi
pendidikan) maka dengan berlakunya Undang-undang
tersebut kewenangan berada pada Pemerintah
Kota/Kabupaten (Desentralisasi Pendidikan).
Desentralisasi pendidikan diharapkan akan mendorong
peningkatan pelayanan dibidang pendidikan kepada
masyarakat, yang berakhir pada upaya peningkatan kualitas
pengelolaan pendidikan tataran yang paling bawah (at the
5
bottom), yaitu sekolah melalui penerapan Manajemen
Berbasis Sekolah (MBS) yang merupakan suatu modal
kebijakan desentralisasi pendidikan dengan kata lain suatu
konsep inovatif, yang bukan hanya dikaji sebagai wacana
baru dalam pengelolaan pendidikan tetapi sebaliknya juga
dipertimbangkan sebagai langkah inovatif dan strategi ke
arah peningkatan mutu pendidikan melalui pendekatan
manajemen yang bercirikan akar rumput (grassroots).
C. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian Manajemen Berbasis Sekolah?
2. Bagaimana pelaksanaan MBS?
3. Apa kunci keberhasilan MBS?
D. Tujuan Penulisan
1. Memberikan pemahamaan tentang pengertian MBS
2. Memberikan pemahaman tentang pelaksanaan MBS
3. Memberikan pemahaman tentang kunci keberhasilan MBS
4. Memenuhi tugas kelompok matakuliah Manajemen
Pendidikan
6
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)
Manajemen berasal dari bahasa Inggris to manage yang
berarti mengelola atau mengatur. Dapat diartikan sebuah
proses kepemimpinan dan pengaturan seluruh atau sebagian
dari suatu organisasi atau bisnis melalui pemanfaatan atau
pengatur sumberdaya (sumberdaya manusia, material,
kepandaian, dan lain-lain).
Menurut Bedjo sudjanto (2009), Manajemen Berbasis
Sekolah dapat dikatakan sebagai model manajemen sekolah
yang memberikan otonomi kepada sekolah dan mendorong
pengambilan keputusan partisipatif yang melibatkan semua
warga sekolah dan masyarakat (stakeholder) yang dilayani.
Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) merupakan strategi
untuk mewujudkan sekolah yang efektif dan produktif. Istilah
ini pertama muncul di Amerika Serikat ketika masyarakat
mulai mempertanyakan relevansi pendidikan dengan
tuntutan dan perkembangan masyarakat setempat. MBS
merupakan paradigm baru manajemen pendidikan yang
memberikan otonomi luas pada sekolah, dan pelibatan
masyarakat dalam kerangka kebijakan pendidikan nasional.
Otonomi diberikan agar sekolah leluasa mengelola sumber
daya, sumber dana, sumber belajar dan mengalokasikannya
sesuai prioritas kebutuhan, serta lebih tanggap terhadap
kebutuhan setempat.
7
MBS adalah suatu ide tentang pengambilan keputusan
pendidikan yan diletakkan pada posisi yang paling dekat
dengan pembelajaran, yakni sekolah. Pemberdayaan sekolah
dengan memberikan otonomi yang lebih besar, disamping
menunjukkan sikap tanggap pemerintah terhadap tuntutan
masyarakat juga merupakan sarana peningkatan efisiensi,
mutu, dan pemerataan pendidikan.
Dengan MBS maka kepala sekolah dapat mengatur dan
mengurus sekolah sesuai dengan kepentingan masyarakat
yang dilayaninya (stake holder) menurut prakarsa sendiri.
B. Pelaksanaan Manajemen Berbasis Sekolah
Esensi konsep Manajemen Berbasis Sekolah adalah
peningkatan otonomi sekolah dan masyarakat dalam
penyelenggaraan pendidikan, dan peningkatan fleksibilitas
pengelolaan sumber daya sekolah. Konsep ini membawa
membawa konsekuensi bahwa pelaksanaan MBS sudah
sepantasnya menerapkan pendekatan idiografik
(memperbolehkan adanya berbagai cara melaksanakan MBS)
dan bukan lagi menggunakan pendekatan nomotetik (cara
melaksanakan MBS yang cenderung seragam/konformitas
untuk semua sekolah). Oleh karena itu dalam arti yang
sebenarnya, tidak ada satu resep pelaksaan MBS yang sama
untuk diberlakukan ke semua sekolah.
Berikut pelaksanaan MBS menurut Rohiat (2010) adalah
sebagai berikut :
1. Melaksanakan sosialisasi MBS
Sekolah merupakan sistem yang terdiri atas unsur-
unsur yang saling terkait. Oleh karena itu, hasil kegiatan
pendidikan di sekolah merupakan hasil kolektif dari
semua unsur sekolah. Dengan cara berpikir semacam ini,
8
semua unsur sekolah harus memahami konsep MBS (apa,
mengapa, dan bagaimana). Langkah pertama yang harus
dilakukan oleh sekolah adalah menyosialisasikan konsep
MBS kepada setiap unsur sekolah (guru, siswa, wakil
kepala sekolah, guru BK, karyawan, orangtua siwa,
pengawas, pejabat Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota,
pejabat Dinas Pendidikan Provinsi, dsb.) melalui berbagai
mekanisme, misalnya seminar, lokakarya, diskusi, rapat
kerja, simposium, forum ilmiah, dan media massa.
Dalam melakukan sosialisasi MBS, yang penting
dilakukan oleh kepala sekolah adalah membaca dan
membentuk budaya MBS di sekolah masing-masing.
Secara umum, garis besar kegiatan
sosialisasi/pembudayaan MBS dapat dilaksanakan dengan
cara antara lain:
a. Baca dan pahami sistem, budaya dan sumberdaya
yang ada di sekolah secara cermat dan refleksikan
kecocokannya dengan sistem, budaya dan
sumberdaya baru yang diharapkan dapat mendukung
penyelenggaraan MBS
b. Identifikasikan sistem, budaya, dan sumberdaya yang
perlu diperkuat atau diubah, dan kenalkan sistem,
budaya dan sumberdaya baru yang diperlukan untuk
menyelenggarakan MBS
c. Buatlah komitmen secara rinci yang diketahui oleh
semua unsur yang bertanggungjawab apabila terjadi
perubahan sistem, budaya, dan sumberdaya yang
cukup mendasar
9
d. Bekerjalah dengan semua unsur sekolah untuk
mengklarifikasikan visi, misi, tujuan, sasaran, rencana
dan program-program penyelenggaraan MBS
e. Hadapilah status quo (resistensi) terhadap perubahan,
jangan menghindar dan jangan menarik diri serta
jelaskan mengapa diperlukan perubahan dari
manajemen berbasis pusat menjadi MBS
f. Garis bawahi prioritas sistem, budaya dan sumberdaya
yang belum ada yang sangat diperlukan untuk
mendukung visi, misi, tujuan, sasaran, rencana, dan
program-program penyelenggaraan MBS. Doronglah
sistem, budaya dan sumberdaya manusia yang
mendukung penerapan MBS serta hargailah mereka
(unsur-unsur) yang telah memberi contoh dalam
penerapan MBS
g. Pantaulah dan arahkan proses perubahan agar sesuai
dengan visi, misi, tujuan, sasaran, dan program-
program MBS.
2. Memperbanyak mitra sekolah
Sekolah harus memperbanyak mitra baik dalam
maupun luar sekolah guna terciptanya kesuksesan MBS.
Kemitraan dalam sekolah antara lain meliputi kepala
sekolah dengan guru, guru dengan guru, guru dengan
siswa, siswa dengan siswa dst. Kemitraan sekolah dengan
luar sekolah (masyarakat) antara lain meliputi kepala
sekolah dengan komite sekolah, guru dengan orangtua
siswa, kepala sekolah dengan kepala dinas pendidikan
kota/kabupaten, dst.
kemitraan penting untuk dilakukan karena hasil
pendidikan sekolah merupakan hasil kolektif dari unsur-
10
unsur terkait atau para pelaksana kepentingan
(stakeholders). Kemitraan yang dapat menghasilkan
team-work yang kompak, cerdas dan dinamis merupakan
kartu utama bagi keberhasilan MBS. Oleh karena itu,
upaya-upaya untuk meningkatkan kemitraan perlu
ditempuh melalui :
1)Membuat pedoman mengenai tatacara kemitraan,
menyediakan sarana kemitraan dan saluran komunikasi
2)Melakukan advokasi, publikasi, dan transparansi
terhadap pelaksana kepentingan
3)Melibatkan pelaksana kepentingan sesuai dengan
prinsip relevansi, yurisdiksi, dan kompetensi serta
kompatibilitas tujuan yang akan dicapai.
3. Merumuskan kembali aturan sekolah, peran unsur-unsur
sekolah, serta kebiasaan dan hubungan antar unsur-unsur
sekolah
Pergeseran dari manajemen berbasis pusat
(sentralistik) menuju manajemen berbasis sekolah
memerlukan peninjauan kembali terhadap aturan sekolah,
peran unsur-unsur sekolah, kebiasaan bertindak dan
hubungan antar unsur-unsur sekolah. Aturan sekolah
perlu dirumuskan kembali agar sesuai dengan tuntutan
MBS, yaitu otonomi, fleksibilitas, dan partisipasi. Peran
masing-masing unsur sekolah perlu ditinjau kembali agar
sesuai dengan tuntutan MBS, yaitu demokrasi sekolah. Ini
berarti bahwa peran-peran yang semula lebih bersifat
otoriter perlu diubah agar menjadi egaliter. Istilah-istilah
peran yang bersifat egaliter, misalnya kepala sekolah dan
guru sebagai fasilitator, mediator, pendukung, pemberi
pertimbangan, pemberdaya, pembimbing, tutor,mentor,
11
dan istilah-istilah lain yang sederajat dengan bahasa
demokrasi. Demikian juga, kebiasaan-kebiasaan perilaku
tergantung atasan dan menunggu perlu diubah menjadi
berani mengambil prakarsa dan inisiatif. Kebiasaan
mengunggulkan kewenangan diubah menjadi kebiasaan
melayani, kebiasaan melayani sistem sekolah diubah
menjadi kebiasaan melayani siswa, dst. Hubungan antar
unsur juga perlu disesuaikan dengan tuntutan MBS. MBS
menuntut hubungan simbiosis, hubungan interaktif,
gubungan fungsional, dan bukannya hubungan yang
semata-mata bersifat struktural (atasan dan bawahan).
Pelayanan, pemberdayaan, dan pemfasilitasan terhadap
bawahan merupakan keharusan untuk diunggulkan,
bukan mengunggulkan kewenangan atasan terhadap
bawahan.
4. Menerapkan prinsip-prinsip MBS yang baik
MBS akan berhasil dengan baik jika sekolah
menerapkan prinsip-prinsip MBS yang baik pula. Prinsip-
prinsip MBS yang baik pada dasarnya mengikuti prinsip-
prinsip tatapengelolaan atau tatapemerintahan yang baik
yang meliputi partisipasi, transparansi, tanggungjawab,
akuntabilitas, wawasan kedepan, penegak hukum,
keadilan, demokrasi, prediktif, kepekaan, profesionalisme,
efektivitas dan efisiensi serta kepastian jaminan hukum.
Penerapan tatapengelolaan yang baik harus diupayakan
oleh sekolah melalui berbagai cara seperti pembuatan
aturan main sekolah/pedoman tentang tatacara pelaksaan
prinsip-prinsip MBS yang baik, penyediaan sarana untuk
memfasilitasi pelaksanaan prinsip-prinsip MBS yang baik,
melakukan advokasi, publikasi, relasi dengan para
12
pelaksana kepentingan, dsb yang disesuaikan dengan
konteks kebutuhan, karakteristik dan kemampuan sekolah
masing-masing.
5. Mengklarifikasi fungsi dan aspek manajemen pendidikan
(sekolah)
Manajemen pendidikan pada umumnya dan
manajemen sekolah pada khusunya merupakan
pengelolaan institusi (sekolah) yang dilakukan dengan
dan melalui pendidikan dan tenaga kependidikan untuk
mencapai tujuan sekolah secara efektif dan efisien. Dua
hal yang merupakan inti manajemen pendidikan, yaitu
fungsi dan aspek. Fungsi-fungsi manajemen secara umum
meliputi perencanaan, pegorganisasian, pelaksanaa,
pengoordinasian, dan pengawasan/pengontrolan. Aspek-
aspek pendidikan antara lain meliputi kurikulum, proses,
pendidik dan tenaga kependidikan, sarana dan prasarana
kesiswaan, keuangan, penilaian, hubungan sekolah dan
masyarakat, pendidikan lingkungan hidup (program
adiwiyata), penanggulangan narkoba, dan sebagainya.
Fungsi-fungsi manajemen dan aspek-aspek pendidikan
(manajemen pendidikan) tersebut perlu diklarifikasi
secara bersama-sama antara sekolah dan dinas
pendidikan kabupaten/kota melalui pertemuan/forum
untuk menemukan pembagian urusan-urusan tentang
fungsi-fungsi manajemen dan aspek-aspek pendidikan
yang menjadi kewenangan dan tanggungjawab sekolah
dan dinas pendidikan kabupaten/kota, termasuk komite
sekolah dan dewan pendidikan. Dengan cara seperti ini
akan terbentuk manajemen yang koheren, saling
komplemen, dan terhindar dari duplikasi, konflik dan
13
benturan antara sekolah dan dinas pendidikan serta
komite sekolah dan dewan pendidikan.
6. Meningkatkan kapasitas sekolah
MBS merupakan model baru bagi sekolah maupun
dinas pendidikan kabuaten/kota, komite sekolah, dan
dewan pendidikan. Oleh karena itu, pengembangan
kapasitas (kemampuan dan kesanggupan) bagi para
pelaksana kepentingan pendidikan sekolah perlu diadakan
melalui berbagai upaya, misalnya pemberian panduan
tentang konsep, pelaksanaan dan evaluasi MBS,
pelatihan, lokakarya, diskudi kelompok terfokus, seminar
tentang praktik-praktik MBS yang baik dan pelajaran yang
dapat dipetik oleh sekolah-sekolah yang melaksanakan
MBS serta studi banding ke sekolah yang sukses
melaksanakan MBS.
7. Meredistribusi kewenangan dan tanggungjawab
Dalam era sentralistik, kewenangan dan
tanggungjawab dalam mengurus sekolah terbatas pada
kepala sekolah (one man show). Semuanya tergantung
pada kepala sekolah, seolah-olah kepala sekolah seperti
raja. Dalam MBS, demokrasi merupakan jiwanya. Oleh
karena itu kewenangan dan tanggung jawab tidak
semata-mata terpusat pada kepala sekolah, tetapi
disebar/didistribusikan kepada para pelaksana
kepentingan pendidikan sekolah. Dengan cara ini,
kekuatan di sekolah tidak lagi semata-mata di pundak
kepala sekolah, tetapi disebar keseluruh pemegang
kepentingan sekolah. Jadi, kekuatan bergeser dari satu
orang (kepala sekolah) menuju ke kekuatan kolektif. Oleh
14
karena itu sangat penting bagi sekolah memiliki teamwork
yang kompak, cerdas, danm dinamis
8. Menyusun rencana pengembangan sekolah (RPS),
melaksanakan, memonitor dan mengevaluasinyaSekolah
pelaksana MBS diharapkan dapat menyusun desain dan
melakukan evaluasi RPS secara berkelanjutan setiap lima
tahun (rensta).
C. Kunci Keberhasilan Manajemen Berbasis Sekolah
Kegiatan dikatakan berhasil jika dilakukan sesuai dengan
rencana, tept waktu dan tidak melampauijadwal yang
ditetapkan, biaya digunakan sesuai dengan mata anggaran,
produk atau jasa yang dihasilkan memenuhi standar minimal
yang diharapkan.
Keberhasilan suatu sekolah dapat dilihat dari kegiatan
belajar mengajar serta kegiatan pendukung lainnya, sehingga
menghasilkan lulusan yang baik. Kepuasaan masyarakat juga
menjadi ukuran dari keberhasilan suatu sekolah. Masyarakat
akan kembali mendukung kegiatan sekolah, apabila mereka
terlayani dengan baik, ketika mengirim anak-anaknya belajar
di suatu sekolah.
Berikut ini secara umum, dijelaskan kunci
keberhasilan MBS antara lain:
1. Efektif proses pembelajaran
Sekolah yang menerapkan MBS memiliki efektifitas
proses pembelajaran yang tinggi. Ini ditunjukkan oleh sifat
pembelajaran yang menekankan pada pemberdayaan
peserta didik. Pembelajaran bukan sekedar transformasi
dan mengingat, bukan sekedar penekanan pada
pengasaan pengetahuan tentang apa yang diajarkan
15
sehingga tertanam dan berfungsi sebagai muatan nurani
dan hayati serta dipraktekkan dalam kehidupan oleh
peserta didik. Bahkan pembelajaran juga lebih
menekankan pada peserta didik agar mau belajar
bagaimana cara belajar yang produktif.
2. Kepemimpinan sekolah
Bagi sekolah yang menerapkan MBS, Kepala Sekolah
memiliki peran yang kuat dalam mengkoordinasikan,
menggerakkan dan menyerasikan semua sumber daya
pendidikan yang tersedia. Kepentingan kepala sekolah
merupakan salah satu faktor yang dapat mendorong
sekolah untuk dapat mewujudkan visi, miji, tujuan,
sasaran sekolahnya melalui program-program yang
dilaksanakan secara terencana dan bertahap. Oleh karena
itu kepala sekolah dituntut mempunyai kemampuan
mnajerial dan kepemimpinan yang memadai agar mampu
mengambil inisiatif atau prakarsa untuk meningkatkan
mutu sekolah.
3. Pengelolaan tenaga kependidikan yang efektif
Tenaga kependidikan terutama guru, merupakan salah
satu faktor strategis dari suatu sekolah. Oleh karena itu,
pengelola tenaga kependidikan, mulai dari analisis
kebutuhan, perencanaan, pengembangan, evaluasi kerja,
hubungan kerja, sampai pada balas jasa, merupakan
garapan penting bagi kepala sekolah. Pengembangan
tenaga kependidikan harus dilakukan secara terus
menerus, mengingat perkembangan ilmu pengetahuan
dan tekhnologi yang sedemikian pesat. Dengan kata lain,
tenaga kependidikan yang diperlukan untuk manajemen
16
berbasis sekolah adalah tenaga kependidikan yang selalu
mampu dan sanggup menjalankan tugasnya dengan baik.
4. Sekolah memiliki budaya mutu
Budaya mutu tertanam di sanubari semua warga
sekolah sehingga setiap perilaku selalu didasari oleh
profesionalisme. Budaya mutu memiliki elemen-elemen
sebagai berikut :
1) Informasi kualitas harus digunakan untuk perbaikan,
bukan untuk mengadili atau mengontrol orang
2) Kewenangan harus sebatas tanggungjawab
3) Hasil harus diikuti rewards atau punishment
4) Kolaborasi dan sinergi harus merupakan dasar
kerjasama
5) Warga sekolah merasa aman terhadap pekerjaannya
6) Atmosfer keadilan (fairness) harus ditanamkan
7) Imbal jasa harus sepadan dengan nilai pekerjaanya
8) Warga sekolah merasa memiliki sekolah
5. Sekolah memiliki team work yang kompak, cerdas,
dan dinamis
Kebersamaan merupakan karakteristik yang dituntun oleh
manajemen berbasis sekolah, karena output pendidikan
merupakan hasil kolektif warga sekolah buan hasil
individual. Karena itu, budaya kerjasama antar fungsi
dalam sekolah, harus merupakan kebiasaan hidup sehari-
hari warga sekolah.
6. Sekolah memiliki kemandirian
Sekolah memiliki kewenangan untuk melakukan yang
terbaik bagi sekolahnya, sehingga dituntut untuk memiliki
kemampuan dan kesanggupan kerja yang tidak selalu
menggantungkan pada atasan. Untuk menjadi mandiri,
17
sekolah harus memiliki sumber daya yang cukup untuk
menjalankan tugasnya.
7. Partisipasi warga sekolah dan masyarakat
Sekolah yang menerapkan manajemen berbasis
sekolah memiliki karakteristik partisipasi sekolah dan
masyarakat yang tinggi. Hal ini dilandasi keyakinan
bahwa makin tinggi tingkat partisipasi, makin besar pula
rasa tanggung jawab, dan makin besar rasa tanggung
jawab makin besar pula tingkat dedikasinya.
8. Sekolah memiliki transparansi
Keterbukaan/transparansi dalam pengelolaan sekolah
merupakan karakteristik sekolah yang menerapkan
manajemen berbasis sekolah. Keterbukaan/transparansi
ini ditunjukkan dalam pengambilan keputusan,
penggunaan uang dan sebagainya. Yang selalu
melibatkan pihak-pihak terkait sebagai alat kontrol.
9. Sekolah memiliki kemauan untuk berubah (psikologis dan
fisik)
Perubahan harus merupakan “kenikmatan” bagi
semua warga sekolah. Sebaliknya, kondisi statis
merupakan musuh sekolah. Tentu saja yang dimaksud
dengan perubahan adalah adanya peningkatan yang
bermakna positif. Artinya setiap perubahan yang
dilakukan, hasilnya diharapkan bisa lebih baik
dibandingkan kondisi sebelumnya (ada peningkatan)
terutama dalam mutu peserta didik.
10. Sekolah melakukan evaluasi dan perbaikan secara
berkelanjutan
18
Evaluasi belajar secara teratur bukan hanya
ditunjukan untuk mengetahui tingkat daya serap dan
kemampua peserta didik, tetapi yang terpenting adalah
bagaimana memanfaatkan hasil evaluasi belajar tersebut
untuk memperbaiki dan menyempurnakan proses
pembelajaran di sekolah. Oleh karena itu, fungsi evaluasi
menjadi sangat penting dalam rangka meningkatkan
mutu peserta didik dan mutu sekolah secara terus
menerus. Tiada hari tanpa perbaikan. Karena itu, sistem
mutu yang dimaksud harus mencakup struktur oganisasi,
tanggung jawab, prosedur, dan sumber daya untuk
menerapkan manajemen mutu.
11. Sekolah resposhif dan antisiatif terhadap kebutuhan
Sekolah selalu tanggap (responsive) terhadap
berbagai aspirasi yang muncul bagi peningkatan mutu.
Karena itu, sekolah selalu membaca lingkungan dan
menanggapi secara cepat dan tepat. Bahkan sekolah
tidak hanya mampu menyesuaikan terhadap
perubahan/tuntutan, akan tetapi juga mampu
mengantisipasi hal-hal yang mungkin bakal terjadi.
Menjemput bola, adalah padanan kata yang tepat bagi
istilah antisipatif.
12. Sekolah memiliki akuntabilitas
Akuntabilitas adalah bentuk pertanggungjawaban
yang harus dilakukan sekolah terhadap keberhasilan
program yang telah dilaksanakan. Akuntabilitas ini
berbentuk laporan prestasi yang dicapai baik kepada
pemerintah maupun kepada orangtua peserta didik dan
masyarakat. Berdasarkan hasil laporan program ini,
pemerintah dapat menilai apakah program MBS telah
19
mencapai tujuan yang dikehendaki atau tidak. Jika
berhasil maka, pemerintah perlu memberikan perlu
memberikan penghargaan kepada kepala sekolah yang
bersangkutan sehingga menjadi faktor pendorong untuk
meningkatkan kinerja dimasa yang akan datang
sebaliknya jika program tersebut belum berhasil,
pemerintah perlu memberikan koreksi atas kinerjanya
yang dianggap belum memenuhi kondisi yang diharapkan
dan selanjutnya memberikan umpan balik bagi
kepentingan peningkatan kinerja.
Faktor lain penghambat keberhasilan Manajemen
Berbasis Sekolah (MBS) antara lain:
1. Tidak berminat untuk terlibat.
Sebagian orang tidak menginginkan kerja tambahan
selain pekerjaan yang sekarang mereka lakukan. Mereka
tidak berminat untuk ikut serta dalam kegiatan yang
menurut mereka hanya menambah beban. Anggota
dewan sekolah harus lebih banyak menggunakan
waktunya dalam hal-hal yang menyangkut perencanaan
dan anggaran. Akibatnya kepala sekolah dan guru tidak
memiliki banyak waktu lagi yang tersisa untuk
memikirkan aspek-aspek lain dari pekerjaan mereka.
Tidak semua guru akan berminat dalam proses
penyusunan anggaran atau tidak ingin menyediakan
waktunya untuk urusan itu.
2. Tidak Efisien
Pengambilan keputusan yang dilakukan secara
partisipatif adakalanya menimbulkan frustrasi dan
seringkali lebih lamban dibandingkan dengan cara-cara
yang otokratis. Para anggota dewan sekolah harus dapat
20
bekerja sama dan memusatkan perhatian pada tugas,
bukan pada hal-hal lain di luar itu.
3. Pikiran Kelompok
Setelah beberapa saat bersama, para anggota dewan
sekolah kemungkinan besar akan semakin kohesif. Di satu
sisi hal ini berdampak positif karena mereka akan saling
mendukung satu sama lain. Di sisi lain, kohesivitas itu
menyebabkan anggota terlalu kompromis hanya karena
tidak merasa enak berlainan pendapat dengan anggota
lainnya. Pada saat inilah dewan sekolah mulai terjangkit
“pikiran kelompok.” Ini berbahaya karena keputusan yang
diambil kemungkinan besar tidak lagi realistis.
4. Memerlukan Pelatihan
Pihak-pihak yang berkepentingan kemungkinan besar
sama sekali tidak atau belum berpengalaman
menerapkan model yang rumit dan partisipatif ini. Mereka
kemungkinan besar tidak memiliki pengetahuan dan
keterampilan tentang hakikat MBS sebenarnya dan
bagaimana cara kerjanya, pengambilan keputusan,
komunikasi, dan sebagainya.
5. Kebingungan Atas Peran dan Tanggung Jawab Baru.
Pihak-pihak yang terlibat kemungkinan besar telah
sangat terkondisi dengan iklim kerja yang selama ini
mereka geluti. Penerapan MBS mengubah peran dan
tanggung jawab pihak-pihak yang berkepentingan.
Perubahan yang mendadak kemungkinan besar akan
menimbulkan kejutan dan kebingungan sehingga mereka
ragu untuk memikul tanggung jawab pengambilan
keputusan.
6. Kesulitan Koordinasi
21
Setiap penerapan model yang rumit dan mencakup
kegiatan yang beragam mengharuskan adanya koordinasi
yang efektif dan efisien. Tanpa itu, kegiatan yang
beragam akan berjalan sendiri ke tujuannya masing-
masing yang kemungkinan besar sama sekali menjauh
dari tujuan sekolah.
Apabila pihak-pihak yang berkepentingan telah
dilibatkan sejak awal, mereka dapat memastikan bahwa
setiap hambatan telah ditangani sebelum penerapan MBS.
Dua unsur penting adalah pelatihan yang cukup tentang
MBS dan klarifikasi peran dan tanggung jawab serta hasil
yang diharapkan kepada semua pihak yang
berkepentingan. Selain itu, semua yang terlibat harus
memahami apa saja tanggung jawab pengambilan
keputusan yang dapat dibagi, oleh siapa, dan pada level
mana dalam organisasi.
Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan
bahwa keberhasilan MBS akan terhambat jika seluruh
komponen sekolah tidak bias bekerja sama untuk
mewujudkan tujuan sekolah, selain itu tingkat
pengetahuan terhadap implementasi MBS ini juga sangat
berpengaruh, serta peran kepala sekolah sebagai sentral
di sekolah tidak maksimal dan kepala sekolah tidak bias
mengelola anggota organisasinya.
22
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) merupakan strategi
untuk mewujudkan sekolah yang efektif dan produktif. MBS
merupakan paradigm baru manajemen pendidikan yang
memberikan otonomi luas pada sekolah, dan pelibatan
masyarakat dalam kerangka kebijakan pendidikan
nasional.
2. Pelaksanaan MBS :
a. Melaksanakan sosialisasi MBS
23
b. Memperbanyak mitra sekolah
c. Merumuskan kembali aturan sekolah, peran unsur-unsur
sekolah, serta kebiasaan dan hubungan antar unsur-
unsur sekolah
d. Menerapkan prinsip-prinsip MBS yang baiK
e. Mengklarifikasi fungsi dan aspek manajemen pendidikan
3. penghambat keberhasilan MBS
a) Tidak berminat untuk terlibat.
b) Tidak efisien.
c) Pikian kelompok.
d) Memerlukan pelatihan.
e) kebingungan atas peran dan tanggung jawab baru.
f) Kesulitan koordinasi.
4. Tonggak-tonggak keberhasilan MBS:
a. Pemerataan pendidikan (kesamaan kesempatan
antara siswa-siswa baik desa maupun kota, miskin
maupun kaya, laki-laki maupun perempuan, dsb).
b. Kualitas pendidikan (input, proses, output).
c. Efektifitas dan efisiensi pendidikan (angka kenaikan
kelas, angka kelulusan, angka putus sekolah, dsb).
d. Tata pengelolaan sekolah yang baik (good
goverment)
B. Saran
Kunci keberhasilan MBS merupakan tanggung jawab
semua pihak sekolah beserta seluruh stakeholders. Untuk itu,
semua pihak sekolah dan pihak stakeholdes diharapkan
dapat mengemban tanggung jawabnya masing-masing sesuai
dengan perannya, sehingga dapat mewujudkan tercapainya
kebehasilan suatu program MBS yang telah dicanangkan.
24
DAFTAR PUSTAKA
Arcaro, Jarome S. 2006. Pendidikan Berbasis Mutu: Prinsip-prinsip
Perumusan dan Tata Langkah Penerapan. Yogyakarta.
25
Buchari, Alma. 2008. Manajemen Corporate & Strategi
Pemasaran Jasa Pendidikan Fokus Pada Mutu dan Layanan Prima.
Bandung: Alpabeta.
Departemen Pendidikan Nasional. 2007. Manajemen Berbasis
Sekolah. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.
Nurkolis. 2003. Manajemen Berbasis Sekolah (teori, model, dan
aplikasi). Jakarta: PT Gramedia Widiasara Indonesia.
Isjoni. 2006. Membangun Visi Bersama, As[ek-aspek Penting
dalam Reformasi Pendidikan. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia.\
Sudjanto, Bedjo. 2009. Manajemen Pendidikan Berbasis Sekolah
Model Pengelolaan Sekolah di Era Otonomi Daerah. Jakarta:
Sagung seto
Suryadi, Ace. 1991. ‘’Biaya dan Keuntungan Pendidikan’’, Mimbar
Pendidikan. No 1 Tahun X April 1991. Bandung: IKIP.
Wahono, F. 2000. Kapitalisme Pendidikan – Antara Kompetisi dan
Keadilan. Yogyakarta:Insist Press. Cindelaras. Pustaka Pelajar.
26