makalah anj

42
KATA PENGANTAR Syukur Alhamdulillah penyusun panjatkan ke hadirat Allah S.W.T karena dengan rahmat-Nya jualah penyusun dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Angiofibroma Nasofaring Juvenile” (ANJ). Makalah ini ditulis sebagai salah satu tugas makalah sistem sensori dalam bidang Ilmu Penyakit Telinga-Hidung-Tenggorok STIKES Surabaya. Kritik dan saran terhadap makalah ini diharapkan dapat memberi masukan untuk perbaikan di kemudian hari. Semoga makalah ini dapat bermanfaat dalam menambah khasanah pengetahuan di bidang keperawatan terutama dalam bidang THT bagi para pembacanya. Surabaya, 01 April 2014 2

Upload: rofisekarachidautama

Post on 28-Dec-2015

83 views

Category:

Documents


4 download

DESCRIPTION

,,,

TRANSCRIPT

Page 1: Makalah Anj

KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah penyusun panjatkan ke hadirat Allah S.W.T karena

dengan rahmat-Nya jualah penyusun dapat menyelesaikan makalah yang berjudul

“Angiofibroma Nasofaring Juvenile” (ANJ).

Makalah ini ditulis sebagai salah satu tugas makalah sistem sensori dalam

bidang Ilmu Penyakit Telinga-Hidung-Tenggorok STIKES Surabaya.

Kritik dan saran terhadap makalah ini diharapkan dapat memberi masukan

untuk perbaikan di kemudian hari. Semoga makalah ini dapat bermanfaat dalam

menambah khasanah pengetahuan di bidang keperawatan terutama dalam bidang

THT bagi para pembacanya.

Surabaya, 01 April 2014

2

Page 2: Makalah Anj

DAFTAR ISI

Halaman Judul...............................................................................................................1

Kata pengantar............................................................................................................

2

Daftar Isi......................................................................................................................

3

BAB I PENDAHULUAN.........................................................................................

4

BAB II PEMBAHASAN...........................................................................................

6

II.I Anatomi .........................................................................................................

6

II.II Definisi...........................................................................................................

7

II.III Epidemiologi .................................................................................................

7

II.IV Etiologi...........................................................................................................

7

II.V Patogenesis.....................................................................................................

8

II.VI Patofisiologi...................................................................................................

II.VII Manifestasi Klinis...........................................................................................

9

II.VIII Komplikasi.....................................................................................................

10

II.IX Pemeriksaan Diagnostik.................................................................................

11

II.X Diagnosis........................................................................................................

12

3

Page 3: Makalah Anj

II.XI Prognosis........................................................................................................

15

II.XII Histopatologi..................................................................................................

15

II.XIII Penatalaksanaan Medis...................................................................................

16

II.XIV Kesimpulan Pembahasan...............................................................................

18

BAB III MANAJEMEN KEPERAWATAN..........................................................

20

III.I Pengkajian .....................................................................................................

20

III.II Diagnosa Keperawatan...................................................................................

21

III.III Intervensi.........................................................................................................

22

III.IV Implementasi...................................................................................................

24

III.V Evaluasi..........................................................................................................

25

BAB IV LAPORAN KASUS....................................................................................

26

Daftar Pustaka............................................................................................................

29

BAB I

PENDAHULUAN

Angiofibroma nasofaring adalah suatu tumor jinak pembuluh darah di

daerah nasofaring yang secara histologik jinak, namun secara klinis bersifat

4

Page 4: Makalah Anj

seperti tumor ganas karena mempunyai kemampuan mendekstruksi tulang dan

meluas ke jaringan sekitarnya. Tumor ini dapat meluas ke daerah sinus paranasal,

pipi, mata, dan tengkorak, serta sangat mudah menimbulkan perdarahan dan susah

untuk dihentikan. Tumor yang kaya pembuluh darah ini memperoleh aliran darah

dari arteri faringealis asenden atau arteri maksilaris interna. Angiofibroma kaya

dengan jaringan fibrosa yang timbul dari atap nasofaring atau bagian dalam dari

fossa pterigoid. Setelah mengisi nasofaring, tumor ini meluas ke dalam sinus

paranasal, rahang atas, pipi dan orbita serta dapat meluas ke intra kranial setelah

mengerosi dasar tengkorak.1,2

Angiofibroma nasofaring paling sering ditemukan pada anak lak-laki

prepubertas dan remaja, yang umumnya terdapat pada rentang usia 7 sampai 21

tahun dengan insidens terbanyak antara usia 14-18 tahun. Angiofibroma

nasofaring jarang terjadi pada usia diatas 25 tahun sehingga tumor ini disebut juga

Juvenile Nasopharyngeal Angiofibroma. Istilah juvenile tidak sepenuhnya tepat,

karena neoplasma ini kadang ditemukan juga pada pasien yang lebih tua. Juvenile

Nasopharyngeal Angiofibroma jarang ditemukan dan diperkirakan hanya 0,05%

dari seluruh tumor kepala dan leher. Insiden angiofirboma nasofaring diperkirakan

antara 1 : 5.000-60.000 pada pasien THT.1,2

Gejala klinik yang dapat ditemukan pada juvenile angiofibroma nasofaring

dapat berupa hidung tersumbat (80-90%), merupakan gejala yang paling sering,

diikuti epistaksis (45-60%) yang kebanyakan unilateral dan rekuren, nyeri kepala

(25%) khususnya bila sudah meluas ke sinus paranasal, pembengkakan wajah (10-

18%). Gejala lain seperti anosmia, rhinolalia, deafness, pembengkakan palatum

serta deformitas pipi juga dapat ditemukan pada penderita angiofibroma

nasofaring. Angiofibroma nasofaring sangat sulit untuk di palpasi, palpasi harus

sangat hati-hati karena sentuhan jari pada permukaan tumor dapat menimbulkan

perdarahan yang ekstensif. Diagnosis angiofibroma nasofaring ditegakkan

berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan radiologis. Trias

gejala dan tanda klinis dari tumor ini adalah epistaksis masif berulang, sumbatan

hidung dan massa di nasofaring sangat mendukung kecurigaan adanya

angiofibroma nasofaring. 2,3

5

Page 5: Makalah Anj

BAB II

PEMBAHASAN

II.I Anatomi

Ruang nasofaring yang relatif kecil mempunyai hubungan yang erat

dengan beberapa struktur yang secara klinis mempunyai arti penting. Nasofaring

berhubungan dengan rongga hidung di anterior melalui koana, dan orofaring di

bagian inferior melalui bagian terbawah dari palatum molle. Sedangkan

di bagian superior dan posterior, nasofaring berhubungan dengan korpus vertebra.

Tuba eustachius memasuki nasofaring di sebelah lateralnya, dan bagian superior

dan posterior muara tuba ini ditutupi oleh kartilago, yang disebut sebagai torus

tubarius. Fossa Rosenmuller (lateral dari resesus nasofaring) terletak di bagian

superior dan posterior torus tubarius dan merupakan predileksi dari karsinoma

nasofaring. Banyak terdapat foramen kranial yang membawa struktur syaraf dan

pembuluh darah penting yang terletak di dekat nasofaring. Nasofaring diliputi

oleh mukosa yang terdiri atas epitel squamous kompleks atau epitel kolumner

pseudokompleks.4

Gambar 1. Anatomi nasofaring

6

Page 6: Makalah Anj

II.II Definisi

Angiofibroma nasofaring adalah suatu tumor jinak nasofaring yang secara

histologik jinak, secara klinis bersifat ganas, karena mempunyai kemampuan

mendestruksi tulang dan meluas ke jaringan sekitarnya, seperti ke sinus paranasal,

pipi, mata dan tengkorak, serta sangat mudah berdarah yang sulit dihentikan.1,5

Sebutan lain untuk angiofibroma di dalam literatur antara lain: juvenile

angiofibroma, juvenile nasopharyngeal angiofibroma (JNA), nasal cavity tumor,

nasal tumor, benign nasal tumor, tumor hidung (nose tumor), nasopharyngeal

tumor, atau angiofibroma nasofaring belia.6

II.III Epidemiologi

Juvenile nasopharyngeal angiofibroma (JNA) banyak dialami terutama

remaja putra berusia 14-18 tahun. Jika remaja putri didiagnosis JNA, maka

sebaiknya menjalani pemeriksaan kromosom atau diagnosis JNA akan terus

dipertanyakan. Umumnya JNA terjadi pada dekade kedua kehidupan, tepatnya

pada rentang usia 7-19 tahun. JNA jarang terjadi setelah usia 25 tahun.

Insiden JNA adalah 1 dari 5000-60.000 kasus THT dan dilaporkan 0,5% dari

semua tumor kepala dan leher. Dilaporkan insiden JNA banyak terjadi di Mesir

dan India.

Insiden dari angiofibroma tinggi dibeberapa bagian dari belahan dunia,

seperti pada Timur Tengah dan Amerika. Martin, Ehrlich dan Abels (1948)

melaporkan rata-rata setiap tahunnya dari satu atau dua pasien untuk 2000 pasien

yang diobati pada Head and Neck Service of The Memorial Hospital, New York.

Di London, Harrison (1976) mencatat status dari satu per 15000 pasien pada

Royal National Throat, Nose and Ear Hospital dimana satu kesimpulan bahwa

lebih sedikit angiofibroma di London dibanding di New York.

II.IV Etiologi

Etiologi JNA masih belum jelas. Berbagai teori banyak diajukan, salah

satunya adalah teori jaringan asal, yaitu pendapat bahwa tempat perlekatan

spesifik angiofibroma adalah di dinding posterolateral atap rongga hidung. Faktor

ketidak seimbangan hormonal juga banyak dikemukakan sebagai penyebab dari

7

Page 7: Makalah Anj

tumor ini, bahwa JNA berasal dari sex steroid-stimulated hamartomatous tissue

yang terletak di turbinate cartilage. Pengaruh hormonal yang dikemukakan ini

dapat menjelaskan mengapa beberapa JNA jarang terjadi (ber-involute) setelah

masa remaja (puberty). 1,4,6,8

II.V Patogenesis

Permukaan tumor dilapisi oleh mukosa yang dibawahnya terdapat

anyaman pembuluh darah. Massa tumor terdiri dari jaringan ikat padat dan

gumpalan sel serta terisi pembuluh vena lebar yang menumpuk di bagian pinggir.

Tumor ini tidak bermetastasis tetapi dapat tumbuh mendesak, dapat menginvasi

orbita, sinus paranasal, fossa pterigoid dan temporal atau ke ruang intrakranial.

Tumor pertama kali tumbuh di bawah mukosa di tepi sebelah posterior dan lateral

koana di atap nasofaring. Tumor akan tumbuh besar dan meluas dibawah mukosa

sepanjang atap nasofaring, mencapai tepi posterior septum dan meluas ke arah

bawah membentuk tonjolan massa diatap rongga hidung posterior. Perluasan ke

arah anterior akan mengisi rongga hidung, mendorong septum ke sisi kontralateral

dan memipihkan konka. Pada perluasan kearah lateral, tumor melebar kearah

foramen sfenopalatina, masuk ke fisura pterigomaksila dan akan mendesak

dinding posterior sinus maksila. Bila meluas terus, akan masuk ke fossa

intratemporal yang akan menimbulkan benjolan di pipi, dan “rasa penuh” di

wajah. Apabila tumor mendorong salah satu atau kedua bola mata maka akan

tampak gejala yang khas pada wajah, yang akan disebut “muka kodok”.1,8

Perluasan ke intrakranial dapat terjadi melalui fossa infratemporal dan

pterigomaksila masuk ke fossa serebri media. Dari sinus ethmoid masuk ke fossa

serebri anterior atau dari sinus sfenoid ke sinus kavernosus dan fossa hipofise.1

Gambar 2. Angifibroma nasofaring yang sudah dioperasi

II.VI Patofisiologi

8

Page 8: Makalah Anj

Penyebab terjadinya angiofibroma nasofaring juvenilis (ANJ) masih

belum jelas, diduga terbentuknya berkaitan dengan ketidakseimbangan

hormonal. Pada awalnya tumor tumbuh pada mukosa bagian postero lateral

nasofaring; bila perluasan ke arah depan membentuk tonjolan ke rongga

hidung; perluasan ke arah lateral menuju ke fossa spenopalatina masuk

ke fisura pterigomaksilaris dan akan mendesak dinding belakang sinus

maksila, bila berkembang akan memasuki fossa intra temporalis sehingga

terjadi benjolan di pipi. Perluasan ke intrakranial biasa terjadi

melalui intra temporalis atau fissura pterigomaksila menuju ke fosa

media, sedangkan bila melalui sinus ethmoid menuju fosa anterior.

Secara makroskopis ANJ berupa tumor berbentuk oval / bulat, padat

kenyal, berwarna merah ke abu-abuan atau merah keunguan. Gambaran

mikroskopis terbentuk dari pembuluh darah dan jaringan ikat fibrous,

dimana pembuluh darah tersebut berdinding tipis tanpa lapisan otot.

II.VII Manifestasi klinis

Sign

1)      Tampak massa merah keabu-abuan yang terlihat jelas di faring nasal

posterior; nonencapsulated dan seringkali berlobus (lobulated); dapat tidak

bertangkai (sessile) atau bertangkai (pedunculated). Angka kejadian massa di

hidung (nasal mass) ini mencapai 80%.

2)       Mata menonjol (proptosis), langit-langit mulut yang membengkak (a

bulging palate), terdapat massa mukosa pipi intraoral (an intraoral buccal mucosa

mass), massa di pipi (cheek mass), atau pembengkakan zygoma (umumnya

disertai dengan perluasan setempat). Angka kejadian massa di rongga mata

(orbital mass) ini sekitar 15%, sedangkan angka kejadian untuk mata menonjol

(proptosis) sekitar 10-15%.

3)       Tanda lainnya termasuk: otitis serosa karena terhalangnya tuba eustachius,

pembengkakan zygomaticus, dan trismus (kejang otot rahang) yang merupakan

tanda bahwa tumor telah menyebar ke fossa infratemporal. Juga terdapat

9

Page 9: Makalah Anj

penurunan penglihatan yang dikarenakan optic nerve tenting, namun hal ini jarang

terjadi.

Symptom

1)      Obstruksi nasal (80-90%) dan ingus (rhinorrhea). Ini merupakan gejala yang

paling sering, terutama pada permulaan penyakit.

2)       Sering mimisen (epistaksis) atau keluar cairan dari hidung yang berwarna

darah (blood-tinged nasal discharge). Mimisen, yang berkisar 45-60% ini,

biasanya satu sisi (unilateral) dan berulang (recurrent).

3)      Sakit kepala (25%), khususnya jika sinus paranasal terhalang.

4)      Pembengkakan di wajah (facial swelling), kejadiannya sekitar 10-18%.

5)      Tuli konduktif (conductive hearing loss) dari obstruksi tuba eustachius.

6)       Melihat dobel (diplopia), yang terjadi sekunder terhadap erosi menuju ke

rongga kranial dan tekanan pada kiasma optik.

7)      Gejala lainnya yang bisa juga terjadi misalnya: keluar ingus satu sisi

(unilateral rhinorrhea), tidak dapat membau (anosmia), berkurangnya sensitivitas

terhadap bau (hyposmia), recurrent otitis media, nyeri mata (eye pain), tuli

(deafness), nyeri telinga (otalgia), pembengkakan langit-langit mulut (swelling of

the palate), kelainan bentuk pipi (deformity of the cheek), dan rhinolalia.

Gejala yang sering ditemukan seperti sumbatan hidung yang progresif dan

epistaksis berulang yang masif. Timbul rinorea kronik diikuti gangguan

penciuman, rinolalia, dan anosmia. Tuli atau otalgia akibat okulasi pada tuba

eustachius, dan dapat terjadi otitis media. Sefalgia hebat terjadi bila tumor sudah

meluas ke intrakranial. Dapat pula menyebabkan deformitas pada muka, disfagi,

proptosis dan gangguan visus. Gejala-gejala dini adalah kongesti dari sumbatan

hidung dengan disertai perdarahan. Perdarahan ini kadang-kadang merupakan

komplikasi berat. Suara menjadi datar atau “mati”, pernafasan dan proses menelan

terhalang jika proses berlanjut. Pada stadium lanjut timbul rasa nyeri dan sekret

muko purulen. Jika pertumbuhan tumor mencapai besar tertentu, maka wajah

seperti “muka kodok” jelas terlihat, tulang maksila merenggang dan tampak

eksopthalmus yang menonjol. Sering disertai “aprosexsia” dan rasa ngantuk.5,7

10

Page 10: Makalah Anj

Gejala lanjut meningkat lebih berat sesuai dengan makin besarnya tumor,

sampai penyerapan jaringan tulang meningkat, kecuali jika tumor meluas ke luar

rongga hidung atau faring, seperti misalnya ke rongga intrakranial. Pada keadaan

ini nekrosis akibat penekanan tulang tidak terlalu besar.7

II.VIIIKomplikasi

            Komplikasi tidak dapat dipisahkan dengan perluasan intrakranial (penyakit

stadium IV), perdarahan yang tak terkontrol dan kematian, iatrogenic injury

terhadap struktur vital, dan transfusi perioperative.

            Komplikasi lainnya meliputi: perdarahan yang banyak (excessive

bleeding). Transformasi keganasan (malignant transformation). Kebutaan

sementara (transient blindness) sebagai hasil embolisasi, namun ini jarang terjadi.

Osteoradionecrosis dan atau kebutaan karena kerusakan saraf mata dapat terjadi

dengan radioterapi. Mati rasa di pipi (anesthesia of the cheek) sering terjadi

dengan insisi Weber-Ferguson.

II.IX Pemeriksaan Diagnostik

1.   Penemuan Histologis

            Pada pemeriksaan histologis, ditemukan jaringan serabut yang telah

dewasa/matang (mature fibrous tissue) yang mengandung bermacam-macam

pembuluh darah yang berdinding tipis. Pembuluh-pembuluh darah ini dilapisi

dengan endothelium, namun mereka kekurangan elemen-elemen otot yang dapat

berkontraksi secara normal. Inilah yang dapat menjelaskan tentang kecenderungan

terjadi perdarahan.

2.      Laboratorium

            Anemia yang kronis merupakan keadaan yang sering ditemukan pada

keadaan ini.

11

Page 11: Makalah Anj

3.      Biopsi

Kebanyakan kasus dari angiofibroma nasofaring juvenile tidak dianjurkan untuk

biopsi sebelum reseksi defenitif. Walaupun didapatkan gambaran radiologis yang

klasik, bagaimanapun, tidak ada tanda absolut dari angiofibroma. Jika tumor

atipikal atau jika gambaran klinik tidak biasa, seharusnya dipertimbangkan untuk

biopsi sebelum tumor direseksi. Bila diperlukan, biopsi dari kasus yang dicurigai

angiofibroma dapat dilakukan di ruang operasi.

4.      Pemeriksaan Radiologis

a. Foto Sinar-X

            Pada foto sinar-X tumor nampak sebagai massa jaringan lunak dalam

nasofaring. Holman dan Miller menggambarkan karakteristik dari tumor ini pada

foto lateral, yang tergantung pada lokasi tipikal dalam alur pterygomaksillaris. Ini

dikenal sebagai “tanda antral” dan terdiri dari tulang Memperlihatkan perluasan

ke sinus sfenoid, erosi dari sayap sfenoid yang besar, atau invasif dari

pterygomaksillaris dan fossa infratemporal biasanya terlihat.

b. MRI (Magnetic Resonance Imaging)

Diindikasikan untuk menggambarkan dan menjelaskan batas dari tumor, terutama

pada kasus-kasus dari keterlibatan intrakranial.

c. Angiografi

Dengan angiografi terlihat gambaran vaskuler yang banyak (ramai). Pada

Angiografi ini terlihat lesi vaskuler yang terutama disuplai oleh cabang dari arteri

maxillaris interna. Angiografi terutama dilakukan pada kasus dengan kecurigaan

adanya penyebaran intrakranial atau pada pasien dimana pada penanganan

sebelumnya gagal.

II.X Diagnosis

Diagnosis ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang

seperti x-foto polos, CT scan, angiografi atau MRI. Gejala yang paling sering

12

Page 12: Makalah Anj

ditemukan (>80%) ialah hidung tersumbat yang progresif dan epistaksis yang

berulang dan masif, infeksi sekunder dapat terjadi pada ruangan di belakang

hidung akibat berkurangnya drainase di tempat tersebut.2 Gejala-gejala lain

muncul tergantung dari luasnya tumor dan arah pembesarannya.1,2

Gambar 2. Penampang koronal CT scan yang memperlihatkan adanya lesi

angiofibroma yang mengisi cavum nasal kiri dan sinus ethmoid, memenuhi sinus

maksilaris dan menyebabkan deviasi septum nasi ke kanan

Pada pemeriksaan fisik secara rinoskopi posterior akan terlihat massa

tumor yang konsistensinya kenyal, warnanya bervariasi dari abu-abu sampai

merah muda. Bagian tumor yang terlihat di nasofaring biasanya diliputi oleh

selaput lendir berwarna keunguan, sedangkan bagian yang meluas ke luar

nasofaring berwarna putih atau abu-abu. Pada usia muda warnanya merah muda,

pada usia yang lebih tua warnanya kebiruan, karena lebih banyak komponen

fibromanya. Mukosanya mengalami hipervaskularisasi dan tidak jarang

ditemukan adanya ulserasi.1

Karena tumor sangat mudah berdarah, sebagai pemeriksaan penunjang

diagnosis dilakukan pemeriksaan radiologik konvensional CT scan serta

pemeriksaan arteriografi. Pada pemeriksaan radiologik konvensional (foto kepala

potongan antero-posterior, lateral dan posisi waters) akan terlihat gambaran klasik

yang disebut sebagai tanda “Holman Miller” yaitu pendorongan prosesus

pterigoideus ke belakang, sehingga fisura pterigopalatina melebar. Akan terlihat

juga adanya massa jaringan lunak di daerah nasofaring yang dapat mengerosi

dinding orbita, arkus zigoma dan tulang disekitar nasofaring. Pada pemeriksaan

13

Page 13: Makalah Anj

CT scan dengan zat kontras akan tampak secara tepat perluasan massa tumor serta

destruksi tulang ke jaringan sekitarnya.1,4

Pada pemeriksaan arteriografi arteri karotis interna, akan memperlihatkan

vaskularisasi tumor yang biasanya berasal dari cabang a. maksila interna

homolateral. Kadang-kadang juga sekaligus dilakukan embolisasi agar terjadi

trombosis intravaskular, sehingga vaskularisasi berkurang dan akan

mempermudah pengangkatan tumor.1

Pemeriksaan patologi anatomik tidak dapat dilakukan, karena biopsi

merupakan kontraindikasi, sebab akan mengakibatkan perdarahan yang masif.2

Gambar 3. Gambaran angiogram yang memperlihatkan adanya angifibroma

sebelum embolisasi

Gambar 4. Gambaran angiogram yang memperlihatkan adanya angifibroma

setelah embolisasi

Untuk menentukan perluasan tumor, dibuat sistem staging. Ada 2 sistem

yang paling sering digunakan yaitu Sessions dan Fisch.1,3

14

Page 14: Makalah Anj

Klasifikasi menurut Sessions sebagai berikut :

- Stage IA :Tumor terbatas pada nares posterior dan/atau nasofaring

- Stage IB :Tumor melibatkan nares posterior dan/atau nasofaring

dengan perluasan ke satu sinus paranasal.

- Stage IIA : Perluasan lateral minimal ke dalam fossa pterygomaksila.

- Stage IIB : Mengisi seluruh fossa pterygomaksila dengan atau tanpa

erosi ke tulang orbita.

- Stage IIIA :Mengerosi dasar tengkorak; perluasan intrakranial yang

minimal.

- Stage IIIB : Perluasan ke intrakranial dengan atau tanpa perluasan ke

dalam sinus kavernosus.

Klasifikasi menurut Fisch :

- Stage I : Tumor terbatas pada kavum nasi, nasofaring tanpa

destruksi tulang.

- Stage II : Tumor menginvasi fossa pterygomaksila, sinus paranasal

dengan destruksi tulang.

- Stage III : Tumor menginvasi fossa infra temporal, orbita dan/atau

daerah parasellar sampai sinus kavernosus.

- Stage IV : Tumor menginvasi sinus kavernosus, chiasma optikum

dan/atau fossa pituitary.

II.XI Prognosis

Prognosis lebih baik jika cepat diketahui dan segera di ekstirpasi juga

lebih menguntungkan jika umur diatas 25 tahun. Dengan kata lain, fibroma kecil

yang tidak memenuhi rongga nasofaring lebih muda diangkat daripada yang telah

memenuhi rongga tersebut sesudah umur 25 tahun pertumbuhan cenderung

berkurang.6

Pada kasus-kasus di mana pertumbuhan tumor dapat diatasi dengan pambedahan

dapat dikatakan memiliki prognosis yang baik. Biasanya ini terjadi pada pasien

dengan usia yang lebih tua. Pada kasus yang lain, terutama pada pasien berusia

15

Page 15: Makalah Anj

lebih muda, tumor jenis ini dapat berkembang menjadi degenerasi yang ganas dan

memiliki prognosis yang buruk.1

II.XII Histopatologi

Pada pemeriksaan histopatologi angiofibroma nasofaring, ditemukan

jaringan fibrous yang matur yang terdiri dari berbagai ukuran pembuluh darah

dengan dinding yang tipis. Pembuluh darah tersebut dibatasi endotelium tetapi

pada dinding pembuluh darahnya sedikit mengandung elemen kontraktil otot yang

normal. Hal inilah yang menyebabkan angiofibroma nasofaring mudah berdarah.

Gambar 5. Gambaran histopatologi angiofibroma nasofaring

II.XIIIPenatalaksanaan Medis

1.      Terapi Medis

a. Hormonal

Penghambat reseptor testosteron flutamide dilaporkan mengurangi tumor stadium

I dan II sampai 44%. Walaupun mereduksi tumor dengan hormon, jalan ini tidak

digunakan secara rutin.

·         Flutamide hormonal, suatu nonsteroidal androgen blocker atau testosterone

receptor blocker, efektif untuk mengurangi ukuran tumor pada stadium I dan II

hingga 44%.

·         Terapi hormonal dengan diethylstilbestrol (5 mg PO tid untuk 6 minggu)

sebelum eksisi dapat mengurangi vascularity JNA namun terkait dengan efek

samping memiliki sifat kewanitaan (feminizing side effects).

16

Page 16: Makalah Anj

·         Doxorubicin dan dacarbazine disiapkan jika JNA berulang atau kambuh.

·         Schuon, et.al. melaporkan analisis immunohistochemical dari mekanisme

pertumbuhan JNA. Mereka berkesimpulan bahwa pertumbuhan dan vaskularisasi

JNA dikendalikan oleh faktor-faktor yang dibebaskan dari stromal fibroblasts.

Oleh karena itu, dihambatnya faktor-faktor ini dapat bermanfaat untuk terapi JNA

yang tidak dapat dioperasi (inoperable).

b. Radioterapi

        Beberapa pusat melaporkan rata-rata menyembuhkan 80% dengan terapi

radiasi. Bagaimanapun, menganggap hubungan efek potensial dari radiasi

membuat terapi radiasi modalitas yang tidak berguna dalam banyak kasus.

Radioterapi stereotaktik (seperti sinar Gamma) mengirim sedikit dosis dari radiasi

ke jaringan sekitarnya. Bagaimanapun, kebanyakan penulis menyiapkan

radioterapi untuk penyakit intrakranial atau kasus rekuren.

·      Beberapa center telah melaporkan rata-rata kesembuhan 80% dengan  terapi

radiasi.

·      Radioterapi stereotactic (yakni: pisau Gamma) mengirimkan dosis radiasi

yang lebih rendah ke jaringan di sekitarnya. Para ahli telah menyediakan

radioterapi untuk penyakit intrakranial atau kasus yang berulang.

·      Radioterapi three-dimensional conformal untuk JNA yang luas (extensive)

atau penyebaran hingga intrakranial memberikan suatu alternatif yang baik untuk

radioterapi konvensional berkaitan dengan pengendalian penyakit dan morbiditas

akibat radiasi (radiation morbidity).

·      External beam irradiation, paling sering digunakan untuk penyakit

intrakranial yang tidak dapat dibedah (unresectable), atau kambuhan (recurrent).

Digunakan dosis yang bervariasi dari 30-46 Gy. Sisa tumor seringkali muncul dua

tahun setelah terapi. Perhatian utama termasuk kulit sekunder, tulang, jaringan

lunak, keganasan tiroid, dan hambatan perkembangan tulang wajah.

c. Embolisasi

        Embolisasi pada pembuluh darah tumor mengakibatkan tumor menjadi

jaringan parut dan menghentikan perdarahan. Embolisasi dilakukan dengan

17

Page 17: Makalah Anj

memasukkan suatu zat dalam pembuluh darah untuk membendung aliran darah.

Dengan embolisasi saja cukup untuk menghentikan perdarahan hidung, atau dapat

diikuti dengan pembedahan untuk mengangkat tumor.

2. Terapi Pembedahan

a. Beberapa pendekatan yang digunakan tergantung dari lokasi dan

perluasan JNA.

b. Rute rinotomi lateral, transpalatal, transmaksila, atau sphenoethmoidal

digunakan untuk tumor-tumor yang kecil (Klasifikasi Fisch stadium I atau II).

c. Pendekatan fossa infratemporal digunakan ketika tumor telah meluas ke

lateral.

d. Pendekatan midfacial degloving, dengan atau tanpa osteotomi LeFort,

memperbaiki akses posterior terhadap tumor.

e. Pendekatan translokasi wajah dikombinasikan dengan insisi Weber-

Ferguson dan perluasan koronal untuk kraniotomi frontotemporal dengan midface

osteotomies untuk jalan masuk.

f. Pendekatan extended anterior subcranial memudahkan pemotongan

tumor sekaligus (en bloc), dekompresi saraf mata, dan pembukaan sinus

kavernosus.

g. Intranasal endoscopic surgery dipersiapkan untuk tumor yang terbatas pada

rongga hidung dan sinus paranasal.

18

Page 18: Makalah Anj

BAB III

MANAJEMEN KEPARAWATAN

III.I Pengkajian

Pengkajian keperawatan adalah proses sistematis dari pengumpulan, verifikasi,

dan komunikasi data tentang klien. (Potter, Patricia A. 2005. Hal 144)

1.      Faktor herediter atau riwayat kanker pada keluarga misal ibu atau nenek

dengan riwayat kanker payudara.

2.      Lingkungan yang berpengaruh seperti iritasi bahan kimia, asap sejenis kayu

tertentu.

3.      Kebiasaan memasak dengan bahan atau bumbu masak tertentu dan

kebiasaan makan makanan yang terlalu panas serta makanan yang diawetkan

(daging dan ikan).

4.      Golongan sosial ekonomi yang rendah juga akan menyangkut keadaan

lingkungan dan kebiasaan hidup. (Efiaty & Nurbaiti, 2001 hal 146)

Pada pengkajian Angiofibroma Nasofaring Juvenilis ditemukan tanda dan

gejalanya yaitu :

1.      Aktivitas 

Kelemahan atau keletihan. Perubahan pada pola istirahat; adanya faktor-faktor

yang mempengaruhi tidur seperti nyeri, ansietas.

2.      Sirkulasi 

Akibat metastase tumor terdapat palpitasi, nyeri dada, penurunan tekanan darah,

epistaksis/perdarahan hidaung.

3.      Integritas Ego

Faktor stres, masalah tentang perubahan penampilan, menyangkal diagnosis,

perasaan tidak berdaya, kehilangan kontrol, depresi, menarik diri, marah.

4.      Eliminasi 

Perubahan pola defekasi konstipasi atau diare, perubahan eliminasi urin,

perubahan bising usus, distensi abdomen.

19

Page 19: Makalah Anj

5.      Makanan/cairan 

Kebiasaan diit buruk ( rendah serat, aditif, bahanpengawet), anoreksia,

mual/muntah, mulut rasa kering, intoleransi makanan,perubahan berat badan,

kakeksia, perubahan kelembaban/turgor kulit.

6.      Neurosensori 

Sakit kepala, tinitus, tuli, diplopia, juling, eksoftalmus

7.      Nyeri/kenyamanan 

Rasa tidak nyaman di telinga sampai rasa nyeri telinga (otalgia), rasa kaku di

daerah leher karena fibrosis jaringan

8.      Pernapasan 

Merokok (tembakau, mariyuana, hidup dengan seseorang yang merokok)

9.      Keamanan 

Pemajanan pada kimia toksik, karsinogen, pemajanan matahari lama / berlebihan,

demam, ruam kulit.

10.  Interaksisosial 

Ketidakadekuatan/kelemahan sistem pendukung

III.II Diagnosa Keperawatan

Diagnosa keperawatan adalah pernyataan yang menguraikan respons

actual atau potensial klien terhadap masalah kesehatan yang perawat mempunyai

izin dan berkompeten untuk mengatasinya. (Potter, Patricia A. 2005. Hal 166)

Diagnosa Keperawatannya adalah :

1.      Nyeri berhubungan dengan kompresi/destruksi jaringan saraf

2.      Gangguan sensori persepsi berubungan dengan gangguan status organ

sekunder

3.      Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia, mual

muntah sekunder

4.      Resiko infeksi berhubungan dengan ketidakadekuatan pertahanan sekunder

imunosupresi

5.      Resiko terhadap perdarahan berhubungan dengan gangguan sistem

hematopoetik

20

Page 20: Makalah Anj

III.III Intervensi

·         Diagnosa I : Nyeri berhubungan dengan kompresi/destruksi jaringan saraf.

Tujuan : rasa nyeri teratasi atau terkontrol

Kriteria hasil : mendemonstrasikan penggunaan ketrampilan relaksasi nyeri.

Intervensi Keperawatan :

1.    Tentukan riwayat nyeri misalnya lokasi, frekuensi, durasi

2.    Berikan tindakan kenyamanan dasar (reposisi, gosok punggung) dan 

     aktivitas hiburan.

3.    Dorong penggunaan ketrampilan manajemen nyeri (teknik relaksasi,

visualisasi, bimbingan imajinasi) musik, sentuhan terapeutik.

4.    Evaluasi penghilangan nyeri atau kontrol

5.    Kolaborasi : berikan analgesik sesuai indikasi misalnya Morfin, metadon atau

campuran narkotik.

·         Diagnosa 2 : Gangguan sensori persepsi berubungan dengan gangguan

status organ sekunder.

Tujuan : mampu beradaptasi terhadap perubahan sensori pesepsi

 Kriteria hasil : mengenal gangguan dan berkompensasi terhadap perubahan

Intervensi Keperawatan :

1. Tentukan ketajaman penglihatan, apakah satu atau dua mata terlibat.

2. Orientasikan pasien terhadap lingkungan

3. Observasi tanda-tanda dan gejala disorientasi

4. Perhatikan tentang suram atau penglihatan kabur

5. Bicara dengan gerak mulut yang jelas

6. Bicara pada sisi telinga yang sehat

·         Diagnosa 3 : Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan

anoreksia, mual muntah  sekunder

21

Page 21: Makalah Anj

Tujuan : kebutuhan nutrisi pasien terpenuhi.

Kriteria hasil :

1.      Melaporkan penurunan mual dan insidens muntah

2.      Mengkonsumsi makanan dan cairan yang adekuat

3.      Menunjukkan turgor kulit normal dan membran mukosa yang lembab

4.      Melaporkan tidak adanya penurunan berat badan tambahan

  

 Intervensi Keperawatan :

1.      Sesuaikan diet sebelum dan sesudah pemberian obat sesuai dengan kesukaan

dan toleransi pasien

2.      Berikan dorongan higiene oral yang sering

3.      Berikan antiemetik, sedatif dan kortikosteroid yang diresepkan

4.      Pastikan hidrasi cairan yang adekuat sebelum, selama dan setelah pemberian

obat, kaji masukan dan haluaran.

5.      Pantau masukan makanan tiap hari

6.      Ukur TB, BB dan ketebalan kulit trisep (pengukuran antropometri)

7.      Dorong pasien untuk makan diet tinggi kalori, kaya nutrien dengan masukan

cairan adekuat.

8.      Kontrol faktor lingkungan (bau dan panadangan yang tidak sedap dan

kebisingan)

·         Diagnosa 4 : Resiko infeksi berhubungan dengan ketidakadekuatan

pertahanan sekunder  imunosupresi.

Tujuan : tidak terjadi infeksi

Kriteria hasil :

1.      Menunjukkan suhu normal dan tanda-tanda vital normal

2.      Tidak menunjukkan tanda-tanda inflamasi : edema setempat, eritema, nyeri.

3.      Menunjukkan bunyi nafas normal, melakukan nafas dalam untuk menegah

disfungsi dan infeksi respiratori

22

Page 22: Makalah Anj

Intervensi Keperawatan :

1.      Kaji pasienterhadap bukti adanya infeksi

2.      Periksa tanda vital, pantau jumlah SDP, tempat masuknya patogen, demam,

menggigil, perubahan respiratori atau status mental, frekuensi berkemih atau rasa

perih saat berkemih

3.      Tingkatkan prosedur cuci tangan yang baik pada staf dan pengunjung, batasi

pengunjung yang mengalami infeksi.

4.      Tekankan higiene personal

5.      Pantau suhu

6.      Kaji semua sistem (pernafasan, kulit, genitourinaria)

·         Diagnosa 5 : Resiko terhadap perdarahan berhubungan dengan gangguan

sistem hematopoetik

Tujuan : perdarahan dapat teratasi

 Kriteria hasil :

1.      Tanda dan gejala perdarahan teridentifikasi

2.      Tidak menunjukkan adanya epistaksis

 Intervensi Keperawatan

1.      Kaji terhadap potensial perdarahan : pantau jumlah trombosit

2.      Kaji terhadap perdarahan : epsitaksis

3.      Instruksikan cara-cara meminimalkan perdarahan : minimalkan penekanan/

gesekan pada hidung.

III.IV Implementasi

        Implementasi merupakan komponen dari proses keperawatan, adalah

kategori dari perilaku keperawatan dimana tindakan yang digunakan untuk

mencapai tujuan dan hasil yang diperkirakan dari asuhan keperawatan dilakukan

dan diselesaikan. (Potter, Patricia A. 2005. Hal 203)

23

Page 23: Makalah Anj

III.V Evaluasi

        Evaluasi menentukan respons klien terhadap tindakan keperawatan dan

seberapa jauh tujuan perawatan telah terpenuhi. (Potter, Patricia A. 2005. Hal

229)

Evaluasi juga merupakan tahap terakhir dari proses keperawatan, hasil yang

diharapkan merupakan standar penilaian bagi perawat untuk melihat apakah

tujuan telah terpenuhi, dengan pelayanan telah berhasil ((Potter, Patricia A. 2009.

Hal 460)

1)      Diagnosa 1

Rasa nyeri pasien teratasi atau terkontrol dengan kriteria hasil dapat

mendemonstrasikan penggunaan ketrampilan relaksasi nyeri.

2)      Diagnosa 2

Pasien mampu beradaptasi terhadap perubahan sensori pesepsi dengan kriteria

hasil  dapat mengenal gangguan dan berkompensasi terhadap perubahan.

3)      Diagnosa 3

Kebutuhan nutrisi pasien terpenuhi dengan kriteria hasil adanya penurunan mual

dan insidens muntah, pasien mengkonsumsi makanan dan cairan yang adekuat,

pasien menunjukkan turgor kulit normal dan membran mukosa yang lembab dan

tidak adanya penurunan berat badan tambahan.

4)      Diagnosa 4

Tidak terjadi infeksi pada pasien dengan kriteria hasil pasien menunjukkan suhu

normal dan tanda-tanda vital normal, tidak menunjukkan tanda-tanda inflamasi :

edema setempat, eritema, nyeri dan menunjukkan bunyi nafas normal, melakukan

nafas dalam untuk menegah disfungsi dan infeksi respiratori.

5)      Diagnosa 5

Perdarahan pada pasien dapat teratasi dengan kriteria hasil tanda dan gejala

perdarahan teridentifikasi dan tidak menunjukkan adanya epistaksis.

24

Page 24: Makalah Anj

BAB IV

LAPORAN KASUS

Seorang remaja laki-laki, berusia 15 tahun dengan nomor rekam medik

645335 datang ke sub-bagian tumor THT RSUP pada tanggal 10 Juni 2009

dengan keluhan keluar darah dari lobang hidung kanan sejak 1 minggu yang

lalu, kira-kira 3 sendok makan dengan frekwensi 2-3 kali sehari. Sejak 2

hari yang lalu perdarahan dari hidung kanan makin banyak, kira-kira setengah

gelas dengan frekwensi 2 kali sehari. Awalnya 1 minggu yang lalu pasien

mengeluh hidung tersumbat dan merasa ada ingus, kemudian pasien berusaha

membuang ingus dengan keras tetapi malah keluar darah. Riwayat ingus

kental, keluhan telinga berdengung dan penciuman berkurang tidak ada.

Keluhan penglihatan ganda, sakit kepala, mual, muntah tidak ada. Pasien

dirawat di RSUD Solok selama 4 hari dan dirujuk ke RSUP M.Djamil tanggal 9

Juni 2009 ke IGD M.Djamil dengan diagnosis epistaksis. Pada pemeriksaan

didapatkan perdarahan sudah berhenti dan dari rinoskopi posterior terlihat

masa warna putih kemerahan di atap nasofaring dengan hasil laboratorium

Hb 12,1g%, leukosit 6.900/mm, haematokrit 35%, trombosit 206.000/mm3,

PT 13,0, APTT 38,1. Pasien dipulangkan dengan diagnosis kerja suspect

angiofibroma nasofarimg dengan anjuran kontrol poliklinik THT besok

harinya (10 Juni 2009) dan diberikan terapi tranexamic acid 3x500mg, vit K

1x10mg, vit C 1x200mg. Di poliklinik THT dilakukan pemeriksaan, dan

didapatkan keadaan umum baik, kompos mentis, tanda vital dalam batas

normal. Pada pemeriksaan THT, telinga dalam batas normal. Pada

pemeriksaan hidung dengan pemeriksaan rinoskopi anterior, kavum nasi dextra

sempit, tampak massa dengan permukaan licin warna keputihan di bagian

posterior kavum nasi. Pada pemeriksaan tenggorok arkus faring simetris,

uvula di tengah, palatum durum simetris, palatum mole tidak terdorong ke

bawah, tidak tampak massa di orofaring, pada pemeriksaan rinoskopi posterior,

terlihat massa di nasofaring berwarna putih kecoklatan. Dilanjutkan dengan

nasoendoskopi dan terlihat massa berwarna putih pucat dengan

25

Page 25: Makalah Anj

hipervaskularisasi yang telah menutupi koana dextra, muara tuba tertutup.

Pasien direncanakan untuk dilakukan pemeriksaan CT-Scan (jadwal tanggal

18 Juni 2009). Pada tanggal 15 Juni 2009 pasien kembali masuk ke IGD

RSUP M.Djamil dengan keluhan keluar darah dari hidung kanan kira-kira

setengah gelas, dengan frekuensi 2 kali sehari sejak 2 hari yang lalu. Dari

pemeriksaan laboratorium didapatkan Hb 11,8g%, leukosit 11.700/mm,

trombosit 170.000/mm3. Dilakukan pemasangan tampon anterior pada kavum

nasi dextra. Kemudian diberi terapi Amoksisilin 3x500mg, tranexamic acid

3x500mg, vitamin K 2x10mg. Dua hari kemudian tampon diangkat dan

tidak terdapat perdarahan mengalir pada hidung dan tenggorok. Pada tanggal 18

Juni 2009 dilakukan CT-Scan nasofaring dengan hasil: Tampak massa

menonjol ke rongga nasofaring dari dinding atap nasofaring sisi kiri, batas

tegas, tepi regular, meluas ke rongga kavum nasi, ukuran ± 2x3,5 cm. Tak tampak

pembesaran KGB. Sinus paranasal bersih. Tampak penebalan mukosa kavum

nasi. Osteomeatal komplek terbuka. Kesan: angiofibroma nasofaring.

Ditegakkan diagnosis angiofibroma nasofaring

stadium I. Pasien direncanakan untuk dilakukan tindakan pembedahan dalam

anastesi umum dengan teknik hipotensi. Untuk itu dilakukan pemeriksaan

darah rutin, persetujuan operasi, cukur bulu hidung, persiapan darah whole

blood 2000 cc, adona drip 1 ampul dalam dextrose 5% dan konsul anastesi.

Dari hasil laboratorium didapatkan hasil Hb 12,2 g% dan hasil lainnya

dalam batas normal. Dari jawaban konsul dari anastesi adalah: Sedia darah

sesuai TS, post operasi persiapan ICU. Pada tanggal 29 Juni 2009 dilakukan

operasi ekstirpasi angiofibroma melalui pendekatan transpalatal dalam anastesi

umum anestesi umum dengan teknik hipotensi. Laporan operasi: o Pasien

telentang di meja operasi dalam narkosis. o Dilakukan septik dan aseptik

pada lapangan operasi. o Kavum nasi dievalusi dengan nasoendoskopi dan

terlihat massa tumor menutupi koana kanan dan belum memasuki kavum nasi o

Dilakukan insisi pada palatum mole dan palatum durum, terlihat massa tumor.

o Setelah itu dilakukan pengangkatan tumor pada daerah nasofaring dextra.

Massa tumor berhasil diangkat seluruhnya dan dikirim ke bagian Patologi

26

Page 26: Makalah Anj

Anatomi RSUP Dr.M Djamil. o Di pasang tampon belloq. o Dilanjutkan dengan

pemasangan tampon anterior pada kedua kavum nasi, perdarahan berhenti. o

Palatum mole dijahit lapis demi lapis. o Perdarahan ± 300 cc. o Operasi selesai.

Pada follow up hari pertama: tidak terdapat perdarahan dan luka operasi

baik. Pasien di terapi dengan ceftazidin 2x1gr (IV) dan diet makanan cair.

Hasil laboratorium post operasi adalah : Hb 11,4g%, leukosit 6900/mm3.

Rencana buka tampon 2 hari lagi. Pada tanggal 3 Juli 2009, dilakukan

pengangkatan tampon anterior tetapi terjadi perdarahan, sehingga diputuskan

untuk memasang kembali tampon anterior dan menunda pembukaan tampon

posterior. Penyembuhan luka tempat insisi palatum baik dan pemeriksaan

otoskopi dalam batas normal.

Pada tanggal 6 Juli 2009 dilakukan pengangkatan tampon anterior dan

belloq tampon di kamar operasi dengan anastesi umum. Tidak terjadi

perdarahan, nasofaring dievaluasi dan tidak terlihat sisa tumor. Tanggal 7

Juli 2009 pasien dipulangkan dengan anjuran kontrol poliklinik THT 1

minggu lagi untuk evaluasi. Hasil dari bagian Patologi Anatomi nomor PJ-

996-09 tanggal 7 Juli 2009 adalah: Makroskopis: Sepotong jaringan 3 x 0,5 x

1 cm penampang putih kecoklatan. Mikroskopis: Dalam sedian terdiri atas

jaringan ikat longgar yang mengandung banyak kapiler-kapiler sebagian

melebar di permukaan tampak jaringan ikat tipis. Kesimpulan: Sesuai untuk

angiofibroma. Tanggal 13 Juli 2009 pasien kontrol ke poliklinik THT.

Keluhan tidak ada, dilakukan evaluasi dengan nasoendoskopi dan tidak

terlihat perdarahan, fossa rosenmuller nasofaring tidak terlihat sisa rumor, muara

tuba terbuka dan defek pada palatum tidak ada. Pasien dianjurkan untuk kontrol

3-4 bulan lagi.

27

Page 27: Makalah Anj

DAFTAR PUSTAKA

1. Roezin A. Dharmabaktio S. Angiofibroma Nasofaring Belia. Dalam: Soepardi

AIN, editors: Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala

Leher. Edisi keenam. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.

2007:188-190.

2. Asroel HA, Angiofibroma Nasofaring Belia, http://library.usu.ac.id, diakses

tanggal 20 April 2007.

3. Mansfield E. Juvenile Nasopharyngeal Angiofibroma. June 26, 2006.

Available from : http:/www.emedicine.com/med/topic 2758.htm.

4. Adam G. Penyakit Nasofaring dan Orofaring. Dalam : EffendiH, Santoso

K, editors Boeis. Buku Ajar Penyakit THT, Jakarta: EGC,1991:322-346

5. Mansjoer A, Triyanti K,Savitri R, Wardhani IW, Setiowulan W.

Angiofibroma Nasofaring Belia. Dalam: Kapita Selekta Kedokteran, Jilid 1.

Jakarta.1999.111

6. Pradhana D. 2009. Juvenile Nasopharyngeal Angiofibroma. Referat

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit THT Fakultas Kedokteran Universitas

Trisakti. Jakarta.

7. Ballengger JJ.Penyakit Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala Dan leher, jilid

1. Edisi 13. Jakarta: Binarupa Aksara, 1994.

8. Anonymous, Juvenile Angifibroma Nasopharynx ,

http://www.brownmed.com,

9. Diakses tanggal 29 Maret 2014

28