makalah keuangan daerah studi kasus kota ngawi.docx
TRANSCRIPT
MAKALAH
BELANJA DERAH
(Studi Kasus Belanja Daerah : Belanja Pegawai Ngawi)
Disusun untuk Memenuhi Tugas Matakuliah Keuangan Daerah yang dibina Dr. Moh.
Khusaini., SE., Msi., MA
Oleh
1. Anik Fatul Rofiah (135020101111051)
2. Nur Azizah (135020101111054)
3. Dian Dewi Megadini (135020107111004)
4. Mery Maulydia Agustin (135020107111007)
Program Studi Ekonomi Pembangunan
Jurusan Ilmu Ekonomi
Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Brawijaya
2015
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb
Segala puji bagi Allah yang telah memberikan kami kemudahan sehingga dapat
menyelesaikan makalah mengenai “BELANJA DAERAH (Studi Kasus Belanja Daerah :
Belanja Pegawai Kabupaten Ngawi)” dengan baik. Tidak lupa kami mengucapakan terima
kasih kepada Dosen Keuangan Daerah oleh Dr. Moh. Khusaini., SE., Msi., MA dan Asisten
Dosen Kakak Tiara yang telah membimbing proses pembuatan makalah ini sehingga dapat
terselesaikan. Makalah ini menjelaskan mengenai “KEUANGAN DAERAH (Studi Kasus
Belanja Daerah : Belanja Pegawai Kabupaten Ngawi)”.
Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan
serta pengetahuan kita mengenai konsep belanja daerah, struktur belanja daerah dan fungsi
belanja daerah. Kami juga menyadari sepenuhnya bahwa di dalam makalah ini terdapat
kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, kami berharap adanya kritik, saran
dan usulan demi perbaikan makalah yang telah kami buat di masa yang akan datang,
mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa saran yang membangun.
Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya.
Sekiranya makalah yang telah disusun ini dapat berguna bagi kami sendiri maupun orang
yang membacanya. Sebelumnya kami mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang
kurang berkenan dan kami memohon kritik dan saran yang membangun demi perbaikan di
masa depan.
Wassalammualaikum Wr. Wb
Malang, 10 April 2015
Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pengelolahan keuangan daerah merupakan faktor yang penting untuk melihat
kemandirian suatu daerah. Dilihat dari tingkat kemandirian daerah di bidang keuangan
belum memperlihatkan kemajuan yang berarti bahkan cenderung menurun selama satu
dasawarsa terakhir. Pemerintah daerah masih sangat tergantung kepada pusat dan belum
memiliki sumber pendapatan asli daerah yang kuat untuk menopang kegiatan
pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat di tingkat lokal.
Kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal yang diatur dalam
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-
Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah
telah menunjukkan secara tegas kesepakatan politis yang menetapkan bahwa
desentralisasi fiskal di Indonesia lebih menitikberatkan desentralisasi pada sisi
belanja. Kewenangan yang didelegasikan kepada daerah untuk mendapatkan
penerimaan masih relatif terbatas. Sementara di sisi lain, daerah diberikan
kewenangan yang cukup besar untuk membelanjakan dana yang dikelolanya.
Dengan diskresi belanja daerah yang luas tersebut, maka kualitas belanja
daerah akan sangat ditentukan oleh pilihan-pilihan yang diambil oleh daerah itu
sendiri. Dengan input dana publik yang selalu bersifat terbatas, maka daerah dituntut
untuk mempunyai strategi yang jitu dalam mengelola dan mengalokasikannya secara
efisien, sehingga mampu memberikan output layanan publik yang optimal.
Selanjutnya diharapkan pilihan atas prioritas output tersebut akan menghasilkan
outcome yang signifikan, yang berupa peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Belanja pemerintah daerah secara langsung maupun tidak langsung berdampak
pada kualitas pelayanan publik dan mendorong aktivitas sektor swasta di daerah yang
bersangkutan. Belanja yang tidak optimal dapat mengakibatkan rendahnya kualitas
pelayanan publik dan menurunnya aktivitas sektor swasta. Otonomi daerah dan
desentralisasi fiskal diharapkan dapat meningkatkan efisiensi penyediaan barang
publik dan regulasi lokal, sehingga kualitas pelayanan publik semakin baik dan
produktivitas ekonomi di daerah semakin meningkat. Berkaitan dengan hal tersebut
maka peran optimalisasi belanja daerah akan mempengaruhi pembangunan ekonomi
di daerah.
Oleh karena itu, belanja pemerintah daerah yang efisien merupakan isu
penting dalam kebijakan sektor publik, belanja yang efisien diyakini dapat mendorong
peningkatan kesejahteraan masyarakat secara lebih luas. Isu efisiensi belanja
pemerintah ini menjadi sangat penting, khususnya dalam konteks pertumbuhan
ekonomi dan stabilisasi makroekonomi. Belanja pemerintah yang efisien sangat erat
kaitannya dengan proses penganggaran baik proses penyusunan anggaran pemerintah
pusat maupun penyusunan anggaran pemerintah daerah.
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Definisi Belanja Daerah
Beberapa pendapat mengenai belanja daerah, antar lain :
Menurut PP No. 24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan
Belanja adalah semua pengeluaran dari Rekening Kas Umum Negara / Daerah
yang mengurangi ekuitas dana lancar dalam periode tahun anggaran yang
bersangkutan yang tidak akan diperoleh pembayarannya kembali oleh
pemerintah.
Peraturan pemerintah nomor 105 tahun 2002 tentang pengelolaan dan
pertanggungjawaban keuangan daerah pada pasal 1 (ayat 13) dan Keputusan
Menteri Dalam Negeri nomor 29 tahun 2002 pada pasal (huruf q)
menyebutkan bahwa belanja daerah adalah semua pengeluaran kas daerah
dalam periode tahun anggaran tertentu yang menjadi beban daerah.
Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2004, belanja
daerah adalah semua kewajiban daerah yang diakui sebagai pengurang nilai
kekayaan bersih dalam periode tahun anggaran yang bersangkutan.
Menurut Halim (2001), belanja daerah adalah pengeluaran yang dilakukan
oleh pemerintah daerah untuk melaksanakan wewenang dan tanggung jawab
kepada masyarakat dan pemerintah diatasnya.
Menurut Kepmendagri Nomor 29 Tahun 2002, belanja daerah adalah semua
pengeluaran kas daerah dalam periode tahun anggaran tertentu yang menjadi
beban daerah.
Menurut Sri Lesminingsih (Abdul Halim, 2001:199) bahwa pengeluaran
daerah adalah semua pengeluaran kas daerah selama periode tahun anggaran
bersangkutan yang mengurangi kekayaan pemerintah daerah.
Menurut Permendagri No 59 Tahun 2007 tentang perubahan atas Permendagri
No 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah
diungkapkan pengertian belanja daerah yaitu kewajiban pemerintah daerah
yang diakui sebagai pengurang nilai kekayaan bersih.
Menurut UU No. 32 tahun 2004 tentang pemerintah daerah, belanja daerah adalah
semua kewajiban daerah yang diakui sebagai pengurang nilai kekayaann bersih
dalam periode tahun anggaran yang bersangkutan. Berdasarkan struktur
anggarann daerah, elemen-elemen yang termasuk dalam belanja daerah terdiri
dari belanja aparatur daerah, belanja pelayanan publik, belanja bagi hasil dan
bantuan keuangan, belanja tidak tersangka.
Jadi dari pengertian-pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa belanja daerah adalah
semua pengeluaran yang dilakukan pemerintah daerah dalam periode anggaran tertentu
digunakan untuk melaksanakan kewajiban, wewenang dan tanggung jawab dari pemerintah
daerah kepada masyarakat dan pemeritah daerah. Dalam Permendagri No.59 Tahun 2007,
belanja daerah dipergunakan dalam rangka mendanai pelaksanaan urusan pemerintahan yang
menjadi kewenangan provinsi atau kabupaten/kota yang terdiri dari urusan wajib, urusan
pilihan dan urusan yang penanganannya dalam bagian atau bidang tertentu yang dapat
dilaksanakan bersama antara pemerintah dan pemerintah daerah atau antar pemerintah daerah
yang ditetapkan dengan ketentuan perundangundangan.
Tujuan Belanja Daerah
1. Merupakan rasionalisasi atau gambaran kemampuan dan penggunaan sumber-
sumber finansial dan material yang tersedia pada suatu negara/daerah.
2. Sebagai upaya untuk penyempurnaan berbagai rencana kegiatan yang telah
dilaksanakan sebelumnya sehingga hasilnya akan lebih baik.
3. Sebagai alat untuk memperinci penggunaan sumber-sumber yang tersedia menurut
objek pembelanjaannya sehingga memudahkan pengawasan atas pengeluarannya.
4. Sebagai landasan yuridis formal dari penggunaan sumber penerimaan yang dapat
dilakukan pemerintah serta sebagai alat untuk pembatasan pengeluaran.
5. Sebagai alat untuk menampung, menganalisis, serta mempertimbangkan dalam
membuat keputusan seberapa besar alokasi pembayaran program dan proyek yang
diusulkan.
6. Sebagai pedoman atau tolak ukur serta alat pengawasan atas pelaksanaan
kegiatan, program dan proyek yang dilakukan pemerintah.
B. Klasifikasi Belanja Daerah
Klasifikasi Menurut Ketentuan Undang-Undang di Bidang Keuangan Negara
Berdasarkan ketentuan Pasal 14 ayat (2) dan Pasal 19 ayat (2) Undang Undang
Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, disebutkan bahwa rencana kerja dan
anggaran kementerian negara/lembaga (di tingkat pemerintah pusat) dan rencana kerja
dan anggaran SKPD (di tingkat pemerintah daerah) disusun berdasarkan prestasi kerja
yang akan dicapai. Pendekatan prestasi kerja mensyaratkan bahwa kementerian
negara/lembaga dan SKPD harus diukur kinerjanya berdasarkan program/kegiatan yang
telah direncanakan.
Ketentuan tersebut di atas ditegaskan lagi dengan Pasal 14 dan 15 Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, yang menyatakan bahwa
di dalam dokumen pelaksanaan anggaran perlu diuraikan sasaran yang hendak dicapai,
fungsi, program dan rincian kegiatan, anggaran yang disediakan untuk mencapai sasaran
tersebut, dan rencana penarikan dana tiap-tiap satuan kerja, serta pendapatan yang
diperkirakan.
Klasifikasi Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2005 tentang Standar
Akuntansi Pemerintahan
Menurut Paragraf 34 PSAP Nomor 02, ditetapkan bahwa belanja diklasifikasikan
menurut klasifikasi ekonomi (jenis belanja), organisasi dan fungsi. Rincian tersebut
merupakan persyaratan minimal yang harus disajikan oleh entitas pelaporan.
Selanjutnya dicontohkan pada Paragraf 39 PSAP 02 klasifikasi belanja menurut ekonomi
(jenis belanja) yang dikelompokkan lagi menjadi Belanja Operasi, Belanja Modal dan
Belanja Lain-lain/Tak Terduga.
Belanja Operasi adalah belanja yang dikeluarkan dari Kas Umum Negara/Daerah
dalam rangka menyelenggarakan operasional pemerintah, sedangkan Belanja Modal
adalah belanja yang dikeluarkan dalam rangka membeli dan/atau mengadakan barang
modal. Belanja Operasi selanjutnya diklasifikasikan lagi menjadi Belanja Pegawai,
Belanja Barang, Bunga, Subsidi, Hibah, Bantuan Sosial dan Belanja Lain-lain/Tak
Terduga.
Pengklasifikasian menurut pola Government Financial Statistics (GFS) yang
diterbitkan oleh International Monetary Fund (IMF) dibedakan berdasarkan fungsi dibagi
menjadi :
Pelayanan Umum
Pertahanan
Agama
Ekonomi
Kesehatan
Perlindungan
Lingkungan Hidup
Pariwisata dan Budaya
Perumahan dan Pemukiman
Ketertiban dan Ketentraman
Pendidikan dan Perlindungan Sosial
Klasifikasi Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang
Pengelolaan Keuangan Daerah
Pasal 27 Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 menetapkan klasifikasi
belanja sebagai berikut:
1. Belanja daerah diklasifikasikan menurut organisasi, fungsi, program dan kegiatan
serta jenis belanja;
2. Klasifikasi belanja menurut organisasi disesuaikan dengan susunan organisasi
pemerintahan daerah
3. Klasifikasi menurut fungsi terdiri dari :
a. Klasifikasi berdasarkan urusan pemerintahan untuk tujuan manajerial
pemerintahan daerah;
b. Klasifikasi berdasarkan fungsi pengelolaan keuangan negara untuk tujuan
keselarasan dan keterpaduan dalam rangka pengelolaan keuangan negara.
Klasifikasi Menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang
Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah
Klasifikasi belanja sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 58
Tahun 2005 tersebut di atas dijabarkan lebih lanjut dalam Peraturan Menteri Dalam
Negeri Nomor 13 Tahun 2006, yaitu :
a. Klasifikasi belanja dalam rangka pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi
kewenangan provinsi dan/atau kabupaten/kota yang terdiri dari belanja urusan
wajib dan belanja urusan pilihan.
b. Klasifikasi belanja menurut fungsi bertujuan untuk keselarasan dan keterpaduan
pengelolaan keuangan negara yang mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor
24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan. Menurut klasifikasi ini,
belanja terdiri atas: pelayanan umum, ketertiban dan ketentraman, ekonomi,
lingkungan hidup, perumahan dan fasilitas umum kesehatan, pariwisata dan
budaya, pendidikan dan perlindungan sosial. Berbeda dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 24 Tahun 2005, Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 tidak
memasukkan fungsi “pertahanan” dan “agama” karena kedua fungsi tersebut
adalah urusan pemerintahan yang dilaksanakan sepenuhnya oleh pemerintah
pusat dan tidak didesentralisasikan.
c. Klasifikasi menurut kelompok belanja terdiri dari belanja langsung dan belanja
tak langsung. Pengklasifikasian belanja ini berdasarkan kriteria apakah suatu
belanja mempunyai kaitan langsung dengan program/kegiatan atau tidak. Belanja
yang berkaitan langsung dengan program/kegiatan (misalnya belanja honorarium,
belanja barang, belanja modal) diklasifikasikan sebagai belanja Buletin Teknis
Penyajian dan Pengungkapan Belanja Pemerintah langsung, sedangkan belanja
yang tidak secara langsung dengan program/kegiatan (misalnya gaji dan
tunjangan pegawai bulanan, belanja bunga, donasi, belanja bantuan keuangan,
belanja hibah, dan sebagainya) diklasifikasikan sebagai belanja tidak langsung.
Belanja Daerah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)
Untuk pemerintahan daerah, berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun
2005 yang kemudian dijabarkan dalam Permendagri 13 Tahun 2006, belanja
diklasifikasikan berdasarkan jenis belanja yaitu Belanja tidak langsung dan Belanja
langsung. Kelompok Belanja Tidak Langsung merupakan belanja yang dianggarkan
tidak terkait secara langsung dengan pelaksanaan program dan kegiatan. Kelompok
Belanja Langsung merupakan belanja yang dianggarkan terkait secara langsung dengan
pelaksanaan program dan kegiatan. Selanjutnya, kelompok Belanja Tidak Langsung
dibagi menurut jenis belanja yang terdiri dari :
1. Belanja Pegawai
Penganggaran belanja penghasilan pimpinan dan anggota DPRD, gaji
pokok dan tunjangan kepala daerah dan wakil kepala daerah serta gaji
pokok dan tunjangan pegawai negeri sipil, tambahan penghasilan, serta
honor atas pelaksanaan kegiatan.
2. Belanja Bunga
Penganggaran pembayaran bunga utang yang dihitung atas kewajiban
pokok utang (principal outstanding) berdasarkan perjanjian pinjaman
jangka pendek, jangka menengah, dan jangka panjang.
3. Belanja Subsidi
Penganggaran subsidi kepada masyarakat melalui lembaga tertentu yang
telah diaudit, dalam rangka mendukung kemampuan daya beli masyarakat
untuk meningkatkan kualitas kehidupan dan kesejahteraan masyarakat.
Lembaga penerima belanja subsidi wajib menyampaikan laporan
pertanggungjawaban penggunaan dana subsidi kepada kepala daerah.
4. Belanja Hibah
penganggaran pemberian bantuan dalam bentuk uang, barang dan/atau
jasa kepada pihak-pihak tertentu yang tidak mengikat/tidak secara terus
menerus yang terlebih dahulu dituangkan dalam suatu naskah perjanjian
antara pemerintah daerah dengan penerima hibah, dalam rangka
peningkatan penyelenggaraan fungsi pemerintahan di daerah, peningkatan
pelayanan kepada masyarakat, peningkatan layanan dasar umum,
peningkatan partisipasi dalam rangka penyelenggaraan pembangunan
daerah.
5. Belanja Bantuan Sosial
Penganggaran pemberian bantuan dalam bentuk uang dan/atau barang
kepada masyarakat yang tidak secara terus menerus/berulang dan selektif
untuk memenuhi instrumen keadilan dan pemerataan yang bertujuan
untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat termasuk bantuan untuk
PARPOL.
6. Belanja Bagi Hasil
Penganggaran dana bagi hasil yang bersumber dari pendapatan provinsi
yang dibagihasilkan kepada kabupaten/kota atau pendapatan
kabupaten/kota yang dibagihasilkan kepada pemerintahan desa sesuai
dengan ketentuan perundang-undangan.
7. Bantuan Keuangan
penganggaran bantuan keuangan yang bersifat umum atau khusus dari
provinsi kepada kabupaten/kota, pemerintah desa, dan kepada pemerintah
daerah lainnya atau dari pemerintah kabupaten/kota kepada pemerintah
desa dan pemerintah daerah lainnya dalam rangka pemerataan dan/atau
peningkatan kemampuan keuangan.
8. Belanja Tidak Terduga
Menurut Paragraf 35 PSAP Nomor 02, istilah “Belanja Lain-lain
digunakan oleh pemerintah pusat, sedangkan istilah “Belanja Tak
Terduga” digunakan oleh pemerintahan daerah. Penganggaran belanja
atas kegiatan yang sifatnya tidak biasa atau tidak diharapkan berulang
seperti penanggulangan bencana alam dan bencana sosial yang tidak
diperkirakan sebelumnya, termasuk pengembalian atas kelebihan
penerimaan daerah tahun-tahun sebelumnya yang telah ditutup.
Kelompok Belanja Langsung terdiri atas :
1. Belanja Pegawai
Belanja pegawai dalam kelompok belanja langsung tersebut dimaksudkan
untuk pengeluaran honorarium/upah dalam melaksanakan program dan
kegiatan pemerintahan daerah. Belanja Pegawai : Honor : merupaka
sesuatu yang harus dibayarkan oleh pemerintah kepada pegawai , tetapi
apabila pegawai tidak melakukan pekerjaan maka upah tidak akan
dibayarkan (dia bekerja / produktivitas dan berkaitan dengan tujuan
oraganisasi).
2. Belanja Barang dan Jasa
Belanja barang dan jasa ini mencakup belanja barang pakai habis,
bahan/material, jasa kantor, premi asuransi, perawatan kendaraan
bermotor, cetak/penggandaan, sewa rumah/gedung/gudang/parkir, sewa
sarana mobilitas, sewa alat berat, sewa perlengkapan dan peralatan kantor,
makanan dan minuman, pakaian dinas dan atributnya, pakaian kerja,
pakaian khusus dan hari- hari tertentu, perjalanan dinas, perjalanan dinas
pindah tugas, dan pemulangan pegawai
3. Belanja Modal
Belanja modal digunakan untuk pengeluaran yang dilakukan dalam rangka
pembelian/pengadaan atau pembangunan aset tetap berwujud yang
mempunyai nilai manfaat lebih dari 12 (duabelas) bulan untuk digunakan
dalam kegiatan pemerintahan, seperti dalam bentuk tanah, peralatan dan
mesin, gedung dan bangunan, jalan, irigasi dan jaringan dan aset tetap
lainnya.
C. Arahan Pengelolahan Belanja Daerah
Belanja daerah diarahkan pada peningkatan proporsi belanja untuk memihak
kepentingan publik, disamping tetap menjaga eksistensi penyelenggaraan
Pemerintahan. Dalam penggunaannya, belanja daerah harus tetap mengedepankan
efisiensi, efektivitas dan penghematan sesuai dengan prioritas, yang diharapkan dapat
memberikan dukungan programprogram strategis daerah. Semakin besar belanja
daerah diharapkan akan makin meningkatkan kegiatan perekonomian daerah (terjadi
ekspansi perekonomian). Di sisi lain, semakin besar pendapatan yang dihasilkan dari
pajak-pajak dan retribusi atau penerimaan yang bersumber dari masyarakat, maka
akan mengakibatkan menurunnya kegiatan perekonomian (terjadi kontraksi
perekonomian). Untuk mewujudkan sasaran tersebut, maka pengelolaan belanja
daerah dilaksanakan dalam kerangka arah kebijakan, sebagai berikut:
1. Memprioritaskan alokasi anggaran belanja daerah pada sektorsektor
peningkatan pelayanan dasar, pendidikan, kesehatan, fasilitas sosial dan
fasilitas umum yang berkualitas, serta mengembangkan sistem jaminan
sosial, terutama bagi mereka yang mengalami ketidakberdayaan
(powerless) akibat termarginalisasi (marginalized), terdevaluasi
(devalued), dan mengalami keterampasan (deprivation), serta
pembungkaman (silencing), sesuai amanat undang-undang, serta visi, misi
dan program kepala/wakil kepala daerah.
2. Meningkatkan anggaran belanja daerah untuk program-program
penanggulangan kemiskinan.
3. Mengarahkan alokasi anggaran belanja daerah pada pembangunan
infrastruktur pedesaan yang mendukung pembangunan sektor pertanian,
dan pencegahan terhadap bencana alam, serta sekaligus yang dapat
memperluas lapangan kerja di pedesaan melalui pendekatan program padat
karya.
4. Memberi alokasi anggaran belanja daerah pada sektor pembangunan
pedesaan dalam bentuk pemberian bantuan operasional kepada perangkat
desa.
5. Menyediakan bantuan dana bergulir bagi usaha mikro, kecil dan menengah
(UMKM) dalam rangka memberdayakan UMKM.
6. Meningkatkan kepedulian terhadap penerapan prinsip-prinsip efisiensi
belanja dalam pelayanan publik sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 38
Tahun 2007, yang meliputi manfaat ekonomi, faktor eksternalitas,
kesenjangan potensi ekonomi, dan kapasitas administrasi, kecenderungan
masyarakat terhadap pelayanan publik, serta pemeliharaan stabilitas
ekonomi makro.
7. Meningkatkan efektivitas kebijakan belanja daerah melalui penciptaan
kerja sama yang harmonis antara eksekutif, legislatif, serta partisipasi
masyarakat dalam pembahasan dan penetapan anggaran belanja daerah.
BAB III
STUDI KASUS
(BELANJA DAERAH : BELANJA PEGAWAI KABUPATEN NGAWI)
Pengelolahan keuangan daerah merupakan hal yang sangat penting untuk bagi
keberlangsungan keadaan suatu daerah tersebut. Pengelolahan keuangan yang baik
dapat berdampak positif bagi ekonomi, sosial, kesehatan,lingkungan, pembanguan
dan pelayanan publik daerah tersebut. Sebaliknya pengelolahan keuangan daerah yang
tidak efektif dan efisien akan memunculkan damapak negatif pada ekonomi, sosial,
kesehatan,lingkungan, pembanguan dan pelayanan publik daerah tersebut. Pada studi
kasus kali ini mengangkat tentang belanja daerah Kabupaten Ngawi. Kabupaten
Ngawi merupakan salah satu kabupaten yang secara geografis berada di Propinsi
Jawa Timur bagian barat yang berbatasan langsung dengan Propinsi Jawa Tengah
dan mempunyai letak yang sangat strategis karena dilewati jalur poros Jogyakarta –
Solo – Surabaya. Posisi geografis serta sumber daya yang ada menjadikan kabupaten
Ngawi mempunyai daya tarik bagi tumbuhnya kegiatan pembangunan. Namun
terdapat permasalah-permasalah ekonomi, lingkungan dan sosial yang berada di
Kabupaten Ngawi. Jika ditinjau lagi permasalahan tersebut terdapat hubungannya
dengan pengelolaan keuangan daerah Kabupaten Ngawi. Diketahui bahwa Kabupaten
Ngawi memiliki alokasi dana untuk belanja pegawai lebih besar daripada belanja
modal ataupun belanja barang dan jasa. Seperti yang terdapat pada tabel 1.1 ini
menjelasakan tentang alokasi dana untu belanja langsung dan belanja tidak langsung
Kabupaten Ngawi.
Table 1.1
Realisasi Belanja Daerah Kabupaten Ngawi
Tahun 2009-2011
URAIAN REALISASITAHUN 2009 2010 2011
B. BELANJA DAERAH 803.673.798.000 1.041.015.546.100 1.078.529.104.903
1. BELANJA TIDAK LANGSUNG
605.657.206 728.460.676.550 750.351.128.595
a. Belanja Pegawai 479.018.719 689.575.003.250 692.120.049.191b. Belanja Bunga 109.714 56.840.250 58.075.780c. Belanja Hibah 77.959.156 11.567.000.000 18.638.102.000d. Belanja Bantuan Sosial 5.588.807 6.399.000.000 4.204.750.000e. Belanja Bagi Hasil
Kepada Provinsi, Kabupaten/Kota Dan Pemerintahan Desa
1.549.040 - 664.807.000
f. Belanja Bantuan Keuangan Kepada Provinsi, Kabupaten/Kota Dan Pemerintah an Desa
41.431.770 20.691.273.150 34.207.344.625
g. Belanja Tidak Terduga - 171.559.900 458.000.0002. BELANJA LANGSUNG 198.016.592 312.554.869.550 328.177.976.308
a. Belanja Pegawai 28.353.286 22.550.451.700 26.458.369.650b. Belanja Barang Dan Jasa 67.991.864 121.967.561.900 145.991.701.876c. Belanja Modal 101.671.442 168.036.855.950 155.727.904.782
Surplus (Defisit) 803.673.798 (58.679.457.100) 51.990.989.609
Sumber : Dinas Pendapatan Pengelola Keuangan dan Aset (DPPKA) Kabupaten Ngawi
Total realisasi belanja Kabupaten Ngawi tahun 2010 mencapai 1.041,015 milyar
rupiah, hanya meningkat sekitar 29,5 % dari tahun 2009 yang mencapai 803,673 juta rupiah.
Sedangkan total realisasi belanja Kabupaten Ngawi pada tahun tahun 2011 mencapai
1.078,529 milyar rupiah, meningkat sekitar 3,6 % dari tahun 2010 yang mencapai 1.041,015
milyar rupiah. Meskipun Kabupaten Ngawi pada tahun 2009 dan 2011 mengalami surplus
namun Belanja pegawai yang dilakukannya terlihat tidak wajar/
Belanja pegawai kabupaten ngawi tahun dari tahun ke tahun mengalami peningkatan
yang signifikan. Pada tahun 2009 mencapai 479,018 juta rupiah, pada tahun 2010 mengalami
peningkatan yang cukup drastis yakni mencapai 689,575 milyar rupiah. Kemudian pada
tahun 2011 belanja pegawai Kabupaten Ngawi mencapai 692,120 juta rupiah atau 64,17 %
dari total belanja daerah kabupaten ngawi, nilai tersebut sangat besar hingga Kabupaten
Ngawi hampir dinyatakan kolaps oleh pemerintah pusat. Idealnya belanja daerah ditujukan
untuk peningkatan pelayan publik seperti tertera dalam PP Nomor 58 Tahun 2005 tentang
Pengelolaan Keuangan Daerah, pelaksanaan belanja daerah dilaksanakan denganpendekatan
kinerja yang berorientasi pada prestasi kerja, dengan memperhatikan keterkaitan antara
pendanaan dengan keluaran dan outcome yang diharapkan dari kegiatan dan program.
demikian, pendekatan kinerja sekaligus akan mencerminkan efisiensi dan efektivitas
pelayanan publik. Efisien akan diwujudkan dalam kesesuaian antara input (termasuk
pendanaan) dengan output yang paling optimal yang bisa dihasilkan. Sedangkan efektifitas
akan diwujudkan dengan kesesuaian antara output dengan ekspektasi masyarakat terhadap
pemenuhan kualitas dan kuantitas layanan publik yang dihasilkan. Namun belanja daerah
yang dilakukan Kabupaten Ngawi menunjukkan angka yang tinggi pada belanja pegawai
bukan pada belanja modal pada APBD Ngawi. Belanja Modal merupakan belanja pemerintah
daerah yang mempunyai pengaruh penting terhadap pertumbuhan ekonomi suatu daerah dan
akan memiliki daya ungkit dalam menggerakkan roda perekonomian daerah. selain itu
belanja modal juga dapat dialokasikan untuk menyediakan dan membangun infrastruktur
publik.
Dengan belanja pegawai yang tinggi, berakibat pada anggaran untuk belanja modal
dan belanja barang dan jasa sangat rendah serta porsi pembangunan di Kabupaten Ngawi
sangat terbatas, Hal ini diungkapkan oleh Koordinator Riset Forum Indonesia untuk
Transparansi Anggaran (FITRA). Selain itu masalah nilai belanja pegawai di Pemkab Ngawi
yang terlalu tinggi ini mengakibatkan kabupaten Ngawi masuk dalam daerah yang terancam
bangkrut menurut Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA), dilihatkan pada
tabel 1.2.
Tabel 1.2Daerah dengan Alokasi Belanja Pegawai di Atas 65% Tahun 2012
Daerah Belanja Pegawai Belanja Barang Belanja ModalKab. Simalungun 74,3% 11% 10%Kota Ambon 73,3% 12% 13%Kab. Karanganyar 71,7% 10% 9%Kab. Klaten 69,9% 11% 11%Kota Langsa 69,4% 16% 10%Kab. Minahasa 69,4% 12% 15%Kab. Kuningan 68,9% 11% 15%
Kab. Sragen 68,6% 14% 7%Kab. Purworejo 68,3% 11% 13%Kab. Aceh Barat 68,3% 12% 18%Kota Kupang 68,3% 14% 13%Kab. Pidie 68,1% 14% 10%Kab. Ponorogo 68,1% 16% 9%Kab. Kulon Progo 67,8% 13% 13%Kab. Wonogiri 67,4% 12% 13%Kab. Padang Pariaman 67,2% 14% 15%Kab. Bireuen 66,9% 13% 15%Kab. Ngawi 66,9% 14% 13%Kab. Bantul 66,5% 15% 11%Kab. Pacitan 66,5% 13% 11%Kab. Sumedang 66,0% 14% 13%Kab. Aceh Besar 66,0% 16% 12%Kab. Aceh Timur 66,0% 18% 13%Sumber: Seknas FITRA ( Forum Indonesia Transparansi Anggaran) tahun 2012
Dilihat dari data diatas daerah-daerah yang mengalokasikan dana untuk
anggaran belanja pegawai lebih besar 60% sedangkan untuk anggaran belanja modal
dan belanja barang dana jasa hanya sekitar 16% - 9%. Kondisi ini sebenarnya tidak
baik untuk pengelolahan keuangan daerah jika terus dibiarkan maka daerah tersebut
terancam bangkrut. Efek lain dari belanja pegawai yang terlalu tinggi dapat
menghambat pembangunan daerah tersebut sehingga tidak ada pembangunan lagi
yang terjadi. Penggunaan dana yang tidak proporsional itu menurut penelusuran
FITRA, antara lain disebabkan masih kentalnya nuansa nepotisme dalam
pengangkatan pegawai negeri sipil (PNS) di daerah. Diketahui tercatat di Badan
Kepegawaian Daerah (BKD) tahun 2012, pegawai yang aktif sebanyak 13. 841 orang.
Dinas Pendidikan (Dindik) sebagai penyumbang pemborosan terbesar dengan 8.354
PNS, disusul Dinas Kesehatan (Dinkes) dengan 1.216 PNS. Bujet total-nya pada
kisaran Rp 60 miliyar/bulan atau Rp 720 miliar/tahun. Perbandingan APBD dengan
Gaji PNS dari Tahun Anggaran 2010 Realisasi Pendapatan 887.001.554.928,49 ;
Belanja 886.619.182.158,09 ; Pembiayaan -(27.072.445.711,28) ; Gaji PNS 81 %
APBD dan Pada APBD Tahun Anggaran 2011 Pendapatan 1.104.252.584.700;
Belanja 1.118.591.331.390; Pembiayaan - (30.833.446.250); Gaji PNS 63 % APBD
dan pada APBD Tahun Anggaran 2012 Pendapatan 1.135.086.030.950 ; Belanja
1.112.731.431.350; Pembiayaan + 5.859.900.040; Gaji PNS 65 % APBD). Oleh
karena itu, Kementerian Dalam Negeri mengancam akan melikuidasi Pemerintah
Kabupaten Ngawi, Jawa Timur, karena menganggarkan komposisi belanja pegawai
yang tidak wajar. Atas ancaman dari Kemendagri, Badan Pengelola Keuangan
Pemerintah Propinsi (Pemprov) Jawa Timur, meminta Pemkab Ngawi untuk
mengevaluasi agar terhindar dari likuidasi. Belanja pegawai yang terlalu besar dapat
menjadi tolak ukur ketidakefisien kinerja anggaran belanja Kabupaten Ngawi. Belanja
pemerintah daerah secara langsung maupun tidak langsung berdampak pada kualitas
pelayanan publik dan mendorong aktivitas sektor swasta di daerah yang bersangkutan.
Belanja yang tidak optimal dapat mengakibatkan rendahnya kualitas pelayanan publik
dan menurunnya aktivitas sektor swasta.
Berikut merupakan pelayan publik Sektor Kesehatan yang mengalami
penurunan berdasarkan Draft MPPS Kabupaten Ngawi :
1. Pemasalahan utama sub sector air limbah domestik Kabupaten Ngawi sebagaimana
terlihat pada Tabel 1.3.
Tabel 1.3
Pemasalahan utama sub sector Air Limbah Kabupaten Ngawi
A. Sistem Air Limbah
User Interface
71.40
2.50
5.20
15.76
1.18
0.46 6.58 3.26 0.26
Skala KabupatenA. Jamban pribadi B. MCK/WC Umum C. Ke WC helikopter D. Ke sungai/pantai/laut E. Ke kebun/pekarangan F. Ke selokan/parit/got G. Ke lubang galian H. Lainnya, I. Tidak tahu
Berdasarkan Survey EHRA Kepemilikan jamban pribadi 71,4%, WC
umum/MCK 2,50%, WC helicopter 5,20 % sisanya tidak memiliki WC.
Pengumpulan&
Penampungan /
Pengolahan Awal:
Menurut hasil EHRA menunjukkan bahwa sebagian besar tinja anak
dibuang ke WC/ jamban 29 %, ke Tempat sampah 2 %, ke
kebun/pekarangan 2 %, ke Sungai 6 %, ke lainnya 4 %, tidak tahu 57 %.
Tempat Penyaluran Akhir Tinja di Kabupaten Ngawi tahun 2012
44%
3%
30%
0%
8%
3%
1%
11%
Tangki septik
Pipa sewer
Cubluk/lobang tanah
Langsung ke drainase
Sungai/danau/pantai
Kolam/sawah
Kebun/tanah lapang
Tidak tahu
Saluran akhir pembuangan tinja ditunjukkan pada Gambar 3.5
dengan uraian Penduduk yang membuang Tinjanya ke Tangki
Septik 44%, ke Pipa Sewer 3%, Ke Cubluk atau Lubang Tanah
30%, Tidak ada yang membuang limbahnya Langsung ke Saluran
Drainase, ke Sungai/Danau/atau Pantai 8%, ke Kolam atau Sawah 3
%, Ke Kebun atau Tanah Lapang 1 %, sedangkan yang tidak tahu
11%.
Pengangkutan /
Pengaliran
Masih belum ada sarana dan prasarana pengangkutan limbah
domestic dari Pemerintah Kabupaten Ngawi
Pengolahan Akhir
Terpusat
Pemerintah Kabupaten Ngawi belum memiliki IPAL komunal
system Off Site
Daur Ulang /
Pembuangan Akhir:
Pemerintah Kabupaten belum memiliki IPLT.
B. Lain-Lain :
Dokumen
Perencanaan
Belum memiliki master plan air limbah
Aspek Pendanaan Dana APBD Kabupaten Ngawi untuk Sektor Sanitasi sebesar 1,20 % dari
Total Belanja Langsung APBD Kabupaten Ngawi 2012
Kelembagaan dan
Peraturan Undang-
Undang
Masih belum ada perda yang mengatur tentang air limbah domestik
Aspek Peran Masih rendahnya tingkat partisipasi masyarakat dalam upaya pembuangan
Masyarakat air limbah domestic secara higienis
2. Pemasalahan utama sub sector persampahan Kabupaten Ngawi sebagaimana terlihat
pada Tabel 1.4.
Tabel 1.4
Pemasalahan utama sub sector Persampahan Kabupaten Ngawi
A. Sistem Persampahan
User Interface
97.6
94.1
91.1 83.4
96.8
.010.020.030.040.050.060.070.080.090.0
100.0
Pros
enta
se
Klu
ster
0
Klu
ster
1
Klu
ster
2
Klu
ster
3
Klu
ster
4
Kluster
Praktek Pemilahan Sampah Oleh Rumah Tangga di Kabupaten Ngawi
Tidak Dipilah
Sampah Dipilah
Menurut hasil survey EHRA menunjukkan bahwa rata – rata dari
KLuster 0 – kluster 4 sebesar 92.6 % warga belum melakukan praktek
pemilahan sampah.
PengumpulanMasih terbatasnya ketersediaan Sarana & Prasarana pembuangan
sampah (Tempat Pembuangan Sampah/TPS)
Pengangkutan
Jumlah sarana dan prasarana termasuk armada pengangkutan sangat
terbatas sehingga belum mampu mengangkut semua sampah di daerah
pelayanan
Kendaraan pengangkutan sampah sering rusak karena umur yang
cukup tua
Pemrosesan Akhir Kuantitas Alat berat di TPA masih sangat terbatas sehingga
pelaksanaaan pemerataan dan pemadatan sampah menjadi
terhambat/terganggu.
Jenis TPA yang dipakai awalnya direncanakan menggunakan sistem
sanitary landfill namun pada praktek di lapangan masih
mempergunakan sistem Controlled Landfill.
Luas lahan TPA sekarang ini sudah tidak mencukupi.
Gudang alat berat di TPA rusak berat
B. Lain-Lain :
Dokumen
Perencanaan
Kabupaten Ngawi belum memiliki master plan pengelolaan sampah.
Aspek Pendanaan Anggaran persampahan hanya 0,59 % dari Total Belanja Langsung
APBD Kabupaten Ngawi tahun 2012.
Anggaran yang dialokasikan untuk operasional dan pemeliharaan
persampahan belum mampu menangani permasalahan persampahan di
Kabupaten Ngawi
Aspek Kelembagaan
dan Peraturan
Undang-Undang
Instansi pengelola persampahan masih terbatas Eselon III
Belum ada Peraturan Daerah yang mengatur tentang Pengelolaan
Persampahan
Aspek Peran
Masyarakat
Kesadaran masyarakat dalam pengelolaan sampah masih relative
rendah karena belum ada penyuluhan dan pembinaan tentang
pengelolaan sampah.
3. Pemasalahan utama sub sector air drainase Kabupaten Ngawi sebagaimana terlihat
pada Tabel 1.5.
Tabel 1.5
Pemasalahan utama sub sector drainase Kabupaten Ngawi
A. Sistem Drainase
User InterfaceLama Air Menggenang jika Terjadi Banjir Skala Kabupaten
di Kabupaten Ngawi tahun 2012
8%
16%
16%
22%
32%
6%
Kurang dari 1 jam
Antara 1 - 3 jam
Setengah hari
Satu hari
Lebih dari 1 hari
Tidak tahu
Menurut hasil survey EHRA menunjukkan bahwa banjir yang terjadi
di Kabupaten Ngawi kurang dari 1 jam adalah 8 %, antara 1-3 jam
sebesar 16 %, setengah hari sebesar 16%, Satu hari sebesar 22%, lebih
dari sehari sebesar 32%, dan tidak tahu adalah 6%.
Rumah Tangga Yang Pernah Mengalami Banjir Skala Kluster di Kabupaten Ngawi Tahun 2012
95.1
89.9
94.7
84.6
70.0
0%
20%
40%
60%
80%
100%
Kluster
pros
enta
se
Tidak tahu
Beberapa kali dalam
Sekali dalam setahun
Tidak pernah
Tidak tahu 4.9 7.6 3.1 3.5 1.4
Beberapa kali dalam .0 2.5 .9 7.0 16.4
Sekali dalam setahun .0 .0 1.3 4.9 12.1
Tidak pernah 95.1 89.9 94.7 84.6 70.0
Kluster 0 Kluster 1 Kluster 2 Kluster 3 Kluster 4
Menurut hasil Survey EHRA maka rata – rata Rumah Tangga yang
pernah mengalami banjir dari kluster 0 – kluster 4 tidak pernah terjadi
banjir yaitu sebesar 86,86 %
.0.0.0.0.0 .0.011
.122
.233
.3
16.7
16.7
16.7
16.7
33.3
9.5
14.3
9.5
19.0
42.9
7.4
22.2
22.2
25.9
22.2
0%
10%
20%
30%
40%
50%
60%
70%
80%
90%
100%
Pros
enta
se
Kluster
Lama Air Menggenang Jika Terjadi Banjir Skala Kluster di Kabupaten Ngawi Tahun 2012
Tidak tahu
Lebih dari 1 hari
Satu hari
Setengah hari
Antara 1 - 3 jam
Kurang dari 1 jam
Tidak tahu .0 33.3 .0 4.8 .0
Lebih dari 1 hari .0 33.3 33.3 42.9 22.2
Satu hari .0 22.2 16.7 19.0 25.9
Setengah hari .0 11.1 16.7 9.5 22.2
Antara 1 - 3 jam .0 .0 16.7 14.3 22.2
Kurang dari 1 jam .0 .0 16.7 9.5 7.4
Kluster 0 Kluster 1 Kluster 2 Kluster 3 Kluster 4
Menurut hasil survey EHRA menunjukkan bahwa :
Kluster 0 tidak pernah mengalami banjir.
Kluster 1 : Pernah mengalami banjir kurang dari 1 jam 0 %, antara 1-
3 jam 0 %, setengah hari 11,1%, Satu hari 22,2%, lebih
dari sehari 33,4 %, dan tidak tahu 33,3%.
Kluster 2 : Pernah mengalami banjir kurang dari 1 jam 0 %, antara
1-3 jam 16,7 %, setengah hari 17%, Satu hari 16,7%,
lebih dari sehari 16,7 %, dan tidak tahu 33,3%.
Kluster 3 : Pernah mengalami banjir kurang dari 1 jam 9,5 %,
antara 1-3 jam 14,3 %, setengah hari 9,5%, Satu hari
19%, lebih dari sehari 42,9 %, dan tidak tahu 4,8%.
Kluster 3 : Pernah mengalami banjir kurang dari 1 jam 7,4 %,
antara 1-3 jam 22,2 %, setengah hari 22,2%, Satu hari
25,9%, lebih dari sehari 22,9 %, dan tidak tahu 0%.
Prosentase SPAL yang Berfungsi
0%
10%
20%
30%
40%
50%
60%
70%
80%
90%
100%
Kluster
Pros
enta
se Tidak ada saluran
Tidak dapat dipakai, salurankering
Air di Saluran Tidak DapatMengalir
Air di Saluran Dapat Mengalir
Tidak adasaluran
43.9 34.5 37.5 22.8 33.9
Tidak dapatdipakai, salurankering
34.1 .8 6.6 15.9 3.6
Air di SaluranTidak DapatMengalir
2.4 .8 3.8 7.0 2.5
Air di SaluranDapat Mengalir
19.5 63.9 52.1 54.2 60.0
Kluster 0
Kluster 1
Kluster 2
Kluster 3
Kluster 4
Dari hasil studi EHRA diperoleh data :
Kluster 0 : Tidak ada saluran 43,9%, Tidak dapat dipakai(Saluran
Kering) 34,1%, Air di saluran tidak dapt mengalir
2,4%, Air di Saluran dapat mengalir 19,5%.
Kluster 1 : Tidak ada saluran 34,5%, Tidak dapat dipakai(Saluran
Kering) 0,8%, Air di saluran tidak dapt mengalir 0,8i
%, Air di Saluran dapat mengalir 63,9%.
Kluster 2 : Tidak ada saluran 37,5%, Tidak dapat dipakai(Saluran
Kering) 6,6%, Air di saluran tidak dapt mengalir
3,8%, Air di Saluran dapat mengalir 52,1%.
Kluster 3 : Tidak ada saluran 22,8%, Tidak dapat dipakai(Saluran
Kering) 3,6%, Air di saluran tidak dapt mengalir 7%,
Air di Saluran dapat mengalir 54,2%.
Kluster 4 : Tidak ada saluran 33,9%, Tidak dapat dipakai(Saluran
Kering) 3,6%, Air di saluran tidak dapt mengalir
2,5%, Air di Saluran dapat mengalir 60%.
Pengangkutan /
Pengaliran
Terdapat saluran grey water yang masih tercampur dengan saluran
drainase, bahkan dijumpai pembuangan black water juga ke saluran
drainase.
Pengolahan Akhir
TerpusatSungai sebagai muara akhir dari saluran mengalami pendangkalan
Pengumpulan dan Penampungan / Pengolahan Awal:
B. Lain-Lain :
Dokumen
Perencanaan
Kabupaten Ngawi sudah mempunyai Master Plan Drainase, untuk
wilayah Ngawi perkotaan, Sedangkan untuk wilayah kecamatan belum
ada.
Aspek Pendanaan Anggaran sub sektor Drainase hanya 0,52% dari Total Belanja
Langsung APBD Kabupaten Ngawi Tahun 2012
Aspek Peran
Masyarakat
Masih banyak perilaku masyarakat yang sering buang sampah di
Saluran Drainase
Kesadaran Masyarakat untuk menyediakan lahan drainase masih
Kurang
Partisipasi masyarakat untuk ikut menjaga dan merawat saluran rendah
Adanya masyarakat yang memanfaatkan lahan pinggir drainase untuk
pemukiman.
4. Pemasalahan utama sub sector hygiene / PHBS (Perilaku Hidup Bersih dan Sehat)
Kabupaten Ngawi sebagaimana terlihat pada Tabel 1.6.
Tabel 1.6
Pemasalahan utama sub sector hygiene / PHBS Kabupaten Ngawi
Studi
EHRA 2012
Dari studi EHRA diperoleh kebiasaan Cuci Tangan Pakai Sabun (CTPS)
pada 5 waktu penting : sebelum ke toilet, seteleh menceboki anak, san
sebelum makan masih rendah. Cuci tangan hanya dilakukan setelah buang
air besar dan setelah makan.
Data Dinas
Kesehatan
Kabupaten
Ngawi 2012
presentase penduduk yang menggunakan jamban tercapai 64,44 %,
presentase penduduk Stop Air Besar Sembarangan (BABS) baru tercapai
73,1 % .
Presentase desa ODF 24 %.
Presentase penduduk yang memiliki akses air bersih mencapai 84,16 %
dengan distribusi tidak merata.
Cakupan rumah sehat baru tercapai 73, 4 %
Masih rendahnya kebiasaan masyarakat untuk cuci tangan pakai sabun.
Lemahnya kepedulian masyarakat dan pengambil kebijakan termasuk
progam-progam yang bersifat preventif dan promotif.
Kurangnya peran media massa dan media elektronik dalam promosi
kesehatan dan sanitasi.
Apabila dilihat dari data pelayanan publik pada beberapa sektor yang berhubungan dengan
kesehatan maka belanja pegawai yang terlalu besar berdampak pada belanja-belanja daerah
yang lain yang sangat berpengaruh pelayanan publik yang kurang memadai. Ini menunjukkan
ketidakefisenan belanja yang dilakukan Kabupaten Ngawi.
BAB 4
KESIMPULAN DAN SARAN
1. Kesimpulan
Dari studi kasus yang telah dibahas menujukkan bahwa belanja merupakan
pengeluaran yang dilakukan oleh pemerintah daerah untuk melaksanakan wewenang
dan tanggung jawab kepada masyarakat dan pemerintah pusat. Belanja yang
dilakukan diharapkan dapat berdampak positif pada pembangunan dan pelayanan
publik pada masyarakat. Berdasarkan struktur anggarann daerah, elemen-elemen yang
termasuk dalam belanja daerah terdiri dari belanja aparatur daerah, belanja pelayanan
publik, belanja bagi hasil dan bantuan keuangan, belanja tidak tersangka. Dilihat dari
studi kasus Kabupaten Ngawi menunjukkan bahwa belanja daerah yang dilakukan
tidak efetif dalam peningkatan pelayan publik dan pembanguan didaerahnya. Belanja
daerah Kabupaten Ngawi lebih besar alokasinya untuk belanja pegawai dari pada
belanja modal dan belanja barang dan jasa.
Penganggaran yang efektif dan efisien itu hendaknya dilakukan berdasarkan
azas efisiensi, tepat guna, tepat pelaksanaanya dan dapat dipertanggung jawabkan.
Dana yang tersedia harus dimanfaatkan sebaik mungkin untuk meningkatkan
pelayanan publik dan kesejahteraan yang maksimal untuk kepentingan masyarakat
bukan hanya menguntungkan satu atau beberapa pihak saja.
2. Saran
Menekan belanja pegawai yang terlalu besar dengan cara membatasi PNS pada
daerah Kabupaten Ngawi serta memperbaiki sistem alokasi dananya.
Pemkot Ngawi perlu mengkaji ulang jumlah PNS dan kebutuhan PNS daerah
serta lebih mengefektifkan kinerja PNS agar tidak menambah lagi jumlah PNS.
Kabupaten Ngawi diharapakan dapat emprioritaskan alokasi anggaran belanja
daerah pada sektor-sektor peningkatan pelayanan dasar, pendidikan, kesehatan,
fasilitas sosial dan fasilitas umum yang berkualitas, serta mengembangkan sistem
jaminan sosial secara menyeluruh kepada semua masyarakat sesuai amanat
undang-undang, serta visi, misidan program kepala/wakil kepala daerah.
Mengarahkan alokasi anggaran belanja daerah pada pembangunan infrastruktur di
desa dan di kota untuk mendukung pembangunan setiap sektor ekonomi serta
sekaligus yang dapat memperluas lapangan kerja di pedesaan melalui pendekatan
program padat karya.
Memberi alokasi anggaran belanja daerah pada sektor pembangunan pedesaan
dalam bentuk pemberian bantuan operasional kepada perangkat desa.
Meningkatkan kepedulian terhadap penerapan prinsip-prinsip efisiensi belanja
dalam pelayanan publik sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007,
yang meliputi manfaat ekonomi, faktor eksternalitas, kesenjangan potensi
ekonomi, dan kapasitas administrasi, kecenderungan masyarakat terhadap
pelayanan publik, serta pemeliharaan stabilitas ekonomi makro.
Meningkatkan pelayan publik pada setiap sektor seperti pendidikan,kesehatan dll.
DAFTAR PUSTAKA
1. Halim, Abdul, (2001), Bunga Rampai Manajemen Keuangan Daerah, Yogyakarta: Unit
Penerbit dan Percetakan (UPP) AMP YKPN.
2. Putra, Rahardian Prasana. (2012). Evaluasi Penganggaran Keuangan Daerah Dengan
Analisis Standar Belanja Tahun Anggaran 2010. Surakarta
3. -------------, Permendagri No. 29 dan 59 tahun 2007 tentang Perubahan atas Peraturan
Menteri Dalam Negeri No. 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan
Daerah.
4. Undang-Undang No. 32 Tahun (2004) Tentang Pemerintahan Daerah.
5. Undang-Undang No. 33 Tahun (2004) Tentang Perimbanagan Keuangan Antara Pusat
dan Pemerintah Daerah
6. www. ngawikab.bps.go.id
7. Draf MPPS Kabupaten Ngawi 2012
8. www. ngawi kab.go.id
9. http://blh.jatimprov.go.id/ RPJMD Propinsi Jawa Timur 2009-2014
10. http://grlind.blogspot.com