mahkum alaih

Upload: ryandika-bestari-prabowo-kamil

Post on 19-Jul-2015

85 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

MAHKUM ALAIHPengertianPara ulama ushul fiqh mengatakan bahwa yang dimaksud dengan mahkum alaih adalah seorang perbuatannya dikenai khitob Allah SWT, yang disebut dengan mukallaf. Secara etimologi, mukallaf berarti yang dibebani hukum. Dalam ushul fiqih, istilah mukallaf disebut juga dengan mahkum alaih (subjek hukum). Orang mukallaf adalah orang yang telah dianggap mampu bertindak hukum, baik yang berhubungan dengan perintah allah maupun dengan larangan-nya. Seluruh tindakan mukallaf harus dipertanggung jawabkan. Apabila mengerjakan perintah allah swt, ia mendapat imbalan pahala dan kewajibannya terpenuhi, sedangkan apabila ia mengerjakan larangan allah swt, ia mendapat risiko dosa dan kewajibannya belum terpenuhi.

Dasar TaklifOrang yang dikenai taklif adalah mereka yang sudah di anggap mampu untuk mengerjakan tindakan hukum atau dalam kata lain seseorang bisa di bebani hukum apabila ia berakal dan dapat memahami secara baik taklif. Maka orang yang belum berakal di anggap tidak bisa memahapi taklif dari syari(Allod dan Rosulnya) .Hal ini, sejalan dengan sabda Rasulullah SAW. : diangkatkan pembebanan hukum dari tiga (jenis orang), orang tidur sampai ia bangun, anak kecil sampai ia baligh, dan gila sampai sembuh. (HR. Bukhari, Abu Dawud, At-Tirmidzi, An-Nasai, Ibnu Majah, dan Ad-Daruquthni dari Aisyah dan Ali bin Abi Thalib).Dalam hadits lain dikatakan : ummatku tidak dibebani hukum apabila mereka terlupa, tersalah, dan dalam keadaan terpaksa. (HR. Ibnu Majah dan At-Thabrani).

Syarat-syarat TaklifAda dua syarat sahnya memberi beban kepada mukallaf, yaitu berikut ini : a. Mukallaf dapat memahami dalil taklif, yaitu mampu memahami nash yang dibebankan dari Al-Quran dan As-Sunnah secara langsung atau melalui perantaraan. Orang yang tidak mampu memahami dalil taklif tidak dapat tumpuan yang dibebankan kepadanya dan tujuannya tidak dapat mengarah kesana. Kemampuan memahami dalil itu hanya dapat nyata dengan akal sehingga dengan akal tersebut adanya nash-nash yang dibebankan dapat diterima pemahamannya karena akal merupakan alat memahami dan menjangkau. Dengan akal tertujulah keinginan untuk mengikuti. Ketika akal itu adalah hal yang sembunyi yang tidak dapat dijangkau oleh indera lahir, maka syari telah menghubungkan beban taklif dengan hal nyata yang dapat dijangkau oleh indera, yang menjadi tempat dugaan akal, yaitu sifat kedewasaan. Dengan demikian barang siapa telah sampai pada keadaan dewasa dan tak tampak padanya sifat-sifat yang merusak kekuatan akalnya, ia telah sempurna untuk diberi beban. Atas dasar ini orang gila dan anak-anak tidak dapat deberi beban karena tidak adanya akal yang menjadi alat memahami yang dibebankan. Juga orang yang lupa, tidur, dan mabuk tidak dapat diberi beban. Rasulullah SAW bersabda : diangkatlah pena itu (tidak digunakan untuk mencatat amal perbuatan manusia) dari tiga orang, pertama dari orang yang tidur sampai ia bangun, kedua dari kanak-kanak sampai dia dewasa dan ketiga dari orang gila sampai dia berakal. Beliaupun bersabda : barangsiapa tidur sampai ia tertinggal melakukan shalat atau lupa mengerjakannya, hendaklah dia mengerjakan shalat itu ketika ingat, sesungguhnya ketika ingat itulah waktu shalat. Adapun kewajiban zakat, nafkah, jaminan (dhamman) atas anak-anak dan orang gila, bukan berarti memberi beban kepadanya. Akan tetaping memberikan beban kepada walinya agar melaksanakan kewajiban harta yang menjadi milik anak-anak dan orang gila itu, seperti membayar pajak tanah dan irigasi dari harta miliknya. Adapun firman Allah SWT. :

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri mesjid) sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi. Dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun.

Adapun orang-orang yang tidak mengerti bahasa arab dan tidak dapat memahami dalil-dalil tuntutan syara dari Al-Quran dan As-Sunnah, seperti orang-orang Jepang, India, Jawa dan sebagainya, menurut syara tidak sah diberi beban, kecuali apabila mereka belajar bahasa arab dan dapat memahami nash-nash bahasa arab atau dalil-dalil tuntutan ayara itu yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa mereka, atau ada sebuah kelompok yang mempelajari bahasa non-arab dan menyebarluaskan diantara mereka. Teori yang ketiga inilah teori yang lurus karena Rasulullah SAW dalam pidatonya pada haji wada. Saya bersaksi kepada Allah, bahwa beliau menyampaikan risalahnya dan memerintahkan umat Islam agar orang yang hadir di antara mereka menyampaikan kepada yang tidak hadir . Orang yang hadir meliputi setiap orang mencari petunjukdan islam yang mengerti hukum-hukumnya, \sedangkan orang yang tidak hadir (ghaib) meliputi setiap orang yang tidak mengerti bahasa Al-Quran dan tidak dapat memahami ayat-ayatnya. Apabila dibiarkan orang yang tidak hadir ini, tetap pada keadaannya, tidak mengerti bahasa Al-Quran dan tidak dapat memahami dalil-dalilnya, dan ayat-ayatnya juga tidak diterjemahkan ke dalam bahasanya dan tidak seorang yang mengerti bahasa Al-Quran mau mengerjakan sesuatu yang dibebankan menurut bahasa yang dapat dipahami oleh yang tidak hadir itu, orang yang tidak hadir itu menurut syara tidak termasuk kena tuntutan (atau bukan mukallaf). Hal ini karena Allah tidak membebani seseorang kecuali sesuai dengan kesanggupannya. Dan untuk ini Allah SWT berfirman dalam surat Ibrahim ayat 4:

dan kami tidak mengutus seorang Rasulpun, melainkan dengan bahasa kaumnya supaya ia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka. (QS. Ibrahim : 4). b. Mukallaf adalah orang yang ahli dengan sesuatu yang dibebani kepadanya. Pengertian ahli menurut bahasa ialah kelayakan atau layak, (seperti bila) dikatakakn (fulan adlah ahli (layak) memelihara wakaf, artinya ialah (layak baginya). Sedangkan menurut ulama ushul fiqih ahli (layak) itu terbagi kepada dua bagian, yaitu: 1. Ahli Wajib (Ahyatul Wujub) Yaitu kelyakan seseorang untuk memiliki hak-hak dan kewajiban. Asa keahlian (kelayakan) ini adalah kekhususan yang wajib diciptakan oleh Allah SWT kepada manusia dan menjadi kekhususanya diantara macam-macam binatang.dengan keahlian itu, dia layak menerima hak dan kewajiban. Kekhususan inilah yang oleh fuqaha (sarjana ahli hukum islam) disebut hukum Az-Zimah, yaitu sifat naluri kemanusiaan yang dengan itu, manusia menerima ketetapan hak-hak bagi orang lain dan menerima kewajiban untuk orang lain pula. Keahlian inilah (ahli wajib) yang tetap bagi setiap manusia,baik lelaki maupun perempuan, baik janin (masih dalam kandungan) atau kanak-kanak, atau anak yang sudah mumayyiz atau sudah baligh, atau dewasa, atau safih (bodoh). Jadi, setiap manusia mana saja yang lepas dari itu karena keahlian wajib itulah senagai sifat kemannusiaannya. 2. Ahli Melaksanakan (Ahyatul Ada) Yaitu kelyakan mukallaf untuk dianggap ucapan dan perbuatannya menuruut syara. Apabila keluar darinya akad (contract) atau tasarruf (pengelolaan),

menurut syara, akad atau tasarruf itu dapat diperhitungkan dan terjadi tertib hukum atasnya. Apabila mukallaf mendirikan sholat, berpuasa, melaksanakan ibadah haji, atau mengerjakan kewajiaban apa saja, semua itu menurut syara dapt diperhitungkan dan dapt menggugurkan kewajiban mukallaf. Apabila mukallaaf berbuat pidana atas orang lain dalm soal jiwa, harta, kehoramatan, dia dihukum sesuai dengan pidananya dalam bentuk fisik dan harta. Ahli Ada itulah yang dimintai pertanggungjawaban, sedangkan asasnya dalam manusia adalh membedakan akal.

Tambahan :MAHKUM ALAIH (SUBJEK HUKUM) Pengertian Mahkum Alaih Yang dimaksud dengan Mahkum Alaih adalah mukallaf yang menjadi obyek tuntunan hukum syara (Syukur, 1990: 138). Menurut ulama ushul fiqh telah sepakat bahwa mahkum Alaih adalah seseorang yang perbuatannya dikenai kitab Allah, yang disebut mukallaf (SyafeI, 2007: 334). Sedangkan keterangan lain menyebutkan bahwa Mahkum Alaih ialah orang-orang yang dituntut oleh Allah untuk berbuat, dan segala tingkah lakunya telah diperhitungkan berdasakan tuntutan Allah itu (Sutrisno, 1999: 103). Jadi, secara singkat dapat disimpulkan bahwa Mahkum Alaih adalah orang mukallaf yang perbuatannya menjadinya tempat berlakunya hukum Allah. Syarat-syarat Mahkum Alaih Orang tersebut mampu memahami dalil-dalil taklif itu dengan sendirinya, atau dengan perantara orang lain Orang tersebut ahli bagi apa yang ditaklifkan kepadanya