makalah literasi sains final

34
Literasi Sains/Dian/LIPI/Bandung Okt 2012 Literasi Sains untuk Semua 1 Oleh Dian R. Basuki Seberapa jauh sains dan teknologi memasuki hidup kita? Jawaban atas pertanyaan ini sampai kepada kita sekurang-kurangnya melalui dua cara: informasi yang dibawa oleh media dan pengalaman langsung berinteraksi dengan fenomena di sekitar kita. Setiap hari kita dibombardir oleh informasi yang dicetak di suratkabar dan majalah, serta disiarkan melalui televisi, mengenai pemanasan global, rekayasa genetika pada benih, wabah meningitis yang disebabkan oleh penggunaan obat tercemar, dan seterusnya. Kita juga merasakan sendiri ketidaknyamanan akibat polusi asap kendaraan bermotor, banjir karena air hujan tak terserap oleh tanah yang tertutup jalan beton, pendengaran yang makin terganggu karena terlampau sering menggunakan telepon seluler. Nyaris setiap hal yang dapat kita sentuh, lihat, rasa, ataupun dengar memiliki koneksi dengan sains (natural sciences) dan teknologi dalam satu dan lain cara. Sains-teknologi adalah bagian dari kehidupan manusia, tidak peduli apakah manusia itu tidak suka atau tergila-gila, mengerti atau tidak paham bagaimana keduanya berfungsi, peduli atau tak acuh terhadap bagaimana 1 Makalah disampaikan dalam Seminar Nasional Membangun Literasi Sains, diselenggarakan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Bandung, 30 Oktober 2012. 1

Upload: sartika-widhyastuti

Post on 30-Dec-2015

47 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

Page 1: Makalah Literasi Sains FINAL

Literasi Sains/Dian/LIPI/Bandung Okt 2012

Literasi Sains untuk Semua1

Oleh Dian R. Basuki

Seberapa jauh sains dan teknologi memasuki hidup kita? Jawaban atas pertanyaan ini

sampai kepada kita sekurang-kurangnya melalui dua cara: informasi yang dibawa oleh media dan

pengalaman langsung berinteraksi dengan fenomena di sekitar kita. Setiap hari kita dibombardir

oleh informasi yang dicetak di suratkabar dan majalah, serta disiarkan melalui televisi, mengenai

pemanasan global, rekayasa genetika pada benih, wabah meningitis yang disebabkan oleh

penggunaan obat tercemar, dan seterusnya. Kita juga merasakan sendiri ketidaknyamanan akibat

polusi asap kendaraan bermotor, banjir karena air hujan tak terserap oleh tanah yang tertutup

jalan beton, pendengaran yang makin terganggu karena terlampau sering menggunakan telepon

seluler.

Nyaris setiap hal yang dapat kita sentuh, lihat, rasa, ataupun dengar memiliki koneksi

dengan sains (natural sciences) dan teknologi dalam satu dan lain cara. Sains-teknologi adalah

bagian dari kehidupan manusia, tidak peduli apakah manusia itu tidak suka atau tergila-gila,

mengerti atau tidak paham bagaimana keduanya berfungsi, peduli atau tak acuh terhadap

bagaimana ilmuwan dan insinyur bekerja. Setiap orang juga mengetahui betapa Internet memberi

kemudahan akses kepada informasi yang luar biasa membanjir dari segala penjuru Bumi.

Di balik ketakjuban terhadap keajaiban itu, kita dihadapkan pada konsekuensi dari

informasi yang tidak akurat atau menyesatkan perihal isu-isu sains-teknologi. Begitu banyak

berita dan klaim yang dibuat atas nama sains-teknologi yang di baliknya berdiri kekuatan politik,

ekonomi, bisnis, maupun kekuasaan. Bagaimana kita menyikapi semua itu, kebaikan dan

kejahatan yang mungkin tersembunyi di dalam sains-teknologi, bila kita tidak memiliki

pengetahuan sedikit pun mengenai mengapa banjir mengepung rumah kita, mengapa pergantian

musim semakin tidak teratur, mengapa orang ada yang setuju dan ada yang menentang

pembangkit listrik tenaga nuklir, dan seterusnya.

1 Makalah disampaikan dalam Seminar Nasional Membangun Literasi Sains, diselenggarakan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Bandung, 30 Oktober 2012.

1

Page 2: Makalah Literasi Sains FINAL

Literasi Sains/Dian/LIPI/Bandung Okt 2012

Ketidakterelakan kita dari merasakan interaksi dengan fenomena alam yang berusaha

dipahami oleh manusia melalui pengetahuannya (natural sciences) maupun fenomena buatan

manusia yang direkayasa secara teknologis merupakan alasan awal mengapa kita perlu berbicara

tentang literasi sains-teknologi. Di era sekarang, literasi sains-teknologi semestinya bukan lagi

kemewahan bagi setiap bangsa. Persoalannya, bagaimana mengubah yang normatif ini menjadi

faktual.

Pengertian literasi sains

Akar-akar historis dari apa yang disebut sebagai scientific literacy (literasi sains,

keberaksaraan sains, melek sains), menurut Hurd (1997), dapat ditelusuri hingga ke masa

pengenalan sains modern ke dalam peradaban Barat pada tahun 1500an. Namun, sebagai sebuah

isu tersendiri, literasi sains memperoleh perhatian luas setelah Hurd menggunakan untuk pertama

kali istilah scientific literacy dalam tulisannya, Science Literacy: Its meaning for American

Schools, yang terbit pada 1958. Ia mengaitkan tujuan pendidikan sains dengan literasi sains

(Hodson, 2008).

Hurd menguraikan tujuh dimensi yang harus dimiliki oleh seseorang untuk disebut literat

secara keilmuan (scientifically-literate person). Tujuh dimensi itu mencakup: (1) mengerti watak

pengetahuan ilmiah; (2) menerapkan konsep, prinsip, hukum, dan teori sains yang tepat dalam

berinteraksi dengan semestanya; (3) menggunakan proses sains dalam memecahkan persoalan,

membuat keputusan, maupun melanjutkan pemahamannya mengenai semesta; (4) berinteraksi

dengan nilai-nilai yang mendasari sains; (5) memahami dan mengapresiasi perpaduan sains dan

teknologi serta keterhubungannya satu sama lain maupun dengan aspek-aspek lain masyarakat;

(6) memperluas pendidikan sains di sepanjang hidupnya; (7) mengembangkan sejumlah

keterampilan manipulatif terkait dengan sains dan teknologi.

Istilah literasi sains kemudian diadopsi oleh penulis-penulis berikutnya dengan

pengertian yang mereka kembangkan. Pella et al. (1966), umpamanya, mengusulkan definisi

literasi sains sebagai pemahaman atas konsep-konsep dasar sains, watak sains, etika yang

mengendalikan para ilmuwan dalam bekerja, kesalinghubungan antara sains dan masyarakat,

kesalinghubungan antara sains dan kemanusiaan, serta perbedaan di antara sains dan teknologi.

2

Page 3: Makalah Literasi Sains FINAL

Literasi Sains/Dian/LIPI/Bandung Okt 2012

Sembari menekankan pentingnya tiga unsur pertama dalam definisi ini, Pella tidak memasukkan

unsur keterampilan manipulatif sebagaimana dirumuskan oleh Hurd.

Kira-kira seperempat abad kemudian, proyek Science for All Americans (AAAS 1989)

mendefinisikan seseorang yang literat secara keilmuan (scientifically literate person) sebagai

‘orang yang menyadari bahwa sains, matematika, dan teknologi berkaitan dengan manusia secara

interdependen beserta kekuatan dan keterbatasannya; memahami konsep-konsep kunci dan

prinsip-prinsip sains; akrab dengan dunia alam dan mengakui keragaman dan kesatuannya; serta

menggunakan pengetahuan ilmiah dan cara berpikir ilmiah untuk tujuan-tujuan individu maupun

sosial.’

Butir terakhir ini merupakan unsur yang sangat penting yang ditambahkan oleh proyek

ini terhadap rumusan sebelumnya. Kemampuan menggunakan pengetahuan ilmiah dan cara

berpikir ilmiah akan sangat bermanfaat ketika individu dihadapkan pada persoalan sehari-hari

maupun dalam konteks memberi kontribusi terhadap pengambilan keputusan mengenai

kebijakan publik.

Definisi lain yang disumbangkan oleh Organization for Economic Co-Operation and

Development (OECD) menyerap semangat serupa. Disebutkan bahwa scientific literacy adalah

‘kapasitas untuk menggunakan pengetahuan ilmiah, untuk mengidentifikasi persoalan dan

menarik kesimpulan berbasis-bukti dalam rangka memahami dan membantu membuat keputusan

mengenai dunia alam (natural world) dan perubahan-perubahan yang dibuat terhadap dunia

tersebut melalui kegiatan manusia’. Definisi inilah yang digunakan oleh OECD dalam

pengembangan Programme for International Student Assessment (PISA), sebuah program yang

ditujukan untuk menilai tingkat literasi siswa sekolah menengah di negara-negara yang

tergabung dalam OECD maupun bukan. Setiap tiga tahun sekali, sejak tahun 2000 OECD

menerbitkan laporan mengenai tingkat literasi tersebut.

Secara umum dapat dipahami bahwa literasi sains berarti pemahaman yang luas

mengenai konsep-konsep dasar. Kita tidak perlu mampu mensintensiskan obat baru untuk

mengapresiasi pentingnya kemajuan medis, atau mampu menghitung orbit stasiun angkasa luar

untuk memahami perannya dalam eksplorasi angkasa luar. Warga yang literat secara keilmuan

memiliki fakta dan kosakata yang memadai untuk memahami konteks informasi yang diterima

3

Page 4: Makalah Literasi Sains FINAL

Literasi Sains/Dian/LIPI/Bandung Okt 2012

sehari-hari. Apabila kita dapat memahami isu-isu ilmiah yang dipublikasikan di majalah dan

suratkabar, jika Anda bisa membaca artikel rekayasa genetik atau lubang ozon sama mudahnya

dengan kita membaca sepakbola, politik, atau seni, itu berarti kita literat secara keilmuan. Miller

(2007) menggunakan pengertian ini ketika melakukan survei terhadap orang dewasa Amerika

Serikat mengenai pemahaman mereka terhadap isu-isu sains. Tolok ukurnya ialah kemampuan

responden dalam memahami artikel dan berita sains yang diterbitkan di harian New York Times.

Seseorang yang literat secara keilmuan, menurut US National Science Education

Standards, dapat mengajukan pertanyaan, menemukan, atau menentukan jawaban atas

pertanyaan yang berasal dari keingintahuan mengenai pengalaman sehari-hari. Artinya, orang

tersebut memiliki kemampuan untuk menguraikan, menjelaskan, dan memprediksi fenomena

alam. Ia mampu membaca dengan pemahaman artikel mengenai sains di media populer dan

terlibat dalam percakapan sosial mengenai isu sains. Ia mampu mengevaluasi kualitas informasi

ilmiah berdasarkan sumbernya dan metoda yang digunakan untuk menghasilkan informasi

tersebut. Literasi sains berimplikasi bahwa seseorang mampu mengidentifikasi isu-isu sains yang

mendasari keputusan nasional dan lokal serta mengungkapkan posisinya berdasarkan informasi

ilmiah.

Pentingkah Literasi Sains?

Begitu pentingkah literasi sains sehingga OECD merasa perlu mengadakan survei secara

teratur? Terbitnya buku Unscientific America: How Scientific Illiteracy Threatens Our Future

karya Sheril Kirshenbaum dan Chris Mooney (2011) barangkali dapat menyediakan ilustrasi

mengenai kecemasan mereka terhadap tingkat literasi sains bangsa Amerika. Ketertinggalan

warga Amerika dalam literasi sains dibandingkan sejumlah negara, seperti Korea Selatan dan

Singapura, dalam pandangan Kirshenbaum dan Mooney, menjadi ancaman bagi masa depan

Amerika.

Dalam risetnya yang dipublikasikan pada 2007, Miller menyebutkan bahwa hanya sekitar

28 persen warga dewasa Amerika Serikat dapat dikualifikasikan sebagai scientifically literate.

Angka ini merupakan peningkatan dari semula sekitar 10 persen pada awal 1990an. Miller,

Direktur International Center for the Advancement of Scientific Literacy, mendefinisikan ‘civic

4

Page 5: Makalah Literasi Sains FINAL

Literasi Sains/Dian/LIPI/Bandung Okt 2012

scientific literacy’ sebagai (1) pemahaman mengenai konsep-konsep keilmuan dasar; (2)

pemahaman mengenai watak pencarian ilmu; dan (3) pola konsumsi informasi reguler, seperti

membaca dan memahami buku-buku sains populer.

Hasil tes PISA 2009, yang menilai pengetahuan siswa dari 65 negara, menunjukkan

bahwa AS menempati peringkat ke-23 di antara seluruh negara dan berada di peringkat 17 di

antara 34 negara anggota OECD. Skor yang dicapai AS adalah 502, sedangkan skor rata-rata

internasional adalah 500. Baik Miller maupun Kirshenbaum dan Mooney mengkhawatirkan

tingkat literasi sains warganya yang lebih rendah dibandingkan dengan sejumlah negara. Tatkala

kehidupan sekarang dan masa depan semakin bergantung pada penguasaan sains dan teknologi,

literasi sains yang rendah merupakan penghambat serius bagi AS untuk mempertahankan

supremasinya. Di saat yang sama, Cina tengah berusaha mendongkrak jumlah penduduknya

yang melek sains untuk mengimbangi peningkatan jumlah doktor di negara tersebut.

Pandangan yang lebih jelas mengenai pentingnya literasi sains dapat dibaca dari sikap

Royal Society (1985) yang menyatakan bahwa “memperbaiki pemahaman publik mengenai sains

merupakan investasi untuk masa depan; bukan kemewahan yang sekedar memperturutkan kata

hati”. Argumen yang disampaikan Royal Society ialah bahwa scientific literacy “dapat menjadi

unsur utama dalam mempromosikan kemakmuran nasional, dalam meningkatkan kualitas

pengambilan keputusan publik dan privat, serta dalam memperkaya kehidupan individual”.

Mengingat pandangan tersebut, hasil survei untuk mengukur pengetahuan dan sikap

ilmiah di kalangan orang awam yang diadakan di Inggris pada 1988 mengejutkan banyak pihak.

Di samping mengangkat isu-isu yang terkait dengan proses-proses ilmiah, survei ini juga

memuat pertanyaan seperti “Manakah yang benar, ‘Matahari mengelilingi Bumi’ atau ‘Bumi

mengelilingi Matahari’?” Dari survei yang dipublikasikan di majalah Nature diketahui bahwa

meski kebanyakan warga Inggris mengatakan sangat berminat terhadap sains, ternyata lebih dari

30% responden masih meyakini bahwa Matahari mengelilingi Bumi.

Data itu mengonfirmasi dugaan para ilmuwan Inggris waktu itu bahwa kebanyakan orang

memiliki pengetahuan yang sangat sedikit mengenai sains. Situasi ini menggambarkan apa yang

mereka sebut ‘defisit pengetahuan’ untuk menggambarkan menurunnya tingkat pengetahuan

warga mengenai sains. Kesenjangan yang tajam antara pengetahuan yang dimiliki ilmuwan dan

5

Page 6: Makalah Literasi Sains FINAL

Literasi Sains/Dian/LIPI/Bandung Okt 2012

yang dipunyai publik menjadi isu yang menarik perhatian pengambil kebijakan publik.

Sebagaimana di AS, pemahaman publik Inggris mengenai sains menjadi isu kritis di negeri

tersebut.

Mengapa demikian? Terdapat keyakinan, seperti disebutkan dalam laporan Royal Society

tentang The Public Understanding of Science (1985), bahwa pemahaman publik mengenai sains

memiliki kaitan erat dengan kesejahteraan bangsa. Ekonomi yang kuat hampir sepenuhnya

bergantung kepada industri yang berbasis sains dan teknologi. Bisnis berskala kecil juga tidak

lagi dapat mengabaikan perkembangan sains dan teknologi. Oleh karena itu, perkembangan sains

dan teknologi—serta unsur lain yang terkait, seperti etika dan nilai-nilai sosial—semestinya

menjadi pertimbangan utama dalam pembuatan kebijakan publik. Seberapa bagus kebijakan

publik ini dibuat, itu bergantung kepada seberapa bagus pemahaman pembuat kebijakan publik

dan warga mengenai sains dan teknologi.

Banyak pendapat diajukan mengenai mengapa literasi sains dan teknologi itu penting

(Herinksen dan Froyland, 2000), namun secara umum argumen-argumennya dapat diringkaskan

sebagai berikut:

Pertama, argumen praktis. Orang membutuhkan pemahaman tentang sains dan (terlebih

lagi) teknologi untuk menangani kehidupan sehari-hari di dalam masyarakat yang

didominasi oleh sains dan teknologi;

Kedua, argumen demokratis. Orang memerlukan pemahaman tentang sains untuk dapat

berpartisipasi dalam berbagai isu yang terkait sains-kompleks yang dihadapi oleh

warga demokrasi modern;

Ketiga, argumen kultural. Sains adalah bagian dari warisan kultural kita dan sangat

memengaruhi pandangan kita tentang dunia dan tempat manusia di dalamnya;

Keempat, argumen ekonomi. Tenaga kerja yang literat secara keilmuan (scientifically

literate) merupakan kebutuhan untuk mengembangkan ekonomi di kebanyakan

negara, tak terkecuali untuk bisnis berskala kecil dan menengah. Belum pernah

pembangunan ekonomi suatu bangsa demikian bergantung kepada kemajuan dalam

sains dan teknologi yang menciptakan permintaan akan tenaga kerja teknis dan

populasi yang melek sains (Liu, 2009).

6

Page 7: Makalah Literasi Sains FINAL

Literasi Sains/Dian/LIPI/Bandung Okt 2012

Bagaimana Indonesia meletakkan isu literasi sains-teknologi di dalam kerangka besar

pembangunan manusianya? Untuk menjawab pertanyaan ini, lebih baik kita mengetahui terlebih

dahulu di mana posisi Indonesia di antara bangsa-bangsa lain dalam hal literasi sains.

Posisi Indonesia

Dari argumen-argumen mengenai pentingnya literasi sains-teknologi tadi, terlihat bahwa

dibutuhkan populasi yang cukup besar, yang mencakup warga secara luas, untuk mendorong

kemampuan bersaing suatu bangsa. Karena itu, penting untuk mengetahui bagaimana tingkat

literasi sains-teknologi warga dewasa Indonesia. Namun, sejauh ini, pengukuran literasi yang

sudah dilakukan secara teratur baru pada tingkat siswa sekolah menengah, yakni oleh OECD

melalui proyek PISA.

Pengukuran ini mencakup tiga jenis literasi, yakni membaca, matematika, dan sains.

Kerangka literasi sains PISA 2006 terdiri atas empat aspek yang saling berkaitan, yakni konteks,

kompetensi, ranah pengetahuan, dan sikap (lihat bagan, Ekohariadi, 2009). Bagan ini

menggambarkan perihal bagaimana situasi kehidupan yang memerlukan sains dan teknologi

menuntut orang agar menguasai sejumlah kompetensi, dan penguasaan kompetensi ini

dipengaruhi oleh pengetahuan dan sikap orang tersebut.

Gambar 1. Bagan literasi sains versi PISA

7

Konteks

Situasi kehidupan yang memerlukan sains dan teknologi

Kompetensi

Mengidentifikasi masalah sains

Menjelaskan fenomena secara ilmiah

Memanfaatkan data sains

Pengetahuan

Apa yang mereka ketahui:Alam dan teknologi

(knowledge of science)Sains (knowledge about

science)

Sikap

Bagaimana mereka merespons sains: MinatDukungan terhadap

penyelidikan ilmiahTanggung jawab terhadap

lingkungan

Menuntut orang agar mampu Dipengaruhi

oleh

Page 8: Makalah Literasi Sains FINAL

Literasi Sains/Dian/LIPI/Bandung Okt 2012

Dalam hal tingkat literasi, bagaimana posisi Indonesia dibandingkan dengan negara-

negara lain? Tabel berikut dapat memberikan gambaran mengenai tingkat literasi rata-rata siswa

sekolah menengah Indonesia dibandingkan dengan di negara-negara lain berdasarkan empat hasil

survei PISA yang dipublikasikan dalam rentang tahun 2000-2009. Dalam ketiga bidang yang

diukur, yakni membaca, matematika, dan sains, Indonesia selalu menempati posisi jauh di bawah

skor rata-rata internasional (500).

Tabel 1. Posisi Indonesia berdasarkan studi PISA

Tahun StudiMata

Pelajaran

Skor rata-rata

Indonesia

Skor rata-rata internasional

Peringkat Indonesia

Jumlah negara

peserta studi

2000Membaca 371 500 39

41Matematika 367 500 39Sains 393 500 38

2003Membaca 382 500 39

40Matematika 360 500 38Sains 395 500 38

2006Membaca 393 500 48 56

Matematika 391 500 5057

Sains 393 500 50

2009

Membaca 402 500 57

65Matematika 371 500 61

Sains 383 500 57

Sumber: Tim PISA Indonesia, Pusat Penelitian Pendidikan Balitbang Kemdiknas

Posisi Indonesia tertinggal jauh dibandingkan banyak negara Asia. Korea Selatan,

terutama, menempati posisi teratas dalam beberapa kesempatan survei PISA. Negeri Ginseng ini

berebut tempat teratas bersama Finlandia, dan kemudian dengan Shanghai-Cina dan Singapura,

serta meninggalkan negara-negara Barat lain yang selama ini dianggap maju, seperti Amerika

Serikat, Inggris, Jerman, ataupun Prancis (PISA Report, OECD).

Apa masalah kita?

Dalam ayat 6 PP No. 19/2005 tentang Standar Pendidikan Nasional disebutkan bahwa

lingkup sains dalam kurikulum ialah mengenali, merespons, dan mengapresiasi sains dan

8

Page 9: Makalah Literasi Sains FINAL

Literasi Sains/Dian/LIPI/Bandung Okt 2012

teknologi, serta mengembangkan kebiasaan ilmiah dalam berpikir seperti berpikir kritis dan

kreatif, independen, dan bersikap positif. Pendidikan sains diharapkan menjadi sarana bagi siswa

untuk mempelajari diri mereka sendiri dan lingkungan mereka, serta menerapkan pengetahuan

untuk memecahkah persoalan kehidupan sehari-hari. Proses-proses belajar harus difokuskan

pada menyampaikan pengalaman nyata melalui proses pencarian ilmiah.

Rendahnya tingkat literasi baca, sains, dan matematika siswa Indonesia itu

memperlihatkan bahwa tujuan yang ingin dicapai dalam kurikulum tersebut belum terpenuhi.

Permanasari (2011) menyebutkan, terdapat kesenjangan antara apa tercantum di dalam

kurikulum sains dengan praktik pembelajaran sains di sekolah. Mengutip kajian yang dilakukan

oleh pusat kurikulum pada tahun 2010, Permanasari menyatakan bahwa terdapat sejumlah

kelemahan, baik dalam standar kandungan maupun dalam proses pembelajaran sains.

Kekakuan silabus dan kelangkaan panduan kurikulum, menurut Yulaelawati (2000),

menimbulkan keterbatasan terhadap kreativitas guru dan merintangi spontanitas dalam

pengajaran sains. Silabus mencakup tujuan, uraian mengenai topik dan sub-topik, alokasi waktu,

metoda, sumberdaya dan metoda penilaian atau evaluasi. Terlampau rincinya silabus dianggap

membatasi fleksibilitas bagi guru-guru yang kreatif untuk mengembangkan aktivitas pengajaran

sains yang seiring dengan situasi kehidupan nyata. Di sisi lain, panduan kurikulum tidak

menyediakan cukup material untuk membantu guru mengembangkan riset ilmiah.

Sebagaimana dikatakan oleh Permanasari, Yulaelawati juga menyebutkan bahwa kualitas

pengajaran dan pembelajaran sains terhambat oleh kurikulum dan beban penilaian yang sangat

banyak. Ini menyebabkan siswa tidak mendapatkan pemahaman yang mendalam dan tidak

menguasai keterampilan berpikir kritis. Standar yang ada juga tidak menyertakan pembangunan

sikap dan karakter sebagai bagian literasi sains. Kemampuan guru untuk menafsirkan model-

model pembelajaran sains di ruang kelas merupakan kelemahan lain. Temuan tersebut

menunjukkan bahwa terdapat kesenjangan antara apa yang telah digariskan sebagai tujuan

dengan implementasi di lapangan.

Akan tetapi patut diingat bahwa literasi sains seyogyanya tidak dibatasi dalam konteks

sekolah-siswa-guru. Berbagai survei terhadap publik secara luas, antara lain di Inggris dan AS,

maupun upaya Cina untuk mendongkrak literasi sains warganya, memperlihatkan bahwa

9

Page 10: Makalah Literasi Sains FINAL

Literasi Sains/Dian/LIPI/Bandung Okt 2012

semakin disadari pentingnya mengembangkan masyarakat yang scientifically literate untuk

mengimbangi gerak langkah para ilmuwan di negara masing-masing. Dalam konteks ini,

Indonesia belum memperlihatkan suatu wawasan strategis untuk mengembangkan literasi

warganya. Indonesia belum menjadikan literasi sains dan matematika sebagai rencana strategis

jangka panjang. Cina, di dalam ikhtiarnya mengejar ketertinggalan dalam sains, matematika, dan

teknologi, telah memasukkan literasi di bidang ini ke dalam rencana strategis jangka panjang

dengan sasaran yang jelas. Di luar ikhtiar yang tampak jamak, seperti mendongkrak jumlah

ilmuwan di banyak bidang, Cina menerapkan strategi yang tak kalah penting: menjadikan literasi

sains sebagai program negara. Cina telah memulainya sejak 2006 dengan mencanangkan

Rencana 15 Tahun untuk meningkatkan jumlah penduduk yang melek sains. Cina kini tengah

berusaha keras mendongkrak tingkat literasi sains warganya agar mampu mengimbangi

pertumbuhan cepat jumlah doktor mereka.

Setidaknya terdapat dua tujuan utama yang hendak dicapai dengan program tersebut.

Pertama, mendongkrak kekuatan Cina dalam sains maupun peran yang dimainkan sains dalam

pembangunan di negara tersebut. Kedua, memberikan pada warga Cina ketrampilan yang

diperlukan untuk menerapkan pemahaman mengenai sains dan teknologi dalam kehidupan

sehari-hari.

Korea Selatan merupakan contoh sebuah negara yang mengetahui harus berbuat apa dan

memutuskan untuk melangkah ke arah mana. Dalam konteks berkembangnya kehidupan

manusia dari personal ke global, Korea mengembangkan visi baru mengenai literasi sains yang

diperlukan untuk mengarungi abad ke-21. Mereka melakukan rekonseptualisasi dengan

mengembangkan kerangka kerja untuk literasi sains yang mencakup lima dimensi, yakni content

knowledge, habits of mind, character and values, science as a human endeavor and

metacognition, dan self-direction (Kyunghee Choi, et al.).

Perspektif baru tersebut dibuat dengan mengembangkan dan memperbaiki masing-

masing dimensi, menekankan pemahaman yang terintegrasi mengenai gagasan besarnya dan

pentingnya karakter serta nilai-nilai, menambahkan metakognisi untuk memahami informasi

ilmiah yang kompleks, dan menekankan global citizenship. Unsur terakhir ini penting dalam

konteks kompetisi maupun kooperasi di tingkat global mengingat banyak persoalan yang

10

Page 11: Makalah Literasi Sains FINAL

Literasi Sains/Dian/LIPI/Bandung Okt 2012

dihadapi bersama sebagai umat manusia yang tinggal di Bumi yang sama, misalnya saja isu

perubahan iklim.

Amerika Serikat sebenarnya sudah lebih dulu berusaha memperbaiki diri dengan

menjalankan program reformasi pendidikan guru sains. Secara umum, terkait pendidikan tinggi,

American Association for the Advancement of Science telah memprakarsai Project 2061:

Blueprints for Reform (Rutherford, 2001). Proyek ini dtujukan untuk mereformasi pendidikan

sains di sekolah-sekolah yang tidak bisa dicapai hanya dengan upaya-upaya kecil. Proyek 2061

menetapkan sejumlah hal, yakni (1) mendefinisikan literasi sains dengan melibatkan sejarah dan

filsafat sains; (2) mempromosikan adopsi sasaran pembelajaran yang mengalir dari konsepsi

mengenai literasi sains; dan (3) menciptakan alat-alat bagi sistem sekolah, kolese dan universitas,

penerbit dan badan pembiayaan, serta badan-badan federal dan negara bagian untuk melakukan

upaya reformasi pendidikan sains yang berfokus pada sasaran pembelajaran.

Indonesia, dihadapkan pada upaya-upaya yang dijalankan oleh berbagai negara lain,

sesungguhnya berada pada posisi kritis dalam hal literasi sains. Ketika penguasaan sains dan

teknologi menjadi faktor dominan dalam kompetisi antarbangsa, literasi baca tidaklah memadai

untuk membuat kita cukup mampu ikut berbicara. Untuk mencapai tingkat literasi sains, di mana

orang menyadari, berminat dan terlibat dalam membentuk opini mengenai isu-isu sains, kita

mesti melewati tahapan pemahaman lebih dulu tentang kontennya, prosesnya, dan faktor sosial

yang mengonstruksi sains dan teknologi. Persoalannya, Indonesia belum menjadikan literasi

sains sebagai program strategis bangsa.

Membangun Literasi Sains

Sebelum mencari jalan keluar dari situasi yang kita hadapi, perlu didengar lebih dulu apa

yang dipersepsikan dan dirasakan oleh siswa kita berkaitan dengan sains. Berikut ini beberapa

kutipannya:

“Pelajaran sains membuatku takut sebab aku harus belajar begitu banyak rumus.”

“Aku tidak mengerti apapun mengenai sains karena aku tidak pintar matematika.”

“Sains menyebabkan bencana, seperti Chernobyl dan Hiroshima, atau menyebabkan

kerusakan, seperti lubang ozon, polusi, dan penyakit.”

11

Page 12: Makalah Literasi Sains FINAL

Literasi Sains/Dian/LIPI/Bandung Okt 2012

“Mengapa para ilmuwan tidak berkonsentrasi pada apa yang benar-benar diperlukan:

mengembangkan obat-obatan untuk memerangi penyakit, bahan-bahan untuk mengatasi polusi,

atau mengembangkan mekanisme keselamatan yang lebih bagus pada mobil untuk mengurangi

jumlah kecelakaan?”

Persepsi mengenai sains dan ilmuwan serta pengalaman berinteraksi dengan sains, seperti

yang disampaikan sebagian siswa tersebut, niscaya dapat dijumpai di banyak negara. Pendekatan

yang digunakan dalam pembelajaran sains di sekolah memberikan kontribusi penting terhadap

persepsi dan pengalaman tersebut. Dengan mengambil fokus pada pengajaran fisika, beberapa

watak yang melekat pada pendekatan tersebut patut memperoleh perhatian (Neves, 2000), di

antaranya:

1. Bersifat dogmatis, dalam pengertian semua hal yang dipelajari tentang fenomena harus

‘dimengerti’ oleh memori dan dalam konteks ‘kebenaran mutlak’;

2. Bersifat non-human, dalam pengertian bahwa dogma ilmiah dilihat sebagai

independen dari eksistensi manusia;

3. Bersifat matematis, dalam pengertian fenomena tersebut hanya dijelaskan oleh bahasa

matematika yang rumit;

4. Bersifat simbolis, dalam pengertian istilah-istilah matematisnya, yang ditunjukkan

dalam sejumlah formula, tidak dipahami makna riilnya;

5. Bersifat ethereal, dalam pengertian bahwa fisika tidak mempunyai kontak langsung

dengan dunia nyata.

Kelima persoalan yang muncul dalam pengajaran fisika di kelas berpotensi men-

demotivasi siswa sehingga enggan mengeksplorasi penjelasan mereka sendiri mengenai

serangkaian fenomena yang membentuk dunia nyata. Oleh karena itu, mengajarkan lebih banyak

fakta sains kepada siswa bukanlah jawaban. Menambah jumlah aktivitas laboratorium juga

bukan jawaban. Guru-guru pendidikan sains dari lima negara yang pendidikan sainsnya terbaik

di dunia, yakni Finlandia, Singapura, Korea Selatan, Selandia Baru, dan Kanada, memberi

rekomendasi terhadap pendekatan pembelajaran sains: selalu libatkan siswa dan jadikan sains

relevan dengan kehidupan mereka (Slate Magazine, 2011).

12

Page 13: Makalah Literasi Sains FINAL

Literasi Sains/Dian/LIPI/Bandung Okt 2012

Apa yang perlu ditambahkan ialah penekanan ‘pikiran yang terang’ dalam pembelajaran

sains. Pentingnya kemampuan untuk memahami dan menjelaskan dalam bahasa yang terang

makna konsep-konsep ilmiah yang fundamental merupakan hal yang sentral bagi literasi sains.

Ilmuwan-ilmuwan mashur sering menyampaikan hal ini. Erwin Schrodinger, misalnya,

mengomentari karyanya tentang fisika kuantum (Shawn M. dan Muth, 1994): “Jika Anda tidak

mampu—dalam jangka panjang—menceritakan kepada setiap orang tentang apa yang sedang

Anda kerjakan, pekerjaan Anda tersebut tidak bernilai.” Werner Heisenberg juga menulis: “Bagi

fisikawan sekalipun, uraian dalam bahasa yang jelas menjadi kriteria dari derajat pemahaman

yang telah dicapai.”

Diperlukan upaya-upaya yang lebih strategis dan mencakup wilayah yang lebih luas dari

hanya sekolah, sehingga revitalisasi kurikulum sains, penguatan kompetensi guru, maupun

perbaikan kualitas proses pembelajaran sains harus dipandang sebagai bagian dari strategi

peningkatan literasi sains secara umum yang melibatkan seluruh warga negara. Komitmen

terhadap peningkatan literasi sains warga semestinya ditunjukkan secara konkret dalam

perencanaan jangka panjang dan implementasi yang konsisten pada tingkat nasional.

Peningkatan literasi sains dan teknologi harus menjadi agenda bangsa yang menjangkau jauh ke

depan.

Dalam tataran praktis, terdapat sejumlah langkah yang dapat dilakukan, baik dalam

konteks pembelajaran sains di dalam sekolah maupun di luar sekolah, yang melibatkan pula

warga masyarakat. Keterlibatan subyek dan kontekstualitas materi menjadi prinsip yang harus

dikedepankan agar siswa dan warga tidak sekedar menjadi pendengar serta tidak merasakan

relevansi sains dengan persoalan kehidupan mereka sehari-hari.

Pemikiran ini didasarkan atas sejumlah studi dan pengalaman yang dijalankan di berbagai

negara:

1. Pemanfaatan film-film science fiction sebagai media belajar yang mengasyikkan

(Noves, 2000). Sejumlah sarjana di Brazil telah menggunakan film-film semacam ini,

seperti Star Wars, A Space Odyssey, Star Trek, dan sebagainya, dalam aktivitas

pembelajaran bagi mahasiswa dan guru. Materi ini bersifat ekstra-kurikuler dan tidak

dievaluasi. Para fasilitator pembelajaran mengembangkan atmosfer informal yang

13

Page 14: Makalah Literasi Sains FINAL

Literasi Sains/Dian/LIPI/Bandung Okt 2012

menyenangkan di ruang pertemuan. Di samping mempelajari fenomena ilmiah yang

menjadi tema film, peserta pembelajaran diharapkan dapat menemukan representasi

mental dari konsepsi-konsepsi fisika di dalamnya.

2. Sejarah sains dikembangkan sebagai sarana untuk mempelajari bagaimana sebuah

konsepsi sains tertentu mengalami pertumbuhan. Wang dan Marsh (2000)

melaporkan bahwa rekomendasi untuk menyertakan sejarah sains ke dalam bagian

dari reformasi pengajaran sains didasarkan atas alasan spesifik, yakni menyediakan

konteks bagi isu-isu tertentu. Dengan mempelajari sains sejarah, misalnya sebagai

latar belakang untuk memahami konsepsi sains tertentu, pembelajar dapat memahami

relevansi konsepsi tersebut dengan kehidupan nyata.

3. Komunikasi ilmuwan dengan masyarakatnya seyogyanya ditingkatkan melalui

berbagai kegiatan. Kompleksitas perkembangan sains dan teknologi saat ini maupun

di masa mendatang semakin memperkuat kebutuhan untuk menghubungkan

komunitas ilmiah dengan masyarakat luas. Sejumlah studi tentang pemahaman publik

mengenai sains memperlihatkan bahwa kesenjangan di antara dua kelompok tersebut

cenderung menimbulkan masalah serius pada saat kebijakan publik tertentu harus

diambil. Berkomunikasi kini dianggap sebagai fungsi strategis oleh mayoritas

organisasi yang berinteraksi di dalam sistem sosial kita (Testa, 2006), tak terkecuali

komunitas ilmiah. Bagi komunitas ilmiah, dalam pandangan Testa, komunikasi

diperlukan untuk survive, melindungi diri, memperoleh sumber daya, serta untuk

tumbuh.

Tulisan sains populer memang tidak dapat bertindak sebagai model penulisan

ilmiah. Namun, tulisan sains populer menjadikan sains lebih dapat diakses oleh

publik yang lebih luas, dan karena itu dapat memainkan peran yang bermanfaat dalam

peningkatan literasi sains. Menulis di media massa semestinya dapat menjadi cara

yang mudah bagi ilmuwan dalam mengomunikasikan pikirannya kepada publik

awam. Penggunaan bahasa yang lebih populer membuka peluang yang lebih lebar

bagi khalayak yang lebih luas untuk mengakses gagasan ilmuwan tersebut tanpa

mengurangi bobot gagasannya. Sejumlah ilmuwan dunia, seperti Albert Einstein,

14

Page 15: Makalah Literasi Sains FINAL

Literasi Sains/Dian/LIPI/Bandung Okt 2012

Stephen Hawking, Richard Dawkins, Richard Feynman, Paul Davis, bahkan menulis

buku yang diapresiasi oleh masyarakat.

Komunikasi dengan publik melalui ceramah (public lecture) dapat mendekatkan

masyarakat dengan isu-isu sains maupun dengan sosok ilmuwan. Para ilmuwan kita

jarang memberikan ceramah publik mengenai berbagai isu sains. Komunikasi

biasanya dilakukan dengan perantaraan media seperti suratkabar, majalah, dan

televisi yang memiliki keterbatasan karena sudah dimediasi.

4. Lembaga-lembaga riset, museum, maupun kampus dapat berperan serta

meningkatkan literasi sains. Kebun Raya Bogor, Observatorium Bosscha, Museum

Geologi, Lembaga Eijkman, LIPI, dan banyak lagi dapat berbagi dengan masyarakat

mengenai apa yang mereka kerjakan dan pengetahuan yang mereka miliki.

Keterbukaan lembaga-lembaga ini untuk dikunjungi oleh masyarakat dapat

mengurangi hambatan komunikasi antara ilmuwan dan publiknya (Burns, 2003). Dari

hasil eksplorasinya, Henriksen dan Frøyland () mengungkapkan potensi museum

untuk menyediakan informasi dan pengalaman bagi pengunjung yang relevan dengan

isu-isu terkait sains yang mereka jumpai dalam kehidupan sehari-hari, baik individual

maupun sosial.

5. Keterbatasan produksi buku-buku sains populer harus segera ditanggulangi

mengingat buku merupakan sarana penyebaran pengetahuan yang relatif mudah

diakses. Namun keterbatasan ini dapat diatasi untuk sebagian melalui pemanfaatan

Internet. Hanya saja masyarakat harus bersikap lebih selektif dalam menyaring

informasi yang membanjir melalui Internet. Dalam konteks ini, hubungan antara

literasi sains dan membanjirnya informasi di Internet bersifat timbal-balik.

6. Pembentukan klab-klab sains dapat menjadi ajang pembelajaran yang mengasyikkan,

terutama bagi anak-anak usia sekolah dasar dan menengah. Dengan mengerjakan

proyek sains, anggota klab memperoleh pengalaman langsung bagaimana ‘doing

science’ dan bukan hanya ‘using science’. Anggota klab dapat merasakan ‘bagaimana

menjadi ilmuwan’. Dari aktivitas ini, minat terhadap sains dapat dipupuk secara

berkelanjutan dan apresiasi terhadap ilmuwan dapat meningkat. Cara berpikir sains

15

Page 16: Makalah Literasi Sains FINAL

Literasi Sains/Dian/LIPI/Bandung Okt 2012

dan hasrat untuk mencari dan menemukan sesuatu (scientific inquiry) dapat ditularkan

melalui kegiatan klab.

KESIMPULAN

Literasi sains tidak cukup hanya menjadi tujuan kurikulum sains di sekolah,

melainkan harus diperluas dengan melibatkan warga masyarakat dewasa.

Ikhtiar membangun literasi sains harus menjadi kepedulian bersama yang diwujudkan

dalam program strategis nasional jangka panjang.

Penggunaan cara dan sarana inovatif, yang tidak hanya bertumpu pada

pengajaran/pembelajaran di kelas, dapat mendorong peningkatan literasi sains di

masyarakat.

Para ilmuwan dan publik harus meningkatkan komunikasi di antara mereka.

KEPUSTAKAAN

1. Burns, T.W., D.J. O’Connors, dan S.M. Stocklmayer. 2003. “Science communication: a

contemporary definition”. Public Understanding of Science, 12.

2. Chancellor of the Duchy of Lancaster. 1993. Realising Our Potential: A Strategy for

Science, Engineering and Technology.

3. Cooper, Jean dan Roger Miles. 1992. Much may be made if she be caught young: How

Museums Can Best Effect Public Understanding of Science. London: The Natural History

Museum.

4. DeBoer, George E. 2000. ‘Scientific Literacy: Another Look at Its Historical and

Contemporary Meanings and Its Relationship to Sciencen Edcuation Reform’. Journal of

Research in Science Teaching Vol. 37, No. 6, pp. 582-601.

5. Dillon, Justin. 2009. “On Scientific Literacy and Curriculum Reform”. International

Journal of Environmental & Science Education, Vol. 4, No. 3, July 2009, 201-213.

6. Ekohariadi. 2009. “Faktor-faktor yang Mempengaruhi Literasi Sains Siswa Indonesia

Berusia 15 Tahun”. Jurnal Pendidikan Dasar, Vol. 10, No. 1.

7. Galili, Igal. History of Physics as a Tool for Teaching.

16

Page 17: Makalah Literasi Sains FINAL

Literasi Sains/Dian/LIPI/Bandung Okt 2012

8. Glynn, Shawn M. dan K. Denise Muth. 1994. “Reading and Writing to Learn Science:

Achieving Scientific Literacy”. Journal of Research in Science Teaching, Vol. 31, No. 9.

9. Henriksen, Ellen K. dan Merethe Frøyland. 2000. “The contribution of museums to

scientific literacy: views from audience and museum professionals”. Public

Understandingof Science, 9.

10. Hodson, Derek. 2008. Towards Scientific Literacy. Rotterdam: Sense Publishers.

11. Hurd, Paul deHart. 1998. “Scientific Literacy: New Minds for a Changing World”. Issues

and Trends. Stanford: John Wiley & Sons, Inc.

12. Kim, Minkee, Jari Lavonen, and Masakata Ogawa. 2009. “Experts’ Opinions on the High

Achievement of Scientific Literacy in PISA 2003: A Comparative Study in Finland and

Korea”. Eurasia Journal of Mathematics, Science & Technology Education, 5 (4), 379-

393.

13. Kyunghee Choi, et al. “Re-conceptualization of scientific literacy in South Korea for the

21st century”.

14. Laugksch, Rudiger C. 2000. “Scientific Literacy: A Conceptual Overview”. Science &

Education, 8.

15. Liu, Xiufeng. 2009. “Beyond Science Literacy: Science and the Public”. International

Journal of Environmental & Science Education. Vol. 4, No. 3, July.

16. Mamlok-Naaman, Rachel. 2010. “Enhancing the Scientific Literacy of Students by

Exposing Them to a Historical Approach to Science”. Contemporary Science Education

Research: Scientific Literacy and Social Aspects of Science. Ankara: Pegem Academi.

17. Miller, John. Februari 2007. “Scientific Literacy: How Do Americans Stack Up?”.

Science Daily.

18. Nair, Indira. 2011. “New Scientific Literacies for an Interdependent World”. Diversity

and Democracy, Vol. 14, No. 2.

19. Neves, Marcos Cesar Danhoni, et al. Jan/Jun 2000. “Science fiction in physics teaching:

improvement of science education and history of science via informal strategies of

teaching”. Revista Ciencias Exatas e Naturais, Ano 1, No. 2.

17

Page 18: Makalah Literasi Sains FINAL

Literasi Sains/Dian/LIPI/Bandung Okt 2012

20. OECD. 2007. PISA 2006 Science Competencies for Tomorrow’s World: Volume 1 –

Analysis. Paris: OECD.

21. Permanasari, Anna. 2011. Improving Student’s Science Literacy: Between Written and

Implementation Curriculum. Presented in the 4th International Seminar on Science

Education, Science Education Program School of Post-Graduate, UPI.

22. Rutherford, F. James. 2001. “Fostering the History of Science in American Science

Education”. Science & Education, 10.

23. The Royal Society. 1985. The Public Understanding of Science. London: The Royal

Society.

24. Testa, Annamaria. 2006. “Why Engage in Science Communications?”. Communicating

Science: A Scientist’s Survival Kit. European Commission.

25. Wang, Hsingchia A., and William H. Schmidt. 2001. ‘History, Philosophy and Sociology

of Science in Science Education: Results from the Third International Mathematics and

Science Study’. Science & Education 10: 51-70, 2001.

26. Yulaelawati, Ella. 2000. “Report: Indonesia”. Education for Contemporary Society:

Problems, Issues and Dilemmas.

18

Page 19: Makalah Literasi Sains FINAL

Literasi Sains/Dian/LIPI/Bandung Okt 2012

Literasi Sains dan Teknologi untuk UKM

1. Teknologi memainkan peran yang semakin besar dalam kehidupan kita sehari-hari.

Rentangnya sangat lebar, mencakup kebutuhan manusia untuk hidup lebih sehat, lebih

produktif, untuk berbisnis, dsb.

2. Dua buah lembaga di AS, National Academy of Engineering (NAE) dan National

Research Council (NRC), mendefinisikan literasi teknologis sebagai ‘kemampuan untuk

menggunakan, mengelola, menilai, dan memahami teknologi’.

3. Seseorang yang literat secara teknologis memahami, dengan cara yang semakin

meningkat seiring perjalanan waktu, apa itu teknologi, bagaimana teknologi diciptakan,

dan bagaimana teknologi membentuk masyarakat, dan bagaimana teknologi dibentuk

oleh masyarakat. Seseorang yang literat secara teknologis akan merasa nyaman dengan

dan bersikap obyektif terhadap teknologi, tidak takut dan tidak pula tergila-gila pada

teknologi.”

4. Teknologi tidak terpisahkan dari konteks sosial dan kultural. Dimensi sosial memainkan

peran sentral dalam penciptaan pengetahuan dan perilaku. Literasi teknologis

dimaksudkan untuk menyediakan alat bagi manusia agar mampu berpartisipasi secara

cerdas dalam dunia di sekelilingnya.

5. Seperti halnya literasi sains, terdapat alasan yang kuat bagi pentingnya literasi teknologis:

Alasan praktis

Alasan kultural

Alasan demokratis

Alasan ekonomi

19

Page 20: Makalah Literasi Sains FINAL

Literasi Sains/Dian/LIPI/Bandung Okt 2012

6. Karakteristik warga yang melek teknologi ditunjukkan dari unsur: pengetahuan, cara

berpikir dan bertindak, serta memiliki kapabilitas tertentu dalam penggunaan teknologi.

7. Nahapiet dan Ghoshal mendefinisikan kapital sosial sebagai “penjumlahan sumber daya

aktual dan potensial yang melekat di dalam, tersedia melalui, dan berasal dari jejaring

hubungan yang dimiliki oleh individu atau unit-unit sosial. Burt mendefinisikan kapital

sosial sebagai “aset yang melekat di dalam hubungan individu-individu, komunitas-

komunitas, jejaring-jejaring, dan masyarakat-masyarakat”.

8. Dimensi-dimensi di dalam kapital sosial meliputi:

a. Dimensi struktural, yang terletak pada jejaring itu sendiri

b. Dimensi relasional, yang menekankan ikatan yang menguatkan jejaring, dan

c. Dimensi kognitif, yang merupakan kandungan di dalam kapital sosial.

9. Membangun jejaring:

a. Peneliti dan ilmuwan, yang menghasilkan produk pengetahuan dan teknologi.

Misalnya, membuat pisang tidak lekas membusuk.

b. Jurnalis, yang memungkinkan penyebaran informasi secara cepat dan akurat.

c. Teknologi internet dan media sosial, untuk menjalin interaksi di antara pelaku bisnis

d. Bank Pengetahuan: KM untuk UKM knowledge management untuk menghimpun

pengalaman para pelaku bisnis berskala kecil.

10. Memperkuat kemampuan membangun model bisnis, yakni bagaimana memanfaatkan

segenap potensi sains dan teknologi untuk menciptakan nilai bagi pelanggan.

11. Pentingnya memadukan Literasi sains dan teknologi – Kapital sosial – Manajerial

20