makalah kemaritiman nelayan sulawesi tenggara ruslin_b1_c1 13 143
DESCRIPTION
NAMA : RUSLIN _ MAHASISWA AKUNTANSI 2013 UNIVERSITAS HALU OLEO_ FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS_ MAKALAH INI BERTUJUAN MENGGAMBARAKAN KONDISI KEMARITIMAN SULAWESI TENGGAR DI TINJAU DARI PERSPEKTIF NELAYAN MISKIN DENGAN VARIABEL SUMBERDAYA MANUSIA KHUSUSNYA MASALAH PENDAPATAN PERKAPITA, PENDIDIKAN ,TRANSCRIPT
RUSLIN_ B1C1 13 143 _ PEMBANGUNAN SULAWESI TENGGARA PERSPEKTIF NELAYAN 1
KATA PENGANTAR
Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas segala rahmat-
Nya sehingga Makalah Wawasan Kemaritiman dengan Judul PERAN
PENGETAHUAN KEMARITIMAN TERHADAP PEMBANGUNAN SULAWESI
TENGGARA DITINJAU DARI PERSPEKTIF NELAYAN MISKIN dapat
terselesaikan tepat pada waktunya.
Makalah Wawasan Kemaritiman disusun agar kita Mahasiswa dapat
memahami tentang kondisi pembangunan Sulawesi Tenggara di bidang kelautan.
Makalah ini disusun oleh penyusun dengan berbagai rintangan. Baik itu yang
datang dari diri penyusun maupun yang datang dari luar. Namun dengan penuh
kesabaran dan terutama pertolongan dari Allah SWT akhirnya makalah ini dapat
disusun dengan baik.
Semoga makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas kepada
pembaca. Dengan segala kekurangan, Penyusun mohon untuk saran dan
kritiknya.
Kendari, Mei 2014
Ruslin
B1C1 13 143
RUSLIN_ B1C1 13 143 _ PEMBANGUNAN SULAWESI TENGGARA PERSPEKTIF NELAYAN 2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .................................................................................................. 1
DAFTAR ISI ................................................................................................................ 2
BAB 1. PENDAHULUAN .......................................................................................... 3
1. LATAR BELAKANG......................................................................................................................... 3
2. RUMUSAN MASALAH ................................................................................................................ 4
3. TUJUAN PENULISAN ................................................................................................................... 4
BAB 2. PEMBAHASAN ............................................................................................................................ 5
1. KONDISI UMUM SULAWESI TENGGARA ...................................................................... 5
1.1. LUAS WILAYAH ............................................................................................................... 5
1.2. JUMLAH PENDUDUK .................................................................................................. 5
1.3. PENDIDIKAN..................................................................................................................... 6
1.4. PENGHASILAN PERKAPITA ..................................................................................... 7
1.5. KONDISI KEMISKINAN............................................................................................... 7
2. PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA ........................................................... 9
3. PROBLEM SOSIAL - EKONOMI MASYARAKAT BAHARI .................................... 9
3.1. EKSPLOITASI SUMBER DAYA LAUT................................................................... 9
3.2. KEMISKINAN.....................................................................................................................11
4. FAKTOR PENYEBAB......................................................................................................................13
4.1. KELEBIHAN.........................................................................................................................14
4.2. KONFLIK ANTAR NELAYAN....................................................................................16
5. SOLUSI ALTERNATIF....................................................................................................................18
5.1. PEMBERDAYAAN MASY. PESISIR .......................................................................20
5.2. PENGELOLAAN SUMBERDAYA PERIKANAN BERBASIS
KEARIFAN LOKAL / TRADISIONAL.....................................................................23
BAB 3. PENUTUP
1. KESIMPULAN ....................................................................................................................................24
2. SARAN ..................................................................................................................................................24
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................................................25
RUSLIN_ B1C1 13 143 _ PEMBANGUNAN SULAWESI TENGGARA PERSPEKTIF NELAYAN 3
BAB 1
PENDAHULUAN
1. LATAR BELAKANG
Sistem budaya bahari mencakup sistem-sistem pengetahuan,
gagasan, keyakinan / kepercayaan, nilai, dan norma / aturan berkenaan
dengan pemanfaatan sumber daya dan jasa-jasa laut
Sistem pengetahuan nelayan mencakup antara lain: pengetahuan
tentang biota laut bernilai ekonomi tinggi, pengetahuan tentang lokasi
dan sarang ikan, pengetahuan tentang musim, pengetahuan tentang
tanda-tanda-tanda (di laut, darat, angkasa / perbintangan), dan
pengetahuan tentang lingkungan sosial budaya. Pengetahuan tentang
biota laut bernilai ekonomi meliputi spesis-spesis ikan, udang, kepiting,
cumi-cumi, gurita, penyu (spesis-spesis liar) dan kerang / siput-siputan,
teripang, akar bahar, tali arus, rumput laut / agar-agar, dan berbagai jenis
karang, dan lain-lain.
Perikanan merupakan salah satu aktivitas yang memberikan
kontribusi terhadap kesejahteraan suatu bangsa (Fauzi, 2006). Seperti yang
telah disinggung diatas, perikanan ini merupakan sektor pertanian yang
menopang perekonomian. Sumberdaya perikanan merupakan barang
umum (good common) yang bersifat open access, artinya setiap orang
berhak menangkap ikan dan sumberdaya hayati lainnya kapan saja,
dimana saja, berapapun jumlahnya, dan dengan alat apa saja. Hal ini mirip
dengan ”hukum rimba” dan ”pasar bebas”. Secara empiris, keadaan ini
menimbulkan dampak negatif, antara lain apa yang dikenal
dengan tragedy of common (perebutan sumberdaya) baik berupa
kerusakan sumberdaya kelautan dan perikanan maupun konflik antar
orang yang memanfaatkannya. Oleh karena itu, perlu diatur regulasi dalam
pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya perikanan. Sumberdaya
perikanan yang bersifat diperbaharui (renewable) ini menuntut adanya
pengelolaan dengan pendekatan yang bersifat menyeluruh dan hati-hati
(Fauzi, 2006 cit Kartika, 2010).
Sumber daya perikanan memberikan kontribusi penting bagi
perekonomian nasional, sehingga keberadaan sumberdaya perikanan ini
merupakan peluang bagi sumber pertumbuhan ekonomi nasional dan
wahana untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Namun, pada
kenyataanya potensi sumber daya perikanan di Indonesia masih belum
RUSLIN_ B1C1 13 143 _ PEMBANGUNAN SULAWESI TENGGARA PERSPEKTIF NELAYAN 4
bisa dikelola dan dimanfaatkan secara optimal dan arif. Terjadinya
penangkapan ikan yang berlebihan (eskploitasi) menyebabkan besarnya
jumlah ikan yang ditangkap tidak sebanding dengan kemampuan
sumberdaya ikan untuk pulih kembali (overfishing). Terjadinya over
fishing ini disebabkan oleh illegal fishing yang marak terjadi. Illegal
fishing dapat diartikan sebagai kegiatan perikanan yang melanggar
hukum. Kegiatan Illegal Fishing yang paling sering terjadi di wilayah
pengelolaan perikanan Indonesia adalah pencurian ikan oleh kapal-kapal
ikan asing (KIA) yang berasal dari beberapa negara tetangga (neighboring
countries). Kegiatan illegal fishing juga dilakukan oleh Kapal Ikan Indonesia
(KII). Beberapa modus/jenis kegiatan illegal yang sering dilakukan KII,
antara lain: penangkapan ikan tanpa izin (Surat Izin Usaha Perikanan (SIUP)
dan Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI) maupun Surat Izin Kapal
Pengangkutan Ikan (SIKPI)), memiliki izin tapi melanggar ketentuan
sebagaimana ditetapkan (pelanggaran daerah penangkapan ikan,
pelanggaran alat tangkap, pelanggaran ketaatan berpangkalan,
pemalsuan/manipulasi dokumen (dokumen pengadaan, registrasi, dan
perizinan kapal), dan penangkapan ikan yang merusak (destructive fishing)
dengan menggunakan bahan kimia sepertisodium atau Potassium sianida,
bahan peledak, alat dan/atau cara, dan/atau bangunan yang
membahayakan melestarikan sumberdaya ikan.
2. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana kondisi umum pembangunan wilayah Sulawesi
Tenggara ?
2. Bagaimana kondisi potensi perikanan di sulawesi tenggara ?
3. Bagaimana pemberdayaan masyarakat pesisir di sulawesi tenggara ?
4. Bagaimana kondisi perekonomian sulawesi tenggara
5. Bagaiman kondisi sumberdaya manusia dalam bidang pendidikan di
Sulawesi Tenggara ?
3. TUJUAN PENULISAN
Tujuan penyusunan Makalah ini adalah untuk menggambarkan
kondisi / potret pembangunan Sulawesi Tenggara di bidang
kemaritiman berdasarkan perpektif pengetahuan masyarakat
nelayan miskin dengan berbagai variabel pendukung yaitu kondisi
demografi wilayah sulawesi tenggara, jumlah penduduk,
penghasilan perkapita, serta kondisi ekonomi secara makro.
RUSLIN_ B1C1 13 143 _ PEMBANGUNAN SULAWESI TENGGARA PERSPEKTIF NELAYAN 5
BAB 2
PEMBAHASAN
1. KONDISI UMUM SULAWESI TENGGARA
1.1. Luas Wilayah
Wilayah yang menjadi kewenangan Pemerintah Provinsi
Sulawesi Tenggara memiliki luas kurang lebih 148.139,98 Km2. Luasan
ini didominasi oleh perairan laut seluas 114.879 Km2 atau sekitar 72
%, sedangkan wilayah daratan hanya seluas 38.139,98 Km2 atau sekitar
28 %. Provinsi Sulawesi Tenggara termasuk Daerah Kepulauan. Pulau-
Pulau yang ada di daerah ini berjumlah 124 pulau. Pulau besar
diantara pulau-pulau yang ada, yaitu : Pulau Buton, Pulau Muna,
Pulau Wawonii dan Pulau Kabaena.
1.2. Jumlah Penduduk
Jumlah Penduduk Sulawesi Tenggara pada Tahun 2010 tercatat
2.232.586 jiwa. Jumlah ini meningkat menjadi 2.277.020 jiwa pada
Tahun 2011. Dengan demikian laju pertumbuhan penduduk Sulawesi
Tenggara kurun waktu Tahun 2010 sampai dengan Tahun 2011 tercatat 2
persen.
RUSLIN_ B1C1 13 143 _ PEMBANGUNAN SULAWESI TENGGARA PERSPEKTIF NELAYAN 6
1.3. Pendidikan
Penduduk usia kerja menurut tingkat pendidikan terakhir yang
ditamatkan, meskipun memiliki potensi penduduk usia produktif yang
besar, namun sebagian besar masih merupakan tamatan pendidikan
dasar mencapai 43,45 persen, dan menengah (SMP dan SMA)
mencapai sekitar 47,53 persen. Sementara untuk tamatan pendidikan
tinggi (universitas dan akademi) tidak sampai 10 persen dari total
penduduk usia kerja . Sementara berdasarkan tipe daerah, sebagian besar
penduduk usia kerja terdapat di perdesaan, yaitu sekitar
72,62 persen
Angkatan Kerja. Jumlah angkatan kerja Provinsi Sulawesi
Tenggara tahun 2013 (Februari) tercatat sebanyak 1.060.349 atau
sekitar 0,87 persen dari total angkatan kerja nasioanl, yang terdiri dari
1.023.549 jiwa penduduk bekerja dan 36.800 jiwa pengangguran terbuka.
Jumlah angkatan kerja tahun 2012 terbesar terdapat di Kabupaten
Kolaka, yaitu mencapai 153.577 orang dan terrendah di Kabupaten
Konewa Utara sebanyak 23.621 jiwa.
RUSLIN_ B1C1 13 143 _ PEMBANGUNAN SULAWESI TENGGARA PERSPEKTIF NELAYAN 7
Penduduk Bekerja. Jumlah penduduk bekerja di Provinsi
Sulawesi Tenggara pada tahun 2013 (Februari) mencapai 1.023.549
jiwa atau bertambah sebanyak 100.431 jiwa dari tahun 2008.
Persebaran penduduk bekerja sebagian besar di Provinsi Sulawesi
Tenggara lebih banyak tersedia di perdesaan dibandingkan di
perkotaan, dan sebagian besar penduduk bekerja masih
mengantungkan pendapatnnya di sektor pertanian (40,93%) dan sektor
perdagangan (18,54%). Sementara dilihat dari pendidikan yang
ditamatkan, sebagian besar penduduk bekerja merupakan tamatan
sekolah dasar dan menengah. Untuk penduduk yang bekerja tahun
2012 terbesar di Kabupaten Kolaka, yaitu mencapai sebanyak 144.499 jiwa.
Gambar 3:
1.4. Penghasilan Perkapita
Adapun penghasilan perkapita Sulawesi Tenggara pada tahun 2012
sebesar Rp. 4,19 juta dan pada tahun 2013 meningkat menjadi Rp. 4,64
juta. Upaya peningkatan penghasilan perkapita Sulawesi Tenggara
senantiasa terus digalakan melalui berbagai bidang pembangunan
sehingga pada tahun 2014 penghasilan perkapita Sulawesi Tenggara telah
mencapai Rp. 5,25 juta. Salah satu tolak ukur untuk mengetahui tingkat
kemakmuran suatu daerah dapat dilihat dari PDRB perkapita.
1.5. Kondisi Kemiskinan
Perkembangan kemiskinan di Provinsi Sulawesi Tenggara dalam
kurun waktu 2008-2013 (2), secara absolut menurun sebesar 134,19 ribu
jiwa, dengan jumlah penduduk miskin tahun 2013 (Maret) 302 ribu jiwa.
RUSLIN_ B1C1 13 143 _ PEMBANGUNAN SULAWESI TENGGARA PERSPEKTIF NELAYAN 8
Seperti halnya dengan kondisi tingkat kemiskinan dari tahun 2008-2013
mengalami penurunan dan hingga akhir tahun 2013 (maret) mencapai
12,83 persen atau menurun sebesar 6,70 persen dari tahun 2008.
Kondisi kemiskinan Provinsi Sulawesi Tenggara masih tergolong tinggi jika
dibandingkan terhadap rata-rata kemiskinan nasional (11,37%).
Penyebaran penduduk miskin terbesar tahun 2011 terdapat di Kota
Kolaka yaitu sebanyak 56,90 ribu jiwa dan Muna sebanyak 44,30 ribu
jiwa, dan terendah di Buton Utara sebesar 6,80 ribu jiwa. Sementara
untuk penyebaran tingkat kemiskinan tertinggi terdapat di Kabupaten
Kolaka Utara sebesar 18,76% dan tingkat kemiskinan terendah di Kota
Kota Kendari sebesar 7,46%.
RUSLIN_ B1C1 13 143 _ PEMBANGUNAN SULAWESI TENGGARA PERSPEKTIF NELAYAN 9
2. PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA
Pengembangan sumber daya manusia di Propinsi Sulawesi Tenggara
diarahkan untuk mewujudkan manusia berakhlak, beriman, dan bertaqwa
terhadap Tuhan Yang Maha Esa dengan menanamkan sejak dini nilai-nilai
agama dan moral, serta nilai-nilai luhur budaya bangsa, baik melalui jalur
pendidikan sekolah maupun pendidikan luar sekolah, serta pendidikan di
lingkungan keluarga dan masyarakat. Demikian pula, pengembangan
sumber daya manusia diarahkan untuk meningkatkan derajat kesehatan
dan pendidikan, melalui peningkatan kualitas pendidikan umum,
pendidikan kejuruan, maupun pendidikan agama, serta pelayanan
kesehatan dan sosial kepada masyarakat melalui peningkatan
ketersediaan dan sebaran prasarana dan sarana dasar secara makin
berkualitas dan merata. Pengembangan sumber daya manusia diarahkan
untuk meningkatkan kreativitas, produktivitas, nilai tambah, daya saing,
kewiraswastaan, dan kualitas tenaga kerja, antara lain melalui kegiatan
pembimbingan, pendidikan, dan pelatihan yang tepat dan efektif, serta
peningkatan pengetahuan dan keterampilan dalam pemanfaatan,
pengembangan dan penguasaan iptek serta pelestarian fungsi lingkungan
hidup. Peningkatan produktivitas tenaga kerja di propinsi ini diarahkan
terutama pada bidang industri yang memanfaatkan sumber daya alam,
yakni perikanan, kehutanan dan pertambangan, serta perkebunan,
peternakan, dan pariwisata.
3. PROBLEM SOSIAL - EKONOMI MASYARAKAT BAHARI
3.1. Eksploitasi Sumber Daya Laut
Penangkapan dengan menggunakan bahan peledak
Penangkapan ikan dengan menggunakan bahan peledak
merupakan cara yang sering digunakan didalam memanfaatkan
sumberdaya perikanan khususnya didalam melakukan penangkapan ikan-
ikan karang. Penangkapan ikan-ikan karang dengan menggunakan bahan
RUSLIN_ B1C1 13 143 _ PEMBANGUNAN SULAWESI TENGGARA PERSPEKTIF NELAYAN 10
peledak dapat memberikan akibat yang kurang baik baik bagi ikan-ikan
yang akan ditangkap maupun untuk karang yang terdapat pada lokasi
penangkapan. Penggunaan bahan peledak dalam penangkapan ikan
menimbulkan efek samping yang sangat besar. Selain matinya berbagai
jenis ikan dalam berbagai ukuran, juga dapat menyebabkan kematian
biota lain yang bukan merupakan sasaran penangkapan.
Kegiatan Penangkapan dengan menggunakan bahan beracun/bahan
kimia
Selain penggunaan bahan peledak didalam penangkapan ikan
diderah karang, kegiatan yang marak dilakukan oleh nelayan adalah
dengan menggunakan obat bius atau bahan beracun lainnya. Bahan
beracun yang umum dipergunakan dalam penangkapan ikan dengan
pembiusan seperti sodium atau potassium sianida. Seiring dengan
meningkatnya permintaan konsumen terhadap ikan hias dan hidup
memicu nelayan untuk melakukan kegiatan penangkapan yang merusak
dengan menggunakan racun sianida. Kegiatan ini umum dilakukan oleh
nelayan untuk memperoleh ikan hidup. Disamping mematikan ikan-ikan
yang ada, sisa racun dapat menimbulkan dampak negatif bagi kehidupan
terumbu karang, yang ditandai dengan perubahan warna karang yang
berwarna warni menjadi putih yang lama kelamaan karang menjadi mati.
Indikatornya adalah karang mati.
Kegiatan penangkapan dengan menggunakan alat tangkap trawl
Kegiatan lain yang termasuk kedalam kegiatan illegal fishing adalah
penggunaan alat tangkap trawl pada daerah karang. Kegiatan ini
merupakan kegiatan penangkapan yang bersifat merusak dan tidak ramah
lingkungan. Sebagaimana telah kita ketahui bersama, penggunaan alat
RUSLIN_ B1C1 13 143 _ PEMBANGUNAN SULAWESI TENGGARA PERSPEKTIF NELAYAN 11
tangkap ini sudah dilarang penggunaannya di Indonesia karena alat
tangkap tersebut termasuk kedalam alat tangkap yang sangat tidak ramah
lingkungan karena memiliki selektifitas alat tangkap yang sangat buruk.
Alat yang umumnya digunakan oleh nelayan berupa jaring dengan ukuran
yang sangat besar, memilki lubang jaring yang sangat rapat sehingga
berbagai jenis ikan mulai dari ikan berukuran kecil sampai dengan ikan
yang berukuran besar dapat tertangkap dengan menggunakan jaring
tersebut.
3.2. Kemiskinan
Nelayan mempunyai peran yang sangat substantial dalam
memodernisasi kehidupan manusia. Mereka termasuk agent of
development yang paling reaktif terhadap perubahan lingkungan.
Sifatnya yang lebih terbuka dibanding kelompok masyarakat yang
hidup di pedalaman, menjadi stimulator untuk menerima
perkembangan peradaban yang lebih modern.
Dalam konteks yang demikian timbul sebuah stereotif yang
positif tentang identitas nelayan khususnya dan masyarakat pesisir pada
umumnya. Mereka dinilai lebih berpendidikan, wawasannya tentang
kehidupan jauh lebih luas, lebih tahan terhadap cobaan hidup dan
toleran terhadap perbedaan.
Ombak besar dan terpaan angin laut yang ganas memberikan
pengaruh terhadap mentalitas mereka. Di masa lalu, ketika teknologi
komunikasi belum mencapai kemajuan seperti sekarang, perubahan-
perubahan besar yang terjadi pada masyarakat pedesaan (daratan)
ditentukan oleh intensitas komunikasi yang berhasil diwujudkan
masyarakat pedesaan dengan para nelayan.
RUSLIN_ B1C1 13 143 _ PEMBANGUNAN SULAWESI TENGGARA PERSPEKTIF NELAYAN 12
Dalam perkembangan, justru masyarakat nelayan belum
menunjukkan kemajuan yang berarti dibandingkan kelompok
masyarakat lainnya. Keberadaan mereka sebagai agen perubahan sosial
ternyata tidak ditunjukkan secara positif dengan kehidupan
ekonominya. Persoalan sosial paling dominan yang dihadapi di wilayah
pesisir justru masalah kemiskinan nelayan. Meski data akurat mengenai
jumlah penduduk miskin di wilayah pesisir ini belum tersedia, data dari
hasil-hasil penelitian yang ada menunjukan adanya incidence poverty di
beberapa pesisir.
Hasil studi COREMAP tahun 2007/2008 di 10 provinsi di
Indonesia menunjukkan rata-rata pendapatan rumah tangga nelayan
berkisar antara Rp 82.500 per bulan sampai Rp 225.000 per bulan. Kalau
dikonversi ke pendapatan per kapita, angka tersebut rata-rata setara
dengan Rp 20.625 sampai Rp 56.250 per kapita per bulan (Anon, 2012).
Angka tersebut masih di bawah upah minimum regional yang
ditetapkan pemerintah pada tahun yang sama. Hal ini perlu menjadi
perhatian mengingat ada keterkaitan erat antara kemiskinan dan
pengelolaan wilayah pesisir.
Tekanan terhadap sumber daya pesisir sering diperberat oleh
tingginya angka kemiskinan di wilayah tersebut. Kemiskinan sering pula
menjadi lingkaran karena penduduk yang miskin sering menjadi sebab
rusaknya lingkungan pesisir, namun penduduk miskin pula yang akan
menanggung dampak dari kerusakan lingkungan. Dengan kondisi
tersebut, tidak mengherankan jika praktik perikanan yang merusak
masih sering terjadi di wilayah pesisir.
Pendapatan mereka dari kegiatan pengeboman dan
penangkapan ikan karang dengan cyanide masih jauh lebih besar dari
pendapatan mereka sebagai nelayan. Sebagai contoh, pendapatan dari
RUSLIN_ B1C1 13 143 _ PEMBANGUNAN SULAWESI TENGGARA PERSPEKTIF NELAYAN 13
penjualan ikan karang berkisar antara Rp 500.000 sampai Rp 700.000
per bulan (Erdman dan Pet, 2000). Dengan besarnya perbedaan
pendapatan tersebut di atas, sulit untuk mengatasi masalah kerusakan
ekosistem pesisir tanpa memecahkan masalah kemiskinan yang terjadi
di wilayah pesisir itu sendiri.
4. FAKTOR PENYEBAB
Masalah kemiskinan harus segera ditangani pemerintah ketika
krisis ekonomi melanda perekonomian nasional mulai akhir tahun 1998.
Krisis yang hampir membangkrutkan bangsa dan negara Indonesia telah
meningkatkan jumlah penduduk miskin kembali ke tahun sebelum 1990.
Meningkatnya jumlah tenaga kerja Indonesia ilegal yang
mencari pekerjaan di negara jiran Malaysia adalah bukti konkret akan
rendahnya harapan bagi masyarakat pedesaan, terutama yang kurang
berpendidikan untuk menggantungkan kehidupannya dengan mengadu
nasib sebagai masyarakat urban dan suburban di Indonesia.
Secara garis besar ada dua cara memandang kemiskinan.
Sebagian orang berpendapat, kemiskinan adalah suatu proses,
sedangkan sebagian lagi memandang kemiskinan sebagai suatu akibat
atau fenomena dalam masyarakat.
Sebagai suatu proses, kemiskinan mencerminkan kegagalan
suatu sistem masyarakat dalam mengalokasikan sumber daya dan dana
secara adil kepada anggota masyarakat (Pakpahan dan Hermanto,
1992). Dari hasil kajian mereka di 14 kecamatan daerah pantai yang
tersebar di beberapa provinsi diketahui, nelayan yang miskin umumnya
belum banyak tersentuh teknologi modern, kualitas sumber daya
manusia rendah dan tingkat produktivitas hasil tangkapannya juga
sangat rendah.
RUSLIN_ B1C1 13 143 _ PEMBANGUNAN SULAWESI TENGGARA PERSPEKTIF NELAYAN 14
Faktor utama bukan karena kekuatan modal untuk mengakses
teknologi, namun ternyata lebih banyak disebabkan oleh kurangnya
aktivitas penyuluhan atau teknologi dan rendahnya lembaga penyedia
teknologi. Yang menarik dari hasil penelitian mereka adalah
ditemukannya korelasi positif antara tingkat kemiskinan dengan
perkembangan sistem ijon. Para nelayan miskin umumnya, kehidupan
ekonomi mereka sangat tergantung kepada para pemilik modal, yaitu
pemilik perahu atau alat tangkap serta juragan yang siap menyediakan
keperluan perahu untuk berlayar.
Indikator ini memang tidak selalu sama di setiap daerah karena
seperti di Pekalongan, banyak juragan kapal yang mengeluh dengan
sikap anak buah kapal (nelayan) yang cenderung terlalu banyak
menuntut sehingga keuntungan juragan kapal menjadi terbatas. Namun
secara umum terbatasnya kemampuan nelayan dalam mengembangkan
kemampuan ekonominya karena nelayan seperti ini telah terjerat oleh
utang yang dipinjam dari para juragan. Mereka biasanya membayar
utang tersebut dengan ikan hasil tangkapannya yang harganya
ditetapkan menurut selera para juragan.
Bisa dibayangkan apa yang akan diterima para nelayan dengan
sistem yang demikian, sehingga sangatlah wajar jika kemiskinan
menjadi bagian yang akrab dalam kehidupan mereka.
4.1. Kelebihan
Ada hal yang berbeda ketika kita berbicara tentang ekonomi
nelayan dan ekonomi petani terutama di Sulawesi Tenggara. Di
kalangan petani, pemasaran hasil merupakan second generation
problem yang sulit sekali dicarikan pemecahannnya. Sedangkan di
kalangan nelayan Sulawesi Tenggara, pemasaran bukanlah persoalan
RUSLIN_ B1C1 13 143 _ PEMBANGUNAN SULAWESI TENGGARA PERSPEKTIF NELAYAN 15
serius yang membuat mereka jatuh miskin. Di Provinsi Sulawesi
Tenggara terdapat tempat pelelangan ikan (TPI) yang menjadi sarana
transaksi hasil-hasil ikan laut. Dalam proses transaksi di TPI, nelayan
berhadapan dengan banyak pembeli sehingga nelayan yang menjual
hasil ikannya di TPI umumnya akan mendapat harga yang paling
menarik jika dibandingkan dengan mereka yang menjual di laut lepas
atau di luar TPI. Sayangnya, tidak semua proes transaksi dilakukan
secara kontan, terkadang di beberapa TPI banyak nelayan yang harus
menunggu pembayaran dua sampai tiga hari karena tidak semua
pembeli membawa uang yang cukup.
Hal inilah yang mendorong para nelayan, yang memerlukan
uang kontan segera dan tidak sabar, menjual hasilnya di luar TPI.
Akibatnya harga ikan yang mereka jual jauh di bawah harga TPI dan
seringkali hanya bisa untuk menutup biaya operasi menangkap ikan di
laut lepas.
Kondisi ini seringkali menimpa para nelayan-nelayan kecil yang
membutuhkan dana segar sesegera mungkin untuk menutup biaya
kehidupan ekonomi mereka. Pemerintah tampaknya perlu mendorong
sektor perbankan untuk membuka kantor kasnya di setiap TPI yang bisa
mengatasi kesulitan para bakul untuk menutup tagihannya. Termasuk
fungsi perbankan disini adalah menyediakan dana yang diperlukan
nelayan untuk berlayar. Sayangnya dengan kondisi kehidupan nelayan
yang pas-pasan, tampaknya sangat sulit bagi perbankan untuk
menjalankan fungsi tersebut tanpa adanya agunan yang memadai dari
para nelayan. Di sini bila dimungkinkan pemerintah bisa menyediakan
dana khusus sebagai jaminan kepada perbankan untuk menyalurkan
dananya kepada nelayan. Kalaupun perbankan tidak mampu memenuhi
peran tersebut, pemerintah bisa menempatkan dananya sebagai
RUSLIN_ B1C1 13 143 _ PEMBANGUNAN SULAWESI TENGGARA PERSPEKTIF NELAYAN 16
penyertaan modal kepada KUD-KUD pengelola TPI. Memang, nada
miring tentang KUD seringkali kita dengar sehingga pemerintah pun
cenderung berhati-hati bila ingin memberdayakan KUD. Namun,
pendapat ini tidak bisa digeneralisasi secara membabi buta, karena
masih cukup banyak pengurus KUD yang mempunyai hati nurani seperti
KUD-KUD pengelola TPI. Tidak ada salahnya, mulai sekarang
pemerintah mulai mencoba mengalokasikan dana retribusi dari
transaksi di TPI untuk diarahkan kepada penyediaan modal bagi
nelayan. Dengan demikian misalokasi anggaran diharapkan tidak akan
banyak terjadi, karena dengan memberdayakan KUD berarti pula
mendorong bangkitnya kekuatan ekonomi nelayan.
4.2. Konflik Antar Nelayan
Konflik perikanan akhir-akhir ini kembali menjadi berita setelah
di era 1970-an konflik sangat mudah dan sering muncul kepermukaan
sebagai akibat dualisme industri perikanan laut.
Berdasarkan studi di lima provinsi, Satria, et.al. (2002)
mengidentifikasi paling tidak terdapat empat macam konflik nelayan
berdasarkan faktor penyebabnya. Pertama, konflik kelas, yaitu konflik
yang terjadi antarkelas sosial nelayan dalam memperebutkan wilayah
penangkapan (fishing ground), yang mirip dengan kategori gearwar
conflict-nya Charles (2001).
Ini terjadi karena nelayan tradisional merasakan ketidakadilan
dalam pemanfaatan sumberdaya ikan akibat perbedaan tingkat
penguasaan kapital. Seperti, konflik yang terjadi akibat beroperasinya
kapal trawl pada perairan pesisir yang sebenarnya merupakan wilayah
penangkapan nelayan tradisional.
RUSLIN_ B1C1 13 143 _ PEMBANGUNAN SULAWESI TENGGARA PERSPEKTIF NELAYAN 17
Kedua, konflik orientasi, adalah konflik yang terjadi antar
nelayan yang memiliki perbedaan orientasi dalam pemanfaatan
sumberdaya, yaitu antara nelayan yang memiliki kepedulian terhadap
cara-cara pemanfaatan sumberdaya yang ramah lingkungan (orientasi
jangka panjang) dengan nelayan yang melakukan kegiatan
pemanfaatan yang bersifat merusak lingkungan, seperti penggunaan
bom, potasium, dan lain sebagainya (orientasi jangka pendek).
Ketiga, konflik agraria, merupakan konflik yang terjadi akibat
perebutan fishing ground, yang bisa terjadi antar kelas nelayan, maupun
inter-kelas nelayan. Ini juga bisa terjadi antara nelayan dengan pihak
lain non-nelayan, seperti antara nelayan dengan pelaku usaha lain,
seperti akuakultur, wisata, pertambangan, yang oleh Charles (2001)
diistilahkan sebagai external allocation conflict.
Keempat, konflik primordial, merupakan konflik yang terjadi
akibat perbedaan identitas, seperti etnik, asal daerah, dan seterusnya.
Anatomi konflik di atas menggambarkan betapa kompleksnya konflik
nelayan. Keempat tipe tersebut terjadi baik sebelum maupun sesudah
otonomi daerah. Perebutan sumberdaya ikan yang semakin langka
menjadi salah satu akar konflik perikanan saat ini, sehingga menuntut
kita untuk bepikir ulang tentang cara mengelola sumberdaya ini. Banyak
kepentingan nelayan terkalahkan oleh kepentingan non nelayan karena
nelayan tidak memiliki organisasi dengan posisi tawar yang kuat. Di era
otonomi daerah ini lebih-lebih adanya kecenderungan Pemda mengejar
kepentingan jangka pendek dengan mengedepankan proyek-proyek
yang quick yielding yang seringkali bersebarangan dengan kepentingan
nelayan, kehadiran organisasi nelayan yang solid menjadi kian
mendesak.
RUSLIN_ B1C1 13 143 _ PEMBANGUNAN SULAWESI TENGGARA PERSPEKTIF NELAYAN 18
Terakhir, dalam jangka panjang pemberdayaan nelayan sangat
penting dalam mengantisipasi konflik. Pemberdayaan tentu utamanya
diarahkan pada peningkatan ketahanan ekonomi rumah tangga
nelayan. Berbagai bentuk praktek penangkapan ikan secara destruktif
ternyata tidak bisa lepas dari perspektif ekonomi. Ketika nelayan dengan
alat tangkap yang sangat terbatas dan menghasilkan tangkapan ikan
yang secara minimal, maka dorongan untuk melakukan praktik
penangkapan secara destruktif menjadi besar. Akibatnya konflik
orientasi pun sering terjadi. Tentu aspek ekonomi ini juga mesti diiringi
dengan aspek sosial budaya yaitu dengan melakukan pengkayaan
pengetahuan dan pola sikap para nelayan terhadap sumberdaya laut
yang di beberapa tempat sudah mulai bergeser.
5. SOLUSI ALTERNATIF
Bertolak dari permasalahan-permasalahan pada sumberdaya
perikaan yang telah dijelaskan sebelumnya, maka tindakan pengelolaan
yang perlu dilakukan adalah sebagai berikut :
Dalam menanggulangi permasalahan illegal fishing yang ada sehingga
tidak berkelanjutan dan menyebabkan kerusakan yang berdampak besar
maka diperlukan solusi yang tepat untuk menekan terjadinya kegiatan
tersebut seperti:
- Peningkatan kesadaran masyarakat
- Peningkatan kesadaran masyarakat nelayan akan bahaya yang
ditimbulkan dari illegal fishing.
- Peningkatan kesadaran ini dapat dilakukan dengan dilakukannya
penyuluhan ke wilayah nelayan, dan pendidikan dari kecil di sekolah
daerah pesisir .
RUSLIN_ B1C1 13 143 _ PEMBANGUNAN SULAWESI TENGGARA PERSPEKTIF NELAYAN 19
- Peningkatan pemahaman dan pengetahuan nelayan tentang illegal
fishing.
- Melakukan penegakan hukum mengenai perikanan khususnya dalam
hal pemanfaatan yang bertanggung jawab.
Dalam hal ini diperlukan ketegasan dalam menjalankan hukum yang
berlaku sehingga pelaksanaan dari hukum tersebut benar-benar
laksanakan. Meningkatkan pengawasan dengan membuat badan khusus
yang menangani dan bertanggung jawab terhadap kegiatan illegal fishing.
Yang berperan di sini adalah pemerintah maupun melibatkan masyarakat
dalam hal pengawasan dari terjadinya kegiatan illegal fishing tersebut.
Operasi pengawasan ini dimaksudkan untuk memantau dan mengawasi
dan melakukan pemeriksaan terhadap kegiatan usaha penangkapan
maupun kegiatan pengangkutan / pengumpulan ikan baik dilakukan oleh
nelayan tradisional maupun pengusaha perikanan agar sesuai dengan
ketentuan peraturan perundangan.
Dari kegiatan operasi pengawasan ini diharapkan nantinya akan
tercipta kegiatan penangkapan dan pengangkutan/pengumpulan ikan
yang tertib, bertanggung jawab dan berkelanjutan dengan tetap menjaga
kelestarian sumberdaya ikan dan lingkungannya.
Penerapan pengelolaan sumberdaya perikanan yang berkelanjutan,
yaitu dengan mempertimbangkan ketersediaan sumberdaya saat ini dan
untuk generasi mendatang. Pengelolaan SDI berkelanjutan tidak melarang
penangkapan ikan secara komersil/ekonomi, tetapi dengan persyaratan
tidak melampaui daya dukung lingkungan perairan. Berkelanjutan berarti
tidak lepas dari 3 tujuan pembangunan berkelanjutan, yaitu ekologi,
ekonomi, dan social. Secara ekologi yaitu dengan tetap mempertahankan
keanekaragaman hayati / biodiversity sehingga pemanfaatan sumberdaya
RUSLIN_ B1C1 13 143 _ PEMBANGUNAN SULAWESI TENGGARA PERSPEKTIF NELAYAN 20
SDI dapat berkesinambungan. Secara ekonomi, kegiatan pengelolaan SDI
dapat membuahkan pertumbuhan ekonomi. Secara social, dapat
menciptakan pemerataan hasil, mobilitas social, hubungan social,
partisipasi masyarakat dan pemberdayaan masyarakat.
5.1. Pemberdayaan Masyarakat Pesisir
Saat ini banyak program pemberdayaan yang menklaim sebagai
program yang berdasar kepada keinginan dan kebutuhan masyarakat
(bottom up), tapi ironisnya masyarakat tetap saja tidak merasa memiliki
akan program-program tersebut sehingga tidak aneh banyak program
yang hanya seumur masa proyek dan berakhir tanpa dampak berarti
bagi kehidupan masyarakat. Memberdayakan masyarakat pesisir
berarti menciptakan peluang bagi masyarakat pesisir untuk menentukan
kebutuhannya, merencanakan dan melaksanakan kegiatannya, yang
akhirnya menciptakan kemandirian permanen dalam kehidupan
masyarakat itu sendiri. Memberdayakan masyarakat pesisir tidaklah
seperti memberdayakan kelompok-kelompok masyarakat lainnya,
karena didalam habitat pesisir terdapat banyak kelompok kehidupan
masayarakat diantaranya:
1. Masyarakat nelayan tangkap, adalah kelompok masyarakat pesisir
yang mata pencaharian utamanya adalah menangkap ikan dilaut.
Kelompok ini dibagi lagi dalam dua kelompok besar, yaitu nelayan
tangkap modern dan nelayan tangkap tradisional. Keduanya kelompok
ini dapat dibedakan dari jenis kapal/peralatan yang digunakan dan
jangkauan wilayah tangkapannya.
2. Masyarakat nelayan pengumpul/bakul , adalah kelompok masyarakt
pesisir yang bekerja disekitar tempat pendaratan dan pelelangan ikan.
RUSLIN_ B1C1 13 143 _ PEMBANGUNAN SULAWESI TENGGARA PERSPEKTIF NELAYAN 21
Mereka akan mengumpulkan ikan-ikan hasil tangkapan baik melalui
pelelangan maupun dari sisa ikan yang tidak terlelang yang selanjutnya
dijual ke masyarakat sekitarnya atau dibawah ke pasar-pasar lokal.
Umumnya yang menjadi pengumpul ini adalah kelompok masyarakat
pesisir perempuan.
3. Masayarakat nelayan buruh, adalah kelompok masyarakat nelayan
yang paling banyak dijumpai dalam kehidupan masyarakat pesisir. Ciri
dari mereka dapat terlihat dari kemiskinan yang selalu membelenggu
kehidupan mereka, mereka tidak memiliki modal atau peralatan yang
memadai untuk usaha produktif. Umumnya mereka bekerja sebagai
buruh/anak buah kapal (ABK) pada kapal-kapal juragan dengan
penghasilan yang minim.
4. Masyarakat nelayan tambak, masyarakat nelayan pengolah, dan
kelompok masyarakat nelayan buruh.
Setiap kelompok masyarakat tersebut haruslah mendapat
penanganan dan perlakuan khusus sesuai dengan kelompok, usaha, dan
aktivitas ekonomi mereka. Pemberdayaan masyarakat tangkap
minsalnya, mereka membutukan sarana penangkapan dan kepastian
wilayah tangkap. Berbeda dengan kelompok masyarakat tambak, yang
mereka butuhkan adalah modal kerja dan modal investasi, begitu juga
untuk kelompok masyarakat pengolah dan buruh. Kebutuhan setiap
kelompok yang berbeda tersebut, menunjukkan keanekaragaman pola
pemberdayaan yang akan diterapkan untuk setiap kelompok tersebut.
Dengan demikian program pemberdayaan untuk masyarakat
pesisir haruslah dirancang dengan sedemikian rupa dengan tidak
menyamaratakan antara satu kelompk dengan kelompok lainnya
apalagi antara satu daerah dengan daerah pesisir lainnya.
RUSLIN_ B1C1 13 143 _ PEMBANGUNAN SULAWESI TENGGARA PERSPEKTIF NELAYAN 22
Pemberdayaan masyarakat pesisir haruslah bersifat bottom up dan
open menu, namun yang terpenting adalah pemberdayaan itu sendiri
yang harus langsung menyentuh kelompok masyarakat sasaran.
Persoalan yang mungkin harus dijawab adalah: Bagaimana
memberdayakannya?
Banyak program pemberdayaan yang telah dilaksanakan
pemerintah, salah satunya adalah pemberdayaan ekonomi masyarakat
pesisir (PEMP). Pada intinya program ini dilakukan melalui tiga
pendekatan, yaitu:
1. Kelembagaan. Bahwa untuk memperkuat posisi tawar masyarakat,
mereka haruslah terhimpun dalam suatu kelembagaan yang kokoh,
sehingga segala aspirasi dan tuntutan mereka dapat disalurkan secara
baik. Kelembagaan ini juga dapat menjadi penghubung (intermediate)
antara pemerintah dan swasta. Selain itu kelembagaan ini juga dapat
menjadi suatu forum untuk menjamin terjadinya perguliran dana
produktif diantara kelompok lainnya.
2. Pendampingan. Keberadaan pendamping memang dirasakan sangat
dibutuhkan dalam setiap program pemberdayaan. Masyarakat belum
dapat berjalan sendiri mungkin karena kekurangtauan, tingkat
penguasaan ilmu pengetahuan yang rendah, atau mungkin masih
kuatnya tingkat ketergantungan mereka karena belum pulihnya rasa
percaya diri mereka akibat paradigma-paradigma pembangunan masa
lalu. Terlepas dari itu semua, peran pendamping sangatlah vital
terutama mendapingi masyarakat menjalankan aktivitas usahanya.
Namun yang terpenting dari pendampingan ini adalah menempatkan
orang yang tepat pada kelompok yang tepat pula.
3. Dana Usaha Produktif Bergulir. Pada program PEMP juga disediakan
dana untuk mengembangkan usaha-usaha produktif yang menjadi
RUSLIN_ B1C1 13 143 _ PEMBANGUNAN SULAWESI TENGGARA PERSPEKTIF NELAYAN 23
pilihan dari masyarakat itu sendiri. Setelah kelompok pemanfaat dana
tersebut berhasil, mereka harus menyisihkan keuntungannya untuk
digulirkan kepada kelompok masyarakat lain yang membutuhkannya.
Pengaturan pergulirannya akan disepakati di dalam forum atau lembaga
yang dibentuk oleh masyarakat sendiri dengan fasilitasi pemerintah
setempat dan tenaga pendamping.
5.2. Pengelolaan sumberdaya perikanan berbasis kearifan Lokal /
tradisional
Kearifan Lokal / Tradisional bukan hanya menyangkut pengetahuan
atau pemahaman masyarakat adat tentang manusia dan bagaimana relasi
yang baik di antara manusia, melainkan juga menyangkut pengetahuan,
pemahaman dan adat kebiasaan tentang manusia, alam dan bagaimana
relasi di antara semua penghuni komunitas ekologi. Menurut Biasane
(2004), seluruh kearifan lokal dihayati, dipraktikan, diajarkan dan
diwariskan dari satu generasi ke generasi lain yang sekaligus membentuk
pola perilaku manusia sehari -hari baik terhadap sesama manusia maupun
terhadap alam dan yang gaib. Salah satu bentuk kearifan lokal adalah hak
ulayat laut. Hak ulayat laut merupakan suatu sistem dengan beberapa
orang atau kelompok sosial yang memanfaatkan wilayah laut dan
mengatur tingkat eksploitasinya, termasuk melindungi dari eksploitasi
yang berlebihan.
RUSLIN_ B1C1 13 143 _ PEMBANGUNAN SULAWESI TENGGARA PERSPEKTIF NELAYAN 24
BAB 3
PENUTUP
1. Kesimpulan
Adapun kesimpulan yang diperoleh dari uraian di atas adalah :
1. Bahwa perlunya tindakan pengelolaan sumberdaya perikanan
bertujuan untuk menjaga kelestarian dan kesinambungan dari
sumberdaya perikanan itu sendiri untuk ketersediaannya di masa
sekarang dan akan datang.
2. Pengelolaan sumberdaya perikanan tersebut harusnya melibatkan
berbagai elemen, baik pemerintah maupun masyarakat sekitar/
nelayan.
2. Saran
Bertolak dari kesimpulan di atas maka Penulis menyarankan kepada :
- Mahasiswa – mahasiswa ekonomi agar mempelajari wilayah
Sulawesi tenggara, dan melihat potensi pembangunannya agar bisa
turut terlibat dalam pembangunan daerah kita.
- Bagi Negara kesatuan Repoblik Indonesia harus menjaga dan
memilihara sumber daya yang ada di Sulawesi tenggara tersebut
agar dapar bermanfaat bagi Bangsa Indonesia.
- Dan bagi penduduk Sulawesi tenggara untuk bisa mempelajari
sumber daya Alam yang ada di Sulawesi tenggara. Untuk
dimanfaatkan dengan baik untuk kegiatan usaha produktif.
Sebaiknya pemerintah segera menindaklanjuti masalah-masalah
yang dihadapi oleh masyarakat bahari Indonesia. Hal ini dimaksudkan
untuk mengurangi tiingkat kemiskinan masyarakat, meredam konflik-
konflik sosial yang meresahkan masyarakat bahari, dan menjaga
kelestarian lingkungan hidup, khususnya laut.
RUSLIN_ B1C1 13 143 _ PEMBANGUNAN SULAWESI TENGGARA PERSPEKTIF NELAYAN 25
DAFTAR PUSTAKA
Kartika, S. 2010. Strategi pengelolaan sumberdaya Perikanan berbasis
ekosistem di pantura Barat provinsi Sulawesi Tenggara.
http://eprints.undip.ac.id/26525/1/SKRIPSI-
SELLY_KARTIKA__C2B006067_%28R%29.pdf. (12 Maret 2012).
Mukhtar. 2011. Illegal Fishing di Indonesia
http://mukhtar-api.blogspot.com/2011/05/illegal-fishing-di-
indonesia.html. (13Maret 2012).
Naibaho, P. 2011. Kerusakan Ekosistem Perairan Khususnya Terumbu
Karang Akibat Alat Tangkap Ikan Yang Ilegal (Illegal
Fishing).Http://Pobersonaibaho.wordpress.com/2011/05/11/kerusak
an-ekosistem-perairan-terumbu-karang-akibat-cara-penangkapan-
yang-ilegal/. (13 Maret 2012).
http://www.acehinstitute.org/index.php?option=com_content&view=articl
e&id=454:kearifan-lokal-di-laut-aceh&catid=72:ekonomi-a-
pembangunan&Itemid=125 . (13 Maret 2012).Diposkan oleh Andri
di 21.41 Tidak ada komentar:
http://www.sulawesitenggaraprov.go.id/
http://www.batukar.info/wiki/geografis-sulawesi-tenggara.
http://www.batukar.info/search/node/waktu%20pertumbuhan%20dan%20
pembangunan%20sulawesi%20tenggara
http://id.wikipedia.org/wiki/Sulawesi_Tenggara
http://sultra.tripod.com/LETAK_GEOGRAFIS.htm
Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Sulawesi Tenggara (2011). “Sulawesi
Tenggara Dalam Angka 2010”. BPS, Kendari, diakses melalui
http://sultra.bps.go.id/