makalah apendisitis dan peritonitis
DESCRIPTION
penatalaksanaan medis , perjalanan penyakit, penatalaksanaan medis serta asuhan keperawatanTRANSCRIPT
MAKALAH SISTEM PENCERNAAN
APENDIKTOMI DAN LAPARATOMI
Disusun oleh :
KELOMPOK 4
1. Lisa Ambarwati ( 201111068 )
2. Monica Sukmaningtyas ( 201111080)
3. Rima Rustina ( 201111089 )
4. Rosa Tantiana ( 201111090 )
5. Sri Handayani (201111099 )
6. Suci Ari F ( 201111103)
7. Tofi’ah (201111109)
8. Vernanda A ( 201111111)
9. Vira Kurnai Sari (201111113)
Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan St. Elisabet
SEMARANG
2012/1013
BAB I
PENDAHULUAN
1. 1. LATAR BELAKANG
Apendisitis adalah peradangan yang terjadi pada apendiks vermiformis, dan
merupakan penyebab abdomen akut yang paling sering. Apendiks disebut juga umbai
cacing. Istilah usus buntu yang selama ini dikenal dan digunakan di masyarakat
kurang tepat, karena yang merupakan usus buntu sebenarnya adalah sekum. Sampai
saat ini belum diketahui secara pasti apa fungsi apendiks sebenarnya. Namun
demikian, organ ini sering sekali menimbulkan masalah kesehatan.
Apendiks merupakan organ yang berbentuk tabung panjang dan sempit. Panjangnya
kira-kira 10cm (kisaran 3-15cm) dan berpangkal di sekum. Apendiks menghasilkan
lendir 1-2ml per hari. Lendir itu secara normal dicurahkan ke dalam lumen dan
selanjutnya dialirkan ke sekum. Adanya hambatan dalam pengaliran tersebut,
tampaknya merupakan salah satu penyebab timbulnya appendisits. Di dalam apendiks
juga terdapat immunoglobulin sekretoal yang merupakan zat pelindung efektif
terhadap infeksi (berperan dalam sistem imun). Dan immunoglobulin yang banyak
terdapat di dalam apendiks adalah IgA. Namun demikian, adanya pengangkatan
terhadap apendiks tidak mempengaruhi sistem imun tubuh. Ini dikarenakan jumlah
jaringan limfe yang terdapat pada apendiks kecil sekali bila dibandingkan dengan
yang ada pada saluran cerna lain.
Peritonitis adalah inflamasi peritoneum- lapisan membrane serosa rongga abdomen
dan meliputi visera merupakan penyakit berbahaya yang dapat terjadi dalam bentuk
akut maupun kronis/ kumpulan tanda dan gejala, diantaranya nyeri tekan dan nyeri
lepas pada palpasi, defans muscular, dan tanda-tanda umum inflamasi.
Peritonitis merupakan sebuah proses peradangan pada membrane serosa yang
melingkupi kavitas abdomen dan organ yang terletak didalamnyah. Peritonitis sering
disebabkan oleh infeksi peradangan lingkungan sekitarnyah melalui perforasi usus
seperti rupture appendiks atau divertikulum karena awalnya peritonitis
merupakan lingkungan yang steril. Selain itu juga dapat diakibatkan oleh
materi kimia yang irritan seperti asam lambung dari perforasi ulkus atau empedu dari
perforasi kantung empeduatau laserasi hepar. Padawanita sangat dimungkinkan
peritonitis terlokalisasi pada rongga pelvis dari infeksi tuba falopi atau rupturnya
kista ovari. Kasus peritonitis akut yang tidak tertangani dapat berakibat fatal.
Dalam makalah ini akan dibahas secara jelas tentang system percernaan itu sendiri
baik anatomi dan fisiologinya serta perananya terhadap apendisitis itu sendiri. Oleh
sebab itu diharapkan adanya pengertian dari pembaca untuk menambahkan serta
memberikan saran terhadap kurang atau kelebihan dari makalah ini.
1. 2. TUJUAN
Mengetahui proses pembentukan saluran pencernaan pada orang dewasa
Mengetahui struktur saluran cerna pada orang dewasa
Mengetahui apa saja pemeriksaan fisik system pencernaan
Mengetahui persiapan persiapan oparasi apendiktomi dan laparatomi
Mengetahui fisiologi saluran pencernaan
Mengetahui proses penyerapan makanan pada orang dewasa
Mengetahui patofisiologi, etiologi, komplikasi, dan gejala klinis apendisitis
dengan peritonitis pada pasien dewasa
Mengetahui farmakologi,gizi,diit yang baik untuk pasien apendisitis pada
orang dewasa
Mampu mengerjakan askep apendisitis sesuai kasus pada orang dewasa
dengan berlandaskan pada teori
BAB II
PEMBAHASAN
2. 1. STRUKTUR ORGAN SALURAN CERNA DEWASA ( KHUSUSNYA
USUS ) DAN FISIOLOGI SALURAN CERNA DEWASA
ANATOMI SISTEM PENCERNAAN
sistem pencernaan manusia adalah sistem yang tertelan adalah makanan
ditindaklanjuti oleh fisik dan kimia berarti untuk menyediakan tubuh dengan nutrisi
dapat menyerap dan mengekskresikan produk limbah; pada mamalia meliputi sistem
saluran pencernaan yang membentang dari mulut ke anus, dan hormon dan enzim
membantu pencernaan. Fungsi Alat Sistem Pencernaan pada Manusia- Alat-alat
pencernaan terdiri atas mulut, kerongkongan (esofagus), lambung (ventrikulus), usus
halus (intestinum), usus besar (colon), dan anus. Adapun enzim pencernaan
dihasilkan oleh kelenjar pencernaan, yaitu kelenjar ludah, hati, pankreas, dan
empedu.
Alat Pencernaan Makanan
Sistem pencernaan makanan pada manusia terdiri dari beberapa organ, berturut-turut
dimulai dari 1. Rongga Mulut, 2. Esofagus, 3. Lambung, 4. Usus Halus, 5. Usus
Besar, 6. Rektum, 7. Anus.
Gbr. Sistem Pencernaan pada manusia
Mahkota gigi
Leher gigi
Akar gigi
Pulpa
Enamel Dentin
Akar gigi
Gbr. Anatomi Gigi
1. Rongga Mulut
Mulut merupakan saluran pertama yang
dilalui makanan. Pada rongga mulut,
dilengkapi alat pencernaan dan kelenjar
pencernaan untuk membantu pencernaan
makanan. Pada Mulut terdapat
a. Gigi
Memiliki fungsi memotong, mengoyak
dan menggiling makanan menjadi partikel
yang kecil-kecil. Perhatikan gambar
disamping.
Gigi adalah organ utama yang berperan dalam pencernaan mekanik dalam rongga
mulut. Pada bayi, gigi akan tumbuh pertama kali pada usia sekitar enam bulan.
Gigi yang tumbuh pertama kali tersebut dinamakan gigi susu. Gigi susu tersebut
berangsur-angsur akan digantikan oleh gigi sulung pada usia sekitar 6–14 tahun.
Setelah itu, gigi sulung berangsur-angsur digantikan gigi tetap. Pada anak-anak
terdapat 20 gigi susu, sedangkan pada orang dewasa terdapat 32 gigi tetap.
Berikut susunan gigi susu dan gigi tetap.
Susunan Gigi Susu
Jenis P C I I C P
Rahang
atas
2 1 2 2 1 2
Rahang
bawah
2 1 2 2 1 2
Susunan Gigi Tetap
Jenis M P C I I C P M
Rahang
atas
3 2 1 2 2 1 2 3
Rahang
bawah
3 2 1 2 2 1 2 3
Keterangan:
I : insisivus = gigi seri (untuk memotong)
C : caninus = gigi taring (untuk menyobek)
P : premolar = geraham depan (untuk mengunyah)
M : molar = geraham belakang (untuk mengunyah hingga halus)
Gambar 6.7 Susunan gigi pada orang dewasa.
Gigi terdiri atas beberapa bagian, yaitu bagian mahkota, leher, dan akar gigi
(Gambar 6.8). Bagian gigi yang terlihat merupakan bagian mahkota, sedangkan
bagian leher tertutup oleh lapisan gusi. Gigi dilapisi oleh lapisan email. Email
merupakan lapisan paling keras pada tubuh manusia, sebagian besar dibangun oleh
kalsium. Di bagian bawah lapisan email terdapat dentin. Di dalam lapisan dentin
tersebut terdapat rongga pulpa, tempat pembuluh darah dan saraf berada.
Kel. SublingualKel. Parotis
Kel. Submandibular
Saluran kelenjar
Gbr. Rongga Mulut
Gambar 6.8 Gigi terdiri atas beberapa bagian, yaitu mahkota, leher, dan akar gigi.
b. Lidah
Memiliki peran mengatur letak makanan di dalam mulut serta mengecap rasa
makanan. Lidah memiliki struktur yang khas, yaitu papila. Papila-papila ini memiliki
ujung-ujung pengecap yang berhubungan dengan jaringan saraf sensorik. Melalui
papila-papila ini, kita memperoleh informasi mengenai rasa (asin, manis, pahit, dan
asam) dan suhu (panas atau dingin) pada makanan yang kita makan.
c. Kelenjar Ludah
Ada 3 kelenjar ludah pada rongga mulut. Ketiga kelenjar ludah tersebut menghasilkan
ludah setiap harinya sekitar 1 sampai 2,5 liter ludah. Kandungan ludah pada manusia
adalah : air, mucus, enzim amilase, zat antibakteri, dll. Fungsi ludah adalah
melumasi rongga mulut serta mencerna karbohidrat menjadi disakarida.
Kelenjar ludah menyekresikan air liur yang mengandung enzim ptialin (amilase).
Enzim tersebut berperan dalam pencernaan enzimatik yang berlangsung di mulut.
Amilase mengubah amilum menjadi glukosa. Selain enzim, ludah juga mengandung
zat antibakteri (lisozim) sehingga makanan yang masuk ke dalam tubuh mengandung
lebih sedikit bakteri yang dapat membahayakan kesehatan kita. Cairan ludah juga
membantu melarutkan makanan dan melumasi rongga mulut. Ludah dihasilkan oleh
tiga pasang kelenjar ludah yang terdapat di dalam mulut (Gambar 6.9), yaitu:
1) glandula parotid, yang berada di mulut bagian belakang, di dekat telinga; 2)
glandula submaksilaris, berada di rahang bawah; 3) glandula sublingualis, berada di
bawah pangkal lidah.
Gambar 6.9 Manusia mempunyai tiga pasang kelenjar ludah.
2. Esofagus (Kerongkongan)
Merupakan saluran yang menghubungkan antara rongga mulut dengan lambung. Pada
ujung saluran esophagus setelah mulut terdapat daerah yang disebut faring. Pada
faring terdapat klep, yaitu epiglotis yang mengatur makanan agar tidak masuk ke
trakea (tenggorokan). Fungsi esophagus adalah menyalurkan makanan ke lambung.
Agar makanan dapat berjalan sepanjang esophagus, terdapat gerakan peristaltik
sehingga makanan dapat berjalan menuju lambung.
Kerongkongan berbentuk seperti tabung dengan panjang kira-kira 25 cm yang
menghubungkan mulut dengan lambung. Kerongkongan ikut berperan dalam
mendorong makanan menuju lambung. Kerongkongan dilengkapi sepertiga otot lurik
Gbr. Proses penelanan makanan
dan dua pertiga otot halus untuk tugas tersebut. Otot-otot tersebut tersusun
memanjang dan melingkar sehingga mampu melakukan serangkaian kontraksi yang
membuat makanan terdorong menuju lambung. Gerakan ini disebut gerakan
peristaltik (Gambar 6.10).
Gambar 6.10 Gerak peristaltik pada esofagus. Esofagus adalah saluran makanan
yang menghubungkan mulut dan lambung
3. Lambung
Lambung pada manusia menyerupai kantung otot yang mampu menampung bahan
makanan sebanyak 2 liter hingga 4 liter. Makanan masuk ke lambung melalui
sfinkter kardiak yang merupakan otot melingkar antara esofagus dan lambung. Otot
tersebut tertutup ketika tidak ada makanan yang masuk ke lambung. Lambung dibagi
menjadi tiga bagian, yaitu:
1. kardiak, bagian lambung yang terletak di bagian atas, dekat hati
2. fundus, bagian lambung yang membulat, terletak di tengah;
3. pilorus, bagian ujung lambung yang terletak di dekat usus halus.
Lambung dapat mencerna makanan secara mekanik. Lambung memiliki tiga lapis
otot halus yang tersusun memanjang (bagian luar), melingkar (bagian tengah), dan
miring (bagian dalam). Kontraksi dinding lambung menghasilkan gerakan peristaltik
yang menghancurkan makanan dan mencampurkannya dengan enzim-enzim yang
dihasilkan oleh dinding lambung. Dinding lambung disusun oleh lapisan epitel sel
selapis batang. Kontraksi otot lambung menyebabkan beberapa sel pada dinding
lambung menyekresikan gastrin. Gastrin merangsang sel-sel kelejar di dinding
lambung menyekresikan asam lambung. Asam lambung tersebut terdiri atas HCl,
enzim-enzim pencernaan, dan lendir (mukus). Perhatikan Gambar 6.12.
Gambar 6.11 Lambung dibagi menjadi tiga bagian, kardiak, fundus, dan pilorus.
Lendir selain berfungsi mencampur makanan dengan enzim, juga berfungsi
melindungi dinding lambung dari asam lambung. Dinding lambung sering mengalami
pergantian karena sering rusak oleh HCl yang dihasilkannya.
Gambar 6.12 Sel mukus melindungi dinding lambung. Dinding lambung
menyekresikan berbagai macam enzim pencernaan.
HCl berperan dalam membunuh mikroorganisme yang terkandung dalam makanan
yang tidak mati oleh ludah dalam mulut. HCl juga mengaktivasi sel-sel kelenjar lain
di dinding lambung untuk menghasilkan pepsinogen. Dalam suasana yang asam (pH
1 hingga 3), pepsinogen akan berubah menjadi enzim yang aktif, yaitu pepsin. Pepsin
akan mengubah protein menjadi protease dan pepton. Selain pepsin, beberapa enzim
lain yang dihasilkan antara lain adalah renin yang berfungsi menggumpalkan kasein
dalam susu, dan lipase yang berfungsi mencerna lemak. Makanan di lambung yang
telah berbentuk cairan asam disebut kim (chyme). Melalui gerakan peristaltik, kim
didorong menuju usus halus melewati sfinkter pilorik, yaitu otot yang berada di
ujung lambung.
Lambung adalah kelanjutan dari esophagus, berbentuk seperti kantung. Lambung
dapat menampung makanan 1 liter hingga mencapai 2 liter. Dinding lambung disusun
oleh otot-otot polos yang berfungsi menggerus makanan secara mekanik melalui
kontraksi otot-otot tersebut. Ada 3 jenis otot polos yang menyusun lambung, yaitu
otot memanjang, otot melingkar, dan otot menyerong.
Esofagus
Dinding lambung
Pilorus
Duodenum3 Lapisan otot polos
Sel mukus
Kelenjar lambung
Sel kepala
Sel parietal
Saluran kelenjar
Sel endokrin
Gbr penampang dinding lambung
Selain pencernaan mekanik, pada lambung terjadi pencernaan kimiawi dengan
bantuan senyawa kimia yang dihasilkan lambung. Senyawa kimiawi yang dihasilkan
lambung adalah :
Senyawa
Kimia
Fungsi
Asam HCl Mengaktifkan pepsinogen menjadi pepsin. Sebagai disinfektan, serta
merangsang pengeluaran hormon sekretin dan kolesistokinin pada usus
halus
Lipase Memecah lemak menjadi asam lemak dan gliserol. Namun lipase yang
dihasilkan sangat sedikit
Renin Mengendapkan protein pada susu (kasein) dari air susu (ASI). Hanya
dimiliki oleh bayi.
Mukus Melindungi dinding lambung dari kerusakan akibat asam HCl.
Hasil penggerusan makanan di lambung secara mekanik dan kimiawi akan
menjadikan makanan menjadi bubur yang disebut bubur kim.
4. Usus Halus
Usus halus merupakan kelanjutan dari lambung.
Usus halus memiliki panjang sekitar 6-8 meter.
Usus halus terbagi menjadi 3 bagian yaitu
duodenum (± 25 cm), jejunum (± 2,5 m), serta ileum
(± 3,6 m). Pada usus halus hanya terjadi pencernaan
secara kimiawi saja, dengan bantuan senyawa kimia
yang dihasilkan oleh usus halus serta senyawa kimia
dari kelenjar pankreas yang dilepaskan ke usus
halus.
Usus Halus (Intestinum). Dalam usus halus terjadi dua peristiwa penting, yaitu
pencernaan secara enzimatik dan penyerapan sari-sari makanan ke dalam sel darah.
Usus halus terbagi tiga bagian, yaitu duodenum (usus dua belas jari), jejunum (usus
kosong), dan ileum (usus penyerapan). Duodenum disebut usus duabelas jari karena
memiliki panjang sekitar 12 jari orang dewasa. Sementara itu jejunum disebut usus
kosong karena pada orang yang telah meninggal dunia, bagian usus ini kosong. Ileum
disebut usus penyerapan karena pada bagian tersebut zat-zat makanan diserap oleh
tubuh. Enzim-enzim yang berperan di usus halus berasal dari hati, pankreas, dan sel-
sel di dinding usus halus tersebut (Gambar 6.13). Enzim-enzim tersebut memecah
molekul-molekul kompleks makanan menjadi molekul yang lebih sederhana dan
mengabsorpsinya dalam aliran darah.
Gambar 6.13 Zat hasil sekresi hati dan pankreas masuk ke sistem pencernaan
melalui duodenum.
Hati menghasilkan cairan empedu, suatu cairan yang merupakan campuran dari
garam empedu, air, garam-garam lain, dan kolesterol. Empedu dihasilkan hati untuk
kemudian disimpan di dalam kantung empedu. Ketika dibutuhkan, empedu akan
dialirkan dari kantung empedu menuju usus halus melewati saluran yang disebut
ductus hepaticus (saluran empedu). Garam empedu disintesis di hati dari kolesterol
dan asam amino. Meskipun berperan dalam memecah lemak, garam empedu tidak
termasuk enzim. Garam empedu bekerja mirip deterjen atau agen pengemulsi yang
memecah gumpalan lemak pada kim menjadi partikel-partikel yang lebih kecil.
Partikel-partikel ini kemudian diuraikan lagi oleh enzim lipase yang dihasilkan oleh
pankreas. Pankreas terletak di antara lambung dan usus halus. Selain lipase, pankreas
juga menghasilkan sodium bikarbonat (NaHCO3), amilase, dan beberapa protease
yang terdiri atas tripsin, kemotripsin, dan karboksipeptidase. Bersama dengan air,
sekresi pankreas ini sering disebut “pancreas juice“. Sodium bikarbonat menaikkan
pH hingga 7 sampai 8 untuk memberikan suasana basa pada bubur kim yang
dihasilkan dari lambung. Pada suasana basa ini, enzim-enzim yang dihasilkan
pankreas dapat bekerja optimum. Masing-masing enzim tersebut bereaksi terhadap
molekul makanan yang berbeda. Amilase berperan dalam memecah amilum (zat
tepung) menjadi maltosa. Lipase memecah lemak (lipid) menjadi gliserol dan asam
lemak.
Sel-sel epitel pada usus halus, selain mampu menyerap makanan juga menghasilkan
enzim aminopeptidase, sukrase, laktase, dan maltase (fungsinya dapat dilihat pada
Tabel 6.3). Jadi, segera setelah molekul-molekul makanan dicerna oleh enzim-enzim
tersebut, molekul-molekul yang sederhana diserap ke dalam sel dan siap diangkut ke
seluruh tubuh oleh pembuluh darah.
Tabel 6.3 Enzim dan Peranannya dalam Pencernaan Makanan
No. Nama Enzim Dihasilkan
oleh
Organ Tempat
Enzim Bekerja
Fungsi
1 Amilase (ptialin) Kelenjar ludah Mulut Amilum → maltosa
2 Pepsin Lambung Lambung Protein → polipeptida
3 Lipase Pankreas Usus halus Lemak → gliserol dan
asam lemak
4 Amilase pankreas Pankreas Usus halus Amilum → maltosa
5 Tripsin Pankreas Usus halus Protein → polipeptida
6 Kemotripsin Pankreas Usus halus Protein → polipeptida
7 Karboksipeptidase Pankreas Usus halus Polipeptida → asam
amino
8 Laktase Usus halus Usus halus Laktosa → glukosa dan
galaktosa
9 Sukrase Usus halus Usus halus Sukrosa → glukosa dan
fruktosa
10 Aminopeptidase Usus halus Usus halus Polipeptida → asam
amino
11 Maltase Usus halus Usus halus Maltosa → glukosa
Usus halus membentuk struktur yang disebut dengan vili (jonjot) dan mikrovili usus
(Gambar 6.14). Struktur vili tersebut memperluas permukaan di dalam usus halus
sehingga meningkatkan penyerapan. Seperti juga pada lambung, usus halus
mempunyai otot-otot polos yang letaknya bertumpuk dan bersilangan. Ketika otot-
otot ini berkontraksi, kim teraduk dan bersentuhan dengan dinding usus sehingga
terdorong melewati usus halus yang panjangnya mencapai delapan meter. Sebagian
zat diserap, sedangkan zat yang tidak dapat diserap terdorong menuju usus besar
akibat gerakan otot-otot usus halus.
Gambar 6.14 Dinding usus halus terspesialisasi untuk mengabsorpsi molekul-
molekul kecil yang dihasilkan dari proses pencernaan.
Senyawa yang dihasilkan oleh usus halus adalah :
Senyawa
Kimia
Fungsi
Disakaridase Menguraikan disakarida menjadi monosakarida
Erepsinogen Erepsin yang belum aktif yang akan diubah menjadi erepsin. Erepsin
mengubah pepton menjadi asam amino.
Hormon
Sekretin
Merangsang kelenjar pancreas mengeluarkan senyawa kimia yang
dihasilkan ke usus halus
Hormon CCK
(Kolesistokini
n)
Merangsang hati untuk mengeluarkan cairan empedu ke dalam usus
halus.
Selain itu, senyawa kimia yang dihasilkan kelenjar pankreas adalah :
Senyawa
Kimia
Fungsi
Bikarbonat Menetralkan suasana asam dari makanan yang berasal dari lambung
Enterokinase Mengaktifkan erepsinogen menjadi erepsin serta mengaktifkan
tripsinogen menjadi tripsin. Tripsin mengubah pepton menjadi asam
amino.
Amilase Mengubah amilum menjadi disakarida
Lipase Mencerna lemak menjadi asam lemak dan gliserol
Tripsinogen Tripsin yang belum aktif.
Kimotripsin Mengubah peptone menjadi asam amino
Nuklease Menguraikan nukleotida menjadi nukleosida dan gugus pospat
Gbr. Penampang Usus Halus Manusia
Kolon desenden
Kolon Transverum
Kolon asenden
Kolon sigmoid
Rektum
Sekum
Usus halus
Gbr. Usus Besar Manusia dan bagiannya
Hormon
Insulin
Menurunkan kadar gula dalam darah sampai menjadi kadar normal
Hormon
Glukagon
Menaikkan kadar gula darah sampai menjadi kadar normal
5. Usus Besar (Kolon)
Merupakan usus yang memiliki diameter lebih besar dari usus halus. Memiliki
panjang 1,5 meter, dan berbentuk seperti huruf U terbalik. Usus besar dibagi menjadi
3 daerah, yaitu : Kolon asenden, Kolon Transversum, dan Kolon desenden. Fungsi
kolon adalah :
a. Menyerap air selama proses pencernaan.
b. Tempat dihasilkannya vitamin K, dan vitamin H (Biotin) sebagai hasil
simbiosis dengan bakteri usus, misalnya E.coli.
c. Membentuk massa feses
d. Mendorong sisa makanan hasil pencernaan (feses) keluar dari tubuh.
Pengeluaran feses dari tubuh ddefekasi.
Usus besar dibagi menjadi dua bagian, yaitu kolon dan rektum (Gambar 6.16).
Makanan yang tidak dapat dicerna dan tidak dapat diserap oleh usus halus, seperti
serat pada sayuran dan buah-buahan serta lemak dan protein yang tidak dapat terurai,
semuanya akan bercampur dengan air dan akan masuk ke dalam kolon. Di dalam
kolon, terdapat berbagai jenis bakteri, salah satunya adalah Escherichia coli yang
hidup bersimbiosis dengan manusia. Escherichia coli (E. coli) mencerna makanan
yang tidak dapat dicerna enzim usus. E.coli menyekresikan beberapa zat seperti
thiamin (vitamin B1), riboflavin (vitamin B3), vitamin B12, biotin (vitamin H), dan
vitamin K. Zat-zat tersebut kemudian diserap oleh dinding kolon.
6. Rektum dan Anus
Merupakan lubang tempat pembuangan feses dari tubuh. Sebelum dibuang lewat
anus, feses ditampung terlebih dahulu pada bagian rectum. Apabila feses sudah siap
dibuang maka otot spinkter rectum mengatur pembukaan dan penutupan anus. Otot
spinkter yang menyusun rektum ada 2, yaitu otot polos dan otot lurik.
Gangguan Sistem Pencernaan
• Apendikitis Radang usus buntu.
• Diare Feses yang sangat cair akibat peristaltik yang terlalu
cepat.
• Kontipasi (Sembelit) Kesukaran dalam proses Defekasi (buang air besar)
• Maldigesti Terlalu banyak makan atau makan suatu zat yang
merangsang lambung.
• Parotitis Infeksi pada kelenjar parotis disebut juga Gondong
• Tukak Lambung/Maag "Radang" pada dinding lambung, umumnya
diakibatkan infeksi Helicobacter pylori
• Xerostomia Produksi air liur yang sangat sedikit
2. 2. PROSES PENYERAPAN MAKANAN PADA ORANG DEWASA
PROSES PENCERNAAN MAKANAN
Pencernaan makanan secara kimiawi pada usus halus terjadi pada suasana basa.
Prosesnya sebagai berikut :
a. Makanan yang berasal dari lambung dan bersuasana asam akan dinetralkan
oleh bikarbonat dari pancreas.
b. Makanan yang kini berada di usus halus kemudian dicerna sesuai kandungan
zatnya. Makanan dari kelompok karbohidrat akan dicerna oleh amylase
pancreas menjadi disakarida. Disakarida kemudian diuraikan oleh
disakaridase menjadi monosakarida, yaitu glukosa. Glukaosa hasil pencernaan
kemudian diserap usus halus, dan diedarkan ke seluruh tubuh oleh peredaran
darah.
c. Makanan dari kelompok protein setelah dilambung dicerna menjadi pepton,
maka pepton akan diuraikan oleh enzim tripsin, kimotripsin, dan erepsin
menjadi asam amino. Asam amino kemudian diserap usus dan diedarkan ke
seluruh tubuh oleh peredaran darah.
d. Makanan dari kelompok lemak, pertama-tama akan dilarutkan
(diemulsifikasi) oleh cairan empedu yang dihasilkan hati menjadi butiran-
butiran lemak (droplet lemak). Droplet lemak kemudian diuraikan oleh enzim
lipase menjadi asam lemak dan gliserol. Asam lemak dan gliserol kemudian
diserap usus dan diedarkan menuju jantung oleh pembuluh limfe.
Proses Pencernaan Makanan Dalam Sistem Pencernaan Pada Manusia
Pertama-tama, pencernaan dilakukan oleh mulut. Disini dilakukan pencernaan
mekanik yaitu proses mengunyah makanan menggunakan gigi dan pencernaan
kimiawi menggunakan enzim ptialin (amilase). Enzim ptialin berfungsi mengubah
makanan dalam mulut yang mengandung zat karbohidrat (amilum) menjadi gula
sederhana (maltosa). Maltosa mudah dicerna oleh organ pencernaan selanjutnya.
Enzim ptialin bekerja dengan baik pada pH antara 6,8 – 7 dan suhu 37oC.
Makanan selanjutnya dibawa menuju lambung dan melewati kerongkongan.
Makanan bisa turun ke lambung karena adanya kontraksi otot-otot di kerongkongan.
Di lambung, makanan akan melalui proses pencernaan kimiawi menggunakan
zat/enzim sebagai berikut:
Renin, berfungsi mengendapkan protein pada susu (kasein) dari air susu (ASI).
Hanya dimiliki oleh bayi.
Pepsin, berfungsi untuk memecah protein menjadi pepton.
HCl (asam klorida), berfungsi untuk mengaktifkan pepsinogen menjadi pepsin.
Sebagai disinfektan, serta merangsang pengeluaran hormon sekretin dan
kolesistokinin pada usus halus.
Lipase, berfungsi untuk memecah lemak menjadi asam lemak dan gliserol. Namun
lipase yang dihasilkan sangat sedikit.
Setelah makanan diproses di lambung yang membutuhkan waktu sekitar 3 – 4 jam,
makanan akan dibawa menuju usus dua belas jari. Pada usus dua belas jari terdapat
enzim-enzim berikut yang berasal dari pankreas:
Amilase. Yaitu enzim yang mengubah zat tepung (amilum) menjadi gula lebih
sederhana (maltosa).
Lipase. Yaitu enzim yang mengubah lemak menjadi asam lemak dan gliserol.
Tripsinogen. Jika belum aktif, maka akan diaktifkan menjadi tripsin, yaitu enzim
yang mengubah protein dan pepton menjadi dipeptida dan asam amino yang siap
diserap oleh usus halus.
Selain itu, terdapat juga empedu. Empedu dihasilkan oleh hati dan ditampung
di dalam kantung empedu. Selanjutnya, empedu dialirkan melalui saluran empedu ke
usus dua belas jari. Empedu mengandung garam-garam empedu dan zat warna
empedu (bilirubin). Garam empedu berfungsi mengemulsikan lemak. Zat warna
empedu berwarna kecoklatan, dan dihasilkan dengan cara merombak sel darah merah
yang telah tua di hati. Empedu merupakan hasil ekskresi di dalam hati. Zat warna
empedu memberikan ciri warna cokelat pada feses.
Selanjutnya makanan dibawa menuju usus halus. Di dalam usus halus terjadi
proses pencernaan kimiawi dengan melibatkan berbagai enzim pencernaan.
Karbohidrat dicerna menjadi glukosa. Lemak dicerna menjadi asam lemak dan
gliserol, serta protein dicerna menjadi asam amino. Jadi, pada usus dua belas jari,
seluruh proses pencernaan karbohidrat, lemak, dan protein diselesaikan. Selanjutnya,
proses penyerapan (absorbsi) akan berlangsung di usus kosong dan sebagian besar di
usus penyerap. Karbohidrat diserap dalam bentuk glukosa, lemak diserap dalam
bentuk asam lemak dan gliserol, dan protein diserap dalam bentuk asam amino.
Vitamin dan mineral tidak mengalami pencernaan dan dapat langsung diserap oleh
usus halus.
Makanan yang tidak dicerna di usus halus, misalnya selulosa, bersama dengan
lendir akan menuju ke usus besar menjadi feses. Di dalam usus besar terdapat bakteri
Escherichia coli. Bakteri ini membantu dalam proses pembusukan sisa makanan
menjadi feses. Selain membusukkan sisa makanan, bakteri E. coli juga menghasilkan
vitamin K. Vitamin K berperan penting dalam proses pembekuan darah. Sisa
makanan dalam usus besar masuk banyak mengandung air. Karena tubuh
memerlukan air, maka sebagian besar air diserap kembali ke usus besar. Penyerapan
kembali air merupakan fungsi penting dari usus besar.
Selanjutnya sisa-sisa makanan akan dibuang melalui anus berupa feses. Proses ini
dinamakan defekasi dan dilakukan dengan sadar.
Pencernaan Dan Penyerapan Makanan Di Dalam Tubuh
Makanan harus mengalami berbagai perubahan di dalam saluran cerna
hingga diperoleh bentuk – bentuk sederhana yang dapat diabsorpsi ke dalam darah
untuk selanjutnya diangkat oleh darah atau limfe ke sel – sel tubuh. Perubahan –
perubahan menjadi bentuk sederhana ini dilakukan melalui proses pencernaan di
dalam saluran cerna.
Sistem pencernaan sendiri tidak dapat terlepas dari penyerapan (absorpsi) zat
– zat gizi dari makanan yang dikonsumsi setiap harinya. Untuk menggunakan nutrisi
yang terkandung di dalam setiap bahan pangan tentu diperlukan proses penyerapan.
Penyerapan sendiri terjadi di usus halus, saat makanan yang dikonsumsi telah
melewati sistem pencernaan tersebut.
Tujuan dasar dari pencernaan dan absorpsi sendiri adalah untuk
mengantarkan zat gizi esensial ke sel untuk kelangsungan hidup. Agar dapat
memecah zat – zat gizi esensial tersebut, tubuh mengolah makanan melalui proses
kimia dan mekanik dalam saluran cerna. Keberhasilan pencernaan dan absorpsi
bergantung pada koordinasi fungsi otot dan saraf dinding saluran cerna, urgan saluran
cerna, dan organ tambahan dalam pencernaan.
Pola makan dan pola pencernaan kita yang dimulai dari mengunyah
makanan sangat berpengaruh pada keberhasilan sistem pencernaan dalam mencerna
makanan. Tidak sedikit orang mengalami gangguan pencernaan karena pola makan
yang kurang tertata serta sistem pencernaan yang kurang terjaga. Meskipun sepele,
hal semacam itu sangat berpengaruh pada kesehatan pencernaan tubuh di kemudian
hari. Semakin lama kita tidak melatih keteraturan pola makan dan pola pencernaan,
maka semakin cepat kesehatan pencernaan kita akan terganggu. Akibat jangka
panjangnya, sistem metabolisme di dalam tubuh juga akan terganggu.
A. Pencernaan
Pencernaan makanan terjadi di dalam saluran cerna yang panjangnya 8 – 9 meter
pada orang dewasa. Saluran cerna dimulai dari mulut, melalui esofagus, lambung,
usus halus, usus besar, rektum, dan berakhir di anus (Almatsier ; 2009). Saluran cerna
dapat dikatakan berada “di luar” tubuh. Zat – zat gizi yang berasal dari makanan
harus melewati dinding saluran cerna agar dapat diabsorpsi ke dalam aliran darah.
Saluran cerna merupakan sistem yang sangat kompleks yang melakukan berbagai
fungsi faali : menerima, menghaluskan, dan transportasi bahan – bahan yang
dimakan; sekresi enzim cerna, asam, mukus, empedu, dan bahan lain; pencernaan
bahan – bahan yang dimakan; absorpsi dan transportasi produk hasil cerna; serta
transpor, penyimpanan dan ekskresi produk – produk sisa.
Pencernaan dilakikan melalui perubahan mekanis dan kimiawi. Secara mekanis,
makanan dihancurkan melalui proses mengunyah dan proses peristaltik. Proses
mengunyah memperluas permukaan makanan sehingga enzim pencernaan dapat
bekerja lebih baik. Proses perisaltik yaitu proses mengaduk dan mendorong makanan
yyang dimungkinkan oleh gerakan kontraksi dan relaksasi dinding saluran cerna
sehingga makanan terdorong ke bawah, menambah penghancuran makanan dalam
bentuk lebih kecil dan mengaduknya dengan sekresi pencernaan.
Secara kimiawi makanan dihancurkan oleh enzim – enzim pencernaan. Enzim –
enzim ini dikluarkan melalui air ludah ke mulut, melalui cairan lambung ke dalam
lambung dan melalui cairan usus halus ke dalam usus halus. Di samping itu cairan
empedu yang dikeluarkan oleh kantong empedu membantu pencernaan dan absorpsi
di dalam sel – sel usus halus. Asam klorida di dalam lambung juga membantu
pencernaan.
1. Anatomi saluran cerna (almatsier; 2009)
a. Mulut
Proses pencernaan dimulai dari mulut. Saat terjadi proses pengunyahan makanan, gigi
memecah makanan menjadi bagian – bagian yang lebih kecil, dan makanan tersebut
bercampur dengan air ludah untuk mempermudah proses penelanan. Saat ditelan,
makanan melewati epiglotis, suatu katup yang mencegah makanan masuk melalui
trakea menuju paru – paru. Makanan yang ditelan disebut dengan bolus.
b. Esofagus ke lambung
Dari mulut, bolus melalui pipa esofagus masuk ke lambung. Dinding lambung
mengeluarkan sekresi untuk keperluan pencernaan makanan. Pada pintu lambung ada
sfingter kardiak yang menutup setelah bolus masuk, sehingga makanan tidak kembali
masuk ke esofagus. Bolus dalam lambung bercampur dengan cairan lambung dan
digiling halus menjadi cairan yang dinamakan kimus (chyme). Lambung kemudian
sedikit demi sedikit menyalurkan kimus melalui sfingter pilorus ke dalam usus halus,
setelah sfingter pilorus menutup.
c. Usus halus
Pada bagian atas usus halus, kimus melewati lubang saluran empedu. Cairan empedu
dapat menetes dari dua alat, yaitu kantong empedu dan pankreas. Kimus kemudian
melalui tiga bagian dari usus halus: duodenum (usus dua belas jari, jejunum (bagian
usus halus sesudah duodenum sampai ke ileum), dan ileum (ujung usus halus), yang
panjangnya kurang lebih 6 meter. Sebagian besar pencernaan diselesaikan di
doudenum; jejunum dan ileum terutama berfungsi mengabsorpsi zat – zat gizi.
d. Usus besar
Kimus melalui sfingter lain, yaitu katup ileosekal yang berada pada awal usus besar
di bagian kanan perut. Kimus kemudian melewati lubang lain yang menuju ke
apendiks (usus buntu) dan berjalan melalui usus besar naik (ascending colon), ke usus
besar melintang (transverse colon) dan ke usus besar turun (descending colon) ke
dalam rektum.
e. Rektum
Saat kimus melalui usus besar dan menuju ke rektum, air dikeluarkan dari kimus
sehingga terdapat sisa yang semi-padat. Otot – otot rektum menahan sisa makanan ini
hingga saatnya untuk dikeluarkan dari tubuh. Pada saat itu, otot rektum mengendor
dan sisa makanan keluar melalui sfingter terakhir, yaitu terbukanya anus.
2. Proses pencernaan
a. Peristaltik
Bolus dari ujung esofagus bergerak dengan gerakan peristaltik, yaitu gerakan
bergelombang yang disebabkan oleh kontraksi otot pada dinding saluran cerna yang
mendorong makanan di sepanjang saluran cerna. Gerakan – gerakan ini dilakukan
oleh otot – otot yang melingkar dan yang memanjang. Saat otot melingkar
berkontraksi, otot memanjang akan relaksasi, dan saluran mengecil. Sedangkan, pada
kondisi yang berlawanan, saluran akan membesar.
b. Proses di dalam lambung
Lambung memiliki dinding paling tebal dan otot paling kuat dibandingkan dengan
bagian pencernaan lainnya. Lambung juga memiliki lapisan otot diagonal yang secara
bergantian melakukan kontraksi dan relaksasi. Saat ketiga otot tersebut menekan
kimus ke bawah, sfingter pilorus tetap tertutup rapat untuk mencegah kimus masuk
ke doudenum. Hal ini berakibat kimus diaduk dan ditekan ke bawah, mengenai
sfingter pirolus, tetapi tetap berada di lambung.
c. Segmentasi
Alat pencernaan tidak saja mendorong, akan tetapi secara periodik juga memeras
isisnya sepanjang saluran, sehingga memungkinkan getah pencernaan dan sel – sel
dinding usus bersentuhan baik dengan saluran cerna.
d. Kontraksi sfingter
Ada empat jenis otot sfingter yang membagi saluran cerna ke dalam bagian – bagian
utama. Otot – otot ini mencegah terjadinya arus balik isi saluran cerna. Sfingter
kardiak mencegah isi lambung kembali ke esofagus. Sfingter pirolus mencegah isi
usus kembali ke lambung dan menjaga agar bolus tinggal cukup lama di dalam
lambung untuk memungkinkan pencampuran yang baik dengan getah lambung dan
menjadikannya lebih halus. Pada ujung usus halus ada sfingter ileosekal yang
berfungsi mengosongkan isi usus halus ke dalam usus besar.
B. Absorpsi
1. Anatomi sistem absorpsi
Absorpsi zat – zat gizi terutama terjadi pada permukaan usus halus. Usus halus yang
panjangnya kurang lebih enam meter dan diameter kurang lebih 2,5 cm, mempunyai
luas permukaan 200 m2. Usus halus berbentuk lipatan – lipatan. Tiap lipatan memiliki
ribuan jonjot – jonjot yang dinamakan vili. Sebuah vili terdiri atas ratusan sel yang
masing – masing mempunyai bulu yang sangat halus, dinamakan mikrovili. Di dalam
celah – celah antar vili terdapat kripta – kripta berupa kelenjar yang mengeluarkan
getah – getah usus ke dalam saluran usus halus.
2. Sistem absorpsi
Vili secara terus – menerus dalam keadaan bergerak. Tiap vilus dilapisi oleh lapisan
otot yang sangat tipis. Tiap molekul zat gizi yang ukurannya cukup kecil untuk
diserap, terjadi di dalam mikrovili dan diserap ke dalam sel. Pada tiap vili terdapat
pembuluh – pembuluh darah dan pembuluh – pembuluh limfe yang berasal dari
sistem peredaran darah dan sistem limfe, yang merupakan sistem transportasi zat –
zat gizi.
Saluran cerna bekerja secara selektif. Bahan yang dibutuhkan tubuh dipecah dalam
bentuk yang dapat diserap dan diangkut ke seluruh tubuh, dan bahan yang tidak
digunakan dikeluarkan dari tubuh.
3. Cara absorpsi
Absorpsi merupakan proses yang sangat kompleks dan menggunakan empat cara :
pasif, fasilitatif, aktif, dan fagositotis.
Absorpsi pasif trejadi bila zat gizi diabsorpsi tanpa menggunakan alat angkut atau
energi. Absorpsi fasilitatif menggunakan alat angkut protein untuk memindahkan zat
gizi dari saluran cerna ke sel yang mengabsorpsi. Absorpsi aktif menggunakan alat
angkut protein dan energi.
C. Pengaturan pencernaan dan absorpsi
Proses pencernaan dan absorpsi berlangsung dengan cara sangat terkoordinasi.
Struktur saluran cerna dan cara kerjanya memungkinkan pemecahan makanan
menjadi unit – unit sangat halus dan pengantaran produknya ke seluruh tubuh.
1. Hormon – hormon saluran cerna dan sistem saraf
Ada dua sistem yang mengatur sistem pencernaan dan penyerapan, yaitu sistem
hormon dan sistem saraf. Isi saluran cerna merangsang atau menghambat sekresi
pencernaan dengan memberi pesan yang disampaikan hormon dan sistem saraf dari
satu bagian cerna ke bagian lain. Pengaturannya dilakukan melalui mekanisme
umpan balik.
2. Pengaturan pH lambung
Pemeliharan pH lambung antara 1,5 – 1,7 dilakukn oleh hormon gastrin yang
dikeluarkan oleh sel – sel dinding lambung. Masuknya makanan ke dalam lambung
merangsang sel – sel pada dinding lambung untuk mengeluarkan gastrin. Gastrin
merangsang sel – sel kelenjar lambung lain untuk mengeluarkan cairan hidroklorida.
Bila pH mencapai 1,5 asam klorida menghentikan pengeluaran gastrin, sehingga
produksi hidroklorida ikut terhenti, dan lambung tidak menjadi terlalu asam.
Pengaturan lain adalah reseptor saraf di dalam dinding lambung. Reseptor ini
bereaksi terhadap kehadiran makanan dengan cara merangsang kelenjar lambung
untuk mengeluarkan cairannya dan otot untuk melakukan kontraksi. Pada saat
lambung mengosongkan diri, reseptor tidak lagi terangsang, pengeluaran cairan
lambung diperlambat dan kontraksi lambung diperlambat.
3. Pengaturan pembukaan sfingter pilorus
Pengaturan pembukaan dan penutupan sfingter pilorus dilakukan sebagai berikut :
bila sfingter pilorus relaksasi, kimus yang bersifat asam masuk dari lambung ke usus
halus. Keasaman yang ditimbulkan berakibat pada penutupan sfingter dengan rapat.
Masuknya bikarbonat dari pankreas yang menjadikan medium di sekitar sfingter
menjadi basa, membuat otot sfingter kembali relaksasi.
Saluran pencernaan sangat peka terhadap kondisi lingkungan. Hal ini banyak
dipengaruhi oleh faktor – faktor gaya hidup, seperti tidur, istirahat, aktivitas fisik, dan
keadaan emosional. Tidur dan istirahat dapat menjadi salah satu cara untuk
pemeliharaan dan perbaikan jaringan – jaringan, serta pengeluaran sisa – sisa yang
dapat mengganggu fungsi saluran cerna. Aktivitas fisik berpengaruh pada
kekencangan otot saluaran cerna, sedangkan keadaan mental berpengaruh pada
aktivitas hormon dan urat saraf yang mempengaruhi pencernaan dan absorpsi. Pada
saat makan, dibiasakan makan dengan tenang dan rileks untuk mrmbantu proses
pencernaan supaya tetap mampu menghsilkan hormon – hormon secara maksimal dan
proses mencerna berjalan dengan lancar.
Faktor lain yang juga mempengaruhi pencernaan dan absorpsi adalah jenis
makanan yang dikonsumsi. Makanan yang dikonsumsi harus seimbang, beragam, dan
berkecukupan.
Dengan pengaturan pola hidup yang baik, resiko terkena gangguan sistem
pencernaan akan semakin rendah.
2. 3. PATOFISIOLOGI APENDIKTOMI DENGAN PERITONITIS
APENDIKTOMI
DEFINISI
Apendisitis adalah peradangan yang terjadi pada apendiks vermiformis, dan
merupakan penyebab abdomen akut. Apendiks disebut juga umbai cacing. Apendiks
merupakan organ yang berbentuk tabung panjang dan sempit. Panjangnya kira-kira
10cm (kisaran 3-15cm) dan berpangkal di sekum. Apendiks menghasilkan lendir 1-
2ml per hari. Lendir itu secara normal dicurahkan ke dalam lumen dan selanjutnya
dialirkan ke sekum. Adanya hambatan dalam pengaliran tersebut, tampaknya
merupakan salah satu penyebab timbulnya appendisits. Di dalam apendiks juga
terdapat immunoglobulin sekretoal yang merupakan zat pelindung efektif terhadap
infeksi (berperan dalam sistem imun). Dan immunoglobulin yang banyak terdapat di
dalam apendiks adalah IgA. Namun demikian, adanya pengangkatan terhadap
apendiks tidak mempengaruhi sistem imun tubuh. Ini dikarenakan jumlah jaringan
limfe yang terdapat pada apendiks kecil sekali bila dibandingkan dengan yang ada
pada saluran cerna lain.
ETIOLOGI APENDIKSITIS
Apendisitis umumnya terjadi karena infeksi bakteri. Berbagai hal berperan sebagai
faktor pencetusnya. Diantaranya adalah obstruksi yang terjadi pada lumen apendiks.
Obstruksi ini biasanya disebabkan karena adanya timbunan tinja yang keras (fekalit),
hiperplasia jaringan limfoid, tumor apendiks, striktur, benda asing dalam tubuh, dan
cacing askaris dapat pula menyebabkan terjadinya sumbatan. Namun, diantara
penyebab obstruksi lumen yang telah disebutkan di atas, fekalit dan hiperplasia
jaringan limfoid merupakan penyebab obstruksi yang paling sering terjadi. Penyebab
lain yang diduga menimbulkan apendisitis adalah ulserasi mukosa apendiks oleh
parasit E. histolytica.
Penelitian epidemiologi menunjukkan peranan kebiasaan mengkonsumsi makanan
rendah serat dan pengaruh konstipasi terhadap timbulnya penyakit apendisitis. Tinja
yang keras dapat menyebabkan terjadinya konstipasi. Kemudian konstipasi akan
menyebabkan meningkatnya tekanan intrasekal yang berakibat timbulnya sumbatan
fungsional apendiks dan meningkatnya pertumbuhan kuman flora kolon biasa. Semua
ini akan mempermudah timbulnya apendisitis.
GEJALA KLINIS APENDISITIS
Gejala awal yang khas, yang merupakan gejala klasik apendisitis adalah nyeri samar
(nyeri tumpul) di daerah epigastrium di sekitar umbilikus atau periumbilikus.
Keluhan ini biasanya disertai dengan rasa mual muntah, dan pada umumnya nafsu
makan menurun. Kemudian dalam beberapa jam, nyeri akan beralih ke kuadran
kanan bawah, ke titik Mc Burney. Di titik ini nyeri terasa lebih tajam dan jelas
letaknya, sehingga merupakan nyeri somatik setempat. Namun terkadang, tidak
dirasakan adanya nyeri di daerah epigastrium, tetapi terdapat konstipasi sehingga
penderita merasa memerlukan obat pencahar. Tindakan ini dianggap berbahaya
karena bisa mempermudah terjadinya perforasi. Terkadang apendisitis juga disertai
dengan demam derajat rendah sekitar 37,5 -38,5 derajat celcius
Selain gejala klasik, ada beberapa gejala lain yang dapat timbul sebagai akibat dari
apendisitis. Timbulnya gejala ini bergantung pada letak apendiks ketika meradang.
Berikut gejala yang timbul tersebut.
1. Bila letak apendiks retrosekal retroperitoneal, yaitu di belakang sekum
(terlindung
oleh sekum), tanda nyeri perut kanan bawah tidak begitu jelas dan tidak ada
tanda rangsangan peritoneal. Rasa nyeri lebih kearah perut kanan atau nyeri
timbul pada saat melakukan gerakan seperti berjalan, bernapas dalam, batuk,
dan mengedan. Nyeri ini timbul karena adanya kontraksi m.psoas mayor yang
menegang dari dorsal.
2. Bila apendiks terletak di rongga pelvis
Bila apendiks terletak di dekat atau menempel pada rektum, akan timbul
gejala dan rangsangan sigmoid atau rektum, sehingga peristalsis meningkat,
pengosongan rektum akan menjadi lebih cepat dan berulang-ulang (diare).
Bila apendiks terletak di dekat atau menempel pada kandung kemih, dapat
terjadi peningkatan frekuensi kemih, karena rangsangannya dindingnya.
Gejala apendisitis terkadang tidak jelas dan tidak khas, sehingga sulit dilakukan
diagnosis, dan akibatnya apendisitis tidak ditangani tepat pada waktunya, sehingga
biasanya baru diketahui setelah terjadi perforasi. Berikut beberapa keadaan dimana
gejala apendisitis tidak jelas dan tidak khas
1. Pada anak-anak
Gejala awalnya sering hanya menangis dan tidak mau makan. Seringkali anak tidak
bisa menjelaskan rasa nyerinya. Dan beberapa jam kemudian akan terjadi muntah-
muntah dan anak menjadi lemah dan letargik. Karena ketidakjelasan gejala ini,
sering apendisitis diketahui setelah perforasi. Begitupun pada bayi, 80-90 %
apendisitis baru diketahui setelah terjadi perforasi.
2. Pada orang tua berusia lanjut
Gejala sering samar-samar saja dan tidak khas, sehingga lebih dari separuh penderita
baru dapat didiagnosis setelah terjadi perforasi.
3. Pada wanita
Gejala apendisitis sering dikacaukan dengan adanya gangguan yang gejalanya serupa
dengan apendisitis, yaitu mulai dari alat genital (proses ovulasi, menstruasi), radang
panggul, atau penyakit kandungan lainnya. Pada wanita hamil dengan usia kehamilan
trimester, gejala apendisitis berupa nyeri perut, mual, dan muntah, dikacaukan dengan
gejala serupa yang biasa timbul pada kehamilan usia ini. Sedangkan pada kehamilan
lanjut, sekum dan apendiks terdorong ke kraniolateral, sehingga keluhan tidak
dirasakan di perut kanan bawah tetapi lebih ke regio lumbal kanan.
KLASIFIKASI APENDISITIS
Klasifikasi apendisitis terbagi atas 2 yakni :
1. Apendisitis akut, dibagi atas:
Apendisitis akut fokalis atau segmentalis, yaitu setelah sembuh akan timbul
striktur lokal. Appendisitis purulenta difusi, yaitu sudah bertumpuk nanah.
Apendisitis kronis, dibagi atas: Apendisitis kronis fokalis atau parsial, setelah
sembuh akan timbul striktur lokal. Apendisitis kronis obliteritiva yaitu
appendiks miring, biasanya ditemukan pada usia tua.
PATOFISOLOGI APENDISITIS
Patologi apendisitis berawal di jaringan mukosa dan kemudian menyebar ke seluruh
lapisan dinding apendiks. Jaringan mukosa pada apendiks menghasilkan mukus
(lendir) setiap harinya. Terjadinya obstruksi menyebabkan pengaliran mukus dari
lumen apendiks ke sekum menjadi terhambat. Makin lama mukus makin bertambah
banyak dan kemudian terbentuklah bendungan mukus di dalam lumen. Namun,
karena keterbatasan elastisitas dinding apendiks, sehingga hal tersebut menyebabkan
terjadinya peningkatan tekanan intralumen. Tekanan yang meningkat tersebut akan
menyebabkan terhambatnya aliran limfe, sehingga mengakibatkan timbulnya edema,
diapedesis bakteri, dan ulserasi mukosa. Pada saat inilah terjadi apendisitis akut fokal
yang ditandai oleh nyeri di daerah epigastrium di sekitar umbilikus.
Jika sekresi mukus terus berlanjut, tekanan intralumen akan terus meningkat. Hal ini
akan menyebabkan terjadinya obstruksi vena, edema bertambah, dan bakteri akan
menembus dinding apendiks. Peradangan yang timbul pun semakin meluas dan
mengenai peritoneum setempat, sehingga menimbulkan nyeri di daerah perut kanan
bawah. Keadaan ini disebut dengan apendisitis supuratif akut.
Bila kemudian aliran arteri terganggu, maka akan terjadi infark dinding apendiks
yang disusul dengan terjadinya gangren. Keadaan ini disebut dengan apendisitis
ganggrenosa. Jika dinding apendiks yang telah mengalami ganggren ini pecah, itu
berarti apendisitis berada dalam keadaan perforasi.
Sebenarnya tubuh juga melakukan usaha pertahanan untuk membatasi proses
peradangan ini. Caranya adalah dengan menutup apendiks dengan omentum, dan usus
halus, sehingga terbentuk massa periapendikuler yang secara salah dikenal dengan
istilah infiltrat apendiks. Di dalamnya dapat terjadi nekrosis jaringan berupa abses
yang dapat mengalami perforasi. Namun, jika tidak terbentuk abses, apendisitis akan
sembuh dan massa periapendikuler akan menjadi tenang dan selanjutnya akan
mengurai diri secara lambat.
Pada anak-anak, dengan omentum yang lebih pendek, apendiks yang lebih panjang,
dan dinding apendiks yang lebih tipis, serta daya tahan tubuh yang masih kurang,
memudahkan terjadinya perforasi. Sedangkan pada orang tua, perforasi mudah terjadi
karena adanya gangguan pembuluh darah.
Apendiks yang pernah meradang tidak akan sembuh dengan sempurna, tetapi akan
membentuk jaringan parut. Jaringan ini menyebabkan terjadinya perlengketan dengan
jaringan sekitarnya. Perlengketan tersebut dapat kembali menimbulkan keluhan pada
perut kanan bawah. Pada suatu saat organ ini dapat mengalami peradangan kembali
dan dinyatakan mengalami eksaserbasi
KOMPLIKASI
Pada kebanyakan kasus, peradangan dan infeksi usus buntu mungkin didahului oleh
adanya penyumbatan di dalam usus buntu. Bila peradangan berlanjut tanpa
pengobatan, usus buntu bisa pecah.
Usus buntu yang pecah bisa menyebabkan :
- masuknya kuman usus ke dalam perut, menyebabkan peritonitis, yang bisa
berakibat fatal
- terbentuknya abses
- pada wanita, indung telur dan salurannya bisa terinfeksi dan menyebabkan
penyumbatan pada saluran yang bisa menyebabkan kemandulan
- masuknya kuman ke dalam pembuluh darah (septikemia), yang bisa berakibat fatal
PERITONOTIS
Defenisi
Peritonitis adalah inflamasi peritoneum- lapisan membrane serosa rongga abdomen
dan meliputi visera merupakan penyakit berbahaya yang dapat terjadi dalam bentuk
akut maupun kronis/ kumpulan tanda dan gejala, diantaranya nyeri tekan dan nyeri
lepas pada palpasi, defans muscular, dan tanda-tanda umum inflamasi.
Peritonitis merupakan sebuah proses peradangan pada membrane serosa yang
melingkupi kavitas abdomen dan organ yang terletak didalamnyah. Peritonitis sering
disebabkan oleh infeksi peradangan lingkungan sekitarnyah melalui perforasi usus
seperti rupture appendiks atau divertikulum karena awalnya peritonitis
merupakan lingkungan yang steril. Selain itu juga dapat diakibatkan oleh
materi kimia yang irritan seperti asam lambung dari perforasi ulkus atau empedu dari
perforasi kantung empeduatau laserasi hepar. Padawanita sangat dimungkinkan
peritonitis terlokalisasi pada rongga pelvis dari infeksi tuba falopi atau rupturnya
kista ovari. Kasus peritonitis akut yang tidak tertangani dapat berakibat fatal.
Etiologi
Bentuk peritonitis yang paling sering ialah Spontaneous Bacterial Peritonitis (SBP)
dan peritonitis sekunder. SBP terjadi bukan karena infeksi intra abdomen,tetapi
biasanya terjadi pada pasien yang asites terjadi kontaminasi hingga kerongga
peritoneal sehingga menjadi translokasi bakteri munuju dinding perut atau
pembuluh limfe mesenterium, kadang terjadi penyebaran hematogen jika terjadi
bakterimia dan akibat penyakit hati yang kronik. Semakin rendah kadar protein
cairan asites, semakin tinggi risiko terjadinya peritonitis dan abses. Ini terjadi karena
ikatan opsonisasi yang rendah antar molekul komponen asites pathogen yang
paling sering menyebabkan infeksi adalah bakteri gram negative E. Coli 40%,
Klebsiella pneumoniae 7%, spesies Pseudomonas, Proteus dan gram lainnya 20% dan
bakteri gram positif yaitu Streptococcus pnemuminae 15%, jenis Streptococcus lain
15%,dan golongan Staphylococcus 3%, selain itu juga terdapat anaerob dan infeksi
campur bakteri. Peritonitis sekunder yang paling sering terjadi disebabkan oleh
perforasi atau nekrosis (infeksi transmural) organ-organ dalam dengan inokulasi
bakteri rongga peritoneal terutama disebabkan bakteri gram positif yang berasal dari
saluran cerna bagian atas. Peritonitis tersier terjadi karena infeksi peritoneal berulang
setelah mendapatkan terapi SBP atau peritonitis sekunder yang adekuat, bukan
berasal dari kelainan organ, pada pasien Peritonisis tersier biasanya timbul abses atau
flagmon dengan atau tanpa fistula. Selain itu juga terdapat peritonitis TB, peritonitis
steril atau kimiawi terjadi karena iritasi bahan-bahan kimia, misalnya cairan empedu,
barium, dan substansi kimia lain atau prses inflamasi transmural dari organ-organ
dalam.
Ada beberapa hal yang merupakan etiologi/penyebab timbulnya peritonitis, yaitu
sebagai berikut :
1. Infeksi bakteri
Mikroorganisme berasal dari penyakit saluran gastrointestinal, misalnya :
Appendisitis yang meradang dan perforasi
Tukak peptik (lambung / dudenum)
Tukak thypoid
Tukan disentri amuba / colitis
Tukak pada tumor
Salpingitis
Divertikulitis
Kuman yang paling sering ialah bakteri Coli, streptokokus µ dan b hemolitik,
stapilokokus aurens, enterokokus dan yang paling berbahaya adalah clostridium
wechii.
2. Secara langsung dari luar.
Operasi yang tidak steril
Terkontaminasi talcum venetum, lycopodium, sulfonamida, terjadi
peritonitisyang disertai pembentukan jaringan granulomatosa sebagai respon
terhadap benda asing, disebut juga peritonitis granulomatosa serta merupakan
peritonitis lokal.
Trauma pada kecelakaan seperti rupturs limpa.
Melalui tuba fallopius seperti cacing enterobius vermikularis. Terbentuk pula
peritonitis granulomatosa.
3. Secara hematogen sebagai komplikasi beberapa penyakit akut seperti radang
saluran pernapasan bagian atas, otitis media, mastoiditis, glomerulonepritis.
Penyebab utama adalah streptokokus atau pnemokokus.
KLASIFIKASI
Berdasarkan patogenesis peritonitis dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
A. Peritonitis Bakterial Primer
1. Merupakan peritonitis akibat kontaminasi bakterial secara hematogen pada
cavumperitoneum dan tidak ditemukan fokus infeksi dalam abdomen.
Penyebabnya bersifat monomikrobial, biasanya E. Coli, Sreptococus atau
Pneumococus. Peritonitis bakterial primer dibagi menjadi dua, yaitu:
Spesifik : misalnya Tuberculosis
2.Non spesifik: misalnya pneumonia non tuberculosis an Tonsilitis.
Faktor resiko yang berperan pada peritonitis ini adalah adanya malnutrisi, keganasan
intraabdomen, imunosupresi dan splenektomi.
Kelompok resiko tinggi adalah pasien dengan sindrom nefrotik, gagal ginjal kronik,
lupus eritematosus sistemik, dan sirosis hepatis dengan asites.
B. Peritonitis Bakterial Akut Sekunder (Supurativa)
Peritonitis yang mengikuti suatu infeksi akut atau perforasi tractusi gastrointestinal
atau tractus urinarius. Pada umumnya organisme tunggal tidak akan menyebabkan
peritonitis yangfatal. Sinergisme dari multipel organisme dapat memperberat
terjadinya infeksi ini. Bakteri anaerob, khususnya spesies Bacteroides,
dapat memperbesar pengaruh bakteri aerob dalam menimbulkan infeksi.
Selain itu luas dan lama kontaminasi suatu bakteri juga dapat memperberat suatu
peritonitis. Kuman dapat berasal dari:
- Luka/trauma penetrasi, yang membawa kuman dari luar masuk ke dalam
cavum peritoneal.
- Perforasi organ-organ dalam perut, contohnya peritonitis yang disebabkan
oleh bahan kimia, perforasi usus sehingga feces keluar dari usus.
- Komplikasi dari proses inflamasi organ-organ intra abdominal,
misalnya appendisitis.
C. Peritonitis tersier, misalnya:
- Peritonitis yang disebabkan oleh jamur.
- Peritonitis yang sumber kumannya tidak dapat ditemukan.
Merupakan peritonitis yang disebabkan oleh iritan langsung, sepertii misalnya
empedu, getah lambung, getah pankreas, dan urine.
D. Peritonitis Bentuk lain dari peritonitis:
a. Aseptik/steril peritonitis
b. Granulomatous peritonitis
c. Hiperlipidemik peritonitis
d. Talkum peritonitis
Patofisiologi
Reaksi awal peritoneum terhadap invasi oleh bakteri adalah keluarnya eksudat
fibrinosa. Kantong-kantong nanah (abses) terbentuk di antara perlekatan fibrinosa,
yang menempel menjadi satu dengan permukaan sekitarnya sehingga membatasi
infeksi.Perlekatan biasanya menghilang bila infeksi menghilang, tetapi dapat menetap
sebagai pita-pita fibrosa, yang kelak dapat mengakibatkan obstuksi usus.
Peradangan menimbulkan akumulasi cairan karena kapiler dan membran mengalami
kebocoran. Jika defisit cairan tidak dikoreksi secara cepat dan agresif, maka dapat
menimbulkan kematian sel. Pelepasan berbagai mediator, seperti misalnya
interleukin, dapat memulai respon hiperinflamatorius, sehingga membawa
ke perkembangan selanjutnya dari kegagalan banyak organ. Karena tubuh mencoba
untuk mengkompensasi dengan cara retensi cairan dan elektrolit oleh ginjal, produk
buangan juga ikut menumpuk. Takikardi awalnya meningkatkan curah jantung,
tapi ini segera gagal begitu terjadi hipovolemia. Organ-organ didalam cavum
peritoneum termasuk dinding abdomen mengalami oedem. Oedem disebabkan
oleh permeabilitas pembuluh darah kapiler organ-organ tersebutmeninggi.
Pengumpulan cairan didalam rongga peritoneum dan lumen-lumen usus serta oedem
seluruh organ intra peritoneal dan oedem dinding abdomen termasuk jaringan
retroperitoneal menyebabkan hipovolemia. Hipovolemia bertambah dengan adanya
kenaikan suhu, masukan yang tidak ada, serta muntah.Terjebaknya cairan di cavum
peritoneum dan lumen usus, lebih lanjut meningkatkan tekana intra abdomen,
membuat usaha pernapasan penuh menjadi sulit dan menimbulkan penurunan perfusi.
Bila bahan yang menginfeksi tersebar luas pada permukaan peritoneum atau bila
infeksi menyebar, dapat timbul peritonitis umum. Dengan perkembangan peritonitis
umum, aktivitas peristaltik berkurang sampai timbul ileus paralitik; usus
kemudian menjadi atoni dan meregang. Cairan dan elektrolit hilang kedalam lumen
usus, mengakibatkan dehidrasi, syok, gangguan sirkulasi dan oliguria. Perlekatan
dapat terbentuk antara lengkung-lengkung usus yang meregang dan dapat
mengganggu pulihnya pergerakan usus dan mengakibatkan obstruksi usus.
Sumbatan yang lama pada usus atau obstruksi usus dapat menimbulkan ileus karena
adanya gangguan mekanik (sumbatan) maka terjadi peningkatan peristaltik usus
sebagai usaha untuk mengatasi hambatan. Ileus ini dapat berupa ileus sederhana
yaituobstruksi usus yang tidak disertai terjepitnya pembuluh darah dan dapat bersifat
total atau parsial, pada ileus stangulasi obstruksi disertai terjepitnya pembuluh darah
sehingga terjadi iskemi yang akan berakhir dengan nekrosis atau ganggren dan
akhirnya terjadi perforasi usus dan karena penyebaran bakteri pada rongga abdomen
sehingga dapat terjadi peritonitis. Tifus abdominalis adalah penyakit infeksi akut usus
halus yang disebabkan kuman S. Typhi yang masuk tubuh manusia melalui mulut
dari makan dan air yang tercemar. Sebagian kuman dimusnahkan oleh asam lambung,
sebagian lagi masuk keusus halus dan mencapai jaringan limfoid plaque peyeri di
ileum terminalis yang mengalami hipertropi ditempat ini komplikasi perdarahan dan
perforasi intestinal dapat terjadi, perforasi ileum pada tifus biasanya terjadi pada
penderita yang demam selama kurang lebih 2 minggu yang disertai nyeri kepala,
batuk dan malaise yang disusul oleh nyeri perut, nyeri tekan, defansmuskuler, dan
keadaan umum yang merosot karena toksemia.
Perforasi tukak peptik khas ditandai oleh perangsangan peritoneum yang mulai di
epigastrium dan meluas keseluruh peritonium akibat peritonitis generalisata. Perforasi
lambung dan duodenum bagian depan menyebabkan peritonitis akut. Penderita yang
mengalami perforasi ini tampak kesakitan hebat seperti ditikam di perut. Nyeri ini
timbul mendadak terutama dirasakan di daerah epigastrium karena rangsangan
peritonium oleh asam lambung, empedu dan atau enzim pankreas. Kemudian
menyebar keseluruh perutmenimbulkan nyeri seluruh perut pada awal perforasi,
belum ada infeksi bakteria, kadang fase ini disebut fase peritonitis kimia, adanya
nyeri di bahu menunjukkan rangsanganperitoneum berupa mengenceran zat asam
garam yang merangsang, ini akan mengurangi keluhan untuk sementara sampai
kemudian terjadi peritonitis bakteria. Pada apendisitis biasanya biasanya disebabkan
oleh penyumbatan lumen apendiks oleh hiperplasi folikel limfoid, fekalit, benda
asing, striktur karena fibrosis dan neoplasma. Obstruksi tersebut menyebabkan mukus
yang diproduksi mukosa mengalamibendungan,makin lama mukus tersebut makin
banyak, namun elastisitas dinding apendiks mempunyai keterbatasan
sehingga menyebabkan peningkatan tekanan intralumen dan menghambat aliran limfe
yang mengakibatkan oedem, diapedesis bakteri, ulserasi mukosa, dan obstruksi vena
sehingga udem bertambah kemudian aliran arteri terganggu akan terjadi infark
dinding apendiks yang diikuti dengan nekrosis atau ganggren dinding apendiks
sehingga menimbulkan perforasi dan akhirnya mengakibatkan peritonitis baik lokal
maupun general.
Pada trauma abdomen baik trauma tembus abdomen dan trauma tumpul abdomen
dapat mengakibatkan peritonitis sampai dengan sepsis bila mengenai organ yang
berongga intra peritonial. Rangsangan peritonial yang timbul sesuai dengan isi dari
organ berongga tersebut, mulai dari gaster yang bersifat kimia sampai dengan kolon
yang berisi feses. Rangsangan kimia onsetnya paling cepat dan feses paling lambat.
Bila perforasi terjadi dibagian atas, misalnya didaerah lambung maka akan terjadi
perangsangan segera sesudah trauma dan akan terjadi gejala peritonitis
hebat sedangkan bila bagian bawah seperti kolon, mula-mula tidak terjadi gejala
karena mikroorganisme membutuhkan waktu untukberkembang biak baru setelah 24
jam timbul gejala akut abdomen karena perangsangan peritoneum.
Peritonitis menimbulkan efek sistemik. Perubahan sirkulasi, perpindahan cairan,
masalah pernafasan menyebabkan ketidakseimbangan cairan dan elektrolit. Sistem
sirkulasi mengalami tekanan dari beberapa sumber. Respon inflamasi mengirimkan
darah ekstra ke area usus yang terinflamasi. Cairan dan udara ditahan dalam lumen
ini, meningkatkan tekanan dan sekresi cairan ke dalam usus. Sedangkan volume
sirkulasi darah berkurang, meningkatkan kebutuhan oksigen, ventilasi berkurang dan
meninggikan tekanan abdomen yang meninggikan diafragma.
Manifestasi klinik
Tanda-tanda peritonitis relative sama dengan infeksi berat yaitu demam tinggi atau
pasien yang sepsis bisa menjadi hipotermia, tatikardi, dehidrasi hingga menjadi
hipotensi. Nyeri abdomen yang hebat biasanya memiliki punctum maximum ditempat
tertentu sebagai sumber infeksi. Dinding perut akan terasa tegang karena mekanisme
antisipasi penderita secara tidak sadar untuk menghindari palpasinya yang
menyakinkan atau tegang karenairitasi peritoneum.
Syok (neurogenik, hipovolemik atau septik) terjadi pada beberpa penderita
peritonitis umum.
Demam
Distensi abdomen
Nyeri tekan abdomen dan rigiditas yang lokal, difus, atrofi umum, tergantung
pada perluasan iritasi peritonitis.
Bising usus tak terdengar pada peritonitis umum dapat terjadi pada daerah yang
jauh dari lokasi peritonitisnya.
Nausea
Vomiting
Penurunan peristaltik.
Pada wanita dilakukan pemeriksaan vagina bimanual untuk membedakan nyeri akibat
pelvic inflammatoru disease. Pemeriksaan-pemeriksaan klinis ini bisa jadi positif
palsu pada penderita dalam keadaan imunosupresi (misalnya diabetes berat,
penggunaan steroid, pascatransplantasi, atau HIV), penderita dengan penurunan
kesadaran (misalnya trauma cranial, ensefalopati toksik, syok sepsis, atau
penggunaan analgesic), penderita dnegan paraplegia dan penderita geriatric. Adanya
nyeri abdomen (akut abdomen) dengan nyeri yang tumpul dan tidak terlalu jelas
lokasinya (peritoneum visceral). Kemudian lama kelamaan menjadi jelas lokasinya
(peritoneum parietal). Pada keadaan peritonitis akibat penyakit tertentu, misalnya :
perforasi lambung, duodenum, pankreatitis akut yang berat/ iskemia.
Tanda-Tanda Peritonitis, yaitu sebagai berikut :
- Demam tinggi
- Pasien yang sepsis bisa menjadi hipotermia
- Takikardi
- Dehidrasi
- Hipotensi
2. 4. FARMAKOLOGI PASIEN DENGAN APENDIKSITIS PERITONITIS
DAN IMPLIKASI KEPERAWATAN
Antibiotika
Jenis antibiotika yang digunakan pasien apendisitis akut adalah
- sefalosporin generasi III (sefotaksim dan seftriakson)
- sefalosporin generasi IV (sefpirom), metronidazol
- aminoglikosida (gentamisin)
- penisilin (ampisilin), dan karbapenem (meropenem).
Analgetika
Jenis analgetika yang digunakan adalah
- ketorolak trometamin, metamizol Na, dan tramadol HCl.
- Terapi Cairan
- Antiulser
- Antiemetika
Efektivitas obat pada kasus apendsitis akut ditunjukkan dengan penurunan leukosit,
LED, dan intensitas nyeri serta tidak didapatkan infeksi luka operasi (ILO). Problem
obat pada kasus apendisitis akut hanya ditemukan pada satu pasien yaitu reaksi alergi
(hipersensitifitas) terhadap sefotaksim.
Antiemitik
Jenis antiemitik yang di gunakan adalah :
- Ranitidin
- Rantin
- Nerfoz
- Ranivel
Vitamin
- Vitamin c 1000mg
- Curvit
2. 5. GIZI YANG TEPAT PADA APENDIKTOMI PERITONITIS SERTA
POST LAPAROTOMI SERTA IMPLIKASI KEPERAWATAN
Jenis diet dan indikasi pemberian
a. Makanan pasca bedah I (MPBI)
Diet ini diberian kepada semua pasien pasca bedah.
Pasca bedah kecil : setelah sadar atau rasa mual hilang
Pasca bedah besar : setelah rasa sadar atau mual hilang serta ada tanda-tanda
usus mulai bekerja.
Selama 6 jam sesudah pembedahan, makanan yang diberikan berupa air putih,
teh manis, air kacang, hijau, sirup, air jeruk manis dan air kaldu jernih.
Makanan ini diberikan dalam waktu yang sesingkat mungkin, karena kurang
dari semua zat gizi. Makanan diberikan secara bertahap sesuai kemampuan
dan kondisi pasien, mulai dari 30 ml/jam.
b. Makanan pasca bedah II (MPB II)
diberikan pada pasien pasca bedah besar saluran cerna atau sebagai
perpindahan dari diet pasca bedah I. Makanan diberikan dalam bentuk cair
kental, berupa sari buah, sup, susu, dan puding rata-rata 8-10 kali sehari
selama pasien tidak tidur. Jumlah cairan yang diberikan tergantung keadaan
dan kondisi pasien. Diet ini diberikan untuk waktu sesingkat mungkin karena
zat gizinya kurang.
c. Makanan pasca bedah III (MPB III)
Diberikan pada pasien pasca bedah besar saluran cerna atau sebagai
perpindahan dari diet pasca bedah II. Makanan yang diberikan berupa
makanan saring ditambah susu dan biskuit. Cairan hendaknya tidak melebihi
2.000 ml sehari.
d. Makanan pasca bedah IV (MPB IV)
Diberikan pada :
Pasien pasca bedah kecil, setelah diet pasc abedah I
Pasien pasca bedah besar, setelah diet pasca bedah II
Makanana diberikan berupa makanan lunak yang dibagi dalam 3 kali
makanan lengkap dan 1 kali makanan selingan.
Mengkonsumsi makanan berserat
- alpokat
- nanas
- sayur-sayuran (kecuali daun singkong dan daun pepaya )
- pisang
Minum air mineral 6-18 gelas / hari
2. 6. PENATALAKSANAAN MEDIK APENDISITIS DAN APENDIKSITIS
PERITONITIS
Penatalaksanaan Medis
Penatalaksanaan pada pasien apendisitisis ditulis oleh harnawatiaj, 2008 :
1. Penatalaksanaan Keperawatan pre operasi
Penderita di observasi, istirahat dalam posisi semifowler, sebelum operasi
klien perlu dipersiapkan secara fisik maupun psikis.
Disamping itu juga klien perlu diberikan pengetahuan tentang pristiwa yang
akan dialami setelah di operasi dan diberikan latihan fisik ( pernapasan dalam,
gerakan kaki dan duduk ) untuk digunakan dalam periode post operatif.
2. Penatalaksanaan medis yang dilakukan pada klien dengan apendisitis adalah :
a. Apendektomi ( pembedahan untuk mengangkat apendiks ) dilakukan
sesegera mungkin untuk menurunkan resiko perforasi. Apendektomi
dilakukan dibawah anastesi umum atau spinal dengan insisi abdomen
bawah atau dengan laparaskopi, yang merupakan metode terbaru yang
sangat efektif.
b. Antibiotik dan cairan IV dapat diberikan sampai pembedahan dilakukan
c. Analgetik dapat diberikan setelah diagnosa ditegakkan dan setelah operasi.
.
3. Penatalaksanaan keperawataan pasca operasi
Perlu dilakukan observasi tanda-tanda vital untuk mengetahui terjadinya
perdarahan di dalam, syok, hipertermi, baringkan klien dalam posisi
semifowler untuk mengurangi tegangan pada insisi dan organ abdomen,
berikan minum secara bertahap setelah klien di puasakan, pemberian
antibiotik, pemberian analgetik, pemberian cairan intravena dapat diberikan
sesuai indikasi, berikan makanan yang lunak, anjurkan klien untuk mobilisasi
miring kiri dan kanan, lakukan perawatan luka setelah 3 hari.
PENATALAKSANAAN MEDIS
Penatalaksanaan yang dapat dilakukan pada penderita apendicitis meliputi
penanggulangan konservatif dan operasi
a. Penanggulangan konservatif
Penagnggulangan konservatif terutama diberikan pada penderita yang
tidak mempunyai akses ke pelayanan bedah berupa pemberian
antibiotik. Pemberian antibiotik berguna untuk mencegah infeksi. Pada
penderita apendicitis performasi, peritonitis sebelum operasi dilakukan
penggantian cairan dan elektrolit serta pemberian antibiotik sistemik
b. Operasi
Bila didiagnosa sudah tepat dan jelas diremukan apendicitis maka
tindakan yang dilakukan adalah operasi membuang apendiks
(apendiktomi). Penundaan apendikdektomi dengan pemberian
antibiotik dapat mengakibatkan abses dan perforasi. Pada abses
apendiks dilakukan drainage (mengeluarkan nanah)
c. Pencegahan tersier
Tujuan utama dari pencegahan tersier yaitu mencegah terjadinya
komplikasi yang lebih berat seperti komplikasi intra abdomen.
Komplikasi utama adalah infeksi luka dan abses intraperitonium. Bila
diperkirakan terjadi perforasi maka abdomen dicuci dengan garam
fisiologis atau antibiotik. Pasca appendektomi diperlukan perawatan
intensif dan pemberian antibiotik dengan lama terapi disesuaikan
dengan besar infeksi intra-abdomen.
2. 7. PEMERIKSAAN FISIK SYTEM CERNA
Inspeksi : pada apendisitis akut sering ditemukan adanya abdominal
swelling, sehingga pada pemeriksaan jenis ini biasa ditemukan distensi perut.
Palpasi : pada daerah perut kanan bawah apabila ditekan akan terasa nyeri.
Dan bila tekanan dilepas juga akan terasa nyeri. Nyeri tekan perut kanan
bawah merupakan kunci diagnosis dari apendisitis. Pada penekanan perut kiri
bawah akan dirasakan nyeri pada perut kanan bawah. Ini disebut tanda
Rovsing (Rovsing Sign). Dan apabila tekanan di perut kiri bawah dilepaskan
juga akan terasa nyeri pada perut kanan bawah.Ini disebut tanda Blumberg
(Blumberg Sign).
Pemeriksaan uji psoas dan uji obturator : pemeriksaan ini juga dilakukan
untuk mengetahui letak apendiks yang meradang. Uji psoas dilakukan dengan
rangsangan otot psoas lewat hiperektensi sendi panggul kanan atau fleksi aktif
sendi panggul kanan, kemudian paha kanan ditahan. Bila appendiks yang
meradang menempel di m. psoas mayor, maka tindakan tersebut akan
menimbulkan nyeri. Sedangkan pada uji obturator dilakukan gerakan fleksi
dan endorotasi sendi panggul pada posisi terlentang. Bila apendiks yang
meradang kontak dengan m.obturator internus yang merupakan dinding
panggul kecil, maka tindakan ini akan menimbulkan nyeri. Pemeriksaan ini
dilakukan pada apendisitis pelvika.
Pemeriksaan colok dubur : pemeriksaan ini dilakukan pada apendisitis,
untuk menentukan letak apendiks, apabila letaknya sulit diketahui. Jika saat
dilakukan pemeriksaan ini dan terasa nyeri, maka kemungkinan apendiks
yang meradang terletak didaerah pelvis. Pemeriksaan ini merupakan kunci
diagnosis pada apendisitis pelvika.
Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium : terdiri dari pemeriksaan darah lengkap dan test protein
reaktif (CRP). Pada pemeriksaan darah lengkap ditemukan jumlah leukosit
antara 10.000-20.000/ml (leukositosis) dan neutrofil diatas 75%, sedangkan
pada CRP ditemukan jumlah serum yang meningkat.1
Radiologi : terdiri dari pemeriksaan ultrasonografi dan CT-scan. Pada
pemeriksaan ultrasonografi ditemukan bagian memanjang pada tempat yang
terjadi inflamasi pada apendiks. Sedangkan pada pemeriksaan CT-scan
ditemukan bagian yang menyilang dengan apendikalit serta perluasan dari
apendiks yang mengalami inflamasi serta adanya pelebaran sekum.
Tanda-Tanda Khusus
1. Psoas Sign
Dilakukan dengan rangsangan m.psoas dengan cara penderita dalam
posisi terlentang, tungkai kanan lurus ditahan pemeriksa, penderita disuruh
hiperekstensi atau fleksi aktif. Psoas sign (+) bila terasa nyeri di abdomen
kanan bawah.
2. Rovsing Sign
Perut kiri bawah ditekan, akan terasa sakit pada perut kanan bawah
3. Obturator Sign
Dilakukan dengan menyuruh penderita tidur terlentang, lalu dilakukan
gerakan fleksi dan endorotasi sendi panggul. Obturator sign (+) bila terasa
nyeri di perut kanan bawah.
2. 8. PERSIAPAN OPERASI APENDIKTOMI DAN LAPAROTOMI
PERSIAPAN PRE-OPERASI UNTUK PENDERITA
Keperawatan pre operasi dimulai ketika keputusan tindakan pembedahan di
ambil, dan berakhir ketika klien di pindahkan ke kamar operasi. Dalam fase pre
operasi ini dilakukan pengkajian pre operasi awal, merencanakan penyuluhan dengan
metode yang sesuai dengan kebutuhan pasien, melibatkan keluarga atau orang
terdekat dalam wawancara, memastikan kelengkapan pemeriksaan praoperasi,
mengkaji kebutuhan klien dalam rangka perawatan post operasi.
Persiapan pre operasi yang perlu dilakukan oleh petugas untuk penderita antara lain :
1. Menerangkan kepada penderita dan keluarganya alasan dilakukan operasi dan
memberikan pengertian serta kekuatan mental kepada mereka dalam
menghadapi keadaan ini. Diterangkan pula bahwa operasi untuk operasi ini
diperlukan izin / persetujuan dari penderita dan keluarganya.
2. Melakukan pengosongan kandung kencing. Pada operasi perabdominan di
pasang kateter menetap.
3. Mengosongkan isi rectum. Pada placenta previa tidak dianjurkan karena dapat
menyebabkan perdarahan.
4. Tentukan daerah yang akan dicukur, sebaiknya pencukuran dilakukan
langsung sebelum pembedahan.
5. Mencukur rambut pubis daerah genetalia eksterna dan rambut daerah dinding
perut pada operasi perabdominam.
6. Melakukan suci hama daerah operasi :
a. Daerah genetalia eksterna dan vagina dengan memakai larutan asam pikrin,
larutan betadine, larutan savlon dan sebagainya.
b. Daerah dinding perut dengan larutan betadine, larutan iodium atau larutan
savlonlalu dicuci lagi dengan latutan alcohol.
7. Jangan lupa bahwa penderita akan NPO sekitar 8 jam sebelum pembedahan.
Pemberian obat obatan selama itu harus diberikan secara IV atau IM.
Antibiotika harus diberikan sebelum pembedahan bilamana itu digunakan
sebagai profilaksis melawan peradangan.
8. Darah harus diambil untuk test pada pagi hari sebelum pembedahan pada
beberapa penderita, misalya glukosa darah pada penderita diabetes.
9. Darah harus dicocokan dengan penderita bilamana akan dilakukan transfuse.
Komponen darah(misal trombosit) harus disiapkan terlebih dahulu.
10. Penderita tidak boleh makan makanan padat selama 12 jam dan minum cairan
selama 8 jam sebelum pembedahan.
11. Pemberian cairan intravena sebelum pembedahan tidak diperlukan pada
berbagai kasus, tetapi pada penderita lanjut usia atau pada penderita yang
lemah.
LAPAROTOMI
1. Pengertian
Laparotomy adalah operasi yang dilakukan untuk membuka abdomen
(bagian perut). Kata "laparotomy" pertama kali digunakan untuk merujuk operasi
semacam ini pada tahun 1878 oleh seorang ahli bedah Inggris, Thomas Bryant.
Kata tersebut terbentuk dari dua kata Yunani, "lapara" dan "tome". Kata "lapara"
berarti bagian lunak dari tubuh yg terletak di antara tulang rusuk dan pinggul.
Sedangkan "tome" berarti pemotongan.
Laparotomy dilakukan untuk memeriksa beberapa organ di abdomen
sebelah bawah dan pelvis (rongga panggul) yang melingkupiInsisi Vertikal
(midline, paramedian, supraumbilikal), insisi Transversal dan Oblik serta insisi
Abdominothoracic. Operasi ini juga dilakukan sebelum melakukan operasi
pembedahan mikro pada tuba fallopi.
Ada beberapa cara, yaitu;
a. Midline Epigastric Insision (irisan median atas)
Insisi dilakukan persis pada garis tengah dimulai dari ujung Proc. Xiphoideus
hingga 1 cm diatas umbilikus. Kulit, fat subcutan, linea alba, fat extraperitoneal,
dan peritoneum dipisahkan satu persatu. Membuka peritoneum dari bawah.
b. Midline Subumbilical Insision (irisan median bawah)
Irisan dari umbilikus sampai simfisis, membuka peritoneum dari sisi atas. Irisan
median atas dan bawah dapat disambung dengan melingkari umbilikus.
Peritoneum harus dibuka dengan sangat hati-hati. Cara yang paling aman adalah
membukanya dengan menggunakan dua klem artery, yang dijepitkan dengan
sangat hati-hati pada peritoneum. Kemudian peritoneum diangkat dan sedikit
diggoyang-goyang untuk memastikan tidak adanya struktur dibawahnya yang ikut
terjepit. Kemudian peritoneum diinsisi dengan menggunakan gunting. Insisi
diperlebar dengan memasukkan 2 jari kita yang akan dipergunakan untuk
melindungi struktur dibawahnya sewaktu kita membuka seluruh peritoneum.Bila
penderita pernah mengalami laparotomi dengan irisan median, sebaiknya irisan
ditambahkan keatas atau bawah dan membuka peritoneum diatas atau dibawah
irisan lama. Setelah peritoneum terbuka organ abdomen dipisahkan dengan hati-
hati dari peritoneum. Pada kasus emerjensi, lebih baik melakukan irisan median.
1) Paramedian Insision ”trapp door” (konvensional)
Insisi ini dapat dibuat baik di sebelah kanan atau kiri dari garis tengah. Kira-kira
2,5-5 cm dari garis tengah. Insisi dilakukan vertical, diatas sampai bawah
umbilkikus, m.rectus abdominis didorng ke lateral dan peritoneum dibuka juga
2.5 cm lateral dari garis tengah. Pada irisan dibawah umbilikus diperhatikan
epigastrica inferior yang harus dipisahkan dan diikat.
2) Lateral Paramedian Insision
Adalah modifikasi dari Paramedian Insision yang dikenalkan oleh Guillou
et al. Dimana fascia diiris lebih lateral dari yang konvensional Secara teoritis,
teknik ini akan memperkecil kemungkinan terjadinya wound dehiscence dan
insisional hernia dan lebih baik dari yang konvensional.
3) Vertical Muscle Splitting Insision (paramedian transrect)
Insisi ini sama dengan paramedian insision konvensional, hanya otot rectus pada
insisi ini dipisahkan secara tumpul (splitting longitudinally) pada 1/3 tengahnya,
atau jika mungkin pada 1/6 tengahnya. Insisi ini berguna untuk membuka scar
yang berasal dari insisi paramedian sebelumnya. Kemungkinan hernia sikatrikalis
lebih besar.
4) Kocher Subcostal Insision
Insisi Subcostal kanan yang biasanya digunakan untuk pembedahan empedu dan
saluran empedu.
Insisi dilakukan mulai dari garis tengah, 2,5-5 cm di bawah Proc. Xiphoideus dan
diperluas menyusuri batas costa kira-kira 2,5 cm dibawahnya, dengan memotong
muskulus rektus dan otot dinding abdomen lateral.
5) Irisan McBurney Gridiron – Irisan oblique
Dilakukan untuk kasus Apendisitis Akut Dan diperkenalkan oleh Charles
McBurney pada tahun 1894, otot-otot dipisahkan secara tumpul.
6) Irisan Rocky Davis
Insisi dilakukan pada titik McBurney secara transverse skin crease, irisan ini lebih
kosmetik.
7) Pfannenstiel Insision
Insisi yang popular dalam bidang gynecologi dan juga dapat memberikan akses
pada ruang retropubic pada laki-laki untuk melakukan extraperitoneal retropubic
prostatectomy.
Insisi dilakukan kira-kira 5 cm diatas symphisis Pubis skin crease sepanjang ± 12
cm. Fascia diiris transversal, muskulus rektus dipisahkan ke lateral dan
peritoneum dibuka secara vertikal.
8) Insisi Thoracoabdominal
Insisi Thoracoabdominal, baik kanan maupun kiri, akan membuat cavum pleura
dan cavum abdomen menjadi satu. Dimana insisi ini akan membuat akses operasi
yang sangat baik. Insisi thorakoabdominal kanan biasanya dilakukan untuk
melakukan emergensi ataupun elektif reseksi hepar Insisi thorakoabdominal kiri
efektif jika dilakukan untuk melakukan reseksi dari bagian bawah esophagus dan
bagian proximal dari lambung.
Penderita berada dalam posisi “cork-screw”. Abdomen diposisikan kira-kira 45°
dari garis horizontal, sedangkan thorax berada dalam posisi yang sepenuhnya
lateral. Insisi pada bagian abdomen dapat merupakan midline insision ataupun
upper paramedian insision. Insisi ini dilanjutkan dengan insisi oke spasi
interkostal VIII sampai ujung scapula.
a. Setelah abdomen dibuka, insisi pada dada diperdalam dengan menembus
m.latissimus dorsi, serratus anterior, dan obliquus externus dan
aponeurosisnya. Insisi pada abdomen tadi dilanjutkan hingga mencapai
batas costa
b. M.Intercostal 8 dipisahkan untuk mencapai cavum pleura.Finochietto
chest retractor dimasukkan pada intercostal 8 dan pelan-pelan di buka.
Dan biasanya kita tidak perlu untuk memotong costa.
c. Diphragma dipotong melingkar 2 – 3 cm dari tepi dinding lateral toraks
sampai hiatus esofagus untuk menghindari perlukaan n.phrenicus. Pada
akhir operasi dipasang drain toraks lewat irisan lain.
d. Penutupan dari insisi ini adalah dimulai dengan menjahit diaphragma
secara matras 2 lapis dengan benang non absorbabel, otot dada dan
dinding abdomen dijahit lapis demi lapis.
2. Indikasi
Dalam bidang kebidanan dan kandungan cukup banyak kasus yang dapat
ditangani, antara lain mioma (tumor jinak rahim), kista indung telur, hamil di
luar kandungan, endometriosis (nyeri haid), infertilitas (sulit hamil), KB steril,
perlengketan dalam perut, dan polikistik ovarium.Selain itu kasus –kasus yang
dapatditangani dengan laparotomi yakni: trauma abdomen (tumpul atau
tajam), peritonitis, perdarahan saluran pencernaan, sumbatan pada usus halus
dan usus besar, masa pada abdomen. Semua kelainan intraabdomen yang
memerlukan operasi baik darurat maupun elektif, seperti Hernia
diafragmatika, aneurisma aorta torakolis dan aorta abdominalis, kelainan
oesofagus, kelainan liver.
3. Komplikasi
a. Stitch abscess
Biasanya muncul pada hari ke 10 postopersi atau bisa juga sebelumnya,
sebelum jahitan insisi tersebut diangkat.. Abses ini dapat superficial ataupun
lebih dalam. Jika dalam ia dapat berupa massa yang teraba dibawah luka, dan
terasa nyeri jika di raba. Abses ini biasanya akan diabsopsi dan hilang dengan
sendirinya, walaupun untuk yang superficial dapat kita lakukan insisi pada
abses tersebut. Antibiotik jarang diperlukan untuk kasus ini.
b. Infeksi luka operasi
Biasanya jahitan akan terkubur didalam kulit sebagai hasil dari edema dan
proses inflamasi sekitarnya. Penyebabnya dapat berupa Staphylococcus
Aureus, E. Colli, Streptococcus Faecalis, Bacteroides, dsb. Penderitanya
biasanya akan mengalami demam, sakit kepala, anorexia dan malaise.
Keadaan ini dapat diatasi dengan membuka beberapa jahitan untuk
mengurangi tegangan dan penggunaan antibiotika yang sesuai. Dan jika
keadaannya sudah parah dan berupa suppurasi yang extensiv hingga kedalam
lapisan abdomen, maka tindakan drainase dapat dilakukan.
c. Gas Gangrene
Biasanya berupa rasa nyeri yang sangat pada luka operasi, biasanya 12-72 jam
setelah operasi, peningkatan temperature (39° -41° C), Takhikardia (120-
140/m), shock yang berat. Keadaan ini ddapat diatasi dengan melakukan
debridement luka di ruang operasi, dan pemberian antibiotika, sebagai pilihan
utamanya adalah, penicillin 1 juta unit IM dilanjutkan dengan 500.000 unit
tiap 8 jam.
d. Hematoma
Kejadian ini kira-kira 2% dari komplikasi operasi. Keadaan ini biasanya
hilang dengan sendirinya, ataupun jika hematom itu cukup besar maka dapat
dilakukan aspirasi.
e. Keloid Scars
Penyebab dari keadaan ini hingga kini tidak diketahui, hanya memang
sebagian orang mempunyai kecenderungan untuk mengalami hal ini lebih dari
orang lain. Jika keloid scar yang terjadi tidak terlalu besar maka injeksi
triamcinolone kedalam keloid dapat berguna, hal ini dapat diulangi 6 minggu
kemudian jika belum menunjukkan hasil yang diharapkan. Jika keloid scar
nya tumbuh besar, maka operasi excisi yang dilanjutkan dengan skin-graft
dapat dilakukan.
f. Abdominal wound Disruption and Evisceration
Disrupsi ini dapat partial ataupun total. Insidensinya sendiri bervariasi antara
0-3 %. Dan biasanya lebih umum terjadi pada pasien >60 tahun dibanding
yang lebih muda. Laki-laki dibanding wanita 4 : 1.
4. Tindakan Pre Operatif
Penatalaksanaan Perawatan
a. Pengkajian meliputi obyektif dan subyektif.
1) Data subyektif meliputi;
Nyeri yang sangat pada daerah perut.
2) Data obyektif meliputi :
Napas dangkal
Tensi turun
Nadi lebih cepat
Abdomen tegang
Defense muskuler positif
Berkeringat
Bunyi usus hilang
Pekak hati hilang
b. Diagnosa Keperawatan
Gangguan rasa nyaman, abdomen tegang sehubungan dengan adanya rasa
nyeri di abdomen.
Potensial terjadinya infeksi sehubungan dengan adanya sayatan / luka
operasi laparatomi.
Potensial kekurangan caiaran sehubungan dengan adanya demam,
pemasukkan sedikit dan pengeluaran cairan yang banyak.
c. Hasil yang diharapkan
1) Pasien akan tetap merasa nyaman.
2) Pasien akan tetap mempertahankan kesterilan luka operasinya.
3) Pasien akan mempertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit.
d. Tindakan keperawatan (intevensi keperawatan) pre operatif :
1) Pertahankan pasien untuk bedrest sampai diagnosa benar-benar sudah
ditegakkan.
2) Tidak memberikan apapun melaui mulut dan beritahukan pasien untuk tidak
makan dan minum.
3) Monitoring cairan intra vena bila diberikan.
4) Mencatat intake dan output.
5) Posisi pasien seenak mungkin.
6) Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian obat-obatan.
7) Ajarkan pasien hal-hal yang perlu dilakukan setelah operasi selesai.
8) Monitoring tanda-tanda vital.
e. Diagnosis
1) Foto polos abdomen
2) CT scan abdomen
3) USG abdomen
Adapun prosedur daripada laparotomi adalah seperti layaknya operasi
konvensional, laparoskopi tetap memerlukan pembiusan dan dilakukan di kamar
operasi. Setelah pembiusan, dinding perut disayat pada daerah pusat/umbilikus
sekitar 1 cm. Kemudian dimasukkan kamera kecil untuk melihat organ-organ didalam
rongga perut. Setelah itu dibuat sayatan kedua dan ketiga pada dinding perut bagian
bawah, sedikit diatas tulang pinggul, diameter 0,5 cm, untuk memasukkan alat-alat
berupa ’stik’ sebagai pengganti tangan dokter.
Langkah-langkah pada laparotomi darurat adalah :
a. Segera mengadakan eksplorasi untuk menemukan sumber perdarahan.
b. Usaha menghentikan perdarahan secepat mungkin. Bila perdarahan
berasal dari organ padat penghentian perdarahan dicapai dengan tampon
abdomen untuk sementara. Perdarahan dari arteri besar hams dihentikan
dengan penggunaan klem vaskuler. Perdarahan dari vena besar dihentikan
dengan penekanan langsung.
c. Setelah perdarahan berhenti dengan tindakan darurat diberikan
kesempatan pads anestesi untuk memperbaiki volume darah.
d. Bila terdapat perforasi atau laserasi usus diadakan penutupan lubang
perforasi atau reseksi usus dengan anastomosis.
e. Diadakan pembersihan rongga peritoneum dengan irigasi larutan NaCl
fisiologik.
f. Sebelum rongga peritoneum ditutup harus diadakan eksplorasi sistematis
dari seluruh organ dalam abdomen mulai dari kanan atas sampai kiri
bawah dengan memperhatikan daerah retroperitoneal duodenum dan bursa
omentalis.
g. Bila sudah ada kontaminasi rongga peritoneum digunakan drain dan
subkutis serta kutis dibiarkan terbuka.
Lama perawatan pasca laparoskopi:
Karena tindakan operasi yang minimal invasif, maka perawatan setelah
operasi hanya satu hari saja (dengan catatan jika tidak terjadi komplikasi selama
operasi).Dan setelah itu pasien dapat kembali beraktivitas normal.
5. Post Laparotomi
Perawatan post laparatomi adalah bentuk pelayanan perawatan yang diberikan
kepada pasien-pasien yang telah menjalani operasi pembedahan perut.
Tujuan perawatan post laparatomi
a. Mengurangi komplikasi akibat pembedahan.
b. Mempercepat penyembuhan.
c. Mengembalikan fungsi pasien semaksimal mungkin seperti sebelum
operasi.
d. Mempertahankan konsep diri pasien.
e. Mempersiapkan pasien pulang.
Latihan-latihan fisik yang dilakukan post laparotomi adalah latihan napas
dalam, latihan batuk, menggerakan otot-otot kaki, menggerakkan otot-otot bokong,
Latihan alih baring dan turun dari tempat tidur. Semuanya dilakukan hari ke 2 post
operasi.
Tindakan keperawatan post operasi:
a. Monitor kesadaran, tanda-tanda vital, CVP, intake dan output
b. Observasi dan catat sifat darai drain (warna, jumlah) drainage.
c. Dalam mengatur dan menggerakan posisi pasien harus hati-hati, jangan
sampai drain tercabut.
d. Perawatan luka operasi secara steril.
Evaluasi post operasi :
a. Evaluasi tanda-tanda peritonitis menghilang yang meliputi :
1) Suhu tubuh normal
2) Nada normal
3) Perut tidak kembung
4) Peristaltik usus normal
5) Flatus positif
6) Bowel movement positif
b. Pasien terbebas dari rasa sakit dan dapat melakukan aktifitas.
c. Pasien terbebas dari adanya komplikasi post operasi.
d. Pasien dapat mempertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit dan
mengembalikan pola makan dan minum seperti biasa.
e. Luka operasi baik.
Komplikasi post laparatomi;
a. Gangguan perfusi jaringan sehubungan dengan tromboplebitis.
Tromboplebitis postoperasi biasanya timbul 7 - 14 hari setelah operasi. Bahaya
besar tromboplebitis timbul bila darah tersebut lepas dari dinding pembuluh darah
vena dan ikut aliran darah sebagai emboli ke paru-paru, hati, dan otak.
Pencegahan tromboplebitis yaitu latihan kaki post operasi, ambulatif dini dan
kaos kaki TED yang dipakai klien sebelum mencoba ambulatif.
b. Buruknya intergriats kulit sehubungan dengan luka infeksi.
Infeksi luka sering muncul pada 36 - 46 jam setelah operasi. Organisme yang
paling sering menimbulkan infeksi adalah stapilokokus aurens, organisme; gram
positif. Stapilokokus mengakibatkan pernanahan. Untuk menghindari infeksi luka
yang paling penting adalah perawatan luka dengan memperhatikan aseptik dan
antiseptic.
c. Buruknya integritas kulit sehubungan dengan dehisensi luka atau eviserasi.
Dehisensi luka merupakan terbukanya tepi-tepi luka. Eviserasi luka adalah
keluarnya organ-organ dalam melalui insisi. Faktor penyebab dehisensi atau
eviserasi adalah infeksi luka, kesalahan menutup waktu pembedahan, ketegangan
yang berat pada dinding abdomen sebagai akibat dari batuk dan muntah.
Proses penyembuhan luka
a. Fase pertama
Berlangsung sampai hari ke 3. Batang lekosit banyak yang rusak / rapuh. Sel-sel
darah baru berkembang menjadi penyembuh dimana serabut-serabut bening
digunakan sebagai kerangka.
b. Fase kedua
Dari hari ke 3 sampai hari ke 14. Pengisian oleh kolagen, seluruh pinggiran sel epitel
timbul sempurna dalam 1 minggu. Jaringan baru tumbuh dengan kuat dan kemerahan
c. Fase ketiga
Sekitar 2 sampai 10 minggu. Kolagen terus-menerus ditimbun, timbul jaringan-
jaringan baru dan otot dapat digunakan kembali.
d. Fase keempat
Fase terakhir. Penyembuhan akan menyusut dan mengkerut.
Intervensi untuk meningkatkan penyembuhan
a. Meningkatkan intake makanan tinggi protein dan vitamin c.
b. Menghindari obat-obat anti radang seperti steroid.
c. Pencegahan infeksi.
Pengembalian Fungsi fisik.
Pengembalian fungsi fisik dilakukan segera setelah operasi dengan latihan napas dan
batuk efektif, latihan mobilisasi dini. Mempertahankan konsep diri.
Gangguan konsep diri : Body image bisa terjadi pada pasien post laparatomy karena
adanya perubahan sehubungan dengan pembedahan. Intervensi perawatan terutama
ditujukan pada pemberian support psikologis, ajak klien dan kerabat dekatnya
berdiskusi tentang perubahan-perubahan yang terjadi dan bagaimana perasaan pasien
setelah operasi
Pengkajian
Perlengkapan yang dilakukan pada pasien post laparatomy adalah:
a. Respiratory
b. Bagaimana saluran pernapasan, jenis pernapasan, bunyi pernapasan.
c. Sirkulasi
d. Tensi, nadi, respirasi, dan suhu, warna kulit, dan refill kapiler.
e. Persarafan : Tingkat kesadaran
f. Balutan
- Apakah ada tube, drainage
- Apakah ada tanda-tanda infeksi
- Bagaimana keadaan penyembuhan luka pasien yang menjalani
laparotomi
g. Peralatan
- Monitor yang terpasang.
- Cairan infus atau transfusi.
h. Rasa nyaman
Rasa sakit, mual, muntah, posisi pasien, dan fasilitas ventilasi
i. Psikologis : Kecemasan, suasana hati setelah operasi.
2. 9. KETRAMPILAN TINDAKAN HUKNAH, SEMPROT GLISERIN DAN
PEMBERIAN OBAT SUPOSITORIAL
2.9.1 HUKNAH RENDAH
A. Pengertian
Memasukkan cairan hangat melalui anus sampai ke kolon desenden
dengan menggunakan kanul rekti.
B. Tujuan
1. Merangsang peristaltik usus, sehingga pasien dapat buang air besar
2. Mengosongkan usus sebagai persiapan tindakan operasi
3. Sebagai tindakan pengobatan
C. Indikasi
1. Pasien yang obstipasi
2. pasien yang akan di operasi
3. Persiapan tindakan diagnostika misalnya ( Pemeriksaan radiologi )
4. Pasien dengan melena
D. Persiapan
1. Persiapan pasien
a. Mengucapkan salam terapeutik
b. Memperkenalkan diri
c. Menjelaskan pada klien dan keluarga tentang prosedur dan tujuan
tindakan yang akan dilaksanakan.
d. Penjelasan yang disampaikan dimengerti klien/keluarganya
e. Selama komunikasi digunakan bahasa yang jelas, sistematis serta
tidak mengancam.
f. Klien/keluarga diberi kesempatan bertanya untuk klarifikasi
g. Privacy klien selama komunikasi dihargai.
h. Memperlihatkan kesabaran , penuh empati, sopan, dan perhatian
serta respek selama berkomunikasi dan melakukan tindakan
i. Membuat kontrak (waktu, tempat dan tindakan yang akan dilakukan)
j. Pasien disiapkan dalam posisi tidur miring ke kiri (posisi sim)
2. Persiapan alat
a. Sarung tangan bersih
b. Selimut mandi atau kain penutup
c. Perlak dan pengalas bokong
d. Irigator lengkap dengan canule recti, selang dan klemnya
e. Cairan hangat sesuai kebutuhan (misalnya cairan Nacl, air sabun, air
biasa)
f. Bengkok
g. Pelicin (vaselin, sylokain, Jelly 2% /pelumas larut dalam air
h. Tiang penggantung irigator
i. Jika perlu sediakan pispot,air pembersih dan kapas cebok/tissue toilet
E. Prosedur
1. Pintu ditutup/pasang sampiran
2. Mencuci tangan
3. Perawat berdiri di sebelah kanan klien dan pasang sarung tangan
4. Pasang perlak dan pengalas
5. Pasang selimut mandi sambil pakaian bagian bawah klien ditanggalkan
6. Atur posisi klien sim kiri
7. Sambung selang karet dan klem (tertutup) dengan irigator
8. Isi irigator dengan cairan yang sudah disediakan
9. Gantung irigator dengan ketinggian 40-50 cm dari bokong klien
10. Keluarkan udara dari selang dengan mengalirkan cairan ke dalam
bengkok
11. Pasang kanule rekti dan olesi dengan jelly
12. Masukkan kanule ke anus, klem dibuka, masukkan cairan secara
perlahan
13. Jika cairan habis, klem selang dan cabut kanul dan masukkan kedalam
bengkok
14. Atur kembali posisi klien dan minta klien menahan sebentar
15. Bantu klien ke WC jika mampu, jika tidak tetap dalam posisi miring lalu
pasang pispot dibokong klien.
16. Klien dirapihkan
17. Alat dirapikan kembali
18. Mencuci tangan
19. Melaksanakan dokumentasi :
a. Catat tindakan yang dilakukan dan hasil serta respon klien pada
lembar catatan klien
b. Catat tgl dan jam melakukan tindakan dan nama perawat yang
melakukan dan tanda tangan/paraf pada lembar catatan klien
HUKNAH TINGGI
A. Pengertian
Memasukkan cairan melalui anus sampai ke kolon asenden dengan menggunakan
kanul rekti
B. Tujuan
1. Membantu mengeluarkan fesces akibat konstipasi
2. Tindakan pengobatan/pemeriksaan diagnostik
C. Persiapan
1. Persiapan pasien
a. Mengucapkan salam terapeutik
b. Memperkenalkan diri
c. Menjelaskan pada klien dan keluarga tentang prosedur dan tujuan
tindakan yang akan dilaksanakan.
d. Penjelasan yang disampaikan dimengerti klien/keluarganya
e. Selama komunikasi digunakan bahasa yang jelas, sistematis serta tidak
mengancam.
f. Klien/keluarga diberi kesempatan bertanya untuk klarifikasi
g. Privacy klien selama komunikasi dihargai.
h. Memperlihatkan kesabaran , penuh empati, sopan, dan perhatian serta
respek selama berkomunikasi dan melakukan tindakan
i. Membuat kontrak (waktu, tempat dan tindakan yang akan dilakukan)
j. Pasien disiapkan dalam posisi tidur miring ke kiri (posisi sim)
2. Persiapan alat
a. Sarung tangan bersih
b. Selimut mandi atau kain penutup
c. Perlak dan pengalas bokong
d. Irigator lengkap dengan canule recti, selang dan klemnya
e. Cairan hangat sesuai kebutuhan (misalnya cairan Nacl, air sabun, air
biasa)
f. Bengkok
g. Pelicin (vaselin, sylokain, Jelly 2% /pelumas larut dalam air
h. Tiang penggantung irigator
i. Jika perlu sediakan pispot,air pembersih dan kapas cebok/tissue toilet
D. Prosedur
1. Pintu ditutup/pasang sampiran
2. Mencuci tangan
3. Perawat berdiri disebelah kanan klien dan pasang sarung tangan
4. Pasang perlak dan pengalas
5. Pasang selimut mandi sambil pakaian bagian bawah klien ditanggalkan
6. Atur posisi klien sim kiri
7. Sambung selang karet dan klem (tertutup) dengan irigator
8. Isi irigator dengan cairan yang sudah disediakan
9. Gantung irigator dengan ketinggian 40-50 cm dari bokong klien
10. Keluarkan udara dari selang dengan mengalirkan cairan ke dalam bengkok
11. Pasang kanule rekti dan olesi dengan jelly
12. Masukkan kanule ke anus, klem dibuka, masukkan cairan secara perlahan
13. Jika cairan habis, klem selang dan cabut kanul dan masukkan kedalam
bengkok
14. Atur kembali posisi klien dan minta klien menahan sebentar
15. Bantu klien ke WC jika mampu, jika tidak tetap dalam posisi miring lalu
pasang pispot dibokong klien.
16. Klien dirapihkan
17. alat dirapihkan kembali
18. Mencuci tangan
19. Melaksanakan dokumentasi :
a. Catat tindakan yang dilakukan dan hasil serta respon klien pada lembar
catatan klien
b. Catat tanggal dan jam melakukan tindakan dan nama perawat yang
melakukan dan tanda tangan/paraf pada lembar catatan klien
2.9.2 Melakukan semprot gliserin
Pengertian:
Memasukkan cairan melalui anus ke dalam kolon sigmoid dengan menggunakan spuit gliserin
Tujuan
1. Memberikan pengobatan2. Merangsang buang air besar3. Melunakkan feses
Prosedur
A. Fase prainteraksi1. Verifikasi data2. Persiapan alat:
a. Pengalasb. Bengkokc. Gliserin pada tempatnya(10-20cc) yang sudah direndam dengan air
hangatd. Spuit gliserine. Potf. Vaseling. Tissue/kain lembuth. Sarung tngan bersih
B. Fase Orientasi1. Memberi salam atau menyapa klien2. Memperkenalkan diri3. Menjelaskan tujuan dan tindakan4. Menjelaskan langkah prosedur5. Menanyakan kesiapan pasien
C. Fase Kerja1. Menutup pintu, jendela kalau perlu memasang skrem2. Petugas mencuci tangan3. Memakai sarung tangan4. Melepas pakaian bagian bawah pasien5. Mengatur posisi pasien sims kiri6. Meletakkan pengalas pada bokong7. Mengolesi ujung spuit gliserin dengan vaselin/pelumas sejenis8. Memasukkan ujung spuit gliserin ke anus searah dengan umbilical secara
hati-hati bersamaan itu pasien dianjurkan nafas dalam9. Menyemprotkan gliserin secara perlahan-lahan10. Jika gliserrin sudah masuk semua, melepas spuit gliserin dari anus dan
meletakkan dalam bengkok11. Meminta pasien menahan sekitar 5-10 menit atau jika sudah terasa ingin
BAB12. Memberi pot atau antar pasien ke toilet13. Membantu pasien untuk membersihkan area anus dengan menggunakan
tissueD. Fase Terminasi
1. Merapikan pasien 2. Melakukan evaluasi3. Menyampaikan rencana tindak lanjut4. Berpamitan5. Membereskan alat6. Mencuci tangan
2.9.3 Memberikan obat suppositoria
Pengertian :
Memberikan obat-obat tertentu melalui rectum pasien dalam bentuk supositoria
Tujuan :
1. Untuk memperoleh efek pengobatan secara lokal maupun sistemik2. Untuk melunakan feces sehingga mudah untuk di keluarkan
Prosedur :
A. Fase Prainteraksi1. Verifikasi data2. Persiapan alat :
a. Bak injeksi berisi obatb. Bengkokc. Daftar obatd. Sarung tangane. Vasselin/jellyf. Tissue dan pot bila perlug. Pengalas
B. Fase Orientasi1. Memberi salam atau menyapa klien2. Memperkenalkan diri3. Menjelaskan tujuan dan tindakan4. Menjelaskan langkah prosedur5. Menanyakan kesiapan pasien
C. Fase Kerja1. Menjaga privasi pasien, tutup jendela bila perlu2. Mencuci tangan3. Menawarkan pasien buang air besar atau buang air kecil4. Memakai sarung tangan5. Membuka bungkus supositoria dan mengolesi vaselin kalau perlu6. Membuka pakaian pasien dan menutupinya dengan selimut7. Memasang alas bokong8. Memiringkan pasien ke kiri, kaki kanan ditekuk atau posisi sims9. Meletakan piala ginjal di bawah anus10. Memasukkan obat kedalam rectum kurang lebih 10 cm pada dewasa,
kurang lebih 5 cm pada anak/sejauh mungkin kedalam rectum sampai melewati spinkter, sambil pasien dianjurkan menarik nafas dalam
11. Menarik jari telunjuk keluar danmenjepit kedua belahan bokong pasien untuk sementara agar suppositoria tidak keluar, menganjurkan pasien untuk istirahat baring selama kurang lebih 5 menit dan tidak mengejan supaya obat tidak keluar
12. Melepas sarung tangan dan meletakkan pada bengkok
E. Fase Terminasi1. Merapikan pasien 2. Melakukan evaluasi3. Menyampaikan rencana tindak lanjut4. Berpamitan5. Membereskan alat6. Mencuci tangan
BAB III
KESIMPULAN
3. 1. KESIMPULAN
Apendisitis adalah peradangan pada apendiks. Apendiks disebut juga umbai
cacing. Kita sering salah kaprah dengan mengartikan apendisitis dengan istilah usus
buntu, karena usus buntu sebenarnya adalah sekum. Organ apendiks pada awalnya
dianggap sebagai organ tambahan yang tidak mempunyai fungsi tetapi saat ini
diketahui bahwa fungsi apendiks adalah sebagai organ imunologik dan secara aktif
berperan dalam sekresi immunoglobulin (suatu kekebalan tubuh). Organ ini cukup
sering menimbulkan masalah kesehatan dan peradangan akut apendiks yang
memerlukan tindakan bedah segera untuk mencegah komplikasi yang umumya
berbahaya.
Apendisitis paling sering ditemukan pada usia 20 sampai 40 tahun. Penyakit ini
jarang ditemukan pada usia yang sangat muda atau orang tua, dikarenakan bentuk
anatomis apendiks yang berbeda pada usia tersebut.
Penatalaksanaan standar untuk apendisitis adalah operasi. Pernah dicoba pengobatan
dengan antibiotik, walaupun sembuh namun tingkat kekambuhannya mencapai 35 %.
Pembedahan dapat dilakukan secara terbuka atau semi-tertutup (laparoskopi). Setelah
dilakukan pembedahan, harus diberikan antibiotika selama 7 – 10 hari.
Meskipun terdapat beberapa pemeriksaan tambahan seperti diatas yang dapat
membantu menegakkan diagnosis apendisitis, namun gejala klinis sangat memegang
peranan yang besar
3. 2. SARAN
Kita sebagai perawat diharapkan mampu menganalisa, menerapakan dan
mengimplikasikan tindakan keperawatan pada pasien dengan apendiksitis
DAFTAR PUSTAKA
http://www.infokedokteran.com/info-penyakit/diagnosis-dan-penatalaksanaan-
kolik-abdomen.html( 10 Juni 2013, jam 11.08 )
http://kamuskesehatan.com/?s=kolik+abdomen( 10 Juni 2013, jam 11.11 )
http://ppniklaten.com/index.php?
option=com_content&view=article&id=65:appendicitis&catid=38:ppni-ak-
category&Itemid=66( 10 Juni 2013, jam 11.11 )
http://dokteryudabedah.com/ileus-paralitik/( 10 Juni 2013, jam 11.15 )