makalah estetika (filsft ilmu)
TRANSCRIPT
ESTETIKA
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Filsafat Ilmu
Konsentrasi Psikologi Pendidikan Islam
Dosen : Prof. Dr. H. Cecep Sumarna, M.Ag.
Disusun Oleh :
ABDU AZIS AHMADI
NIM : 505920034
PROGRAM PASCA SARJANA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI ( IAIN )
SYEKH NURJATI CIREBON
TAHUN 2010
1
A. PENDAHULUAN
Posisi estetika tak berbeda dari atau tak perlu dibeda-bedakan dengan
wilayah-wilayah studi filsafat yang lainnya, entah itu epistemology, etika dan
sebagainya. Demikian juga dengan cabang-cabang keilmuan yang lain. Ia tidak
lebih utama, tidak lebih superior dari yang lain, biasa-biasa saja. Masalahnya
adalah tidak ada satu ilmu pun, termasuk estetika pada khususnya dan filsafat
pada umumnya, yang mampu menjadi ilmu dengan posisi “tersendiri”, seberapa
tinggi atau rendah pun status yang diberikan oleh komunitas akademik terhadap
keberadaan ilmu tersebut. Tidak ada satu ilmu yang “tersendiri”, yang posisinya
terisolasi dari ilmu-ilmu yang lainnya.
Apalagi untuk masa tiga dasawarsa terakhir ini sekat-sekat ketat yang
memberi batas yang tegas antara satu ilmu dengan ilmu yang lain sudah runtuh,
atau sudah waktunya untuk diruntuhkan. Inilah yang disebut oleh Clifford Geertz
sebagai gejala Blurred Genre, yakni ketika kita dengan background keilmuan
apapun mengadopsi sebuah lingua franca yang sama. Karya-karya Sigmund Freud
atau Jacques Lacan, untuk sekedar contoh, tidak lagi dibaca oleh psikoanalisis
semata, tetapi oleh kita semua. Juga Roland Barthes, karyanya tidak cuma dibaca
oleh kalangan kritikus sastra, tapi oleh lebih banyak lagi orang. Merembes keluar
dari sekat-sekat disipliner yang kaku. Ahli ilmu politik, filsuf, linguis, kritikus
seni, arsitek, psikolog, atau sosiolog tidak lagi peduli pada sekat-sekat tersebut,
lalu sama-sama membaca Jacques Derrida atau Pierre Bourdieu. Ini yang disebut
tadi sebagai lingua franca.
2
Begitu pula halnya dengan estetika, ia telah kehilangan sekat-sekatnya,
batas-batas yang dahulu telah membuatnya menjadi sebuah ruang yang esoterik.
Ia menyebar, membaur dengan disiplin-disiplin yang lain. Kalau ia sudah
menyebar seperti itu, berarti ia bisa ada dimana saja dan kapan saja, seperti coca
cola. Itu juga sekaligus berarti bahwa estetika tidak lagi punya posisi yang
penting, apalagi yanng “tersendiri”.
Tetntu saja estetika pernah dan, pada ruang lingkup tertentu, masih
memiliki prestise tertentu. Itu kalau kita pahami estetika bukan melulu sebagai
bidang filsafat, melainkan lebih sebagai seperangkat prinsip normatif yang
meminjam istilah Pierre Bourdieu, mendisposisikan praktik-praktik berkesenian.
Jadi, secara lebih restricted, pengertian estetika yang terakhir ini adalah estetika
sebagai sesuatu yang dijadikan landasan normatif untuk menilai karya seni.
Karena dalam pergaulan keseni(man)an, yang dimaksud dengan estetika
cenderung seperti itu. Bukan filsafat estetika, melainkan hanya sebagai alat untuk
mengevaluasi, membuat hierarki, dan semacamnya. Misalnya dengan dalih
estetika, seorang seniman bisa berbuat apa saja dan produknya tetap disebut
sebagai karya seni. Seorang perupa meletakkan beberapa keranjang sampah
disebuah galeri, dan itu disebut karya seni instalasi oleh kritikus. Seorang penyair
menuliskan sebaris kalimat, “Bulan di atas kuburan,” dan itu disebut sebagai
puisi, yang bahkan pernah menimbulkan perdebatan tafsir yang prestisius di
tingkat elit kritikus sastra. Di sini estetika tidak lebih sebagai modal simbolik
yang diinfestasikan sebagai pemarkah kelas sosial seniman atau kritikus seni.
3
Dalam hubungannya dengan praktik kritik seni, sampai sejauh ini estetika
pun lebih cenderung diperlakukan oleh para kritikus sebagai prinsip-prinsip
normatif yang meregulasi apa dan bagaimana (berke)seni(an), dengan
standarisasi-standarisasi atau semacamnya. Seorang kritikus membuat penilaian
atas sebuah karya seni dengan legitimaasi paham-paham estetis tertentu, misalnya.
Maka tidak heran kalau keranjang-keranjang sampah yang dicontohkan di atas
disebut sebagai karya seni hanya lantaran ia menjadi bagian dari komunitas
wacana tertentu, sementara perabot dapur ibu-ibu petani jawa tidak pernah
sekalipun dihargai seperti itu, lalu karya seni X dinilai lebih baik, lebih sublim,
lebih menukik, lebih indah, lebih menyentuh, dan sebagainya, dibandingkan
dengan yang lain. Oleh karena itu, andai kata ada orang berbicara perkara estetika,
kita perlu segera menegaskan posisi pemahamannya : estetika dalam pengertian
yang bagaimana ?
B. PEMBAHASAN
1. Apa dan Bagaimana Estetika ?
Secara sederhana estetika adalah ilmu yang membahas tentang keindahan,
Estetika disebut juga dengan filsafat keindahan ( Philosophy of Beauty ), yang
berasal dari kata aisthetika atau aesthesis ( Yunani ) yang artinya hal-hal yang
dapat dicerap dengan indera atau cerapan indera. Estetika membahas hal yang
berkaitan dengan refleksi kritis terhadap nilai-nilai atas sesuatu yang disebut
indah atau tidak indah.
4
Sekitar 500-300 SM, pemikir dari zaman Yunani, seperti Socrates , Plato,
Aristoteles, Plotinus, dan St. Agustinus ( di Zaman kemudian ). Mereka
membicarakan seni dalam kaitannya dengan filsafat mereka tentang apa yang
disebut “Keindahan”. Pembahasan tentang seni masih dihubungkan dengan
pembahasan tentang keindahan. Inilah sebabnya pengetahuan ini disebut filsafat
keindahan, termasuk di dalamnya keindahan alam dan keindahan karya seni.
Seni (art) aslinya berarti teknik, pertukangan, keterampilan yang dalam
bahasa Yunani Kuno sering disebut techne. Pada pertengahan abad ke XVII, di
Eropa dibedakan keindahan umum (termasuk alam) dan keindahan karya seni atau
benda seni. Dari sinilah muncul fine art atau hight art ( seni halus dan seni
tinggi ), yang dibedakan dengan karya-karya seni pertukangan (craft). Seni pada
zaman itu dikategorikan sebagai artifact atau benda hasil buatan manusia. Artefak
pada dasarnya dapat dikategorikan menjadi tiga golongan, yakni benda-benda
yang berguna tetapi tidak indah, kedua benda-benda yang berguna dan indah, dan
yang ketiga, benda-benda yang indah tapi tak ada kegunaan praktisnya. Artefak
jenis yang ketiga inilah yang dibisarakan dalam estetika.
Pada tahun 1750 istilah estetika diperkenalkan oleh filsuf bernama A.G.
Baumgarten (1714-1762). Istilah estetika ini diambil dari bahasa Yunani Kuno,
aistheton, yang berarti “kemampuan melihat melalui penginderaan”. Baumgarten
menamakan seni itu sebagai pengetahuan sensoris, yang dibedakan dengan logika
yang dinamakannya pengetahuan intelektual. Tujuan estetika adalah keindahan,
sedang tujuan logika adalah kebenaran.
5
Keindahan merupakan pengertian yang di dalamnya tercakup sebagai
aktivitas kebaikan. Plato misalnya menyebutkan tentang watak yang indah dan
hokum yang indah, sedangkan Aristoteles merumuskan keindahan sebagai sesuatu
yang selain baik juga menyenangkan. Plotinus menulis tentang ilmu yang indah
dan kebajikan yang indah. Berbicara mengenai buah fikiran yang indah dan adat
kebiasaan yang indah. Bangsa Yunani membedakan pengertian keindahan dalam
arti estetis yang disebutnya “symmetria” khusus untuk keindahan berdasarkan
penglihatan (seni rupa) dan “harmonia” untuk keindahan berdasarkan
pendengaran (musik). Sehingga pengertian keindahan dapat saja meliputi :
keindahan seni, keindahan alam, keindahan moral, dan keindahan intelektual.
Keindahan secara murni, menyangkut pengalaman estetis seseorang dalam
kaitannya dengan sesuatu yang dihayatinya. Sedangkan keindahan secara sempit
menyangkut benda-benda yang dihayatinya melalui indera. Ciri-ciri umum yang
ada pada semua benda dianggap indah dan kemudian menyamakan ciri-ciri atau
kwalita hakiki itu dengan pengertian keindahan. Ciri umum tersebut adalah
sejumlah kwalita yang secara umum disebut unity, harmony, symmetry, balance,
dan contrast. Ciri-ciri tersebut dapat dinyatakan bahwa keindahan merupakan satu
cermin dari unity, harmony, symmetry, balance dan contrast dari garis, warna,
bentuk, nada, dan kata-kata.
2. Estetika sebuah Kajian Filsafat dan Agama
Dalam perjalanannya, filsafat dari era Yunani Kuno hingga sekarang,
muncul persoalan tentang estetika, yaitu : pertanyaan apa keindahan itu ?
keindahan yang bersifat objektif dan subyektif, ukuran keindahan, peranan
6
keindahan dalam kehidupan manusia dan hubungan keindahan dengan kebenaran.
Sehingga dari pertanyaan itu menjadi polemik menarik terutama jika dikaitkan
dengan agama dan nilai-nilai kesusialaan.
Meskipun awalnya sesuatu yang indah dinilai dari aspek teknis dan
membentuk suatu karya, namun perubahan pola pikir dalam masyarakat akan
turut serta mempengaruhi penilaian tentang keindahan. Misalnya pada masa
romantisme di Prancis, keindahan berarti kemampuan menyajikan sebuah
keagungan. Pada masa realisme, keindahan berarti kemampuan menyajikan
sesuatu dalam keadaan apa adanya.
Perkembangan lebih lanjut menyadarkan bahwa keindahan tidak selalu
memiliki rumusan tertentu. Ia berkembang sesuai penerimaan masyarakat
terhadap ide yang dimunculkan oleh pembuat karya. Karena itulah selalu dikenal
dua hal penilaian keindahan, yaitu The Beauty, suatu karya yang memang diakui
banyak pihak memenuhi standar keindahan, dan The Ugly, suatu karya yang sama
sekali tidak memenuhi standar keindahan dan oleh masyarakat banyak biasanya
dinilai buruk, namun jika dipandang dari banyak hal ternyata memperlihatkan
keindahan.
Islam melihat keindahan sebagai sesuatu yang penting, karena terkait
aspek penilaian baik dan buruk yang merupakan kajian agama, sehingga
Rasulullah SAW dalam haditsnya mengatakan : “Sesungguhnya Allah itu indah
dan menyukai keindahan”. Karenanya Agama dan filsafat (estetika) ilmu
mempunyai keterkaitan satu sama lain. Filsafat Ilmu bertujuan sekurang-
kurangnya berhubungan dengan hal yang sama yaitu tentang kebenaran, ilmu
7
pengetahuan dengan metodenya sendiri mencari kebenaran tentang alam semesta
termasuk di dalamnya tentang manusia, sedangkan filsafat dengan wataknya
sendiri pula menghampiri kebenaran baik tentang alam maupun tentang manusia
yang belum atau tidak terjawab oleh ilmu pengetahuan, karena diluar atau di atas
jangkauannya termasuk tentang Tuhan. Sedangkan agama dengan keunikannya
sendiri pula memberikan jawaban atas persoalan azasi yang dipertanyakan
manusia baik tentang alam, tentang manusia, maupun tentang Tuhan.
Dalam dunia modern, orang cenderung memikirkan Tuhan siapa Dianya,
berapa jumlah-Nya, bagaimana sifat-sifat-Nya, bagaimana hubungan-Nya dengan
alam dan manusia, apa hukumnya dan bagaimana kekuasaan-Nya dan sebagainya.
Tetapi dalam brsahaja Tuhan tidak untuk difikirkan tapi untuk dihayati, karena itu
pemujaan terhadap-Nya diucapkan dengan susunan kata-kata penuh perasaan. Dan
susunan kata-kata yang indah itu lahir dari kesusasteraan. Kesusasteraan ialah
bahasa yang indah, indah dalam bentuk, bunyi dan isi. Diantara unsure-unsur seni
yang berkaitan dengan agama, menurut Sidi Gazalba, adalah : Dzikir Maulid,
Rudat, Kaligrafi, Permainan Kompang, Nasyid, Dzikir dan Tilawatil Qur’an.
Dan jika kita perhatikan titik persamaannya, baik ilmu, filsafat maupun
agama bertujuan (sekurang-kurangnya berurusan dengan hal yang sama) yaitu
kebenaran. Ilmu pengetahuan dengan metodenya sendiri mencari kebenaran
tentang alam (dan termasuk di dalamnya) manusia. Filsafat dengan wataknya
sendiri juga menghampiri kebenaran, baik tentang alam maupun tentang manusia
yang belum atau tidak dapat dijawab oleh ilmu karena di luar atau di atas
jangkauannya, atau pun tentang Tuhan. Agama ) dengan karakteristiknya sendiri
8
pula memberikan jawaban atas persoalan asasi yang dipertanyakan manusia, baik
tentang alam, maupun tentang manusia, ataupun tentang Tuhan.
Sedangkan titik perbedaannya adalah baik ilmu ataupun filsafat, keduanya
hasil dari sumber yang sama, yaitu ra’yu (akal, budi, dan rasio) manusia.
Sedangkan agama bersumber dari wahyu Allah. Ilmu pengetahuan mencari
kebenaran dengan jalan penyelidikan (riset), pengalaman (empiris) dan percobaan
(eksperimen). Sebagai batu ujian. Filsafat menghampiri kebenaran dengan cara
menualangkan (menngembara atau mengelanakan akal budi secara radikal
(mengakar) dan integral (menyeluruh) serta universal (mengalami), tidak merasa
terikat oleh ikatan apapun kecuali oleh ikatan tangannya sendiri bernama logika.
Manusia mencari dan menemukan kebenaran dengan dan dalam agama
dengan jalan mempertanyakan (mencari jawaban tentang) berbagai masalah asasi
dari atau kepada kitab suci, kodifikasi, firman ilahi untuk manusia di atas planet
bumi ini. Kebenaran ilmu dan filsafat sifatnya relative (nisbi), sedangkan
kebenaran agama sifatnya absolut (mutlak), karena wahyu diturunkan oleh Dzat
Yang Maha Benar, Maha Mutlak, dan Maha Sempurna, yaitu Allah SWT. Baik
ilmu ataupun filsafat kedua-duanya dimulai dengan sikap sangsi atau tidak
percaya. Sedangkan agama dimulai dari sikap percaya atau iman.
3. Unsur-unsur Pokok Pengalaman Estetis
Seperti pada umumnya, sebagai syarat agar suatu kebudayaan dapat
muncul dan berkembang, disinipun ternyata perlu kebutuhan-kebutuhan pokok
manusia sudah terpenuhi. Pengalaman estetis ternyata berdasarkan pengamatan
inderawi, sekaligus seluruh manusia ikut terbawa oleh pengamatan itu, jiwa raga
9
dengan segala kemampuan-kemampuan lainnya; bagaikan terkait dan terpikat
oleh hatinya. Umpamanya dalam pengalaman tentang keindahan (kedahsyatan)
alam, maupun dalam pengalaman tentang keindahan karya seni (lukisan, patung,
music, karya sastra, dll). Pengalaman seperti itu “makan waktu” dan “waktu
berhenti”, bagaikan manusia untuk sementara waktu meninggalkan dunia sehari-
hari, dalam hal ini pun ada miripnya dengan pengalaman rohani / religious.
4. Perbedaan Antara Filsafat dan Sains Estetik
Dalam perkembangannya Estetika termasuk dalam bidang filsafat,
termasuk di dalamnya Sains yang juga banyak membahas tentang estetika bahkan
dalam kondisi tertentu Sains lebih banyak forsi pembahasannya dibanding filsafat.
Dengan akalnya manusia membentuk pengetahuan. Dan jika
diklasifikasikan pengetahuan dibagi dalam tiga kategori, yaitu : pengetahuan
inderawi, pengetahuan sains, dan pengetahuan filsafat.
Pengetahuan yang pertama merupakan pengetahuan awal dan asas serta
menjadi pengetahuan terbanyak dalam khazanah pengetahuan manusia. Kategori
kedua merupakan pengetahuan yang tidak secara langsung, tapi melalui metode
tertentu yang disebut metode ilmiah (yang terdiri dari pemikiran sistematik,
penyelidikan dan eksperimen), sedang kategori yang ke tiga adalah pengetahuan
intelek yang dicapai melalui metode berfikir filsafat (untuk menjawab
permasalahan yang tidak dapat dipecahkan oleh kategori pertama dan kedua)
karenanya system berfikirnya secara sistematik, radikal dan universal.
Jika dikaji lebih mendalam antara filsafat dan sains sesungguhnya tidak
tidak terdapat perbedaan prinsip, hanya ruang lingkupnya. Missal epistimologi,
10
methodology, dan logika masuk kebidang teori pengetahuan sedang estetika dan
etika masuk kedalam bidang teori nilai. Ada tiga nilai positif : Benar, baik, dan
bagus. Kebenaran dikaji oleh sains, kebaikan oleh etika sedang keindahan (bagus)
dikaji oleh estetika.
5. Ruang Lingkup Filsafat dan Sains Estetika
Pada awalnya estetika difilsafatkan, karenanya filsafat estetika disebut
estetika tradisional atau estetika analitis. Disebut tradisional karena bersifat
metafisika dan disebut analitis karena pembahasan yang dilakukannya
menguraikan perkara-perkara estetik, berbeda dengan estetika empiris yang
dipelajari secara ilmiah, timbul dimasa belakangan. Adapun ruang lingkup
estetika menurut Sidi Ghazalba meliputi kajian-kajian berikut :
1. Keindahan (kajian filsafat)
2. Keindahan dalam alam (kajian filsafat)
3. Keindahan khusus pada seni (kajian filsafat)
4. Penciptaan dan kritik seni serta peranannya (kajian sains)
5. Cita rasa ( kajian filsafat dan sains)
6. Ukuran nilai (kajian filsafat)
7. Keindahan dan kejelekan (kajian filsafat)
8. Nilai estetik sebagai nilai bukan moral (kajian filssafat)
9. Benda estetik (kajian sains)
10. Pengalaman estetik ( kajian sains)
Pada abad ke XIX estetika ilmiah itu disebut estetika modern, berlawanan
dengan estetika tradisional yang bersifat falsafah, dan kajian keindahan secara
11
falsafah tidak lagi memuaskan orang, karena pengertiannya terlalu sempit, kabur,
dan abstrak. Karena itu orang kemudian lebih suka mengkaji sasaran estetika
dalam masyarakat yang berbentuk gejala dan melembaga, sehingga ia dapat
dibicarakan secara empiris dan ilmiah.
Yang dimaksud dengan gejala dan melembaga itu ialah seni sebagai
sebuah kebudayaan. Dan kajian tentang seni itu dapat didekati dari sudut sejarah,
antropologi, sosiologi, dan kajian empiris lainnya. Misalnya dengan pendekatan
seni secara objektif pada karya seni, anatomi bentuk pertumbuhan gaya dari
zaman ke zaman.
Selanjutnya dengan metode ilmiah, kita dapat mengkaji : perubahan seni
dalam perjalanan sejarah, tabiat manusia yang melahirkan aktifitas kesenian,
peranan seniman atau karya seni dalam masyarakat, dampak dakwah melalui seni,
unsure-unsur seni yang dikandung oleh agama.
6. Pengalaman Keindahan
Masalah keindahan biasanya dikaitkan dengan karya-karya yang indah,
barang-barang yang bagus, perempuan yang jelita, perempuan yang cantik. Tapi
kita tidak mampu merumuskan apa itu indah, bagus, jelita, cantik, dan lainnya.
Karenanya keindahan menjadi masalah, karena ia terasa ada, tapi terkatakan tidak.
Dalam estetika dikenal ada dua pendekatan, yaitu langsung meneliti
estetika dalam objek-objek yang indah serta karya seni dan menyoroti situasi
kontemplasi rasa indah yang dialami si objek (pengalaman keindahan dalam diri
orangnya). Para pemikir modern cenderung member perhatian pada pendekatan
12
yang kedua, pengalaman keindahan, karena karya seni mampu memberikan
pengalaman keindahan dari jaman ke jaman.
Oleh karena itu tidak heran jika Clive Bell mempunyai credo “estetika
harus berangkat dari pengalaman pribadi yang berupa rasa khusu dan istimewa”.
Dan keindahan lebih lanjut menurutnya hanya dapat ditemukan dari orang yang
dalam dirinya punya pengalaman mengenali wujud dan makna suatu benda atau
karya seni tertentu dengan getaran atau rangsangan keindahan.
Sedang dalam pengertian yang luas, orang Yunani membedakan
keindahan kedalam, indah yang berpadu dengan kebaikan (estetika yang integrasi
dengan etika), indah estetik berdasarkan penglihatan dan indah estetik
berdasarkan pendengaran. Sedang Plato mendefinisikan sebagai watak dan hukum
yang indah, dan Aristoteles mengatakan sebagai sesuatu yang menyenangkan dan
baik, sementara Plotinus menyebutkan sebagai ilmu dan kebaikan yang indah.
Dari pengertian di atas keindahan tidak hanya terbatas pada seni dan alam
tapi juga pada moral dan intelektual. Moral yang indah tentunya moral yang baik
dan intelek yang indah adalah intelek yang benar, karena bagus, baik, dan benar
merupakan nilai positif yang saling terkait.
C. KESIMPULAN
Estetika adalah ilmu yang membahas tentang keindahan, estetika disebut
juga dengan filsafat keindahan (philosophy of beauty), yang berasal dari kata
aisthetika atau aesthesis (Yunani) yang artinya hal-hal yang dapat dicerap dengan
indera atau cerapan indera. Estetika membahas hal yang berkaitan dengan refleksi
13
kritis terhadap nilai-nilai atas sesuatu yang disebut indah atau tidak indah. Dan
keindahan meliputi : keindahan seni, keindahan alam, keindahan moral, dan
keindahan intelektual.
Keindahan secara murni, menyangkut pengalaman esotis seseorang dalam
kaitannya dengan sesuatu yang dihayatinya. Sedangkan keindahan secara sempit
menyangkut benda-benda yang dihayatinya memalui indera. Ciri-ciri umum yang
ada pada semua benda dianggap indah dan kemudian menyamakan ciri-ciri atau
kwalitas hakiki itu dengan pengertian keindahan. Ciri umum tersebut adalah
sejumlah kwalitas yang secara umum disebut unity, harmony, symmetry, balance,
dan contrast. Ciri-ciri tersebut dapat dinyatakan bahwa keindahan merupakan satu
cermin dari unity, harmony, symmetry, balance, dan contrast dari garis, warna,
bentuk, nada, dan kata-kata.
Namun demikian keindahan tidak hanya terbatas pada seni dan alam tapi
juga pada moral dan intelektual. Moral yang indah tentunya moral yang baik dan
intelek yang indah adalah intelek yang benar, karena bagus, baik, dan benar
merupakan nilai positif yang saling terkait.
14
DAFTAR PUSTAKA
Bakhtiar Amsal, Filsafat Ilmu, Rajawali Press, cetakan ke 1, Jakarta, 2009
Sidi Ghazalba, Islam Dan Kesenian : Relevansi Islam Dengan Seni Budaya Karya
Manusia, Pustaka Al Husna, Cet ke 1, Jakarta, 1988
Mulyadi Kartanegara, Menyibak Tirai Kejahilan;Pengantar Epistemologi Islam,
Mizan, Bandung, 2003
Cecep Sumarna, Filsafat Ilmu; Dari Hakikat Menuju Nilai, Mizan, Bandung,
2007
, Revolusi Peradaban; Mencari Tuhan Dalam Batang Tubuh
Ilmu, Mulia Press, Cet. Ke 2, Bandung, 2009
, Rekonstruksi Ilmu; Dari Empirik Rasional Atheistik ke Empiris
Rasional Teistik, Benang Merah Press, cet. Ke 1,
Bandung, 2005
Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Suatu Pengantar Populer, Sinar Harapan,
Jakarta, 1998
15
Estetika adalah salah satu cabang filsafat. Secara sederhana, estetika
adalah ilmu yang membahas keindahan, bagaimana ia bisa terbentuk, dan
bagaimana seseorang bisa merasakannya. Pembahasan lebih lanjut mengenai
estetika adalah sebuah filosofi yang mempelajari nilai-nilai sensoris, yang kadang
dianggap sebagai penilaian terhadap sentimen dan rasa. Estetika merupakan
cabang yang sangat dekat dengan filosofi seni.
Meskipun awalnya sesuatu yang indah dinilai dari aspek teknis dalam
membentuk suatu karya, namun perubahan pola pikir dalam masyarakat akan turut
mempengaruhi penilaian terhadap keindahan. Misalnya pada masa romantisme di
Perancis, keindahan berarti kemampuan menyajikan sebuah keagungan. Pada
masa realisme, keindahan berarti kemampuan menyajikan sesuatu dalam keadaan
apa adanya. Pada masa maraknya de Stijl di Belanda, keindahan berarti
kemampuan mengkomposisikan warna dan ruang dan kemampuan mengabstraksi
benda.
Perkembangan lebih lanjut menyadarkan bahwa keindahan tidak selalu
memiliki rumusan tertentu. Ia berkembang sesuai penerimaan masyarakat
terhadap ide yang dimunculkan oleh pembuat karya. Karena itulah selalu dikenal
dua hal dalam penilaian keindahan, yaitu the beauty, suatu karya yang memang
diakui banyak pihak memenuhi standar keindahan dan the ugly, suatu karya yang
sama sekali tidak memenuhi standar keindahan dan oleh masyarakat banyak
16
biasanya dinilai buruk, namun jika dipandang dari banyak hal ternyata
memperlihatkan keindahan.
Keindahan seharusnya sudah dinilai begitu karya seni pertama kali dibuat.
Namun rumusan keindahan pertama kali yang terdokumentasi adalah oleh filsuf
Plato yang menentukan keindahan dari proporsi, keharmonisan, dan kesatuan.
Sementara Aristoteles menilai keindahan datang dari aturan-aturan, kesimetrisan,
dan keberadaan.
Esetetika berasal dari Bahasa Yunani, αισθητική, dibaca aisthetike.
Pertama kali digunakan oleh filsuf Alexander Gottlieb Baumgarten pada 1735
untuk pengertian ilmu tentang hal yang bisa dirasakan lewat perasaan.
Dalam filsafat keindahan “Pengalaman Estetis” menurut pandangan
fenomenologi merupakan pengalaman estetis tentang sesuatu; tak jarang para
filsuf yang mau mengupas gejala keindahan, dalam hal itu mau langsung
memeriksa “sesuatu” itu dalam rangka keindahan apa itu kiranya. Dengan
perkataan lain ciri-ciri obyek yang bersangkutan itu mau diselidiki; mengapa ada
obyek yang disebut “indah”
17