majalah lintas timur (edisi i)

20
Edisi Mei - Juni 2013

Upload: kris-bheda-somerpes

Post on 26-Oct-2015

130 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

Manggarai Barat menyimpan-sembulkan potensi kekayaan darat dan laut yang mengagumkan.Di atas luas wilayah daratan mencapai 2.947,50 km2 tersimpan kehidupan-kesuburan dan di kedalaman wilayah lautan yang luasnya mencapai 6.052,50 km2 ini merefleksikan kehidupan dan keindahan yang luar biasa. Di darat, Manggarai Barat berkelimpahan pangan yang tumbuh-cungul dari kantong-kantong produksi seperti Terang dan apalagi Lembor, yang pada masa silam pernah membuat harum nama Nusa Tenggara.Di laut pun Manggarai Barat berjaya. Tidak hanya produksi ikan yang melimpah, tetapi keindahan terumbu karangnya, kecantikan pasir pesisir, genit selat dan angkuh tanjungnya menyita pandang ribuan wisatawan. Dari laut tidak hanya rupiah berbunga, dolar pun berbuah. Namun, ada sisi gelap dalam silau keluarbiasaan itu. Bahwa masyarakat tepi barat Flores yang mayoritas petani ini kadang mendedangkan balada tentang nasib mereka yang antara miskin dan dimiskinkan sulit dipilah.Menyoal nasib petani yang nyaris terlempar dari pusaran pasar pariwisata yang kian hari kian menggoda, Redaksi lintas timur : Cypri Jehan Paju Dale, John Pluto Sinulingga, Kris Bheda Somerpes menurunkan laporan khusus perihal itu.

TRANSCRIPT

Page 1: Majalah Lintas Timur (Edisi I)

Edisi Mei - Juni 2013

Page 2: Majalah Lintas Timur (Edisi I)

lintas timur, selain sebagai media ‘baku bagi cerita-baku

tukar informasi‘ juga menjadi medium alternatif dalam

upaya mendorong perubahan, mewujudkan per-damaian dan keadilan soaial.

Sebagai medium untuk itu, bulletin dua bulanan ini

mengusung dua pilar penting dalam pemberitaannya. Pertama adalah jurnalisme ‘Baku Peduli‘ (peace and justice journalism/jurnalisme yang adil dan damai). Kedua, lantaran ditulis-sarikan dari fakta oleh warga,

dan untuk warga (jurnalisme warga) maka lintas timur pun mengusung jurnalisme publik/warga.

Untuk dua tujuan di atas Redaksi lintas timur dengan

senang hati menerima tulisan, baik dalam bentuk

kolom, opini maupun kisah. Pun dengan lapang mene-rima kritikan dan masukan. Salam

Divisi Pendidikan Budaya dan Komunikasi Publik SUN-

SPIRIT For Justice and Peace

Pembina:

Penanggung Jawab:

Pemimpin Redaksi:

Redaksi :

Sekretariat:

Desain/Layout:

Pencetak:

Saver Adir, OFM

Cypri Jehan Paju Dale

Ryan Nuhan

Kris Bheda Somerpes

John Pluto Sinulingga

Ney Dinan

Sonia dos Santos

Yanti Lawa

Kris Bheda Somerpes

Pascal Bataona

Diterbitkan Oleh:

Didukung Oleh:

Alamat Redaksi:

Baku Peduli Centre, Jl. Trans Flores km. 5, Watu

Langkas, Desa Nggorang, Kec. Komodo, Kab. Mang-garai Barat, Labuan Bangsa-Bangsa, Nusa Tenggara

Email:

[email protected]

Website:

www.sunspiritforjusticeandpeace.org

DAFTAR ISI

Laporan Utama: Menyoal Keanehan di “NEGERI KEAJAIBAN DUNIA”

Hal. 2-9

Opini: SISI KEJAM PEMBANGUNAN

Hal. 10

Narasi Dua Wacana: MEND-EDAH KEWARGANEGARAAN

Hal. 12

Ragam: GERAKAN PEREMPUAN MANGGARAI BARAT.

NASAI NARAN.

Melo, Kampung Istimewa Tanpa Lis-trik.

PIL ORGANIK.

Kisah Mama Beth.

Tatap Buram MATA MANUK.

Hal. 14-16

Kisah: REFLEKSI DARI GARIS ZONASI, Narasi Perlawanan Masyarakat Kawasan Taman Na-sional Komodo

Hal. 18

Galeri: LABOEAN BADJO Tempo Doeloe

Hal. 19

2 Edisi Mei-Juni 2013

Page 3: Majalah Lintas Timur (Edisi I)

Narasi Nasib Petani dan Refleksi Kritis tentang Kebijakan Pembangunan Pertanian

M anggarai Barat menyimpan-sembulkan potensi kekayaan darat dan laut yang mengagumkan.

Di atas luas wilayah daratan mencapai 2.947,50 km2 tersimpan kehidupan-kesuburan dan di kedalaman wilayah lautan yang luasnya mencapai 6.052,50 km2 ini merefleksikan kehidu-pan dan keindahan yang luar biasa.

Di darat, Manggarai Barat berkelimpahan pangan yang tumbuh-cungul dari kantong-kantong pro-duksi seperti Terang dan apalagi Lembor, yang pada masa silam pernah membuat harum nama Nusa Tenggara.

Di laut pun Manggarai Barat berjaya. Tidak hanya produksi ikan yang melimpah, tetapi keindahan terumbu karangnya, kecantikan pasir pesisir, genit selat dan angkuh tanjungnya menyita pandang ribuan wisatawan. Dari laut tidak hanya rupiah berbunga, dolar pun berbuah.

Namun, ada sisi gelap dalam silau keluarbiasaan itu. Bahwa masyarakat tepi barat Flores yang mayoritas petani ini kadang mendedangkan balada

tentang nasib mereka yang antara miskin dan di-miskinkan sulit dipilah.

Menyoal nasib petani yang nyaris terlempar dari pusaran pasar pariwisata yang kian hari kian

menggoda, Redaksi lintas timur : Cypri Jehan Pa-

ju Dale, John Pluto Sinulingga, Kris Bheda Somerpes menurunkan laporan khusus perihal itu.

Solusi Percepatan Pembangunan Ekonomi Pertanian, Sebuah Tawa-ran…

Peta Potensi Ekonomi Rakyat MANGGARAI BARAT...

Ironi Pembangunan dalam Enam Soal…

3 Edisi Mei-Juni 2013

Page 4: Majalah Lintas Timur (Edisi I)

S elain pengembangan sektor pariwisata, sektor ekonomi (kreatif) secara khusus pengemban-

gan ekonomi pertanian (pangan) merupakan potensi ekonomi utama Manggarai Barat. Dua sek-

tor ini (selain sektor budaya, hukum, kesejahteraan

sosial, keamanan dan pemerintahan/birokrasi) seja-tinya sudah tertuang dalam Rencana Pembangunan

Jangka Menengah Kabupaten Manggarai Barat (2011-2015) sebagai Prioritas Pembangunan.

Di sana disebutkan Pertama, Pariwisata diharap-kan menjadi sektor unggulan/utama (leading sec-

tor) penggerak ekonomi Kabupaten Manggarai Ba-rat sekaligus pilar Pendapatan Asli Daerah (PAD),

melalui sebagai berikut : 1) meningkatkan jumlah objek wisata pantai (wisata bahari) sebagai potensi

wisata andalan dengan meningkatkan minat inves-tor baik investor lokal, dalam negeri maupun asing,

2) meningkatkan minat masyarakat terhadap objek

wisata heritage atau objek wisata yang memiliki kekhususan tertentu seperti objek wisata komodo

dengan promosi wisata dan nilai tambah objek wi-sata, 3) menjaga kelestarian objek wisata dengan

mengembangkan ekowisata, agrowisata, wisata kuliner dan objek wisata budaya lokal, 4) memban-

gun dan memelihara infrastruktur penunjang pen-gembangan pariwisata seperti prasarana jalan me-

nuju objek wisata, sarana kebersihan lingkungan

seperti tempat-tempat pembuangan sampah, sara-na pengangkutan sampah dan drainase yang baik

sehingga tercipta suasana lingkungan yang indah, bersih dan sehat.

kedua, dalam bidang ekonomi beberapa rencana prioritas pembangunan yang harus dilakukan ada-

lah 1) memperkuat ketahanan pangan melalui inte-sifikasi dan ekstensifikasi serta mendirikan lumbung

desa. 2) membangun perkebunan yang berorientasi 5W+1P : wanjing (buka lahan), weri (tanam). We‘ang (bersih rumput), wela (berbunga), wua (berbuah), agu pika (jual). 3) membangun sistem pertanian terpadu, 4) melestarikan hutan melalui

konservasi, reboisasi dan terasering, 5) mengorntrol perdagangan melalui pengendalian harga dan me-

lindungi pengusaha kecil dan koperasi, 6) memban-gun perikanan tambak dengan teknologi tepat gu-

na, 7) pengelolaan potensi pertambangan ( ???) dilandasi kelestarian lingkungan hidup dan azas

manfaat.

Tujuan utama dari pengembangan sektor-sektor di

atas dengan pariwisata sebagai kepala gerbongnya adalah untuk mewujudkan Kabupaten Manggarai

Barat yang sejahtera melalui optimalisasi peman-

faatan potensi daerah yang berbasis masyarakat dan berwawasan lingkungan.

4 Edisi Mei-Juni 2013 4 Edisi Mei-Juni 2013

Page 5: Majalah Lintas Timur (Edisi I)

Catatan awal di atas, dari barisan pen-gambangan sektor dengan pariwisata

sebagai leading sector diikuti sektor-sektor penunjang lainnya yang juga po-

tensial, yang diharapkan dapat mendo-

rong terwujudnya Manggarai Barat yang sejahtera sebenarnya bukan joak, se-

ruan omong kosong, apalagi tidak ber-dasar. Sebab sesungguhnya Manggarai

Barat menyimpan-sembulkan potensi-potensi untuk mewujudkan semuanya

itu.

Di atas luas wilayah daratan sebesar

2.947,50 km2 tersimpan kehidupan-kesuburan dan di kedalaman wilayah

lautan yang luasnya 6.052,50 km2 ini sesungguhnya memendar kehidupan

dan keindahan yang luar biasa.

Dari sisi pariwisata sebenarnya kita

cukup diri untuk mengisahkannya lagi, lantaran sebagai salah satu kabupaten

kepulauan di NTT dengan kemajemukan

penduduknya, keindahan lautnya, keelo-kan ikan dan terumbu karang, kecanti-

kan pasir pesisir, kemegahan bukitnya, kesunyian hutannya, kekhasan kebia-

saan dan budayanya, keheningan gua-guanya, pun keajaiban binatang

(komodo), Manggarai Barat adalah anu-gerah Tuhan paling indah.

Demikian halnya dengan lingkup perta-nian. Manggarai Barat memiliki lingkun-

gan alam yang subur dan masih lestari untuk usaha pertanian. Di atas kurang

lebih 14.672 ha yang diperuntukkan

bagi pengembangan persawahan terma-suk di Lembor, Terang dan Walang-

Nggorang sebenarnya Manggarai Barat cukup mampu untuk memenuhi kebutu-

han beras sendiri. Belum lagi terhitung luasan lahan keringnya. Di atas luas

lahan kering yang mencapai 72.945 ha, Manggarai Barat adalah juga daerah

yang sangat potensial untuk mengem-

bangkan komoditi perkebunan, hortikul-tura dan komoditi pangan semusim.

Potensi lain yang juga menjanjikan

adalah tumbuhnya bidang pariwisata,

yang pada saat yang sama terbuka pe-luang baru bagi pasar produk pertanian

dan industry ekonomi kreatif. Daya tarik Taman Nasional Komodo sebagai salah

satu keajaiban dunia baru, ditambah dengan potensi pariwisata alam dan

budaya, puluhan ribu turis local dan manca-negara datang mengunjungi

daerah ini. Selain sajian pangan local

hasil industry ekonomi kreatif, tum-buhnya hotel dan restoran menciptakan

peluang bagi pasar produk pertanian.

5 Edisi Mei-Juni 2013

Tujuan utama dari pen-gembangan sektor-sektor di atas dengan pariwisata sebagai kepala gerbon-gnya adalah untuk me-wujudkan Kabupaten Manggarai Barat yang se-jahtera melalui optimali-sasi pemanfaatan potensi daerah yang berbasis ma-syarakat dan berwawasan lingkungan.

5 Edisi Mei-Juni 2013

Page 6: Majalah Lintas Timur (Edisi I)

N amun ironisnya potensi-potensi di atas justru tidak dikelola secara

maksimal, bahkan berbanding terbalik dengan ekspektasi pembangunan yang diharapkan. Tidak hanya pemba-gunan pariwisata yang nyaris tidak bersa-sar pada pelibatan masyarakat lokal apalagi manfaat yang mereka dapatkan, pembangunan pertanian dan ekonomi kreatif yang sejatinya menjadi ‗‘pekerjaan utama‘‘ mayoritas penduduk Manggarai Barat justru tidak digarap maksimal.

Pembangunan ekonomi kreatif misalnya, tercatat diperkirakan ada kurang lebih 3000-an penenun terampil di Manggarai Raya (yang tersebar di Cibal, Todo, Lambaleda dan Kempo). Ada lebih dari 20 Art Shop di Labuan Bajo, termasuk yang ada di hotel berbintang. Namun produk mereka sebagian besar datang dari Bali

atau Lombok. Dan sayangnya, produk tenun NTT apalagi Manggarai masih

berupa kain lembar biasa, belum menjadi barang siap jadi atau yang diolah menjadi varian jenis guna yang lain. Kalaupun ada, itu bukan inisiatif dan terobosan yang dilakukan komunitas penenun itu sendiri. Tidak hanya itu, kami juga menemukan tidak ada pusat ekonomi kreatif milik masyarakat hal ini diperparah dengan program-program pemberdayaan yang menyentuh pembangunan ekonomi kreatif cenderung berjangka pendek.

Ironi yang sama dan yang paling ‗aneh di negeri keajaiban dunia ini‘ adalah bahwa produk-produk pertanian seperti Sayur dan buah-buahan bahkan bumbu dapur datang dari Bima, Makasar, Bali, bahkan Surabaya. Padahal kita memiliki

lahan yang subur, dan sebagian besar penduduk Manggarai Barat adalah

petani. Kantong-kantong produksi pangan dibiarkan nyenyak tertidur (lahan tidur) parahnya lagi para pemilik tanah begitu mudah untuk menggadai dan atau menjual tanahnya untuk para pemilik modal yang peruntukannya tidak berkaitan dengan pengambangan pertanian.

Jadi, ada kesan kita gagal memanfaatkan peluang pertanian dari sektor pariwisata dan dari pasar konsumsi lokal. Ada kesan pula, fungsi control yang diturunkan dalam dan melalui kebijakan-kebijakan pemerintah tidak berjalan, tepatnya tidak berpihak pada pembangunan ekonomi pertanian masyarakat lokal.

Lancarnya kapal ferry dan pesawat setiap hari menyebabkan produk dari luar dengan mudah sampai ke kota-kota utama di Manggarai, terutama Labuan Bajo, dibandingkan dengan produk-produk petani di desa-desa dan di kantong-kantong produksi pertanian seperti Terang, Macang Pacar, Kuwus dan Tentang.

6 Edisi Juli-Agustus 2013 6 Edisi Mei-Juni 2013 6 Edisi Mei-Juni 2013

Page 7: Majalah Lintas Timur (Edisi I)

Pertanyaan Kita, Mengapa Itu Bisa Terjadi?

Kami menemukan enam persoalan utama yang menjadi sebab dari ‗kekalahan‘ Petani (termasuk nelayan dan Pengrajin Lokal) kita di tengah pusaran arus pariwisata itu. Yakni:

Terkait kebijakan pembangunan infras-

truktur transportasi

Kendati infransturktur transportasi di Mang-garai Barat relative baik dan terus mengalami peningkatan selama beberapa tahun terakhir, namun polanya menunjukkan bahwa pem-bangunan infrastruktur lebih melayani kepen-tingan turisme dan perdagangan dibanding-kan dengan menjawab kepentingan petani dan masyarakat pedesaan.

Di Manggarai Barat misalnya dibangun pela-buhan kapal dan fery serta pelabuhan pariwi-sata serta bandara dengan kualitas baik, namun jalan-jalan ke desa-desa masih sama buruknya dengan keadaan 5-10 tahun lalu. Tahun 2013, ruang tunggu di Bandara Komo-do menghabiskan anggaran 35 milyard ru-piah, dan dalam rangka Sail Komodo juga akan dibangun dermaga apung untuk pariwi-sata dengan anggaran yang kurang-lebih sama. Ironisnya, selain jalan Negara trans-Flores, jalan-jalan yang menghubungkan kecamatan-kecamatan di daerah ini hanya diperbaiki dengan anggaran minim tidak le-bih dari satu milyard rupiah.

Jelas, dermaga, bandara, dan jalan trans-flores ini bermanfaat untuk turisme dan per-dagangan (pasokan barang pedagang besar dari Jawa), sementara jalan pedesaan yang menyangkut kepentingan petani justru tidak dibangun. Lancarnya kapal ferry dan pesawat setiap hari menyebabkan produk dari luar dengan mudah sampai ke kota-kota utama di Manggarai, terutama Labuan Bajo, diban-dingkan dengan produk-produk petani di desa-desa dan di kantong-kantong produksi

pertanian seperti Terang, Macang Pacar, Tentang dll.

Alokasi APBD untuk sector pertanian

Kajian APBD menunjukkan bahwa kendati 80-90 % penduduk Manggarai Barat adalah petani, hanya 3-5% APBD dialokasikan untuk Dinas Pertanian. Dana itupun sebagian besar habis untuk gaji dan belanja birokrat. Belanja langsung pun dicaplok birokrat lewat biaya perjalanan dinas, honor tambahan, dan fasili-tas kantor yang terkait proyek. Yang benar-

benar sampai ke masyarakat hanya pemban-gunan proyek fisik dan bantuan proyek pro-gram dengan dana yang sama sekali tidak signifikan. Dengan anggaran kecil yang juga sebagian besar habis untuk kepentingan bi-rokrat, jelas bahwa pembangunan pertanian

di Manggarai Barat ini tidak signifikan, dengan akibat pada kekalahan dan ketak-berdayaan petani.

Persoalan informasi dan pengeta-huan

Ada asimetri informasi antara petani Manggarai dan para pemasok produk dari luar, dan juga gap informasi antara petani dan birokrat dengan pelaku bisnis pariwi-sata. Petani Manggarai tidak memiliki in-formasi tentang produk apa yang dibutuh-kan di pasar umum dan pasar pariwisata, kualitas, kuantitas dan waktunya. Infor-masi yang sama justru dimiliki oleh pema-sok dari luar. Juga tidak ada yang men-jembatani komunikasi antara petani dan pelaku bisnis pariwisata, sehingga tidak terjalin kerja sama.

Soal keterampilan dan pengalaman petani

Mayoritas petani bertani secara kuno, tanpa sentuhan teknik dan teknologi tepat guna, dan tanpa peningkatan kapasitas secara konstruktif. Mayoritas petani juga menanam tanaman yang sudah biasa dibudidayakan, dan jarang sekali ada petani yang menanam produk unggulan yang dibutuhkan pasar dan yang harganya tinggi. Berbagai wawancara kami menemukan bahwa persoalan ini terkait dengan tidak adanya informasi di kalangan petani dan tidak adanya

pengalaman (pembelajaran) untuk menanam produk-produk baru. Sebab lain adalah tidak adanya pusat pelatihan dan

uji-coba tempat dimana petani dapat belajar dan mengasah pengalaman. Program-program pelatihan dari Pemerintah artificial dan tanpa terobosan berorientasi pasar.

Ketergantungan pada imput luar

Ketergantungan petani Manggarai Barat pada input dari luar seperti pupuk dan pestisida kimia, serta tidak tersedianya benih lokal yang bermutu. Hal itu diperparah dengan mulai musnahnya benih-benih local. Input-input kimia bikinan pabrik tidak saja dipromosikan dan diperdagangkan oleh pedagang-pedagang Cina dan jaringan mereka, tetapi juga terdistribusi lewat program-program subsidi pemerintah. Benih-benih yang dijual umum pun memiliki kualitas rendah (tidak tumbuh), tanpa control pemerintah, dan tak ada mekanisme complain dan ganti rugi petani. Persoalan ini menempatkan petani pada posisi rentan.

Lemahnya posisi tawar dan tidak adanya organisasi petani

Petani Manggarai Barat memiliki posisi tawar amat rendah dan tidak memiliki organisasi. Kelompok-kelompok petani yang dibentuk pemerintah umumnya bero-rientasi proyek. Ada proyek, ada kelom-pok. Habis proyek, habis pemberdayaan. Akibatnya tidak hanya hak-hak petani yang tidak diperjuangkan bahkan tertutup

untuk diperjuangkan tetapi juga hasilnya adalah tidak ada hasil.

7 Edisi Juli-Agustus 2013 7 Edisi Mei-Juni 2013 7 Edisi Mei-Juni 2013

Page 8: Majalah Lintas Timur (Edisi I)

Pertanian sekarang ini milik siapa dan siapa yang diuntungkan? Ini sebuah per-tanyaan yang diajukan oleh penulis ketika memfasilitasi pendidikan pertanian berke-lanjutan di Susteran St.Damianus Bi-nongko dengan beberapa petani pada tanggal 24-25 Mei 2013 yang lalu.

Selintas para peserta terdiam, mungkin sedang memilkirkan jawabannya. Namun ketika fasilitator mulai memandu dengan membuat tabel untuk sekedar memband-ingkan pertanian sebelum revolusi hijau dan setelah revolusi hijau mereka mulai memahami arah jawaban pertanyaan di atas.

Tabel di bawah ini merupakan hasil diskusi dari pertanyaan di atas. Dari tabel terse-but kemudian di tarik kesimpulan bahwa

yang diuntungkan dari proses pertanian sekarang ini adalah perusahaan atau pabrik yang memproduksi benih, pupuk dan obat hama tersebut. Selanjutnya yang mendapatkan keuntungan kedua adalah para agen dan toko pertanian yang meru-pakan perpanjangan tangan perusahaan atau pabrik tersebut. Sedangkan pemerin-tah atau lembaga lain juga merupakan perpanjangan tangan dari perusahaan atau pabrik dan terkadang memanfaatkan keberadaan agen dan toko pertanian un-tuk bisa mendapat benih, pupuk dan obat hama yang kemudian diberikan kepada masyarakat petani.

Ujung-ujungnya tetap perusahaan/pabrik dan agen/toko pertanian yang mendapat-kan keuntungan dari transaksi tersebut.

Kemudian dari tabel yang sama disimpul-kan juga bahwa yang bisa melakukan proses bercocok tanam hanya mereka yang mempunyai modal (baca : uang) karena benih, pupuk dan obat hama se-

mua harus dibeli. Mereka yang tidak punya uang hanya menjadi penonton dan menanti kemurahan hati pemerintah dan lembaga tertentu untuk memberikan ban-tuan. Itupun kalau pemerintah atau lem-

baga tersebut mempunyai anggaran untuk itu. Sehingga mau tidak mau petani harus meminjam dari tengkulak/rentenir dengan bunga sangat tinggi tentunya. Sedangkan bank tidak berani meminjamkan modal karena kuatir petani tidak mampu untuk mengembalikannya atau karena tidak seksi untuk ukuran perputaran uang.

Alih-alih kalau tidak bisa meminjam ter-paksa menjual sebagian tanahnya untuk mendapatkan modal taninya. Namun ka-dang kala kebutuhan input pertanian juga semakin mahal dan modal untuk proses bercocok tanam juga semakin tinggi se-hingga tidak mencukupi untuk kebutuhan modal tani dan biaya hidup. Tergadai se-mua tanah dan migrasi ke kota menjadi buruh dan bisa jadi tetap di kampong dan menjadi buruh di tanah yang pernah

mereka miliki. Dan siapa yang membeli tanah mereka, pastinya yang memiliki modal.

Nah, dari kondisi yang di atas apa yang harusnya bisa dibuat? Ini pertanyaan yang sering muncul dan memang selintas mu-dah untuk menjawabnya namun sangat sulit untuk melaksanakannya. Namun yang perlu digarisbawahi adalah semangat dari pertanian berkelanjutnya itu.

Semangat kemandirian dengan meman-

faatkan potensi-potensi yang ada di seki-tar kita (input pertanian local), tanpa lagi harus tergantung dengan pada industry benih, pupuk dan obat hama dan pasar. Semangat untuk memperbaiki ekosistem yang telah rusak. Semangat untuk menghasilkan pangan sehat serta mem-perbaiki pranata social (baca : kearifan local yang pernah ada) serta praktik ber-tani yang lebih berkesetaraan antara laki-laki dan perempuan.

*) John Pluto Sinulingga

D ekade 70-an, Pemerintahan ORBA menggaungkan ‗Revolusi Hijau‘

guna menggejot produksi beras setelah berkenalan dengan International Rice Research Institute (IRRI) yang bermarkas di Filipina. Dari IRRI Pemerintahan ORBA mendapatkan varietas padi baru yang masa panennya terbilang singkat dan memiliki produktivitas lebih tinggi.

Tidak hanya varietas baru yang ditebar di sawah-sawah petani. Pemerintah pun menyuntikan dana yang tidak kalah besar untuk produk pupuk dan pestisida kimia seperti urea, TSP, KCL dan pestisida.

Berbagai jenis benih lokal pun dilarang, kebiasaan bertani alami ditinggalkan. Terkenal pada ketika itu ‗bibit padi ajaib‘ yang hasilnya spektakuler. Disusul benih

unggul produksi IRRI seperti IR36, IR48, IR54, IR64 dll. Benih lokal seperti Woja Laka, Bengawan, Rojolele, Unus, Mentik, Cianjut ditinggalkan.

Hasilnya terbukti, pada tahun 1984/1985 Indonesia mencapai swasembada beras. Indonesia dijadikan role model pertanian bagi negara-negara berkembang. Dan Soeharto pun dianugerahi ‗medali emas‘ Organisasi Pangan Dunia (FAO).

Tahukah anda hasilnya sekarang? Apa dampak dari ‗revolusi hijau‘? Apa dampak dari kebijakan yang tidak berjangka pan-jang?

Sekedar sebagai misal. Lihatlah ham-paran persawahan Lembor, pupuk kimia tidak hanya telah lama mendegradasi tingkat kesuburan tanah, tetapi juga hama jadi pemenang bebas mengisap sari manisnya. Lantaran ekosistemnya telah rusak, rantai makanan terputus.

Pemerintah pun pusing tujuh keliling,

petani pun pening terpelanting. Hinggal muncul beras miskin (raskin). Sebuah jawaban setengah hati untuk negeri yang dibilang agraris.

Itu sudah!

8 Edisi Mei-Juni 2013 8 Edisi Mei-Juni 2013

Page 9: Majalah Lintas Timur (Edisi I)

T erdapat tawaran solusi percepatan perubahan. Solusi yang dimaksud pertama-tama perlu dibaca bukan

sebagai tawaran final, tetapi solusi mentah yang perlu untuk dipertimbangkan bersama-sama.

Perlu adanya pemetaan ulang perihal pusat-pusat produksi pangan. Jika sudah, perlu diberi penguatan-penguatan.

Pada saat yang sama, diharuskan untuk memperkuat produksi lokal: sayuran, buah-buahan, dan industri kreatif.

Perlu adanya pusat-pusat pelatihan sebagai bagian dari upaya penguatan sumber daya manusia masyarakat.

Dukung tumbuhnya pusat-pusat pelatihan. Maksimalisasi fungsi dan tujuan Kantor BPP yang ada di kecamatan-

kecamatan, tidak hanya sebagai pusat pertanian dan kebun

contoh, tetapi juga sebagai medium penguatan peningkatan sumber daya petani. Atau sebagai sentra

koperasi petani, koperasi benih dan pusat pengelolaan pupuk organic, nutrisi, dan pestisida organic.

Pangan lokal jangan dijadikan hanya sekedar sebagai wacana. Pangan lokal harus benar-benar diproduksi oleh

petani-petani lokal, mulai dari penanaman sampai pema-saran harus benar-benar dilakukan secara alamiah/lokal

dan organic. Pada saat yang sama perlu digalakan perta-nian alami/ramah lingkungan.

Bangun jejaring pasar khusus untuk produk lokal. Tawaran menengah dan jangka panjang, manggarai Barat perlu ada

pusat pasar produk pangan lokal dan pusat produk ekonomi kreatif. Tawaran jangka pendek, pemerintah dalam

membangun sinergi dengan pihak swasta dan masyarakat

sipil sudah saatnya menjadi leader dan sentra informasi pasar perihal ini.

Perlu strategi khusus pemerintah. Apapun bentuk

pemberdayaan harus secara sungguh menjawab kebutuhan

dan kepentingan masyarakat, bukan kepentingan proyek, apalagi kepentingan ‗kepentingan‘.

Strategi pemberdayaan harus ‗dipertobatkan‘ bukan hanya

sekedar bentuk kelompok, bagi duit, lalu selanjutnya tanpa

pendampingan lanjutan. Tetapi yang paling penting adalah pendampaingan intensif dan berkelanjutan yang dirancang

secara operasional dan sistematis.

Perlu adanya aksi bersama (multistakeholder) lantaran

sudah saatnya kita bekerja bersama. Pemerintah, swasta, kelompok masyarakat sipil, pun masyarakat itu sendiri

punya kapasitas dan kemampuannya masing-masing, tapi belum maksimal untuk bersinergi. Rancang bangun yang

sinergis tidak hanya dalam tataran wacana tetapi juga dalam rancangan aksi.

Pertemuan Kelompok Tani Anggota Koperasi SUKA DAMAI La-

buan Bajo bersama Pengurus dan Divisi Pertanian SUNSPIRIT

dalam rangka kerjasama penanaman benih padi Woja Laka

Woja Laka yang ditanam di atas lahan Koperasi sudah siap untuk

dipanen dan dipasarkan

Panen Perdana yang dihadiri oleh Pemerintah

STOP KERJA SENDIRI-SENDIRI! Perlu adanya aksi bersama (multistakeholder)

lantaran sudah saatnya kita bekerja bersama. Pemerintah, swasta, koperasi, kelompok masyarakat sipil, pelaku pasar wisata, pun masyarakat itu sendiri punya kapasitas dan kemampuannya masing-masing, tapi belum maksimal untuk

bersinergi.

9 Edisi Mei-Juni 2013 9 Edisi Mei-Juni 2013

Page 10: Majalah Lintas Timur (Edisi I)

K aya atau miskin itu bukan keadaan statis, melainkan sebuah proses. Orang

tidak tiba-tiba menjadi kaya atau t iba - t iba menjad i misk in . Selanjutnya, proses menjadi kaya atau miskin bukan hanya proses ekonomi, sebuah hasil usaha semata; tetapi proses yang kompleks, melibatkan faktor-faktor ekonomi, politik, sosial dan budaya.

Dikayakan oleh Sistem

Menjadi kaya adalah proses. Miliki modal, kuasai alat dan sarana produksi, produksi barang atau jasa, ekploitasi sumber daya, termasuk eksploitasi buruh, akumulasi modal; terus berulang, sehingga kekayaan menggempal. Pemilik modal atau pengusaha, pemodal, atau investor membentuk perusahan atau korporasi.

Namun perlu dicatat bahwa seluruh modal mereka bukan milik mereka sendiri. Kita semua maklum, seringkali kekayaan mereka adalah pinjamam bank, yang berarti juga tabungan masyarakat banyak. Dan soal penguasan sumber daya, alat dan sarana produksi itu juga penting kita lihat dengan kritis.

Para penguasa diuntungkan oleh sistem ekonomi dan politik neolibaral; di mana kekayaan alam yang sesungguhnya milik kolektif masyarakat, dikuasai oleh negara untuk diserahkan kepada para pengusaha itu untuk dieksploitasi. Sebagai misal perusahaan tambang. Pemerintah memberikan Izin Usaha Pertambangan, dan dengan itu mereka menguasai sumber daya tambang, mengeksplorasi dan mengekspolitasinya, membayar

(sedikit) royalti dan pajak ke pemerintah, dan mengambil untung untuk akumulasi modal lebih banyak.

Eksploitasi buruh juga demikian. Investor, penguasaha atau pemilik tidak bekerja seperti para buruh bekerja; sistem kapitalistislah yang bekerja untuk mereka. Dan buruh, dalam sistem itu adalah kaki dan tangan pengusaha untuk menumpuk modal semakin besar. Akrab dalam pengalaman kita bagaimana buruh dibayar tidak layak, tetapi perusahaan terus menumpuk untung. Tetapi eksploitasi tidak hanya bekerja dengan cara kejam seperti itu.

Dalam bahasa Marx eksploitasi itu adalah nilai lebih (surplus value) yang diambil pemilik modal antara nilai pasar/jual dengan nilai produksi. Jadi orang yang menjadi kaya adalah orang yang didukung oleh sistem untuk penguasaan modal, penguasaan alat dan saran produksi, akses eksploitasi sumber daya, akses eksploitasi. Orang kaya adalah mereka yang diuntungkan oleh sistem ekonomi kapitalis.

Eksklusi Sosial

Bagaimana dengan orang miskin? Banyak yang beranggapan bahwa miskin itu sebuah keadaan statis, sebuah nasib, sebuah keterpurukan sejak awal. Namun tidak semua orang miskin itu miskin dengan cara itu. Banyak orang menjadi miskin oleh karena sistem menjadikan mereka miskin atau semakin miskin. Untuk itu kita akan terbantu dengan secara kritis bertanya siapa orang miskin itu, bagaimana mereka menjadi miskin, mengapa mereka miskin, kapan mereka jadi miskin?

Mungkin lebih baik hal ini saya jelaskan dengan contoh konkret. Pemerintah, LSM, dan sejumlah koorporasi mencatat bahwa di Pulau Komodo ada 300 KK miskin (4800 jiwa). Kemudian mereka

*) Cypri Jehan Paju Dale

10 Edisi Mei-Juni 2013

10 Edisi Mei-Juni 2013

Page 11: Majalah Lintas Timur (Edisi I)

dibantu oleh berbagai proyek pemerintah, CSR bank, dan atau sebuah Yayasan. Bumi Manusia Komodo ini, yaitu tanah, air, hutan, padang, pantai, laut, dan segala isinya ditetapkan sebagai Taman Nasional pada tahun 1980, menjadi warisan alam dunia pada tahun 1990 dan pada tahun 2011 menjadi satu dari tujuh keajaiban dunia. Bumi Manusia Komodo ini adalah lahan paling subur proyek-proyek konservasi dan pariwisata. Seluruh pembangunan dan bisnis pariwisata dan konservasi yang ada di Manggarai Barat sekarang ini berdaya tarik utama bumi manusia komodo ini.

Investor-investor pariwisata, besar dan kecil, dalam dan luar negeri, membanjir ke Manggarai Barat. Bisnis pariwisata ini mendatangkan ratusan perusahaan yang mendirikan hotel, resort, biro perjalanan, perusahaan diving, restauran, pesawat, dan seterusnya. Berkisar 50 ribu turis mengunjungi Bumi Manusia Komodo ini setiap tahun, menjadi sumber keuntungan bagi pengusaha bidang pariwisata. Pemeirntah juga kelimpahan proyek, bukan saja proyek Sail Komodo yang pada tahun 2013 ini, tetapi proyek-proyek sebelumnya juga. Apa yang didapat orang komodo? Mereka disebut miskin, dan menjadi sasaran proyek pengentasan kemiskinan. TNK menjadi begitu terkenal di manca negera, menjadi sumber keuntungan, menjadi kebanggaan

Indonesia, tetapi mereka tetap miskin. Ajaib dan aneh sekaligus.

Mengapa orang Komodo miskin dan bagaimana mereka menjadi miskin? Untuk itu kita perlu sebuah kajian perbandingan. Pulau Kelor, pulau Sebayur, pulau Bidadari –yaitu tetangga pulau komodo yang terletak di luar garis batas Taman Nasioanl— ‗dijual‘ oleh sejumlah tokoh masyarakat setempat dengan harga milyaran rupiah kepada investor. Orang Komodo tidak dapat menjual tanah sejengkal pun, karena sejak ditetapkan sebagai Taman Nasional, sekali lagi, sejak ditetapkan sebagai taman Nasional, hak orang Komodo atas tanah sudah dihapus. Tidak ada kepemilikan tanah,

pribadi atau kolektif, legal atau adat, dalam taman nasional. Itu aturan konservasi. Jadi yang membedakan orang tentagga pulau dengan orang komodo adalah bahwa mereka ada dalam garis, tetangga mereka di luar garis. Garis itu sangat menentukan menjadi miskin atau kaya. (Perlu ditegaskan bahwa saya bukan kritikus anti-konservasi. Argumen ini hanya menunjukkan bahwa model konservasi TNK sekarang ini memang bermasalah; dan ada model konservasi lain yang tidak memarginalkan masyarakat pemilik ekosistem).

Tidak berhenti sampai di situ. Di dalam taman nasional juga ada zonase. Dari total 40.728 ha luas daratan dan 132.572

perairan yang menjadi bagian TNK, wilayah yang bisa dimasuki dan dimanfaatkan oleh masyarakat tidak maksimal. Itupun harus dengan izin BTNK. Mereka tidak bisa bebas, karena ada aturan dan polisi, serta petugas BTNK, yang digaji dari uang negara dan disubsidi oleh pebisnis pariwisata dan LSM konservasi yang mengawasi penegakan aturan itu. Sementara bisnis pariwisata dapat dilakukan di hampir semua

area. Sebuah perbadingan yang jauh sekali. Jadi sejak menjadi taman nasional, mereka tidak saja tidak punya tanah sama sekali, tetapi ruang lingkup hidup dan mata pencaharian mereka menjadi sangat terbatas. Manusia Komodo menjadi miskin. Dan bumi mereka menjadi lahan konservasi dan bisnis pariwisata.

Contoh lain adalah derita petani kopi Manggarai, yang oleh karena sistem perdagangan yang tidak adil, tetap terpuruk dalam kemiskinan, sementara para pedagang pengumpul dan eksportir menjadi semakin kaya raya. Sementara infrastruktur perdagangan (seperti jalan utama trans-Flores dan pelabuhan, dan bandara) terus-menerus diperbaiki dengan menyedot anggaran publik yang besar, jalan-jalan desa masih sangat buruk, dengan akibat pada tingginya biaya yang ditanggung petani. Jadi petani di pedesaan menjadi miskin atau tetap miskin bukan karena nasib, tetapi karena sistem perdagangan dan pembangunan infrastruktur yang tidak berpihak kepada perbaikan kesejahteraan mereka.

Mudah-mudahan dari contoh itu menjadi jelas bagaimana proses orang menjadi miskin, dan bagaimana proses itu merupakan komplikasi praktek-praktek politik, ekonomi, sosial, budaya dan hukum, yang bekerja sedemikian rupa sehingga pemodal menguasai ruang dan sumber daya, dan masyarakat setempat dimiskinkan. Para ahli menyebut proses macam ini sebagai ‗ekslusi sosial‘, sebuah proses di mana masyarakat dihempaskan dari proses dan manfaat pembangunan, dan dibatasi akses untuk menguasai, mengelola, dan memanfaatkan potensi-potensi untuk kesejahteraan.

Anda Kaki-tangan Penguasa?

Ke mana arah argumen tulisan ini? Terserah Anda mau ke mana. Kalau Anda elite politik dan ekonomi, atau kalau Anda kaki tangan mereka, atau boleh jadi Anda adalah orang yang sedemikian bebalnya sehingga mau terperdaya dalam tipu-daya mereka, maka Anda akan menganggap paparan kritis seperti ini sebagai angin lalu. Tetapi kalau Anda cukup cerdas, dan nurani

Anda diilhami rasa keadilan, dan jiwa Anda dikobari semangat pembaharuan, barangkali Anda sudah mulai sadar bahwa pembangunan, konservasi, penanaman modal, investasi, pariwisata, pemberdayaan masyarakat, pengentasan kemiskinan, dan barang-barang lain yang sejenis bukanlah konsep dan praktek yang netral dan sepenuhnya baik. Mereka adalah proses dan praktek yang memiliki dua sisi yang kontras: memang menguntungkan bagi segelintir orang, dan kejam bagi sekelompok orang lain. Mereka adalah proses-proses yang memang mendatangkan kekayaan, tetapi hanya bagi segelintir orang. Tetapi bagi banyak orang lain, mereka adalah kisah yang lain sama sekali.

*) Untuk paparan lebih lengkap tentang Paradoks Pembangunan di

Manggarai Raya, baca buku “Keajaiban Dunia, Keanehan Indonesia:

Pembanguna, Keterjajahan, dan Kemiskinan Struktural‖ (Sunspirit

Publisher, 2013)

....Para ahli menyebut proses macam ini sebagai ‘ekslusi sosial‘, sebuah proses di mana masyarakat dihempaskan dari proses dan manfaat pembangunan, dan dibatasi akses untuk menguasai, mengelola, dan memanfaatkan potensi-potensi untuk kesejahteraan...

11 Edisi Mei-Juni 2013 11 Edisi Mei-Juni 2013

Page 12: Majalah Lintas Timur (Edisi I)

Edisi Mei-Juni 2013

Manusia adalah makhluk yang mampu mengenali dirinya sendir i sebagai korban, menyadari kondisi ketertindasannya dan pada akhirnya dia ada bukan untuk mati tetapi untuk emansipasi. Emansipasi bukan harapan tapi fundamen bagi kita untuk terus menjadi manusia yang bersuara lebih kencang dari suatu tirani. Pernyataan Badiou tersebut menjadi titik reflektif bagi kita yang menyebut diri sebagai warga negara, sosok demos dalam demokrasi. Namun apakah warga negara hanya dinarasikan dalam penjelasan demikian? mengapa ketertindasan justru tetap membiak walaupun penegasan sebagai warga negara yang baik selalu disematkan oleh mereka yang berpartisipasi dalam suatu ritual “PIL”=PILPRES, PILKADA, PILEG”? dan mengapa Ketertindasan itu tidak pernah luput dari mereka yang menunggu pemenuhan haknya oleh negara? inilah ambiguitas yang menjadi penjelas bagi kita untuk memahami bahwa bahwa kewarganegaraan adalah penanda tanpa penjelasan tunggal. Atau dalam rumusan lain, menjadi warga negara berarti selalu berada dalam medan diskursif yang khas. Tulisan ini-lebih tepat disebut sketsa-berusaha untuk menjelaskan secara singkat dan padat mengenai wacana kewarganegaraan. Sebagai wacana, mengkaji kewarganegaraan tidak lagi dimulai dengan pertanyaan ontologis, apakah kewarganegaraan itu? Melainkan dipandu dengan aspek epistemologis, yakni, bagaimana kewarganegaraan dikonstruksi menjadi suatu wacana politik yang khas? Menjawab pertanyaan epistemologis tersebut, sketsa ini mencoba menjelaskan dua narasi sekaligus yakni wacana Kewarganegaraan Liberal dan Kewarganegaraan Radikal. Yang pertama merujuk pada wacana hegemonik yang memproduksi dan mereproduksi ketertindasan dan yang kedua Wacana Kewarganegaraan Radikal sebagai arus balik yang membawa harapan bagi suatu transfomrasi politik atau suatu emansipasi yang meluas.

Wacana Kewarganegaraan Liberal: arus utama yang dipertanyakan! Anda mungkin salah satu dari orang yang merasa diri telah menjadi seorang warga negara yang baik saat kelingking anda keluar dari sebotol tinta kecil yang mengukuhkan partisipasi anda dalam suatu sistem demokrasi dan sejak saat itu anda menunggu wakil anda yang telah berkompetisi merebut otoritas publik untuk bekerja dalam rangka pemenuhan hak-hak anda yang telah dirumuskan dalam konstitusi dan hukum yang berlaku.

*) Ignasius Jaques Juru

12

Warga Negara tidak menjadi orang-orang yang karena kepasifannya menjadi mereka yang berada di luar hitungan, tetapi harus menjadi manusia politik yang selalu berada dalam hitungan karena kehadiran mereka sebagai subjek yang berdaya.

12 Edisi Mei-Juni 2013

Page 13: Majalah Lintas Timur (Edisi I)

Edisi Mei-Juni 2013

karena kepasifannya menjadi mereka yang berada di luar hitungan, tetapi harus menjadi manusia politik yang selalu berada dalam hitungan karena kehadiran mereka sebagai subjek yang berdaya. Performativitas sebagai warga negara dimungkinkan oleh adanya urusan bersama (respublica) yang diartikulasikan oleh berbagai identitas politik. Urusan bersama itu merupakan hasil dari identifikasi atau relasi kuasa yang terbentuk antara berbagai elemen warga. Identifikasi atau relasi kuasa yang terbentuk antara berbagai identitas warga bersifat radikal. Keradikalan di sini tidak merujuk pada militansi agen politik yang disebut warga dalam mengartikulasikan hak-haknya tetapi keradikalan menjelaskan kerentanan relasi kuasa berbagai identitas politik warga dalam merumuskan apa itu urusan bersama. Relasi antara warga dalam kewaragenegaraan radikal terbingkai dalam pola solidaristik dan agonistik. Pola solidaristik terbentuk melalui afiliasi warga ke dalam komunitas politik tertentu. Namun afiliasi ini selalu bersamaan dengan hadirnya constitutive outside, yaitu sesuatu yang berada di luar sekaligus menjadi ketidakmungkinan bagi kepenuhan komunitas tersebut. Kondisi ini menyebabkan ruang demokrasi selalu diisi oleh berbagai artikulasi warga yang berelasi secara konfliktual, atau agonistik. Namun yang menjadi proyek besar dari kewarganegaraan radikal ialah bertindak secara hegemonik. Artinya, setiap warga negara harus mampu membangun kekuatan bersama dalam setiap artikulasi politiknya. Seperti yang dijelaskan oleh Howarth dan Stavrakakis, Praktek Hegemoni merupakan aktivitas politik yang mengartikulasi berbagai identitas atau subjektivitas ke dalam proyek bersama (Howarth & Stavrakakis, 2000:14). Atau dalam uraian yang lain, praktek hegemoni ialah suatu artikulasi equivalensi yang membentuk pikiran kolektif dan strategi konstrukstif yang memungkinkan kekuatan demokratik warga negara mampu mendorong transformasi sosial. Proyek ini merupakan agenda yang menemukan makna kontekstualnya dalam sistem yang melanggengkan penindasan, korupsi, elitisme, dsb. Melalui praktek hegemoni, warga negara mampu mendorong transformasi dalam dunia politik yang serba ambigu dan paradoks. Tugasnya adalah membangun tatanan baru yang demokratis dan emansipatif. Seperti yang dikemukakan oleh Laclau, Hegemoni bukanlah tipe artikulasi yang terbatas pada arena politik dalam maknanya yang sempit tetapi juga meliputi konstruksi budaya yang baru dan mempengaruhi manusia pada tataran pembentukan identitas serta relasinya dengan lingkungan atau dunia.

Pikiran dan tindakan anda dalam ilustrasi di atas menjelaskan peristiwa diskursif yakni anda yang terbentuk dalam dan melalui wacana Kewarganegaraan Liberal. Melalui Wacana Kewarganegaraan Liberal, partisipasi anda sebagai warga negara ditekankan pada bingkai prosedural di mana sebagai individu yang memiliki hak, anda berhak untuk dipilih dan memilih dengan tujuan membentuk pemerintahan yang dapat menjamin hak-hak anda sebagai warga negara. Dalam mekanisme tersebut, sebagai warga negara anda memiliki posisi sebagai yang diwakili dan yang mewakili. Sejalan dengan pemahaman di atas Weber mengemukakan bahwa demokrasi selalu mengandung elemen-elemen yang aktif secara politik dan yang pasif secara politik. Mereka yang aktif secara politik adalah orang-orang yang menduduki jabatan publik sedangkan, warga yang pasif adalah mereka yang diwakili. Terhadap mereka yang diwakili inilah kata “keengganan rakyat” disematkan. Reduksi demokrasi menjadi sekadar mekanisme untuk melegitimasi otoritas elit politik juga telah dielaborasi oleh Schumpeter. Dia menyatakan bahwa peran rakyat dalam demokrasi hanya semata-mata melahirkan pemerintah atau dalam istilah dia demokrasi hanya sekadar model pelembagaan politik, atau sering disebut demokrasi prosedural (Dalam Abrahamsen, 2004:114). Konstruksi tersebut melahirkan warga yang pasif secara politik dan juga jebakan elitisme yang pada akhirnya mengokohkan politik tanpa emansipasi dalam wacana kewarganegaraan liberal. Menurut Higley dan Burton dalam bukunya elite fundation on liberal democracy, penggunaan hak suara atau pemilihan oleh warga negara dalam pemilu hanya akan berpengaruh pada political outcome yang bersifat reguler bukan sesuatu yang bersifat substantif (Higley dan Burton, 2006:7). Hal ini mencirikan model partisipasi negatif atau pasif atau dalam istilah Dhakidae warga negara sebagai pelaksana keputusan (Dhakidae, 2003: 227). Alur politik di atas menjadi tempat membiaknya politik yang penuh dengan korupsi, watak penindas dan juga ketertindasan. Warga Negara yang dipasifkan pun dibiarkan tak tentu arah dengan hak-hak konstitusional tanpa artikulasi konkrit dalam aktivitas politik. Di sanalah Kewarganegaraan Liberal memiliki kerentanan mendasar.

Kutub bertentangan: menjadi Warga Negara Radikal Titik pijak Kewarganegaraan Radikal ialah perfomativitas dalam ruang publik. Kewarganegaraan bergeser dari soal status legal dan maksimalisasi kepentingan individu ke arah keagenan yang aktif dari berbagai identitas pada rana publik. Warga Negara tidak menjadi orang-orang yang

13 13 Edisi Mei-Juni 2013

Page 14: Majalah Lintas Timur (Edisi I)

14 Edisi Mei-Juni 2013

S ecara kultural dan struktural, posisi dan peran perempuan dalam ruang

publik di Manggarai Barat, masih terpinggirkan. Dalam kultur Manggarai

misalnya ada ungkapan ata one (orang dalam) untuk menyebut kaum laki-laki dan ata peang (orang luar) untuk menyebut kaum perempuan. Ungkapan ini bias gender dan semakin memperkokoh cengkraman budaya patriarkhi untuk posisi dan peran kaum perempuan di ruang publik. Dalam struktur birokrasi saat ini misalnya, hanya ada satu saja orang perempuan yang menempati posisi eselon dua (itupun mungkin karena mengurusi badan pemberdayaan perempuan) dan puluhan lainnya di eselon tiga dan empat dari hampir ratusan pegawai negeri setingkatnya. Partisipasi perempuan dalam dunia politik apalagi. Untuk periode yang tengah berjalan, tidak ada satupun perempuan duduk di lembaga legislatif daerah dari mayoritas populasi kaum perempuan di Manggarai Barat. Kenyataan ini, sekurang-kurangnya menunjukkan dua hal. Pertama, masyarakat kita masih belum percaya

dengan kapasitas perempuan; bahwa perempuan tidak mampu, hanya sanggup mengurusi urusan rumah tangga (domestik), sehingga tidak diberikan kesempatan dan akses untuk berperan dan terlibat di ruang publik. Hal ini dapat dipandang sebagai kendala eksternal dari partisipasi dan keterlibatan kaum perempuan di ruang publik. Kedua, kendala internal, yang ada dalam diri perempuan sendiri seperti rendahnya

motivasi untuk mengambil peran dan terlibat di ruang publik, minimnya pengetahuan, rasa inferior dan tidak percaya diri dalam menjalankan kehidupan sosial-politiknya di ruang publik. Dua persoalan yang saling berkelindan ini sedang menderah kaum perempuan kita,

dan karenanya mesti ditanggapi. Dan tanggapan selayaknya datang dari kaum perempuan sendiri dalam kerjasama dengan semua pihak yang peduli. Karena

itulah, Sunspirit for Justice and Peace dan LAP Timoris dalam komunikasi dengan beberapa aktor perempuan di Manggarai Barat, mencoba untuk menanggapi fenomena ini dengan mendorong lahirnya gerakan kaum perempuan di Manggarai Barat. Setelah beberapa pertemuan dalam bentuk workshop diselenggarakan, gerakan kaum pertemuan ini berhasil merumuskan: 1) peta persoalan kaum perempuan: persoalan utama, akar persoalan dan dampaknya, 2) visi dan misi gerakan perempuan di Manggarai Barat, 3) program dan agenda perjuangan gerakan perempuan di Manggarai Barat dan 4) Managemen koordinasi gerakan kaum perempuan di Manggarai Barat. Kaum perempuan Manggarai Barat memandang ada tiga persoalan utama yang menderah kaum perempuan Manggarai saat ini yaitu: ketidakberdayaan, ketidakadilan, dan diskriminasi. Ketiganya memiliki akar yang

kemudian melahirkan berbagai akibat/dampak yang ditimbulkan darinya. Dalam gerakan ini mereka merumuskan visi untuk memperjuangkan dan mempromosikan keadilan dan kesetaraan gender di Manggarai Barat. Gender mainstreaming atau pengarus-utamaan gender merupakan suatu strategi yang dibangun untuk mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender di berbagai bidang kehidupan. Caranya adalah dengan mengintegrasikan

gender menjadi satu dimensi integral baik dalam penataan kehidupan pribadi/individu maupun dalam kebijakan dan program pembangunan daerah: mulai dari perencanaan, penyusunan program, proses pengambilan keputusan, sampai dengan pelaksanaan tugas dan fungsi masing-

masing, sehingga dapat mencapai hasil dan dampaknya bagi kesetaraan gender. Ada tiga bidang yang menjadi semacam

pintu perjuangan gerakan perempuan Manggarai Barat, yaitu pertama, perjuan-gan di bidang politik. Dalam agenda gera-kan dibidang ini, gerakan perempuan Manggarai Barat ingin melakukan pendidi-kan politik dan mendorong partisipasi/keterlibatan kaum perempuan Manggarai Barat dalam bidang politik. Antara lain den-gan melakukan konsolidasi semua calon legislative perempuan lintas partai untuk keterwakilan kaum perempuan di DPRD. Kedua, perjuangan dibidang ekonomi. Dalam agenda gerakan dibidang ini, gera-kan perempuan Manggarai Barat hendak membuka peluang usaha bagi kaum per-empuan Manggarai Barat untuk berwir-ausaha. Peluang pasar yang terbuka dari kekayaan pariwisata merupakan daya dorong dalam membangun jiwa entrepre-neur kaum perempuan Manggarai Barat. Karena itu, gerakan pangan lokal dan eko-nomi kreatif sedang digalakkan di desa-desa untuk menjangkau perempuan desa.

Ketiga, perjuangan dibidang sosial-budaya. Dalam agenda gerakan dibidang ini, gera-kan perempuan Manggarai Barat bermak-sud melakukan campaign dan penyadaran publik tentang gerakan kesetaraan gender. Melalui medium teater Timung Tee, diskusi/seminar dan roadshow dari desa ke desa diharapkan ada peningkatan mindset publik untuk respek dan peduli pada per-soalan perempuan dan gerakan kesetaraan gender.

Mari kita dukung ibu, saudari, anak, adik dan kakak kita perempuan untuk perjuan-gan gerakan perempuan di tanah Mangga-rai Barat.***

*) Ryan Nuhan

14 Edisi Mei-Juni 2013

Page 15: Majalah Lintas Timur (Edisi I)

D i banyak tempat atau daerah di Indo-nesia, tradisi, adat dan budaya bisa

menjadi kekuatan yang melegalkan penin-

dasan terhadap perempuan. Di Laktutus Desa Foho Eka, Kecamatan Nanaet Dubesi,

Kabupaten Belu misalnya masih terwaris hingga kini kebiasan serupa itu. Yaitu kebi-

asaan Feto Oan dan Nasai Naran.

Feto Oan adalah kebiasaan yang membe-

bankan perempuan dengan aneka tanggun-gan. Sebagai misal jika dalam masyarakat

terjadi kematian atau mengadakan pesta

kenduri dan upacara adat, maka kaum per-empuan diwajibkan untuk mengumpulkan

atau membayar tanggungan. Sementara kaum laki-laki dibebaskan.

Tidak hanya itu, kebiasaan Nasai Naran jauh lebih menyakitkan perempuan. Nasai

Naran adalah ganti rugi berupa hewan (biasanya 3 ekor sapi) yang dibebankan

kepada seorang laki-laki yang kedapatan

melakukan hubungan suami istri dengan seorang perempuan secara tidak sah.

Hukum adat yang dibebankan kepada pihak laki-laki yang tidak mau menikahi

‗korbannya‘ hanya sebatas itu. Dan jika itu sudah dipenuhi maka perempuan korban

akan menjadi ‗bulan-bulanan‘ kaum laki-laki

yang lain. Beruntung jika ada yang mau menikahinya. Namun jika tidak, sang

korban akan menjadi perempuan bebas yang bisa ‗dimiliki‘ oleh lelaki siapa pun.

*) Yanti Lawa

K ampung Melo, sama seperti Kampung Wae Rebo di Manggarai Tengah, merupakan bagian penting dari pesona pariwisata

Flores. Kawasan perbukitan sekitar 17 kilometer dari Labuan Bangsa-Bangsa (Labuan Bajo) ini tidak saja masyur dengan alamnya

yang asri dan subur, tetapi juga panorama yang menakjubkan.

Dari kawasan ini kita dapat menyaksikan hamparan gunung dan hutan

Mbeliling dan sekaligus dataran rendah dan laut Taman Nasional Komodo. Letaknya di jalan negara pun membuat Melo makin istimewa.

Semua turis yang melintasi Flores menyempatkan diri datang atau

singgah di kampung yang menjadi salah dari 5 desa yang mendapat predikat ―Desa Wisata‖ ini.

Tetapi percayakah Anda bahwa dengan segala keistimewaannya, dan

meski hanya 17 kilometer dari Ibu kota Kabupaten dan terletak di jalan

negara, Melo sampai tahun 2013 ini belum dilayani listrik?

Total jumlah penduduk Melo adalah 70-an kk. Ironis memang, karena

kendati daya listrik PLN di Manggarai Barat terus meningkat, prioritas

utama lebih diberikan kepada hotel-hotel dan resort, dan bukan kepada

masyarakat. Sampai kapan Pemerintah membiarkan ironi seperti ini

terus terjadi?

*) Cypri JPD

D alam sebuah diskusi pendidikan pertanian berkelanjutan dengan

beberapa pengelola kebun di Susteran St. Damianus Binongko,

Labuan Bajo Manggarai Barat seorang bapak tiba-tiba angkat bicara.

Dia mengeluhkan bahwa tanah sekarang ini sedang sakit lantaran ban-

yaknya zat-zat kimia yang selama ini digunakan para petani sudah

sejak proses pengolahan lahan sampai pada pemanenan. Akibatnya

tanah menjadi kian keras karena kehilangan banyak organisme (mati)

padahal seharusnya organism tersebut harus hidup dalam dalam tanah

dan selanjutnya menjadi pembentuk humus tanah.

“Ternyata pupuk yang selama ini kita berikan rakus di makan tanaman tetapi

tidak menyuburkan tanah” Kemudian dia melanjutkan penjelasannya, “saya

kira tanah-tanah kita perlu pil yang bisa mengembalikan kesehatan tanah kita

dari sakit yang berkepanjangan dan akan menjadi rumah lagi bagi mahluk-

mahluk hidup yang sebenarnya selama ini menguntungkan bagi petani” Ke-

mudian dia mengusulkan nama pil tersebut ” pil organic”.

Pil ini sangat murah tidak perlu dibeli di apotik, semua kita bisa mem-

buatnya dan bahan-bahan untuk membuatnya ada di sekitar kita.

Mereka hanya menunggu kita untuk turun mengambil, memprosesnya

dan menebarkan di kebun-kebun kita. Harapannya , semoga pil or-

ganic ini dapat segera dibuat dan digunakan.

*) John PS

15 Edisi Mei-Juni 2013 15 Edisi Mei-Juni 2013

Page 16: Majalah Lintas Timur (Edisi I)

M ama Elisabeth Abu (67), salah seorang penenun

di desa Oenbit kecamatan In-

sana kabupaten TTU dengan miris mengisahan bahwa para

penenun yang ada di desanya adalah hanya generasi mama-

mama, generasi tua.

Menurut pendiri sanggar tenun

ikat ‗Nememes Baboi Insaka‘ ini banyak gadis muda selain

karena sekolah , juga ada yang

lebih suka merantau, dan lebih memilih untuk mencari uang di

tempat lain. ―Padahal dengan menenun selain kita bisa

meneruskan tradisi nenek moy-

ang, kita juga bisa dapat uang dari sana‖ katanya.

Kisah miris Mama Beth,

demikian ia biasa dipanggil,

tidak hanya dialami oleh para penenun di Ekafalo. Kisah yang

sama hampir merata terjadi di seluruh Nusa Tenggara Timur

yang punya tradisi tenun ikat

yang kuat seperti di Sikka, Ngada, Nagekeo, Sumba dan

Alor.

―Jari-jari kami sudah tua. Mata

kami juga sudah tidak terang. Tapi karena kami anggap me-

nenun sudah menjadi bagian dari hidup, maka kami akan

terus melakukannya‖

Nyaris hilangnya generasi penenun muda sesungguhnya

hanyalah salah satu masalah

dari sekian masalah yang menggerogoti tradisi tenun ikat

NTT.

Salah satu yang kian mence-

maskan semantara ini adalah menggejalanya duplikasi tenun

ikat NTT dengan cara disablon atau dibatik, sehingga tidak

hanya keasliannya yang hilang

tetapi juga tradisi dan identitas kultural sudah barang tentu

secara perlahan akan punah.

Namun demikian, Mama Beth

masih tetap berharap dan bahkan optimis bahwa suatu

saat nanti jika kelompok tenun-nya tetap hidup, maka bukan

tidak mungkin mereka akan

membuka rumah tenun sebagai bagian dari pusat belajar tenun

untuk anak-anak gadis muda.

―Jika kami tetap bersatu, tekun

dan tetap sabar dan juga di-tambah pemerintah mau men-

dukung, saya kira tradisi tenun

ikat tidak akan hilang. Karena tenun ikat Timor punya nilai

tradisi dan budaya yang kuat serta laku di pasar‖ tutupnya.

*) Sonia dos Santos

M ata Ayam punya tatapan yang khas dan unik. Tatapannya tidak hanya elok dan mena-wan untuk menarik perhatian (ayam) lawan

jenis, tetapi juga tajam dan berani. Dengan matanya, ayam mampu meyakinkan kega-gahannya, sebelum dengan tajinya memban-tai lawannya.

Bagi masyarakat Manggarai Barat, ayam ti-dak hanya bermakna seperti disebutkan di atas. Secara religius dan filosophis, ayam memiliki nilai lebih.

Secara social budaya Ayam adalah simbol persaudaraan, kekerabatan dan keberanian. Secara religius Ayam tidak hanya menjadi medium penolak bala, tetapi juga sarana perjumpaan dengan para leluhur dan Sang Pencipta.

Ayam Putih melambangkan keagungan, ke-sucian dan kepolosan. Sepang atau Ayam Merah melambangkan kejantanan keberanian dan kemegahan. Ayam Hitam melambangkan dukacita, kepasrahan dan harapan.

Lantaran kekuatan simbol dan kedalaman maknanya inilah masyarakat Manggarai Barat membekukan Ayam dalam lembaran-

lembaran tenun yang bergaya timbul dengan menjadikan ―Mata Manuk‖ (Mata Ayam) se-bagai motif utama.

Motif tenun Mata Manuk dengan demikian menjadi simbol dan identitas budaya masyarakat Manggarai Barat.

Pertanyaannya mengapa motif itu tidak men-jadi warna dasar dalam setiap peristiwa, nyaris tak berjejak dalam setiap tenunannya? Tidak hanya itu, tatapannya pun redup-ciut di pusaran laga pariwisata, tampak tidak ber-taji, kalah diremuk tenun varian duplikasi made in pabrik, seperti yang tampak dalam tenun songket sablonan.

Bahkan sekarang di tengah kegirangan pasar pariwisata berbagai motif tenun songket (tidak hanya bermotif Mata Manuk) mulai meleleh di ujung lilin pembatikan. Motif-motif songket pun di-batik-an.

Perihal ini menjadi gejala buram bukan hanya pada cara pandang tetapi juga cara ber-ada, identitas diri dan budaya. Gejala ini akan secara perlahan membuat kita tidak hanya buram, tetapi juga buta melihat siapa diri kita di tengah langgam pariwisata yang kian menggiur-genit.

*) Kris Bheda Somerpes

16 Edisi Mei-Juni 2013 16 Edisi Mei-Juni 2013

Page 17: Majalah Lintas Timur (Edisi I)

17 Edisi Juli-Agustus 2013

Dalam kerjasama dengan kelompok tenun ikat Nekmes Baboi Insaka kampong Ekafalo Desa Oenbit Kec. Insana Kab. TTU, Tampak Proses Ikat, Proses pewarnaan alami dan menenun untuk jenis tenun ikat Futus

Dalam kerjasama dengan kelompok tenun ikat kampong Foho EKa Desa Foho EKa Kec. Nanaet Duabesi Kab. Belu, Tampak Proses pemasangan benang dan penenunan

Proses menenun di Rumah Tenun Baku Ikat desa Nggorang, Kec. Komodo, Kab. Manggarai Barat Flores

Kampung Tenun Tubaki, Nanaet Duabesi Kab. Belu

konservasi budaya tenun, pusat pen-didikan dan informasi, dan sekaligus mentransformasi kegiatan tenun men-jadi sumber penghasilan ekonomi bagi para penenun.

Rumah Tenun Baku Ikat menampil-kan koleksi beragam tenun NTT dari 17 wilayah budaya yang berbeda, dengan keragaman corak dan motif, teknik pembuatan, serta tradisi ke-

hidupan yang menyertainya. Juga, dipadukan dengan sebuah rumah produksi tenun dalam kerjasama den-gan komunitas-komunitas penenun. Rumah Tenun ini dirancang untuk

Alamat: Watu Langkas, Desa Nggorang, Kec. Komodo, Kab. Manggarai Barat Labuan Bangsa-Bangsa Flores NTT email: [email protected]

17 Edisi Mei-Juni 2013

Page 18: Majalah Lintas Timur (Edisi I)

Edisi Mei-Juni 2013

Identitas mereka sudah mulai diretaki mula-mula pada 1980, pada ketika itu negara merangsek ruang kehidupan mereka

dengan undang-undang. Yakni pada ketika Kawasan TNK ditetapkan melalui pengumuman Menteri Pertanian Republik Indonesia pada tanggal 6 Maret 1980 dan kemudian diku-kuhkan dengan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 306/Kpts-II/1992 tanggal 29 Februari 1992 tentang Perubahan Fungsi Suaka Margasatwa Pulau Komodo, Pulau Rinca, Pulau Padar seluas 40.728 ha serta Penunjukan Perairan Laut di Seki-tarnya seluas 132.572 ha menjadi Taman Nasional dengan nama Taman Nasional Komodo yang ditetapkan sesuai SK Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor : 172/Kpts-II/2000 tanggal 29 Juni 2000 tentang Penetapan KPA Perairan TNK.

Undang-undang penetapan kawasan TNK adalah bentuk pem-batasan ruang gerak, ruang kehidupan mula-mula masyarakat Komodo. Kehidupan mereka secara perlahan mulai dikawal pasal-pasal. Ruang gerak ekonomi, social, politik dan budaya dikontrol secara ketat oleh pihak pengelolah kawasan TNK. Dalam dunia yang dibatasi itulah apa pun perihal kehidupan orang-orang Komodo dan sekitarnya secara perlahan dibonsai.

Selanjutnya adalah munculnya sistem zonasi. Sistem zonasi TNK yang ditetapkan sesuai dengan SK Dirjen PHKA No. 65/Kpts/DJ-V/2001 tertanggal 30 Mei 2001 tentang Zonasi TNK yang kemudian mengalami perubahan sesuai dengan Surat Keputusan Ditjen PHKA Nomor : SK.21/IV-SET/2012 tanggal 24

Februari 2012 tidak hanya secara geografis mempersempit ru-ang gerak masyarakat kawasan, tetapi juga secara social, eko-nomi dan budaya dipenggal-penggal.

Zonasi TNK terdiri dari 9 tipe zonasi yang meliputi daratan dan perairan. Zona-zona yang meliputi kawasan darat dan laut memiliki peraturan khusus sesuai dengan Undang-Undang No-mor. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam dan Ekosistemya (KSDAE). Penentuan zonasi yang ada di Taman Nasional didasarkan atas hasil pengkajian secara teknis konser-vasi, bukan berdasarkan aspek kepentingan ekonomis semata (BTNK 2012a). Demikian rasionalisasi negara.

Namun, mau apa dikata. Entah sadar atau tidak negara sudah

sedang meruntuhkan kaca harapan, refleksi akan masa depan

masyarakat kawasan TNK jadi serpih-serpih yang tidak mudah

lagi untuk dimakna. Dapatkah mereka bercermin diri pada ser-

pihan ke-ada-an mereka yang kini. Tentu saja tidak mudah

untuk dijawab. Jika hendak, seharusnya kita lebih-lebih Negara

dan ‗kaki tangannya‘ hadir pada siang hari itu, Selasa 20 No-

vember 2012 di kantor BTNK di antara reruntuhan kaca pintu

dan jendela, sambil merangkai wajah kita masing-masing.

H ari itu, Selasa 20 November 2012. Tidak seperti bi-asanya, para nelayan kawasan Taman Nasional Komodo

(TNK) tiba-tiba saja berhenti melaut. Padahal, seharus-nya deru diesel perahu motor tempel mereka sudah melampaui tapal batas perairan TNK yang melintang antara 119o09‘00‘‘ - 119o55‘00‖ Bujur Timur dan 8o20‘00‖ - 8o53‘00‖ Lintang Selatan.

Seharusnya sebagian dari mereka berlayar ke selatan mengarungi laut Sawu membelah selat Sumba, sebagian menyeberang hingga Sape menyisiri pulau Banta, atau yang lain melingkar ke utara melabuh sauh buji di laut Flores.

Namun tidak pada hari itu. Arah kemudi mereka pada pagi hari itu tiba-tiba berubah arah menuju satu tujuan yang sama, ke timur darat. Mereka yang berjumlah ratusan itu, melewati pulau Bajo melintas selat Monyet lantas menepi di pelabuhan laut Filemon Labuan Bajo Manggarai Barat.

Ketika itu, hari sudah beranjak siang. Dengan segera mereka tam-batkan tali perahu. Di bawah sengat matahari terik mereka bera-pat-rapat menuju halaman Kantor Balai Taman Nasional Komodo sambil melepas kata dengan teriak ‗‘tinjau kembali system zonasi‘‘.

Di bawah pendaman amarah yang tidak terurai dan desakan untuk pembenahan yang bagai tidak dipeduli, sumpah serapah dilepas bagai petasan, pagar tinggi pun diloncati. Kemudian susul-menyusul potongan kayu dan batu layang melayang runtuhkan kaca.

Bagai sudah, seperti puas semuanya, tiba-tiba menjadi tidak berkutik ketika sekelompok pengaman menengahi mereka dengan paksa. Sebagian dari mereka diborgol ke kantor polisi untuk di-interogasi.

Bercermin pada pecahan kaca yang menyebar di bawah lantai pintu dan jendela, yang tidak dapat merefleksikan apa pun objek selain serpih-serpih realitas, siapa pun yang melihatnya menjadi sadar bahwa serupa itulah sejatinya kemelut realitas social, politik, budaya dan ekonomi yang dialami masyarakat kawasan TNK.

Cerminan kehidupan masyarakat kawasan yang terpancar dalam bentuk hak-hak hidup mereka dipecah-pecah jadi serpih yang ti-dak mudah untuk dirangkai menjadi objek refleksi tunggal. Ke-hidupan mereka tercerabut dari akar keberaadaannya. Seperti sudah menjadi manusia yang teralienasi dari diri sendiri, akar so-cial dan budaya, maka mereka pun datang menggugat negara.

Dengan tanpa takut mereka pecahkan kaca-kaca jendela, merun-tuhkannya agar semua mata dengan sadar memandang, bahwa seperti itulah kemelut kehidupan mereka jika bercermin di serpih beling. Ketenteraman identitas mereka retak, selanjutnya pecah dan kemudian teralienasi dari diri sendiri, pun dari realitas yang sesungguhnya.

“ Kami tidak saja dilarang menangkap ikan di dalam kawasan TNK, kampung kami juga diam-

bil, kami dilarang membuat sertifikat tanah. Padahal kami sudah menghuni kampung Komodo

jauh sebelum BTNK ada” Kata Haji Akhsan, Kepala Desa Komodo.

Sumber: “Komentar Miring Warga Komodo Soal BTNK” www.floresbangkit.com/18 Februari 2013

18

*) Kris Bheda Somerpes

18 Edisi Mei-Juni 2013

Page 19: Majalah Lintas Timur (Edisi I)

Edisi Mei-Juni 2013

P ada tahun 1928 di kampung Komodo pulau Komodo hanya terdapat 30 orang. Mereka menetap-diam dalam kurang lebih 10 buah

rumah panggung dengan mata pencaharian utama sebagai nelayan. Populasi penduduk meningkat cepat, dan pada tahun 1999, men-jadi 281 kepala keluarga yang terdiri atas 1.169 jiwa. Selanjutnya pada 2011 jumlah mereka bertambah menjadi 1,406 jiwa. Makin meningkatnya jumlah penduduk dan semakin beragamnya mata pencaharian pasca Komodo ‗ditahbiskan‘ menjadi salah satu Keajaiban Alam Dunia Baru, membuat masyarakat dan kampung Komodo yang dulu tentu saja ber-beda dengan yang tersajikan sekarang.

Rekaman lensa kamera P. Piet Heerkens, SVD tentang Kampung Komodo (gambar 3) melu-kiskan itu secara jelas (Dalam. Flores de Manggarai, 1930). Dimana tampak kampung Komodo yang sepi dan tenang.

Hal yang sama disajikan Pater Heerkens ten-tang pesisir Labuan Bajo yang dulu (gambar 1 dan 2). Labuan Bajo yang dulu tampak len-gang. Pesisir yang terentang antara Kampung Ujung sampai Bukit Pramuka tampak sepi. Di bawah rimbun daun yang menjorok ke laut

kapal-kapal menepi. Dan di antara tegak ke-lapa para nelayan langkahkan kaki mencari pangan darat.

Tampak tidak ada keributan kepentingan yang lebih tentang kehidupan dan apalagi perihal mencari hidup. Ruang-ruang yang lengang tak berzonasi membuat masyarakat Komodo dan Labuan Bajo pada ketika itu menjadi tuan kehidupan sekaligus anak kebebasan. Dan itu adalah leading sector kehidupan mereka.

Namun. Lagi-lagi itu dulu. Dulu adalah

Laboean Badjo dan sekarang adalah Labuan Bajo. Tegak kelapa itu sudah menjadi tiang-tiang rumah, dan rimbun pohon-pohon itu sudah menjadi atap-atap. Rumah kian bera-pat-rapat, sampai lupa di mana lepaskan sam-pah. Sampai-sampai laut pun jadi tempat sam-pah, padahal leading sector yang kini adalah pariwisata.

Alamak, bagaimana ceritanya jika Labuan Bajo yang kini, (tiba-tiba suatu saat nanti) di masa yang akan datang, berubah menjadi Labuan Bangsa-Bangsa? Ketika rumah kian berapat-rapat? Penduduk kian melimpah? Tempat sam-pah makin banyak? Pun pula keributan ke-pentingan makin menjadi?

Ugfhh….

19

*) Kris Bheda Somerpes

19 Edisi Mei-Juni 2013

Page 20: Majalah Lintas Timur (Edisi I)

Baku Peduli Centre, Jl. Trans Flores km. 5, Watu Langkas, Desa Nggorang, Kec. Komodo, Kab. Manggarai Barat,

Labuan Bangsa-Bangsa, Nusa Tenggara Timur.