makalah buah.docx

20
Laporan Teknik Penyimpanan Hari/ tanggal : Jumat/ 13 Maret 2015 dan Penggudangan Dosen : Dr.Ir. Ade Iskandar, M.Si Golongan/Kel : P1/ Kelompok 1 Nama Asisten : 1. Dyah Ayu Larasati (F351140041) 2. Priska Wisudawaty (F351130321) PENYIMPANAN BEBUAHAN UTUH Pebri Handoyo (F3413008) Dita Oktoviani Dewi (F34130010) Arif Dzulfikar (F34130013)

Upload: ajeng-nur-aulia

Post on 28-Sep-2015

63 views

Category:

Documents


6 download

TRANSCRIPT

Laporan Teknik Penyimpanan Hari/ tanggal: Jumat/ 13 Maret 2015dan Penggudangan Dosen: Dr.Ir. Ade Iskandar, M.Si Golongan/Kel: P1/ Kelompok 1 Nama Asisten: 1. Dyah Ayu Larasati (F351140041)2. Priska Wisudawaty (F351130321)

PENYIMPANAN BEBUAHAN UTUH

Pebri Handoyo (F3413008)Dita Oktoviani Dewi (F34130010)Arif Dzulfikar (F34130013)

DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIANFAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIANINSTITUT PERTANIAN BOGOR2015I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia merupakan negara yang kaya dengan berbagai jenis komoditas pertanian. Salah satunya ialah buah, komoditas ini memiliki sifat yang mudah rusak apabila penanganannya tidak baik. Kerusakan yang dapat terjadi dapat berupa kerusakan fisik dan pembusukan. Kerusakan fisik ini terjadi secara fisik-morfologis. Umumnya produk hortikultura segar mengandung kadar air yang tinggi yakni antara 85-98%. Sehingga benturan, gesekan dan tekanan yang sekecil apapun dapat menyebabkan kerusakan yang dapat langsung dilihat secara kasat mata ataupun tidak terlihat pada saaat aktivitas fisik tersebut terjadi.Selain kerusakan fisik, kerusakan pada produk hortikultura ini juga disebabkan oleh mikroorganisme yang menyebabkan nilai susut yang tinggi. Mikroorganisme patogenik yang berada di dalam produk belum berkembang selama pertumbuhan melainkan masih terdapat pada tanaman induknya dan melakukan pertumbuhan dan perkembangan setelah panen (infeksi laten). Bila terjadi kerusakan mekanis ataupun kemunduran fisiologis pada produk, maka mikroorganisme patogenik akan tumbuh dan berkembang menyebabkan pembusukan. Kondisi ini membuat buah yang dipasarkan tidak dapat memenuhi permintaan dalam negeri dan ekspor. Oleh karena itu, perlu dilakuakan penanganan pasca panen berupa perlakuan penyimpanan terbaik agar buah dapat bertahan lebih lama.Perlakuan penyimpanan yang dilakukan dalam praktikum ini berupa pemakaian jenis kemasan yang berbeda, kondisi ruang penyimpanan, dan jenis pencucian yang dilakukan. Buah akan dibungkus dengan tiga jenis plastik, yaitu HDPE, LDPE, dan LDPE lubang. Buah juga akan diberi tiga jenis pencucian, pencucian dengan air, pencucian tanpa air, dan pencucian dengan deterjen. Kondisi terkhir yang dilakukan, buah akan ditaruh di dua tempat yang berbeda, yaitu suhu ruang dan lemari es. Dari pengamatan yang dilakukan akan didapatkan perlakuan penyimpanan yang terbaik terhadap jenis kemasan, jenis pencucian, dan kondisi ruang penyimpananan. Dengan mengatahui perlakuan yang terbaik, maka umur simpan buah dapat diperpanjang sehingga pemasaran dapat dilakukan dalam skala yang lebih luas.

1.2 Tujuan

Mengidentifikasi perubahan mutu buah selama penyimpanan; mengidentifikasi pengaruh kemasan, pengaruh suhu, dan pengaruh penanganan pra penyimpanan terhadap perubahan mutu buah selama penyimpanan; serta menentukan kondisi penyimpanan yang sesuai dengan komoditi buah. I. METODOLOGI

1.1 Alat dan Bahan

Peralatan yang digunakan dalam praktikum ini adalah timbangan, penetrometer, pH meter, mortar, corong, tabung erlenmeyer, kapas penyaring dan colortec colormeter. Sedangkan bahan-bahan yang digunakan dalam praktikum ini meliputi buah duku, buah salak, dan juga kemasan plastik (HDPE, LDPE, dan LDPE yang masing-masing diberi lubang berjarak 5cm).

2.2 Metode

Diletakkan di dua tempat berbeda : Di tempat dengan suhu dingin (refrigerator)Di tempat dengan suhu ruangDimasukkan kedalam kemasanPerforated HDPELDPE yang diberi lubang berjarak 5 cmLDPEDiamati dua hari sekali hingga 4 kali pengambilan dataBebuahanData

Dilakukan penanganan pra penyimpanan Dicuci dengan larutan detergenDicuci dengan air mengalirTanpa pencucian

II. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Hasil

[Terlampir]

3.2 Pembahasan

Buah merupakan jenis pangan yang mudah mengalami kerusakan karena kadar airnya yang tinggi. Hal tersebut menyebabkan bakteri dan mikroba mudah untuk tumbuh dan hal ini bisa menurunkan mutu pangan. Buah yang sudah dipetik masih melakukan proses metabolisme dan aktivitas respirasi. Respirasi yang dilakukan oleh jaringan buah dan sayur bertujuan untukmempertahankan hidupnya dengan cara merombak pati menjadi gula. Pada proses tersebut, dihasilkan air secara terus menerus sehingga mengakibatkan kelayuan saatpenyimpanan karena praktis tidak ada suplai air lagi. Salah satu cara untukmemperpanjang masa simpan buah adalah dengan penyimpanan pada suhu rendah agar aktivitas mikroba, enzim, maupun respirasi dapat dihambat (Zulkarnaen 2009). Transpirasi atau penguapan jumlah air merupakan penyebab kerusakan paling sering terjadi pada komoditas buah-buahan terutama susut bobot buah. Proses inijuga akan menyebabkan penurunan kualitas ketampakan (appearance), kualitas tekstur buah, flacidity, limpness, dan penurunan kandungan nilai gizi. Kecepatanproses transpirasi ini dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor internal komoditasbuah (sifat morfologi dan anatomi buah, rasio luas permuakaan dan volume buah, ada-tidaknya cacat/luka, dan tingkat kematangan) dan faktor eksternal (temperaturruangan, kelembaban udara, sirkulasi udara, dan tekanan atmosfer). Respirasirespirasi merupakan proses pemecahan karbohidrat, protein, danlemak menjadi komponen-komponen yang lebih sederhana dengan menghasilkan CO2, air, dan energi. Dengan tersedianya air dan energi bebas ini, maka akan digunakan oleh mikrobia untuk tumbuh serta menyebabkan terjadinya disorganisasipada jaringan (sel dinding rusak) atau kerusakan komoditas (Zulkarnaen 2009). Berdasarkan laju respirasinya, buah dibedakan menjadi dua macam yaitubuah klimaterik dan buah non klimaterik. Buah klimaterik adalah buah yang laju respirasinya meningkat tajam selama proses pematangan karena pembentukan gas etilen juga meningkat dan mengandung amilum tinggi. Contoh buah klimaterikadalah apel, pisang, mangga, dan duku. Buah non-klimaterik adalah buah yang tidakmengalami perubahan laju respirasi secara signifikan karena tidak ada peningkatanpembentukan gas etilen. Contoh buah non-klimaterik adalah lemon, anggur, nanas, dan manggis (Ayimada 2008).Buah rentan akan kerusakan. Kerusakan buah dapat dibedakan menjadi beberapa tipe kerusakan yaitu fisiologis, mikrobiologis ataubiologis, mekanis, fisis, dan kimia. Kerusakan fisiologis merupakan kerusakan yang disebabkan oleh reaksi-reaksi yang dikatalis oleh enzim. Tanda-tanda kerusakan fisiologis adalah buah atau sayur menjadi rusak, busuk, ada penurunanberat, tekstur, dan aroma. Kerusakan biologis adalah kerusakan akibat serangan mikroba yang sering menjadi penyakit pada buah dan sayur. Kerusakan mekanis adalah kerusakan yang disebabkan karena luka atau benturan. Kerusakan fisik adalah disebabkan karena suhu penyimpanan yang terlalu tinggi atau terlalu rendah. Kerusakan kimia adalah kerusakan yang disebabkan karena proses pengolahan. Faktor-faktor yang mempengaruhui sifat fisik dari produk holtikultura, menurut Wirakartakusumah (1992) adalah keadaan alami komiditi dan varietas, kedewasaan yang akan berpengaruh terhadap tekstur, kematangan, ukuran, faktor penanaman, temperatur, dan kondisi penyimpanan. Penyimpanan komoditi bebuahan pada dasarnya merupakan usaha untuk mempertahankan komoditi (panenan) tersebut dari sejak dipanen hingga saatnya digunakan. Oleh karena itu, upaya penyimpanan yang dilakukan pada buah bertujuan untuk menjaga buah tersebut tetap segar (Arta 2009).Salah satu cara untuk menurunkan laju respirasi adalah dengan memodifikasi konsentrasi O2 dan CO2 dilingkungan atmosfer sekitar produk dengan menggunakan pengemas plastik dengan permeabilitas tertentu yang dikenal sebagai Modified Atmosphere Packaging (MAP). Jenis plastik memiliki permeabilitas yang berbeda-beda seperti plastik jenis LDPE (Low Desity Polyethilene), HDPE (High Density Polyethilene), PVC (Polyvinylcholride) dan PP (Polypropylene) (Sarjana, 2009).Kemasan yang digunakan adalah plastik HDPE, LDPE, dan LDPE yang diberi lubang dengan jarak 5cm. Bahan yang digunakan adalah duku dan salak. Sebelum buah dikemas dengan plastik, buah tersebut dicuci dengan air detergen dan air mengalir. Perubahan yang diamati setelah disimpan pada jangka waktu tertentu adalah susutbobot, perubahan warna, kekerasan, kadar gula, pH juice, sensori, kadar vitamin C,pertumbuhan mikroorganisme, dan tanda-tanda fisiologis. Duku (L. domesticum var.duku) adalah buah yang terdapat dalam family Malieaceae, genus Lansium. Buah duku merupakan buah yang mudah rusak terutamapada kulitnya yang berubah menjadi coklat dalam empat atau lima hari setelahpanen. Sehingga diperlukan adanya proses penyimpanan dalam kamar pendingin dengan suhu 15C dan kelembaban nisbi 85-90 % dapat memungkinkan buahbertahan sampai 2 minggu, jika buah-buah itu direndam dulu dalam larutan Benomil. Untuk mengatasi kemungkinan adanya kerusakan pada buah duku, terutamakerusakan pada waktu perjalanan, maka buah duku itu harus dikemas sedemikian rupa dengan menggunakan kemasan yang kuat. Jenis kemasan yang paling baikuntuk buah duku adalah peti kayu. Buah duku harus dikemas dalam kondisi kering, sebab buah yang basah akan berjamur jika dikemas (Natawidjaja, 1983).Salak merupakan salah satu produk hortikultura yang berpotensi untuk ditanam dan dikembangkan. Di Indonesia banyak terdapat daerah potensial penghasil salak. Hal ini disebabkan karena lahan yang cocok untuk tanaman salak memang asalnya dari Indonesia. Pada umumnya buah salak berbentuk bulat atau bulat telur terbalik dengan bagian ujung runcing dan terangkat rapat dalam tandan buah yang muncul dari ketiak pelepah daun. Kulit buah tersususun seperti sisik-sisik berwarna coklat kekuningan sampai coklat kehitaman. Daging buah tidak berserat berwarna putih kekuningan, kuning kecoklatan, atau merah tergantung varietasnya. Rasa buah manis,manis agak asam, manis agak sepet atau manis bercampur asam dan sepet. Dalam 1 buah salak mengandung 1-3 biji. Bijinya berwarna coklat berbentuk persegi dan berkeping satu (Nazarudiin dan Kristiawati, 1992).Buah salak terdiri atas kulit buah, daging buah dan biji. Sisik kulit buah menjadi satu dengan kulit buahnya. Kulit buah sangat tipis, tebalnya sekitar 0,3 mm. Sedangkan kulit luar buah salak berfungsi sebagai pelindung alami terhadap daging buah yang dibungkusya terhadap pengaruh keadaan lingkungan. Jika kulit sudah terkupas maka terlihatlah bagian dalam buah (Sabari, 1983). Umur buah salak yang baik untuk dipasarkan adalah antara 6-7 bulan sejak keluarnya bunga (Sumarto, 1976), tetapi jika musim hujan tiba pada saaat buah salak sudah membesar (4-5 bulan), maka petani memanen buahnya lebih awal dari biasanya. Hal ini disebabkan karena buah salak tersebut cepat membesar sehingga terjadi ketidak seimbangan dalam membesarkan kulit dan isi mengakibatkan kulit buah pecah sebelum mencapai umur 6-7 bulan (Sumarto, 1976). Menurut Nazaruddin dan Kristiawati, (1992) buah salak yang sudah masak umumnya mempunyai ciri-ciri seperti di bawah ini : (1) Kulit buah bersih mengkilap dan susunan sisiknya tampak lebih renggang. (2) Bila buah dipetik, mudah sekali terlepas dari tandan buah. (3) Biji salak berwarna coklat gelap kehitaman. (4) Bila dipijit dibagian ujungnya, telah terasa lembut dan empuk. (5) Bila dicium menyebar aroma salak dan bila dimasukan kedalam air akan terapung.Berdasarkan percobaan, duku yang dikemas dengan HDPE maupun LDPE kondisinya masih baik pada hari pertama. Pada pengamatan hari kedua, terdapat duku yang sudah membusuk pada hari kedua namun sebagian besar masih baik-baik saja pada hari kedua. Namun pada duku yang dikemas dengan plastik LDPE terutama LDPE berlubang, pada hari kedua duku yang lebih cepat membusuk lagi. Hal tersebut tidak sesuai dengan literatur. Sifat mekanis jenis plastik LDPE adalah kuat, agak tembus cahaya, fleksibel dan permukaan agak berlemak. Pada suhu di bawah 60OC sangat resisten terhadap senyawa kimia, daya proteksi terhadap uap air tergolong baik, akan tetapi kurang baik bagi gas-gas yang lain seperti oksigen, sedangkan jenis plastik HDPE mempunyai sifat lebih kaku, lebih keras, kurang tembus cahaya dan kurang terasa berlemak (Nurmiah, 2002).Pada proses penyimpanan, salah satu pembungkus yang biasa digunakan ialah kantong plastik. Menurut Wirakartakusumah (1992) pembungkusan produkdengan kantung polietilen (LDPE) dapat menurunkan kecepatan kehilangan airsehingga buah tetap berada dalam kondisi respirasi normal. Pengemasan dilakukan dengan pertimbangan yang paling penting, yaitu sifat permeabilitas daribahan pengemas. Semakin besar ukuran pori atau permeabilitasnya tinggi, maka semakin besar pula laju difusi (gerak molekul) yang melewati plastik pengemas sehingga sirkulasi udara semakin lancar. Bahan pengemas plastik yang memilikipermeabilitas tertinggi adalah polietilen (LDPE), yaitu 390013.000 untuk O2 dan 7.70077.000 untuk CO2. Walaupun LDPE memiliki permeabilitas tertinggi, tetapi dalam penggunaannya sebagai bahan pengemas buah kurang cocok jika dalam kondisi tertutup rapat. Berdasarkan percobaan yang dilakukan pada duku dan salak dari hari pertama sampai keempat. Data memperlihatkan bahwa penyimpanan suhu ruang sangat tidak baik terhadap buah karena sudah banyaknya buah yang busuk mulai hari kedua, hanya beberapa perlakuan buah yang belum busuk pada hari kedua atau ketiga. Beberapa data yang dibandingkan tersebut menunjukkan susut bobot lebih besar pada penyimpanan pada suhu ruang dibandingkan dengan penyimpanan pada lemari es. Hal ini dikarenakan kondisi suhu pada penyimpanan di suhu ruang lebih tinggi dibandingkan dengan lemari es, sehingga banyak air yang berada dalam duku dan salak menguap dan menyebabkan kelayuan pada hari-hari terakhir. Sementara, penyimpanan pada lemari es, terjadi pengurangan kadar air yang lebih kecil dibandingkan penyimpanan pada suhu ruang. Pengurangan kadar air dikarenakan kondisi kelembaban pada lemari es yang rendah, sehingga kandungan air secara berkala tertarik ke lingkungan atau menguap ke lingkungan. Namun, pengurangan tidak sebesar jika dibandingkan dengan pengurangan yang diakibatkan karena suhu yang tinggi. Pengamatan selanjutnya, yaitu pengamatan sensori, berdasarkan data, rata-rata duku dan salak pada suhu ruang lebih cepat mengalami kelayuan dan kebusukan dibandingkan dengan duku dan salak yang berada pada lemari es. Bahkan buah pada suhu ruang rata-rata telah busuk mulai hari kedua. Menurut Muchtadi (2009), komoditi dengan laju respirasi tinggi menunjukan kecenderungan lebih mudah rusak. Hal ini sesuai dengan literarur, kerusakan pada suhu ruang lebih banyak dibandingkan penyimpanan pada lemari es. Hal tersebut dikarenakan duku dan salak pada suhu ruang mengalami proses respirasi lebih cepat karena sering terjadinya kontak dengan udara. Respirasi ini ditandai dengan adanya perubahan warna dan bau yang ditimbulkan tidak sedap. Kondisi ruang ini yang memiliki kelembaban cukup tinggi, memicu pertumbuhan mikroorganisme, sehingga terjadi kebusukan. Sementara, pada lemari es, duku dan salak, tingkat kontak dengan udara lebih rendah dibandingkan pada suhu ruang, sehingga respirasi berjalan dengan lambat. Kelembaban pun cukup rendah, sehingga mikroorganisme tidak tumbuh dan menyebabkan kebusukan. Hal ini membuat buah pada lemari es tampak segar.Pengamatan berikutnya, pengaruh suhu terhadap tingkat keasaman duku dan salak. Penyimpanan pada suhu rendah akan menghambat proses respirasi, sehingga dapat mempertahankan tingkat keasamannya. Semakin cepat proses repirasi dan tingkat kematangan, maka akan meningkatkan kadar gula dan menurunkan tingkat keasamannya (Silaban et al. 2013). Berdasarkan pengamatan yang dilakukan terhadap nilai pH, tidak ada perbedaan signifikan pada suhu ruang dan penyimpanan pada lemari es, rata-rata pH menunjukkan nilai 4 pada kedua kondisi. Data yang digunakan sebagai perbandingan pada suhu ruang pun hanya pada hari pertama karena sudah banyak yang busuk pada hari kedua. Tidak adanya perbedaan signifikan ini bisa dikarenakan adanya kesalahan penglihatan dalam penggunaan pH meter atau umur pemanenan buah tersebut yang berbeda-beda.Pengamatan selanjutnya dilakukan dengan alat colortec colormeter. Alat ini memancarkan spektrum cahaya berwarna dan menampilkan informasi yang diperoleh pada panel layar. Nilai C menunjukkan intensitas warna memudar atau tidak. Nilai H menunjukkan warna sampel. Nilai L menunjukkan tingkat kecerahan gelap/terang. Nilai C, L dan H menunjukkan nilai fluktuatif baik pada duku maupun salak, serta buah pada suhu ruang hanya sebagian bisa terlihat nilainnya karena sudah banyak buah yang busuk. Menurut Rizal (1992), buah yang telah dipetik ini tetap melakukan penapasan karena hal ini dimaksudkan untuk memperoleh energi, dan energi ini akan digunakan untuk melakukan proses-proses metabolisme lain, misalnya perubahan warna dari hijau menjadi kuning, pembentukan gula dari pati, pembentukan aroma dan sebagainya. Seharusnya, nilai L, C, H sesuai dengan pengamatan sensori, yaitu semakin lama, warna dari buah semakin pudar dan layu karena tingkat respirasi yang meningkat. Warna buah pada suhu ruang lebih hitam dan pudar karena tingkat respirasi lebih tinggi daripada penyimpaanan pada lemari es. Kesalahan ini terjadi karena praktikan tidak menggunakan alat tepat menempel pada kulitnya, masih terdapat warna background yang ikut terdeteksi oleh alat.Vitamin C pada komoditi dipengaruhi oleh suhu penyimpanan, pencucian setelah komoditi dipotong-potong karena sifat vitamin C yang larut dalam air, adanya alkali atau suasana basa, membuka tempat berisi vitamin C, sebab oleh udara akan terjadi oksidasi yang tidak reversible menjadi asam dehidroaskorbat. Selain itu, proses tersebut dipercepat oleh panas, respirasi, fotosintesis, sinar atau enzim oksidasi, serta oleh katalis lembaga dan besi. Buah yang masih muda (mentah) lebih banyak mengadung vitamin C. Semakin tua buah, semakin berkurang vitamin C-nya. Berdasarkan data yang ada, sulit untuk membandingkan penyimpanan pada suhu ruang dan lemari es karena ketika hari kedua pada suhu ruang, sudah banyak yang busuk, selain itu terjadinya fluktuasi nilai pada penyimpanan di lemari es. Seharusnya, pada suhu ruang kadar vitamin C semakin menurun dari hari ke hari karena vitamin C bersifat tidak stabil, mudah teroksidasi jika terkena udara (oksigen) dan proses ini dapat dipercepat dengan adanya panas.Terjadi perubahan dari gugus fungsi hidroksi menjadi gugus karbonil. Terjadinya fluktuasi nilai pada penyimpanan di lemari es, bisa dikarenakan penyaringan yang tidak tepat dan pengencerannya tidak sesuai takaran (Manitto 2001).Penyimpanan pada suhu rendah di lemari es akan menghambat proses respirasi, sehingga dapat mempertahankan transformasi atau perombakan pati menjadi gula, sementara penyimpanan pada suhu ruang dapat mendukung prose transformasi gula menjadi lebih cepat (Silaban et al. 2013). Berdasarkan percobaan sulit untuk membandingkan perubahan kadar gula pada suhu ruang dengan penyimpanan di kulkas, karena kebanyakan buah telah busuk pada hari kedua pada suhu ruang. Seharusnya, buah pada suhu ruang kadar gulanya mengalami kenaikan cukup pesat dibandingkan lemari es, karena terjadi kontak dengan udara yang membuat tingginya laju respirasi dan mengakibatkan banyaknya pati yang dirombak menjadi gula. Untuk data pada lemari es, percobaan sudah cukup akurat, karena data kadar gula relative konstan atau mengalami kenaikan.Hampir semua komoditas bebuahan yang telah dipanen mengalami kontaminasi fisik terutama debu atau tanah sehingga perlu dilakukan pencucian. Pencucian dilakukan dengan tujuan untuk menghilangkan kotoran serta residu pestisida (insektisida atau fungisida). Namun demikian, pencucian tersebut tidak dilakukan terhadap bebuahan yang teksturnya lunak dan mudah lecet/rusak. Secara tradisional pencucian ini menggunakan air namun untuk mendapatkan hasil yang lebih baik disarankan penambahan klorin ke dalam air pencucian agar mikroba dapat dihilangkan dengan lebih efektif. Setelah pencucian biasanya bahan dikeringkan dengan cara meniriskannya dialam terbuka atau dengan cara mengalirkan udara panas (Samad 2006). Pencucian(washing)dilakukan pada bebuahan yang tumbuh dekat tanah untuk membersihkan kotoran yang menempel dan memberi kesegaran. Selain itu dengan pencucian juga dapat mengurangi residupestisida dan hama penyakit yang terbawa. Pencucian disarankan menggunakan air yang bersih, penggunaan desinfektan pada air pencuci sangat dianjurkan.Pembersihan (cleaning, trimming) yaitu membersihkan dari kotoran atau benda asing lain, mengambil bagian - bagian yang tidak dikehendaki seperti tangkai, kulit rusak atau bagian yang tidak dikehendaki (Mutiarawati 2009).Berdasarkan penanganan pra penyimpanan, bebuahan mendapatkan tiga perlakuan yaitu tanpa pencucian, pencucian dengan air biasa dan pencucian dengan air deterjen. Jenis bebuahan yang diamati adalah duku dan salak. Duku yang tidak dicuci mengalami susut bobot rata-rata 0,08 gram, warna yellow red, kadar gula 16, pH rata-rata 4, kadar vitamin C 0,45%, dan perubahan sensorinya muncul bercak coklat dan banyak yang busuk. Duku yang dicuci dengan air biasa mengalami penambahan bobot rata-rata sebesar 0,6 gram, warna yellow red, kadar gula 14,5, pH rata-rata 4, vitamin C sebanyak 0,15% atau dapat dikatakan mengalami penurunan dari kondisi awal sebesar 0,605% dan perubahan sensorinya timbul baunyang menyengat. Duku yang dicuci dengan deterjen mengalami susut bobot sebesar 0,09 gram, warna yellow red, kadar gula rata-rata 15, pH rata-rata 4, vitamin C rata-rata 0,27%, dan timbul bercak berwarna coklat. Penanganan pra penyimpanan berpengaruh pada jumlah bahan yang busuk. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa duku mengalami jumlah kebusukan yang sama dengan perlakuan pra penyimpanan yang berbeda. Berdasarkan literatur, pencucian dengan deterjen bermaksud untuk menghilangkan kontaminan sehingga umur simpan duku lebih lama Anonim (1992). Hal itu terjadi mungkin dikarenakan bahan awal yangg kondisinya kurang baik atau mungkin teknik pencuciannya yang kurang benar. Faktor lain yang menyebabkan kebusukan adalah saat pengeringan setelah pencucian, hal ini dapat disebabkan kain yang untuk mengelap adalah kain yang sudah kotor.Salak yang tidak dicuci mengalami penyusutan bobot sebesar 0,29 gram,warna yellow red, kadar gula rata-rata sebesar 15,7, pH rata-rata sebesar 4,5, vitamin C sebanyak 0,97 % dan kondisinya sebagiaan baik dan sebagian busuk. Salak yang dicuci dengan air biasa mengalami penyusutan bobot sebesar 0,7 gram, warna yellow red, kadar gula sebanyak 18 pH sebesar 4, vitamin C sebesar 0,8% dan banyak yang busuk. Salak yang dicuci dengan air banyak yang busuk padahal seharusnya tidak. Teknik setelah pencucian adalah pengeringan, hal inilah yang diduga mengalami kesaalahan dalan percobaan. Salak yang yang dicuci dengan air deterjen mengalami penyusutan bobot sebesar 0,03 gram, warna yellow red, kadar gula sebesar 18,2, pH sebesar 4,5, vitamin C sebesar 0,734% dan penampilan mengkilap dan sebagian ada yang busuk. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa salak yang dicuci dengan air biasa adalah yang mengalami kebusukan paling banyak. Menurut Zulkarnaen (2009), pencucian berguna untuk menghilangkan kotoran-kotoran yang masih menempel pada bebuahan ketika pasca panen serta untuk mensterilkan bebuahan tersebut dari kontaminan-kontaminan yang ada sehingga lebih tahan lama.

IV. PENUTUP

4.1. Simpulan

Pembungkusan produkdengan kantung polietilen (LDPE) dapat menurunkan kecepatan kehilangan airsehingga buah tetap berada dalam kondisi respirasi normal. Pengemasan dilakukan dengan pertimbangan yang paling penting, yaitu sifat permeabilitas daribahan pengemas. Semakin besar ukuran pori atau permeabilitasnya tinggi, maka semakin besar pula laju difusi (gerak molekul) yang melewati plastik pengemas sehingga sirkulasi udara semakin lancar. Bahan pengemas plastik yang memilikipermeabilitas tertinggi adalah polietilen (LDPE), yaitu 390013.000 untuk O2 dan 7.70077.000 untuk CO2. Walaupun LDPE memiliki permeabilitas tertinggi, tetapi dalam penggunaannya sebagai bahan pengemas buah kurang cocok jika dalam kondisi tertutup rapat.Secara keseluruhan, pada pengamatan suhu ruang, pada hari kedua buah sudah mulai mengalami kebusukan. Berdasrkan beberapa data, susut bobot lebih besar pada penyimpanan pada suhu ruang dibandingkan dengan penyimpanan pada lemari es. Hal ini karena adanya penyimpanan dengan suhu yang tinggi, sementara penyimpanan pada lemari es terjadi penurunan bobot akibat kelembaban yang rendah, namun penurunan bobotnya relatif kecil. Pengamatan sensori yang dilakukan memperlihatkan suhu ruang menyebabkan buah memiliki laju respirasi tinggi, sehingga kelihatan busuk dan layu, sementara pada lemari es terlihat segar karena pertumbuhan mikroba terhambat dan lahu respirasinya renadah. Nilai pH buah pada suhu ruang dan lemari es tidak terdapat perbedaan signifikan karena adanya penggunaan pH meter yang tidak akurat dan umur buah yang berbeda. Nilai yang ditunjukkan alat colortec colormeter pun fluktuatif karena kesalahan pada penggunaan alat, sehingga warna kulit tidak terdeteksi dengan baik. Kadar vitamin C dan kadar gula sulit dilakukannya perbandingan karena kebanyakan buah pada suhu ruang telah busuk pada hari kedua . Seharusnya, pada suhu ruang kadar vitamin C semakin menurun dari hari ke hari karena vitamin C bersifat tidak stabil, mudah teroksidasi jika terkena udara (oksigen) dan proses ini dapat dipercepat dengan adanya panas. Sementara, buah pada suhu ruang seharusnya kadar gulanya mengalami kenaikan cukup pesat dibandingkan lemari es, karena terjadi kontak dengan udara yang membuat tingginya laju respirasi dan mengakibatkan banyaknya pati yang dirombak menjadi gula.

4.2. Saran

Alat-alat praktikum lebih diperbanyak, seperti neraca dan colortec colormeter, sehingga praktikum bisa lebih efisien. Pemeliharaan colortec colormeter lebih diperhatikan agar berfungsi dengan baik dan akurat.

DAFTAR PUSTAKA

Arta, Dewi. 2009. Aman menyimpan buah dan Sayur. [terhubung berkala].http://www.okfood.com/. ( 6 April 2012).Ayimada. 2008. Pemasakan buah.[terhubungberkala].http://ayimada006084..com/2008/11/pemasakan buah3.doc. (6 April2012).Anonim 1992. Pasca Panen Buah. Jakarta (ID): Penebar Swadaya.Haryanto E. 2003. Komoditi buah. Jakarta (ID): PenebarSwadaya.Manitto P. 2001. Biosintesis Produk Alami. Semarang (ID): IKIP Press.Muchtadi D. 2009. Fisiologi Pasca Panen Sayuran dan Buah-Buahan. Bogor (ID): DEPDIKNAS-DIKTI PAU Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor.Mutiarawati T. 2009. Penanganan Pasca Panen Hasil Pertanian. Bandung (ID): Fakultas Pertanian. Universitas PadjadjaranRizal S. 1992. Teknologi Penyimpanan Pangan. Jakarta (ID): Arcan.Sabari. 1982. Masalah Pemanenan Salak. Laporan Masalah Khusus Prinsip-prinsip Pengawetan Pangan. Bogor (ID): Pascasarjana IPB.Samad MY. 2006. Pengaruh penanganan pasca panen terhadap mutu komoditas holtikultura. Pengaruh Penanganan Pasca Panen. Vol 8 : 31-36.Sarjana, Putu. 2009. Pengaruh suhu dingin dan kemasan plastik terhadap mutu simpan buah manggis (Garcinia mangostoma L). Jurnal Pertanian. Bali (ID): Fakultas Pertanian. Universitas Udayana.Silaban SD, Prihastanti E, dan Saptiningsih E. 2013. Pengaruh Suhu dan Lama Penyimpanan Terhadap Kandungan Total Asam, Kadar Gula serta Kematangan Buah Terung Belanda (Cyphomandra betacea Sent.). Jurnal Anatomi dan Fisiologi. 21: 55-63.Zulkarnaen. 2009. Dasar-Dasar Holtikultura. Jakarta (ID): Bumi Aksara