makalah 7. distribusi dan pengembangan karir guru

Upload: annisa-kecil

Post on 06-Jan-2016

16 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

Mata kuliah Problematika Pendidikan

TRANSCRIPT

13

PENDAHULUAN1.1 Latar Belakang

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Anies Baswedan, menyatakan guru adalah tokoh sentral dalam ekosistem pendidikan, sehingga guru menjadi fokus utama pembenahan manajemen pendidikan nasional (ACDP Indonesia, 2015). Guru adalah kunci dalam membangun ekosistem pendidikan yang sehat, terutama melalui perannya dalam proses pendidikan. Penting untuk terus meningkatkan mutu guru dalam pembenahan manajemen pendidikan nasional. Apalagi saat ini rendahnya mutu pendidikan di Indonesia terus mendapat sorotan dan menjadi perhatian khusus. Menurut Elisabeth (2009:3), kondisi pendidikan yang sangat memprihatinkan itu ternyata beralasan. Pasalnya, pemerataan pendidikan di Indonesia belum terlaksana dengan baik, apalagi guru-guru di kota masih jauh lebih banyak jumlahnya daripada di pedesaan.

Keengganan mengajar di desa ini yang membuat pendidikan desa dan kota terus mengalami margin yang besar. Padahal sesuai amanat Undang Undang Dasar 1945, pendidikan harus merata dan tidak ada perbedaan antara kota dengan desa. Kenyataannya pemerataan pendidikan itu belum terlaksana dengan baik, masih terjadi kesenjangan akibat guru-guru hanya mau mengajar di kota tidak mau di desa. Kondisi ini menciptakan pendidikan kita masih memprihatinkan. Padahal pemerintah mulai dari pemerintah provinsi, kabupaten dan kota serta pusat terus memperhatikan guru, seperti tunjangan sertifikasi dan insentif, meskipun masih ada sebagian guru yang belum mendapatkannya.

Komitmen mengajar itu harus berlandaskan dari Dinas Pendidikan. Karena guru tidak mau ke desa, akibatnya peningkatan kualiatas pendidikan menjadi tidak merata. Guru harus siap ditempatkan untuk mengajar di desa terpencil sekalipun, demi tewujudnya pemerataan pendidikan. Untuk itu pemerintah perlu meningkatkan kesejahteraan sekaligus memberikan insentif mereka. Jika guru kota, sebaiknya tidak, diletakkan di desa, karena tidak akan sanggup. Sebaliknya guru desa dibina menjadi guru yang baik dan kembali desa. Mukhtar (2009) menyatakan bahwa bagi guru yang masih mau bersikap Marsipature Hutanabe (membangun desa sendiri) harus mau belajar dan membangun daerahnya.

Pemerintah masing-masing provinsi melalui Dinas Pendidikan harus memerhatikan kualitas pendidikan di daerah terpencil dan harus membuat grand design pendidikan untuk visi-misi gubernur, di antaranya punya masa depan. Pemerintah harus memperhatikan kesejahteraan guru di daerah atau desa terpencil dengan memberikan tujangan insentif bagi guru yang mengajar di desa terpencil. Sebenarnya jumlah guru Indonesia dinilai cukup memadai dibandingkan dengan negara lain. Berdasarkan laporan pemantauan Global UNESCO (2011) dalam Ilfiyah, dkk. (2015), Indonesia menempati posisi ideal berdasarkan rasio guru murid SD antar negara. Pada tahun 2011, rasio guru murid Indonesia adalah sekitar 1:16 orang. Rasio ini lebih kecil dibandingkan dengan rasio guru murid Brazil, Jepang, atau Korea yang rasio guru muridnya berturut-turut adalah 1:22, 1:21 dan 1:18. Jumlah tersebut cukup memadai tetapi penyebarannya belum merata.

Selain penyebaran guru yang tidak merata, masalah lain yang turut memprihatinkan bagi pendidikan di Indonesia adalah tentang penghargaan bagi guru. Terutama masalah pemberian tunjangan ataupun gaji bagi kesejahteraan guru. Rendahnya gaji yang diterima para guru menjadikan kurangnya rasa aman bagi guru. Aman dari ketakutan untuk tidak dapat berobat, aman dari ketakutan tidak punya rumah, aman dari tidak dapat memiliki sarana transportasi, aman dari ketakutan tidak dapat menyekolahkan anaknya dan aman dari kekurangan gizi.

Untuk memenuhi kebutuhannya dan keluarganya, tidak jarang guru yang harus menambah penghasilan dengan bekerja di tempat lain seusai mengajar atau bertugas di sekolah. Hal ini dikarenakan guru tidak bisa menggantungkan nasibnya pada sekadar karirnya sebagai guru. Bahkan pengembangan karir guru yang dalam penerapannya belum terarah dan beberapa masalah yang sering ditemukan, seperti, pemberian tunjangan profesi guru yang tidak merata, adanya birokrasi berbelit dalam pengurusan surat-surat tugas belajar, dan diskriminasi dalam hal penyampaian informasi penting maupun penghargaan bagi guru PNS dan NonPNS.

Selama ini yang tampak nyata di lapangan adalah pengembangan karier bagi guru diartikan sebagai pengalihan tugas-tugas guru yang tadinya sebagai pengajar berubah menjadi administrator (tenaga adminstrasi). Tentu saja hal tersebut berseberangan dengan tujuan semula. Oleh karena itu menurut tulisan tersebut pengembangan karier bagi guru diartikan dengan tambahan kewenangan bagi guru selain tugas pokoknya sebagai pengajar (pendidik). Jadi walaupun seorang guru mempunyai/naik jabatan menduduki jabatan struktural tertentu akan tetapi tugas pokoknya sebagai pengajar/pendidik tetap menjadi tanggung jawabnya. Dengan kata lain seorang guru tidak serta merta menjadi birokrat dan meninggalkan profesi mengajar ketika ia naik jabatan. Namun sejauh ini ternyata pengembangan karier bagi guru belum memperoleh porsi yang sesuai, karena dengan dicanangkannya otonomi daerah ternyata menimbulkan kebimbangan para birokrat daerah untuk memberikan kewenangan pengelolaan aspek-aspek pendidikan terhadap kaum guru. Permasalahan guru tentang pemerataan dan pengembangan karir akan dibahas dalam makalah ini dengan harapan dapat diuraikan solusi atas permasalahan tersebut. 1.2 Rumusan MasalahBerdasarkan latar belakang, masalah atau topik yang dibahas dalam makalah ini antara lain :

1. Pemerataan guru termasuk guru sains/IPA di Indonesia 2. Pengembangan karir guru1.3 Tujuan

Makalah ini dimaksudkan untuk membahas permasalahan pemerataan guru termasuk guru sains/IPA di Indonesia dan pengembangan karir guru di Indonesia serta solusi yang berhubungan dengan kedua permasalahan tersebut. PEMBAHASAN

2.1. Pemerataan Guru di Indonesia, Permasalahan dan Solusinya

Guru adalah posisi yang strategis bagi pemberdayaan dan pembelajaran suatu bangsa yang tidak mungkin digantikan oleh unsur manapun dalam kehidupan sebuah bangsa sejak dahulu. Semakin signifikannya keberadaan guru melaksanakan peran dan tugasnya semakin terjamin terciptanya kehandalan dan terbinanya kesiapan seseorang. Dengan kata lain potret manusia yang akan datang tercermin dari potret guru di masa sekarang dan gerak maju dinamika kehidupan sangat bergantung dari "citra" guru di tengah-tengah masyarakat.

Guru adalah profesi, guru profesional adalah guru yang memiliki dedikasi tinggi dalam pendidikan, tanpa dedikasi tinggi maka proses belajar mengajar akan kacau balau. Dalam proses belajar mengajar, yang telah berlangsung di dalam kelas, dapat ditemukan beberapa komponen yang bersama-sama mewujudkan proses belajar mengajar dan dapat juga dinyatakan sebagai struktur dasar dalam proses belajar mengajar. Dalam hal ini guru sebagai pendidik dan murid sebagai peserta didik dapat saja dipisahkan kedudukannya, akan tetapi mereka tidak dapat dipisahkan dalam mengembangkan murid dalam mencapai cita-citanya. Seperti tertuang pada hadis Nabi Khairunnaas anfauhum linnaas artinya sebaik baik manusia adalah yang paling besar memberikan manfaat bagi orang lain.

Pasal 31 UUD 1945 menyatakan setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan. Tidak hanya berhak, warga negara diwajibkan mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya. Hal ini dipertegas lagi dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas. Terkait hal ini, pemerintah telah menggulirkan kebijakan Wajardikdas 9 tahun. Bahkan, saat ini pemerintah berencana memperluas jangkauan kebijakan menjadi Wajar 12 tahun. Akan tetapi, kesuksesan kebijakan ini sulit terpenuhi salah satunya karena belum terpenuhinya ketersediaan guru dijenjang pendidikan tersebut serta distribusi guru yang belum merata di Indonesia, terutama pada daerah-daerah tertinggal, terpencil serta pelosok-pelosok desa.

Sebenarnya jumlah guru Indonesia dinilai cukup memadai dibandingkan dengan negara lain. Berdasarkan laporan pemantauan Global UNESCO (2011) dalam Ilfiyah (2011), Indonesia menempati posisi ideal berdasarkan rasio guru antar negara. Pada tahun 2011, rasio guru murid Indonesia adalah sekitar 1:16 orang. Rasio ini lebih kecil dibandingkan dengan rasio guru murid Brazil, Jepang, atau Korea yang rasio guru muridnya berturut-turut adalah 1:22, 1:21 dan 1:18 (Gambar 1).

Gambar 1. Data Guru dan Angka Partisispasi Siswa dalam Pendidikan dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Laporan

Pemantauan Global Unesco tahun 2011

Bahkan rasio guru murid Indonesia memiliki tren menurun dari tahun ke tahun. Pada tahun 2001, rasio guru murid SD dan SMP berturut-turut adalah 1:16 dan SMP 1:22. Rasio ini semakin mengecil pada tahun 2011 yakni 1:13 untuk SD dan 1:16 untuk SMP (Gambar 2).

Gambar 2. Data Guru dan Angka Partisipasi Siswa dalam Pendidikan dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Laporan

Pemantauan Global Unesco tahun 2011

Permasalahan ketersediaan dan pemerataan guru sebenarnya telah menjadi perhatian negara dan pemerintah. Hal ini dibuktikan dengan adanya pengaturan terkait dengan kewajiban pemerintah untuk menyediakan guru bagi sekolah atau juga memeratakan guru dalam UU No 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas dan UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Dua undang-undang ini juga mengamatkan agar pemerintah membuat peraturan turunannya berupa PP untuk mengatur pengangkatan dan pemerataan guru.

Pemerintah telah berupaya memperbaiki distribusi guru. Upaya ini tertuang dalam SKB atau Perber 5 Menteri 2011 ditetapkan pada tanggal 3 Oktober tahun 2011. Latar belakang kebijakan ini adalah adanya kesenjangan ketersediaan guru di berbagai sekolah di seluruh pelosok Indonesia. Kebijakan ini mengatur kewenangan dan tugas masing-masing jenjang pemerintahan dalam Penataan dan Pemerataan Guru (PPG). Dua inti kebijakan PPG ini yakni, perhitungan kebutuhan guru oleh masing-masing daerah dan pemindahan guru PNS antar sekolah di dalam kabupaten/kota yang sama, antar kabupaten kota dan antar provinsi.

Terkait dengan perhitungan kebutuhan guru, kebijakan ini merupakan upaya pemerintah untuk menerapkan standar kepegawaian, yakni standar beban kerja guru sebesar 24 jam tatap muka perminggu. Standar ini penting untuk mengetahui angka kebutuhan guru di suatu sekolah. Menurut Permendikbud Nomor 39 Tahun 2009, kebutuhan guru dihitung berdasarka variabel rombel, mata

pelajaran yang dibagi dengan standar beban kerja guru, yakni 24 jam tatap muka perminggu. Perbandingan kebutuhan guru di SD dan SMP dapat dilihat pada Gambar 3 berikut.

Gambar 3. Tabel Perbandingan Guru SD dan SMP. Sumber: Samer Al-Samarrai, Daim Syukriyah dan Imam Setiawan,

Bank Dunia 2013

Kesulitan lain dihadapi pemerintah daerah adalah mutasi guru. Pemerintah daerah kesulitan untuk melakukan mutasi guru karena sebagian besar guru sudah terlanjur mengajar di daerah perkotaan. Sedangkan guru-guru yang mengajar di daerah pedesaan adalah guru-guru yang memang berdomisili dekat dengan daerah tersebut. Pemerintah daerah kesulitan memutasi guru terutama guru senior atau guru telah berkeluarga. Pemindahan guru seringkali disertai dengan resistensi dan intervensi terhadap pemerintah daerah dari berbagai kalangan. Selain itu, pemindahan guru melalui inisiatif sendiri karena alasan tertentu terkadang juga disertai dengan praktik suap.

Desain kebijakan yang menitikberatkan pembenahan pada sisi supply telah berdampak negatif pada sisi demand publik. Partisipasi publik dalam PPG rendah dan cenderung tidak ada. Lemahnya partisipasi publik telah berimbas terhadap rendahnya komitmen pemerintah daerah untuk melakukan PPG. Menurut Ilfiyah (2013), tidak ada tekanan bagi pemerintah daerah untuk melakukan PPG. Akibatnya, guru tetap tidak merata. Sebagian sekolah tetap kelebihan guru dan sebagian sekolah yang lain tetap kekurangan guru. Kalaupun ada pendataan kebutuhan guru, hal itu hanya untuk memenuhi persyaratan mendapatkan formasi CPNS guru dari pemerintah pusat.

Di daerah yang melibatkan partisipasi publik, PPG cenderung berhasil diterapkan seperti dikabupaten Luwu Utara, Sulsel. Pemerataan guru semakin baik karena publik akan mendukung upaya pemerataan guru yang dilakukan pemerintah daerah dan sekolah. Tidak hanya itu, publik juga ikut mempertahankan agar guru tersebut tetap mengajar di sekolah terutama di sekolah 3T. Masyarakat melakukan berbagai upaya untuk membuat lingkungan sekolah dan sosial menjadi lebih nyaman bagi guru untuk tetap mengajar di daerah 3T tersebut.

Pemerataan guru memiliki hambatan tersendiri karena adanya resistensi pemindahan guru baik faktor individual maupun sosial guru. Hal ini terjadi terutama pada guru senior dan guru yang telah berkeluarga. Bagi mereka sangat sulit untuk mengajar di sekolah yang jauh dari rumah terutama di sekolah yang jauh di pelosok. Bagi guru yang telah berkeluarga sangat sulit untuk pindah dan meninggalkan keluarga untuk mengajar di berbagai sekolah yang cukup jauh dari rumah. Kalaupun keluarga juga ikut dibawa ke sekolah baru tersebut, ternyata belum ada jaminan bahwa di daerah sekolah tersebut akan tersedia fasilitas dan sarana dan prasarana yang memadai untuk tumbuh dan kembang anak.

Selain itu, pemindahan guru juga harus berhadapan dengan guru honorer di sekolah akhir. Seringkali guru PNS yang ditempatkan di sekolah yang kekurangan guru harus mendapatkan perlawanan dari guru honorer setempat karena dinilai akan menggeser keberadaan guru honorer tersebut. Para guru honorer khawatir harapan mereka jadi PNS akan hilang dengan adanya guru PNS yang baru ini. Selain mutasi guru, faktor sosial disekolah yang kekurangan guru juga ikut memberi andil terhadap lamanya waktu bertahan guru tersebut di sekolah tersebut. Guru seringkali merasa tidak sesuai dengan budaya dan kondisi sosial tempat mereka mengajar. Hal ini juga menyebabkan mereka kurang bisa bertahan menyelesaikan masa mengajarnya di sekolah tersebut.

Solusi Permasalahan Pemerataan Guru

Regrouping atau penggabungan satu sekolah dengan sekolah lainnya menjadi satu sekolah. Salah satu tujuan regrouping adalah menurunnya kebutuhan guru dalam satu sekolah dan daerah. Jika suatu sekolah digabungkan menjadi satu maka akan diikuti oleh penggabungan rombel sehingga jumlah rombel di sekolah hasil penggabungan menjadi lebih kecil. Konsekuensinya, beban kerja menjadi lebih kecil dan kebutuhan atas guru juga akan lebih kecil.

Multigrade Teacher adalah pengajaran beberapa kelas oleh satu guru. Pengajaran oleh satu orang guru untuk beberapa kelas sekaligus biasanya dilakukan di sekolah 3T. Satu orang guru SD misalnya dapat mengajar kelas 1, 2 dan 3 sekaligus. Multigrade Teacher dinilai dapat mengurangi kekurangan guru di daerah terpencil tersebut.

Guru Kunjung adalah guru yang mengajar di beberapa sekolah diluar sekolah induknya. Guru Kunjung dapat dilakukan manakala sang guru tidak mendapatkan pemenuhan 24 jam mengajar di sekolah yang bersangkutan. Kebutuhan 24 jam mengajar dapat dipenuhi di sekolah lainnya. Guru Kunjung difasilitasi oleh pemerintah daerah karena informasi kebutuhan guru dan jam mengajar di masing-masing sekolah di bawah koordinasi pemerintah kabupaten/kota. Hampir semua daerah telah memfasilitasi pelaksanaan guru kunjung. Beberapa daerah telah melakukan guru kunjung tersebut antara lain adalah Pemkab Ciamis. Pemkab Ciamis telah mengeluarkan Perbup No. 8 Tahun

2012 tentang Pemetaan PNS di lingkungan Pemkab Ciamis. Namun demikian, mobile teachermemiliki dampak yang kurang baik bagi guru yang bersangkutan. Guru kesulitan fokus pada pelajaran karena harus mengajar di beberapa sekolah. Hal ini menjadi semakin parah manakala jarak antar sekolah tersebut semakin jauh.

Alih jenjang guru adalah guru mata pelajaran tertentu mengajar pada jenjang pendidikan lebih rendah. Hal dilakukan manakala jenjang pendidikan di suatu daerah memiliki kelebihan guru. Sementara jenjang pendidikan lebih rendah kekurangan guru. Oleh karena itu, pemerintah daerah melakukan pengalihan jenjang guru dari jenjang lebih tinggi ke jenjang lebih rendah. Sebagai contoh adanya kelebihan guru matematika di jenjang pendidikan menengah atas sementara di jenjang pendidikan menengah pertama justru kekurangan guru. Oleh karena itu, pemerintah daerah dapat menawarkan dan mengalihkan guru matematika di tingkat SMA untuk mengajar di tingkat SMP. Praktik baik alih jenjang guru misalnya dilakukan oleh Pemkab Ciamis dimana guru IPA SMK menjadi guru IPA terpadu SMP. Kelebihan guru PAI di SMP dialihjenjangkan menjadi guru PAI di SD atau SMA. Kelebihan guru Penjas di SD dialihjenjangkan menjadi guru Penjas di SMP atau di SMA. Semua alih jenjang atau alih fungsi ini harus mendapatkan persetujuan langsung dan disesuai dengan formasi kebutuhan. Sementara alih fungsi/alih jenis guru adalah perubahan pekerjaan guru. Di Kabupaten Ciamis misalnya, ada guru mata pelajaran yang menjadi pustakawan, guru TIK menjadi pranata guru.

Guru dapat dipindahkan dari suatu sekolah ke sekolah lainnya dalam satu kabupaten/kota yang sama, antar kabupaten/kota atau juga antarprovinsi. Hal ini dapat dilakukan manakala terdapat suatu sekolah, daerah (provinsi, kabupaten dan kota) yang kekurangan guru. Semenara itu, sekolah atau daerah lainnya yang justru kelebihan guru. Oleh karena itu, perpindahan dapat dilakukan dari sekolah atau daerah yang kelebihan guru ke sekolah yang kekurangan guru baik dalam kabupaten, kota, provinsi yang sama atau kabupaten, kota, provinsi yang berbeda. Fasilitasi pemindahan guru antar sekolah dalam kabupaten dan kota yang sama difasilitasi masing-masing pemerintah daerah tersebut. Pemindahan guru antar sekolah dalam kabupaten/kota berbeda difasilitasi oleh pemerintah provinsi dan terakhir pemindahan guru dari satu sekolah ke sekolah yang berbeda provinsi difasilitasi oleh pemerintah pusat. Pemindahan guru telah dilaksanakan oleh Pemkab Luwu Utara, Sulsel. Pemkab ini telah berhasil memutasi 127 guru SD di daerah tersebut pada sekolah terutama sekolah terpencil. Kriteria pemidahan guru adalah guru muda, dan bersedia ditempatkan di SD terpencil. Selain itu, pemerintah daerah juga menyediakan insentif bagi guru yang dimutasi tersebut. Pemerintah daerah juga melibatkan pemangku kepentingan terutama masyarakat di sekitar sekolah untuk berpartisipasi dalam proses mutasi guru mulai dari perhitungan kebutuhan guru sampai mempertahankan guru tetap mengajar di sekolah tersebut.

Salah satu metode untuk memenuhi PPG adalah rekrutmen guru melalui proses rekrutmen CPNS. Rekrutmen guru diharapkan bisa mengatasi kebutuhan guru terutama guru bagi sekolah yang kekurangan guru. Rekrutmen guru dilakukan dengan pemetaan kebutuhan guru oleh suatu daerah dan kemudian mengajukan kebutuhan guru tersebut pada pemerintah pusat. Pemerintah pusat selanjutnya melakukan penilaian kebutuhan guru daerah tersebut dan kemudian menetapkan formasi. Proses rekrutmen guru sama dengan proses rekrutmen CPNS lainnya seperti seleksi administrasi, tes kemampuan dasar dan tes kemampuan bidang. Rekrutmen merupakan metode terakhir untuk memenuhi kebutuhan guru setelah pemerintah daerah dan sekolah menyelesaikan penataan guru.2.2. Pengembangan Karir GuruDengan diterapkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah menuntut pula dilakukannya desentralisasi pendidikan. Sebagai sesuatu yang baru maka desentralisasi pendidikan memunculkan permasalahan di kalangan masyarakat, baik itu birokrat, anggota dewan legislatif, para pakar ataupun masyarakat awam. Pelaksanaan desentralisasi pendidikan di Indonesia tidaklah semudah membalikkan tangan. Akan tetapi banyak kendala-kendala yang dihadapi. Terutama kesiapan daerah dalam menerima pelimpahan pengelolaan aspek-aspek pendidikan. Sehingga masing-masing daerah melaksanakan desentralisasi pendidikan sebatas kemampuan menginterpretasikan konsep-konsep desentralisasi pendidikan tersebut.

Adapun aspek-aspek utama yang harus diperhatikan terangkum dalam

rangkaian tulisan yang berjudul Decentralization of Education, yang diterbitkan oleh Worldbank (Politics and Consensus, Community Financing, Demand-Side Financing, Legal Issues, danTeacher Management). Aspek utama yang bersentuhan langsung dengan nasib para guru adalah Teacher Management (Manajemen Guru). Menurut Worldbank (1998: 20) disebutkan bahwa guru juga mempunyai kesempatan promosi (peningkatan). Struktur karier bagi guru pada pendidikan dasar berbentuk piramida. Promosi guru selalu berarti bahwa kerja guru beralih ke bidang administrasi dan meninggalkan tugasnya sebagai pengajar di kelas. Pola semacam itu mempunyai efek negatif terhadap moral guru dan menurunkan kualitas hasil pengajaran karena guru yang senior memperoleh promosi bukan sebagai guru, melainkan sebagai tenaga administrasi. Beberapa negara seperti Australia dan Irlandia mengembangkan sejumlah jabatan guru, sebagai contohjabatan bertingkat yang lebih difokuskan dalam hal tanggung jawab khusus. Jabatan-jabatan itu menambah promosi jabatan tradisional yang sudah ada, yaitu kepala dan deputi kepala. Tugas-tugas yang berkaitan dengan jabatan khusus tersebut dipusatkan pada pengajaran sekolah dan kebutuhan-kebutuhan pengembangan staf, tepatnya lebih dari pada sekedar tugas administrasi rutin.

Pengertian pengembangan karier secara awam adalah peningkatan jabatan yang didasarkan pada prestasi, masa kerja, dan kesempatan. Dengan mengacu pada pengertian awam tersebut maka pengembangan karier bagi guru perlu diupayakan oleh pihak-pihak yang berkepentingan, yaitu Dinas Pendidikan dan Kebudayaan. Namun sejauh ini ternyata pengembangan karier bagi guru belum memperoleh porsi yang sesuai, karena dengan dicanangkannya otonomi daerah ternyata menimbulkan kebimbangan para birokrat daerah untuk memberikan kewenangan pengelolaan aspek-aspek pendidikan terhadap kaum guru. Hal ini dapat dimaklumi sebab dengan memberikan jabatan-jabatan tersebut menutup peluang bagi mereka (birokrat) untuk berkuasa.

Menurut Worldbank, terjadi kerancuan tentang pengembangan karier bagi guru. Selama ini pengembangan karier bagi guru diartikan sebagai pengalihan tugas-tugas guru yang tadinya sebagai pengajar berubah menjadi administrator (tenaga adminstrasi). Tentu saja hal tersebut berseberangan dengan tujuan semula. Oleh karena itu menurut tulisan tersebut pengembangan karier bagi guru diartikan dengan tambahan kewenangan bagi guru selain tugas pokoknya sebagai pengajar (pendidik). Jadi walaupun seorang guru mempunyai/naik jabatan menduduki jabatan struktural tertentu akan tetapi tugas pokoknya sebagai pengajar/pendidik tetap menjadi tanggung jawabnya. Dengan kata lain seorang guru tidak serta merta menjadi birokrat dan meninggalkan profesi mengajar ketika ia naik jabatan. Langkah Pemerintah Propinsi Jawa Timur dalam memberikan kesempatan untuk melanjutkan kuliah di Pascasarjana Universitas Negeri Malang (UM) bagi guru merupakan langkah yang tepat. Dengan adanya kesempatan tersebut diharapkan potensi yang dimiliki guru akan lebih berkembang. Dengan berbagai program pendidikan yang diikuti, kelak akan dapat menciptakan sinergi antara satu bidang keahlian dengan bidang keahlian yang lain. Sebagai contoh untuk mengetahui sejauh mana keberhasilan proses pengajaran maka ini merupakan tugas dari lulusan PEP (Penelitian dan Evaluasi Pendidikan). Untuk merencanakan metode pengajaran merupakan tugas dari TP (Teknologi Pendidikan). Untuk merencanakan, mengelola dan mengembangkan sumber daya manusia merupakan tugas dari MP (Manajemen Pendidikan). PENUTUPDengan sistem sebaik apapun, tanpa dukungan SDM yang berkualitas, jujur, berdedikasi tinggi, disiplin, dan syarat ideal lainnya, maka pengelolaan pendistribusian guru maupun pengembangan karir guru akan tetap menjadi masalah dengan motif yang beragam. Untuk itu kebijakan pusat sejatinya bukan terfokus pada sistem sentralisasi atau desentralisasinya, melainkan pada perbaikan dan pembinaan tenaga pengelolanya. DPR RI hendaknya mendukung

niat pemerintah untuk melaksanakan resentralisasi pengelolaan guru. Dalam praktik di lapangan, sistem desentralisasi guru dinilai menimbulkan banyak persoalan terutama untuk profesionalisme guru. Demi perbaikan dan mengembalikan fungsi guru sebagai profesi, seharusnya pemerintah tidak ragu untuk bersikap terkait rencana sentralisasi. Namun demikian, perlu diingatkan

bahwa rencana sentralisasi pengelolaan guru juga belum tentu menjadi solusi

paling cerdas dalam menyelesaikan masalah pendistribusian guru dan masalah-masalah lain yang selama ini dipercayakan kepada daerah kabupaten/kota. Salah satu kendalanya adalah wilayah Indonesia yang sangat luas sehingga sulit dikendalikan. Lagi pula, tidak ada garansi bahwa pengelola tingkat pusat tidak akan melakukan hal sama yang dilakukan oleh daerah. Daftar RujukanElisabeth. 2009. Pemerataan Pendidikan di Indonesia. Jakarta : Universitas Negeri Yogyakarta.Ilfiyah, dkk. 2015. Kegagalan Pemerataan Guru, Evaluasi SKB 5 Menteri Tahun 2011 Tentang Penataan dan Pemerataan Guru PNS di Indonesia. Jakarta : Indonesia Corruption Watch.

Kemendikbud. 2009. Permendikbud No. 39 Tahun 2009 tentang Pemenuhan Beban Kerja Guru Dan Pengawas Satuan Pendidikan.

Samer, Al-Samarrai dkk. (2013). Local Governance and Education Performance: a Survey of the Quality of Local Education Governance in 50 Indonesian Districts. Human Development. Jakarta, Indonesia: World Bank.

Sudarwanto. 2015. Pengembangan Karier Guru. Jakarta : Grasindo.