makalah kepemimpinan orde baru dosen erina pane,sh,mh...oleh achmad avandi,se,mm mahasiswa...
DESCRIPTION
MAKALAH MANAJEMEN KEPEMIMPINAN ....ACHMADAVANDI,SE,MM.....KOTABUMI LAMPUNG UTARA ANGKATAN 15-EDTRANSCRIPT
1
MAKALAH MANAJEMEN
KEPEMIMPINAN
KEPEMIMPINAN ORDE BARU
SOEHARTO
DISAJIKAN
PADA MATERI AJAR
MANAJEMEN KEPEMIMPINAN
DOSEN PENGAJAR
ERINA PANE,.S.H,.M.H
DISUSUN OLEH
1.
2.
ACHMAD
AVANDI
AGUSTIAWAN
136 11011 291
136 11011 290
136 11011 269
2
3.
4.
5.
DARWIS
STIABUDI
JONI
HARIANSYAH
NGATINO
136 11011 331
136 11011 274
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS SANG BUMI RUWA JURAI
BANDAR LAMPUNG 2014 JL.IMAM BONJOL NO.468 BANDAR LAMPUNG TELP.(0721) 262654 , 261397 , FAX.
(0721) 261397
KATA PENGANTAR
Dengan Memanjatkan Puji Serta Syukur Ke Hadirat Allah Yang Maha Kuasa, Atas
Segala Limpahan Rahmat Dan Karunia-Nya Kepada Kami Sehingga Dapat Menyelesaikan
Makalah Dengan Judul “ KEPEMIMPINAN ORDE BARU SOEHARTO ”
Terimakasih Kepada Dosen Pengajar Kami Ibu ERINA PANE,.S.H,.M.H Yang Telah
Membimbing Kami Sehingga Makalah Manajemen Sumberdaya Manusia Ini Dapat Kami
Selesaikan Sebagai Tugas Mata Kuliah Manajemen Kepemimpinan Tepat Pada Waktunya .
Ucapan Terimakasih Juga Kami Sampaikan Kepada Semua Pihak Yang Telah Banyak
Membantu Dalam Menyelesaikan Makalah Ini.
Kami Menyadari Bahwa Di Dalam Proses Penulisan Makalah Ini Masih Jauh Dari
Kesempurnaan Baik Materi Maupun Cara Penulisannya. Namun Demikian, Kami Telah
Berupaya Dengan Segala Kemampuan Dan Pengetahuan Yang Kami Miliki Sehingga Dapat
3
Selesai Dengan Baik, Dan Oleh Karena Itu Dengan Rendah Hati, Kami Berharap Kepada
Pembaca Yang Budiman Untuk Memberikan Masukan, Saran Dan Kiritik Yang Sifatnya
Membangun Guna Penyempurnaan Makalah Ini.
Akhirnya Kami Berharap Semoga Makalah Ini Dapat Bermanfaat Bagi Seluruh Pembaca.
BANDAR LAMPUNG, , ,2014
Penulis Kelompok II
DAFTAR ISI
Halaman Judul ..............................................................................................................
Kata Pengantar ............................................................................................................
Daftar Isi ......................................................................................................................
BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ............................................................................................ …………...
B. Rumusan Masalahan.....................................................................................................
C. Tujuan Penulisan ..........................................................................................................
BAB II. KERANGKA TEORI
4
A. Teori Kepemimpinan............................................................................................................
B. Teori gaya kepemimpinan ………………...........................................................................
BAB III. PEMBAHASAN
A. Gaya Kepemimpinan Masa Ordebaru ............................................................................
B. Keberhasilan Dan Kegagalan Yang dihasilkan dari Gaya Kepemimpinan Soeharto….
BAB IV. PENUTUP
A. Kesimpulan .......................................................................................................................
B. Saran ..................................................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA ..........................................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang Masalah
Berbicara tentang pemimpin dan kepemimpinan masa depan, erat kaitannya dengan
kualitas sumber daya manusia yang dimiliki oleh bangsa ini. Bangsa ini masih membutuhkan
pemimpin yang kuat di berbagai sektor kehidupan masyarakat, pemimpin yang berwawasan
kebangsaaan dalam menghadapi permasalahan bangsa yang demikian kompleks. Ini selaras
dengan kerangka ideal normatif sistem kepemimpinan nasional sebagai sebuah sistem dalam
arti statik maupun arti dinamik. Dalam arti sistem yang bersifat statik, sistem kepemimpinan
nasional adalah keseluruhan komponen bangsa secara hierarkial (state leadership, political
5
and entrepreneural leadership and societal leadership) maupun pada tatanan komponen
bangsa secara horizontal dalam bidang ekonomi, politik, sosial budaya, dan pertahanan
keamanan. Sementara itu, dalam sistem yang bersifat dinamik, sistem kepemimpinan
nasional adalah keseluruhan aktivitas kepemimpinan yang berporos dari dan komponen
proses transformasi (interaksi moral, etika dan gaya kepemimpinan) dan akhirnya keluar
dalam bentuk orientasi kepemimpinan yang berdimensi aman, damai, adil dan sejahtera.
Saat ini, kita butuh pemimpin yang berorientasi kepada kepentingan, kemajuan, dan
kejayaan bangsa dan negara, bukan kepada kepentingan pribadi/kelompok, bukan untuk
melanggengkan kekuasaan kelompok, dan bukan pula kepemimpinan yang membiarkan
hidupnya budaya anarkhisme, budaya kekerasan, dan budaya korupsi, kolusi dan nepotisme.
Kita butuh, pemimpin berwawasan kebangsaan, pemimpin Pancasilais, setia kepada Negara
Kesatuan Republik Indonesia dan UUD Negara RI Tahun 1945, serta memahami karakter
dan kultur bangsa Indonesia.
Pemimpin dan kepemimpinan masa depan yang integratif harus memiliki pola pikir,
pola sikap dan pola tindak sebagai negarawan. Makna dari negarawan adalah seorang
pemimpin yang diharapkan mampu mengubah kondisi saat ini melalui proses untuk
menciptakan kondisi yang diharapkan dalam rangka mencapai tujuan nasional dan
mewujudkan cita-cita nasional. Pemimpin akan dapat melaksanakan fungsi kepemimpinan-
nya dengan efektif, apabila ia diterima, dipercaya, didukung serta dapat diandalkan. Seorang
pemimpin harus memiliki reputasi yang baik, menunjukkan kinerja yang diakui, terutama
dalam mengantisipasi tantangan-tantangan di depan dan keberhasilannya mengatasi masalah
masalah yang kritikal dan membawa kemajuan-kemajuan yang dirasakan langsung oleh
masyarakat. Hal tersebut tergantung pada gaya kepemimpinan yang dimiliki oleh setiap
pemimpin. Gaya kepemimpinan yang tepat akan membawa sebuah bangsa ke arah yang lebih
baik. Maka dari itu, diperlukan pembahasan lebih lanjut tentang gaya kepemimpinan nasional
Indonesia. Hal ini diperlukan sebagai bahan evaluasi untuk melihat gaya kepemimpinan
seperti apa yang sesuai dengan bangsa Indonesia.
Kepemimpinan di Indonesia tentunya tidak akan pernah jauh dari masa
kepemimpinan Soeharto. Rezim Orde Baru dibawah kepemimpinan Soeharto mampu
berkuasa di Indonesia selama kurang lebih 32 dan akhirnya tumbang. Kepemimpinan
Soeharto berlangsung selama Indonesia berada di zaman pembangunan. Soeharto
menerapkan Demokrasi Pancasila selama periode kepemimpinannya.
6
Pada masa demokrasi Pancasila pada kepemimpinan Soeharto, Stabilitas keamanan
sangat dijaga sehingga terjadi pemasungan kebebasan berbicara. Namun tingkat kehidupan
ekonomi rakyat relatif baik. Hal ini juga tidak terlepas dari sistem nilai tukar dan alokasi
subsidi BBM sehingga harga-harga barang dan jasa berada pada titik keterjangkauan
masyarakat secara umum. Namun demikian penyakit korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN)
semakin parah menjangkiti pemerintahan. Lembaga pemerintahan yang ada di legislatif,
eksekutif dan yudikatif terkena virus KKN ini. Selain itu, pemasungan kebebasan berbicara
ternyata menjadi bola salju yang semakin membesar yang siap meledak. Bom waktu ini telah
terakumulasi sekian lama dan ledakannya terjadi pada bulan Mei 1998. Selepas kejatuhan
Soeharto, selain terjadinya kenaikan harga barang dan jasa beberapa kali dalam kurun waktu
8 tahun terakhir, instabilitas keamanan dan politik serta KKN bersamaan terjadi sehingga
yang paling terkena dampaknya adalah rakyat kecil yang jumlahnya mayoritas dan
menyebabkan posisi tawar Indonesia sangat lemah di mata internasional akibat tidak adanya
kepemimpinan yang kuat.
Resesi ekonomi yang terjadi pada tahun 1997 juga sebagai salah satu akibat dari
kepemimpinan Soeharto. Kebijakan ekonomi yang dilakukan oleh Soeharto sejak
kepemimpinannya sama sekali hanya mementingkan kaum kapitalis dan dirinya sendiri. Juga
dalam kepemimpinannya Soeharto memaksakan rakyat Indonesia untuk tidak terlibat dalam
segala bentuk kegiatan politik. Depolitisasi yang dilakukan oleh Soeharto bahkan menjalar
hingga ke tingkatan kampus dengan program NKK/BKK. Dengan ini mahasiswa dipaksa
untuk terlibat aktif dalam kegiatan di dalam kampusnya sendiri dan meninggalkan basis
massa rakyat yang merupakan tempat pengabdiannya setelah menjadi seorang sarjana.
I. 2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang masalah di atas, masalah dalam makalah ini dapat
dirumuskan sebagai berikut :
1. Bagaimana gaya kepemimpinan masa Orde Baru (rezim Soeharto) ?
2. Keberhasilan dan kegagalan yang dihasilkan dari gaya kepemimpinan Soeharto ?
I. 3 Tujuan Penulisan
7
Makalah ini bertujuan untuk mengetahui gambaran gaya kepemimpinan masa Orde
Baru (rezim Soeharto), keberhasilan dan kegagalan yang dihasilkan dari gaya kepemimpinan
Soeharto dan untuk memenuhi tugas mata kuliah kepemimpinan.
BAB II
KERANGKA TEORI
II. 1 Teori Kepemimpinan
Pemimpin dan kepemimpinan merupakan konsep-konsep yang sangat universal
sifatnya. Fenomena pemimpin (leader) dan kepemimpinan (leadership) dapat ditemukan di
seluruh dunia dalam kehidupan kekeluargaan, kemasyarakatan, kebangsaan, dan kenegaraan.
Pemimpin dan kepemimpinan biasanya terdapat dalam struktur organisasi formal, dari yang
ukurannya terkecil seperti keluarga sampai dengan yang ukurannya terbesar seperti negara
dan organisasi negara-negara. Pemimpin dan kepemimpinan selalu diperlukan dalam setiap
usaha kerjasama sekelompok manusia untuk mencapai tujuan bersama. Kata pimpin
8
mengandung pengertian mengarahkan, membina atau mengatur, menuntun, menunjukkan
ataupun mempengaruhi. Pemimpin mempunyai tanggung jawab baik secara fisik maupun
spiritual terhadap keberhasilan aktivitas kerja dari yang dipimpin, sehingga menjadi
pemimpin itu tidak mudah dan tidak akan setiap orang mempunyai kesamaan di dalam
menjalankan ke-pemimpinannya.
Stogdill (1974) menyimpulkan bahwa banyak sekali definisi mengenai
kepemimpinan. Hal ini dikarenakan banyak sekali orang yang telah mencoba mendefinisikan
konsep kepemimpinan tersebut. Namun demikian, semua definisi kepemimpinan yang ada
mempunyai beberapa unsur yang sama.
Sarros dan Butchatsky (1996), "leadership is defined as the purposeful behaviour of
influencing others to contribute to a commonly agreed goal for the benefit of individual as
well as the organization or common good" . Menurut definisi tersebut, kepemimpinan dapat
didefinisikan sebagai suatu perilaku dengan tujuan tertentu untuk mempengaruhi aktivitas
para anggota kelompok untuk mencapai tujuan bersama yang dirancang untuk memberikan
manfaat individu dan organisasi.
Menurut Kartini Kartono, dalam organisasi dimana terdapat situasi bekerjasama
diantara orang-orang di dalamnya maka dibutuhkan adanya pemimpin dan kepemimpinan1.
Konsep-konsep pemimpin dan kepemimpinan selalu berkaitan dengan kekuasaan,
kewibawaan, dan kemampuan. Kekuasaan ialah kekuatan, otoritas, dan legalitas yang
memberi wewenang kepada pemimpin guna mempengaruhi dan menggerakkan bawahan
untuk berbuat sesuatu. Kewibawaan ialah kelebihan, keunggulan, keutamaan, sehingga orang
mampu mbawani atau mengatur orang lain, sehingga orang tersebut patuh kepada pemimpin
dan bersedia melakukan perbuatan-perbuatan tertentu. Kemampuan ialah segala daya,
kesanggupan, kekuatan, dan kecakapan / ketrampilan teknis maupun sosial yang dianggap
melebihi kemampuan orang yang dipimpin2. Kepemimpinan mencakup pengetahuan dan
ketrampilan yang mempengaruhi dan mengarahkan kegiatan orang-orang lain3.
II.2 Teori Gaya Kepemimpinan
Gaya kepemimpinan dalam teori-teori behavioral, oleh para ahli dibedakan menurut
perilaku atau tindakan yang dilakukan pemimpin dalam mempengaruhi bawahan menuju
9
pencapaian tujuan organisasi. Salah satu teori klasik gaya kepemimpinan, yakni yang
dikembangkan oleh Likert (1961), membedakan gaya kepemimpinan menjadi empat, yaitu
”exploitative-authoritative”, “benevolent-authoritative”, “consultative”, dan “participative”.
Menurut Likert, gaya kepemimpinan berada suatu kontinuum, dapat bergerak dari yang
berorientasi pada tugas dampai dengan yang berorientasi pada hubungan dengan staf4. Gaya
kepemimpinan, menurut Varaki, merupakan pola perilaku yang digunakan seorang pemimpin
dalam mengarahkan orang lain untuk melaksanakan pekerjaan. Pola perilaku tersebut dapat
diklasifikasikan menjadi dua, yakni perilaku yang berorientasi pada hubungan, atau pada
pekerjaan, atau kombinasi keduanya5.
Dikaitkan dengan situasi dan kondisi yang cocok untuk penerapannya dan dampaknya
pada iklim organisasi, gaya kepemimpinan menurut Daniel Goleman dapat dibedakan
menjadi enam, yaitu coercive, authoritative, affiliative, democratic, pacesetting, dan
coaching. Gaya kepemimpinan coercive memiliki ciri-ciri perilaku atau tindakan pemimpin
yang menuntut ketaatan segera, dengan perintah: “Kerjakan apa yang saya katakan”, yang
dilandasi kompetensi intelegensi emosional untuk mencapai tujuan, inisiatif, dan kontrol diri.
Gaya ini paling cocok diterapkan dalam situasi krisis, untuk tujuan melakukan perbaikan-
perbaikan, atau pada saat terjadi masalah karyawan. Dampaknya pada iklim organisasi
biasanya negatif.
Gaya kepemimpinan authoritative ditandai dengan tindakan pemimpin memobilisasi
anggota-anggota organisasi pada suatu visi, dengan ajakan: “Mari bersama saya”, yang
dilandasi kompetensi intelegensi emosional penuh percaya diri, empati, dan katalis terhadap
perubahan. Gaya kepemimpinan ini paling cocok diterapkan ketika perubahan-perubahan
memerlukan adanya visi baru, atau ketika arah baru diperlukan. Dampak penerapannya
terhadap iklim organisasi paling positif.
Gaya kepemimpinan affiliative ditandai dengan tindakan pemimpin menciptakan
harmoni dan membangun ikatan-ikatan emosional, dengan pedoman “Masyarakat atau publik
yang dilayani adalah lebih penting”, yang dilandasi kompetensi intelegensi emosional penuh
empati, membangun hubungan, dan komunikasi. Paling cocok diterapkan untuk memperbaiki
kerusakan-kerusakan pada tim atau untuk memotivasi anggota tim dalam kondisi penuh
tekanan. Dampak penerapannya pada iklim organisasi positif.
10
Gaya kepemimpinan democratic ditandai dengan perilaku pemimpin yang mendorong
pembentukan konsensus melalui partisipasi, dengan pertanyaan khas “Bagaimana pendapat
Saudara?”, dan dilandasi kompetensi intelegensi emosional kolaborasi, kepemimpinan tim,
dan komunikasi. Gaya ini paling cocok diterapkan untuk mendapatkan dukungan atau
membentuk konsensus, atau untuk mendapatkan masukan dari karyawan yang dianggap
penting. Dampak penerapannya pada iklim organisasi bersifat positif.
Gaya kepemimpinan pacesetting ditandai dengan tindakan pemimpin menetapkan
standar kinerja yang tinggi, dengan perintah “Kerjakan seperti yang saya lakukan, sekarang”,
dan landasan kompetensi penuh kesadaran, semangat untuk mencapai tujuan, dan inisiatif.
Paling cocok diterapkan bila diinginkan hasil kerja secara cepat dari tim yang memiliki
motivasi tinggi dan kompetensi. Dampak penerapannya pada iklim organisasi biasanya
negatif. Sedangkan gaya kepemimpinan coaching ditandai dengan perilaku pemimpin
membina karyawan demi masa depan, dengan permintaan khas “Cobalah ini”, dan landasan
kompetensi mengembangkan orang lain, empati dan kesadaran diri. Paling cocok diterapkan
untuk membantu karyawan meningkatkan kinerja atau membangun kekuatan jangka panjang.
Dampak penerapannya pada iklim organisasi bersifat positif6.
BAB III
PEMBAHASAN
III.1 Gaya Kepemimpinan Masa Orde Baru (Rezim Soeharto)
Biografi Singkat H.M. SOEHARTO
Jenderal Besar Purnawirawan Haji Muhammad Soeharto, (lahir di Kemusuk,
Argomulyo, Yogyakarta, 8 Juni, 1921 – Jakarta, 27 Januari 2008) adalah Presiden Indonesia
yang kedua, menggantikan Soekarno. Setelah dirawat selama sekitar 24 hari di rumah sakit,
ia meninggal akibat kegagalan multifungsi organ di RS Pusat Pertamina, Jakarta Selatan
pukul 13.10 WIB. Secara informal, "Pak Harto" juga dipakai untuk menyapanya.
11
Ia mulai menjabat sejak keluarnya Supersemar pada tanggal 12 Maret 1967 sebagai
Penjabat Presiden, dan setahun kemudian dilantik sebagai Presiden pada tanggal 27 Maret
1968 oleh MPRS.
Soeharto dipilih kembali oleh MPR pada tahun 1973, 1978, 1983, 1988, 1993, dan
1998. Pada tahun 1998, masa jabatannya berakhir setelah mengundurkan diri pada tanggal 21
Mei tahun tersebut, menyusul terjadinya Kerusuhan Mei 1998 dan pendudukan gedung
DPR/MPR oleh ribuan mahasiswa. Ia merupakan orang Indonesia terlama dalam jabatannya
sebagai presiden.
Soeharto menikah dengan Siti Hartinah ("Tien") dan dikaruniai enam anak, yaitu Siti
Hardijanti Rukmana (Tutut), Sigit Harjojudanto, Bambang Trihatmodjo, Siti Hediati Hariyadi
(Titiek), Hutomo Mandala Putra (Tommy), dan Siti Hutami Endang Adiningsih (Mamiek).7
Gaya Kepemimpinan Soeharto
Diawali dengan Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) pada tahun 1966 kepada
Letnan Jenderal Soeharto, maka Era Orde Lama berakhir diganti dengan pemerintahan Era
Orde Baru. Pada awalnya sifat-sifat kepemimpinan yang baik dan menonjol dari Presiden
Soeharto adalah kesederhanaan, keberanian dan kemampuan dalam mengambil inisiatif dan
keputusan, tahan menderita dengan kualitas mental yang sanggup menghadapi bahaya serta
konsisten dengan segala keputusan yang ditetapkan.
Gaya Kepemimpinan Presiden Soeharto merupakan gabungan dari gaya
kepemimpinan Proaktif-Ekstraktif dengan Adaptif-Antisipatif, yaitu gaya kepemimpinan
yang mampu menangkap peluang dan melihat tantangan sebagai sesuatu yang berdampak
positif serta mempunyal visi yang jauh ke depan dan sadar akan perlunya langkah-langkah
penyesuaian.
Tahun-tahun pemerintahan Suharto diwarnai dengan praktik otoritarian di mana
tentara memiliki peran dominan di dalamnya. Kebijakan dwifungsi ABRI memberikan
kesempatan kepada militer untuk berperan dalam bidang politik di samping perannya sebagai
alat pertahanan negara. Demokrasi telah ditindas selama hampir lebih dari 30 tahun dengan
mengatasnamakan kepentingan keamanan dalam negeri dengan cara pembatasan jumlah
partai politik, penerapan sensor dan penahanan lawan-lawan politik. Sejumlah besar kursi
12
pada dua lembaga perwakilan rakyat di Indonesia diberikan kepada militer, dan semua tentara
serta pegawai negeri hanya dapat memberikan suara kepada satu partai penguasa Golkar.8
Bila melihat dari penjelasan singkat di atas maka jelas sekali terlihat bahwa mantan
Presiden Soeharto memiliki gaya kepemimpinan yang otoriter, dominan, dan sentralistis.
Sebenarnya gaya kepemimpinan otoriter yang dimiliki oleh Almarhum merupakan suatu gaya
kepemimpinan yang tepat pada masa awal terpilihnya Soeharto sebagai Presiden Republik
Indonesia. Hal ini dikarenakan pada masa itu tingkat pergolakan dan situasi yang selalu tidak
menentu dan juga tingkat pendidikan di Indonesia masih sangat rendah. Namun, dirasa pada
awal tahun 1980-an dirasa cara memimpin Soeharto yang bersifat otoriter ini kurang tepat,
karena keadaan yang terjadi di Indonesia sudah banyak berubah. Masyarakat semakin cerdas
dan semakin paham tentang hakikat negara demokratis. Dengan sendirinya model
kepemimpinan Soeharto tertolak oleh kultur atau masyarakat. Untuk tetap mempertahkan
kekuasaannya Soeharto menggunakan cara-cara represif pada semua pihak yang
melawannya.
Pada masa Orde baru, gaya kepemimpinannya adalah Otoriter/militeristik. Seorang
pemimpinan yang otoriter akan menunjukan sikap yang menonjolkan “keakuannya”, antara
lain dengan ciri-ciri :
1. Kecendurangan memperlakukan para bawahannya sama dengan alat-alat lain dalam
organisasi, seperti mesin, dan dengan demikian kurang menghargai harkat dan
maratabat mereka.
2. Pengutamaan orientasi terhadap pelaksanaan dan penyelesaian tugas tanpa
mengaitkan pelaksanaan tugas itu dengan kepentingan dan kebutuhan para
bawahannya.
3. Pengabaian peranan para bawahan dalam proses pengambilan keputusan.
Sesuai dengan masalah dan tujuan yang penulis angkat, pengukuran gaya
kepemimpinan Presiden Soeharto di sini diukur dari aspek-aspek: (1) Status kepemimpinan
dan kekuasaan; (2) Orientasi pada hubungan; (3) Orientasi pada tugas; (4) Cara
mempengaruhi orang lain, dan (5) Kepribadian. Maka hasil analisis menunjukkan
kecenderungan-kecenderungan sebagai berikut.
13
Status kepemimpinan dan kekuasaan
Presiden Soeharto digambarkan sebagai seorang Kepala Negara dibanding sebagai
pemimpinan organisasi lainnya. Di media ia hampir tidak pernah ditampilkan sebagai seorang
individu atau pribadi9. Kecenderungan ini secara jelas terlihat dari frekuensi kemunculan
berita yang menunjukkan status Presiden Soeharto ketika menyampaikan pesan-pesan politik
adalah sebagai Kepala Negara. Posisi berikutnya menunjukkan status Presiden Soeharto
sebagai Kepala Pemerintahan, pemimpin dan juga sebagai Ketua Dewan Pembina Golkar.
Presiden Soeharto cenderung digambarkan sebagai seorang pemimpin yang menjadi
pusat kekuasaan pemerintah dan negara. Media cenderung menggambarkan Presiden
Soeharto sebagai pemimpin yang lebih suka berada di lokasi pusat kekuasaan, di Jakarta
sebagai ibukota negara. Meskipun ia sering melakukan perjalanan dinas dan
pribadi/keluarga, baik di dalam maupun di luar negeri, media lebih sering menyajikan liputan
tentang aktivitas komunikasi yang dilakukan Presiden Soeharto di Jakarta.
Penggambaran media yang demikian diperkuat dengan penggambaran bahwa ketika
di Jakarta Presiden Soeharto lebih sering berada di Istana Negara atau Istana Merdeka
dibanding tempat-tempat lainnya yang dapat berfungsi sebagai simbol kekuasaan dirinya
sebagai pemimpin tertinggi dalam organisasi pemerintahan, negara, dan organisasi-
organisasi lainnya. Bahkan, ia juga digambarkan sebagai pemimpin yang lebih sering berada
di Istana dibanding di Bina Graha, kantor atau tempat ia biasanya bekerja.
Orientasi pada hubungan
Dilihat dari orientasinya pada pemeliharaan hubungan, Presiden Soeharto cenderung
ditampilkan sebagai seorang pemimpin yang otoriter, atau dalam istilah Likert (1961) disebut
“exploitative-authoritative”, kurang demokratis. Hasil analisis menunjukkan, dari periode ke
periode berita yang beredar menunjukkan isi pesan Presiden Soeharto berfungsi menghibur,
memberikan dorongan dan bimbingan serta mengundang kritik konstruktif sebagaimana
umumnya pemimpin yang demokratis jumlahnya relatif kecil.
Kecuali pada periode awal kekuasaannya, Presiden Soeharto dalam berita suratkabar
juga cenderung ditampilkan sebagai pemimpin yang mengutamakan hubungan dengan
lembaga pemerintah yang dipimpinnya dibanding dengan lembaga-lembaga politik lainnya.
14
Beliau lebih sering menyampaikan pesan-pesan politik kepada para pejabat pemerintah,
seperti menteri, gubernur, bupati, walikota, dan pegawai negeri, dibanding kepada ketua dan
anggota DPR / MPR, ketua MA, Hakim Agung, pimpinan dan anggota ABRI, ketua dan
anggota Parpol, serta pimpinan dan wartawan media massa. Proporsi berita yang
menunjukkan Presiden Soeharto menyampaikan pesan-pesan kepada masyarakat (termasuk
para tokoh dan kalangan perguruan tinggi), dan kepada mereka yang duduk di lembaga
eksekutif lebih besar dibanding proporsi berita yang menunjukkan ia menyampaikan pesan-
pesan kepada pihak lainnya.
Presiden Soeharto juga cenderung ditampilkan sebagai seorang pemimpin yang lebih
reaktif dibanding proaktif. Ia lebih sering memberikan tanggapan atau respon terhadap
pernyataan orang lain dibanding menunjukkan gagasan/pemikirannya sendiri. Pesan-pesan
verbal sebagaimana tercakup dalam ucapan atau pernyataan yang disampaikan Presiden
Soeharto kepada berbagai pihak lebih banyak berisi tanggapan dirinya terhadap pertanyaan,
opini, sikap, dan perilaku para pejabat dan masyarakat yang dipimpinnya
Selain itu juga Presiden Soeharto digambarkan sebagai pemimpin yang memiliki
fleksibelitas dalam melaksanakan tugas dan fungsi kepemimpinannya. Isi pesan-pesan
politiknya dari periode ke periode mengalami pasang-surut. Pada periode awal
kepemimpinannya, yakni selama masa jabatan pertama 1968-1973, dominasi gagasan-
gagasan sendiri lebih menonjol dalam pesan-pesan politik Presiden Soeharto. Namun, pada
periode pengamalan dan pematangan kepemimpinan, yakni selama masa jabatan kedua
sampai kelima 1973-1993, dominasi gagasan-gagasan sendiri semakin menurun, dan
kecenderungan ini diimbangi dengan meningkatnya tanggapan atau respon yang ia berikan
terhadap gagasan, ucapan, dan tindakan-tindakan orang lain. Sedangkan pada periode puncak
dan akhir kepemimpinannya, yakni selama masa jabatan keenam dan ketujuh 1993-1998, isi
pesan-pesan politik Presiden Soeharto semakin didominasi oleh tanggapan atau respon yang
ia berikan terhadap gagasan, ucapan, dan tindakan-tindakan orang lain.
Orientasi pada tugas
Potret Presiden Soeharto cenderung menunjukkan dirinya sebagai pemimpin yang
lebih sering memberikan perhatian sangat umum terhadap lingkup pembangunan nasional.
Dalam setiap periode kekuasaannya, ia digambarkan jarang memberi perhatian khusus pada
lingkup pembangunan lokal saja atau regional saja. Dilihat dari isi pesan-pesan politiknya,
pembangunan yang paling sering dibicarakan oleh Presiden Soeharto adalah pembangunan
15
dalam lingkup nasional. Pembangunan lokal Daerah Tingkat II Kabupaten / Kotamadya dan
pembangunan regional Daerah Tingkat I Propinsi relatif jarang dibicarakan oleh pemimpin
Orde Baru itu.
Surat kabar juga menggambarkan Presiden Soeharto sebagai pemimpin yang
memberikan perhatian pada pembangunan daerah pedesaan dan perkotaan tanpa
membedakan diantara keduanya. Presiden Soeharto jarang membicarakan pembangunan yang
orientasinya hanya daerah perkotaan atau hanya daerah perdesaan. Dalam media massa ia
lebih sering ditampilkan sebagai pemimpin yang membicarakan tentang pembangunan secara
keseluruhan, baik daerah perkotaan maupun daerah perdesaan. Selain itu, ia juga
digambarkan sebagai pemimpin yang memberi perhatian umum terhadap pelaksanaan
pembangunan wilayah. Ia jarang digambarkan sebagai pemimpin yang memberi perhatian
khusus pada pembangunan wilayah Barat saja atau wilayah Timur saja.
Hasil analisis juga menunjukkan, Presiden Soeharto cenderung direpresentasikan
sebagai seorang pemimpin yang lebih mementingkan pembangunan ekonomi dibanding
pembangunan sektor-sektor lainnya. Baik pada periode awal, periode pengamalan dan
pematangan, maupun pada periode puncak dan akhir kepemimpinannya, topik pembangunan
yang paling sering dibicarakan oleh Presiden Soeharto adalah ekonomi. Dari sektor-sektor
pembangunan yang pernah dibicarakannya, dua sektor yang paling sering dibicarakan
Presiden Soeharto adalah sektor Hankam, dan sektor Politik, Aparatur Negara, Penerangan,
Komunikasi, dan Media Massa. Topik yang paling jarang dibicarakan pemimpin tersebut
adalah topik pembangunan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK).
Cara mempengaruhi orang lain
Presiden Soeharto digambarkan sebagai seorang pemimpin yang otoriter, yang
menerapkan gaya kepemimpinan coercive, yang selalu menginginkan agar perintah dan
instruksinya dipatuhi orang lain dengan segera. Dalam berita surat kabar Presiden Soeharto
cenderung ditampilkan lebih mementingkan keselamatan dan kelangsungan pembangunan
nasional. Demikian pentingnya hal itu sehingga bagian besar perintah dan instruksi yang
disampaikan Presiden Soeharto kepada orang lain berisi permintaan agar keselamatan dan
kelangsungan pembangunan nasional selalu diprioritaskan.
Selain itu, alasan yang juga sering dijadikan landasan argumentasi Presiden Soeharto
ketika meminta orang lain untuk mematuhi pesan-pesannya adalah perlunya memelihara
16
persatuan dan kesatuan bangsa, upaya mempertahankan stabilitas politik, upaya menciptakan
masyarakat adil dan makmur, upaya membangun kehidupan demokrasi, dan upaya lainnya.
Ketika ia meminta orang lain agar mau mematuhi pesan-pesannya, Presiden Soeharto
biasanya memilih kata-kata atau kalimat tertentu. Ia lebih sering menggunakan kata-kata atau
kalimat netral dibanding membujuk (persuasive) atau memerintah (instructive atau coercive).
Kesan yang dapat ditimbulkan dari cara menyampaikan perintah atau instruksi yang demikian
adalah bahwa pada akhirnya perintah atau instruksi Presiden Soeharto diserahkan kepada
masing-masing orang untuk menentukan sikap; apakah mematuhi atau tidak mematuhi pesan-
pesan itu10. Hasil analisis menunjukkan, Presiden Soeharto lebih sering menggunakan kata
dan kalimat yang sifatnya netral ketika menyampaikan pesan-pesan politik kepada berbagai
pihak.
Meskipun demikian, penjelasan yang disampaikan Presiden Soeharto umumnya hanya
berupa penjelasan tentang arti kata / istilah, ungkapan, dan kalimat-kalimat yang
diucapkannya. Ia jarang sekali memberikan penjelasan yang bersifat mendorong penggunaan
logika agar orang lain secara sadar dan sukarela mau menerima pesan-pesan yang
disampaikannya. Kepada orang-orang yang menjadi sasaran pesan-pesannya, ia jarang
memberikan contoh-contoh penerapan pesan, menjelaskan manfaat apabila pesan itu diikuti,
atau menjelaskan akibat apabila pesan itu tidak diikuti. Tujuan komunikasi yang dilakukan
Presiden Soeharto tampaknya hanya agar orang lain menjadi mengetahui, tetapi tidak sampai
pada taraf memahami, mencoba, dan memutuskan untuk melakukan tindakan-tindakan
tertentu.
Kepribadian
Menurut penulis Presiden Soeharto adalah seorang pemimpin yang sederhana, tidak
suka menonjolkan diri di hadapan orang lain. Ketika berbicara dengan orang lain atau
menyampaikan pesan-pesan kepada bawahan atau orang-orang yang dipimpinnya dalam
berbagai organisasi, ia tidak suka menunjukkan keberhasilan atau jasa-jasa yang dimilikinya.
Apabila ia berusaha menonjolkan diri sendiri, cara yang digunakan Presiden Soeharto
biasanya adalah mengemukakan pengalaman atau jasa-jasa yang pernah diberikannya kepada
bangsa dan negara pada masa lalu. Dalam menyampaikan pesan-pesan kepada bawahan dan
17
orang-orang yang dipimpinnya, Presiden Soeharto berusaha menunjukkan jasanya yang besar
dalam membela bangsa dan negara Indonesia, berani melawan musuh-musuh negara baik
pada masa perjuangan kemerdekaan maupun pada masa pemberontakan G30S/PKI, dan
keberhasilannya dalam penyelenggaraan pembangunan nasional.
III.2 Keberhasilan dan Kegagalan yang Dihasilkan Dari Gaya kepemimpinan Soeharto
Orde Baru berlangsung dari tahun 1968 hingga 1998. Dalam jangka waktu tersebut,
kepemimpinan mantan Presiden Soeharto telah memberikan berbagaai kemajuan dan juga
kemundurun. Hal ini dikarenakan kebijakan yang beliau ambil tergantung kepada gaya
kepemimpinan yang beliau anut. Kekurangan dan kelebihan dari gaya kepemimpinan
Soeharto yaitu:
III.2.1 Kegagalan Dari Gaya Kepemimpinan Soeharto
Politik
Presiden Soeharto memulai "Orde Baru" dalam dunia politik Indonesia dan secara
dramatis mengubah kebijakan luar negeri dan dalam negeri dari jalan yang ditempuh
Soekarno pada akhir masa jabatannya. Salah satu kebijakan pertama yang dilakukannya
adalah mendaftarkan Indonesia menjadi anggota PBB lagi. Indonesia pada tanggal 19
September 1966 mengumumkan bahwa Indonesia "bermaksud untuk melanjutkan kerjasama
dengan PBB dan melanjutkan partisipasi dalam kegiatan-kegiatan PBB", dan menjadi
anggota PBB kembali pada tanggal 28 September 1966, tepat 16 tahun setelah Indonesia
diterima pertama kalinya. Ini merupakan langkah awal dari ketergantungan Indonesia
terhadapa modal asing.
Pada tahap awal, Soeharto menarik garis yang sangat tegas. Orde Lama atau Orde
Baru. Pengucilan politik - di Eropa Timur sering disebut lustrasi - dilakukan terhadap orang-
orang yang terkait dengan Partai Komunis Indonesia. Sanksi kriminal dilakukan dengan
menggelar Mahkamah Militer Luar Biasa untuk mengadili pihak yang dikonstruksikan
Soeharto sebagai pemberontak. Pengadilan digelar dan sebagian dari mereka yang terlibat
"dibuang" ke Pulau Buru.
Sanksi nonkriminal diberlakukan dengan pengucilan politik melalui pembuatan aturan
administratif. Instrumen penelitian khusus diterapkan untuk menyeleksi kekuatan lama ikut
dalam gerbong Orde Baru. KTP ditandai ET (eks tapol). Orde Baru memilih perbaikan dan
18
perkembangan ekonomi sebagai tujuan utamanya dan menempuh kebijakannya melalui
struktur administratif yang didominasi militer namun dengan nasehat dari ahli ekonomi
didikan Barat. DPR dan MPR tidak berfungsi secara efektif. Anggotanya bahkan seringkali
dipilih dari kalangan militer, khususnya mereka yang dekat dengan Cendana. Hal ini
mengakibatkan aspirasi rakyat sering kurang didengar oleh pusat. Pembagian PAD juga
kurang adil karena 70% dari PAD tiap provinsi tiap tahunnya harus disetor kepada Jakarta,
sehingga melebarkan jurang pembangunan antara pusat dan daerah.
Soeharto siap dengan konsep pembangunan yang diadopsi dari seminar Seskoad II
1966 dan konsep akselerasi pembangunan II yang diusung Ali Moertopo. Soeharto
merestrukturisasi politik dan ekonomi dengan dwitujuan, bisa tercapainya stabilitas politik
pada satu sisi dan pertumbuhan ekonomi di pihak lain. Dengan ditopang kekuatan Golkar,
TNI, dan lembaga pemikir serta dukungan kapital internasional, Soeharto mampu
menciptakan sistem politik dengan tingkat kestabilan politik yang tinggi.
Eksploitasi sumber daya
Selama masa pemerintahannya, kebijakan-kebijakan ini, dan pengeksploitasian
sumber daya alam secara besar-besaran menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang besar
namun tidak merata di Indonesia. Contohnya, jumlah orang yang kelaparan dikurangi dengan
besar pada tahun 1970-an dan 1980-an.
Diskriminasi terhadap Warga Tionghoa
Warga keturunan Tionghoa juga dilarang berekspresi. Sejak tahun 1967, warga
keturunan dianggap sebagai warga negara asing di Indonesia dan kedudukannya berada di
bawah warga pribumi, yang secara tidak langsung juga menghapus hak-hak asasi mereka.
Kesenian barongsai secara terbuka, perayaan hari raya Imlek, dan pemakaian Bahasa
Mandarin dilarang, meski kemudian hal ini diperjuangkan oleh komunitas Tionghoa
Indonesia terutama dari komunitas pengobatan Tionghoa tradisional karena pelarangan sama
sekali akan berdampak pada resep obat yang mereka buat yang hanya bisa ditulis dengan
bahasa Mandarin. Mereka pergi hingga ke Mahkamah Agung dan akhirnya Jaksa Agung
Indonesia waktu itu memberi izin dengan catatan bahwa Tionghoa Indonesia berjanji tidak
menghimpun kekuatan untuk memberontak dan menggulingkan pemerintahan Indonesia.
Satu-satunya surat kabar berbahasa Mandarin yang diizinkan terbit adalah Harian
Indonesia yang sebagian artikelnya ditulis dalam bahasa Indonesia. Harian ini dikelola dan
diawasi oleh militer Indonesia dalam hal ini adalah ABRI meski beberapa orang Tionghoa
Indonesia bekerja juga di sana. Agama tradisional Tionghoa dilarang. Akibatnya agama
Konghucu kehilangan pengakuan pemerintah.
19
Pemerintah Orde Baru berdalih bahwa warga Tionghoa yang populasinya ketika itu
mencapai kurang lebih 5 juta dari keseluruhan rakyat Indonesia dikhawatirkan akan
menyebarkan pengaruh komunisme di Tanah Air. Padahal, kenyataan berkata bahwa
kebanyakan dari mereka berprofesi sebagai pedagang, yang tentu bertolak belakang dengan
apa yang diajarkan oleh komunisme, yang sangat mengharamkan perdagangan dilakukan.
Orang Tionghoa dijauhkan dari kehidupan politik praktis. Sebagian lagi memilih untuk
menghindari dunia politik karena khawatir akan keselamatan dirinya.
Perpecahan bangsa
Di masa Orde Baru pemerintah sangat mengutamakan persatuan bangsa Indonesia.
Setiap hari media massa seperti radio dan televisi mendengungkan slogan "persatuan dan
kesatuan bangsa". Salah satu cara yang dilakukan oleh pemerintah adalah meningkatkan
transmigrasi dari daerah yang padat penduduknya seperti Jawa, Bali dan Madura ke luar
Jawa, terutama ke Kalimantan, Sulawesi, Timor Timur, dan Irian Jaya. Namun dampak
negatif yang tidak diperhitungkan dari program ini adalah terjadinya marjinalisasi terhadap
penduduk setempat dan kecemburuan terhadap penduduk pendatang yang banyak
mendapatkan bantuan pemerintah. Muncul tuduhan bahwa program transmigrasi sama
dengan jawanisasi yang disertai sentimen anti-Jawa di berbagai daerah, meskipun tidak
semua transmigran itu orang Jawa.
Pada awal Era Reformasi konflik laten ini meledak menjadi terbuka antara lain dalam
bentuk konflik Ambon dan konflik Madura-Dayak di Kalimantan. Sementara itu gejolak di
Papua yang dipicu oleh rasa diperlakukan tidak adil dalam pembagian keuntungan
pengelolaan sumber alamnya, juga diperkuat oleh ketidaksukaan terhadap para transmigra
Semaraknya korupsi, kolusi, nepotisme
Pembangunan Indonesia yang tidak merata dan timbulnya kesenjangan pembangunan
antara pusat dan daerah, sebagian disebabkan karena kekayaan daerah sebagian besar
disedot ke pusat munculnya rasa ketidakpuasan di sejumlah daerah karena kesenjangan
pembangunan, terutama di Aceh dan Papua kecemburuan antara penduduk setempat
dengan para transmigran yang memperoleh tunjangan pemerintah yang cukup besar
pada tahun-tahun pertamanya
Bertambahnya kesenjangan sosial (perbedaan pendapatan yang tidak merata bagi si
kaya dan si miskin)
20
Kritik dibungkam dan oposisi diharamkan kebebasan pers sangat terbatas, diwarnai
oleh banyak koran dan majalah yang dibreidel penggunaan kekerasan untuk
menciptakan keamanan, antara lain dengan program "Penembakan Misterius" (petrus)
Tidak ada rencana suksesi (penurunan kekuasaan ke pemerintah/presiden selanjutnya)
III.2.2 Keberhasilan yang Dihasilkan Dari Gaya Kepemimpinan Soeharto
Walaupun terdapat berbagai kekurangan dari pemerintahan Soeharto tapi tidak dapat
dipungkiri bahwa pada masa pemerintahan Soeharto Indonesia menjadi salah satu negara
kaya dan disegani negara lain. Kelebihan
1. Kelebihan sistem Pemerintahan Orde Baru perkembangan GDP per kapita Indonesia
yang pada tahun 1968 hanya AS$70 dan pada 1996 telah mencapai lebih dari
AS$1.000
2. Kemajuan sektor migas
Puncaknya adalah penghasilan dari migas yang memiliki nilai sama dengan
80% ekspor Indonesia. Dengan kebijakan itu, Indonesia di bawah Orde Baru, bisa
dihitung sebagai kasus sukses pembangunan ekonomi.
Keberhasilan Pak Harto membenahi bidang ekonomi sehingga Indonesia
Mampu berswasembada pangan pada tahun 1980-an, menurut Emil Salim, diawali
Dengan pembenahan di bidang politik. Kebijakan perampingan partai dan penerapan
Azas tunggal ditempuh pemerintah Orde Baru, dilatari pengalaman masa Orde Lama
Ketika politik multi partai menyebabkan energi terkuras untuk bertikai.
Gaya kepemimpinan tegas seperti yang dijalankan Suharto pada masa Orde
Baru memang dibutuhkan untuk membenahi perekonomian Indonesia yang
berantakan di akhir tahun 1960. Namun, dengan menstabilkan politik demi
pertumbuhan ekonomi, yang sempat dapat dipertahankan antara 6%-7% per tahun,
semua kekuatan yang berseberangan dengan Orde Baru kemudian tidak diberi
tempat.
3. Swasembada beras
Seperti pepatah From Zero to Hero itulah kebijakan yang dilakukan oleh HM.
Soeharto pada masa pemerintahannya. Saat itu Indonesia menjadi pengimpor beras
terbesar didunia, namun oleh Soeharto ini dijadikan motivasi untuk menjadikan
Indonesia sebagai lumbung beras dunia. Puncaknya adalah ketika pada 1984
21
Indonesia dinyatakan mampu mandiri dalam memenuhi kebutuhan beras atau
mencapai swasembada pangan. Prestasi itu membalik kenyataan, dari negara agraria
yang mengimpor beras, kini Indonesia mampu mencukupi kebutuhan pangan di dalam
negeri. Pada tahun 1969 Indonesia memproduksi beras sekitar 12,2 juta ton beras
tetapi tahun 1984 bisa mencapai 25,8 juta ton.
4. Sukses transmigrasi
5. Sukses Program KB
6. Sukses memerangi buta huruf
7. Sukses swasembada pangan
8. Pengangguran minimum
9. Sukses REPELITA (Rencana Pembangunan Lima Tahun)
10. Sukses Gerakan Wajib Belajar
11. Sukses Gerakan Nasional Orang-Tua Asuh
12. Sukses keamanan dalam negeri
13. Investor asing mau menanamkan modal di Indonesia.
14. Sukses menumbuhkan rasa nasionalisme dan cinta produk dalam negeri
BAB IV
PENUTUP
IV.1 Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat dirumuskan adalah gaya kepemimpinan Soeharto secara
umum adalah otoriter, dominan, dan sentralistis . Dari periode ke periode kekuasaan Presiden
Soeharto digambarkan Soeharto sebagai Kepala Negara, sebagai pusat kekuasaan politik di
Indonesia. Perilaku kepemimpinan Presiden Soeharto ada yang berorientasi pada hubungan,
tetapi juga ada yang berorientasi pada tugas. Gaya kepemimpinan Presiden Soeharto yang
22
berorientasi pada hubungan digambarkan sebagai gaya kepemimpinan yang otoriter, kurang
demokratis, mengutamakan hubungan dengan para menteri dan pejabat di bawahnya, serta
fleksibel: dapat dengan mudah menyesuaikan diri dengan perkembangan situasi dan kondisi.
Gaya kepemimpinan yang berorientasi pada tugas direpresentasikan sebagai gaya
kepemimpinan penuh perhatian pada pembangunan dalam lingkup nasional, tidak
membedakan pembangunan daerah perdesaan dan perkotaan meskipun hanya berorientasi
pada pembangunan sektor ekonomi saja. Selain itu, dari caranya mempengaruhi orang lain,
gaya kepemimpinan Presiden Soeharto oleh media juga digambarkan sebagai gaya yang
cenderung otoriter. Meskipun menggunakan kata-kata atau kalimat netral, tidak bersifat
persuasive atau coercice, dan diikuti dengan penjelasan secukupnya. Sebagai seorang
pemimpin, Presiden Soeharto juga digambarkan sebagai seorang yang tidak suka
menonjolkan diri.
Selama 7 periode menjabat sebagai Presiden, banyak keberhasilan dan kegagalan
yang dihasilkan dari gaya kepemimpinan beliau. Berdasarkan pembahasan di atas,
kekurangan darigaya kepemimpinan beliau menghasilkan eksploitasi sumber daya,
diskriminasi terhadap warga Tionghoa, meningkatnya praktik KKN, pembangunan Indonesia
yang tidak merata, dll. Namun, dibalik kekurangan-kekurangan tersebut masih terdapat
kelebihan dari gaya kepemimpinan beliau diantaranya yaitu perkembangan GDP perkapita
Indonesia, kemajuan sektor migas, swasembada beras, dsb.
IV. 2 Saran
Menurut kelompok kami, gaya kepemimpinan Presiden Soeharto yang dapat
dikatakan otoriter memang sangat cocok pada waktu itu yaitu pada awal pemerintahan beliau.
Yang mana dengan gaya kepemimpinan beliau pembangunan di Indonesia dapat lebih maju
dari pemerintahan sebelumnya. Sangat disayangkan bahwa gaya kepemimpinan Presiden
Soeharto ini sangatlah bertolak belakang dengan sistem demokrasi yang dianut oleh
Indonesia.
Dari uraian di atas, saran yang dapat kelompok kami berikan untuk gaya
kepemimpinan Soeharto adalah :
23
Kembali kepada sistem demokrasi yang ada di Indonesia yang mana setiap warga
negara berhak untuk berpartisipasi dalam penyelenggaraan pemerintahan
Tidak berfokus hanya kepada bidang ekonomi tetapi juga di semua sektor.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Entman, R.M. & A. Rojecki, The Black Image in the White Mind: Media and Race in America, Chicago: University of Chicago Press, 2000.
Hendel, Tova, Miri Fish & Vered Galon, “Leadership style and choice of strategy in conflict management among Israeli nurse managers in general hospitals”, International Education Journal, Vol. 4 No. 3, 2003, http://www.iej.cjb.net
Kartono, Kartini. ABRI dan Permasalahannya - Pemikiran Reflektif Peranan ABRI di Era
Pembangunan (Bandung: Mandar Maju, 1996).
Kartono, Kartini. Pemimpin dan Kepemimpinan. Cetakan Kesembilan (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001).
24
Khalili. S. Leadership Style and their Applications in the Iranian Management System . (Tehran: Iran, 1994), hal. 47.
Lewig, K.A. & M.F. Dollard, “Social construction of work stress: Australian newsprint media portrayal of stress at work, 1997-98”, Work & Stress, 2001, vol. 15, No. 2, hal. 179-190.
McQuail, Dennis. Teori Komunikasi Massa, Edisi Kedua (Jakarta: Erlangga, 1996). Ministry of Health of New Zealand, Suicide and the Media – The reporting and portrayal of
suicide in the media. 1999. http://www.moh.govt.nz Pingree, S., R. Hawkins, M. Butler & W. Paisley, “A scale of sexism”, Journal of
Communication, 24, hal. 193-200; R. Kolbe & P. Albanese, “Man to man: a content analysis of sole-male images in male audience magazines”, Journal of Advertising, 25 (4), hal. 1-20.
Rasidi, Zaim. Soeharto Menjaring Matahari ( Bandung: Mizan, 1998).
Website
http://teknikkepemimpinan.blogspot.com/2010/02/teori-kepemimpinan.html
http://dte.gn.apc.org/76ais.htm Manajemen Kepemimpinan/orde baru / soeharto
Roeder, O.G., Anak Desa Biografi Presiden Soeharto, Jakarta: Gunung Agung, Cet.5, 1984.
http://ninik.student.fkip.uns.ac.id/category/kepemimpinan/
http:/www.madina.sk.com/index.php?option=com_content&task=view&id=2531&Itemid=12
Husaini, Adian, Soeharto 1988, Jakarta: Gema Insani Press, 1996
http://teknikkepemimpinan [email protected]/2014/03/MANAJEMEN
KEPEPMIMPINAN ORDE BARU/ SOEHARTO/ [email protected]
EMAIL: achmad [email protected] Kepemimpinan 15.ED/LU 2013-2015 usbrj