makalah
DESCRIPTION
Bahasa Indonesia KeilmuanTRANSCRIPT
PEMANFAATAN KULIT BAWANG MERAH(Allium ascalonicum) SEBAGAI PESTISIDA ALAMI
Oleh :Fiqih Dewi Maharani
1. PENDAHULUAN1.1 Latar Belakang
Pembasmi hama atau pestisida adalah bahan yang digunakan untuk
mengendalikan, menolak, memikat, atau membasmi organisme pengganggu.
Nama ini berasal dari pest ("hama") yang diberi akhiran -cide ("pembasmi").
Sasarannya bermacam-macam, seperti serangga, tikus, gulma, burung, mamalia,
ataupun ikan yang dianggap mengganggu. Pestisida seringkali disebut sebagai
"racun" (Surapraja, 2010).
Pestisida dibagi menjadi dua, yaitu pestisida sintetis atau kimia dan
pestisida organik atau alami (Pengendalian Hama Terpadu). Sekilas pandang,
pestisida kimia dengan pestisida alami sama saja. Namun ada beberapa faktor
yang menyebabkan kedua jenis pestisida tersebut dibedakan (Zulkarnaen,
2010:50).
Pestisida berbahan kimia memberikan resiko yang serius dengan
terancamnya kesehatan populasi organisme (burung, amfibi, reptil, dan lain-lain)
akibat dari penggunaan pestisida berbahan kimia. Bahan aktif yang terkandung
dalam pestisida berbahan kimia akan menjadi racun bagi yang mengonsumsi hasil
pertanian.
Lingkungan akan menjadi sasaran utama atas penggunaan pestisida
berbahan kimia. Sehingga, tidak hanya hasil panen yang tercemar melainkan
meliputi udara dan efek negatif terhadap tumbuhan itu sendiri. Bahan secara
umum yang sering digunakan oleh masyarakat dalam penggunaan pestisida
berbahan kimia seperti DDT (Dichloro Diphenyl Trichloroethane), endrin (cairan
yang biasa dipakai sebagai racun pembunuh tikus), lindane, dan endosulfan
(Aditya, 2010:17).
Pestisida alami jelas berbeda dengan pestisida kimia, walaupun tujuan
keduanya sama yaitu memberantas hama yang hinggap pada
tumbuhan. Pestisida organik adalah pestisida yang berasal dari
bahan organik atau alami ramah lingkungan seperti tanaman atau tumbuhan. Pestisida organik juga merupakan salah satu alternatif yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah hama. Penggunaaan pestisida organik selain dapat mengurangi pencemaran lingkungan, harganya relatif lebih murah bila dibandingkan dengan pestisida sintetik atau kimia. Pestisida organik dapat membunuh atau mengganggu serangga hama dan penyakit melalui perpaduan berbagai cara atau secara tunggal (Rizal, 2008).
Menurut Sudarmo (2005), cara kerja pestisida organik sangat spesifik, yaitu: (1) merusak perkembangan telur, larva, dan pupa, (2) menghambat pergantian kulit, (3) mengganggu komunikasi serangga, (4) menyebabkan serangga menolak makanan, (5) menghambat reproduksi serangga betina, (6) mengurangi nafsu makan, (7) memblokir kemampuan makan serangga, (8) mengusir serangga, dan (9) menghambat perkembangan patogen penyakit.
Beberapa keuntungan dalam penggunaan pestisida alami (organik) yaitu
zat dan senyawa yang terdapat pada pestisida berbahan alami dapat menolak
kehadiran hama dengan bau yang tidak disukainya, dapat merusak perkembangan
telur, larva, dan pupa pada hama serangga, menghambat reproduksi serangga
betina dan menghancurkan hormon di dalam tubuh hama serangga (Rizal, 2008).
Seiring berjalannya waktu, pengembangan kreativitas baik secara
individual ataupun secara berkelompok terus bersaing dalam bidang industri,
pertanian dan perekonomian. Salah satunya di bidang pertanian yakni para petani
yang sedang gencar dalam memproduksi panennya supaya menghasilkan hasil
panen yang berkualitas serta bernutrisi tinggi dan menghasilkan keuntungan.
Dalam proses produksi panen, tidak menutup kemungkinan apabila
tumbuhan atau produk panen setiap harinya dihinggapi oleh berbagai jenis hama
ulat maupun serangga. Petani Indonesia telah beberapa kali mengalami kerugian
karena rusaknya hasil panen akibat hama. Kemudian para petani lebih memilih
jalan lain dengan cara menyemprotkan tanamannya dengan pestisida berbahan
kimia. Menurut petani, pestisida berbahan kimia lebih efektif dalam membasmi
hama pada tanaman. Namun petani tidak mengetahui akan adanya dampak
negatif bagi tumbuhan dari pemberian pestisida berbahan kimia tersebut.
Penggunaan pestisida khususnya pestisida sintetis atau kimia memberikan
kerugian negatif didalamnya, diantaranya residu yang tertinggal tidak hanya pada
tanaman, tetapi juga air, tanah, dan udara. Penggunaan pestisida sintetis secara
terus-menerus akan mengakibatkan efek resistensi dan resurjensi atau timbul
kembali dari berbagai jenis hama ulat. Akibatnya, kualitas pangan yang dihasilkan
menurun. Pangan yang seharusnya berkualitas dan bernutrisi tinggi, menjadi
racun karena tercemar dengan pestisida kimia dan dapat mengakibatkan bahaya
bagi siapapun yang mengonsumsinya (Rizal, 2008).
Oleh karena itu, penulis membahas inovasi baru terkait penggunaan
pestisida yang aman dan mudah didapatkan yaitu dengan memanfaatkan kulit
bawang merah yang selama ini hanya dianggap limbah, tapi untuk kali ini kulit
bawang merah digunakan sebagai alternatif pestisida alami atau organik pada
hama tanaman melalui proses ekstraksi.
Kulit bawang merah berpotensi sebagai bahan baku pestisida nabati. Hal
ini dikarenakan ketersediaan bawang merah yang melimpah, terlihat dari produksi
bawang merah tahun 2010 yang mencapai 1.049.000 ton, dan data tahun 2011
dengan realisasi angka sementara mencapai 564.000 ton (Sudarmo, 2005).Menurut Surapraja (2010:28) kulit bawang merah adalah bagian terluar
dari bawang merah yang diambil dagingnya. Biasanya, kulit bawang merah tidak
pernah dimanfaatkan, melainkan langsung dibuang setelah didapatkan isinya.
Kulit bawang merah ini sangat berguna sekali, terutama untuk makanan.
Kulit bawang merah sering digunakan untuk membuat telur pindang. Selain
digunakan sebagai penyedap makanan, kulit bawang merah juga mengandung zat
dan senyawa yang berpotensi dapat membunuh hama ulat (Fatmah, 2005:69).
Kulit bawang merah berpotensi dapat membunuh hama serangga pada
tanaman, kulit bawang merah mengandung senyawa acetogenin, senyawa anti-
fedeen, senyawa squamosin, senyawa flavonglikosida, dan senyawa allisin
(Plantus, 2008).
Selain berpotensi dapat membunuh hama ulat, kulit bawang merah juga
memiliki beberapa manfaat lainnya yang menguntungkan. Zat dan senyawa yang
terdapat pada kulit bawang merah memberikan kesuburan bagi tanaman sehingga
dapat mempercepat tumbuhnya buah dan bunga pada tumbuhan (Rizal, 2008).
Banyak sekali penyakit atau hama yang dapat menyerang tanaman. Hama
membawa kerisauan bagi pemilik tanaman jenis hortikultura. Pengacau yang
merusak kesehatan tanaman, sehingga tidak sedikit yang menggunakan alternatif
semprotan racun pestisida untuk melindungi tanaman dari jangkauan hama,
penyakit, dan binatang.
Beberapa kerusakan fisik yang terjadi pada tumbuhan adalah daun
dipenuhi oleh banyak lubang berbekas, pertumbuhan tanaman menjadi terganggu
(hal ini dapat terjadi dikarenakan hama serangga dapat meyebabkan pertumbuhan
tanaman menjadi terhambat dan bahkan tidak jarang mengalami stagnan
pertumbuhan atau kerdil).
Menurut Nurwansyah (2010), menurunnya jumlah produksi tanaman
dengan serangan yang dilakukan oleh hama pada tanaman maka tanaman tidak
akan mampu menghasilkan produksi secara maksimal karena terjadinya
pembatasan pertumbuhan akibat hama yang berada pada tanaman budidaya. Hal
ini disebabkan karena proses fisiologi tanaman yang terganggu. Dengan daun dan
batang serta tunas muda yang habis dimakan oleh hama secara tidak langsung
tanaman tidak dapat melakukan proses fotosintesis untuk menghasilkan produksi
dengan baik bahkan tidak dapat melakukan fotosintesis.
Berdasarkan latar belakang di atas, penulis tertarik untuk
membahas mengenai “Pemanfaatan Kulit Bawang Merah (Allium
ascalonicum) Sebagai Pestisida Alami” sebagai judul makalah guna
meningkatkan kualitas hasil pangan yang dihasilkan.
1.2 Rumusan Masalah
(1) Apa kandungan dalam kulit bawang merah yang dapat dimanfaatkan sebagai
bahan dasar pestisida alami?
(2) Bagaimana cara pemanfaatan kulit bawang merah sebagai bahan dasar
pestisida alami?
(3) Apa kelebihan dan kekurangan kulit bawang merah yang dapat dimanfaatkan
sebagai bahan dasar pestisida alami?
2. PEMBAHASAN2.1 Kandungan dalam Kulit Bawang Merah yang Dapat Dimanfaatkan
Sebagai Bahan Dasar Pestisida Alami
Kulit bawang merah berpotensi dapat membunuh hama serangga pada
tanaman, kulit bawang merah mengandung senyawa acetogenin, senyawa anti-
fedeen, senyawa squamosin, senyawa flavonglikosida, dan senyawa allisin
(Plantus, 2008).
Struktur senyawa acetogenin terdiri dari 30 – 32 rantai karbon tidak
bercabang yang terikat pada gugus 5-methyl-2-furanone. Rantai furanone dalam
tersebut memiliki sifat sitotoksik, antiparasit. Acetogenin bekerja dengan
menghambat produksi ATP di dalam tubuh hama (Motoyuki dkk, 2000).
Senyawa acetogenin pada konsentrasi tinggi memiliki keistimewaan
sebagai anti-feeden. Senyawa bioaktif antifeeden merupakan suatu senyawa
organik bahan alam yang sangat dibutuhkan oleh berbagai tanaman untuk
melindungi dirinya dari serangan hama, baik serangga maupun mikroba serta
organisme lain. Keberadaan senyawa bioaktif antifeeden dalam jaringan tanaman
akan membawa banyak manfaat, terutama dalam masalah perlindungan tanaman
yang bernilai ekonomis, karena dapat berfungsi sebagai pengendali hama alami
dalam bioteknologi tanaman. Senyawa ini bersifat tidak membunuh, mengusir
atau menjerat serangga hama, akan tetapi bersifat menghambat nafsu makan saja
(Motoyuki dkk, 2000).
Reddy dkk (2009) mendefinisikan senyawa antifeeden sebagai suatu zat
yang dapat menghambat makan baik secara sementara maupun permanen,
tergantung pada potensi zat tersebut. Pada saat ini senyawa bioaktif antifeeden
mulai digunakan sebagai pengendali hama alternatif, karena mekanisme kerjanya
dinilai lebih aman terhadap lingkungan maupun terhadap manusia atau hewan,
ikan dan organisme lain.
Senyawa antifeeden dalam konsentrasi tinggi akan membuat hama
serangga kehilangan nafsu makannya. Sedangkan dalam konsentrasi rendah,
senyawa antifeeden bersifat racun perut yang bisa mengakibatkan hama serangga
mati. Hama serangga yang mengonsumsi daun yang mengandung senyawa
acetogenin konsentrasi rendah akan mengalami gangguan proses pencernaan dan
mengalami kerusakan organ-organ pencernaan, hal itu dapat mengakibatkan
kematian pada hama serangga (Plantus, 2008).
Selain mengandung anti-fedeen, kulit bawang merah juga mengandung
senyawa squamosin. Senyawa squamosin bersifat sitoksik dan neurotoksik
sehingga menimbulkan kematian sel pada serangga. Apabila senyawa ini kontak
atau masuk ke dalam tubuh maka akan menghalangi ikatan enzim NADH dengan
sitokrom c reduktase dan sitokrom komplek sub unit I yang berada di dalam
mitokondria serangga. Akibatnya sel kehilangan energi dan pernafasan sel akan
terhenti (Reddy dkk, 2009).
Kandungan pada squamosin mampu menghambat transport elektron pada
sistem respirasi sel hama serangga, yang menyebabkan hama serangga tidak dapat
menerima nutrisi makanan yang dibutuhkan oleh tubuhnya. Sehingga, walaupun
hama serangga memakan daun yang telah tercemar oleh zat squamosin, hama
serangga sama saja seperti tidak memakan apapun, karena nutrisi yang terkandung
dalam daun yang dimakan hama serangga tidak tersalurkan keseluruh tubuh.
Akhirnya, hama serangga akan mati secara perlahan (Plantus, 2008).
Warna merah kecoklatan yang dihasilkan dari ekstrak kulit bawang merah
berasal dari senyawa flavonglikosida, senyawa ini sangat ampuh dalam
membunuh bakteri. Hal ini menunjukan, semakin banyak kulit bawang merah
yang digunakan, semakin lama waktu perebusan yang dibutuhkan untuk
menghasilkan banyak senyawa flavonglikosida yang didapat dari ekstrak.
Sebaliknya, semakin sedikit kulit bawang merah yang digunakan, semakin singkat
waktu perebusan yang dibutuhkan. Maka ekstrak kulit bawang merah yang
diperoleh kurang berwarna merah kecoklatan dan aroma bawang merah tidak kuat
(Sudarmo, 2005).
Kandungan dalam bawang merah yakni allicin menimbulkan aroma yang menyengat. Bahan ini dapat berfungsi sebagai sebagai antiseptis alami karena mengandung komponen fenol alami. Senyawa yang dihasilkan diketahui mempunyai kemampuan sebagai pestisida nabati yang dapat membunuh kutu daun. Karena menghasilkan bau menyengat yang tidak disukai oleh hama tanaman (Sudarmo, 2005).
2.2 Cara Pemanfaatan Kulit Bawang Merah Sebagai Bahan Dasar Pestisida Alami
2.2.1 Alat dan Bahan
Alat yang digunakan untuk membuat pestisida kulit bawang merah adalah
botol sprey, kompor, panci, dan saringan. Botol sprey digunakan untuk
menampung hasil ekstraksi bawang merah yang akan disemprotkan ke tanaman
yang diinginkan untuk mengurangi hama pada tanaman tersebut. Kompor
digunakan untuk memanaskan panci yang diisi dengan air dan kulit bawang
merah kering yang sudah dijemur terlebih dahulu selama satu jam. Panci
digunakan untuk tempat membuat ekstrak kulit bawang merah dengan cara
mendidihkan air dan mencampurkannya dengan kulit bawang merah kering,
sehingga diperoleh ekstrak kulit bawang merah yang berwana merah kecoklatan.
Saringan digunakan untuk memisahkan kulit bawang merah dengan ekstrak kulit
bawang merah setelah mengalami proses pemanasan.
Bahan yang digunakan untuk membuat pestisida kulit bawang merah
adalah air 200 ml dan kulit bawang merah (±1 gram). Kulit bawang merah yang
cocok untuk diolah menjadi pestisida adalah kulit bawang merah yang berwarna
merah keunguan. Karena kulit bawang merah yang masih berwarna merah
keunguan banyak mengandung senyawa flavonglikosida yang bermanfaat
membunuh bakteri/hama. Untuk 1 gram kulit bawang merah akan menghasilkan
80 ml ekstrak kulit bawang merah.
2.2.2 Langkah Pengolahan
Ada beberapa proses pengolahan untuk membuat pestisida kulit bawang
merah. Proses pertama yaitu proses pemisahan. Proses pemisahan dilakukan
dengan memisahkan daging bawang merah dengan kulitnya lalu mengumpulkan
kulit bawang merah tersebut sebanyak kurang lebih satu gram. Pemisahan tersebut
bertujuan untuk mendapatkan kulit bawang merahnya saja, karena bahan yang
akan dimanfaatkan untuk pembuatan pestisida adalah berupa limbah kulit bawang
merah. Daging bawang merah tidak dimanfaatkan karena daging bawang merah
tidak mengandung senyawa acetogenin, anti feeden, squamosin yang dapat
digunakan untuk membasmi hama.
Proses kedua yaitu proses pengeringan. Proses pengeringan dilakukan
dengan cara yang sederhana. Mengeringkan kulit bawang merah dengan cara
dijemur di bawah terik matahari selama satu jam. Kulit bawang yang digunakan
untuk pembuatan ekstrak harus kering atau tidak basah dan tidak lembab. Proses
pengeringan tersebut bertujuan untuk mengurangi kadar air pada kulit bawang
merah. Karena kadar air pada kulit bawang tersebut dapat mempercepat
pembusukan kulit bawang dan menghasilkan aroma yang tidak sedap serta dapat
ditumbuhi oleh bakteri. Dengan kadar air yang sedikit, kulit bawang merah
tersebut juga mengandung lebih banyak senyawa penting yang dapat
dimanfaatkan untuk membasmi hama seperti senyawa flavonglikosida. Hasil yang
diperoleh dalam proses ini adalah kulit bawang merah kering dengan kadar air
yang sedikit.
Proses yang ketiga yaitu proses pemanasan atau proses perebusan. Proses
pemanasan bertujuan agar memperoleh ekstrak dari kulit bawang merah yang
diinginkan. Proses pemanasan dilakukan diatas kompor dengan memanaskan air
dalam panci sebanyak 200 ml. Kemudian memasukkan kulit bawang merah
sebanyak 1 gram ke dalam panci tersebut. Ditunggu hingga air di dalam panci
mendidih. Mendidih hingga suhu ±90oC.
Proses yang keempat yaitu proses ekstraksi kulit bawang merah. Menurut
Sudarmo (1999), proses ekstraksi dibagi menjadi dua yaitu ekstraksi dingin dan
ekstraksi panas. Ekstraksi dingin dilakukan jika bahan pewarna alam berbentuk
kayu atau mempunyai kekerasan ≥2,5 (skala Mohs). Ekstraksi dingin biasanya
dilakukan sekitar 24 jam. Ekstraksi panas dilakukan jika bahan baku yang
digunakan adalah bahan yang lebih lunak, misalnya daun, bunga dan buah. Proses
ekstraksi panas digunakan untuk membuat ekstrak kulit bawang merah. Kulit
bawang merah yang digunakan untuk ekstraksi dipilih yang segar, berwarna
merah keunguan dan belum menguning. Proses ekstraksi kulit bawang merah
telah selesai apabila air di dalam panci telah mendidih dan warnanya telah
berubah menjadi merah kecoklatan dan beraroma tajam. Proses ini akan
menghasilkan ekstrak yang berbentuk cairan dari kulit bawang merah yang
berwarna merah kecoklatan.
Proses yang kelima adalah proses penyaringan. Setelah ekstrak
didinginkan, ekstrak disaring dengan menggunakan saringan. Memisahkan antara
kulit bawang merah dengan ekstrak dari kulit bawang merah. Sehingga diperoleh
ekstrak yang berupa cairan saja tidak ada endapan dari kulit bawang merah.
Proses yang keenam dan yang terakhir yaitu proses penyemprotan. Hasil ekstrak
kulit bawang merah dimasukkan ke dalam botol spray. Ekstrak kulit bawang
merah siap untuk digunakan, kemudian disemprotkan ke tanaman yang terserang
hama sebanyak tiga kali dalam sehari.
2.3 Kelebihan dan Kekurangan Kulit Bawang Merah yang Dapat Dimanfaatkan Sebagai Bahan Dasar Pestisida Alami
2.3.1 Kelebihan Kulit Bawang Merah yang Dapat Dimanfaatkan Sebagai Bahan Dasar Pestisida Alami
Dengan menggunakan pestisida kulit bawang merah dapat diperoleh beberapa kelebihan diantaranya: (1) memberikan nilai
tambah pada produk yang dihasilkan, (2) lebih ramah lingkungan, karena sifat
material organik mudah terurai menjadi bentuk lain. Sehingga dampak racunnya
tidak menetap dalam waktu yang lama di alam bebas, (3) memiliki efek atau pengaruh yang cukup cepat, yaitu menghentikan nafsu makan serangga walapun jarang menyebabkan kematian, (4) toksisitasnya umumnya rendah terhadap hewan dan relatif lebih aman pada manusia, (5) memiliki spektrum pengendalian yang luas (racun lambung dan syaraf) dan bersifat selektif, (6) dapat diandalkan untuk mengatasi hama yang telah kebal pada
pestisida sintetis, (7) phitotoksitas rendah, yaitu tidak meracuni dan merusak tanaman, (8) residu pestisida organik tidak bertahan lama
pada tanaman, sehingga tanaman yang disemprot lebih aman untuk dikonsumsi, (9) diintegrasikan dengan konsep pengendalian hama terpadu tidak akan
menyebabkan resistensi pada hama, (10) menghemat biaya produksi dan mudah
dibuat sendiri oleh petani (Sudarmo, 2005).
2.3.2 Kekurangan Kulit Bawang Merah yang Dapat Dimanfaatkan Sebagai Bahan Dasar Pestisida Alami
Dengan menggunakan pestisida kulit bawang merah diperoleh beberapa kekurangan diantaranya: (1) daya racunnya rendah (tidak langsung mematikan serangga atau memiliki efek lambat), (2) kapasitas produksinya masih rendah dan belum dapat dilakukan dalam jumlah massal (bahan tanaman untuk pestisida alami belum banyak dibudidayakan secara khusus), (3) ketersediaannya di toko pertanian masih terbatas, (4) kurang
praktis dan tidak tahan apabila disimpan terlalu lama, (5) perlu penyemprotan
yang berulang-ulang (Sudarmo, 2005).
3. SIMPULANa. Kulit bawang merah mengandung senyawa acetogenin, senyawa anti-fedeen,
senyawa squamosin, senyawa flavonglikosida, dan senyawa allisin. Senyawa
acetogenin menghambat produksi ATP di dalam tubuh hama. Anti-fedeen
menghambat nafsu makan pada hama. Squamosin menghambat transport
elektron pada sistem respirasi sel hama. Flavonglikosida ampuh dalam
membunuh bakteri. Allicin menimbulkan aroma yang menyengat yang tidak disukai hama.
b. Kulit bawang merah dapat dijadikan sebagai pestisida alami dengan cara
diambil ekstraknya. Melalui proses pemisahan, pengeringan, pemanasan,
ekstraksi, penyaringan, dan penyemprotan.
c. Kelebihan menggunakan kulit bawang merah sebagai pestisida alami adalah memberikan nilai tambah pada produk yang dihasilkan, lebih
ramah lingkungan, toksisitasnya rendah dan relatif aman pada manusia, tidak meracuni dan merusak tanaman, tidak menyebabkan resistensi pada
hama, dan menghemat biaya produksi dan mudah dibuat sendiri oleh petani.
Kekurangan menggunakan kulit bawang merah sebagai pestisida alami adalah
kapasitas produksinya rendah, belum banyak dibudidayakan,
dan kurang praktis.
4. DAFTAR RUJUKANAditya, P. 2010. Bercocok Tanam. Jakarta: Erlangga.
Fatmah, W. 2005. Manfaat Umbi dan Tanaman Jagung. Jakarta: PT Pustaka.
Motoyuki T, Kaoru K, Hironori N, Akira T, Hajime I & Hideto M. 2000. Definition of crucial structural factors of acetogenins, potent inhibitors of mitochondrial complex I. Biochim Biophys Acta, 10(1) :1460.
Nurwansyah. 2010. Flora dan Fauna. Surabaya: Erlangga.
Plantus, S. 2008. Kamus Lengkap Kimia. Jakarta: PT Pustaka.
Reddy, B.K., M. Balaji, P.U. Reddy, G. Salaja, K. Vaidyanath & G. Narasimha. 2009. Antifeedant and antimicrobial activity of Tylophora indica. African Journal of Biochemistry Research, 3(12):393-397.
Rizal, E. 2008. Membasmi Hama. Jakarta: Erlangga.
Sudarmo, S. 2005. Pestisida Nabati : Pembuatan dan Pemanfaatannya. Yogyakarta: Kanisius.
Surapraja, A. 2010. Kamus Lengkap Biologi. Surabaya: PT Pustaka.
Tohir, A. 2010. Teknik Ekstraksi dan Aplikasi Beberapa Pestisida Nabati untuk Menurunkan Palatabilitas Ulat Grayak (Spodoptera litura Fabr.) di Laboratorium. Buletin Teknik Pertanian, Vol 15(1): 37-40.
Zulkarnaen. 2010. Pestisida Alami Pembasmi Hama. Surabaya: PT Pustaka.