makalah
DESCRIPTION
down syndromeTRANSCRIPT
Sindrom Down
Nurul Faizatul Amira Bt Ab Mutalib (102009298)
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Alamat korespondensi: Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana Jl. Terusan Arjuna No.6 Jakarta 11510
Pendahuluan
Anak dengan sindrom Down adalah individu yang dapat dikenali dari
fenotipnya dan mempunyai kecerdasan yang terbatas, yang terjadi akibat adanya
jumlah kromosom 21 yang berlebih. Dulu, sindrom ini disebut juga sebagai
“Mongoloid” karena matanya yang khas seperti bangsa mongol. Pada umumnya,
kasus sindrom Down terjadi disebabkan oleh trisomi kromosom 21. Trisomi ini terjadi
akibat proses nondisjunction, translokasi Robertsonian atau bisa juga disebabkan
mosaicism.
Insidens sindrom Down sekitar 1 dari 700 bayi yang dilahirkan hidup. Angka
kejadian sindrom Down berkaitan dengan usia ibu saat kehamilan di mana
insidensnya meningkat seiring dengan pertambahan usia ibu. Diagnosis sindrom
Down berdasarkan atas adanya gejala-gejala klinis yang khas, serta ditunjang oleh
pemeriksaan kromosom. Kadang-kadang diperlukan pemeriksaan radiologi pada
kasus yang tidak khas.
Tiada penatalaksanaan spesifik untuk penyakit sindrom Down itu sendiri. Yang
diobati Cuma simptom-simptomnya. Selain itu, dilakukan juga edukasi kepada orang
tua dengan anak sindrom Down tersebut supaya mereka dapat menerima penyakit
anak mereka. Prognosis bervariasi tergantung kelainan lain yang dialami penderita .
44% kasus dengan sindrom Down hidup sampai 60 tahun, dan 14% sampai umur 68
tahun.
1
Pembahasan
Anamnesis
Kemahiran mengambil anamnesis akan mempermudah menemukan diagnosis.
Pertanyaan penting yang harus ditanyakan adalah:
1. Identitas pasien
Nama lengkap, tempat/tanggal lahir, status perkahwinan,
pekerjaaan, suku bangsa, agama, pendidikan dan alamat tempat
tinggal.
Dari skenario, didapatkan data pasien seperti berikut: bayi laki-laki
berusia 1 tahun.
2. Riwayat penyakit sekarang
a. Keluhan utama
Keluhan pasien dapat berupa:
Mengalami keterlambatan pada kemampuan
kognitif, perkembangan motorik dan bahasa serta
kemampuan sosial.
Sering berdengkur, sulit untuk tidur atau bangun,
sering tidur pada siang hari dan perubahan tingkah
laku.
Penglihatan atau pendengaran kurang baik.1
Pada kasus, pasien tersebut belum dapat duduk dan belum
dapat mengeluarkan kata-kata yang jelas.
b. Keluhan tambahan
Apakah sering muntah? (disebabkan sumbatan pada saluran
semgastrointestinal atau atresia)
2
Apakah sering pengsan, berdebar-debar atau sakit dada?
(adanya lesi pada jantung)
Apakah perutnya membuncit atau sulit untuk buang air
besar? (Hirschprung disease)
Apakah bayi mengalami kesukaran sewaktu menelan liru?
(atresia esofagus)
Apakah ada pembesaran pada kelenjar tiroid?
(hipotiroidime)
Apakah ada simptom-simptom dari ketidakstabilan
antlantoaxial seperti mudah lelah, sakit leher, gerakan
lehernya terbatas/kepalanya selalu senget, sukar berjalan,
perubahan gaya berjalan, kehilangan kekuatan tubuh bagian
atas, hiperrefleksia.1
3. Riwayat penyakit dahulu:
Apakah ada penyakit jantung?
Apakah ada kelainan saluran cerna?
Apakah ada kelainan tulang?
4. Riwayat penyakit keluarga:
Apakah antara ahli keluarga mempunyai keluhan yang serupa?
Wajah bayi tersebut mirip pamannya (kakak dari ibunya) yang
telah meninggal sewaktu usia 3 bulan.
5. Riwayat kehamilan dan persalinan ibu:
a. Usia ibu sewaktu hamil?
b. Penyakit yang didapat atau pemakaian obat sewaktu hamil?
c. Apakah si ibu pernah melahirkan anak dengan sindrom Down
sebelum ini?
3
Pemeriksaan fisik
1. Keadaan umum
tampak sehat, sakit ringan atau berat.
pada kasus, pasien tampak lemah sejak lahir.
2. Pemeriksaan tanda vital
3. Inspeksi
Wajah
i. Wajah penderita sindrom Down sangat khas. Pada penderita ini
akan tampak kepala agak kecil dengan oksipital yang mendatar,
muka lebar, tulang pipi tingggi, hidung lebar dan datar.2
Mata
i. Jarak antara kedua mata lebar, mata sipit miring ke atas dan
samping. Lipatan epikantus jelas sekali.3
Telinga
i. Inspeksi: Daun telinga yang kecil terdapat pada sindrom Down.
Pada kelainan yang disebut low set ear di mana posisi daun
telinga lebih rendah dari normal.3
Mulut
i. Bibir lebar, lidah besar (makroglosia), kasar dan bergaris-garis
seperti skrotum (scrotal tongue).3
ii. Pemeriksaan gigi digunakan untuk mengetahui waktu dan
urutan erupsi, jumlah, karakter, kondisi dan posisi. Perhatikan
abnormalitas posisi gigi.4
4
Anggota gerak
i. Jarak antara jari satu dan dua, baik tangan maupun kaki agak
besar. Pada jari tangan, terdapat kelingking yang pendek dan
membengkok ke dalam.3
ii. Telapak tangan memiliki garis tangan yang khas abnormal,
yaitu hanya mempunyai sebuah garis mendatar saja (simian
crease).2
4. Antropometri
Parameter ukuran antropometrik yang dipakai dalam penilaian pertumbuhan
fisik antara lain:
Pengukuran berat badan
i. Pengukuran ini dilakukan secara teratur untuk memantau
pertumbuhan dan keadaan gizi.
Pengukuran tinggi badan
i. Dilakukan pengukuran panjang badan pada anak sampai usia 2
tahun dengan cara berbaring.
ii. Pengukuran tinggi badan dilakukan pada anak di atas umur 2
tahun dengan cara berdiri.5,6
5. Pemeriksaan fisik jantung
Pemeriksaan fisik pada jantung dilakukan untuk menentukan adanya penyakit
pada kardiovaskuler yang berkaitan dengan keluhan pasien tampak lemah.
Inspeksi
i. Pada inspeksi dilihat apakah denyut apeks atau iktus kordis
dapat terlihat atau tidak. Biasanya sulit dilihat pada bayi dan
anak kecil, kecuali pada anak yang sangat kurus atau bila
terdapat kardiomegali.
5
Palpasi
i. Pemeriksaan palpasi dilakukan untuk menilai teraba tidaknya
iktus, dan apabila teraba dinilai kuat angkat atau tidak,
iramanya regular atau tidak, dan frekuensinya.
ii. Getaran bising (trill) ialah bising jantung yang dapat diraba
dengan palpasi ringan.Getaran bising ini dapat teraba pada fase
sistolik dan diastolik dan dapat teraba apabila terdapat kelainan
pada jantung.
Auskultasi: untuk mendengar apakah ada murmur atau sebarang
kelainan bunyi jantung.
Perkusi: untuk menentukan batas jantung.5
Pemeriksaan penunjang
1. Denver
Pemeriksaan menurut Denver II selalu digunakan. Denver II adalah revisi utama
dari standardisasi ulang dari Denver Development Screening Test (DDST) dan
Revised Denver Developmental Screening Test (DDST-R) adalah salah satu dari
metode skrining terhadap kelainan perkembangan anak. Tes ini bukan tes
diagnostik atau tes IQ. Waktu yang dibutuhkan 15-20 menit.
Adapun tujuan dari DDST II antara lain sebagai berikut :
Mendeteksi dini perekembangan anak.
Menilai dan memantau perkembangan anak sesua usia (0 – 6 tahun)
Salah satu antisipasi bagi orang tua.
Identifikasi perhatian orang tua dan anak tentang perkembangan
Mengajarkan perilaku yang tepat sesuai usia anak
6
Aspek perkembangan yang dinilai ada 4 sektor, yaitu :
Personal Social (perilaku sosial)
Aspek yang berhubungan dengan kemampuan mandiri, bersosialisasi
dan berinteraksi dengan lingkungannya.
Fine Motor Adaptive (gerakan motorik halus)
Aspek yang berhubungan dengan kemampuan anak untuk mengamati
sesuatu, melakukan gerakan yang melibatkan bagian-bagian tubuh
tertentu dan dilakukan otot-otot kecil, tetapi memerlukan koordinasi
yang cermat.
Language (bahasa)
Kemampuan untuk memberikan respons terhadap suara, mengikuti
perintah dan berbicara spontan
Gross motor (gerakan motorik kasar)
Aspek yang berhubungan dengan pergerakan dan sikap tubuh.
Alat yang digunakan adalah :
Alat peraga: benang wol merah, kismis/ manik-manik, peralatan
makan, peralatan gosok gigi, kartu/ permainan ular tangga, pakaian,
buku gambar/ kertas, pensil, kubus warna merah-kuning-hijau-biru,
kertas warna (tergantung usia kronologis anak saat diperiksa).
Lembar formulir DDST II.
Buku petunjuk sebagai referensi yang menjelaskan cara-cara
melakukan tes dan cara penilaiannya.7
Prosedur DDST terdiri dari 2 tahap, yaitu:
Tahap pertama: secara periodik dilakukan pada semua anak yang
berusia:
a. 3-6 bulan
b. 9-12 bulan
c. 18-24 bulan
d. 3 tahun
e. 4 tahun
7
f. 5 tahun
Tahap kedua dilakukan pada mereka yang dicurigai adanya hambatan
perkembangan pada tahap pertama. Kemudian dilanjutkan dengan
evaluasi diagnostik yang lengkap.7
Jika Lulus (Passed = P), gagal (Fail = F), ataukah anak tidak mendapat
kesempatan melakukan tugas (No Opportunity = NO).7
Cara pemeriksaan Denver II
Tetapkan umur kronologis anak, tanyakan tanggal lahir anak yang akan
diperiksa. Gunakan patokan 30 hari untuk satu bulan dan 12 bulan untuk
satu tahun.
Jika dalam perhitungan umur kurang dari 15 hari dibulatkan ke bawah, jika
sama dengan atau lebih dari 15 hari dibulatkan ke atas.
Tarik garis berdasarkan umur kronologis yang memotong garis horisontal
tugas perkembangan pada formulir DDST.
Setelah itu dihitung pada masing-masing sektor, berapa yang P dan berapa
yang F.
Berdasarkan pedoman, hasil tes diklasifikasikan dalam: normal, abnormal,
meragukan dan tidak dapat dites.
a. Abnormal
Bila didapatkan 2 atau lebih keterlambatan, pada 2 sektor atau
lebih.
Bila dalam 1 sektor atau lebih didapatkan 2 atau lebih
keterlambatan Plus 1 sektor atau lebih dengan 1 keterlambatan
dan pada sektor yang sama tersebut tidak ada yang lulus pada
kotak yang berpotongan dengan garis vertikal usia.
b. Meragukan
Bila pada 1 sektor didapatkan 2 keterlambatan atau lebih.
Bila pada 1 sektor atau lebih didapatkan 1 keterlambatan dan
pada sektor yang sama tidak ada yang lulus pada kotak yang
berpotongan dengan garis vertikal usia.
8
c. Tidak dapat dites
Apabila terjadi penolakan yang menyebabkan hasil tes menjadi
abnormal atau meragukan.
d. Normal
Semua yang tidak tercantum dalam kriteria di atas.7
Skrining ulang pada 1 sampai 2 minggu untuk mengesampingkan faktor temporer.
Pada anak-anak yang lahir prematur, usia disesuaikan hanya sampai anak usia 2
tahun. Interpretasi dari nilai Denver II adalah sebaga berikut.
Advanced
Bila anak mampu melaksanakan tugas pada item disebelah kanan garis
umur, lulus kurang dari 25% anak yang lebih tua dari usia tersebut.
Normal
Bila anak gagal/ menolak tugas pada item disebelah kanan garis umur,
lulus/gagal/menolak pada item antara 25-75% (warna putih).
Caution
Tulis C pada sebelah kanan blok, gagal/menolak pada item antara 75-
100% (warna hijau).
Delay
Gagal/menolak item yang ada disebelah kiri dari garis umur.7
9
Figure 1: Perkembangan anak dari lahir smapi usia 1 tahun.
10
2. Pemeriksaan penglihatan dan pendengaran
Tes penglihatan misalnya untuk anak umur kurang dari 3 tahun dengan tes
fiksasi, umur 2 ½ tahun-3 tahun dengan kartu gambar dari Allen dan diatas
umur 3 tahun dengan kartu snellen. Juga diperiksa apakah ada strabismus
dan selanjutnya periksa kornea dan retinanya.
Tes pendengaran dilakukan dengan menggunakan audiometer.7
3. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan kariotipe
Pemeriksaan kariotipe sangat penting untuk memprediksi terjadinya
sindrom Down pada keturunan berikutnya. Pemeriksaan kariotipe ini
membutuhkan waktu 2-3 minggu untuk memeriksa ada atau tidaknya
kromosom 21 yang lebih pada anak tersebut.
Foto 1: Trisomi 21.
FISH (Fluorescence in situ hybridization)
Pemeriksaan ini sangat berguna untuk diagnosis cepat. Pemeriksaan ini
juga sukses untuk pemeriksaan prenatal dan diagnosis pada masa neonatal.
Mosaicism untuk trisomi 21 dijelaskan berhubungan dengan riwayat
keluarga untuk sindrom Down dan juga resiko terkena Alzheimer. Untuk
11
itu indikasi pemeriksaan FISH untuk mosaicism dilakukan pada seseorang
yang mengalami pertumbuhan terlambat dan adanya onset cepat dari
Alzheimer.
Pemeriksaan fungsi tiroid
TSH (thyroid stimulating factor) dan Thyroxine (T4) harus dipastikan
setelah lahir dan diobati.
Pemeriksaan IgG
Penurunan kadar IgG berhubungan dengan infeksi bakteri juga
berhubungan dengan gingivitis dan penyakit periodontal.
Pemeriksaan darah dan sumsum tulang
Anak-anak dengan sindrom Down memiliki peningkatan risiko leukemia,
termasuk leukemia akut dan leukemia lymphoblastic myeloid. Namun,
risiko kanker pada umumnya tidak meningkat karena kecenderungan
berkurang untuk tumor padat.6,8
4. Pemeriksaan radiologi
Cervical radiografi: dilakukan untuk mengukur jarak atlantoaxial.
Pemeriksaan dilakukan pada usia 3 tahun.
Echocardiografi: pemeriksaan ini harus dilakukan pada anak dengan
sindrom Down untuk mengidentifikasi gangguan jantung.8
Working diagnosis
1. Definisi
Anak dengan sindrom Down adalah individu yang dapat dikenali dari fenotipnya
dan mempunyai kecerdasan yang terbatas, yang terjadi akibat adanya jumlah
kromosom 21 yang berlebih. Diperkirakan bahwa materi genetik yang berlebih
12
tersebut terletak pada bagian lengan bawah dari kromosom 21 dan interaksinya
dengan fungsi gen lainnya menghasilkan suatu perubahan homeostasis yang
memungkinkan terjadinya penyimpangan perkembangan fisik dan susunan saraf
pusat. Dulu, sindrom ini disebut juga sebagai “Mongoloid” karena matanya yang
khas seperti bangsa mongol, tetapi sekarang istilah ini digunakan lagi karena dapat
menyinggung perasaaan sesuatu bangsa.7
2. Diagnosis sindrom Down berdasarkan atas adanya gejala-gejala klinis yang khas,
serta ditunjang oleh pemeriksaan kromosom. Kadang-kadang diperlukan
pemeriksaan radiologi pada kasus yang tidak khas. Pada pemeriksaan radiologi,
didapatkan brakisefali, sutura dan fontanela yang lambat menutup. Tulang ileum
dan sayapnya melebar disertai sudut asetabular yang lebih lebar, terdapat pada
87% kasus.
Pemeriksaan kariotiping pada semua penderita sindrom Down adalah untuk
mencari adanya translokasi kromosom. Kalau ada, maka kedua ayah-ibunya harus
diperiksa. Kalau salah satu ayah atau ibunya karier, maka keluarga lainnya juga
perlu diperiksa, hal ini sangat berguna untuk pencegahan. Kemungkinan
terulangnya kejadian sindrom Down yang disebabkan translokasi kromosom
adalah 5-15%, sedangkan kalau trisomi hanya 1%.
Pemeriksaan sindrom Down secara klinis pada bayi seringkali meragukan, maka
pemeriksaan dermatoglifik (sidik jari, telapak tangan dan kaki) pada sindrom
Down menunjukkan adanya gambaran yang khas. Dermatoglifik ini merupakan
cara yang sederhana, mudah dan cepat, serta mempunyai ketepatan yang cukup
tinggi dalam mendiagnosis sindrom Down.7
3. Diagnosis antenatal dilakukan pada ibu hamil yang berumur lebih dari 35 tahun,
atau pada ibu yang sebelumnya pernah melahirkan anak dengan sindrom Down.
a. pemeriksaan cairan amnion atau vili korionik: secepatnya dilakukan pada
kehamilan 3 bulan.
b. kultur jaringan.
c. kariotiping.7
13
Differential diagnosis
1. Retardasi mental
Retardasi mental merupakan bagian dari kategori disabilitas perkembangan
yang luas dan didefinisikan oleh American Association of Mental Deficiency
sebagai kualitas terendah yang signifikan, fungsi intelektual umum yang terjadi
bersamaan dengan defisit perilaku adaptif dan dimanifestasikan selama periode
perkembangan (usia 18 tahun). Perilaku adaptif antara lain, komunikasi,
perawatan diri, bekerja, reakreasi, kesehatan, dankeselamatan anak.
Diagnosis retardasi mental tidak dapat dibuat hanya berdasarkan pada
kemampua nintelektual saja, harus terdapat baik kerusakan intelektual maupun
adaptif (kemandirian individu dan tanggungjawab sosial). Penyebab retardasi
mental adalah kelainan genetik, biokimia, virus, dan perkembangan. Antara lain
dapat berupa infeksi prenatal dan intoksikasi, trauma atau agen fisik (misalnya
kurang oksigen), gangguan metabolik, nutrisi prenatal yang tidak adekuat,
penyakit otak pascanatal makroskopik (misalnya neurofibromatosis atau sklerosis
tuberosa), abnormalitas kromosom, prematuritas, berat badan lahir rendah,
autisme, dan lingkungan yang tidak menguntungkan.
Faktor-faktor terkait pula antara lain adalah gaya hidup ibu (misalnya nutrisi
yang buruk, merokok, dan penyalahgunaan zat), gangguan kromosom (sebagian
besa rberhubungan dengan sindrom Down), gangguan spesifik seperti sindrom
alkohol janin, dan paralisis serebral, mikrosefali, atau spasme infantil.
Tanda dan gejala bervariasi bergantung pada klasifikasi atau derajat retardasi
sama ada ringan, sedang, berat, atau sangat berat.
Ringan (IQ 50-70)
Usia prasekolah: anak sering terlihat tidak mengalami retardasi, tetapi lambat
untuk berjalan, bicara, dan makan sendiri.
Anak usia sekolah: anak dapat memerlukan latihan keterampilan, dan belaja
rmembaca dan berhitung sampai kelas enam dengan kelas pendidikan khusus.
Anak mencapai usia mental 8 sampai 12 tahun.
14
Dewasa: penderita dewasa biasanya dapat mencapai keterampilan vokasional
dansosial. Kadang-kadang pengarahan mungkin diperlukan. Penderita dewasa
mampu melakukan perkawinan, tetapi tidak mengasuh anak.
Sedang (IQ 35-55)
Usia prasekolah: keterlambatan dapat terlihat, terutama tampak jelas pada
kemampuan bicara.
Anak usia sekolah: anak dapat mempelajari komunikasi, perilaku sehat dan
aman yang sederhana, serta keterampilan manual yang sederhana. Penderita
mencapai usia mental 3-7 tahun.
Dewasa: penderita dewasa dapat melakukan tugas-tugas sederhana pada
kondisi yang dimudahkan dan dapat melakukan perjalanan sendiri ke tempat-
tempat yang sudah dikenal. Bantuan dalam perawatan diri biasanya
diperlukan.
Berat (IQ 20-40)
Usia prasekolah: anak menunjukkan keterlambatan motorik yang khas dan
mempunyai sedikit sampai tidak ada keterampilan komunikasi. Anak dapat
berespons terhadap latihan bantuan diri dasar, seperti makan.
Usia sekolah: anak biasanya berjalan dengan disabilitas. Beberapa pengertian
pembicaraan dan respons dapat terlihat jelas. Anak dapat berespons terhadap
latihan yang dibiasakan.
Dewasa; penderita dewasa dapat menyesuaikan diri dengan rutinitas sehari-
hari dan aktivitas yang berulang, tetapi membutuhkan pengarahan dan
pengawasan dalam lingkungan yang dilindungi.
Sangat berat (IQ di bawah 20)
Usia prasekolah: retardasi tampak sangat jelas. Anak mempunyai kapasitas
untuk berfungsi dalam area sensorimotorik, tetapi anak memerlukan
perawatan total.
15
Usia sekolah: terdapat keterlambatan yang jelas pada semua area. Anak
menunjukkan respons emosional dasar dan dapat berespons terhadap latihan
keterampilan menggunakan kaki, tangan, rahang. Anak memerlukan
pengawasan yang ketat dan mempunyai usia mental bayi.
Dewasa: dapat berjalan tetapi membutuhkan perawatan umum yang lengkap.
Penderita akan mempunyai kemampuan bicara primitif. Aktivitas fisik yang
teratur bermanfaat bagi penderita.9
2. Cerebral palsy (CP)
Penyakit ini merupakan ensefalopati statis yang mungkin didefinisikan
sebagai kelainan postur dan gerakan non-progresif, sering disertai dengan epilepsi
dan ketidaknormalan bicara, penglihatan, dan kecerdasan akibat dari cacat atau
lesi otak yangsedang berkembang. Seorang ahli bedah ortopedik bernama Little
telah mengusulkan bahwa penyebab utama meliputi trauma lahir dan asfiksia, juga
prematuritas, dan bahwa perbaikan perawatan obstetrik akan secara bermakna
mengurangi insiden CP.
CP dapat diklasifikasikan dengan gambaran cacat motorik dalam kaitannya
dengan kategori fisiologis, topografis, dan etiologis dan kapasitas fungsional. CP
juga lazim disertai dengan spektrum kecacatan perkembangan, termasuk retardasi
mental, epilepsi, dan kelainan penglihatan, pendengaran, bicara, kognitif, dan
perilaku. Cacat motorik mungkin merupakan masalah anak yang paling ringan.
Bayi yang menderita hemiplegia spastik mengalami penurunan gerakan
spontan pada belahan tubuh yang terkena dan menunjukkan preferensi tangan
pada usia dini. Lengan lebih sering terlibat daripada kaki, dan kesulitan pada
manipulasi tangan nyata pada usia 1 tahun. Berjalan biasanya terlambatsampai 18-
24 bulan, dan gaya berjalan melingkar tampak. Pemeriksaan tungkai dapat
menunjukkan henti pertumbuhan, terutama pada tangan dan kuku ibu jari,
terutama jika lobus parietalis kontralateral abnormal, karena pertumbuhan tungkai
dipengaruhi oleh daerah otak ini. Spastisitas nyata pada tungkai yang terkena,
terutama pergelangan kaki, menyebabkan deformitas equinovarus kaki. Anak
sering berjalan pada hujung jari kaki karena peningkatan tonus dan tungkai atas
yang terkena mendapat postur distonik ketika anak lari. Klonus pergelangan kaki
16
dan tanda Babinski mungkin ada, reflex tendo dalam meningkat; dan kelemahan
tangan dan dorsofleksi kaki nyata. Sekitar sepertiga dengan hemiplegia spastic
menderita gangguan kejang yang biasanya berkembang selama tahun pertama atau
kedua, dan sekitar 25% menderita kelainan kognitif yang termasuk retardasi
mental. CT scan atau MRI dapat memperlihatkan atrofi hemisfer serebri dengan
ventrikel lateral kontralateral dilatasi pada sisi tungkai yang terkena.
Diplegia spastik menunjuk pada spastisitas bilateral kaki. Petunjuk pertama
diplegia spastic sering ditemukan ketika bayi mulai merangkak. Anak ini
menggunakan lengan dalam cara resirokal lebih seperti kemudi (gerakan
merangkak komando) bukannya gerakan merangkak kaki empat normal. Jika
spastisitas berat, pemakaian popok sukar karena adduksi pinggul berlebihan.
Pemeriksaan anak menunjukkan spastisitas pada kaki dengan reflex klonus
pergelangan kaki cepat, dan tanda Babinski bilateral. Bila anak digantung pada
aksila, postur menggunting tungkai bawah dipertahankan. Berjalan sangat
terlambat; kaki tertahan pada posisi equinovarus, dan anak berjalan pada hujung
jari. Diplegia spastik berat ditandai dengan atrofi karena tidak digunakan dan
pertumbuhan tungkai bawah terganggudan dengan pertumbuhan yang tidak
berimbang dengan perkembangan normal tubuhbagian atas. Prognosis untuk
perkembangan intelektual normal adalah sangat baik padapenderita ini, dan
kemungkinan kejang minimal.
Kuadriplegia spastik merupakan bentuk CP yang paling berat karena
gangguan motorik yang mencolok semua tungkai dan hubungan yang tinggi
dengan retardasi mental dan kejang. Kesulitan menelan lazim terjadi karena palsi
supranuklear bulbar dan sering mengarah pada pneumonia aspirasi. Pada autopsi,
substansia alba sentral terganggu oleh daerah degenerasi nekrotik yang dapat
menyatu menjadi rongga kistik. Pemeriksaan neurologis memperlihatkan kenaikan
tonus dan spastisitas pada semua tungkai,menurunnya gerakan spontan, refleks
yang cepat, dan respons ekstensor plantar.Kontraktur fleksi pada lutut dan siku
sering ada pada masa anak akhir. Kecacatan perkembangan yang menyertai,
termasuk kelainan bicara dan penglihatan, terutama lazim pada kelompok anak
ini. Anak dengan kuadriseps spastik sering mempunyai bukti adanyaatetosis dan
dapat diklasifikasikan sebagai CP campuran.
17
CP athetoid relatif jarang, terutama sejak penemuan manajemen
agresif hiperbilirubinemia dan pencegahan kernikterus. Bayi ini secara khas
hipotonik dan memiliki kontrol kepala yang buruk dan kelambanan kepala yang
mencolok. Pemberian makanan mungkin sulit, dan juluran lidah dan air liur
mungkin menonjol. Gerakan atetoid mungkintidak menjadi nyata hingga usia 1
tahun dan cenderung terjadi bersama dengan hipermielinasi ganglia basalis, suatu
fenomena yang disebut status marmoratus. Bicara secara khas terkena karena
keterlibatan gangguan otot-otot orofaring. Kalimat-kalimat tertelan, dan modulasi
suara terganggu. Biasanya, tanda neuron motorik atas tidak ada,kejang tidak
lazim, dan intelek dipertahankan pada kebanyakan penderita.
Bayi pada golongan ini pada usia bulan pertama tampak flasid dan berbaring
seperti kodok terlentang, sehingga tampak seperti kelainan pada ‘lower motor
neuron’. Menjelang umur 1 tahun barulah terjadi perubahan tonus otot dari rendah
hingga tinggi.Bila dibiarkan berbaring tampak flasid dan sikapnya seperti kodok
terlentang, tetapi biladiransang atau mulai diperiksa tonus ototnya berubah
menjadi spastis. Kerusakan biasanyaterletak di batang otak dan disebabkan oleh
asfiksia perinatal atau ikterus. Golongan inimeliputi 10-20% dari kasus palsi
serebral.
Selain itu ada juga kelainan koreo-atetosis yaitu sikap yang abnormal
denganpergerakan yang terjadi dengan sendirinya (involuntary movement). Pada 6
bulan pertama,tampak bayi flasid, tapi sesudah itu barulah muncul kelainan
tersebut. Refleks neonatalmenetap dan tampak adanya perubahan tonus otot.
Dapat timbul juga gejala spastisitas danataksia. Kerusakan terletak di ganglia
basalis dan disebabkan oleh asfiksia berat atau ikteruskern pada masa neonatus.
Ada juga gangguan koordinasi yang disebut ataksia. Biasanya pasien flasid
danmenunjukkan perkembangan motorik yang terlambat. Kehilangan
keseimbangan tampakbila mulai belajar duduk. Mulai berjalan sangat lambat dan
semua pergerakan canggung dankaku. Kerusaka terletak di serebelum. Pasien
cerebral palsy juga didapati mengalami gangguan pendengaran. Gangguan berupa
kelainan neurogen terutama persepsi nada tinggi, sehingga sulit menangkap kata-
kata. Gangguan ini terdapat pada golongan koreo-atetosis.Gangguan bicara juga
terdapat pada pasien cerebral palsy terutama disebabkanoleh gangguan
18
pendengaran atau retardasi mental. Gerakan yang terjadi dengan sendirinyadi bibir
dan lidah menyebabkan sukar mengontrol otot-otot tersebut sehingga anak
sulitmembentuk kata-kata dan sering tampak anak berliur.Gangguan mata
biasanya berupa strabismus konvergen dan kelainan refraksi. Padakeadaan
asfiksia yang berat dapat terjadi katarak. Hampir 25% penderita cerebral
palsymengalami kelainan mata.10
3. Trisomi 18
Sindrom Edward adalah trisomi autosomal yang paling sering selepas
sindrom Down (SD) dengan frekuensi 1:3000 kelahiran. Kebanyakan kasus adalah
bayi post-matur dengan berat badan lahir rendah (BBLR). Kebanyakan balita
lemah dan memiliki kapasitas yangterbatas untuk terus hidup. Untuk trisomi 18
ini, angka kematian bayi memang sangat tinggi, bahkan bisa dibilang
prognosisnya sangat buruk. Median umur untuk terus hidup adalah 3 bulan.
Kadar mortaliti yang tinggi adalah karena malformasi jantung dan ginjal,
kesukaran untuk makan, sepsis dan apnoe oleh karena kelainan susunan saraf
pusat (SSP). Malah, retardasi pertumbuhan dan psikomotor berat turut dilaporkan
pada bayi yang mampu hidup melebihi umur balita. Memiliki anak dengan
kelainan trisomi sebelumnya akan meningkatkan resiko memiliki anak berikutnya
dengan trisomi 18 juga. Yang juga menjadi faktor resiko adalah usia ibu.
Antara gejala Sindrom Down yang turut ada pada Sindrom Edward adalah:
Low-set dan malformasi telinga
Mental deficiency
Pertumbuhan terhambat
Microphthalmia, epicanthal folds, fissure palpebra yang pendek
Kepala kecil
Penyakit jantung congenital terutama defek septal ventrikel dan patent
ductusarteriosus (PDA)
19
Abduksi pinggul yang terbatas.
Gejala lain pada Sindrom Edward.
Rahang kecil : micrognathia
Clenched hands: jari keempat overriding jari tengah; jari kelima,
overriding jari keempat
Crossed legs
Feet with rounded bottom
Berat badan lahir rendah
Tulang tengkorak panjang
Kemampuan menghisap lemah
Kuku tidak tumbuh dengan baik
Undescended testicle
Kelainan bentuk dada (pectus carinatum).11
Etiologi
Pada umumnya, kasus sindrom Down terjadi disebabkan oleh trisomi kromosom 21.
Trisomi ini terjadi akibat proses nondisjunction, translokasi Robertsonian atau bisa
juga disebabkan mosaicism.
Penyebab lain bagi kasus sindrom Down adalah:
Radiasi: radiasi dikatakan merupakan salah satu penyebab terjadinya non-
disjunctional pada sindrom Down ini. Ada studi menyatakan sekitar 30% ibu
yang melahirkan anak dengan sindrom Down, pernah mengalami radiasi di
daerah perut sebelum terjadinya konsepsi.
20
Umur ibu: apabila umur ibu diatas 35 tahun, diperkirakan terdapat perubahan
hormonal yang dapat menyebabkan non-disjunction pada kromosom.
Perubahan endokrin seperti meningkatnya sekresi androgen, menurunnya
kadar hidroepiandosteron, menurunnya konsentrasi estradiol sistemik,
perubahan konsentrasi reseptor hormon, dan peningkatan secara tajam kadar
luteinizing hormon dan follicle stimulating hormon secara tiba-tiba sebelum
dan selama menopause, dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya non-
disjunction.
Umur ayah: penelitian sitogenik pada orang tua dari anak dengan sindrom
Down mendapatkan bahwa 20-30% kasus ekstra kromosom 21 bersumber dari
ayahnya. Tetapi korelasinya tidak setinggi dengan umur ibu.
Autoimun: terutama autoimun tiroid atau penyakit yang dikaitkan dengan
tiroid. Penilitian Fialkow secra konsisten mendapatkan adanya perbedaan
autoantibodi tiroid pada ibu yang melahirkan anak dengan sindrom Down
dengan ibu kontrol yang umurnya sama.
Infeksi.7
Epidemiologi
Insidens sindrom Down sekitar 1 dari 700 bayi yang dilahirkan hidup. Angka
kejadian sindrom Down berkaitan dengan usia ibu saat kehamilan di mana
insidensnya meningkat seiring dengan pertambahan usia ibu.12
Sindrom Down dapat terjadi pada semua ras. Dikatakan bahwa angka
kejadiannya pada bangsa kulit putih lebih tinggi daripada kulit hitam, tetapi perbedaan
ini tidak bermakna. Sedangkan angka kejadian pada berbagai golongan sosial
ekonomi adalah sama.7
21
Figure 2: Angka kejadian sindrom Down berkaitan dengan usia ibu.
Patogenesis
Antara etiologi dari sindrom Down adalah non-disjunction yang menghasilkan
kromosom ekstra (trisomi 21), translokasi Robertsonian dan mosaicism. Non-
disjunction adalah disebabkan kegagalan kromosom untuk berpisah pada meiosis I
(75%) maupun meiosis II. Hal ini menyebabkan kromosom tersebut bermigrasi
bersama-sama dan menghasilkan 1 sel dengan dua kromosom dan 1 sel lagi tidak
mempunyai kromosom. Jika nondisjunction terjadi pada meiosis I, masing-masing
dari salinan berasal dari kromosom yang berbeda; namun jika nondisjunction terjadi
pada meiosis II, masing-masing dari salinan berasal dari kromosom yang sama.13
22
Foto 2:Nondisjunction.
Translokasi merupakan perpindahan kromosom yang terjadi pada badan sel.
Bayi dengan sindrom Down tipe translokasi Robertsonian akan mempunyai 46
kromosom, salah satunya mempunyai badan genetik dari kromosom 14 dan 21.
Sindrom Down tipe translokasi tidak berhubungan dengan usia ibu saat kehamilan,
namun akan meningkatkan risikonya pada orang tua yang merupakan carrier (familial
sindrom Down).13
23
Mosaicism merupakan tipe yang sangat jarang. Pada tipe mosaicism, embrio
memiliki 2 deretan sel dengan kromosom yang berbeda meskipun berasal dari zigot
tunggal yang berbeda yang disebabkan oleh nondisjunction atau lambatnya penyatuan
kromosom pada awal embriogenesis atau pada saat pembelahan sel. Tidak ada
peningkatan risiko pada orang tua dengan autosomal mosaicism untuk melahirkan
anak sindrom Down tipe mosaicism pada kelahiran berikutnya.13
Manifestasi klinis
Bayi dengan sindrom Down dapat memiliki salah satu atau kesemua gambaran
fenotipe seperti berikut:
a. Wajah dan jembatan hidung yang datar, brakisefali (belakang kepala datar).
b. Fissura palpebra yang tertarik ke atas (upslanting), ada lipatan epikantus,
hipoplasia iris (bercak Brushfield).
c. Telinga terlipat atau displastik,kecil dan letaknya rendah (low set ear).
d. Ada kelainan pada gigi, lidah menonjol.
e. Kelebihan kulit di tengkuk dan lehernya pendek.
f. Hiperekstensibilitas sendi, hipotonia otot.
g. Tangan pendek dan gemuk, jari tangan kelima pendek dan melengkung ke
dalam, alur palmar transversal (garis telapak tangan tunggal).
h. Celah lebar antara jari kaki pertama dan kedua (sandal-gap sign).13
Selain itu, bayi dengan sindrom Down juga bisa mengalami masalah kesehatan
seperti:
a. Penyakit jantung kongenital: Atrioventricle septal defect, ventricle septal
defect, patent ductus arteriosus.
24
b. Gastrointestinal anomalies.
c. Keterlambatan perkembangan:
Biasanya sudah tampak pada usia 3-6 bulan. IQ rerata adalah 30-70
dan menurun seiring dengan pertambahan usia.
Pada orang dewasa dengan sindrom Down, derajat retardasi mentalnya
bervariasi, dan banyak pengidap dapat hidup semi-independen.
Hanya sebagian kecil dengan retardasi berat.
d. Retardasi pertumbuhan
Retardasi pertumbuhan linear bersifat moderat. Sebaliknya,
pertambahan berat pada sindrom Down memperlihatkan peningkatan
ringan yang proposional dibandingkan populasi umum.
e. Immunodefisiensi, leukemia.
f. Kemunculan dini penyakit Alzheimer.
g. Hipotiroidisme, diabetes mellitus.
h. Kelainan pendengaran dan penglihatan.13
Penatalaksanaan
1. Farmakologis
Memberikan hormon tiroid pada hipotiroidisme untuk mencegah deteriorasi
intelektual dan meningkatkan kesemua fungsi individu, pencapaian akademik
dan kemampuan bicara.1
2. Non farmakologis
a. Penanganan khusus
25
i. Penyakit jantung bawaan: memerlukan penanganan jangka
panjang oleh ahli jantung anak.
ii. Masalah pendengaran: dilakukan pemeriksaan telinga sejak
awal kehidupannya serta dilakukan tes pendengaran secara
berkala oleh ahli THT.
iii. Masalah penglihatan: perlu evaluasi secara rutin oleh ahli mata.
iv. Nutrisi: beberapa kasus yang disertai dengan kelainan
kongenital berat akan terjadi gangguan pertumbuhan pada masa
bayi. Diperlukan kerjasama ahli gizi.
b. Pendidikan
i. Intervensi dini: mengajari anak agar mampu menolong diri
sendiri, seperti belajar makan, belajar buang air besar atau
kecil, mandi, berpakaian, akan memberi kesempatan anak
untuk belajar mandiri.
ii. Taman bermain/ taman kanak-kanak: anak memperoleh
manfaat berupa peningkatan keterampilan motorik kasar dan
halus melalui bermain dengan temannya. Anak juga dapat
melakukan interaksi sosial dengan temannya. Dengan
memberikan kesempatan bergaul dengan lingkungan di luar
rumah maka memungkinkan anak berpartisipasi dalam dunia
yang lebih luas.
iii. Pendidikan khusus: untuk membantu anak melihat dunia
sebagai tempat yang menarik untuk mengembangkan diri dan
bekerja. Selama dalam pendidikan, anak diajari untuk biasa
bekerja dengan baik dan menjalin hubungan yang baik dengan
teman-temannya. Sehingga anak mengerti mana yang salah dan
mana yang benar, serta bagaimana harus bergaul dengan
masyarakat.7
c. Penyuluhan pada orang tuanya
26
i. Penjelasan pertama harus singkat, oleh karena pada waktu itu
mungkin orang tua masih belum mampu berpikir secara nalar.
Mungkin pada waktu itu, mereka masih dikuasai oleh perasaan
kecewa, sedih atau pun sebagai mekanisme pembelaan dapat
saja mereka bereaksi berupa harapan, tidak mau menerima atau
menolak. dokter harus menjelaskan bahwa anak sindrom Down
mempunyai hak yang sama dengan anak yang normal, serta
pentingnya kasih sayang dan pengasuhan orang tua.
ii. Pertemuan lanjutan untuk memberikan penjelasan lebih
lengkap. Harus diberitahu apa itu sindrom Down, karakteristik
fisik yang diketemukan dan antisipasi masalah tumbuh
kembangnya. Orang tua juga harus diberitahu bahwa fungsi
motorik, perkembangan mental dan bahasa biasanya terlambat
pada sindrom Down. Selain itu, harus menjelaskan secara
sederhana tentang hasil analisa kromosom jika ada.
iii. Melibatkan orang tua lain yang juga mempunyai anak dengan
sindrom Down, agar dapat berbincang mengenai pengalaman
dari orang yang senasib. Hal ini biasanya dapat menolong
secara efektif sehingga orang tua akan lebih tegar dalam
menghadapi kenyataan yang dihadapinya dan menerima
anaknya sebagaimana adanya.7
Komplikasi
Komplikasi yang mungkin terjadi meliputi:
a. Sumbatan jalan nafas ketika tidur
b. Kompresi pada saraf tunjang
c. Endokarditis
d. Infeksi terutama pada telinga
e. Kehilangan pendengaran
27
f. Sumbatan saluran gastrointestinal.1
Prognosis
1. Prognosis bervariasi tergantung kelainan lain yang dialami penderita . 44%
kasus dengan sindrom Down hidup sampai 60 tahun, dan 14% sampai umur
68 tahun.
2. Kira-kira separuh daripada kanak-kanak dengan sindrom Down dilahirkan
dengan masalah jantung, termasuk atrium kecacatan septal, kecacatan
ventrikel septal di mana dapat menyebabkan 80% kematian. Kematian akibat
penyakit jantung bawaan ini terjadi pada satu tahun pertama kehidupan.
3. Orang dengan sindrom Down mempunyai risiko yang meningkat untuk
beberapa jenis leukemia, yang juga boleh menyebabkan kematian awal.1
Pencegahan
Tindakan pencegahan sindrom Down dapat berupa:
1. Perbaikan gizi
Studi baru-baru ini menunjukkan bahwa beberapa wanita yang telah
melahirkan seorang bayi dengan sindrom Down memiliki kelainan
pada bagaimana metabolisme tubuh mereka (proses) vitamin B asam
folat.
Jika benar, temuan ini dapat memberikan alasan lain mengapa semua
wanita yang mungkin hamil harus diberi multivitamin harian yang
mengandung 400 mikrogram asamfolat (yang telah terbukti
mengurangi risiko cacat lahir tertentu dari otak dan sumsum tulang
belakang).
2. Pemeriksaan kromosom
28
Pemeriksaan kromosom dilakukan melalui amniocentesis bagi para ibu
hamil terutama pada bulan-bulan awal kehamilan (lebih dari 3 bulan).
Terlebih lagi ibu hamil yang pernahmempunyai anak dengan Down
syndrome atau mereka yang hamil di atasusia 35 tahun harus dengan
hati-hati dalam memantau perkembangan janinnya karena mereka
memiliki resiko melahirkan anak dengan Down syndrome lebih tinggi.
3. Konseling genetik
Jangan mengandung jika usia melebihi 35 tahun: menghindari
terjadinya trisomi 21 tipe komplit dan trisomi 21 tipe mosaik.
Jangan punya anak lagi: untuk menghindari trisomi 21 tipe translokasi.
Abortus medicinalis: untuk bayi dengan trisomi 21 dalam kandungan.14
Kesimpulan
Pada kasus yang diberikan, seorang anak laki-laki berusia 1 tahun datang dengan
keluhan belum dapat duduk dan belum dapat mengeluarkan kata-kata dengan jelas..
Anak tampak lemah sejak lahir, mata sipit dan garis mata miring ke atas, telinga kecil,
bulat dan letaknya rendah. wajahnya mirip almarhum pamannya yang telah meninggal
dunia waktu berumur 3 bulan.
Kelompok kami telah menduga pasien tersebut menderita sindrom Down. Pasien
tersebut telah mengalami keterlambatan perkembangan di mana anak seusianya
seharusnya sudah bisa duduk sendiri dan berkata-kata berdasarkan pemeriksaan
Denver. Keterlembatan perkembangan bisa disebabkan oleh sindrom Down itu
sendiri. Selain itu, bayi tersebut memiliki gambaran khas sindrom Down yaitu mata
sipit dan fissura palpebra tertarik ke atas serta telinganya kecil, bulat dan letaknya
rendah. Kemungkinan pamannya juga menderita sindrom down karena semua
penderita sindrom memiliki wajah yang sama.
29
Daftar pustaka
1. Chen H. Down syndrome. 2012. Diunduh dari: http://emedicine.medscape.com/
article/ 943216-overview, 16 September 2012.
2. Suryo. Genetika manusia. Yogyakarta: Gajah Mada Press; 2003.h. 259.
3. Genetika, sindrom Down. Diunduh dari: http://file.upi.edu/Direktori/FIP/JUR._
PEND._LUAR_BIASA /197511182005012-RIKSMA_NURAHMI_RINALTI_
A/ Genetika,Sindroma_Down.pdf, 17 September 2012.
4. Bickley LS. Buku saku pemeriksaan fisik dan riwayat kesehatan bates. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran ECG; 2008.h.311
5. Latief A, Tumbuleka AR, Matondang CS, Chair I, Bisanto J, Abdoerrachman
MH, et al. Diagnosis fisis pada anak. Jakarta: CV sagung Setio; 2009.
6. Kenneth JL. Cunningham FG, Noeman FG, James MA, Steven LB, Brian MC, et
al. Skrining pada cacat neural tube dan sindrom Down. Williams Manual of
Obstetrics. Edisi 21. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran ECG; 2004.h.91
7. Soetjiningsih. Tumbuh kembang anak. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran
ECG.h.211-20
8. Wong LD. Buku ajar keperawatan pediatrik. Edisi 6. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran ECG; 2002. h. 713-4.
9. Mary EM. Retardasi mental. Lippincott’s Pediatric. Edisi 3. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran ECG; 2001.h.84-91.
10. Hassan R, Alatas H. Cerebral palsy. Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak. Jilid 2. h.
884-8.
11. Chen H. Trisomy 18. 2001. Diunduh dari: http://emedicine.medscape.com/article/
943463- overview#a0199, 17 September 2012.
12. Down syndrome at a glance. 2012. Diunduh dari:
http:// www.gemssforschools .org/Libraries/PDFs_for_printing/Printable_DS_final
_8_7_12.sflb.ashx, 17 September 2012.
13. McPhee SJ, Ganong WF. Pathophysiology of disease: an introduction to clinical
medicine. 5th ed. McGraw-Hill Companies;2006.p.26-8.
30
14. Selikwitz, Mark. Mengenal sindrom Down. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran
ECG; 2001.
31