makalah iu komunitas

56
PENDAHULUAN Keluarnya urine yang tidak disadari telah dilaporkan sendiri oleh 30% orang yang berusia ≥60 tahun yang secara acak dilakukan survei di Washtenaw Country, Mivhigan. Survei di Eropa telah melaporkan bahwa angka prevalensi bervariasi dari 1,6% sampai 49%, dengan rentang yang luas yang disebabkan karena perbedaan teknik yang digunakan dalam survei dan dalam definisi inkontinensia urine. Masalah menjadi lebih menonjol pada orang lanjut usia yang tinggal dalam institusi, kira-kira 50% pasien yang dirawat secara kronis dan 30% pasien di rumah sakit mengalami inkontinensia. Prevalensi lebih tinggi pada wanita dibandingkan pria, dengan rasio kira-kira 2:1. Inkontinensia urine dapat merupakan sebab institusionalisasi dan merupakan faktor yang berperan daam ulkus dekubitus, infeksi saluran kemih, dan depresi. Masalah tersebut berhubungan erat dengan kesehatan umum yang buruk dan dengan gangguan media kronis (misalnya, gangguan neurologik, gastrointestinal, respirasi, dan genitourinarius). Pada wanita lanjut usia, parias sendiri tidak berhubungan dengan inkontinensia urine, kecuali terjadi juga selama kehamilan. Dampak ekonomi inkontinensia urine adalah sangat jelas, biaya perawatan tambahan yang diperlukan untuk menangani inkontinensia pada orang lanjut usia yang dirawat diperkirakan >8 milyar dollar setiap tahunnya di Amerika Serikat. 1

Upload: iim-aja

Post on 21-Dec-2015

267 views

Category:

Documents


4 download

TRANSCRIPT

Page 1: Makalah IU Komunitas

PENDAHULUAN

Keluarnya urine yang tidak disadari telah dilaporkan sendiri oleh 30% orang yang

berusia ≥60 tahun yang secara acak dilakukan survei di Washtenaw Country, Mivhigan.

Survei di Eropa telah melaporkan bahwa angka prevalensi bervariasi dari 1,6% sampai 49%,

dengan rentang yang luas yang disebabkan karena perbedaan teknik yang digunakan dalam

survei dan dalam definisi inkontinensia urine. Masalah menjadi lebih menonjol pada orang

lanjut usia yang tinggal dalam institusi, kira-kira 50% pasien yang dirawat secara kronis dan

30% pasien di rumah sakit mengalami inkontinensia. Prevalensi lebih tinggi pada wanita

dibandingkan pria, dengan rasio kira-kira 2:1.

Inkontinensia urine dapat merupakan sebab institusionalisasi dan merupakan faktor

yang berperan daam ulkus dekubitus, infeksi saluran kemih, dan depresi. Masalah tersebut

berhubungan erat dengan kesehatan umum yang buruk dan dengan gangguan media kronis

(misalnya, gangguan neurologik, gastrointestinal, respirasi, dan genitourinarius). Pada wanita

lanjut usia, parias sendiri tidak berhubungan dengan inkontinensia urine, kecuali terjadi juga

selama kehamilan.

Dampak ekonomi inkontinensia urine adalah sangat jelas, biaya perawatan tambahan

yang diperlukan untuk menangani inkontinensia pada orang lanjut usia yang dirawat

diperkirakan >8 milyar dollar setiap tahunnya di Amerika Serikat.

Keadaan ini pada orang lanjut usia masih belum dipahami dengan baik dan diabaikan.

Banyak orang secara salah mempercayai bahwa proses penuaan itu sendiri yang

menyebabkan inkontinensia urine. Sebagian pasien tidak mengatakan pada dokternya

mengenai keluarnya urine secara tidak disadari tersebut. Yang lebih menhusahkan adalah

bahwa setengah sampai duapertiga dokter tidak melakukan pemeriksaan yang bahkan paling

sederhana jika dikatakan mengenai masalah tersebut. Program pendidikan bagi masyarakat

dan dokter diperlukan untuk memberikan informasi yang akurat dan mengubah persepsi yang

salah tersebut. Dengan berbacai cara terapi yang tersedia, setiap orang lanjut usia yang

mengalami inkontinensia urine harus mendapatkan kesempatan untuk mengendalikan, jika

tidak untuk memperbaiki gangguan tersebut.

1

Page 2: Makalah IU Komunitas

PEMBAHASAN

A. Anatomi dan Fisiologi Saluran Kemih Bagian Bawah

Tiga struktur saluran kemih bagian bawah penting untuk menjaga kontinensia urine,

menyimpan urine dari kandung kemih adalah detrusor, sfingter internal, dan sfingter

eksternal. Detrusor atau otot polos kandung kemih meluas ke dalam uretra dan membentuk

masa dinding paroksimalnya (sfingter internal).

Ketiga struktur tersebut dianggap sebagai satu unit anatomik dan fungsional dan

mempunyai sifat kontraktil intrinsik yang tidak tergantung pada pengendalian sistem saraf

pusat. Otot polos dan jaringan elastik yang membentuk struktur tersebut memungkinkan

kandung kemih untuk mengakomodasi urine dalam volume yang besar dengan tekanan

intravesikal yang rendah.

Utera proksimal adalah termasuk uretra prostatistika dan membranosa pada pria dan

tiga perempat proksimal uretra pada wanita. Kontraksi sfingter internal mencegah kebocoran

urine dari kandung kemih. Tahanan terhadap kebocoran ini adalah sebagai jumlah total dari

tenaga yang berasal dari mukosa, otot polos, pembuluh darah, dan jaringan elastik.

Jika tekanan intravesikal yang tertinggi terjadi sebagai hasil peningkatan tekanan

intraabdominal (misalnya batuk, mengejan, atau tertawa), kerja sfingter internal diperkuat

oleh otot lurik periuretral (sfingter eksternal). Otot ini, yang berasal dari diafragma

urogenitalis dan levator ani, mengelilingi sfingter internal. Kandungan seratnya yang tertinggi

adalah pada pertengahan uretra wanita dan uretra membranosa pada pria.

Detrusor dan sfingter dikendalikan oleh sumbu serebrospinalis. Kontrol kandung kemih

yang disadari diperkirakan dicapai jika pusat miksi di serebral mengalami kematangan pada

usia 2 sampai 4 tahun. Sebelum terjadi maturasi kortikal, atau “toilet training”, miksi adalah

tidak terkendali.

Pusat miksi di otak, berlokasi di lobus frontalis, dan dihubungkan oleh akson ke

formasi retikular pontin mesenfalik. Jalur ini menerima pesan dari ganglia basalis dan

serebelum. Serabut dari formasi retikular pontin mesensefalik turun dan membentuk sinaps di

pusat medula spinalis yang berlokasi di medula spinalis sakral segmen 2, 3, dan 4, dimana

terletak dua kelompok neuron yang penting. Sel kornu anterior (ventral) membentuk saraf

pudendus, dan sel kornu lateralis membentuk saraf pelvis.

Pusat miksi di serebral memberikan kontrol miksi yang diatur dengan kemauan dengan

memodulasi pusat pontin mesensefalik. Lesi pada daerah serebral biasanya menyebabkan

2

Page 3: Makalah IU Komunitas

gilangnya sebagian atau seluruh refleks volunter dari miksi, menyebabkan timbulnya

hiperrefleksia detrusor. Tetapi, pada kasus tertentu, hilangnya sebagian atau keseluruhan

kemampuan untuk memulai miksi juga terlihat, seperti pada fase awal gangguan

serebrovaskuler (cerebrovascular accident).

Pusat pontin mesensefalik dipercaya mengendalikan perkembangan reflek detrusor

yang terkoordinasi dengan lama yang adekuat untuk menjamin pengosongan kandung kemih

yang lengkap. Pusat miksi di medula spinalis segmen sakral dipercaya untuk mengendalikan

koordinasi antara kontraksi detrusor dan relaksasi sfingter eksternal, menyebabkan

pengosongan kandung kemih yang lengkap tanpa adanya tahanan sfingter eksternal.

Saraf pudendus adalah saraf somatik yang memberikan inervasi motorik pada sfingter

eksternal dan inervasi sensorik pada perineum dan genitalia. Saraf pelvis adalah saraf

campuran parasimpatis; serabut aferennya membawa persepsi sakit dan regangan dari

kandung kemih.

Segmen spinal T-10 sampai S-2 memberikan neuron saraf prasakralis, atau hipogastik.

Saraf prasakralis, suatu saraf simpati, memberikan inervasi pada kandung kemih dan uretra.

Terdapat dua reseptor simpatik yang berbeda di saluran kemih bbagian bawah: reseptor α-

adrenergik yang sangat banyak pada trigonum dan uretra proksimal; reseptor β-adrenergik

yang berlokasi pada kandung kemih di atas trigonum. Reseptor α-adrenergik memperantarai

kontraksi sfingter internal, sedangkan reseptor β-adrenergik menyebabkan relaksasi otot

polos dinding kandung kemih. Kerja ini memungkinkan penyimpanan urine di dalam

kandung kemih.

Saat kandung kemih terisi dengan urine dan mengalami regangan, ujung saraf

proprioseptif terangsang dan memberikan impuls ke pusat pontin mesensefalik, yang

selanjutnya akan meneruskan (relay) impuls ke pusat medula sipinalis. Neuron motorik

selanjutnya teraktivasi, menyalurkan impuls ke detrusor, menyebabkannya berkontraksi.

Tepat sebelum terjadi kontraksi detrusor atau meningkatknya tekanan intravesikal yang dapat

diukur, otot lurik periuretral berelaksasi lengkap. Detrusor berkontraksi, dan uretra proksimal

terbuka. Aliran urine yang kuat dan terus menerus ditimbulkan oleh kontraksi detrusor yang

terus menerus, sfingter eksternal yang berelaksasi, dan sfingter eksternal yang terbuka dan

membentuk saluran.

3

Page 4: Makalah IU Komunitas

B. Inkontinensia Urine

1. Pengertian

Inkontinensia urine merupakan eliminasi urine dari kandung kemih yang tidak

terkendali atau terjadi diluar keinginan (Brunner and Suddarth, 2002). Inkontinensia urine

didefinisikan sebagai keluarnya urine yang tidak terkendali pada waktu yang tidak

dikehendaki tanpa memperhatikan frekuensi dan jumlahnya,yang mengakibatkan masalah

social dan higienis penderitanya (FKUI, 2006).

Menurut International Continence Sosiety, inkontinensia urine adalah kondisi keluarnya

urin tak terkendali yang dapat didemonstrasikan secara obyektif dan menimbulkan gangguan

hygiene dan social.

2. Klasifikasi

a. Inkontinensia Transien

Inkontinensia transien memiliki onset yang mendadak, biasanya dihubungkan dengan

penggunaan obat-obatan atau penyakit akut. Pasien delirium mungkin tidak sadar saat

mengompol atau tak dapat pergi ke toilet sehingga berkemih tidak pada tempatnya. Bila

delirium teratasi maka inkontinensia urin umumnya juga akan teratasi. Setiap kondisi yang

menghambat mobilisasi pasien dapat memicu timbulnya inkontinensia urin fungsional atau

memburuknya inkontinensia persisten, seperti fraktur tulang pinggul, stroke, arthritis dan

sebagainya.

Resistensi urin karena obat-obatan, atau obstruksi anatomis dapat pula menyebabkan

inkontinensia urin. Keadaan inflamasi pada vagina dan urethra (vaginitis dan urethritis)

mungkin akan memicu inkontinensia urin. Konstipasi juga sering menyebabkan inkontinensia

akut.

Berbagai kondisi yang menyebabkan poliuria dapat memicu terjadinya inkontinensia

urin, seperti glukosuria atau kalsiuria. Gagal jantung dan insufisiensi vena dapat

menyebabkan edema dan nokturia yang kemudian mencetuskan terjadinya inkontinensia urin

nokturnal. Berbagai macam obat juga dapat mencetuskan terjadinya inkontinensia urin seperti

Calcium Channel Blocker, agonist adrenergic alfa, analgesic narcotic, psikotropik,

antikolinergik dan diuretic.

4

Page 5: Makalah IU Komunitas

Untuk mempermudah mengingat penyebab inkontinensia urin akut reversible dapat

menggunakan akronim (Resnick 1984) di bawah ini :

D : Delirium

I : Infection of urinary tract or other infection

A : Atrophic urethritis and vaginitis

P : Pharmaceutical (diuretics, anticholinergic, antihistamine, Ca channel

blocker)

P : Psychological Problems, especially depression

E : Excess urine output (eg. congestive heart failure, hyperglycaemia)

R : Restricted mobility

S : Stool impaction

b. Inkontinensia Urin Persisten

Inkontinensia urin persisten dapat diklasifikasikan dalam berbagai cara, meliputi

anatomi, patofisiologi dan klinis. Untuk kepentingan praktek klinis, klasifikasi klinis lebih

bermanfaat karena dapat membantu evaluasi dan intervensi klinis.

Kategori klinis meliputi :

Inkontinensia urin stress (stres inkontinence)

Tak terkendalinya aliran urin akibat meningkatnya tekanan intraabdominal, seperti pada

saat batuk, bersin atau berolah raga. Umumnya disebabkan oleh melemahnya otot dasar

panggul, merupakan penyebab tersering inkontinensia urin pada lansia di bawah 75 tahun.

Lebih sering terjadi pada wanita tetapi mungkin terjadi pada laki-laki akibat kerusakan pada

sfingter urethra setelah pembedahan transurethral dan radiasi. Pasien mengeluh mengeluarkan

urin pada saat tertawa, batuk, atau berdiri. Jumlah urin yang keluar dapat sedikit atau banyak.

Inkontinensia urin urgensi (urgency inkontinence)

Keluarnya urin secara tak terkendali dikaitkan dengan sensasi keinginan berkemih.

Inkontinensia urin jenis ini umumnya dikaitkan dengan kontraksi detrusor tak terkendali

(detrusor overactivity). Masalah-masalah neurologis sering dikaitkan dengan inkontinensia

urin urgensi ini, meliputi stroke, penyakit Parkinson, demensia dan cedera medula spinalis.

Pasien mengeluh tak cukup waktu untuk sampai di toilet setelah timbul keinginan untuk

berkemih sehingga timbul peristiwa inkontinensia urin. Inkontinensia tipe urgensi ini

merupakan penyebab tersering inkontinensia pada lansia di atas 75 tahun. Satu variasi

inkontinensia urgensi adalah hiperaktifitas detrusor dengan kontraktilitas yang terganggu.

5

Page 6: Makalah IU Komunitas

Pasien mengalami kontraksi involunter tetapi tidak dapat mengosongkan kandung kemih

sama sekali. Mereka memiliki gejala seperti inkontinensia urin stress, overflow dan obstruksi.

Oleh karena itu perlu untuk mengenali kondisi tersebut karena dapat menyerupai ikontinensia

urin tipe lain sehingga penanganannya tidak tepat.

Inkontinensia urin luapan / overflow (overflow incontinence)

Tidak terkendalinya pengeluaran urin dikaitkan dengan distensi kandung kemih yang

berlebihan. Hal ini disebabkan oleh obstruksi anatomis, seperti pembesaran prostat, faktor

neurogenik pada diabetes melitus atau sclerosis multiple, yang menyebabkan berkurang atau

tidak berkontraksinya kandung kemih, dan faktor-faktor obat-obatan. Pasien umumnya

mengeluh keluarnya sedikit urin tanpa adanya sensasi bahwa kandung kemih sudah penuh.

Inkontinensia urin fungsional

Memerlukan identifikasi semua komponen tidak terkendalinya pengeluaran urin akibat

faktor-faktor di luar saluran kemih. Penyebab tersering adalah demensia berat, masalah

muskuloskeletal berat, faktor lingkungan yang menyebabkan kesulitan untuk pergi ke kamar

mandi, dan faktor psikologis.

3. Etiologi

Etiologi Inkontinensia Urine menurut (Soeparman & Waspadji Sarwono, 2001) :

Poliuria, nokturia

Gagal jantung

Faktor usia : lebih banyak ditemukan pada usia >50 tahun.

Lebih banyak terjadi pada lansia wanita dari pada pria hal ini disebabkan oleh :

- Penurunan produksi esterogen menyebabkan atropi jaringan uretra dan efek

akibat melahirkan dapat mgengakibatkan penurunan otot-otot dasar panggul.

- Perokok, Minum alkohol.

- Obesitas

- Infeksi saluran kemih (ISK)

4. Tanda dan Gejala

Tanda-tanda Inkontinensia Urine menurut (H.Alimun Azis, 2006)

1) Inkontinensia Dorongan

- Sering miksi

- Spasme kandung kemih

2) Inkontinensia total

6

Page 7: Makalah IU Komunitas

- Aliran konstan terjadi pada saat tidak diperkirakan.

- Tidak ada distensi kandung kemih.

- Nokturia dan Pengobatan Inkontinensia tidak berhasil.

3) Inkontinensia stress

- Adanya urin menetes dan peningkatan tekanan abdomen.

- Adanya dorongan berkemih.

- Sering miksi.

- Otot pelvis dan struktur penunjang lemah.

4) Inkontinensia refleks

- Tidak dorongan untuk berkemih.

- Merasa bahwa kandung kemih penuh.

- Kontraksi atau spesme kandung kemih tidak dihambat pada interval.

5) Inkontinensia fungsional

- Adanya dorongan berkemih.

- Kontraksi kandung kemih cukup kuat untuk mengeluarkan urin.

5. Patofisiologi

Inkontinensia urine dapat terjadi dengan berbagai manifestasi, antara lain:

1. Perubahan yang terkait dengan usia pada sistem Perkemihan Vesika Urinaria

(Kandung Kemih). Kapasitas kandung kemih yang normal sekitar 300-600 ml.

Dengan sensasi keinginan untuk berkemih diantara 150-350 ml. Berkemih dapat

ditunda 1-2 jam sejak keinginan berkemih dirasakan. Ketika keinginan berkemih

atau miksi terjadi pada otot detrusor kontraksi dan sfingter internal dan sfingter

ekternal relaksasi,yang membuka uretra. Pada orang dewasa muda hampir semua

urine dikeluarkan dengan proses ini. Pada lansia tidak semua urine dikeluarkan,

tetapi residu urine 50 ml atau kurang dianggap adekuat. Jumlah yang lebih dari 100

ml mengindikasikan adanya retensi urine. Perubahan yang lainnya pada peroses

penuaan adalah terjadinya kontrasi kandung kemih tanpa disadari. Wanita lansia,

terjadi penurunan produksi esterogen menyebabkan atrofi jaringan uretra dan efek

akibat melahirkan mengakibatkan penurunan pada otot-otot dasar (Stanley M &

Beare G Patricia, 2006).

2. Fungsi otak besar yang terganggu dan mengakibatkan kontraksi kandung kemih.

Terjadi hambatan pengeluaran urine dengan pelebaran kandung kemih, urine

7

Page 8: Makalah IU Komunitas

banyak dalam kandung kemih sampai kapasitas berlebihan. Fungsi sfingter yang

terganggu menyebabkan kandung kemih bocor bila batuk atau bersin.

6. Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan Penunjang Inkontinensia Urine menurut (Soeparman&Waspadji S, 2001).

Uji urodinamik sederhana dapat dilakukan tanpa menggunakan alat-alat mahal. Sisa-sisa urin

pasca berkemih perlu diperkirakan pada pemeriksaan fisis. Pengukuran yang spesifik dapat

dilakukan dengan ultrasound atau kateterisasi urin. Merembesnya urin pada saat dilakukan

penekanan dapat juga dilakukan. Evaluasi tersebut juga harus dikerjakan ketika kandung

kemih penuh dan ada desakan keinginan untuk berkemih. Diminta untuk batuk ketika sedang

diperiksa dalam posisi litotomi atau berdiri. Merembesnya urin seringkali dapat dilihat.

Informasi yang dapat diperoleh antara lain saat pertama ada keinginan berkemih, ada atau

tidak adanya kontraksi kandung kemih tak terkendali, dan kapasitas kandung kemih.

a. Elektrolit, ureum, creatinin, glukosa, dan kalsium serum dikaji untuk menentukan fungsi

ginjal dan kondisi yang menyebabkan poliuria. Tes laboratorium tambahan seperti kultur

urin, blood urea nitrogen, creatinin, kalsium glukosasitol.

b. Catatan Berkemih dilakukan untuk mengetahui pola berkemih. Catatan ini digunakan

untuk mencatat waktu dan jumlah urin saat mengalami inkontinensia urine dan tidak

inkontinensia urine, dan gejala berkaitan denga inkontinensia urine. Pencatatan  pola

berkemih tersebut dilakukan selam 1-3 hari. Catatan tersebut dapat digunakan untuk

memantau respons terapi dan juga dapat dipakai sebagai intervensi terapeutik karena

dapat menyadarkan pasien faktor pemicu.

7. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan inkontinensia urin adalah untuk mengurangi faktor resiko,

mempertahankan homeostasis, mengontrol inkontinensia urin, modifikasi lingkungan,

medikasi, latihan otot pelvis dan pembedahan.

Dari beberapa hal tersebut di atas, dapat dilakukan sebagai berikut :

a. Pemanfaatan kartu catatan berkemih yang dicatat pada kartu tersebut misalnya waktu

berkemih dan jumlah urin yang keluar, baik yang keluar secara normal, maupun yang

keluar karena tak tertahan, selain itu dicatat pula waktu, jumlah dan jenis minuman yang

diminum.

8

Page 9: Makalah IU Komunitas

b. Terapi non farmakologi

Dilakukan dengan mengoreksi penyebab yang mendasari timbulnya inkontinensia urin,

seperti hiperplasia prostat, infeksi saluran kemih, diuretik, gula darah tinggi, dan lain-

lain. Adapun terapi yang dapat dilakukan adalah : Melakukan latihan menahan kemih

(memperpanjang interval waktu berkemih) dengan teknik relaksasi dan distraksi

sehingga frekwensi berkemih 6-7 x/hari. Lansia diharapkan dapat menahan keinginan

untuk berkemih bila belum waktunya. Lansia dianjurkan untuk berkemih pada interval

waktu tertentu, mula-mula setiap jam, selanjutnya diperpanjang secara bertahap sampai

lansia ingin berkemih setiap 2-3 jam. Membiasakan berkemih pada waktu-waktu yang

telah ditentukan sesuai dengan kebiasaan lansia. Promted voiding dilakukan dengan cara

mengajari lansia mengenal kondisi berkemih mereka serta dapat memberitahukan

petugas atau pengasuhnya bila ingin berkemih. Teknik ini dilakukan pada lansia dengan

gangguan fungsi kognitif (berpikir). Melakukan latihan otot dasar panggul dengan

mengkontraksikan otot dasar panggul secara berulang-ulang.

Adapun cara-cara mengkontraksikan otot dasar panggul tersebut adalah dengan cara :

Berdiri di lantai dengan kedua kaki diletakkan dalam keadaan terbuka, kemudian pinggul

digoyangkan ke kanan dan ke kiri ± 10 kali, ke depan ke belakang ± 10 kali. Gerakan

seolah-olah memotong feses pada saat kita buang air besar dilakukan ± 10 kali. Hal ini

dilakukan agar otot dasar panggul menjadi lebih kuat dan urethra dapat tertutup dengan

baik.

c. Terapi farmakologi

Obat-obat yang dapat diberikan pada inkontinensia urgen adalah antikolinergik

seperti Oxybutinin, Propantteine, Dicylomine, flavoxate, Imipramine. Pada inkontinensia

stress diberikan alfa adrenergic agonis, yaitu pseudoephedrine untuk meningkatkan

retensi urethra. Pada sfingter relax diberikan kolinergik agonis seperti Bethanechol atau

alfakolinergik antagonis seperti prazosin untuk stimulasi kontraksi, dan terapi diberikan

secara singkat.

d. Terapi pembedahan

Terapi ini dapat dipertimbangkan pada inkontinensia tipe stress dan urgensi, bila terapi

non farmakologis dan farmakologis tidak berhasil. Inkontinensia tipe overflow umumnya

memerlukan tindakan pembedahan untuk menghilangkan retensi urin. Terapi ini

dilakukan terhadap tumor, batu, divertikulum, hiperplasia prostat, dan prolaps pelvic

(pada wanita).

9

Page 10: Makalah IU Komunitas

e. Modalitas lain

Sambil melakukan terapi dan mengobati masalah medik yang menyebabkan

inkontinensia urin, dapat pula digunakan beberapa alat bantu bagi lansia yang mengalami

inkontinensia urin, diantaranya adalah pampers, kateter.

f. Pemantauan Asupan Cairan

Pada orang dewasa minimal asupan cairan adalah 1500 ml perhari dengan rentan yang

lebih adekuat antara 2500 dan 3500 ml perhari dengan asumsi tidak ada kondisi

kontraindikasi. Lansia yang kontinen dapat membatasi asupan cairan secara tidak tepat

untuk mencegah kejadian-kejadian yang memalukan. Pengurangan asupan cairan

sebelum waktu tidur dapat mengurangi inkontinensia pada malam hari, tetapi cairan

harus diminum lebih banyak selama siang hari sehingga total asupan cairan setiap

harinya tetap sama.

10

Page 11: Makalah IU Komunitas

INKONTINENSIA URIN: FUNGSIONAL, IATROGENIK, OVERFLOW, REFLEKS,

STRES, TOTAL, DAN URGENSI (SUMBER: ASUHAN KEPERAWATAN GERIATRIK:

DIAGNOSIS NANDA KRITERIA HASIL NOC, INTERVENSI NIC).

Hasil yang Diharapkan dan Intervensi Keperawatan: Inkontinensia Urgensi; Inkontinensia

Stres; Inkontinensia Urine Refleks; Inkontinensia Overflow; Inkontinensia Urine Fungsional;

Inkontinensia Total; Inkontinensia Iatrogenik; Inkontinensia Campuran

Diagnosis Keperawatan Hasil yang Diharapkan Intervensi Keperawatan

Inkontinensia Urgensi

Batasan Karakteristik

Urgensi berkemih

Sering berkemih dengan

interval setiap kurang dari 2

jam

Kontraktur/spasme kandung

kemih

Nokturia (>2 kali per malam)

Jumlah urin sedikit (>100

ml)

Ketidakmampuan mencapai

toilet tepat pada waktunya

Faktor yang

berhubungan/etiologi

Kapasitas kandung kemih

sedikit/overdistensi

Asupan kafein/alkohol tinggi

Efek obat (antikolinergik,

diuretik, narkotik, beta-

adrenergik)

Iritasi kandung kemih

Infeksi

Ketidaktabilan detrusor

Kontinensia Urine

Indikator

Waktu cukup untuk

mencapai toilet antara

urgensi dan urinasi

Status Infeksi

Indikator

Peningkatan hitung sel darah

putih

Nyeri/nyeri tekan

Pengtahuan: Prosedur

Terapi

Indikator

Deskripsi prosedur terapi

Pelaksanaan prosedur terapi

Pengetahuan: Medikasi

Indikator

Deskripsi efek samping obat

Deskripsi teknik

pemantauan-mandiri

Pelatihan Kandung Kemih

Tindakan

Tentukan kemampuan untuk

mengenali urgensi berkemih

Tentukan pola berkemih

Tetapkan jadwal eliminasi

berdasarkan pola berkemih

Tingkatkan/kurangi interval

eliminasi berdasarkan

episode inkontinensia

Pelatihan Kebiasaan

Berkemih

Tindakan

Validasi ketidakmampuan

kognitif untuk mengenali dan

bertindak terhadap urgensi

Tetapkan jadwal eliminasi

berdasarkan pola berkemih

Bantu ke toilet dan dorong

utnuk berkemih pada interval

yang diprogramkan

Tekankan bersama staf

pentingnya mematuhi jadwal

eliminasi

11

Page 12: Makalah IU Komunitas

Hiperefleksia detrusor Latihan Otot Panggul

Tindakan

Anjurkan pasien untuk

mengencangkan, kemudian

merelaksasi cincin otot di

sekitar uretra dan anus

Beri instruksi yang

menjelaskan intervensi dan

jumlah pengulangan yang

dianjurkan

Informasikan pasien bahwa

keefektifan latihan baru

terlihat setelah 6-12 minggu

Manajemen Cairan

Tindakan

Hindari kafein/alkohol

Tingkatkan asupan cairan

Buat catatan asupan dan

haluaran yang akurat

Penyuluhan Pasien

Tindakan

Beri informasi mengenai

tujuan intervensi

Ajarkan menahan mikturisi

secara aktif

Ajarkan

tindakan/kewaspadaan

terhadap medikasi

Hasil yang Diharapkan dan Intervensi Keperawatan: Inkontinensia Urgensi; Inkontinensia

Stres; Inkontinensia Urine Refleks; Inkontinensia Overflow; Inkontinensia Urine Fungsional;

Inkontinensia Total; Inkontinensia Iatrogenik; Inkontinensia Campuran (Lanjutan)

12

Page 13: Makalah IU Komunitas

Diagnosis Keperawatan Hasil yang Diharapkan Intervensi Keperawatan

Inkontinensia Stres

Batasan Karakteristik

Melaporkan atau tampka

dribbling urine

Urgensi berkemih

Sering berkemi dengan

interval setaip kurang dari 2

jam

Faktor yang

berhubungan/etiologi

Otot panggul dan penopang

struktural lemah

Tekanan intraabdomen tinggi

(batuk kronik, obesitas,

neoplasma, flatus)

Pintu kandung kemih tidak

kompeten

Overditensi di antara waktu

berkemih

Retrokel/sistokel

Vaginitis atrofik

Kontinensia Urine

Indikator

Tidak terjadi kebocoran urine

seiring peningkatan tekanan

abdomen

Perilaku Kepatuhan

Indikator

Laporan kepatuhan terhadap

program penanganan

Latihan Otot Panggul

Tindakan

Anjurkan pasien untuk

mengencangkan, kemudian

merelaksasi cincin otot di

sekitar uretra dan anus

Beri anjuran yang

menjelaskan intervensi dan

jumlah pengulangan yang

dianjurkan

Informasikan pasien bahwa

keefektifan latihan baru

terlihat setelah 6-12 minggu

Biofeedback

Tindakan

Hubungkan dengan peralatan

Bantu untuk belajar

memodifikasi respons

terhadap petunjuk alat

Beri umpan balik terhadap

program setelah setiap sesi

Penyuluhan Pasien

Tindakan

Ajarkan tujuan intervensi

Ajarkan untuk saecara aktif

menahan mikturisi

Ajarkan

tindakan/kewaspadaan

terhadap obat

13

Page 14: Makalah IU Komunitas

Hasil yang Diharapkan dan Intervensi Keperawatan: Inkontinensia Urgensi; Inkontinensia

Stres; Inkontinensia Urine Refleks; Inkontinensia Overflow; Inkontinensia Urine Fungsional;

Inkontinensia Total; Inkontinensia Iatrogenik; Inkontinensia Campuran (Lanjutan)

Diagnosis Keperawatan Hasil yang Diharapkan Intervensi Keperawatan

Inkontinensia Urine Refleks

Batasan Karakteristik

Tidak ada sensasi pengisian

kandung kemih

Tidak ada sensasi urgensi

untuk berkemih

Sensasi urgensi tanpa inhibisi

volunter kontraksi kandung

kemih

Faktor yang

berhubungan/etiologi

Pengosongan tidak komplet

dengan lesi di atas pusat

mikturisi di sakrum

Pengosongan komplet dengan

lesi di atas pusat mikturisi di

pons

Kerusakan saraf akibat radiasi,

kandung kemih yang radang,

pembedahan radikal pada

panggul, miomeningokel

Kontinensia Urine

Indikator

Pola pengeluaran urine

dapat diprediksi

Pelatihan Kndung Kemih

Tindakan

Tentukan kemampuan untuk

mengenali urgensi berkemih

Tentukan pola berkemih

Tetapkan jadwal eliminasi

berdasarkan pola berkemih

Tingkatkan/kurangi interval

eliminasi berdasarkan

episode inkontinensia

Kateterisasi Urin:

Intermiten

Tindakan

Tentukan jadwal kateterisasi

berdasarkan pengkajian urine

yang komprehensif

Sesuaikan frekuensi

kateterisasi untuk

mempertahankan haluaran

3000 ml atau kurang

Ajarkan pasien/keluarga

tentang tujuan, suplai,

metode, dan rasional

kateterisasi intermiten

Manajemen Cairan

Pertahankan asupan 1000 ml

cairan per hari

Buat catatan asupan dan

14

Page 15: Makalah IU Komunitas

haluaran yang akurat

Hasil yang Diharapkan dan Intervensi Keperawatan: Inkontinensia Urgensi; Inkontinensia

Stres; Inkontinensia Urine Refleks; Inkontinensia Overflow; Inkontinensia Urine Fungsional;

Inkontinensia Total; Inkontinensia Iatrogenik; Inkontinensia Campuran (Lanjutan)

Diagnosis Keperawatan Hasil yang Diharapkan Intervensi Keperawatan

Inkontinensia Urin

Fungisonal

Batasan Karakteristik

Merasakah kebutuhan untuk

berkemih

Faktor yang

berhubungan/etiologi

Perubahan faktor lingungan

(toilet yang tidak familier

atau tidak nyaman, kurang

privasi, tidak ada bantuan,

pola pakaian yang

menghambat)

Defisit

mobilitas/kognitif/sensoris

(gangguan penglihatan, cara

berjalan/keseimbangan,

keterampilan tangan,

transfer, kekuatan,

ketahanan)

Faktor psikologis

Struktur penyokong/panggul

yang lemah

Kontinensia Urine

Indikator

Mampu berpakaian secara

mandiri

Mampu menata laksana toilet

secara mandiri

Perawatan Diri: Eliminasi

Indikator

Melepas pakaian

Menuju dan kembali dari

toilet

Manajemen Lingkungan

Intermiten

Tindakan

Sediakan alat adaptif

Sediakan toilet yang mudah

dicapai dan beri privasi,

bantuan, dan pakaian

Pelatihan Kebiasaan

Berkemih

Tindakan

Validasi ketidakmampuan

kognitif untuk mengenali dan

bertindak terhadap urgensi

Tetapkan jadwal eliminasi

berdasarkan pola berkemih

Bantu ke toilet dan dorong

agar berkemih pada interval

waktu yang diprogramkan

Tekankan bersama staf

pentingnya mematuhi jadwal

eliminasi

Manajemen Cairan

Tingkatkan asupan cairan

Buat catatan asupan dan

15

Page 16: Makalah IU Komunitas

haluaran yang akurat

Bantuan Perawatan Diri

Eliminasi

Tindakan

Motivasi untuk melakukan

perawatan diri sesuai tingkat

kemampuan

Bantu ke toilet pada interval

waktu tertentu

Hasil yang Diharapkan dan Intervensi Keperawatan: Inkontinensia Urgensi; Inkontinensia

Stres; Inkontinensia Urine Refleks; Inkontinensia Overflow; Inkontinensia Urine Fungsional;

Inkontinensia Total; Inkontinensia Iatrogenik; Inkontinensia Campuran (Lanjutan)

16

Page 17: Makalah IU Komunitas

Diagnosis Keperawatan Hasil yang Diharapkan Intervensi Keperawatan

Inkontinensia Total

Batasan Karakteristik

Aliran urine konstan terjadi

Nokturia

Pengisian kandung kemih

atau perineum kurang

sempurna

Tidak menyadari

inkontinensia

Faktor yang

berhubungan/etiologi

Anatomik (fistula)

Trauma medula spinalis

akibat pembedahan

Ureter ektopik

Uretra, kandung kemih, atau

orifisium ureter ektopik

kongenital

Defisiensi sfingter yang

parah

Integritas Jaringan: Kulit

dan Membran Mukosa

Indikator

Warna dalam rentang yang

diharapkan

Keutuhan kulit

Eliminasi Urin

Indikator

Asupan dan haluaran dalam

24 jam seimbang

Warna dan bau urine dalam

rentang yang diharapkan

Perawatan Diri: Higiene

Indikator

Membersihkan area

perineum

Bebas dari bau urine

Perawatan Inkontinensia

Urine

Tindakan

Sediakan bahan pakaian yang

berfungsi protektif

Bersihkan area kulit genitalia

pada interval teratur

Bantuan Perawatan Diri:

Mandi/Higiene

Tindakan

Beri bantuan sampai mampu

melakukan perawatan diri

Upayakan peralatan yang

dibutuhkan mudah dijangkau

Pantau bau urine

Hasil yang Diharapkan dan Intervensi Keperawatan: Inkontinensia Urgensi; Inkontinensia

Stres; Inkontinensia Urine Refleks; Inkontinensia Overflow; Inkontinensia Urine Fungsional;

Inkontinensia Total; Inkontinensia Iatrogenik; Inkontinensia Campuran (Lanjutan)

Diagnosis Keperawatan Hasil yang Diharapkan Intervensi Keperawatan

17

Page 18: Makalah IU Komunitas

Inkontinensia Iatrogenik

Batasan Karakteristik

Obat resep yang

memengaruhi fungsi urine

Peningkatan/penurunan dosis

obat yang diprogramkan

Pembatasan aktivitas yang

diprogramkan

Alat bantu kontinensia yang

diprogramkan

Faktor yang

berhubungan/etiologi

Program kesehatan yang

dibuat pemberi asuhan

(restrain, pembatasan cairan,

tirah baring, cairan IV, obat-

obatan)

Pengetahuan:Medikasi

Indikator

Deskripsi efek samping obat

Deskripsi teknik pemantauan

mandiri

Kontinensia Urine

Indikator

Bebas dari obat yang

mengganggu kendali

perkemihan

Asupan cairan dalam rentang

yang diharapkan

Tingkat Mobilitas

Indikator

Penyuluhan Pasien

Tindakan

Ajarkan tujuan intervensi

Ajarkan

tindakan/kewaspadaan

terhadap obat

Perujukan

Tindakan

Identifikasi asuhan

keperawatan/kesehatan yang

dibutuhkan

Lakukan pemantauan

berkesinambungan terhadap

kebutuhan perujukan

Pertukaran Informasi

Perawatan Kesehatan

Tindakan

Identifikasi diagnosis

keperawatan dan medis

terkini

Jelaskan intervensi

keperawatan yang sedang

diimplementasikan

Hasil yang Diharapkan dan Intervensi Keperawatan: Inkontinensia Urgensi; Inkontinensia

Stres; Inkontinensia Urine Refleks; Inkontinensia Overflow; Inkontinensia Urine Fungsional;

Inkontinensia Total; Inkontinensia Iatrogenik; Inkontinensia Campuran (Lanjutan)

Diagnosis Keperawatan Hasil yang Diharapkan Intervensi Keperawatan

18

Page 19: Makalah IU Komunitas

Inkontinensia Campuran

Batasan Karakteristik

Urgensi berkemih

Sering berkemih dengan

interval setiap kurang dari 2

jam

Kontraktur/spasme kandung

kemih

Nokturia (> 2 kali per

malam)

Mengeluarkan sedikit urine

(> 100 ml)

Ketidakmampuan mencapai

toilet tepat pada waktunya

Melaporkan atau tampak

mengalami dribbling urine

Kontinensia Urine

Indikator

Waktu yang adekuat untuk

mencapai toilet di antara

urgensi dan mikturisi

Bebas dari kebocoran urine

di antara waktu berkemih

Latihan Otot Panggul

Tindakan

Jelaskan kepada pasien untuk

mengencangkan, kemudian

merelaksasi cincin otot di

sekitar uretra dan anus,

seolah-olah mencoba

menahan berkemih atau

defekasi

Beri anjuran tertulis yang

menjelaskan intervensi dan

jumlah pengulangan yang

dianjurkan

Informasikan kepada pasien

bahwa keefektifan latihan

baru terlihat setelah enam

sampai 12 minggu

Biofeedback

Tindakan

Hubungan peralatan yang

diperlukan ke pasien

Bantu pasien belajar

memodifikasi respons tubuh

terhadap petunjuk peralatan

Beri umpan-balik terhadap

kemajuan setelah setiap sesi

Manajemen Cairan

Pertahankan catatan asupan

dan haluaran yang akurat

Pertahankan asupan 1000 ml

cairan per hari

19

Page 20: Makalah IU Komunitas

Tabel 22-6 Terapi

INKONTINENSIA URINE

Tipe Terapi Contoh Mekanisme Penggunaan

Obat Propantelin (Pro-

Banthine)

Mengurangi kontraksi

kadung

Inkontinensia urgensi

yang berkaitan

dengan

ketidakstabilan

kandung kemih

Imipramin (Tofranil) Mengurangi kontraksi

kadung

Inkontinensia urgensi

yang berkaitan

dengan

ketidakstabilan

kandung kemih

Oksibutinin

(Distropan)

Mengurangi kontraksi

kadung

Inkontinensia urgensi

yang berkaitan

dengan

ketidakstabilan

20

Page 21: Makalah IU Komunitas

kandung kemih

Flavoksat (Urispas) Mengurangi kontraksi

kadung

Inkontinensia urgensi

yang berkaitan

dengan

ketidakstabilan

kandung kemih

Efedrin (Sudafed) Menguatkan pintu

kandung kemih

Inkontinensia stres

yang berhubungan

dengan kelemahan

sfingter

Fenilpropranolamin

(Ornade)

Menguatkan pintu

kandung kemih

Inkontinensia stres

yang berhubungan

dengan kelemahan

sfingter

Estrogen (Premarin) Meningkatkan jaringan

penopang di sekitar

uretra

Inkontinensia stres

Betanekol oral atau

topikal (Urecholine)

Meningkatkan

kontraksi kandung

kemih

Inkontinensia overflow

Prosedur

Latihan

Latihan kebiasaan Tenaga perawatan

menentukan pola

inkontinensia yang

dialami individu dan

membawanya ke

toilet dengan tepat

Inkontinensia urgensi

Latihan penguatan

kandung kemih

Tenaga perawatan

menerapkan rutinitas

pemberian cairan

dan eliminasi

disertai upaya

memperpanjang

interval eliminasi

untuk meningkatkan

Inkontinensia urgensi

setelah penggunaan

kateter

21

Page 22: Makalah IU Komunitas

kapasitas kandung

kemih atau memulai

berkemih normal

Latihan dasar panggul Latihan untuk

menguatkan otot

panggul

Inkontinensia overflow

setelah overdistensi,

cedera, atau stres

Biofeedback Dengan menggunakan

alat khusus, pasien

dilatih menghambat

kontraksi kandung

kemih atau

mengontraksi otot

panggul

Terutama inkontinensia

urgensi yang

berkaitan dengan

ketidakstabilan

kandung kemih dan

inkontinensia stres

yang disebabkan

oleh kelemahan

sfingter

Tabel 22-6 Terapi

INKONTINENSIA URINE (Lanjutan)

Tipe Terapi Contoh Mekanisme Penggunaan

Modifikasi perilaku Tenaga perawatan

memberi pujian

kepada individu

penderita inkontinensia

atas kemampuannya

mempertahankan

pakaian dalam yang

dikenanakan tetap

kering

Inkontinensia yang

dikaitkan dengan

gangguan jiwa

atau emosi;

beberapa bentuk

inkontinensia

fungsional.

Data dari Ouslander, J.B., dan Kane, R.L. (1984). The cost of urinary incontinence is nursing

homes. Medical Care, 22, 69-79).

22

Page 23: Makalah IU Komunitas

Sampai Infeksi dan inkotinensia teratasi, kemudian sekurang-kurangnya setiap bulan (Fantk

et al., 1996).

INTERVENSI KEPERAWATAN

Penanganan untuk inkontinensia urine mencakup penggunaan alat untuk

mengumpulkan atau mencegah aliran urine, obat-obatan atau terapi prosedur bedah untuk

memperbaiki obstruksi atau mengoreksi patologi lain pada kandung kemih, dan prosedur

pelatihan yang mengubah perilaku pasien dalam beberapa cara (Ouslander et al., 1985). Lihat

tabel 22-1 untuk mengetahui daftar intervensi medis utama untuk semua tipe inkontinensia.

Prosedur bedah, yang pada dasarnya merupakan manajemen medis, tidak dibahas pada bab

ini. Pembahasan tentang obat terbatas pada implikasi dengan intervensi keperawatan. Alat

yang digunakan untuk mengumpulkan urine (misalnya, kateter kondom, pispot, atau celana

dalam sekali pakai) tidak mengurangi jumlah atau frekuensi episode inkontinen, tetapi hanya

menata laksana inkontinensia urine dengan laksana inkontinensia urine dengan menampung

dan mengaborsi urine (McCormick & Burgio, 1984). Dengan demikian, bab ini fokus pada

intervensi keperawatan, yang beberapa diantaranya tidak tertera dalam tabel 22-1. Jika

berhasil, intervensi keperawatan ini pada akhirnya diharapkan menghasilkan Kontinensia

Urine atau penerunan jumlah atau frekuensi episode inkontinensia.

Beberapa intervensi yang terdapat digunakan oleh perawat bertujuan mengendalikan

jumlah episode inkontinensia yang dialami klien. Intervensi tersebut mencakup intervensi

NIC, antara lain : Latihan Dasar Panggul; Pelatihan Kebiasaan Berkemih, Pelatihan Kandung

Kemih; dan Keteterisasi Urine: Intermiten (Lowa intervention Project, 2000). Intervensi

keperawatan tambahan yang memiliki dasar penelitian, yang kurang kuat, juga dijelaskan

secara singkat.

Latihan Dasar Panggul

Latihan Dasar Panggul melibatkan kontraksi berulang otot pubokoksigeus, otot yang

membentuk struktur penyokong panggul dan mengelilingi pintu panggul pada vagina, uretra,

dan rektrum (Newman & Smith, 1992; Taylor & Henderson, 1986). Latihan dasar panggul,

yang sering kali disebut senam Kegel, pertama kali dijelaskan oleh Arnold H. Kegel sebagai

23

Page 24: Makalah IU Komunitas

pilihan terapi untuk klien inkontinensia stres (Kegel, 1948). Sasaran kontraksi berulang ini

adalah menguatkan otot pubokoksigeus dan mengurangi episode inkontinensia. Latihan

terkait mencakup memulai dan menghentikan aliran urine ketika berkemih, dengan tujuan

menguatkan pintu keluar kandung kemih. Dengan demikian, latihan latihan dasar panggul

diprogramkan untuk mengobati klien penderita inkontinensia stres yang berhubungan dengan

kelemahan otot panggul dan/ atau kelemahan pintu keluar kandung kemih.

Latihan dasar panggul juga dianjurkan untuk individu yang mengalami inkontinensia

urgensi. Latihan ini meningkatkan tonus otot dasar panggul dan meningkatkan penurunan

urgensi (Newman & Smith , 1992). Dengan menguatkan otot dasar panggul pada saat urgensi

berkemih dirasakan, individu mampu meningkatkan kapasitas kandung kemih dan menunda

episode inkontinensia. Intervensi ini sering kali dilakukan bersama program pelatihan

kapasitas kandung kemih (Burgio, whitehead, & Engel, 1985; Newman & Smith, 1992).

Peneliti menggunakan berbagai protokol latihan dalam penelitian mereka. Sebagai

contoh, pada satu penelitian, klien dianjurkan mengencangkan otots relaksasinya, lalu

mengulangi latihan tersebut sebanyak 100 kali sepanjang hari (Taylor & Henderson, 1986).

Pada penelitian lain, klien dianjurkan melakukan latihan sfingter sebanyak 50 kali setiap hari

dalam tiga posisi (berbaring, duduk, dan berdiri) dan mengontraksi otot mereka setelah

mengangkat benda atau bentuk (Burgio et al., 1985).

Beberapa penelitian lain mendemonstrasikan efek latihan dasar panggul pada kekuatan

otot panggul (Burn, Pranikoff, Nochajski, Desotelle, & Harwood, 1990; Henderson & Taylor,

1987: Tchou, Adams, Varner & Denton, 1988; wilson, Al Samarrai, Deakin, Kolbe & Brown,

1987). Kebanyakan penelitian merekomendasikan bahwa klien perlu dimotivasi dan secara

kognitif mampu melakukan latihan tersebut, dan bahwa beberapa pengulangan latihan perlu

dilakukan setiap hari. Taylor dan Henderson merekomendasikan agar klien melanjutkan

latihan tersebut sepanjang hidup mereka. Kendati tidak mencakupkan rekomendasi tersebut,

Burgio et al. (1985) mencatat bahwa dua dari tiga pasien yang melaporkan mengalami lebih

sedikit episode inkontinensia saat kontrol 12 bulan pascaterapi ternyata terus melanjutkan

latihan mereka.

Kendati penggunaan senam kegel atau mengatasi inkontinensia stres tidak

membutuhkan alat bantu untuk mengukur kontraksi otot, banyak penelitian menyertakan

biofeedback sebagai bagian strategi intervensi tersebut (burgio et al., 1985; Burgio, Robinson,

& Engel, 1986; Taylor & Henderson, 1986). Kegel mengukur kekuatan kontraksi otot

24

Page 25: Makalah IU Komunitas

pubokoksigeus menggunakan perineometer, bilik udara termampatkan, yang diinsersi ke

dalam vagina dan disambungkan ke manometer. Klien mengontraksi otot-otot vagina, dan

perineometer mencatat kekuatan kontraksi tersebut. Klien yang melakukan latihan tersebut

dan mampu mengukur kemajuan yang dicapai menggunakan perinometer secara objektif.

Evaluasi lebih lanjut keberhasilan program latihan diukur sebagai reduksi dalam episode

inkontinensia (Kegel, 1948). Instrumen biofeedback lain telah diancang, tetapi prinsip dasar

pengukuran kekuatan kontraksi otot tetap sama (Dougherty, Abrams, & Mckey, 1986; olah,

1990; Peattie, Plevnik, & Stanton, 1988). Taylor dan Henderson (1986) menemukan bahwa

klien yang menerima biofeedback pada awal dan akhir periode terapi, mencapai kontinensia

dari pada jika hanya melakukan latihan saja (Clinical News, 1986; Olah, 1990; Peattie et al.,

1988). Stimulasi listrik membawa hasil yang menjanjikan jika latihan diulang, tetapi

penelitian yang ada sangat terbatas dan terlalu beragam untuk menggeneralisasi hasil. Dengan

demikian, lebih banyak riset dibutuhkan untuk menentukan keefektifan stimulasi listrik

sebagai tambahan latihan otot panggul (Newman & Smith, 1992).

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, menaikkan dasar panggul juga merupakan

terapi yang bermanfaat untuk mengatasi inkontinensia urgensi. Burgio et al. (1985)

mengombinasi latihan dasar panggul dengan program yang bertujuan mengajarkan klien cara

yang lebih efektif mengatasi urgensi berkemih. Dalam tindak lanjut selama enam bulan

terhadap delapan klien yang ditangani dengan program ini, lima diantaranya menjadi

kontinensia total dan tiga yang lain menunjukkan, secara rata-rata, 84% perbaikan dalam

frekuensi episode inkontinensia.

MENGIMPLEMENTASIKAN INTERVENSI LATIHAN PANGGUL

Sebelum mempraktikkan latihan dasar panggul, lansia harus mengetahui otot yang

digunakan dalam latihan tersebut dan kemudian mampu mengencangkan otot tersebut dalam

pola latihan yang terjadwal teratur. Instruksi tertulis sangat membantu mengidentifikasi

bagian belakang dasar panggul :

Duduk atau berdiri. Relaksasi otot tungkai, bokong, dan abdomen.

Bayangkan Anda mencoba manahan defekasi dengan mengencangkan cincin otot di

sekeliling anus.

25

Page 26: Makalah IU Komunitas

Pengetahuan tentang otot bagian depan dasar panggul ditingkatkan dengan meminta

lansia menghenikan, kemudian memulai kembali, aliran urine. Melakukan latihan ini setiap

kali berkemih memastikan bahwa latihan ini dilakukan secara teratur (Mandelsam, 1980;

Newman& smith, 1992). Perbaikan inkontinensia biasanya baru terlihat pada minggu ke-12

(Benvenuti et al., 1987; Mccormick & Burgio, 1984; Newman & Smith, 1992). Umpan balik

dan motibasi perlu diberikan agar pasien dapat melakukan latihan tersebut cukup lama,

sehingga hasilnya dapat terlihat.

PELATIHAN KANDUNG KEMIH DAN PELATIHAN KEBIASAAN BERKEMIH

Kendati kedua istilah ini, sering kali dianggap sama, pelatihan kandung kemih dan

pelatihan kebiasaan berkemih mencerminkan dua intervensi yang berbeda. Sasaran dua

intervensi tersebut berbeda. Pelatihan kandung kemih melibatkan pemanjangan atau

pemendekan bertahap periode diantara berkemih, dengan sasaran memulihkan pola berkemih

dan mengembalikan kontinensia (Ouslander & Usman, 1985; Ouslander et al., 1985).

Pelatihan kebiasaan berkemih dilakukan dengan menyesuaikan jadwal eliminasi dengan

respons klien guna menghindari episode inkontinensia. Tidak ada upaya untuk

mengembalikan pola berkemih normal (Ouslander & Umans, 1985; Ouslander et al., 1985).

Istilah lain yang sering digunakan adalah eliminasi terjadwal. Eliminasi terjadwal sama

dengan eliminasi tetap dan tidak didasarkan pada pola inkontinensia klien (Gressngold &

Ouslander, 1986).

Pelatihan kandung kemih, yang juga dianggap sama dengan reedukasi kandung kemih

atau latihan kandung kemih, merupakan pilihan terapi untuk klien inkontinensia urgensi

akibat overdistensi atau penurunan kapasitas kandung kemih (Ouslander & uman, 1985).

Ketika kapasitas kandung kemih menurun, waktu antar-berkemih secara bertahap mamanjang

sampai klien mampu berkemih satu kali setiap dua sampai empat jam, tanpa mengalami

inkontinensia. Ketika kandung kemih overdistensi, kemungkinan akibat cedera atau

pengunaan obat, waktu antar berkemih secara bertahap memendek sampai pola berkemih

normal dapat dicapai. Kandidat untuk pelatihan kandung kemih harus secara fisik dan mental

mampu melakukan eliminasi secara mandiri, dan mereka harus dimotivasi untuk

melakukannya (Greengold & Ouslander, 1986).

26

Page 27: Makalah IU Komunitas

Dalam tinjauan terhadap banyak penelitian tentang program pelatihan kandung kemih,

Hadley (1986) melaporkan bahwa angka penyembuhan memiliki rentang dari 44% sampai

100%. Protokol pelatihan kandung kemih berbeda dalam berbagai cara. Beberapa penelitian

mengizinkan klien menjadwalkan sendiri waktu berkemih mereka, sementara penelitian lain

menetapkan jadwal wajib berkemih, mulai dari setengah jam sampai empat jam. Panjang

interval tujuan, ketika diidentifikasi, adalah empat jam. Kebanyakan penelitian ini merupakan

uji coba klinis, kendati beberapa penelitian melibatkan kelompok kontrol. Beberapa protokol

melibatkan interval tambahan, seperti penggunaan terapi obat secara bersamaan atau

penggunaan pencatatan mandiri pola inkontinensia/ berkemih (hadley, 1986). Penelitian lain

melaporkan peningkatan kontinensia setelah dilakukan intervensi pelatihan kandung kemih

(Fantl et. al., 1991; Ferrie, Smith, Logan, Lyle & Paterson, 1984; Jarvis & Miliar, 1980;

Pengelly & Booth, 1980).

Beberapa interbensi lain juga diidentifikasi sebagai bagian protokol pelatihan kandung

kemih, termasuk asupan cairan sebanyak 1.500 sampai 20000 ml per hari, pengaturan waktu

asupan cairan yang cermat, pengosongan kandung kemih secara tuntas, pemakaian teknik

untuk menghambat atau menstimulasi mikturisi, distraksi , relaksasi, dan pemberian

penguatan (Fantl et al., 1996; Ouslander & Uman, 1985; Specht, 1986). Beberapa intervensi

ini telah diuji, tetapi penelitian tambahan perlu dilakukan untuk memilih dan secara

sistematik menguji tambahan intervensi tersebut.

Seperti yang telah dijelaskan, pelatihan kebiasaan berkemih digunakan untuk

menghindari episode inkontinensia, bukan mengembalikan pola berkemih normal. Pelatihan

ini dapat sangat berhasil pada klien yang mengalami gangguan jiwa atau gangguan fisik

karena secara umum bergantung pada motivasi staf untuk melatih klien ke toilet, bukan pada

motivasi klien (Ouslander & Usman, 1985; Ouslander et al., 1985). Untuk itu, pelatihan

kebiasaan berkemih merupakan pilihan terapi pada klien inkontinensia fungsional yang

berhubungan dengan defisit perseptual/ kognitif atau defisit fisik (Osslander & Uman, 1985).

Pelatihan kebiasaan berkemih sering digunakan di fasilitas perawatan jangka panjang,

kendari banyak panti wreda menggunakan protokol eliminasi terhadwal tetap (bukan

fleksibel) setiap dua jam (Ouslander & Uman, 1985).

Hanya ada sedikit penelitian yang menganalisis keefektifan pelatihan kebiasaan

berkemih atau eliminasi terjadwal. Harley (1986) meninjau tiga penelitian yang

memperhatikan angka kesembuhan sebesar 26% sampai 68%. Penelitian ini juga

27

Page 28: Makalah IU Komunitas

mencakupkan intervensi lain, seperti penguatan dari staf, eliminasi dengan alat bantu, asupan

cairan terjadwal, atau penggunaan obat. Long (1985) mendeskripsikan intervensi lain, seperti

penguatan dari staf eliminasi dengan alat bantu, asupan cairann terjadwal, atau penggunaan

obat. Long (1985) mendeskripsikan intervensi pelatihan kebiasaan berkemih pada klien lansia

di fasilitas perawatan jangka panjang. Terapi ini mencakup protokol pelatihan kebiasaan

berkemih yang fleksibel, asupan cairan yang diprogramkan, pembuatan catatan tentang

inkontinensia, dan metode eliminasi yang diprogramkan (sesuai kondisi masing-masing

individu). Penulis melaporkan bawha bagian tersulit penelitian tersebut adalah mengorientasi/

memotivasi staf terhadap protokol pelatihan tersebut. Hasil penelitian tersebut

mengindikasikan bahwa kenerhasilan pelatihan kebiasaan berkemih berkaitan dengan status

kejiwaan. Semakin tinggi tingkat gangguan jiwa, semakin kecil kemungkinan klien berhasil

mencapai kontinensia. Schnelle dan rekan melakukan serangkaian penelitian untuk menguji

pelatihan kebiasaan berkemih, yang dikombinasi dengan respons berkemih yang tepat dan

pemberian penguatan positif; penelitian ini menunjukkan keberhasilan dalam mengurangi

insiden mengompol dan mengurangi biaya perawatan inkontinensia (Schnelle, 1990;

Schnelle, Newman, & Fogarty, 1990; Schnelle et al., 1989). Namun, Schnelle dan rekan juga

mencatat bahwa peningkatan kontinensia kemungkinan lebih mudah dicapai melalui

pemberian penguatan positif dan peningkatan kesempatan ke toilet. Dengan demikian,

tindakan ini cenderung berhasil untuk individu yang menderita inkontinensia fungsional.

Respons berkemih yang tepat terbukti efektif dalam meningkatkan hasil pakaian dan linen

tetap kering pada penghuni panti wreda yang mengalami inkontinensia sedang, memgalami

gangguan kognitif atau memiliki fungsi kognitif normal, dan bergantung Burgio et al., 1994;

& Leahy, 1992; Schnelle, 1990). Namun, sangat sulit mempertahankan ketahanan kerja staf

dalam mengidentifikasi pengaturan staf yang buruk, pendidikan dan motivasi staf yang

kurang sebagai alasan intervensi berkemih yang tidak bertahan lama (Lekan Rutledge, Palmer

& Belyea, 1998).

Colling, Ouslander, Hadley, Eisch, dan Campbell (1992) memperlihatkan penurunan

insiden inkontinensia yang bermakna pada 86% subjek dalam penelitian berkontrol terhadap

penelitian kebiasaan berkemih selama tiga bulan. Peneliti mengidentifikasi pola berkemih 51

pernghuni panti wreda menggunakan alat pemantau elektronik dan memminta staf perawat

membawa penghuni panti wreda ke toilet berdasarkan pola frekuensi berkemih tersering

infividu. Perbaikan inkontinensia pada kelompok intervensi mencapai 25% atau lebih di atas

28

Page 29: Makalah IU Komunitas

data dasar jika dibandingkan dengan angka perbaikan pada kelompok kontrol. Layaknya pada

penelitian lain, ketahanan kerja staf untuk menjalani intervensi sulit dipelihara.

Mengimplementasi Pelatihan Kandung kemih dan pelatihan Kebiasaan Berkemih.

Pelatihan Kandung Kemih dan Pelatihan Kebiasaan Berkemih merupakan dua intervensi

berbeda, tetapi metode intervensi tersebut sama. Perbedaan utama terletak pada individu yang

memiliki tanggung jawab utama untuk mengimplementasikan intervensi tersebut. Staf dan

pemberi asuhan memikul tanggung jawab utama dalam intervensi Pelatihan Kebiasaan

Berkemih, sementara lansia bertanggung jawab dalam pelatihan kandung kemih. Selain itu,

Pelatihan Kandung Kemih berakhir dengan peningkatan fungsi kandung kemih, sementara

pelatihan Kebiasaan Berkemih dapat meningkatkan keterdugaan waktu berkemih dan jadwal

yang dapat dipraktikkan oleh pemberi asuhan dan individu lansia.

Long (1985) dan Specht (1981) menggunakan protokol berikut, yang mencakup dalam

intervensi NIC Pelatihan Kandung Kemih dan Pelatihan Kebiasaan Berkemih :

1. Kumpulkan data tentang pola asupan cairan, pola berkemih (Catatan Karakteristik

Kontinensia Urine selama tiga hari; lihat Pedoman Pengkajian 22-2), sensasi dan

kesadaran, masalah kesehatan yang menjadi penyebab, dan kemungkinan pelatihan ulang

(fungsi kognitif yang utuh hingga gangguan fungsi kognitif ringan memungkinkan

partisipasi dalam program pelatihan kandung kemih) (Long, 1985). Pelatihan kebiasaan

paling berhasil bila diterapkan pada individu bergantung yang mengalami inkontinensia

sedang.

2. Bawa atau minta individu tersebut ke tiolet, atau minta ia menggunakan pistol ketika

terjaga. Bantu atau ingatkan individu untuk ke toilet sesuai jadwal pada waktu tertentu

ketika ia terjaga dan keketika terjaga di malam hari. Lansia harus berada di toilet tidak

lebih dari lima menit. Apabila ia tidak berkemih, lakukan upaya untuk mendorong

mikturisi, misalnya, mengusap bagian dalam paha, menarik napas dalam, mengejan,

membungkuk membentuk sudut lancip, meminum cairan, dan memberikan tekanan

manual pada kandung kemih.

3. Ulangi langkah sebelumnya pada awal interval yang telah ditetapkan di dalam catatan

kontinensia dan menjelang tidur. Apabila inkontinensia terjadi sebelum interval berakhir,

kurangi interval tersebut selama setengah jam. Jangan pergi ke toilet dengan interval lebih

sering dari setiap satu sampai dua jam, karena berkemih yang terlalu sering menyebabkan

29

Page 30: Makalah IU Komunitas

berkemih dengan volume sedikit secara kronis, yang mengakibatkan penurunan kapasitas

kandung kemih, peningkatan tonus detrusor, dan penebalan dinding kandung kemih

(Long, 1985). Tingkatkan interval ke toilet setengah jam jika pasien tidak mengalami

episode inkontinensia dalam 48 jam atau sampai jadwal optimal bagi pasien atau jika

jadwal setiap empat jam tercapai.

4. Pertahankan jadwal pemberian cairan yang telah disetujui (lihat bahasan Meningkatkan

Cairan).

5. Buat catatan episode kontinensia dan inkontinensia.

6. Beri pujian atas keberhasilan pasien (tentukan apa yang termasuk pujian menurut

pandangan pasien); dukung dan motivasi pasien ketika ia mengalami episode

inkontinensia.

Dalam penelitian Long (1985), jadwal harian berkemih dengan interval tiga sampai

empat jam tanpa episode inkontinensia baru dapat ditetapkan setelah empat hari hingga enam

minggu intervensi, dan pada saat pemulangan, 97% pasien yang sebelumnya inkontinensia

mampu mencapai kontinensia. Jika menambahkan intervensi mendorong untuk berkemih ke

dalam intervensi pelatihan kandung kemih, tindakan utama yang harus dilakukan adalah

mendorong dan memberi pujian, di samping program dan memberi pujian, di samping

program dan memberi pujian, di samping program pemantauan dan bantuan eliminasi (Fantl

et al., 1996; Iowa Intervention Project, 2000).

MENINGKATKAN ASUPAN CAIRAN SEBAGAI PENUNJANG PELATIHAN

KANDUNG KEMIH DAN KEBIASAAN BERKEMIH

Program untuk meningkatkan asupan cairan bertujuan meningkatkan kapasitas kandung

kemih dan menurunkan aktivitas detrusor (Colling, Owen, & McCreedy, 1994). Tindakan

khusus asupan cairan tercakup dalam intervensi NIC untuk mengatasi inkontinensia. Individu

lansia yang menderita inkontinensia biasanya mengurangi asupan cairan, sering kali sampai

turun di bawah 500 sampai 600 ml/ hari, sebagai upaya untuk tetap kontinensia (Specht,

1981). Individu lansia mengalami penurunan jumlah cairan tubuh total dan berisiko

mengalami dehidrasi sehingga asupan cairan sangat penting 9Davis & Minaker, 1994). Hasil

yang diharapkan, yaitu asupan sebanyak 2.000 ml. Namun inkontinensia terbukti berkurang

30

Page 31: Makalah IU Komunitas

jika asupan cairan sebanyak 1.200 sampai 1.800 ml/ hari dicapai dan dipertahankan

(Spangler, Risely, & Bilyew, 1984; Specht, 1981). Kontraindikasi untuk meningkatkan

cairan, misalnya jika gagal jantung kongestif merupakan komorbiditas, harus

dipertimbangkan dalam merencanakan program cairan. Merencanakan aktivitas kehidupan

sehari-hari untuk meningkatkan asupan cairan sebagai tindakan untuk meningkatkan

kontinensia mencakup elemen, yang beberapa diantaranya termasuk ke dalam tindakan NIC,

sebagai berikut.

1. Jelaskan bagaimana peningkatan asupan cairan dapat memperbaiki kontinensia.

2. Diskusikan dengan individu atau pemberi asuhan keluarga untuk mempertahankan

catatan asupan dan haluaran.

3. Diskusikan dengan individu atau pemberi asuhan keluarga untuk mencatat episode

inkontinensia.

4. Diskusikan jadwal asupan cairan yang berterima dan dapat dipraktikkan terkait jumlah

dan jenis cairan yang ditingkatkan secara bertahap hingga mencapai tujuan asupan cairan

yang telah disepakati.

5. Beri pujian dan dukungan terhadap upaya yang telah dilakukan oleh lansia (tentukan apa

yang dimaksud dengan pujian dan dukungan menurut pandangan individu).

6. Bekerja sama dengan pasangan, anggota keluarga, dan teman klien, sehingga tindakan

mereka tidak bertentan dengan rencana yang telah disusun.

Peningkatan asupan cairan harus dilakukan beriringan dengan program eliminasi

terjadwal, khususnya jika ada faktor, seperti hambatan fungsional atau gangguan jiwa, yang

menjadi penyebab tambahan atau turut menyebabkan inkontinensia.

KETETERISASI INTERMITEN

Keteterisasi menetap yang kontinu merupakan strategi penatalaksanaan yang tepat

untuk sebagian kecil klien inkontinensia : klien yang mengalami retensi urine yang tidak

berhasil diobati melalui intervensi pembedahan atau farmakologi atau melalui kateterisasi

31

Page 32: Makalah IU Komunitas

intermiten; beberapa individu yang menderita penyakit terminal; dan individu tertentu yang

mengalami kerusakan integritas kulit yang sangat parah (Fantl et al., 1996; Ouslander er al.,

1985). Sayangnya, kateter menetap digunakan pada sekitar 10% sampai 30% individu

penderita inkotinensia yang dirawat di fasilitas utama infeksi saluran kemih (Ouslander et al.,

1985). Jika katetet menetap digunakan, balon kateter tidak lepas dan mencegah risiko

obstruksi (Fiers, 1994).

Penggunaan kateterisasi bersih intermiten oleh pasien maupun pemberi asuhan secara

teratur marupakan alternatif penggunaan kateter menetap. Penggunaan teknik tersebut dapat

direkomendasikan pada klien yang mengalami retensi urine yang berhubungan dengan

kelemahan otot detrusor (seperti pada neuropati diabetik) atau sumbatan uretra (seperti pada

hipertrofi prostat jinak) dan pada klien inkontinensia refleks akibat cedera medula spinalis

(Ouslander & Uman,1985; Ouslander et al., 1985; Specht, 1986).

Kateterisasi intermilan pertama kali diperkenalkan setelah Perang Dunia II sebagai

teknik pelatihan kandung kemih untuk pasien paraplegik dan kuadraplegik (Champion,

1976), pada waktu itu, kateterisasi intermilan dilakukan hanya dalam kondisi steril oleh

dokter. Pasien tersebut dikaterisasi secara sering sepanjang hari. Prosedur tersebut efektif,

layaknya pelatihan kandung kemih. Penelitian awal menunjukkan bahwa pasien yang dilatih

dengan cara tersebut selama sekitar tujuh minggu mampu berkemih ketika pulang dari rumah

sakit (Guttman & Frankel, 1966). Sejak saat itu, prosedur tersebut dimodifikasi dan, saat ini,

dianggap sebagai katerisasi bersih (tidak steril) mandiri. Prosedur ini digunakan dalam

pelatihan kandung kemih dan untuk klien lain yang mengalami gangguan suplai saraf ke

kandung kemih (Champion, 1976; Sadowski & Duffy, 1988; Werren, 1990; Webb. Lawson,

& Neal, 1990).

Overdistensi kandung kemih memperlambat sirkulasi kandung kemih dan membuat

kandung kemih rentan terhadap infeksi. Kateterisasi kandung kemih yang sering dilakukan

dapat mencegah overdistensi dan menungkinkan kandung kemih melawan infeksi (Horsley,

Crane, & Haller, 1982). Teknik ini terbukti menurunkan insiden komplikasi yang berkaitan

dengan penggunaan kateter menetap (Ouslander et al., 1985). Penekanan diberikan bukan

pada mempertahankan sterilitas, melainkan pada pengosongan kandung kemih dengan sering.

Klien atau pemberi asuhan dapat diajarkan prinsip dasar kateterisasi dan prosedur

kateterisasi dengan menggunakan teknik bersih. Pasien sering kali tetap mendapat antibakteri

untuk periode dua sampai tiga minggu, beserta obat antikolinergik atau kolinergik untuk

32

Page 33: Makalah IU Komunitas

membantu pengendalian kandung kamih (horsley et al., 1982). Pasien calon pengguna

kateterisasi intermiten mandiri harus memiliki keterampilan manual untuk memanipulasi

kateter dan harus dimotivasi untuk melakukan teknik tersebut dengan sering sepanjang hari

(biasanya ketika kandung kemih distensi dengan kurang lebih 300 ml cairan) dan dibeberapa

tatanan. Pemberi asuhan juga harus memiliki keterampilan manual yang berkualitas dalam

melakukan prosedur tersebut.

Lapides dan rekan (1975) melaporkan tinjauan terhadap 218 pasien yang diajarkan

melakukan kateterisasi intemiten bersih. Subjek berusia antara 4 dan 84 tahun, dengan 145

subjek berusia antara 21 dan 84 tahun. Subjek tersebut memiliki diagnosis yang berbeda,

terkait kesulitan berkemih dan inkontinensia. Hasil penelitian ini mengidentifikasikan bahwa

pada klien yang mengalami inkontinensia yang berhubungan dengan kontraksi refleks

kandung kemih atau inkontinensia overflow, katerisasi intermiten bersih yang dikombinasi

dengan obat antikolinergik dan alfa-adrenergik dapat meredakan inkontinensia, serta

dermatitis perineum kronis (lapides, Diokno, Gould & Lowe, 1975).

Kateterisasi intermiten merupakan prosedur bersih, bukan steril, dengan penekanan

pada frekuensi, bukan pada sterilitas. Namun, prinsip steril dalam menjalankan prosedur

tersebut sangat dianjurkan bagi individu lansia yang luluh imum (Fantl et al., 1996). Tujuan

kateterisasi intermiten adalah memperhatankan volume urine di dalam kandung kemih 300

ml atau kurang. Tujuan ini dapat dicapai melalui kateterisasi setiap dua sampai tiga jam

ketika individu dalam keadaan terjaga dan dilakukan satu sampai dua kali pada malam hari.

Intervensi NIC mencakup tindakan untuk mengimplementasikan katerisasi bersih atau steril

(lowaintervention Project, 2000).

Calon pelaksana prosedur kateterisasi mandiri harus memenuhi kriteria berikut.

1. Keterampilan manual dan kemampuan mental yang memadai untuk melakukan prosedur

secara keseluruhan pada interval yang sering, atau ketersediaan individu lain yang akan

melakukan prosedur tersebut untuknya.

2 Kapasitas kandung kemih 100 ml atau lebih.

3. Uretra yang utuh dan bebas dari striktur.

Tindakan ini berhasil melakukan secara rutin di lowa Veterans pada penghuni yang

memiliki kandung kemih atonik. Perawat mengalami kesulitan pindah ke pendekatan bersih,

33

Page 34: Makalah IU Komunitas

bukan steril dan mengeluh tentang frekuensi terapi tersebut. Perawat, keluarga, dan individu

lansia harus memahami prinsip metode ini. Kendati harus diuji lebih lanjut, pendekatan ini

sangat menjanjikan dan lebih dipilih daripada pemasangan kateter menetap. Namun, harus

dicatat bahwa katerisasi intermiten bersih lebih banyak diteliti pada klien anak dan dewasa

muda ketimbang klien lansia. Hingga kini masih belum jelas, misalnya, apakah komplikasi

lebih umum terjadi dalam populasi geriatrik (Fantl et al., 1996). Prinsip teiretis yang

mendukung kateterisasi intermiten dengan prinsip bersih tetap sama pada klien lansia, tetapi

penelitian lebih lanjut terhadap intervensi ini perlu dilakukan untuk mendukung kemanfaatan

intervensi ini bagi individu lansia.

PILIHAN TERAPI LAIN

Intervensi tambahan dapat diindikasikan, bergatung pada tipe dan etiologi inkontinensia

urine klien. Misalnya, klien yang mengalami inkontinensia fungsional yang berhubungan

dengan defisit fisik mungkin memperoleh manfaat dari program penguatan otot dan dari

modifikasi lingkungan untuk mengurangi hambatan antara klien dan kursi buang air.

Demikian pula, impaksi fekal dapat menyingkirkan dugaan inkontinensia overflow yang

berhubungan dengan obstruksi pintu ke luar kandung kemih 9Specht, 1986). Inkontinensia

urgensi yang berhubungan dengan iritasi kandung skemih dapat disingkirkan dengan asupan

cairan 1.500 sampai 2.000 ml, jika iritasi tersebut terjadi akibat urine yang sangat pekat pada

klien dehidrasi (Colling et al., 1994; Specht, 1986). Penelitian lebih lanjut perlu dilakukan

untuk menentukan intervensi yang paling bermanfaat, memuaskan, dan hemat biaya untuk

klien lansia.

34

Page 35: Makalah IU Komunitas

DAFTAR PUSTAKA

Brunner&Suddart. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Edisi 8 Vol 1. Jakarta:

EGC.

Mass Meridean L, et al. 2011. Asuhan Keperawatan Geriatrik: Diagnosis Nanda Kriteria

Hasil Noc, Intervensi Nic. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC

Setiati S dan Pramantara IDP. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam .Sudoyo AW et al. editor.

Jakarta : Interna Pulishing ;2009 : 865-875

35