makalah ibnu hazm baru
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
Para imam mujtahid seperti imam Hanafi, Maliki, Syafi’I dan imam
Ahmad bin Hambal, sudah cukup dikenal di Indonesia oleh sebahagian besar umat
Islam. Bagi ilmuwan, selain imam mazhab yang empat tersebut, juga dikenal
seperti imam Daud Az-Zhahiri, imam Ibnu Hazm, imam Syi’ah Zaidiyah, Syi’ah
Imamiyah dan imam mujtahid lainnya. Akan tetapi untuk mengetahui pola
pemikiran masing-masing imam mazhab itu sangat terbatas.bahkan ada yang
cenderung hanya ingin mendalami mazhab tertentu atau karena ilmu yang
diterima hanya dari ulama/guru yang menganut suatu mazhab saja.
Menganut suatu aliran mazhab saja, sebenarnya tidak ada larangan, tetapi
jangan hendaknya menutup pintu rapat-rapat, sehingga tidak dapat melihat
pemikiran-pemikiran yang ada pada mazhab yang lain yang juga bersumber dari
alquran dan sunnah Rasulullah SAW. Hal ini dimaksudkan agar seseorang tidak
fanatik kepada satu mazhab.
Andaikata sukar menghindari kefanatikan kepada satu mazhab, sekurang-
kurangnya mampu menghargai pendapat orang lain yang berbeda dengan
pendapatnya. Di bawah ini akan dikemukakan tokoh imam mazhab Ibnu Hazm
berdasarkan pada pola pemikiran dan dasar-dasar istinbath hukum-hukum imam
mazhab tersebut.
1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Profil Singkat Ibnu Hazm
Nama lengkap Ibnu Hazm adalah ‘Ali bin Ahmad ibn Sa’id ibn Hazm ibn
Ghalib ibn Shalih ibn Khallaf ibn Ma’dan ibn Sufyan ibn Yazid. Ia dilahirkan
pada tanggal 7 November 994 M bertepatan dengan hari akhir bulan Ramadhan
384 H, yaitu pada waktu sesudah terbit fajar sebelum munculnya matahari pagi
‘idul fitri di Cordova, Spanyol. Ia meninggal dunia pada tanggal 20 Sya’ban 456
H atau 15 Agustus 1064 M.
Kalangan penulis klasik maupun kontemporer memakai nama singkatnya
yang popular adalah Ibnu Hazm, dan terkadang dihubungkan dengan panggilan
Al-Qurthubi atau Al-Andalusia sebagai penisbatan kepada tempat kelahirannya,
Cordova dan Andalus. Sebagaimana sering pula dikaitkan dengan sebutan Al-
Zahiri sehubungan dengan aliran fiqh dan pola pikir Al-Zahiri yang dianutnya.
Sedang Ibnu Hazm sendiri memanggil dirinya dengan Ali atau Abu Muhammad
sebagaimana ditemukan dalam karya-karya tulisnya.
Ibnu Hazm berketurunan Persia, kakeknya Yazid adalah orang Persia,
kemudian memeluk agama islam setelah ia menjalin hubungan dan melakukan
sumpah setia kepada Yazid ibn Abu Sufyan; saudara kandung Mu’awiyyah
khalifah pertama Bani Umayyah. Dengan jalan sumpah setia ini, ia dan
keluarganya (Bani Hazm) dimasukkan dalam satu Quraisy, sekalipun nenek
moyangnya berbangsa Persia. Kemudian kakeknya beserta keluarga Bani
Umayyah bersama-sama pindah ke Andalusia dan mendirikan kekuasaan disana,
keluarga bani Hazm lalu tinggal di mantalisyam, suatu kota kecil yang merupakan
pemukiman orang Arab di Andalusia; dimana mereka hidup dengan kemewahan
dan kedudukan yang amat terhormat. Karena itulah Ibnu Hazm dan keluarganya
memihak kepada Bani Umayyah.
2
Dari sini disimpulkan bahwa Ibnu Hazm sudah menjadi ahli di bidang
hadits terlebih dahulu sebelum kemudian menjadi ahli fiqh. Pada mulanya Ibnu
Hazm belajar fiqh mazhab Maliki sebagai mazhab yang banyak dianut oleh
masyarakan Andalusia kala itu, dia belajar kitab karangan imam Malik yang
terkenal yaitu al-Muwattha’ kepada Ahmad bin Duhun (Mufti Cordova), sehingga
benar-benar menguasai fiqh Imam Malik.disamping belajar fiqh mazhab maliki
dipelajari juga kita Syafi’I yang mengkritik Imam malik dalam masalah Usul dan
Furu’ yaitu ikhtilaf al-Malik. Dari pengalaman inilah dia pindah dari mazhab
Maliki ke mazhab Syafi’I, pemahamannya terhadap mazhab syafi’I membuat dia
kagum terhadap prinsip-prinsip yang dipegang oleh Imam Syafi’I sehingga
menjadikannya orang yang fanatik berpegang teguh pada mazhab tersebut. Ibnu
Hazm kembali tidak puas, akhirnya Ibnu Hazm berpindah mazhab dan lebih
condong kepada mazhab Zhahiriyyah dengan imamnya Daud bin Ali bin Khalaf
al-Asbuhani. (202 – 270 H) 1.
Ibnu Hazm juga belajar di Madrasah Andalisiyyah yang mengajarkan fiqh
dengan metode pembahasan yang berpedoman pada atsar (riwayat sahabt) dalam
berijtihad. Tokoh-tokoh ulama yang mengajar di madrasah ini banyak menulis
buku-buku yang berharga dan berpengaruh bagi pemikiran Ibnu Hazm seperti
kitab-kitab di bidang hadits, Ahkam Al-Qur’an, tarikh dan fiqh karya Qasim ibn
Asbagh al-Qurthubi. Ahmad ibn Khalid, dan Muhammad ibn aiman.
Ibnu Hazm dikenal dengan ilmunya yang luas. Ia tidak hanya dikenal
sebagai seorang muhaddits dan fiqh, namun ia juga adalah seorang yang ahli di
berbagai bidang seperti Ushul fiqh, sastra Arab, sejarah, mantiq, filsafat, ilmu
kalam, dan ilmu perbandingan agama.2
B. Prinsip-prinsip yang beliau pegang
Dia seorang penghafal hadits, dia mengetahui dengan mendalam keadaan
para perawi. Ia seorang tokoh fiqh yang menhidupkan fiqh zhahiri atau
1 Ibnu Hazm, Al-Ushul wa Al-Furu’, Daar Nahdhah Al-Ilmiyyah, (Cairo 1978), hlm.52 Rahman Alwi, Metode Mazhab al-Zahiri alternative Menyongsong Modernitas, Cet.1,
(Jakarta:gaung Persada Press, 2005), hlm. 38
3
menghidupkan ilmu al-Kitab dan as-Sunnah. Ia memperlihatkan bahwa Alquran
dan cakupannya dapat menampung setiap peristiwa hukum di setiap tempat dan
masa. Walaupun mengembangkan mazhab zhahiri, namun bukan peniru Daud.
Tetapi Minhaj Daudlah satu-satunya minhaj yang hanya mengungkapkan hukum
dari Alquran dan as-Sunnah, tanpa menggunakan qiyas atau takwil, tentulah dia
memilih jalan Dhahiri. Dia meninggalkan segala pendapat yang selain zahir
Alquran dan as-Sunnah walaupun imam besar yang mengatakannya. Dia
mendebat ahli-ahli falsafah. Semua ulama semasanya mengakui hal ini.3
Itulah sebabnya Ibnu Hazm memilih mazhab zhahiri karena dalam mazhab
ini tidak ada orang yang ditaklidi. Mazhab ini adalah mazhab al-Kitab, as-Sunnah
dan Ijma’ sahabat. Masing-masing tokoh mazhab ini langsung membina
mazhabnya, tanpa bertaklid kepada seorang imam.
Terlintas kesan bahwa pemahaman keagamaan pada diri Ibnu Hazm pasti
tidak berpedoman kepada kemampuan nalar akal, padahal pada kenyataannya,
Ibnu Hazm menjadikan akal sebagai asas dan pedoman dalam pemikiran
keislamannya. Ibnu Hazm meyakini bahwa apapun perintah, larangan dan
kebolehan yang diizinkan Allah SWT harus berpedoman kepada nash, tidak boleh
ada upaya untuk melakukan ta’wil (pemahaman secara metaforis) maupun ta’lil
(pencarian ‘illat atau motivasi hukum).
Maka semua nash al-Qur’an dan hadits baik yang berkaitan dengan aqidah
maupun yang berkaitan dengan hukum, menurutnya harus dipahami sesuai arti
lahirnya. Dalam hal ini Ibnu Hazm tidak bertaklid kepada seorangpun bahkan
minhaj ini adalah minhaj badahi Dharuri. Berdasarkan minhaj ini, yaitu
keharusan mengikuti al-Qur’an, mengikuti as-Sunnah dan mengikuti Ijma’
sahabat. Maka Ibnu Hazm mengharamkan taklid dan mengajak para ulama
mencengah taklid dalam segala bidang agama, ‘amaliyah dan ‘ilmiyah. Ibnu
Hazm berpendapat bahwa taklid itu bid’ah. Ibnu Hazm menetapkan bahwasannya
3 Teungku M. Hasbi Ash Shiddieqy, pokok-pokok Pegangan Imam Mazhab, Cet 1, (Semarang : Pustaka rizki Putra, 1997), hlm. 553
4
para sahabat dan para tab’in telah berijma’ untuk tidak membolehkan seseorang,
mengambil segala pendapat seseorang imam tanpa menyaring dan membahas
pendapat-pendapat itu.4
C. Metode istinbath yang beliau gunakan
Metode yang diterapkan oleh Ibnu Hazm dalam usaha mengistinbatkan
suatu permasalahan hukum seperti telah diungkapkan, sebagai sumber dan
rujukan utamanya senantiasa berpulang kepada makna literal dari pada nash-nash.
Jika sekiranya ia tidak menemukan sesuatu ketentuan hukum dari ketiga sumber,
yaitu al-Qur’an, al-Sunnah serta al-Ijma’ sahabat pada khususnya, maka
selanjutnya barulah ia menggunakan suatu prinsip sistem istinbath, yang
dinamakannya dengan istilah al-Istishab.5 Dan teori-teori yang berhubungan
dengan sumber-sumber hukum tersebut menurut ibnu Hazm, adalah sebagai
berikut :
1. Alquran
Yaitu sumber yang paling pokok dalam syariah, sumber-sumber yang lain
pun merujuk padanya. Adapun kedudukan Alquran adakala sudah dipahami dari
konteks kalimatnya sendiri dan tidak membutuhkan penjelasan dari Hadits, dan
adakalanya pula membutuhkan penjelasan dari Hadits. Seperti penjelasan ayat
yang mujmal yang membutuhkan perincian, semisal ayat tentang salat, puasa,
zakat, haji, maka perinciannya dijelaskan oleh hadits. Dan penjelasan Alquran ini
kadangkala jelas bisa langsung difahami dan adapula yang tidak langsung bisa
memahaminya kecuali orang yang mempunyai ilmu yang memadai terhadap hal
tersebut. Allah Swt berfirman:
تعلمون ال كنتم ان الذكر أهل فسألوا
4 Teungku M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Pokok-pokok Pegangan Imam Mazhab,…,hlm.3135 Ibnu Hazm, Al-Ihkam Fi usul Al-Ahkam, Jilid I, Maktabah’Atif, 1978, hlm.76, dan
Muhammad Abu Zahrah, Tarekh Al-Mazahib Al-Islamiyyah, Dar Al-Fikr Al-Araby, Cairo, 1952, hlm. 592.
5
“Maka bertanyalah kepada orang-orang yang berilmu jika kamu tidak
mengetahui ” (an Nahl: 43 dan al Anbiya: 7).
Ibnu Hazm berkomentar tentang penjelasan Alquran ini. “penjelasan
terhadap al Quran ini akan berbeda hasilnya, sebagian ada yang jelas dan yang
lain akan samar yang menyebabkan seeorang cepat memahami dan sebagian yang
lain akan lambat memahaminya. Hal ini tergantung kepada orang yang
menjelaskannya. Dari hal inilah akan muncul perbedaan pemahaman”.
Ibnu Hazm juga mengingkari adanya kontraversi antara ayat-ayat al Quran
dengan berkata: “Sungguh benar tidak ada kontraversi dan perselisihan dalam
Alquran. Bukti terhadap hal itu adanya al Quran sebagai wahyu, sekiranya kita
jumpai kontraversi dalam al Quran berarti kita juga akan menjumpai perselisihan,
sedangkan Allah Swt telah menafikan perselisihan di dalamnya melalui
firmanNya:
: النساء ( كثيرا اختالفا فيه لوجدوا عندغيرالله من كان (82ولو
“Sekiranya al Quran itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat
pertentangan yang banyak di dalamnya”. (an-Nisa: 82).
Berdasarkan pada keterangan ini, maka Ibnu Hazm menyatakan bahwa al-
Qur’an dari segi banyaknya terbagi kepada tiga bagian :
a) Jelas dengan sendirinya, tidak memerlukan bayan lagi baik al-Qur’an
maupun hadits.
b) Mujmal, yang penjelasannya diterangkan oleh al-Qur’an sendiri
c) Mujmal, yang penjelasannya diterangkan oleh al-Sunnah (hadits).6
2. Al-Sunnah.
Sumber kedua menurut Ibnu Hazm adalah al-Sunnah, yaitu meliputi
perkataan, perbuatan dan taqrir Rasulullah SAW. Alquran dan al-Sunnah adalah
6 Rahman Alwi, Metode mazhab Al-Zahiri Alternatif menyongsong Modernitas,…,hlm.74
6
dua sumber hukum yang saling melengkapi, keduanya mempunyai kekuatan yang
sama dalam menetapkan hukum, dan sumbernya satu yaitu Allah SWT.
Sunnah qauliyyah yang terdiri dari awamir dan nawahi harus diambil
zahirnya, bahwa perintah menunjukkan kepada kewajiban dan larangan
menunjukkan kepada keharaman, semuanya menuntut untuk dilakukan dengan
segera kecuali ada hal lain yang menunjukkan kebalikannya. Sunnah fi’liyah Nabi
tidak menunjukkan kepada arti wajib tapi sunnah, karena perbuatan Nabi adalah
merupakan qudwah, kecuali perbuatan-perbuatan yang menjelaskan kepada
perintah, seperti perbuatan Nabi yang sebelumnya atau sesudahnya terdapat nash
tentang perbuatan Nabi tersebut. Sedang Taqrir Nabi menunjukkan pada ibahah.
Sunnah Mutawatirah menurut Ibnu Hazm tanpa membatasi jumlah perawi,
asalkan perawi terjamin dari perbuatan dosa, hal tersebut karena tidak ada dalil
yang membatasi jumlah perawi. Jika sebuah hadits sampai pada derajat mutawatir,
maka harus diamalkan dan dapat menjadi hujjah. Sedangkan sunnah ahad,
“manaqalu al-wahid ‘an al-wahid” hingga sampai kepada Rasulullah SAW, harus
diterima jika diriwayatkan oleh orang yang tsiqah. Keberadaan hadits mauquf dan
mursal ditolak oleh Ibnu Hazm sebagai hujjah, hal tersebut karena menurut Ibnu
Hazm tidak semua sahabat Nabi adalah orang yang adil, bahkan di antara mereka
ada yang murtad dan munafik. Namun menurut Ibnu Hazm kedua jenis hadits
tersebut dapat diterima menjadi hujjah jika ada ijma’ yang sah terhadap makna
hadits tersebut. Al-Sunnah yang mutawatir dan ahad menurut Ibnu Hazm dapat
menasakh Al-Qur’an, namun nasakh hanya terjadi pada masa Rasulullah, maka
ketika Rasulullah wafat dan wahyu berhenti, tidak mungkin terjadi nasakh
kembali. Karena untuk menasakh suatu hukum sebuah nash diperlukan nash yang
lain, dan nash tersebut terputus dengan wafatnya Nabi. Jika seandainya sebuah
nasakh baru diketahui setelah wafatnya nabi, bukan berarti nasakh tersebut terjadi
setelah wafatnya Nabi.7
Mengenai khususnya al-Sunnah ini, Ibnu hazm memandangnya sebagai
salah satu nash yang ikut membina syari’at, meskipun kehujjahannya sebenarnya
di ambil dari al-Qur’an itu sendiri. Hal ini tidak berbeda apa yang dimaksudkan
7 Ibnu Hazm, Al-Ihkam Fi usul Al-Ahkam, Jilid I, Maktabah’Atif, …, hlm.518
7
oleh Imam Syafi’I dalam memandang Alquran dan al-Sunnah, yaitu dua hal yang
satu sama lainnya saling melengkapi dan menyempurnakan, dan keduanya
(alquran dan al-Sunnah) disebut sebagai “nusus”.8
3. Ijma’
Sumber pokok ketiga dalam berinsibath menurut Ibnu hazm adalah Ijma’
yang bersumber dari al-Qur’an dan al-Sunnah. Ijma’ adalah hujjah kebenaran
yang meyakinkan di dalam agama islam.9 Ibnu Hazm menguatkan pendapatnya
dari zhahir beberapa ayat:
a) Surat An-Nisa’ : 115
“ Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran
baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, kami
biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu10 dan kami
masukkan ia ke dalam jahanamitu seburuk-buruknya tempat kembali “.
b) Surat Ali Imran: 103
“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan
janganlah kamu bercerai berai”.
c) Surat Al-Anfal :46
8 Muhammad Abu Zahrah, Tarekh Al-Mazahab al-Islamiyyah, op.cit, hlm. 5879 Ibid,…,hlm. 52510 Allah biarkan mereka bergelimang dalam kesesatan.
8
“Dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu berbantah-
bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu dan
bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar”.
d) Surat An-Nisa’: 82
“kalau kiranya Al-Qur’an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka
mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya”.
Keempat ayat tersebut menurut Ibnu Hazm menguatkan pendapatnya
tentang kehujjahan ijma’. Dan mencela perbedaan karena perbedaan mengarah
kepada perpecahan, dalam agama hanya ada dua hal, ijma’ atau ikhtilaf, dan kita
harus mengambil Ijma’.11 Dan ijma’ yang menjadi hujjah adalah ijma’ para
sahabat Rasulullah SAW, berdasarkan :
a) Karena Ijma’ yang demikian (para sahabat) tidak diperselisihkan oleh
siapapun, maka kesepakatan (Ijma’) para sahabat tanpa ada perbedaan adalah
Ijma’yang qath’I, sahih.
b) Karena Agama Islam telah sempurna (Al-Maidah : 3), sehingga tidak boleh
hukumnya menambah-nambah sesuatu yang telah sempurna. Untuk
mengetahui apa yang diinginkan oleh Allah SWT harus melalui Rasul-Nya,
dan para sahabat Rasul adalah mereka yang selalu bersama, melihat dan
mendengerkan ajaran Rasul tentang keinginan Allah SWT, maka Ijma’
merekalah Ijma’ yang wajib diikuti.12
c) Ijma’ yang demikian adalah Ijma’ yang berdasarkan nash Alquran dan al-
Sunnah. Hal tersebut karena para sahabat hidup pada masa Rasulullah dan
banyak belajar dari beliau, maka menurut Ibnu Hazm, apa yang mereka
sepakati adalah Ijma’ yang wajib diikuti, karena Ijma’ tersebut dinukil dari
Rasulullah.
11 Wahbah Zuhaili, Ushul al-fiqh al-Islami, Daar al-Fikr,Beirut, Juz 1, hlm.43112 Ibnu Hazm, Al-Ihkam,…., hlm. 553
9
Ibnu Hazm juga mengkritik imam Malik yang menjadikan Ijma’ ahlu
Madinah sebagai hujjah, hal tersebut dikarenakan :
a) Ijma’ seperti ini adalah hal yang tidak mempunyai dasar.
b) Keutamaan Madinah hanya berlaku pada masa itu saja.
c) Orang yang menyaksikan wahyu adalah para sahabat, sedangkan orang
setelah mereka tidak,
d) Perselisihan umat manusia juga terjadi di Madinah.
4. Al – Dalil
Selain tiga sumber hukum di atas, Ibnu Hazm menggunakan Al-Dalil,
ketika tidak ada nash dalam persoalan tertentu, guna menjawab persoalan yang
baru yang muncul akibat perubahan sosial. Dalam istidlal, Al-Dalil ada dua :
a) Al-Dalil yang diambil dari nash.
b) Al-Dalil yang diambil dari Ijma’.
Al-Dalil yang diambil dari nash terbagi menjadi tujuh, yaitu :
a) Nash yang terdiri dari dua proposisi (muqaddimah), yaitu muqaddimah
kubra dan suqhra tanpa konklusi dan natijah, mengeluarkan natijah dari
dua muqaddimah tersebut dinamakan al-Dalil, seperti sabda Rasulullah
SAW : “Kullu muskirin khamrun wakullu khamrin haram”, dan natijah
kullumuskirin haram adalah al-Dalil menurut Ibnu Hazm.
b) Qadhaya Mudarrajat (proposisi berjenjang), yaitu pemahaman bahwa
derajat tertinggi dipastikan berada di atas derajat yang lain di atasnya. Ibnu
Hazm mencontohkan, apabila terdapat pernyataan bahwa Abu Bakar lebih
utama dari Umar dan Umar lebih utama dari Utsman, maka makna lain
dari linkaran tersebut adalah Abu Bakar lebih utama dari Utsman. Begitu
juga dalam hadits Nabi : “ sebaik-baik kamu adalah orang di zamanku
10
(sahabat, setelah itu zaman sesudahnya (tabi’in) setelah itu zaman
sesudahnya (tabi’in-tabi’in))”.
c) ‘Aks Qadaya (kebalikan proposisi), dimana bentuk proposisi kulliyat,
mujab kulliyat dibalik dalam bentuk proposisi juz’iyyat, mujab juziyyat,
seperti pernyataan : “setiap yang memabukkan adalah khamr” dibalik
menjadi : “sebagian dari hal yang diharamkan adalah yang memabukkan”.
d) Cakupan makna yang merupakan keharusan untuk menyertai makna yang
dimaksud, atau suatu lafaz mempunyai makna hakiki, namun juga
memiliki beberapa makna yang otomatis menempel padanya.
Pengembalian makna lain yang tidak terlepas makna tersebut dinamakan
dengan al-Dalil. Seperti ungkapan “Zaid sedang menulis” dalam kalimat
ini mengandung makna bahwa Zaid itu hidup, mempunyai anggota badan
yang dapat digunakan untuk menulis.
e) Penetapan segi keumuman makna, seperti keumuman fi’il Syarat. Contoh
dalam al-Qur’an al-Anfal : 38 “Katakanlah kepada orang-orang yang kafir
itu : “jika mereka berhenti (dari kekafirannya), niscaya Allah akan
mengampuni mereka tentang dosa-dosa mereka yang sudah lalu; dan jika
mereka kembali lagi sesungguhnya akan berlaku (kepada mereka) sunnah
(Allah terhadap) orang-orang dahulu””. Dzahir dari ayat tersebut adalah
orang-orang kafir yang menentang Nabi, namun yang dipahami dari
keumuman lafaz adalah bukan kekhususan sabab, namun makna yang
terkandung adalah umum.
f) Nash memiliki makna tertentu, lalu makna tersebut diungkapkan dengan
pernyataan lain yang semakna dengan lafaz (al-mutala’imat). “Dan kami
wajibkan kepada manusia untuk berbuat baik kepada kedua orang tua (Al-
Ankabut)”
g) Ayat diatas menurut Ibnu hazm memberikan pelajaran kepada kita bahwa
wajib berbuat baik kepada kedua orang tua, dan perbuatan yang
bertentangan dengan itu dilarang termasuk perkataan (ah) Uffin.
h) Sesuatu yang bukan wajib dan bukan haram, hukumnya adalah mubah,
11
Sedangkan al-Dalil yang diambil dari Ijma’ ada empat macam :
a) Istishab al-hal
b) .Aqallu ma qila
c) Ijama’ untuk meninggalkan pendapat tertentu
d) Ijma’ tentang universalitas hukum.13
D. Ciri dan contoh-contoh ijtihad beliau
Ijtihad bagi Ibnu Hazm merupakan persoalan pentingyang wajib diketahui
maknanya oleh semua muslim. Ibnu Hazm membahas tentang ijtihad ini pada bab
empat puluh dalam kitabnya, al-ihkam fi Ushul al-Ahkam.
Ia menulis bahwa lafal ijtihad berwazan ifti’al jahada atau al-juhdu
(dalam arti bersungguh-sungguh atau kemampuan/kekuatan), sedangkan hakikat
maknanya adalah memanfaatkan kemampuan untuk mencari sesuatu yang
dikehendaki mengetahuinya, baik adanya sesuatu itu berupa harapan maupun
berupa keyakinan.
Selanjutnya Ibnu Hazm menjelaskan tentang ijtihad dalam syari’at, ia
menyatakan :
ماال الحكم ذلك يوجد حيث النازلة حمك طلب فى الطاقة استفاد هو
بالديانة العلم أهل من أحد بين خالف
“Ijtihad adalah memanfaatkan kemampuan untuk mencari hukum dari
sesuatu yang terjadi dimana didapati hukumnya tidak ada perselisihan di antara
ahli ilmu tentang kebenaran agamanya”.
Bagi Ibnu Hazm hukum-hukum syari’at itu seluruhnya merupakan
keyakinan yang telah Allah jelaskan dengan sejelas-jelasnya tanpa adanya
perselisihan, sehingga menurut semua ulama pasti mampu menemukan hukum-
hukum syari’at itu, karena :
13 Ibnu Hazm, Al-Ihkam,…., hlm. 26
12
“Allah SWT tidaklah membebani seseorang kecuali sesuai dengan
kemampuannya” (Q.S. Al-baqarah ayat 286)
“Dan Allah SWT tidak membuat kesulitan dalam agama “(Q.S. Al-Hajj
ayat 78)
Dengan demikian, ijtihad menurut Ibnu Hazm adalah menarik hukum-
hukum syari’at dari nash dimana nash telah jelas dan nyata bagi ahli ilmu yang
berkehendak menggali hukum-hukumnya. Dengan manhaj tersebut, Ibnu Hazm
berpendirian bahwa semua muslim wajib berijtihad sesuai kemampuannya
sekaligus juga mengharamkan taklid.14
E. bedanya istinbath dengan imam mazhab yang lain
Ibnu Hazm mempunyai fiqh yang berciri khas. Beberapa pendapatnya
tidak dikemukakan di dalam fiqh imam-imam lainnya, diantaranya :
1. Tindakan orang yang sedang sakit yang membawa kematiannya dipandang
sama dengan tindakan orang yang sehat (boleh berwasiat/mentalakkan istri).
2. Istri boleh bersedekah dengan harta suaminya.
3. Hakim boleh membatalkan wasiat seseorang yang dipandang merugikan
sesuatu pihak.
4. Hakim boleh melaksanakan wasiat yang diwasiatkan untuk sebagian kerabat
orang yang meninggal, yang masih kecil-kecil yang tidak dapat menerima
pusaka.15
Ringkasnya dalam menetapkan hukum, beliau berpegang kepada
Kitabullah, Sunnah Rasul dan Ijma’ (harus semua sahabat sepakat). Ibnu Hazm
tidak menerima pendapat Sahabi, sedangkan imam empat menerimanya, Ibnu
Hazm berpegang kepada zhahir Kitab dan Sunnah, yaitu menanggapi makna yang
14 Rahman Alwi, Metode mazhab Al-Zahiri Alternatif menyongsong Modernitas,…,hlm.6015 M.Ali Hasan, Perbandingan Mazhab, Cet.1 (Jakarta:Raja Grafindo Persada, 1995), hlm. 237
13
khas terlintas di hati di waktu menyebut lafal-lafal, tanpa meneliti illatnya dan
tanpa mengqiyaskan sesuatu kepadanya.
Sebagaimana telah dikemukakan terdahulu, bahwa orang yang berjunub
dan haid boleh memegang al-Qur’an dan membacanya menurut Imam Daud, dan
Ibnu Hazm pun berpendirian demikian. Kalau Daud mengatakan bahwa al-Qur’an
itu makhluk, maka Ibnu Hazm menandaskan bukan makhluk. Kendati dalam
menetapkan hukum, sebagian besar berdasarkan kepada zhahir nash, namun
kelihatannya ada juga yang ditetapkan secara tersirat sebagaimana contohbyang
telah disebutkan di atas.16
F. Murid dan pengembang mazhab sesudah beliau serta buku utama
mazhab
Ibnu Hazm juga mempunyai beberapa murid setia yang menyebarkan
pendapat-pendapatnya, diantara mereka adalah, Abu Abdullah Al-Humaidi,
Suraih bin Muhammad bin Suraih Al-Muqbiri, Abu Rafi’, Abu Usamah Ya’qub,
Abu Sulaiman Al-Mus’ib, Imam Abu Muhammad bin Al-Maqribi.17
Sebagian seorang ilmuwan Ibnu Hazm meninggalkan warisan berupa buku
karangan yang terhitung banyak, diantara buku karangannya adalah :
1. Ibthal Al-Qiyas wa Al-Ra’yu wa Al-Taqlid wa Al-Ta’lil
2. Al-Ijma’ wa masa’iluhu Ala Abwab Al-Fiqh
3. Al-Ihkam fi ushul Al-Ahkam
4. Al-Akhlaq wa Al-Siar
5. Asma’u Alkulafa’ wa Al-Mulat
6. Asma’u Al-Sahabah wa Al-Ruwat
7. Asma’ullah Ta’ala
8. Al-Nubdzah fi Ahkam Al-Fiqh Al-Dhahiri
9. Ashabu Al-Fataya
16 M.Ali Hasan, Perbandingan Mazhab,….,hlm. 23817 Muhammad Abu Zahrah, Tarikh al-Madzahib, ….,hlm.434
14
10. Idharu tabdil Al-Yahud wa Al-Nashara li Al-Taurat wa Al-Injil
11. Al-Imamah wa Al-Siyasah
12. Al-Imamah wa Al-Mufadhalah
13. Al-Ishal ila fahmi Al-Hishal
14. Al-Taqrib bihaddi Al-Mantiq wa Al-Madkhalilaih
15. Al-Talkhlish wa Al-Talkhlish
16. Al-Jami’ fi Shahih Al-Hadits
17. Jumal Futuh Al-Islam ba’da rasulullah
18. Jamharatu Ansab Al-Arab
19. Jawami’u Al-Sirah
20. Risalah fi Fadhil Al-Andalus
21. Syarhu Ahadis Al-Muwattha’
22. Thuqu Al-Hamamah
23. Al-Shadiq wa Al-Radi’
24. Al-Fash fi Al-Milal wa Al-Ahwa’ wa Al-Nahl
25. Al-Qira’at Al-Mashurah fi Al-Amshar
26. Qashidah fi Al-Hija’
27. Kasyfu Al-Litibas
28. Al-Majalla
29. Al-Muhalla
30. Maratib Al-Ijma’
31. Masa’il Ushul Fiqh
32. Ma’rifatu Al-Nasikh wa Al-Mansukh
33. Muntaqa Al-Ijma’ wa Bayanuhu
34. Al-Nashaih Al-Munjiyah min Al-Fadhaih Al-Mukhziyah
35. Naqthu Al-‘Arusy fi Tawarikh Al-Khulafa’
36. Naka Al-Islam.18
18 Ibnu Hazm, Al-Nubdzah,…..,hlm. 8
15
BAB III
KESIMPULAN
Keluasan ilmu Ibnu Hazm, hal pengembangan ilmu-ilmu terlihat dari
banyaknya buku yang diwariskan kepada generasi sesudahnya. Ibnu Hazm telah
memberi sumbangan pemikiran yang sangat luar biasa khusunya dalam bidang
Ushul Fiqh dengan karyanya al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam, dengan penampilan
dan gaya yang berbeda dengan ahli ushul yang lain.
Ibnu Hazm menolak penggunaan ra’yu seperti qiyas, istihsan, mashlahah
mursalah, saddal-dara’I’, ta’li al-ahkam dan yang lainnya, karena cenderung
16
digunakan untuk memuaskan hawa nafsu penguasa kala itu. Sumber hukum
menurut Ibnu Hazm adalah al-Qur’an, al-Sunnah, dan Ijma’ para sahabat, dengan
menerapkan hukum-hukum yang dzahir, yaitu mengambil makna yang terlintas di
hati sewaktu menyebut makna lafaz tanpa meneliti illatnya dan tanpa
mengisyaratkan sesuatu padanya.
Ibnu Hazm juga mendobrak kejumudan dengan berpendapat bahwa taqlid
adalah haram, dan mengajak para ulama untuk menolak taqlid. Untuk menjawab
masalah-masalah komntemporer kala itu Ibnu Hazm menggunakan metode istidlal
dengan al-Dalil. Al-Dalil ada yang diambil dari nash, jumlahnya ada tujuh, dan
ada yang diambil dari Ijma’, jumlahnya ada empat.
DAFTAR PUSTAKA
Ibnu Hazm, Al-Ahkam Fi Usul Al-Ahkam, Jilid I, Maktabah’ atif, 1978
Ibnu Hazm, Al-Ushul wa Al-Furu’, Daar Nahdhah Al-Ilmiyyah, Cairo 1978
Ibnu Hazm, An-Nubdzah al-Kafiyah fi Ahkam Ushul al-Din, Daar al-Kutub
al-‘ilmiyyah, Beirut 1985 M/1405
Ibnu Hazm Hayatul Wa’Asruh Arauh Wa Fiqhuh, Dar al Fikr Al-Araby, 1954
17
M. Ali Hasan, Perbandingan Mazhab, Cet. 1 Jakarta : Raja Grafindo Persada,
1995
Muhammad Abu Zahrah Tarekh Al-Mazahib Al-Islamiyyah, Dar al-Fikr al-
Araby, Cairo, 1952
Muslim Ibrahim, Pengantar Fiqh Muqarram, Jakarta : Erlangga, 1991
Rahman Alwi, Metode Mazhab al-Zahiri Alternatif Menyongsong Modernitas,
Cet. 1, Jakarta : Gaung Persada Press, 2005
Sobhi Mahmassani, Falsafah al-Tasyri’ Fi al-Islam, terj. Ahmad Sudjono,edisi 2,
Al-Ma’arif : Bandung, 1981
Teungku M. Hasbi Ash Shiddieqy, Pokok-pokok PeganganImam Mazhab, Cet.
1, Semarang : Pustaka Rizki Putra, 1997
18