makalah ibnu hazm baru

27
BAB I PENDAHULUAN Para imam mujtahid seperti imam Hanafi, Maliki, Syafi’I dan imam Ahmad bin Hambal, sudah cukup dikenal di Indonesia oleh sebahagian besar umat Islam. Bagi ilmuwan, selain imam mazhab yang empat tersebut, juga dikenal seperti imam Daud Az-Zhahiri, imam Ibnu Hazm, imam Syi’ah Zaidiyah, Syi’ah Imamiyah dan imam mujtahid lainnya. Akan tetapi untuk mengetahui pola pemikiran masing-masing imam mazhab itu sangat terbatas.bahkan ada yang cenderung hanya ingin mendalami mazhab tertentu atau karena ilmu yang diterima hanya dari ulama/guru yang menganut suatu mazhab saja. Menganut suatu aliran mazhab saja, sebenarnya tidak ada larangan, tetapi jangan hendaknya menutup pintu rapat-rapat, sehingga tidak dapat melihat pemikiran-pemikiran yang ada pada mazhab yang lain yang juga bersumber dari alquran dan sunnah Rasulullah SAW. Hal ini dimaksudkan agar seseorang tidak fanatik kepada satu mazhab. Andaikata sukar menghindari kefanatikan kepada satu mazhab, sekurang-kurangnya mampu menghargai pendapat orang lain yang berbeda dengan pendapatnya. Di 1

Upload: 0102084686

Post on 30-Dec-2015

443 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

Page 1: Makalah Ibnu Hazm Baru

BAB I

PENDAHULUAN

Para imam mujtahid seperti imam Hanafi, Maliki, Syafi’I dan imam

Ahmad bin Hambal, sudah cukup dikenal di Indonesia oleh sebahagian besar umat

Islam. Bagi ilmuwan, selain imam mazhab yang empat tersebut, juga dikenal

seperti imam Daud Az-Zhahiri, imam Ibnu Hazm, imam Syi’ah Zaidiyah, Syi’ah

Imamiyah dan imam mujtahid lainnya. Akan tetapi untuk mengetahui pola

pemikiran masing-masing imam mazhab itu sangat terbatas.bahkan ada yang

cenderung hanya ingin mendalami mazhab tertentu atau karena ilmu yang

diterima hanya dari ulama/guru yang menganut suatu mazhab saja.

Menganut suatu aliran mazhab saja, sebenarnya tidak ada larangan, tetapi

jangan hendaknya menutup pintu rapat-rapat, sehingga tidak dapat melihat

pemikiran-pemikiran yang ada pada mazhab yang lain yang juga bersumber dari

alquran dan sunnah Rasulullah SAW. Hal ini dimaksudkan agar seseorang tidak

fanatik kepada satu mazhab.

Andaikata sukar menghindari kefanatikan kepada satu mazhab, sekurang-

kurangnya mampu menghargai pendapat orang lain yang berbeda dengan

pendapatnya. Di bawah ini akan dikemukakan tokoh imam mazhab Ibnu Hazm

berdasarkan pada pola pemikiran dan dasar-dasar istinbath hukum-hukum imam

mazhab tersebut.

1

Page 2: Makalah Ibnu Hazm Baru

BAB II

PEMBAHASAN

A. Profil Singkat Ibnu Hazm

Nama lengkap Ibnu Hazm adalah ‘Ali bin Ahmad ibn Sa’id ibn Hazm ibn

Ghalib ibn Shalih ibn Khallaf ibn Ma’dan ibn Sufyan ibn Yazid. Ia dilahirkan

pada tanggal 7 November 994 M bertepatan dengan hari akhir bulan Ramadhan

384 H, yaitu pada waktu sesudah terbit fajar sebelum munculnya matahari pagi

‘idul fitri di Cordova, Spanyol. Ia meninggal dunia pada tanggal 20 Sya’ban 456

H atau 15 Agustus 1064 M.

Kalangan penulis klasik maupun kontemporer memakai nama singkatnya

yang popular adalah Ibnu Hazm, dan terkadang dihubungkan dengan panggilan

Al-Qurthubi atau Al-Andalusia sebagai penisbatan kepada tempat kelahirannya,

Cordova dan Andalus. Sebagaimana sering pula dikaitkan dengan sebutan Al-

Zahiri sehubungan dengan aliran fiqh dan pola pikir Al-Zahiri yang dianutnya.

Sedang Ibnu Hazm sendiri memanggil dirinya dengan Ali atau Abu Muhammad

sebagaimana ditemukan dalam karya-karya tulisnya.

Ibnu Hazm berketurunan Persia, kakeknya Yazid adalah orang Persia,

kemudian memeluk agama islam setelah ia menjalin hubungan dan melakukan

sumpah setia kepada Yazid ibn Abu Sufyan; saudara kandung Mu’awiyyah

khalifah pertama Bani Umayyah. Dengan jalan sumpah setia ini, ia dan

keluarganya (Bani Hazm) dimasukkan dalam satu Quraisy, sekalipun nenek

moyangnya berbangsa Persia. Kemudian kakeknya beserta keluarga Bani

Umayyah bersama-sama pindah ke Andalusia dan mendirikan kekuasaan disana,

keluarga bani Hazm lalu tinggal di mantalisyam, suatu kota kecil yang merupakan

pemukiman orang Arab di Andalusia; dimana mereka hidup dengan kemewahan

dan kedudukan yang amat terhormat. Karena itulah Ibnu Hazm dan keluarganya

memihak kepada Bani Umayyah.

2

Page 3: Makalah Ibnu Hazm Baru

Dari sini disimpulkan bahwa Ibnu Hazm sudah menjadi ahli di bidang

hadits terlebih dahulu sebelum kemudian menjadi ahli fiqh. Pada mulanya Ibnu

Hazm belajar fiqh mazhab Maliki sebagai mazhab yang banyak dianut oleh

masyarakan Andalusia kala itu, dia belajar kitab karangan imam Malik yang

terkenal yaitu al-Muwattha’ kepada Ahmad bin Duhun (Mufti Cordova), sehingga

benar-benar menguasai fiqh Imam Malik.disamping belajar fiqh mazhab maliki

dipelajari juga kita Syafi’I yang mengkritik Imam malik dalam masalah Usul dan

Furu’ yaitu ikhtilaf al-Malik. Dari pengalaman inilah dia pindah dari mazhab

Maliki ke mazhab Syafi’I, pemahamannya terhadap mazhab syafi’I membuat dia

kagum terhadap prinsip-prinsip yang dipegang oleh Imam Syafi’I sehingga

menjadikannya orang yang fanatik berpegang teguh pada mazhab tersebut. Ibnu

Hazm kembali tidak puas, akhirnya Ibnu Hazm berpindah mazhab dan lebih

condong kepada mazhab Zhahiriyyah dengan imamnya Daud bin Ali bin Khalaf

al-Asbuhani. (202 – 270 H) 1.

Ibnu Hazm juga belajar di Madrasah Andalisiyyah yang mengajarkan fiqh

dengan metode pembahasan yang berpedoman pada atsar (riwayat sahabt) dalam

berijtihad. Tokoh-tokoh ulama yang mengajar di madrasah ini banyak menulis

buku-buku yang berharga dan berpengaruh bagi pemikiran Ibnu Hazm seperti

kitab-kitab di bidang hadits, Ahkam Al-Qur’an, tarikh dan fiqh karya Qasim ibn

Asbagh al-Qurthubi. Ahmad ibn Khalid, dan Muhammad ibn aiman.

Ibnu Hazm dikenal dengan ilmunya yang luas. Ia tidak hanya dikenal

sebagai seorang muhaddits dan fiqh, namun ia juga adalah seorang yang ahli di

berbagai bidang seperti Ushul fiqh, sastra Arab, sejarah, mantiq, filsafat, ilmu

kalam, dan ilmu perbandingan agama.2

B. Prinsip-prinsip yang beliau pegang

Dia seorang penghafal hadits, dia mengetahui dengan mendalam keadaan

para perawi. Ia seorang tokoh fiqh yang menhidupkan fiqh zhahiri atau

1 Ibnu Hazm, Al-Ushul wa Al-Furu’, Daar Nahdhah Al-Ilmiyyah, (Cairo 1978), hlm.52 Rahman Alwi, Metode Mazhab al-Zahiri alternative Menyongsong Modernitas, Cet.1,

(Jakarta:gaung Persada Press, 2005), hlm. 38

3

Page 4: Makalah Ibnu Hazm Baru

menghidupkan ilmu al-Kitab dan as-Sunnah. Ia memperlihatkan bahwa Alquran

dan cakupannya dapat menampung setiap peristiwa hukum di setiap tempat dan

masa. Walaupun mengembangkan mazhab zhahiri, namun bukan peniru Daud.

Tetapi Minhaj Daudlah satu-satunya minhaj yang hanya mengungkapkan hukum

dari Alquran dan as-Sunnah, tanpa menggunakan qiyas atau takwil, tentulah dia

memilih jalan Dhahiri. Dia meninggalkan segala pendapat yang selain zahir

Alquran dan as-Sunnah walaupun imam besar yang mengatakannya. Dia

mendebat ahli-ahli falsafah. Semua ulama semasanya mengakui hal ini.3

Itulah sebabnya Ibnu Hazm memilih mazhab zhahiri karena dalam mazhab

ini tidak ada orang yang ditaklidi. Mazhab ini adalah mazhab al-Kitab, as-Sunnah

dan Ijma’ sahabat. Masing-masing tokoh mazhab ini langsung membina

mazhabnya, tanpa bertaklid kepada seorang imam.

Terlintas kesan bahwa pemahaman keagamaan pada diri Ibnu Hazm pasti

tidak berpedoman kepada kemampuan nalar akal, padahal pada kenyataannya,

Ibnu Hazm menjadikan akal sebagai asas dan pedoman dalam pemikiran

keislamannya. Ibnu Hazm meyakini bahwa apapun perintah, larangan dan

kebolehan yang diizinkan Allah SWT harus berpedoman kepada nash, tidak boleh

ada upaya untuk melakukan ta’wil (pemahaman secara metaforis) maupun ta’lil

(pencarian ‘illat atau motivasi hukum).

Maka semua nash al-Qur’an dan hadits baik yang berkaitan dengan aqidah

maupun yang berkaitan dengan hukum, menurutnya harus dipahami sesuai arti

lahirnya. Dalam hal ini Ibnu Hazm tidak bertaklid kepada seorangpun bahkan

minhaj ini adalah minhaj badahi Dharuri. Berdasarkan minhaj ini, yaitu

keharusan mengikuti al-Qur’an, mengikuti as-Sunnah dan mengikuti Ijma’

sahabat. Maka Ibnu Hazm mengharamkan taklid dan mengajak para ulama

mencengah taklid dalam segala bidang agama, ‘amaliyah dan ‘ilmiyah. Ibnu

Hazm berpendapat bahwa taklid itu bid’ah. Ibnu Hazm menetapkan bahwasannya

3 Teungku M. Hasbi Ash Shiddieqy, pokok-pokok Pegangan Imam Mazhab, Cet 1, (Semarang : Pustaka rizki Putra, 1997), hlm. 553

4

Page 5: Makalah Ibnu Hazm Baru

para sahabat dan para tab’in telah berijma’ untuk tidak membolehkan seseorang,

mengambil segala pendapat seseorang imam tanpa menyaring dan membahas

pendapat-pendapat itu.4

C. Metode istinbath yang beliau gunakan

Metode yang diterapkan oleh Ibnu Hazm dalam usaha mengistinbatkan

suatu permasalahan hukum seperti telah diungkapkan, sebagai sumber dan

rujukan utamanya senantiasa berpulang kepada makna literal dari pada nash-nash.

Jika sekiranya ia tidak menemukan sesuatu ketentuan hukum dari ketiga sumber,

yaitu al-Qur’an, al-Sunnah serta al-Ijma’ sahabat pada khususnya, maka

selanjutnya barulah ia menggunakan suatu prinsip sistem istinbath, yang

dinamakannya dengan istilah al-Istishab.5 Dan teori-teori yang berhubungan

dengan sumber-sumber hukum tersebut menurut ibnu Hazm, adalah sebagai

berikut :

1. Alquran

Yaitu sumber yang paling pokok dalam syariah, sumber-sumber yang lain

pun merujuk padanya. Adapun kedudukan Alquran adakala sudah dipahami dari

konteks kalimatnya sendiri dan tidak membutuhkan penjelasan dari Hadits, dan

adakalanya pula membutuhkan penjelasan dari Hadits. Seperti penjelasan ayat

yang mujmal yang membutuhkan perincian, semisal ayat tentang salat, puasa,

zakat, haji, maka perinciannya dijelaskan oleh hadits. Dan penjelasan Alquran ini

kadangkala jelas bisa langsung difahami dan adapula yang tidak langsung bisa

memahaminya kecuali orang yang mempunyai ilmu yang memadai terhadap hal

tersebut. Allah Swt berfirman:

تعلمون ال كنتم ان الذكر أهل فسألوا

4 Teungku M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Pokok-pokok Pegangan Imam Mazhab,…,hlm.3135 Ibnu Hazm, Al-Ihkam Fi usul Al-Ahkam, Jilid I, Maktabah’Atif, 1978, hlm.76, dan

Muhammad Abu Zahrah, Tarekh Al-Mazahib Al-Islamiyyah, Dar Al-Fikr Al-Araby, Cairo, 1952, hlm. 592.

5

Page 6: Makalah Ibnu Hazm Baru

“Maka bertanyalah kepada orang-orang yang berilmu jika kamu tidak

mengetahui ” (an Nahl: 43 dan al Anbiya: 7).

Ibnu Hazm berkomentar tentang penjelasan Alquran ini. “penjelasan

terhadap al Quran ini akan berbeda hasilnya, sebagian ada yang jelas dan yang

lain akan samar yang menyebabkan seeorang cepat memahami dan sebagian yang

lain akan lambat memahaminya. Hal ini tergantung kepada orang yang

menjelaskannya. Dari hal inilah akan muncul perbedaan pemahaman”.

Ibnu Hazm juga mengingkari adanya kontraversi antara ayat-ayat al Quran

dengan berkata: “Sungguh benar tidak ada kontraversi dan perselisihan dalam

Alquran. Bukti terhadap hal itu adanya al Quran sebagai wahyu, sekiranya kita

jumpai kontraversi dalam al Quran berarti kita juga akan menjumpai perselisihan,

sedangkan Allah Swt telah menafikan perselisihan di dalamnya melalui

firmanNya:

: النساء ( كثيرا اختالفا فيه لوجدوا عندغيرالله من كان (82ولو

“Sekiranya al Quran itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat

pertentangan yang banyak di dalamnya”. (an-Nisa: 82).

Berdasarkan pada keterangan ini, maka Ibnu Hazm menyatakan bahwa al-

Qur’an dari segi banyaknya terbagi kepada tiga bagian :

a) Jelas dengan sendirinya, tidak memerlukan bayan lagi baik al-Qur’an

maupun hadits.

b) Mujmal, yang penjelasannya diterangkan oleh al-Qur’an sendiri

c) Mujmal, yang penjelasannya diterangkan oleh al-Sunnah (hadits).6

2. Al-Sunnah.

Sumber kedua menurut Ibnu Hazm adalah al-Sunnah, yaitu meliputi

perkataan, perbuatan dan taqrir Rasulullah SAW. Alquran dan al-Sunnah adalah

6 Rahman Alwi, Metode mazhab Al-Zahiri Alternatif menyongsong Modernitas,…,hlm.74

6

Page 7: Makalah Ibnu Hazm Baru

dua sumber hukum yang saling melengkapi, keduanya mempunyai kekuatan yang

sama dalam menetapkan hukum, dan sumbernya satu yaitu Allah SWT.

Sunnah qauliyyah yang terdiri dari awamir dan nawahi harus diambil

zahirnya, bahwa perintah menunjukkan kepada kewajiban dan larangan

menunjukkan kepada keharaman, semuanya menuntut untuk dilakukan dengan

segera kecuali ada hal lain yang menunjukkan kebalikannya. Sunnah fi’liyah Nabi

tidak menunjukkan kepada arti wajib tapi sunnah, karena perbuatan Nabi adalah

merupakan qudwah, kecuali perbuatan-perbuatan yang menjelaskan kepada

perintah, seperti perbuatan Nabi yang sebelumnya atau sesudahnya terdapat nash

tentang perbuatan Nabi tersebut. Sedang Taqrir Nabi menunjukkan pada ibahah.

Sunnah Mutawatirah menurut Ibnu Hazm tanpa membatasi jumlah perawi,

asalkan perawi terjamin dari perbuatan dosa, hal tersebut karena tidak ada dalil

yang membatasi jumlah perawi. Jika sebuah hadits sampai pada derajat mutawatir,

maka harus diamalkan dan dapat menjadi hujjah. Sedangkan sunnah ahad,

“manaqalu al-wahid ‘an al-wahid” hingga sampai kepada Rasulullah SAW, harus

diterima jika diriwayatkan oleh orang yang tsiqah. Keberadaan hadits mauquf dan

mursal ditolak oleh Ibnu Hazm sebagai hujjah, hal tersebut karena menurut Ibnu

Hazm tidak semua sahabat Nabi adalah orang yang adil, bahkan di antara mereka

ada yang murtad dan munafik. Namun menurut Ibnu Hazm kedua jenis hadits

tersebut dapat diterima menjadi hujjah jika ada ijma’ yang sah terhadap makna

hadits tersebut. Al-Sunnah yang mutawatir dan ahad menurut Ibnu Hazm dapat

menasakh Al-Qur’an, namun nasakh hanya terjadi pada masa Rasulullah, maka

ketika Rasulullah wafat dan wahyu berhenti, tidak mungkin terjadi nasakh

kembali. Karena untuk menasakh suatu hukum sebuah nash diperlukan nash yang

lain, dan nash tersebut terputus dengan wafatnya Nabi. Jika seandainya sebuah

nasakh baru diketahui setelah wafatnya nabi, bukan berarti nasakh tersebut terjadi

setelah wafatnya Nabi.7

Mengenai khususnya al-Sunnah ini, Ibnu hazm memandangnya sebagai

salah satu nash yang ikut membina syari’at, meskipun kehujjahannya sebenarnya

di ambil dari al-Qur’an itu sendiri. Hal ini tidak berbeda apa yang dimaksudkan

7 Ibnu Hazm, Al-Ihkam Fi usul Al-Ahkam, Jilid I, Maktabah’Atif, …, hlm.518

7

Page 8: Makalah Ibnu Hazm Baru

oleh Imam Syafi’I dalam memandang Alquran dan al-Sunnah, yaitu dua hal yang

satu sama lainnya saling melengkapi dan menyempurnakan, dan keduanya

(alquran dan al-Sunnah) disebut sebagai “nusus”.8

3. Ijma’

Sumber pokok ketiga dalam berinsibath menurut Ibnu hazm adalah Ijma’

yang bersumber dari al-Qur’an dan al-Sunnah. Ijma’ adalah hujjah kebenaran

yang meyakinkan di dalam agama islam.9 Ibnu Hazm menguatkan pendapatnya

dari zhahir beberapa ayat:

a) Surat An-Nisa’ : 115

“ Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran

baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, kami

biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu10 dan kami

masukkan ia ke dalam jahanamitu seburuk-buruknya tempat kembali “.

b) Surat Ali Imran: 103

“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan

janganlah kamu bercerai berai”.

c) Surat Al-Anfal :46

8 Muhammad Abu Zahrah, Tarekh Al-Mazahab al-Islamiyyah, op.cit, hlm. 5879 Ibid,…,hlm. 52510 Allah biarkan mereka bergelimang dalam kesesatan.

8

Page 9: Makalah Ibnu Hazm Baru

“Dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu berbantah-

bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu dan

bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar”.

d) Surat An-Nisa’: 82

“kalau kiranya Al-Qur’an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka

mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya”.

Keempat ayat tersebut menurut Ibnu Hazm menguatkan pendapatnya

tentang kehujjahan ijma’. Dan mencela perbedaan karena perbedaan mengarah

kepada perpecahan, dalam agama hanya ada dua hal, ijma’ atau ikhtilaf, dan kita

harus mengambil Ijma’.11 Dan ijma’ yang menjadi hujjah adalah ijma’ para

sahabat Rasulullah SAW, berdasarkan :

a) Karena Ijma’ yang demikian (para sahabat) tidak diperselisihkan oleh

siapapun, maka kesepakatan (Ijma’) para sahabat tanpa ada perbedaan adalah

Ijma’yang qath’I, sahih.

b) Karena Agama Islam telah sempurna (Al-Maidah : 3), sehingga tidak boleh

hukumnya menambah-nambah sesuatu yang telah sempurna. Untuk

mengetahui apa yang diinginkan oleh Allah SWT harus melalui Rasul-Nya,

dan para sahabat Rasul adalah mereka yang selalu bersama, melihat dan

mendengerkan ajaran Rasul tentang keinginan Allah SWT, maka Ijma’

merekalah Ijma’ yang wajib diikuti.12

c) Ijma’ yang demikian adalah Ijma’ yang berdasarkan nash Alquran dan al-

Sunnah. Hal tersebut karena para sahabat hidup pada masa Rasulullah dan

banyak belajar dari beliau, maka menurut Ibnu Hazm, apa yang mereka

sepakati adalah Ijma’ yang wajib diikuti, karena Ijma’ tersebut dinukil dari

Rasulullah.

11 Wahbah Zuhaili, Ushul al-fiqh al-Islami, Daar al-Fikr,Beirut, Juz 1, hlm.43112 Ibnu Hazm, Al-Ihkam,…., hlm. 553

9

Page 10: Makalah Ibnu Hazm Baru

Ibnu Hazm juga mengkritik imam Malik yang menjadikan Ijma’ ahlu

Madinah sebagai hujjah, hal tersebut dikarenakan :

a) Ijma’ seperti ini adalah hal yang tidak mempunyai dasar.

b) Keutamaan Madinah hanya berlaku pada masa itu saja.

c) Orang yang menyaksikan wahyu adalah para sahabat, sedangkan orang

setelah mereka tidak,

d) Perselisihan umat manusia juga terjadi di Madinah.

4. Al – Dalil

Selain tiga sumber hukum di atas, Ibnu Hazm menggunakan Al-Dalil,

ketika tidak ada nash dalam persoalan tertentu, guna menjawab persoalan yang

baru yang muncul akibat perubahan sosial. Dalam istidlal, Al-Dalil ada dua :

a) Al-Dalil yang diambil dari nash.

b) Al-Dalil yang diambil dari Ijma’.

Al-Dalil yang diambil dari nash terbagi menjadi tujuh, yaitu :

a) Nash yang terdiri dari dua proposisi (muqaddimah), yaitu muqaddimah

kubra dan suqhra tanpa konklusi dan natijah, mengeluarkan natijah dari

dua muqaddimah tersebut dinamakan al-Dalil, seperti sabda Rasulullah

SAW : “Kullu muskirin khamrun wakullu khamrin haram”, dan natijah

kullumuskirin haram adalah al-Dalil menurut Ibnu Hazm.

b) Qadhaya Mudarrajat (proposisi berjenjang), yaitu pemahaman bahwa

derajat tertinggi dipastikan berada di atas derajat yang lain di atasnya. Ibnu

Hazm mencontohkan, apabila terdapat pernyataan bahwa Abu Bakar lebih

utama dari Umar dan Umar lebih utama dari Utsman, maka makna lain

dari linkaran tersebut adalah Abu Bakar lebih utama dari Utsman. Begitu

juga dalam hadits Nabi : “ sebaik-baik kamu adalah orang di zamanku

10

Page 11: Makalah Ibnu Hazm Baru

(sahabat, setelah itu zaman sesudahnya (tabi’in) setelah itu zaman

sesudahnya (tabi’in-tabi’in))”.

c) ‘Aks Qadaya (kebalikan proposisi), dimana bentuk proposisi kulliyat,

mujab kulliyat dibalik dalam bentuk proposisi juz’iyyat, mujab juziyyat,

seperti pernyataan : “setiap yang memabukkan adalah khamr” dibalik

menjadi : “sebagian dari hal yang diharamkan adalah yang memabukkan”.

d) Cakupan makna yang merupakan keharusan untuk menyertai makna yang

dimaksud, atau suatu lafaz mempunyai makna hakiki, namun juga

memiliki beberapa makna yang otomatis menempel padanya.

Pengembalian makna lain yang tidak terlepas makna tersebut dinamakan

dengan al-Dalil. Seperti ungkapan “Zaid sedang menulis” dalam kalimat

ini mengandung makna bahwa Zaid itu hidup, mempunyai anggota badan

yang dapat digunakan untuk menulis.

e) Penetapan segi keumuman makna, seperti keumuman fi’il Syarat. Contoh

dalam al-Qur’an al-Anfal : 38 “Katakanlah kepada orang-orang yang kafir

itu : “jika mereka berhenti (dari kekafirannya), niscaya Allah akan

mengampuni mereka tentang dosa-dosa mereka yang sudah lalu; dan jika

mereka kembali lagi sesungguhnya akan berlaku (kepada mereka) sunnah

(Allah terhadap) orang-orang dahulu””. Dzahir dari ayat tersebut adalah

orang-orang kafir yang menentang Nabi, namun yang dipahami dari

keumuman lafaz adalah bukan kekhususan sabab, namun makna yang

terkandung adalah umum.

f) Nash memiliki makna tertentu, lalu makna tersebut diungkapkan dengan

pernyataan lain yang semakna dengan lafaz (al-mutala’imat). “Dan kami

wajibkan kepada manusia untuk berbuat baik kepada kedua orang tua (Al-

Ankabut)”

g) Ayat diatas menurut Ibnu hazm memberikan pelajaran kepada kita bahwa

wajib berbuat baik kepada kedua orang tua, dan perbuatan yang

bertentangan dengan itu dilarang termasuk perkataan (ah) Uffin.

h) Sesuatu yang bukan wajib dan bukan haram, hukumnya adalah mubah,

11

Page 12: Makalah Ibnu Hazm Baru

Sedangkan al-Dalil yang diambil dari Ijma’ ada empat macam :

a) Istishab al-hal

b) .Aqallu ma qila

c) Ijama’ untuk meninggalkan pendapat tertentu

d) Ijma’ tentang universalitas hukum.13

D. Ciri dan contoh-contoh ijtihad beliau

Ijtihad bagi Ibnu Hazm merupakan persoalan pentingyang wajib diketahui

maknanya oleh semua muslim. Ibnu Hazm membahas tentang ijtihad ini pada bab

empat puluh dalam kitabnya, al-ihkam fi Ushul al-Ahkam.

Ia menulis bahwa lafal ijtihad berwazan ifti’al jahada atau al-juhdu

(dalam arti bersungguh-sungguh atau kemampuan/kekuatan), sedangkan hakikat

maknanya adalah memanfaatkan kemampuan untuk mencari sesuatu yang

dikehendaki mengetahuinya, baik adanya sesuatu itu berupa harapan maupun

berupa keyakinan.

Selanjutnya Ibnu Hazm menjelaskan tentang ijtihad dalam syari’at, ia

menyatakan :

ماال الحكم ذلك يوجد حيث النازلة حمك طلب فى الطاقة استفاد هو

بالديانة العلم أهل من أحد بين خالف

“Ijtihad adalah memanfaatkan kemampuan untuk mencari hukum dari

sesuatu yang terjadi dimana didapati hukumnya tidak ada perselisihan di antara

ahli ilmu tentang kebenaran agamanya”.

Bagi Ibnu Hazm hukum-hukum syari’at itu seluruhnya merupakan

keyakinan yang telah Allah jelaskan dengan sejelas-jelasnya tanpa adanya

perselisihan, sehingga menurut semua ulama pasti mampu menemukan hukum-

hukum syari’at itu, karena :

13 Ibnu Hazm, Al-Ihkam,…., hlm. 26

12

Page 13: Makalah Ibnu Hazm Baru

“Allah SWT tidaklah membebani seseorang kecuali sesuai dengan

kemampuannya” (Q.S. Al-baqarah ayat 286)

“Dan Allah SWT tidak membuat kesulitan dalam agama “(Q.S. Al-Hajj

ayat 78)

Dengan demikian, ijtihad menurut Ibnu Hazm adalah menarik hukum-

hukum syari’at dari nash dimana nash telah jelas dan nyata bagi ahli ilmu yang

berkehendak menggali hukum-hukumnya. Dengan manhaj tersebut, Ibnu Hazm

berpendirian bahwa semua muslim wajib berijtihad sesuai kemampuannya

sekaligus juga mengharamkan taklid.14

E. bedanya istinbath dengan imam mazhab yang lain

Ibnu Hazm mempunyai fiqh yang berciri khas. Beberapa pendapatnya

tidak dikemukakan di dalam fiqh imam-imam lainnya, diantaranya :

1. Tindakan orang yang sedang sakit yang membawa kematiannya dipandang

sama dengan tindakan orang yang sehat (boleh berwasiat/mentalakkan istri).

2. Istri boleh bersedekah dengan harta suaminya.

3. Hakim boleh membatalkan wasiat seseorang yang dipandang merugikan

sesuatu pihak.

4. Hakim boleh melaksanakan wasiat yang diwasiatkan untuk sebagian kerabat

orang yang meninggal, yang masih kecil-kecil yang tidak dapat menerima

pusaka.15

Ringkasnya dalam menetapkan hukum, beliau berpegang kepada

Kitabullah, Sunnah Rasul dan Ijma’ (harus semua sahabat sepakat). Ibnu Hazm

tidak menerima pendapat Sahabi, sedangkan imam empat menerimanya, Ibnu

Hazm berpegang kepada zhahir Kitab dan Sunnah, yaitu menanggapi makna yang

14 Rahman Alwi, Metode mazhab Al-Zahiri Alternatif menyongsong Modernitas,…,hlm.6015 M.Ali Hasan, Perbandingan Mazhab, Cet.1 (Jakarta:Raja Grafindo Persada, 1995), hlm. 237

13

Page 14: Makalah Ibnu Hazm Baru

khas terlintas di hati di waktu menyebut lafal-lafal, tanpa meneliti illatnya dan

tanpa mengqiyaskan sesuatu kepadanya.

Sebagaimana telah dikemukakan terdahulu, bahwa orang yang berjunub

dan haid boleh memegang al-Qur’an dan membacanya menurut Imam Daud, dan

Ibnu Hazm pun berpendirian demikian. Kalau Daud mengatakan bahwa al-Qur’an

itu makhluk, maka Ibnu Hazm menandaskan bukan makhluk. Kendati dalam

menetapkan hukum, sebagian besar berdasarkan kepada zhahir nash, namun

kelihatannya ada juga yang ditetapkan secara tersirat sebagaimana contohbyang

telah disebutkan di atas.16

F. Murid dan pengembang mazhab sesudah beliau serta buku utama

mazhab

Ibnu Hazm juga mempunyai beberapa murid setia yang menyebarkan

pendapat-pendapatnya, diantara mereka adalah, Abu Abdullah Al-Humaidi,

Suraih bin Muhammad bin Suraih Al-Muqbiri, Abu Rafi’, Abu Usamah Ya’qub,

Abu Sulaiman Al-Mus’ib, Imam Abu Muhammad bin Al-Maqribi.17

Sebagian seorang ilmuwan Ibnu Hazm meninggalkan warisan berupa buku

karangan yang terhitung banyak, diantara buku karangannya adalah :

1. Ibthal Al-Qiyas wa Al-Ra’yu wa Al-Taqlid wa Al-Ta’lil

2. Al-Ijma’ wa masa’iluhu Ala Abwab Al-Fiqh

3. Al-Ihkam fi ushul Al-Ahkam

4. Al-Akhlaq wa Al-Siar

5. Asma’u Alkulafa’ wa Al-Mulat

6. Asma’u Al-Sahabah wa Al-Ruwat

7. Asma’ullah Ta’ala

8. Al-Nubdzah fi Ahkam Al-Fiqh Al-Dhahiri

9. Ashabu Al-Fataya

16 M.Ali Hasan, Perbandingan Mazhab,….,hlm. 23817 Muhammad Abu Zahrah, Tarikh al-Madzahib, ….,hlm.434

14

Page 15: Makalah Ibnu Hazm Baru

10. Idharu tabdil Al-Yahud wa Al-Nashara li Al-Taurat wa Al-Injil

11. Al-Imamah wa Al-Siyasah

12. Al-Imamah wa Al-Mufadhalah

13. Al-Ishal ila fahmi Al-Hishal

14. Al-Taqrib bihaddi Al-Mantiq wa Al-Madkhalilaih

15. Al-Talkhlish wa Al-Talkhlish

16. Al-Jami’ fi Shahih Al-Hadits

17. Jumal Futuh Al-Islam ba’da rasulullah

18. Jamharatu Ansab Al-Arab

19. Jawami’u Al-Sirah

20. Risalah fi Fadhil Al-Andalus

21. Syarhu Ahadis Al-Muwattha’

22. Thuqu Al-Hamamah

23. Al-Shadiq wa Al-Radi’

24. Al-Fash fi Al-Milal wa Al-Ahwa’ wa Al-Nahl

25. Al-Qira’at Al-Mashurah fi Al-Amshar

26. Qashidah fi Al-Hija’

27. Kasyfu Al-Litibas

28. Al-Majalla

29. Al-Muhalla

30. Maratib Al-Ijma’

31. Masa’il Ushul Fiqh

32. Ma’rifatu Al-Nasikh wa Al-Mansukh

33. Muntaqa Al-Ijma’ wa Bayanuhu

34. Al-Nashaih Al-Munjiyah min Al-Fadhaih Al-Mukhziyah

35. Naqthu Al-‘Arusy fi Tawarikh Al-Khulafa’

36. Naka Al-Islam.18

18 Ibnu Hazm, Al-Nubdzah,…..,hlm. 8

15

Page 16: Makalah Ibnu Hazm Baru

BAB III

KESIMPULAN

Keluasan ilmu Ibnu Hazm, hal pengembangan ilmu-ilmu terlihat dari

banyaknya buku yang diwariskan kepada generasi sesudahnya. Ibnu Hazm telah

memberi sumbangan pemikiran yang sangat luar biasa khusunya dalam bidang

Ushul Fiqh dengan karyanya al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam, dengan penampilan

dan gaya yang berbeda dengan ahli ushul yang lain.

Ibnu Hazm menolak penggunaan ra’yu seperti qiyas, istihsan, mashlahah

mursalah, saddal-dara’I’, ta’li al-ahkam dan yang lainnya, karena cenderung

16

Page 17: Makalah Ibnu Hazm Baru

digunakan untuk memuaskan hawa nafsu penguasa kala itu. Sumber hukum

menurut Ibnu Hazm adalah al-Qur’an, al-Sunnah, dan Ijma’ para sahabat, dengan

menerapkan hukum-hukum yang dzahir, yaitu mengambil makna yang terlintas di

hati sewaktu menyebut makna lafaz tanpa meneliti illatnya dan tanpa

mengisyaratkan sesuatu padanya.

Ibnu Hazm juga mendobrak kejumudan dengan berpendapat bahwa taqlid

adalah haram, dan mengajak para ulama untuk menolak taqlid. Untuk menjawab

masalah-masalah komntemporer kala itu Ibnu Hazm menggunakan metode istidlal

dengan al-Dalil. Al-Dalil ada yang diambil dari nash, jumlahnya ada tujuh, dan

ada yang diambil dari Ijma’, jumlahnya ada empat.

DAFTAR PUSTAKA

Ibnu Hazm, Al-Ahkam Fi Usul Al-Ahkam, Jilid I, Maktabah’ atif, 1978

Ibnu Hazm, Al-Ushul wa Al-Furu’, Daar Nahdhah Al-Ilmiyyah, Cairo 1978

Ibnu Hazm, An-Nubdzah al-Kafiyah fi Ahkam Ushul al-Din, Daar al-Kutub

al-‘ilmiyyah, Beirut 1985 M/1405

Ibnu Hazm Hayatul Wa’Asruh Arauh Wa Fiqhuh, Dar al Fikr Al-Araby, 1954

17

Page 18: Makalah Ibnu Hazm Baru

M. Ali Hasan, Perbandingan Mazhab, Cet. 1 Jakarta : Raja Grafindo Persada,

1995

Muhammad Abu Zahrah Tarekh Al-Mazahib Al-Islamiyyah, Dar al-Fikr al-

Araby, Cairo, 1952

Muslim Ibrahim, Pengantar Fiqh Muqarram, Jakarta : Erlangga, 1991

Rahman Alwi, Metode Mazhab al-Zahiri Alternatif Menyongsong Modernitas,

Cet. 1, Jakarta : Gaung Persada Press, 2005

Sobhi Mahmassani, Falsafah al-Tasyri’ Fi al-Islam, terj. Ahmad Sudjono,edisi 2,

Al-Ma’arif : Bandung, 1981

Teungku M. Hasbi Ash Shiddieqy, Pokok-pokok PeganganImam Mazhab, Cet.

1, Semarang : Pustaka Rizki Putra, 1997

18