makalah iu komunitas
TRANSCRIPT
PENDAHULUAN
Keluarnya urine yang tidak disadari telah dilaporkan sendiri oleh 30% orang yang
berusia ≥60 tahun yang secara acak dilakukan survei di Washtenaw Country, Mivhigan.
Survei di Eropa telah melaporkan bahwa angka prevalensi bervariasi dari 1,6% sampai 49%,
dengan rentang yang luas yang disebabkan karena perbedaan teknik yang digunakan dalam
survei dan dalam definisi inkontinensia urine. Masalah menjadi lebih menonjol pada orang
lanjut usia yang tinggal dalam institusi, kira-kira 50% pasien yang dirawat secara kronis dan
30% pasien di rumah sakit mengalami inkontinensia. Prevalensi lebih tinggi pada wanita
dibandingkan pria, dengan rasio kira-kira 2:1.
Inkontinensia urine dapat merupakan sebab institusionalisasi dan merupakan faktor
yang berperan daam ulkus dekubitus, infeksi saluran kemih, dan depresi. Masalah tersebut
berhubungan erat dengan kesehatan umum yang buruk dan dengan gangguan media kronis
(misalnya, gangguan neurologik, gastrointestinal, respirasi, dan genitourinarius). Pada wanita
lanjut usia, parias sendiri tidak berhubungan dengan inkontinensia urine, kecuali terjadi juga
selama kehamilan.
Dampak ekonomi inkontinensia urine adalah sangat jelas, biaya perawatan tambahan
yang diperlukan untuk menangani inkontinensia pada orang lanjut usia yang dirawat
diperkirakan >8 milyar dollar setiap tahunnya di Amerika Serikat.
Keadaan ini pada orang lanjut usia masih belum dipahami dengan baik dan diabaikan.
Banyak orang secara salah mempercayai bahwa proses penuaan itu sendiri yang
menyebabkan inkontinensia urine. Sebagian pasien tidak mengatakan pada dokternya
mengenai keluarnya urine secara tidak disadari tersebut. Yang lebih menhusahkan adalah
bahwa setengah sampai duapertiga dokter tidak melakukan pemeriksaan yang bahkan paling
sederhana jika dikatakan mengenai masalah tersebut. Program pendidikan bagi masyarakat
dan dokter diperlukan untuk memberikan informasi yang akurat dan mengubah persepsi yang
salah tersebut. Dengan berbacai cara terapi yang tersedia, setiap orang lanjut usia yang
mengalami inkontinensia urine harus mendapatkan kesempatan untuk mengendalikan, jika
tidak untuk memperbaiki gangguan tersebut.
1
PEMBAHASAN
A. Anatomi dan Fisiologi Saluran Kemih Bagian Bawah
Tiga struktur saluran kemih bagian bawah penting untuk menjaga kontinensia urine,
menyimpan urine dari kandung kemih adalah detrusor, sfingter internal, dan sfingter
eksternal. Detrusor atau otot polos kandung kemih meluas ke dalam uretra dan membentuk
masa dinding paroksimalnya (sfingter internal).
Ketiga struktur tersebut dianggap sebagai satu unit anatomik dan fungsional dan
mempunyai sifat kontraktil intrinsik yang tidak tergantung pada pengendalian sistem saraf
pusat. Otot polos dan jaringan elastik yang membentuk struktur tersebut memungkinkan
kandung kemih untuk mengakomodasi urine dalam volume yang besar dengan tekanan
intravesikal yang rendah.
Utera proksimal adalah termasuk uretra prostatistika dan membranosa pada pria dan
tiga perempat proksimal uretra pada wanita. Kontraksi sfingter internal mencegah kebocoran
urine dari kandung kemih. Tahanan terhadap kebocoran ini adalah sebagai jumlah total dari
tenaga yang berasal dari mukosa, otot polos, pembuluh darah, dan jaringan elastik.
Jika tekanan intravesikal yang tertinggi terjadi sebagai hasil peningkatan tekanan
intraabdominal (misalnya batuk, mengejan, atau tertawa), kerja sfingter internal diperkuat
oleh otot lurik periuretral (sfingter eksternal). Otot ini, yang berasal dari diafragma
urogenitalis dan levator ani, mengelilingi sfingter internal. Kandungan seratnya yang tertinggi
adalah pada pertengahan uretra wanita dan uretra membranosa pada pria.
Detrusor dan sfingter dikendalikan oleh sumbu serebrospinalis. Kontrol kandung kemih
yang disadari diperkirakan dicapai jika pusat miksi di serebral mengalami kematangan pada
usia 2 sampai 4 tahun. Sebelum terjadi maturasi kortikal, atau “toilet training”, miksi adalah
tidak terkendali.
Pusat miksi di otak, berlokasi di lobus frontalis, dan dihubungkan oleh akson ke
formasi retikular pontin mesenfalik. Jalur ini menerima pesan dari ganglia basalis dan
serebelum. Serabut dari formasi retikular pontin mesensefalik turun dan membentuk sinaps di
pusat medula spinalis yang berlokasi di medula spinalis sakral segmen 2, 3, dan 4, dimana
terletak dua kelompok neuron yang penting. Sel kornu anterior (ventral) membentuk saraf
pudendus, dan sel kornu lateralis membentuk saraf pelvis.
Pusat miksi di serebral memberikan kontrol miksi yang diatur dengan kemauan dengan
memodulasi pusat pontin mesensefalik. Lesi pada daerah serebral biasanya menyebabkan
2
gilangnya sebagian atau seluruh refleks volunter dari miksi, menyebabkan timbulnya
hiperrefleksia detrusor. Tetapi, pada kasus tertentu, hilangnya sebagian atau keseluruhan
kemampuan untuk memulai miksi juga terlihat, seperti pada fase awal gangguan
serebrovaskuler (cerebrovascular accident).
Pusat pontin mesensefalik dipercaya mengendalikan perkembangan reflek detrusor
yang terkoordinasi dengan lama yang adekuat untuk menjamin pengosongan kandung kemih
yang lengkap. Pusat miksi di medula spinalis segmen sakral dipercaya untuk mengendalikan
koordinasi antara kontraksi detrusor dan relaksasi sfingter eksternal, menyebabkan
pengosongan kandung kemih yang lengkap tanpa adanya tahanan sfingter eksternal.
Saraf pudendus adalah saraf somatik yang memberikan inervasi motorik pada sfingter
eksternal dan inervasi sensorik pada perineum dan genitalia. Saraf pelvis adalah saraf
campuran parasimpatis; serabut aferennya membawa persepsi sakit dan regangan dari
kandung kemih.
Segmen spinal T-10 sampai S-2 memberikan neuron saraf prasakralis, atau hipogastik.
Saraf prasakralis, suatu saraf simpati, memberikan inervasi pada kandung kemih dan uretra.
Terdapat dua reseptor simpatik yang berbeda di saluran kemih bbagian bawah: reseptor α-
adrenergik yang sangat banyak pada trigonum dan uretra proksimal; reseptor β-adrenergik
yang berlokasi pada kandung kemih di atas trigonum. Reseptor α-adrenergik memperantarai
kontraksi sfingter internal, sedangkan reseptor β-adrenergik menyebabkan relaksasi otot
polos dinding kandung kemih. Kerja ini memungkinkan penyimpanan urine di dalam
kandung kemih.
Saat kandung kemih terisi dengan urine dan mengalami regangan, ujung saraf
proprioseptif terangsang dan memberikan impuls ke pusat pontin mesensefalik, yang
selanjutnya akan meneruskan (relay) impuls ke pusat medula sipinalis. Neuron motorik
selanjutnya teraktivasi, menyalurkan impuls ke detrusor, menyebabkannya berkontraksi.
Tepat sebelum terjadi kontraksi detrusor atau meningkatknya tekanan intravesikal yang dapat
diukur, otot lurik periuretral berelaksasi lengkap. Detrusor berkontraksi, dan uretra proksimal
terbuka. Aliran urine yang kuat dan terus menerus ditimbulkan oleh kontraksi detrusor yang
terus menerus, sfingter eksternal yang berelaksasi, dan sfingter eksternal yang terbuka dan
membentuk saluran.
3
B. Inkontinensia Urine
1. Pengertian
Inkontinensia urine merupakan eliminasi urine dari kandung kemih yang tidak
terkendali atau terjadi diluar keinginan (Brunner and Suddarth, 2002). Inkontinensia urine
didefinisikan sebagai keluarnya urine yang tidak terkendali pada waktu yang tidak
dikehendaki tanpa memperhatikan frekuensi dan jumlahnya,yang mengakibatkan masalah
social dan higienis penderitanya (FKUI, 2006).
Menurut International Continence Sosiety, inkontinensia urine adalah kondisi keluarnya
urin tak terkendali yang dapat didemonstrasikan secara obyektif dan menimbulkan gangguan
hygiene dan social.
2. Klasifikasi
a. Inkontinensia Transien
Inkontinensia transien memiliki onset yang mendadak, biasanya dihubungkan dengan
penggunaan obat-obatan atau penyakit akut. Pasien delirium mungkin tidak sadar saat
mengompol atau tak dapat pergi ke toilet sehingga berkemih tidak pada tempatnya. Bila
delirium teratasi maka inkontinensia urin umumnya juga akan teratasi. Setiap kondisi yang
menghambat mobilisasi pasien dapat memicu timbulnya inkontinensia urin fungsional atau
memburuknya inkontinensia persisten, seperti fraktur tulang pinggul, stroke, arthritis dan
sebagainya.
Resistensi urin karena obat-obatan, atau obstruksi anatomis dapat pula menyebabkan
inkontinensia urin. Keadaan inflamasi pada vagina dan urethra (vaginitis dan urethritis)
mungkin akan memicu inkontinensia urin. Konstipasi juga sering menyebabkan inkontinensia
akut.
Berbagai kondisi yang menyebabkan poliuria dapat memicu terjadinya inkontinensia
urin, seperti glukosuria atau kalsiuria. Gagal jantung dan insufisiensi vena dapat
menyebabkan edema dan nokturia yang kemudian mencetuskan terjadinya inkontinensia urin
nokturnal. Berbagai macam obat juga dapat mencetuskan terjadinya inkontinensia urin seperti
Calcium Channel Blocker, agonist adrenergic alfa, analgesic narcotic, psikotropik,
antikolinergik dan diuretic.
4
Untuk mempermudah mengingat penyebab inkontinensia urin akut reversible dapat
menggunakan akronim (Resnick 1984) di bawah ini :
D : Delirium
I : Infection of urinary tract or other infection
A : Atrophic urethritis and vaginitis
P : Pharmaceutical (diuretics, anticholinergic, antihistamine, Ca channel
blocker)
P : Psychological Problems, especially depression
E : Excess urine output (eg. congestive heart failure, hyperglycaemia)
R : Restricted mobility
S : Stool impaction
b. Inkontinensia Urin Persisten
Inkontinensia urin persisten dapat diklasifikasikan dalam berbagai cara, meliputi
anatomi, patofisiologi dan klinis. Untuk kepentingan praktek klinis, klasifikasi klinis lebih
bermanfaat karena dapat membantu evaluasi dan intervensi klinis.
Kategori klinis meliputi :
Inkontinensia urin stress (stres inkontinence)
Tak terkendalinya aliran urin akibat meningkatnya tekanan intraabdominal, seperti pada
saat batuk, bersin atau berolah raga. Umumnya disebabkan oleh melemahnya otot dasar
panggul, merupakan penyebab tersering inkontinensia urin pada lansia di bawah 75 tahun.
Lebih sering terjadi pada wanita tetapi mungkin terjadi pada laki-laki akibat kerusakan pada
sfingter urethra setelah pembedahan transurethral dan radiasi. Pasien mengeluh mengeluarkan
urin pada saat tertawa, batuk, atau berdiri. Jumlah urin yang keluar dapat sedikit atau banyak.
Inkontinensia urin urgensi (urgency inkontinence)
Keluarnya urin secara tak terkendali dikaitkan dengan sensasi keinginan berkemih.
Inkontinensia urin jenis ini umumnya dikaitkan dengan kontraksi detrusor tak terkendali
(detrusor overactivity). Masalah-masalah neurologis sering dikaitkan dengan inkontinensia
urin urgensi ini, meliputi stroke, penyakit Parkinson, demensia dan cedera medula spinalis.
Pasien mengeluh tak cukup waktu untuk sampai di toilet setelah timbul keinginan untuk
berkemih sehingga timbul peristiwa inkontinensia urin. Inkontinensia tipe urgensi ini
merupakan penyebab tersering inkontinensia pada lansia di atas 75 tahun. Satu variasi
inkontinensia urgensi adalah hiperaktifitas detrusor dengan kontraktilitas yang terganggu.
5
Pasien mengalami kontraksi involunter tetapi tidak dapat mengosongkan kandung kemih
sama sekali. Mereka memiliki gejala seperti inkontinensia urin stress, overflow dan obstruksi.
Oleh karena itu perlu untuk mengenali kondisi tersebut karena dapat menyerupai ikontinensia
urin tipe lain sehingga penanganannya tidak tepat.
Inkontinensia urin luapan / overflow (overflow incontinence)
Tidak terkendalinya pengeluaran urin dikaitkan dengan distensi kandung kemih yang
berlebihan. Hal ini disebabkan oleh obstruksi anatomis, seperti pembesaran prostat, faktor
neurogenik pada diabetes melitus atau sclerosis multiple, yang menyebabkan berkurang atau
tidak berkontraksinya kandung kemih, dan faktor-faktor obat-obatan. Pasien umumnya
mengeluh keluarnya sedikit urin tanpa adanya sensasi bahwa kandung kemih sudah penuh.
Inkontinensia urin fungsional
Memerlukan identifikasi semua komponen tidak terkendalinya pengeluaran urin akibat
faktor-faktor di luar saluran kemih. Penyebab tersering adalah demensia berat, masalah
muskuloskeletal berat, faktor lingkungan yang menyebabkan kesulitan untuk pergi ke kamar
mandi, dan faktor psikologis.
3. Etiologi
Etiologi Inkontinensia Urine menurut (Soeparman & Waspadji Sarwono, 2001) :
Poliuria, nokturia
Gagal jantung
Faktor usia : lebih banyak ditemukan pada usia >50 tahun.
Lebih banyak terjadi pada lansia wanita dari pada pria hal ini disebabkan oleh :
- Penurunan produksi esterogen menyebabkan atropi jaringan uretra dan efek
akibat melahirkan dapat mgengakibatkan penurunan otot-otot dasar panggul.
- Perokok, Minum alkohol.
- Obesitas
- Infeksi saluran kemih (ISK)
4. Tanda dan Gejala
Tanda-tanda Inkontinensia Urine menurut (H.Alimun Azis, 2006)
1) Inkontinensia Dorongan
- Sering miksi
- Spasme kandung kemih
2) Inkontinensia total
6
- Aliran konstan terjadi pada saat tidak diperkirakan.
- Tidak ada distensi kandung kemih.
- Nokturia dan Pengobatan Inkontinensia tidak berhasil.
3) Inkontinensia stress
- Adanya urin menetes dan peningkatan tekanan abdomen.
- Adanya dorongan berkemih.
- Sering miksi.
- Otot pelvis dan struktur penunjang lemah.
4) Inkontinensia refleks
- Tidak dorongan untuk berkemih.
- Merasa bahwa kandung kemih penuh.
- Kontraksi atau spesme kandung kemih tidak dihambat pada interval.
5) Inkontinensia fungsional
- Adanya dorongan berkemih.
- Kontraksi kandung kemih cukup kuat untuk mengeluarkan urin.
5. Patofisiologi
Inkontinensia urine dapat terjadi dengan berbagai manifestasi, antara lain:
1. Perubahan yang terkait dengan usia pada sistem Perkemihan Vesika Urinaria
(Kandung Kemih). Kapasitas kandung kemih yang normal sekitar 300-600 ml.
Dengan sensasi keinginan untuk berkemih diantara 150-350 ml. Berkemih dapat
ditunda 1-2 jam sejak keinginan berkemih dirasakan. Ketika keinginan berkemih
atau miksi terjadi pada otot detrusor kontraksi dan sfingter internal dan sfingter
ekternal relaksasi,yang membuka uretra. Pada orang dewasa muda hampir semua
urine dikeluarkan dengan proses ini. Pada lansia tidak semua urine dikeluarkan,
tetapi residu urine 50 ml atau kurang dianggap adekuat. Jumlah yang lebih dari 100
ml mengindikasikan adanya retensi urine. Perubahan yang lainnya pada peroses
penuaan adalah terjadinya kontrasi kandung kemih tanpa disadari. Wanita lansia,
terjadi penurunan produksi esterogen menyebabkan atrofi jaringan uretra dan efek
akibat melahirkan mengakibatkan penurunan pada otot-otot dasar (Stanley M &
Beare G Patricia, 2006).
2. Fungsi otak besar yang terganggu dan mengakibatkan kontraksi kandung kemih.
Terjadi hambatan pengeluaran urine dengan pelebaran kandung kemih, urine
7
banyak dalam kandung kemih sampai kapasitas berlebihan. Fungsi sfingter yang
terganggu menyebabkan kandung kemih bocor bila batuk atau bersin.
6. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan Penunjang Inkontinensia Urine menurut (Soeparman&Waspadji S, 2001).
Uji urodinamik sederhana dapat dilakukan tanpa menggunakan alat-alat mahal. Sisa-sisa urin
pasca berkemih perlu diperkirakan pada pemeriksaan fisis. Pengukuran yang spesifik dapat
dilakukan dengan ultrasound atau kateterisasi urin. Merembesnya urin pada saat dilakukan
penekanan dapat juga dilakukan. Evaluasi tersebut juga harus dikerjakan ketika kandung
kemih penuh dan ada desakan keinginan untuk berkemih. Diminta untuk batuk ketika sedang
diperiksa dalam posisi litotomi atau berdiri. Merembesnya urin seringkali dapat dilihat.
Informasi yang dapat diperoleh antara lain saat pertama ada keinginan berkemih, ada atau
tidak adanya kontraksi kandung kemih tak terkendali, dan kapasitas kandung kemih.
a. Elektrolit, ureum, creatinin, glukosa, dan kalsium serum dikaji untuk menentukan fungsi
ginjal dan kondisi yang menyebabkan poliuria. Tes laboratorium tambahan seperti kultur
urin, blood urea nitrogen, creatinin, kalsium glukosasitol.
b. Catatan Berkemih dilakukan untuk mengetahui pola berkemih. Catatan ini digunakan
untuk mencatat waktu dan jumlah urin saat mengalami inkontinensia urine dan tidak
inkontinensia urine, dan gejala berkaitan denga inkontinensia urine. Pencatatan pola
berkemih tersebut dilakukan selam 1-3 hari. Catatan tersebut dapat digunakan untuk
memantau respons terapi dan juga dapat dipakai sebagai intervensi terapeutik karena
dapat menyadarkan pasien faktor pemicu.
7. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan inkontinensia urin adalah untuk mengurangi faktor resiko,
mempertahankan homeostasis, mengontrol inkontinensia urin, modifikasi lingkungan,
medikasi, latihan otot pelvis dan pembedahan.
Dari beberapa hal tersebut di atas, dapat dilakukan sebagai berikut :
a. Pemanfaatan kartu catatan berkemih yang dicatat pada kartu tersebut misalnya waktu
berkemih dan jumlah urin yang keluar, baik yang keluar secara normal, maupun yang
keluar karena tak tertahan, selain itu dicatat pula waktu, jumlah dan jenis minuman yang
diminum.
8
b. Terapi non farmakologi
Dilakukan dengan mengoreksi penyebab yang mendasari timbulnya inkontinensia urin,
seperti hiperplasia prostat, infeksi saluran kemih, diuretik, gula darah tinggi, dan lain-
lain. Adapun terapi yang dapat dilakukan adalah : Melakukan latihan menahan kemih
(memperpanjang interval waktu berkemih) dengan teknik relaksasi dan distraksi
sehingga frekwensi berkemih 6-7 x/hari. Lansia diharapkan dapat menahan keinginan
untuk berkemih bila belum waktunya. Lansia dianjurkan untuk berkemih pada interval
waktu tertentu, mula-mula setiap jam, selanjutnya diperpanjang secara bertahap sampai
lansia ingin berkemih setiap 2-3 jam. Membiasakan berkemih pada waktu-waktu yang
telah ditentukan sesuai dengan kebiasaan lansia. Promted voiding dilakukan dengan cara
mengajari lansia mengenal kondisi berkemih mereka serta dapat memberitahukan
petugas atau pengasuhnya bila ingin berkemih. Teknik ini dilakukan pada lansia dengan
gangguan fungsi kognitif (berpikir). Melakukan latihan otot dasar panggul dengan
mengkontraksikan otot dasar panggul secara berulang-ulang.
Adapun cara-cara mengkontraksikan otot dasar panggul tersebut adalah dengan cara :
Berdiri di lantai dengan kedua kaki diletakkan dalam keadaan terbuka, kemudian pinggul
digoyangkan ke kanan dan ke kiri ± 10 kali, ke depan ke belakang ± 10 kali. Gerakan
seolah-olah memotong feses pada saat kita buang air besar dilakukan ± 10 kali. Hal ini
dilakukan agar otot dasar panggul menjadi lebih kuat dan urethra dapat tertutup dengan
baik.
c. Terapi farmakologi
Obat-obat yang dapat diberikan pada inkontinensia urgen adalah antikolinergik
seperti Oxybutinin, Propantteine, Dicylomine, flavoxate, Imipramine. Pada inkontinensia
stress diberikan alfa adrenergic agonis, yaitu pseudoephedrine untuk meningkatkan
retensi urethra. Pada sfingter relax diberikan kolinergik agonis seperti Bethanechol atau
alfakolinergik antagonis seperti prazosin untuk stimulasi kontraksi, dan terapi diberikan
secara singkat.
d. Terapi pembedahan
Terapi ini dapat dipertimbangkan pada inkontinensia tipe stress dan urgensi, bila terapi
non farmakologis dan farmakologis tidak berhasil. Inkontinensia tipe overflow umumnya
memerlukan tindakan pembedahan untuk menghilangkan retensi urin. Terapi ini
dilakukan terhadap tumor, batu, divertikulum, hiperplasia prostat, dan prolaps pelvic
(pada wanita).
9
e. Modalitas lain
Sambil melakukan terapi dan mengobati masalah medik yang menyebabkan
inkontinensia urin, dapat pula digunakan beberapa alat bantu bagi lansia yang mengalami
inkontinensia urin, diantaranya adalah pampers, kateter.
f. Pemantauan Asupan Cairan
Pada orang dewasa minimal asupan cairan adalah 1500 ml perhari dengan rentan yang
lebih adekuat antara 2500 dan 3500 ml perhari dengan asumsi tidak ada kondisi
kontraindikasi. Lansia yang kontinen dapat membatasi asupan cairan secara tidak tepat
untuk mencegah kejadian-kejadian yang memalukan. Pengurangan asupan cairan
sebelum waktu tidur dapat mengurangi inkontinensia pada malam hari, tetapi cairan
harus diminum lebih banyak selama siang hari sehingga total asupan cairan setiap
harinya tetap sama.
10
INKONTINENSIA URIN: FUNGSIONAL, IATROGENIK, OVERFLOW, REFLEKS,
STRES, TOTAL, DAN URGENSI (SUMBER: ASUHAN KEPERAWATAN GERIATRIK:
DIAGNOSIS NANDA KRITERIA HASIL NOC, INTERVENSI NIC).
Hasil yang Diharapkan dan Intervensi Keperawatan: Inkontinensia Urgensi; Inkontinensia
Stres; Inkontinensia Urine Refleks; Inkontinensia Overflow; Inkontinensia Urine Fungsional;
Inkontinensia Total; Inkontinensia Iatrogenik; Inkontinensia Campuran
Diagnosis Keperawatan Hasil yang Diharapkan Intervensi Keperawatan
Inkontinensia Urgensi
Batasan Karakteristik
Urgensi berkemih
Sering berkemih dengan
interval setiap kurang dari 2
jam
Kontraktur/spasme kandung
kemih
Nokturia (>2 kali per malam)
Jumlah urin sedikit (>100
ml)
Ketidakmampuan mencapai
toilet tepat pada waktunya
Faktor yang
berhubungan/etiologi
Kapasitas kandung kemih
sedikit/overdistensi
Asupan kafein/alkohol tinggi
Efek obat (antikolinergik,
diuretik, narkotik, beta-
adrenergik)
Iritasi kandung kemih
Infeksi
Ketidaktabilan detrusor
Kontinensia Urine
Indikator
Waktu cukup untuk
mencapai toilet antara
urgensi dan urinasi
Status Infeksi
Indikator
Peningkatan hitung sel darah
putih
Nyeri/nyeri tekan
Pengtahuan: Prosedur
Terapi
Indikator
Deskripsi prosedur terapi
Pelaksanaan prosedur terapi
Pengetahuan: Medikasi
Indikator
Deskripsi efek samping obat
Deskripsi teknik
pemantauan-mandiri
Pelatihan Kandung Kemih
Tindakan
Tentukan kemampuan untuk
mengenali urgensi berkemih
Tentukan pola berkemih
Tetapkan jadwal eliminasi
berdasarkan pola berkemih
Tingkatkan/kurangi interval
eliminasi berdasarkan
episode inkontinensia
Pelatihan Kebiasaan
Berkemih
Tindakan
Validasi ketidakmampuan
kognitif untuk mengenali dan
bertindak terhadap urgensi
Tetapkan jadwal eliminasi
berdasarkan pola berkemih
Bantu ke toilet dan dorong
utnuk berkemih pada interval
yang diprogramkan
Tekankan bersama staf
pentingnya mematuhi jadwal
eliminasi
11
Hiperefleksia detrusor Latihan Otot Panggul
Tindakan
Anjurkan pasien untuk
mengencangkan, kemudian
merelaksasi cincin otot di
sekitar uretra dan anus
Beri instruksi yang
menjelaskan intervensi dan
jumlah pengulangan yang
dianjurkan
Informasikan pasien bahwa
keefektifan latihan baru
terlihat setelah 6-12 minggu
Manajemen Cairan
Tindakan
Hindari kafein/alkohol
Tingkatkan asupan cairan
Buat catatan asupan dan
haluaran yang akurat
Penyuluhan Pasien
Tindakan
Beri informasi mengenai
tujuan intervensi
Ajarkan menahan mikturisi
secara aktif
Ajarkan
tindakan/kewaspadaan
terhadap medikasi
Hasil yang Diharapkan dan Intervensi Keperawatan: Inkontinensia Urgensi; Inkontinensia
Stres; Inkontinensia Urine Refleks; Inkontinensia Overflow; Inkontinensia Urine Fungsional;
Inkontinensia Total; Inkontinensia Iatrogenik; Inkontinensia Campuran (Lanjutan)
12
Diagnosis Keperawatan Hasil yang Diharapkan Intervensi Keperawatan
Inkontinensia Stres
Batasan Karakteristik
Melaporkan atau tampka
dribbling urine
Urgensi berkemih
Sering berkemi dengan
interval setaip kurang dari 2
jam
Faktor yang
berhubungan/etiologi
Otot panggul dan penopang
struktural lemah
Tekanan intraabdomen tinggi
(batuk kronik, obesitas,
neoplasma, flatus)
Pintu kandung kemih tidak
kompeten
Overditensi di antara waktu
berkemih
Retrokel/sistokel
Vaginitis atrofik
Kontinensia Urine
Indikator
Tidak terjadi kebocoran urine
seiring peningkatan tekanan
abdomen
Perilaku Kepatuhan
Indikator
Laporan kepatuhan terhadap
program penanganan
Latihan Otot Panggul
Tindakan
Anjurkan pasien untuk
mengencangkan, kemudian
merelaksasi cincin otot di
sekitar uretra dan anus
Beri anjuran yang
menjelaskan intervensi dan
jumlah pengulangan yang
dianjurkan
Informasikan pasien bahwa
keefektifan latihan baru
terlihat setelah 6-12 minggu
Biofeedback
Tindakan
Hubungkan dengan peralatan
Bantu untuk belajar
memodifikasi respons
terhadap petunjuk alat
Beri umpan balik terhadap
program setelah setiap sesi
Penyuluhan Pasien
Tindakan
Ajarkan tujuan intervensi
Ajarkan untuk saecara aktif
menahan mikturisi
Ajarkan
tindakan/kewaspadaan
terhadap obat
13
Hasil yang Diharapkan dan Intervensi Keperawatan: Inkontinensia Urgensi; Inkontinensia
Stres; Inkontinensia Urine Refleks; Inkontinensia Overflow; Inkontinensia Urine Fungsional;
Inkontinensia Total; Inkontinensia Iatrogenik; Inkontinensia Campuran (Lanjutan)
Diagnosis Keperawatan Hasil yang Diharapkan Intervensi Keperawatan
Inkontinensia Urine Refleks
Batasan Karakteristik
Tidak ada sensasi pengisian
kandung kemih
Tidak ada sensasi urgensi
untuk berkemih
Sensasi urgensi tanpa inhibisi
volunter kontraksi kandung
kemih
Faktor yang
berhubungan/etiologi
Pengosongan tidak komplet
dengan lesi di atas pusat
mikturisi di sakrum
Pengosongan komplet dengan
lesi di atas pusat mikturisi di
pons
Kerusakan saraf akibat radiasi,
kandung kemih yang radang,
pembedahan radikal pada
panggul, miomeningokel
Kontinensia Urine
Indikator
Pola pengeluaran urine
dapat diprediksi
Pelatihan Kndung Kemih
Tindakan
Tentukan kemampuan untuk
mengenali urgensi berkemih
Tentukan pola berkemih
Tetapkan jadwal eliminasi
berdasarkan pola berkemih
Tingkatkan/kurangi interval
eliminasi berdasarkan
episode inkontinensia
Kateterisasi Urin:
Intermiten
Tindakan
Tentukan jadwal kateterisasi
berdasarkan pengkajian urine
yang komprehensif
Sesuaikan frekuensi
kateterisasi untuk
mempertahankan haluaran
3000 ml atau kurang
Ajarkan pasien/keluarga
tentang tujuan, suplai,
metode, dan rasional
kateterisasi intermiten
Manajemen Cairan
Pertahankan asupan 1000 ml
cairan per hari
Buat catatan asupan dan
14
haluaran yang akurat
Hasil yang Diharapkan dan Intervensi Keperawatan: Inkontinensia Urgensi; Inkontinensia
Stres; Inkontinensia Urine Refleks; Inkontinensia Overflow; Inkontinensia Urine Fungsional;
Inkontinensia Total; Inkontinensia Iatrogenik; Inkontinensia Campuran (Lanjutan)
Diagnosis Keperawatan Hasil yang Diharapkan Intervensi Keperawatan
Inkontinensia Urin
Fungisonal
Batasan Karakteristik
Merasakah kebutuhan untuk
berkemih
Faktor yang
berhubungan/etiologi
Perubahan faktor lingungan
(toilet yang tidak familier
atau tidak nyaman, kurang
privasi, tidak ada bantuan,
pola pakaian yang
menghambat)
Defisit
mobilitas/kognitif/sensoris
(gangguan penglihatan, cara
berjalan/keseimbangan,
keterampilan tangan,
transfer, kekuatan,
ketahanan)
Faktor psikologis
Struktur penyokong/panggul
yang lemah
Kontinensia Urine
Indikator
Mampu berpakaian secara
mandiri
Mampu menata laksana toilet
secara mandiri
Perawatan Diri: Eliminasi
Indikator
Melepas pakaian
Menuju dan kembali dari
toilet
Manajemen Lingkungan
Intermiten
Tindakan
Sediakan alat adaptif
Sediakan toilet yang mudah
dicapai dan beri privasi,
bantuan, dan pakaian
Pelatihan Kebiasaan
Berkemih
Tindakan
Validasi ketidakmampuan
kognitif untuk mengenali dan
bertindak terhadap urgensi
Tetapkan jadwal eliminasi
berdasarkan pola berkemih
Bantu ke toilet dan dorong
agar berkemih pada interval
waktu yang diprogramkan
Tekankan bersama staf
pentingnya mematuhi jadwal
eliminasi
Manajemen Cairan
Tingkatkan asupan cairan
Buat catatan asupan dan
15
haluaran yang akurat
Bantuan Perawatan Diri
Eliminasi
Tindakan
Motivasi untuk melakukan
perawatan diri sesuai tingkat
kemampuan
Bantu ke toilet pada interval
waktu tertentu
Hasil yang Diharapkan dan Intervensi Keperawatan: Inkontinensia Urgensi; Inkontinensia
Stres; Inkontinensia Urine Refleks; Inkontinensia Overflow; Inkontinensia Urine Fungsional;
Inkontinensia Total; Inkontinensia Iatrogenik; Inkontinensia Campuran (Lanjutan)
16
Diagnosis Keperawatan Hasil yang Diharapkan Intervensi Keperawatan
Inkontinensia Total
Batasan Karakteristik
Aliran urine konstan terjadi
Nokturia
Pengisian kandung kemih
atau perineum kurang
sempurna
Tidak menyadari
inkontinensia
Faktor yang
berhubungan/etiologi
Anatomik (fistula)
Trauma medula spinalis
akibat pembedahan
Ureter ektopik
Uretra, kandung kemih, atau
orifisium ureter ektopik
kongenital
Defisiensi sfingter yang
parah
Integritas Jaringan: Kulit
dan Membran Mukosa
Indikator
Warna dalam rentang yang
diharapkan
Keutuhan kulit
Eliminasi Urin
Indikator
Asupan dan haluaran dalam
24 jam seimbang
Warna dan bau urine dalam
rentang yang diharapkan
Perawatan Diri: Higiene
Indikator
Membersihkan area
perineum
Bebas dari bau urine
Perawatan Inkontinensia
Urine
Tindakan
Sediakan bahan pakaian yang
berfungsi protektif
Bersihkan area kulit genitalia
pada interval teratur
Bantuan Perawatan Diri:
Mandi/Higiene
Tindakan
Beri bantuan sampai mampu
melakukan perawatan diri
Upayakan peralatan yang
dibutuhkan mudah dijangkau
Pantau bau urine
Hasil yang Diharapkan dan Intervensi Keperawatan: Inkontinensia Urgensi; Inkontinensia
Stres; Inkontinensia Urine Refleks; Inkontinensia Overflow; Inkontinensia Urine Fungsional;
Inkontinensia Total; Inkontinensia Iatrogenik; Inkontinensia Campuran (Lanjutan)
Diagnosis Keperawatan Hasil yang Diharapkan Intervensi Keperawatan
17
Inkontinensia Iatrogenik
Batasan Karakteristik
Obat resep yang
memengaruhi fungsi urine
Peningkatan/penurunan dosis
obat yang diprogramkan
Pembatasan aktivitas yang
diprogramkan
Alat bantu kontinensia yang
diprogramkan
Faktor yang
berhubungan/etiologi
Program kesehatan yang
dibuat pemberi asuhan
(restrain, pembatasan cairan,
tirah baring, cairan IV, obat-
obatan)
Pengetahuan:Medikasi
Indikator
Deskripsi efek samping obat
Deskripsi teknik pemantauan
mandiri
Kontinensia Urine
Indikator
Bebas dari obat yang
mengganggu kendali
perkemihan
Asupan cairan dalam rentang
yang diharapkan
Tingkat Mobilitas
Indikator
Penyuluhan Pasien
Tindakan
Ajarkan tujuan intervensi
Ajarkan
tindakan/kewaspadaan
terhadap obat
Perujukan
Tindakan
Identifikasi asuhan
keperawatan/kesehatan yang
dibutuhkan
Lakukan pemantauan
berkesinambungan terhadap
kebutuhan perujukan
Pertukaran Informasi
Perawatan Kesehatan
Tindakan
Identifikasi diagnosis
keperawatan dan medis
terkini
Jelaskan intervensi
keperawatan yang sedang
diimplementasikan
Hasil yang Diharapkan dan Intervensi Keperawatan: Inkontinensia Urgensi; Inkontinensia
Stres; Inkontinensia Urine Refleks; Inkontinensia Overflow; Inkontinensia Urine Fungsional;
Inkontinensia Total; Inkontinensia Iatrogenik; Inkontinensia Campuran (Lanjutan)
Diagnosis Keperawatan Hasil yang Diharapkan Intervensi Keperawatan
18
Inkontinensia Campuran
Batasan Karakteristik
Urgensi berkemih
Sering berkemih dengan
interval setiap kurang dari 2
jam
Kontraktur/spasme kandung
kemih
Nokturia (> 2 kali per
malam)
Mengeluarkan sedikit urine
(> 100 ml)
Ketidakmampuan mencapai
toilet tepat pada waktunya
Melaporkan atau tampak
mengalami dribbling urine
Kontinensia Urine
Indikator
Waktu yang adekuat untuk
mencapai toilet di antara
urgensi dan mikturisi
Bebas dari kebocoran urine
di antara waktu berkemih
Latihan Otot Panggul
Tindakan
Jelaskan kepada pasien untuk
mengencangkan, kemudian
merelaksasi cincin otot di
sekitar uretra dan anus,
seolah-olah mencoba
menahan berkemih atau
defekasi
Beri anjuran tertulis yang
menjelaskan intervensi dan
jumlah pengulangan yang
dianjurkan
Informasikan kepada pasien
bahwa keefektifan latihan
baru terlihat setelah enam
sampai 12 minggu
Biofeedback
Tindakan
Hubungan peralatan yang
diperlukan ke pasien
Bantu pasien belajar
memodifikasi respons tubuh
terhadap petunjuk peralatan
Beri umpan-balik terhadap
kemajuan setelah setiap sesi
Manajemen Cairan
Pertahankan catatan asupan
dan haluaran yang akurat
Pertahankan asupan 1000 ml
cairan per hari
19
Tabel 22-6 Terapi
INKONTINENSIA URINE
Tipe Terapi Contoh Mekanisme Penggunaan
Obat Propantelin (Pro-
Banthine)
Mengurangi kontraksi
kadung
Inkontinensia urgensi
yang berkaitan
dengan
ketidakstabilan
kandung kemih
Imipramin (Tofranil) Mengurangi kontraksi
kadung
Inkontinensia urgensi
yang berkaitan
dengan
ketidakstabilan
kandung kemih
Oksibutinin
(Distropan)
Mengurangi kontraksi
kadung
Inkontinensia urgensi
yang berkaitan
dengan
ketidakstabilan
20
kandung kemih
Flavoksat (Urispas) Mengurangi kontraksi
kadung
Inkontinensia urgensi
yang berkaitan
dengan
ketidakstabilan
kandung kemih
Efedrin (Sudafed) Menguatkan pintu
kandung kemih
Inkontinensia stres
yang berhubungan
dengan kelemahan
sfingter
Fenilpropranolamin
(Ornade)
Menguatkan pintu
kandung kemih
Inkontinensia stres
yang berhubungan
dengan kelemahan
sfingter
Estrogen (Premarin) Meningkatkan jaringan
penopang di sekitar
uretra
Inkontinensia stres
Betanekol oral atau
topikal (Urecholine)
Meningkatkan
kontraksi kandung
kemih
Inkontinensia overflow
Prosedur
Latihan
Latihan kebiasaan Tenaga perawatan
menentukan pola
inkontinensia yang
dialami individu dan
membawanya ke
toilet dengan tepat
Inkontinensia urgensi
Latihan penguatan
kandung kemih
Tenaga perawatan
menerapkan rutinitas
pemberian cairan
dan eliminasi
disertai upaya
memperpanjang
interval eliminasi
untuk meningkatkan
Inkontinensia urgensi
setelah penggunaan
kateter
21
kapasitas kandung
kemih atau memulai
berkemih normal
Latihan dasar panggul Latihan untuk
menguatkan otot
panggul
Inkontinensia overflow
setelah overdistensi,
cedera, atau stres
Biofeedback Dengan menggunakan
alat khusus, pasien
dilatih menghambat
kontraksi kandung
kemih atau
mengontraksi otot
panggul
Terutama inkontinensia
urgensi yang
berkaitan dengan
ketidakstabilan
kandung kemih dan
inkontinensia stres
yang disebabkan
oleh kelemahan
sfingter
Tabel 22-6 Terapi
INKONTINENSIA URINE (Lanjutan)
Tipe Terapi Contoh Mekanisme Penggunaan
Modifikasi perilaku Tenaga perawatan
memberi pujian
kepada individu
penderita inkontinensia
atas kemampuannya
mempertahankan
pakaian dalam yang
dikenanakan tetap
kering
Inkontinensia yang
dikaitkan dengan
gangguan jiwa
atau emosi;
beberapa bentuk
inkontinensia
fungsional.
Data dari Ouslander, J.B., dan Kane, R.L. (1984). The cost of urinary incontinence is nursing
homes. Medical Care, 22, 69-79).
22
Sampai Infeksi dan inkotinensia teratasi, kemudian sekurang-kurangnya setiap bulan (Fantk
et al., 1996).
INTERVENSI KEPERAWATAN
Penanganan untuk inkontinensia urine mencakup penggunaan alat untuk
mengumpulkan atau mencegah aliran urine, obat-obatan atau terapi prosedur bedah untuk
memperbaiki obstruksi atau mengoreksi patologi lain pada kandung kemih, dan prosedur
pelatihan yang mengubah perilaku pasien dalam beberapa cara (Ouslander et al., 1985). Lihat
tabel 22-1 untuk mengetahui daftar intervensi medis utama untuk semua tipe inkontinensia.
Prosedur bedah, yang pada dasarnya merupakan manajemen medis, tidak dibahas pada bab
ini. Pembahasan tentang obat terbatas pada implikasi dengan intervensi keperawatan. Alat
yang digunakan untuk mengumpulkan urine (misalnya, kateter kondom, pispot, atau celana
dalam sekali pakai) tidak mengurangi jumlah atau frekuensi episode inkontinen, tetapi hanya
menata laksana inkontinensia urine dengan laksana inkontinensia urine dengan menampung
dan mengaborsi urine (McCormick & Burgio, 1984). Dengan demikian, bab ini fokus pada
intervensi keperawatan, yang beberapa diantaranya tidak tertera dalam tabel 22-1. Jika
berhasil, intervensi keperawatan ini pada akhirnya diharapkan menghasilkan Kontinensia
Urine atau penerunan jumlah atau frekuensi episode inkontinensia.
Beberapa intervensi yang terdapat digunakan oleh perawat bertujuan mengendalikan
jumlah episode inkontinensia yang dialami klien. Intervensi tersebut mencakup intervensi
NIC, antara lain : Latihan Dasar Panggul; Pelatihan Kebiasaan Berkemih, Pelatihan Kandung
Kemih; dan Keteterisasi Urine: Intermiten (Lowa intervention Project, 2000). Intervensi
keperawatan tambahan yang memiliki dasar penelitian, yang kurang kuat, juga dijelaskan
secara singkat.
Latihan Dasar Panggul
Latihan Dasar Panggul melibatkan kontraksi berulang otot pubokoksigeus, otot yang
membentuk struktur penyokong panggul dan mengelilingi pintu panggul pada vagina, uretra,
dan rektrum (Newman & Smith, 1992; Taylor & Henderson, 1986). Latihan dasar panggul,
yang sering kali disebut senam Kegel, pertama kali dijelaskan oleh Arnold H. Kegel sebagai
23
pilihan terapi untuk klien inkontinensia stres (Kegel, 1948). Sasaran kontraksi berulang ini
adalah menguatkan otot pubokoksigeus dan mengurangi episode inkontinensia. Latihan
terkait mencakup memulai dan menghentikan aliran urine ketika berkemih, dengan tujuan
menguatkan pintu keluar kandung kemih. Dengan demikian, latihan latihan dasar panggul
diprogramkan untuk mengobati klien penderita inkontinensia stres yang berhubungan dengan
kelemahan otot panggul dan/ atau kelemahan pintu keluar kandung kemih.
Latihan dasar panggul juga dianjurkan untuk individu yang mengalami inkontinensia
urgensi. Latihan ini meningkatkan tonus otot dasar panggul dan meningkatkan penurunan
urgensi (Newman & Smith , 1992). Dengan menguatkan otot dasar panggul pada saat urgensi
berkemih dirasakan, individu mampu meningkatkan kapasitas kandung kemih dan menunda
episode inkontinensia. Intervensi ini sering kali dilakukan bersama program pelatihan
kapasitas kandung kemih (Burgio, whitehead, & Engel, 1985; Newman & Smith, 1992).
Peneliti menggunakan berbagai protokol latihan dalam penelitian mereka. Sebagai
contoh, pada satu penelitian, klien dianjurkan mengencangkan otots relaksasinya, lalu
mengulangi latihan tersebut sebanyak 100 kali sepanjang hari (Taylor & Henderson, 1986).
Pada penelitian lain, klien dianjurkan melakukan latihan sfingter sebanyak 50 kali setiap hari
dalam tiga posisi (berbaring, duduk, dan berdiri) dan mengontraksi otot mereka setelah
mengangkat benda atau bentuk (Burgio et al., 1985).
Beberapa penelitian lain mendemonstrasikan efek latihan dasar panggul pada kekuatan
otot panggul (Burn, Pranikoff, Nochajski, Desotelle, & Harwood, 1990; Henderson & Taylor,
1987: Tchou, Adams, Varner & Denton, 1988; wilson, Al Samarrai, Deakin, Kolbe & Brown,
1987). Kebanyakan penelitian merekomendasikan bahwa klien perlu dimotivasi dan secara
kognitif mampu melakukan latihan tersebut, dan bahwa beberapa pengulangan latihan perlu
dilakukan setiap hari. Taylor dan Henderson merekomendasikan agar klien melanjutkan
latihan tersebut sepanjang hidup mereka. Kendati tidak mencakupkan rekomendasi tersebut,
Burgio et al. (1985) mencatat bahwa dua dari tiga pasien yang melaporkan mengalami lebih
sedikit episode inkontinensia saat kontrol 12 bulan pascaterapi ternyata terus melanjutkan
latihan mereka.
Kendati penggunaan senam kegel atau mengatasi inkontinensia stres tidak
membutuhkan alat bantu untuk mengukur kontraksi otot, banyak penelitian menyertakan
biofeedback sebagai bagian strategi intervensi tersebut (burgio et al., 1985; Burgio, Robinson,
& Engel, 1986; Taylor & Henderson, 1986). Kegel mengukur kekuatan kontraksi otot
24
pubokoksigeus menggunakan perineometer, bilik udara termampatkan, yang diinsersi ke
dalam vagina dan disambungkan ke manometer. Klien mengontraksi otot-otot vagina, dan
perineometer mencatat kekuatan kontraksi tersebut. Klien yang melakukan latihan tersebut
dan mampu mengukur kemajuan yang dicapai menggunakan perinometer secara objektif.
Evaluasi lebih lanjut keberhasilan program latihan diukur sebagai reduksi dalam episode
inkontinensia (Kegel, 1948). Instrumen biofeedback lain telah diancang, tetapi prinsip dasar
pengukuran kekuatan kontraksi otot tetap sama (Dougherty, Abrams, & Mckey, 1986; olah,
1990; Peattie, Plevnik, & Stanton, 1988). Taylor dan Henderson (1986) menemukan bahwa
klien yang menerima biofeedback pada awal dan akhir periode terapi, mencapai kontinensia
dari pada jika hanya melakukan latihan saja (Clinical News, 1986; Olah, 1990; Peattie et al.,
1988). Stimulasi listrik membawa hasil yang menjanjikan jika latihan diulang, tetapi
penelitian yang ada sangat terbatas dan terlalu beragam untuk menggeneralisasi hasil. Dengan
demikian, lebih banyak riset dibutuhkan untuk menentukan keefektifan stimulasi listrik
sebagai tambahan latihan otot panggul (Newman & Smith, 1992).
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, menaikkan dasar panggul juga merupakan
terapi yang bermanfaat untuk mengatasi inkontinensia urgensi. Burgio et al. (1985)
mengombinasi latihan dasar panggul dengan program yang bertujuan mengajarkan klien cara
yang lebih efektif mengatasi urgensi berkemih. Dalam tindak lanjut selama enam bulan
terhadap delapan klien yang ditangani dengan program ini, lima diantaranya menjadi
kontinensia total dan tiga yang lain menunjukkan, secara rata-rata, 84% perbaikan dalam
frekuensi episode inkontinensia.
MENGIMPLEMENTASIKAN INTERVENSI LATIHAN PANGGUL
Sebelum mempraktikkan latihan dasar panggul, lansia harus mengetahui otot yang
digunakan dalam latihan tersebut dan kemudian mampu mengencangkan otot tersebut dalam
pola latihan yang terjadwal teratur. Instruksi tertulis sangat membantu mengidentifikasi
bagian belakang dasar panggul :
Duduk atau berdiri. Relaksasi otot tungkai, bokong, dan abdomen.
Bayangkan Anda mencoba manahan defekasi dengan mengencangkan cincin otot di
sekeliling anus.
25
Pengetahuan tentang otot bagian depan dasar panggul ditingkatkan dengan meminta
lansia menghenikan, kemudian memulai kembali, aliran urine. Melakukan latihan ini setiap
kali berkemih memastikan bahwa latihan ini dilakukan secara teratur (Mandelsam, 1980;
Newman& smith, 1992). Perbaikan inkontinensia biasanya baru terlihat pada minggu ke-12
(Benvenuti et al., 1987; Mccormick & Burgio, 1984; Newman & Smith, 1992). Umpan balik
dan motibasi perlu diberikan agar pasien dapat melakukan latihan tersebut cukup lama,
sehingga hasilnya dapat terlihat.
PELATIHAN KANDUNG KEMIH DAN PELATIHAN KEBIASAAN BERKEMIH
Kendati kedua istilah ini, sering kali dianggap sama, pelatihan kandung kemih dan
pelatihan kebiasaan berkemih mencerminkan dua intervensi yang berbeda. Sasaran dua
intervensi tersebut berbeda. Pelatihan kandung kemih melibatkan pemanjangan atau
pemendekan bertahap periode diantara berkemih, dengan sasaran memulihkan pola berkemih
dan mengembalikan kontinensia (Ouslander & Usman, 1985; Ouslander et al., 1985).
Pelatihan kebiasaan berkemih dilakukan dengan menyesuaikan jadwal eliminasi dengan
respons klien guna menghindari episode inkontinensia. Tidak ada upaya untuk
mengembalikan pola berkemih normal (Ouslander & Umans, 1985; Ouslander et al., 1985).
Istilah lain yang sering digunakan adalah eliminasi terjadwal. Eliminasi terjadwal sama
dengan eliminasi tetap dan tidak didasarkan pada pola inkontinensia klien (Gressngold &
Ouslander, 1986).
Pelatihan kandung kemih, yang juga dianggap sama dengan reedukasi kandung kemih
atau latihan kandung kemih, merupakan pilihan terapi untuk klien inkontinensia urgensi
akibat overdistensi atau penurunan kapasitas kandung kemih (Ouslander & uman, 1985).
Ketika kapasitas kandung kemih menurun, waktu antar-berkemih secara bertahap mamanjang
sampai klien mampu berkemih satu kali setiap dua sampai empat jam, tanpa mengalami
inkontinensia. Ketika kandung kemih overdistensi, kemungkinan akibat cedera atau
pengunaan obat, waktu antar berkemih secara bertahap memendek sampai pola berkemih
normal dapat dicapai. Kandidat untuk pelatihan kandung kemih harus secara fisik dan mental
mampu melakukan eliminasi secara mandiri, dan mereka harus dimotivasi untuk
melakukannya (Greengold & Ouslander, 1986).
26
Dalam tinjauan terhadap banyak penelitian tentang program pelatihan kandung kemih,
Hadley (1986) melaporkan bahwa angka penyembuhan memiliki rentang dari 44% sampai
100%. Protokol pelatihan kandung kemih berbeda dalam berbagai cara. Beberapa penelitian
mengizinkan klien menjadwalkan sendiri waktu berkemih mereka, sementara penelitian lain
menetapkan jadwal wajib berkemih, mulai dari setengah jam sampai empat jam. Panjang
interval tujuan, ketika diidentifikasi, adalah empat jam. Kebanyakan penelitian ini merupakan
uji coba klinis, kendati beberapa penelitian melibatkan kelompok kontrol. Beberapa protokol
melibatkan interval tambahan, seperti penggunaan terapi obat secara bersamaan atau
penggunaan pencatatan mandiri pola inkontinensia/ berkemih (hadley, 1986). Penelitian lain
melaporkan peningkatan kontinensia setelah dilakukan intervensi pelatihan kandung kemih
(Fantl et. al., 1991; Ferrie, Smith, Logan, Lyle & Paterson, 1984; Jarvis & Miliar, 1980;
Pengelly & Booth, 1980).
Beberapa interbensi lain juga diidentifikasi sebagai bagian protokol pelatihan kandung
kemih, termasuk asupan cairan sebanyak 1.500 sampai 20000 ml per hari, pengaturan waktu
asupan cairan yang cermat, pengosongan kandung kemih secara tuntas, pemakaian teknik
untuk menghambat atau menstimulasi mikturisi, distraksi , relaksasi, dan pemberian
penguatan (Fantl et al., 1996; Ouslander & Uman, 1985; Specht, 1986). Beberapa intervensi
ini telah diuji, tetapi penelitian tambahan perlu dilakukan untuk memilih dan secara
sistematik menguji tambahan intervensi tersebut.
Seperti yang telah dijelaskan, pelatihan kebiasaan berkemih digunakan untuk
menghindari episode inkontinensia, bukan mengembalikan pola berkemih normal. Pelatihan
ini dapat sangat berhasil pada klien yang mengalami gangguan jiwa atau gangguan fisik
karena secara umum bergantung pada motivasi staf untuk melatih klien ke toilet, bukan pada
motivasi klien (Ouslander & Usman, 1985; Ouslander et al., 1985). Untuk itu, pelatihan
kebiasaan berkemih merupakan pilihan terapi pada klien inkontinensia fungsional yang
berhubungan dengan defisit perseptual/ kognitif atau defisit fisik (Osslander & Uman, 1985).
Pelatihan kebiasaan berkemih sering digunakan di fasilitas perawatan jangka panjang,
kendari banyak panti wreda menggunakan protokol eliminasi terhadwal tetap (bukan
fleksibel) setiap dua jam (Ouslander & Uman, 1985).
Hanya ada sedikit penelitian yang menganalisis keefektifan pelatihan kebiasaan
berkemih atau eliminasi terjadwal. Harley (1986) meninjau tiga penelitian yang
memperhatikan angka kesembuhan sebesar 26% sampai 68%. Penelitian ini juga
27
mencakupkan intervensi lain, seperti penguatan dari staf, eliminasi dengan alat bantu, asupan
cairan terjadwal, atau penggunaan obat. Long (1985) mendeskripsikan intervensi lain, seperti
penguatan dari staf eliminasi dengan alat bantu, asupan cairann terjadwal, atau penggunaan
obat. Long (1985) mendeskripsikan intervensi pelatihan kebiasaan berkemih pada klien lansia
di fasilitas perawatan jangka panjang. Terapi ini mencakup protokol pelatihan kebiasaan
berkemih yang fleksibel, asupan cairan yang diprogramkan, pembuatan catatan tentang
inkontinensia, dan metode eliminasi yang diprogramkan (sesuai kondisi masing-masing
individu). Penulis melaporkan bawha bagian tersulit penelitian tersebut adalah mengorientasi/
memotivasi staf terhadap protokol pelatihan tersebut. Hasil penelitian tersebut
mengindikasikan bahwa kenerhasilan pelatihan kebiasaan berkemih berkaitan dengan status
kejiwaan. Semakin tinggi tingkat gangguan jiwa, semakin kecil kemungkinan klien berhasil
mencapai kontinensia. Schnelle dan rekan melakukan serangkaian penelitian untuk menguji
pelatihan kebiasaan berkemih, yang dikombinasi dengan respons berkemih yang tepat dan
pemberian penguatan positif; penelitian ini menunjukkan keberhasilan dalam mengurangi
insiden mengompol dan mengurangi biaya perawatan inkontinensia (Schnelle, 1990;
Schnelle, Newman, & Fogarty, 1990; Schnelle et al., 1989). Namun, Schnelle dan rekan juga
mencatat bahwa peningkatan kontinensia kemungkinan lebih mudah dicapai melalui
pemberian penguatan positif dan peningkatan kesempatan ke toilet. Dengan demikian,
tindakan ini cenderung berhasil untuk individu yang menderita inkontinensia fungsional.
Respons berkemih yang tepat terbukti efektif dalam meningkatkan hasil pakaian dan linen
tetap kering pada penghuni panti wreda yang mengalami inkontinensia sedang, memgalami
gangguan kognitif atau memiliki fungsi kognitif normal, dan bergantung Burgio et al., 1994;
& Leahy, 1992; Schnelle, 1990). Namun, sangat sulit mempertahankan ketahanan kerja staf
dalam mengidentifikasi pengaturan staf yang buruk, pendidikan dan motivasi staf yang
kurang sebagai alasan intervensi berkemih yang tidak bertahan lama (Lekan Rutledge, Palmer
& Belyea, 1998).
Colling, Ouslander, Hadley, Eisch, dan Campbell (1992) memperlihatkan penurunan
insiden inkontinensia yang bermakna pada 86% subjek dalam penelitian berkontrol terhadap
penelitian kebiasaan berkemih selama tiga bulan. Peneliti mengidentifikasi pola berkemih 51
pernghuni panti wreda menggunakan alat pemantau elektronik dan memminta staf perawat
membawa penghuni panti wreda ke toilet berdasarkan pola frekuensi berkemih tersering
infividu. Perbaikan inkontinensia pada kelompok intervensi mencapai 25% atau lebih di atas
28
data dasar jika dibandingkan dengan angka perbaikan pada kelompok kontrol. Layaknya pada
penelitian lain, ketahanan kerja staf untuk menjalani intervensi sulit dipelihara.
Mengimplementasi Pelatihan Kandung kemih dan pelatihan Kebiasaan Berkemih.
Pelatihan Kandung Kemih dan Pelatihan Kebiasaan Berkemih merupakan dua intervensi
berbeda, tetapi metode intervensi tersebut sama. Perbedaan utama terletak pada individu yang
memiliki tanggung jawab utama untuk mengimplementasikan intervensi tersebut. Staf dan
pemberi asuhan memikul tanggung jawab utama dalam intervensi Pelatihan Kebiasaan
Berkemih, sementara lansia bertanggung jawab dalam pelatihan kandung kemih. Selain itu,
Pelatihan Kandung Kemih berakhir dengan peningkatan fungsi kandung kemih, sementara
pelatihan Kebiasaan Berkemih dapat meningkatkan keterdugaan waktu berkemih dan jadwal
yang dapat dipraktikkan oleh pemberi asuhan dan individu lansia.
Long (1985) dan Specht (1981) menggunakan protokol berikut, yang mencakup dalam
intervensi NIC Pelatihan Kandung Kemih dan Pelatihan Kebiasaan Berkemih :
1. Kumpulkan data tentang pola asupan cairan, pola berkemih (Catatan Karakteristik
Kontinensia Urine selama tiga hari; lihat Pedoman Pengkajian 22-2), sensasi dan
kesadaran, masalah kesehatan yang menjadi penyebab, dan kemungkinan pelatihan ulang
(fungsi kognitif yang utuh hingga gangguan fungsi kognitif ringan memungkinkan
partisipasi dalam program pelatihan kandung kemih) (Long, 1985). Pelatihan kebiasaan
paling berhasil bila diterapkan pada individu bergantung yang mengalami inkontinensia
sedang.
2. Bawa atau minta individu tersebut ke tiolet, atau minta ia menggunakan pistol ketika
terjaga. Bantu atau ingatkan individu untuk ke toilet sesuai jadwal pada waktu tertentu
ketika ia terjaga dan keketika terjaga di malam hari. Lansia harus berada di toilet tidak
lebih dari lima menit. Apabila ia tidak berkemih, lakukan upaya untuk mendorong
mikturisi, misalnya, mengusap bagian dalam paha, menarik napas dalam, mengejan,
membungkuk membentuk sudut lancip, meminum cairan, dan memberikan tekanan
manual pada kandung kemih.
3. Ulangi langkah sebelumnya pada awal interval yang telah ditetapkan di dalam catatan
kontinensia dan menjelang tidur. Apabila inkontinensia terjadi sebelum interval berakhir,
kurangi interval tersebut selama setengah jam. Jangan pergi ke toilet dengan interval lebih
sering dari setiap satu sampai dua jam, karena berkemih yang terlalu sering menyebabkan
29
berkemih dengan volume sedikit secara kronis, yang mengakibatkan penurunan kapasitas
kandung kemih, peningkatan tonus detrusor, dan penebalan dinding kandung kemih
(Long, 1985). Tingkatkan interval ke toilet setengah jam jika pasien tidak mengalami
episode inkontinensia dalam 48 jam atau sampai jadwal optimal bagi pasien atau jika
jadwal setiap empat jam tercapai.
4. Pertahankan jadwal pemberian cairan yang telah disetujui (lihat bahasan Meningkatkan
Cairan).
5. Buat catatan episode kontinensia dan inkontinensia.
6. Beri pujian atas keberhasilan pasien (tentukan apa yang termasuk pujian menurut
pandangan pasien); dukung dan motivasi pasien ketika ia mengalami episode
inkontinensia.
Dalam penelitian Long (1985), jadwal harian berkemih dengan interval tiga sampai
empat jam tanpa episode inkontinensia baru dapat ditetapkan setelah empat hari hingga enam
minggu intervensi, dan pada saat pemulangan, 97% pasien yang sebelumnya inkontinensia
mampu mencapai kontinensia. Jika menambahkan intervensi mendorong untuk berkemih ke
dalam intervensi pelatihan kandung kemih, tindakan utama yang harus dilakukan adalah
mendorong dan memberi pujian, di samping program dan memberi pujian, di samping
program dan memberi pujian, di samping program pemantauan dan bantuan eliminasi (Fantl
et al., 1996; Iowa Intervention Project, 2000).
MENINGKATKAN ASUPAN CAIRAN SEBAGAI PENUNJANG PELATIHAN
KANDUNG KEMIH DAN KEBIASAAN BERKEMIH
Program untuk meningkatkan asupan cairan bertujuan meningkatkan kapasitas kandung
kemih dan menurunkan aktivitas detrusor (Colling, Owen, & McCreedy, 1994). Tindakan
khusus asupan cairan tercakup dalam intervensi NIC untuk mengatasi inkontinensia. Individu
lansia yang menderita inkontinensia biasanya mengurangi asupan cairan, sering kali sampai
turun di bawah 500 sampai 600 ml/ hari, sebagai upaya untuk tetap kontinensia (Specht,
1981). Individu lansia mengalami penurunan jumlah cairan tubuh total dan berisiko
mengalami dehidrasi sehingga asupan cairan sangat penting 9Davis & Minaker, 1994). Hasil
yang diharapkan, yaitu asupan sebanyak 2.000 ml. Namun inkontinensia terbukti berkurang
30
jika asupan cairan sebanyak 1.200 sampai 1.800 ml/ hari dicapai dan dipertahankan
(Spangler, Risely, & Bilyew, 1984; Specht, 1981). Kontraindikasi untuk meningkatkan
cairan, misalnya jika gagal jantung kongestif merupakan komorbiditas, harus
dipertimbangkan dalam merencanakan program cairan. Merencanakan aktivitas kehidupan
sehari-hari untuk meningkatkan asupan cairan sebagai tindakan untuk meningkatkan
kontinensia mencakup elemen, yang beberapa diantaranya termasuk ke dalam tindakan NIC,
sebagai berikut.
1. Jelaskan bagaimana peningkatan asupan cairan dapat memperbaiki kontinensia.
2. Diskusikan dengan individu atau pemberi asuhan keluarga untuk mempertahankan
catatan asupan dan haluaran.
3. Diskusikan dengan individu atau pemberi asuhan keluarga untuk mencatat episode
inkontinensia.
4. Diskusikan jadwal asupan cairan yang berterima dan dapat dipraktikkan terkait jumlah
dan jenis cairan yang ditingkatkan secara bertahap hingga mencapai tujuan asupan cairan
yang telah disepakati.
5. Beri pujian dan dukungan terhadap upaya yang telah dilakukan oleh lansia (tentukan apa
yang dimaksud dengan pujian dan dukungan menurut pandangan individu).
6. Bekerja sama dengan pasangan, anggota keluarga, dan teman klien, sehingga tindakan
mereka tidak bertentan dengan rencana yang telah disusun.
Peningkatan asupan cairan harus dilakukan beriringan dengan program eliminasi
terjadwal, khususnya jika ada faktor, seperti hambatan fungsional atau gangguan jiwa, yang
menjadi penyebab tambahan atau turut menyebabkan inkontinensia.
KETETERISASI INTERMITEN
Keteterisasi menetap yang kontinu merupakan strategi penatalaksanaan yang tepat
untuk sebagian kecil klien inkontinensia : klien yang mengalami retensi urine yang tidak
berhasil diobati melalui intervensi pembedahan atau farmakologi atau melalui kateterisasi
31
intermiten; beberapa individu yang menderita penyakit terminal; dan individu tertentu yang
mengalami kerusakan integritas kulit yang sangat parah (Fantl et al., 1996; Ouslander er al.,
1985). Sayangnya, kateter menetap digunakan pada sekitar 10% sampai 30% individu
penderita inkotinensia yang dirawat di fasilitas utama infeksi saluran kemih (Ouslander et al.,
1985). Jika katetet menetap digunakan, balon kateter tidak lepas dan mencegah risiko
obstruksi (Fiers, 1994).
Penggunaan kateterisasi bersih intermiten oleh pasien maupun pemberi asuhan secara
teratur marupakan alternatif penggunaan kateter menetap. Penggunaan teknik tersebut dapat
direkomendasikan pada klien yang mengalami retensi urine yang berhubungan dengan
kelemahan otot detrusor (seperti pada neuropati diabetik) atau sumbatan uretra (seperti pada
hipertrofi prostat jinak) dan pada klien inkontinensia refleks akibat cedera medula spinalis
(Ouslander & Uman,1985; Ouslander et al., 1985; Specht, 1986).
Kateterisasi intermilan pertama kali diperkenalkan setelah Perang Dunia II sebagai
teknik pelatihan kandung kemih untuk pasien paraplegik dan kuadraplegik (Champion,
1976), pada waktu itu, kateterisasi intermilan dilakukan hanya dalam kondisi steril oleh
dokter. Pasien tersebut dikaterisasi secara sering sepanjang hari. Prosedur tersebut efektif,
layaknya pelatihan kandung kemih. Penelitian awal menunjukkan bahwa pasien yang dilatih
dengan cara tersebut selama sekitar tujuh minggu mampu berkemih ketika pulang dari rumah
sakit (Guttman & Frankel, 1966). Sejak saat itu, prosedur tersebut dimodifikasi dan, saat ini,
dianggap sebagai katerisasi bersih (tidak steril) mandiri. Prosedur ini digunakan dalam
pelatihan kandung kemih dan untuk klien lain yang mengalami gangguan suplai saraf ke
kandung kemih (Champion, 1976; Sadowski & Duffy, 1988; Werren, 1990; Webb. Lawson,
& Neal, 1990).
Overdistensi kandung kemih memperlambat sirkulasi kandung kemih dan membuat
kandung kemih rentan terhadap infeksi. Kateterisasi kandung kemih yang sering dilakukan
dapat mencegah overdistensi dan menungkinkan kandung kemih melawan infeksi (Horsley,
Crane, & Haller, 1982). Teknik ini terbukti menurunkan insiden komplikasi yang berkaitan
dengan penggunaan kateter menetap (Ouslander et al., 1985). Penekanan diberikan bukan
pada mempertahankan sterilitas, melainkan pada pengosongan kandung kemih dengan sering.
Klien atau pemberi asuhan dapat diajarkan prinsip dasar kateterisasi dan prosedur
kateterisasi dengan menggunakan teknik bersih. Pasien sering kali tetap mendapat antibakteri
untuk periode dua sampai tiga minggu, beserta obat antikolinergik atau kolinergik untuk
32
membantu pengendalian kandung kamih (horsley et al., 1982). Pasien calon pengguna
kateterisasi intermiten mandiri harus memiliki keterampilan manual untuk memanipulasi
kateter dan harus dimotivasi untuk melakukan teknik tersebut dengan sering sepanjang hari
(biasanya ketika kandung kemih distensi dengan kurang lebih 300 ml cairan) dan dibeberapa
tatanan. Pemberi asuhan juga harus memiliki keterampilan manual yang berkualitas dalam
melakukan prosedur tersebut.
Lapides dan rekan (1975) melaporkan tinjauan terhadap 218 pasien yang diajarkan
melakukan kateterisasi intemiten bersih. Subjek berusia antara 4 dan 84 tahun, dengan 145
subjek berusia antara 21 dan 84 tahun. Subjek tersebut memiliki diagnosis yang berbeda,
terkait kesulitan berkemih dan inkontinensia. Hasil penelitian ini mengidentifikasikan bahwa
pada klien yang mengalami inkontinensia yang berhubungan dengan kontraksi refleks
kandung kemih atau inkontinensia overflow, katerisasi intermiten bersih yang dikombinasi
dengan obat antikolinergik dan alfa-adrenergik dapat meredakan inkontinensia, serta
dermatitis perineum kronis (lapides, Diokno, Gould & Lowe, 1975).
Kateterisasi intermiten merupakan prosedur bersih, bukan steril, dengan penekanan
pada frekuensi, bukan pada sterilitas. Namun, prinsip steril dalam menjalankan prosedur
tersebut sangat dianjurkan bagi individu lansia yang luluh imum (Fantl et al., 1996). Tujuan
kateterisasi intermiten adalah memperhatankan volume urine di dalam kandung kemih 300
ml atau kurang. Tujuan ini dapat dicapai melalui kateterisasi setiap dua sampai tiga jam
ketika individu dalam keadaan terjaga dan dilakukan satu sampai dua kali pada malam hari.
Intervensi NIC mencakup tindakan untuk mengimplementasikan katerisasi bersih atau steril
(lowaintervention Project, 2000).
Calon pelaksana prosedur kateterisasi mandiri harus memenuhi kriteria berikut.
1. Keterampilan manual dan kemampuan mental yang memadai untuk melakukan prosedur
secara keseluruhan pada interval yang sering, atau ketersediaan individu lain yang akan
melakukan prosedur tersebut untuknya.
2 Kapasitas kandung kemih 100 ml atau lebih.
3. Uretra yang utuh dan bebas dari striktur.
Tindakan ini berhasil melakukan secara rutin di lowa Veterans pada penghuni yang
memiliki kandung kemih atonik. Perawat mengalami kesulitan pindah ke pendekatan bersih,
33
bukan steril dan mengeluh tentang frekuensi terapi tersebut. Perawat, keluarga, dan individu
lansia harus memahami prinsip metode ini. Kendati harus diuji lebih lanjut, pendekatan ini
sangat menjanjikan dan lebih dipilih daripada pemasangan kateter menetap. Namun, harus
dicatat bahwa katerisasi intermiten bersih lebih banyak diteliti pada klien anak dan dewasa
muda ketimbang klien lansia. Hingga kini masih belum jelas, misalnya, apakah komplikasi
lebih umum terjadi dalam populasi geriatrik (Fantl et al., 1996). Prinsip teiretis yang
mendukung kateterisasi intermiten dengan prinsip bersih tetap sama pada klien lansia, tetapi
penelitian lebih lanjut terhadap intervensi ini perlu dilakukan untuk mendukung kemanfaatan
intervensi ini bagi individu lansia.
PILIHAN TERAPI LAIN
Intervensi tambahan dapat diindikasikan, bergatung pada tipe dan etiologi inkontinensia
urine klien. Misalnya, klien yang mengalami inkontinensia fungsional yang berhubungan
dengan defisit fisik mungkin memperoleh manfaat dari program penguatan otot dan dari
modifikasi lingkungan untuk mengurangi hambatan antara klien dan kursi buang air.
Demikian pula, impaksi fekal dapat menyingkirkan dugaan inkontinensia overflow yang
berhubungan dengan obstruksi pintu ke luar kandung kemih 9Specht, 1986). Inkontinensia
urgensi yang berhubungan dengan iritasi kandung skemih dapat disingkirkan dengan asupan
cairan 1.500 sampai 2.000 ml, jika iritasi tersebut terjadi akibat urine yang sangat pekat pada
klien dehidrasi (Colling et al., 1994; Specht, 1986). Penelitian lebih lanjut perlu dilakukan
untuk menentukan intervensi yang paling bermanfaat, memuaskan, dan hemat biaya untuk
klien lansia.
34
DAFTAR PUSTAKA
Brunner&Suddart. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Edisi 8 Vol 1. Jakarta:
EGC.
Mass Meridean L, et al. 2011. Asuhan Keperawatan Geriatrik: Diagnosis Nanda Kriteria
Hasil Noc, Intervensi Nic. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC
Setiati S dan Pramantara IDP. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam .Sudoyo AW et al. editor.
Jakarta : Interna Pulishing ;2009 : 865-875
35