made bagus adipermana

9
Jurnal Penelitian 1 HUBUNGAN ANGKA BEBAS JENTIK (ABJ) DAN FREKUENSI FOGGING DENGAN ANGKA KEJADIAN DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD) DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS GRIBIG KECAMATAN KEDUNGKANDANG KOTA MALANG TAHUN 2008-2009 Lilik Zuhriyah*, Endang Sriwahyuni**, Indah Bachti Setyarini*** *Laboratorium Ilmu Kesehatan Masyarakat, **Laboratorium Ilmu Faal, ***Mahasiswa Jurusan Pendidikan Dokter FKUB ABSTRAK Bachti Setyarini, Indah. 2012. Hubungan Angka Bebas Jentik (ABJ) dan Frekuensi Fogging dengan Angka Kejadian Demam Berdarah Dengue (DBD) di Wilayah Kerja Puskesmas Gribig, Kecamatan Kedungkandang, Kota Malang Tahun 2008-2009. Tugas Akhir, Fakultas Kedokteran Universitas Braijaya. Pembimbing: (1) Lilik Zuhriyah, S.Km, M.Kes. (2) Dr. dr. Endang Sriwahyuni MS. Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan suatu penyakit menular endemis dengan angka kematian yang cukup tinggi. Jumlah kasus DBD di Kota Malang, khususnya Kecamatan Kedungkandang menunjukkan peningkatan dari tahun 2008-2010, secara berturut-turut yaitu 67 kasus, 126 kasus, dan 166 kasus. Berbagai cara dilakukan pemerintah untuk menurunkan angka kejadian DBD yaitu dengan pelaksanaan fogging dan pencatatan angka bebas jentik (ABJ). Penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan antara angka bebas jentik dan frekuensi fogging dengan angka kejadian DBD di wilayah kerja Puskesmas Gribig, Kecamatan Kedungkandang, Kota Malang tahun 2008-2009. Penelitian ini merupakan penelitian observasional dengan pendekatan studi ekologi. Data penelitian diperoleh dari data sekunder yang diambil dari Dinas Kesehatan Kota Malang dan Puskesmas Gribig. Data dianalisa dengan uji korelasi spearman. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa frekuensi fogging secara signifikan berhubungan positif dengan ABJ (p = 0,03; r = 0,22) dan ABJ secara signifikan juga berhubungan positif dengan angka kejadian DBD (p = 0,000; r = 0,503). Peningkatan frekuensi fogging disertai dengan peningkatan ABJ, meskipun ABJ meningkat namun angka kejadian DBD tidak menurun. Selain itu, tidak terdapat kesesuaian dalam waktu pelaksanaan fogging di wilayah kerja Puskesmas Gribig dengan pedoman yang diberikan Depkes RI 2005 sehingga meskipun fogging telah dilakukan ABJ tetap rendah. ABJ sendiri meskipun meningkat nilai rata-ratanya tetap rendah, sehingga tidak berpengaruh terhadap angka kejadian DBD. Kata kunci: angka bebas jentik (ABJ), frekuensi fogging, angka kejadian DBD, wilayah kerja Puskesmas Gribig.

Upload: ngakan-putu-wiga-kusuma

Post on 09-Nov-2015

12 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

hahahaha

TRANSCRIPT

  • Jurnal Penelitian

    1

    HUBUNGAN ANGKA BEBAS JENTIK (ABJ) DAN FREKUENSI FOGGING DENGAN ANGKA KEJADIAN DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD) DI WILAYAH

    KERJA PUSKESMAS GRIBIG KECAMATAN KEDUNGKANDANG KOTA MALANG TAHUN 2008-2009

    Lilik Zuhriyah*, Endang Sriwahyuni**, Indah Bachti Setyarini***

    *Laboratorium Ilmu Kesehatan Masyarakat, **Laboratorium Ilmu Faal, ***Mahasiswa

    Jurusan Pendidikan Dokter FKUB

    ABSTRAK

    Bachti Setyarini, Indah. 2012. Hubungan Angka Bebas Jentik (ABJ) dan Frekuensi Fogging dengan Angka Kejadian Demam Berdarah Dengue (DBD) di Wilayah Kerja Puskesmas Gribig, Kecamatan Kedungkandang, Kota Malang Tahun 2008-2009. Tugas Akhir, Fakultas Kedokteran Universitas Braijaya. Pembimbing: (1) Lilik Zuhriyah, S.Km, M.Kes. (2) Dr. dr. Endang Sriwahyuni MS.

    Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan suatu penyakit menular endemis dengan angka kematian yang cukup tinggi. Jumlah kasus DBD di Kota Malang, khususnya Kecamatan Kedungkandang menunjukkan peningkatan dari tahun 2008-2010, secara berturut-turut yaitu 67 kasus, 126 kasus, dan 166 kasus. Berbagai cara dilakukan pemerintah untuk menurunkan angka kejadian DBD yaitu dengan pelaksanaan fogging dan pencatatan angka bebas jentik (ABJ). Penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan antara angka bebas jentik dan frekuensi fogging dengan angka kejadian DBD di wilayah kerja Puskesmas Gribig, Kecamatan Kedungkandang, Kota Malang tahun 2008-2009. Penelitian ini merupakan penelitian observasional dengan pendekatan studi ekologi. Data penelitian diperoleh dari data sekunder yang diambil dari Dinas Kesehatan Kota Malang dan Puskesmas Gribig. Data dianalisa dengan uji korelasi spearman. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa frekuensi fogging secara signifikan berhubungan positif dengan ABJ (p = 0,03; r = 0,22) dan ABJ secara signifikan juga berhubungan positif dengan angka kejadian DBD (p = 0,000; r = 0,503). Peningkatan frekuensi fogging disertai dengan peningkatan ABJ, meskipun ABJ meningkat namun angka kejadian DBD tidak menurun. Selain itu, tidak terdapat kesesuaian dalam waktu pelaksanaan fogging di wilayah kerja Puskesmas Gribig dengan pedoman yang diberikan Depkes RI 2005 sehingga meskipun fogging telah dilakukan ABJ tetap rendah. ABJ sendiri meskipun meningkat nilai rata-ratanya tetap rendah, sehingga tidak berpengaruh terhadap angka kejadian DBD.

    Kata kunci: angka bebas jentik (ABJ), frekuensi fogging, angka kejadian DBD, wilayah kerja Puskesmas Gribig.

  • Jurnal Penelitian

    2

    ABSTRACT Bachti Setyarini, Indah. 2012. The Relationship of Free Numbers Wiggler (ABJ) and

    Frequency Fogging with Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) Incidence in Work Areas The Health Center Gribig, Subdistrict Kedungkandang, Malang in 2008-2009. Final Assignment, Faculty of Medicine Brawijaya University. Supervising: (1) Lilik Zuhriyah, SKM, M.Kes. (2) Dr. dr. Endang Sriwahyuni MS.

    Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) disease is an infectious disease that is endemic and the mortality rate high enough. The number of cases of DHF in Malang in particular subdistrict Kedungkandang shows an improvement from the year 2008-2010, respectively i.e 67 cases, 126 cases, and 166 cases. The various ways the government does to lower incidence DHF are implementation with fogging and recording of ABJ. This research aims to look at the relationship of free numbers of wiggler and frequency fogging with dengue fever incidence in Work Areas The Health Center Gribig, Subdistrict Kedungkandang, Malang in 2008-2009. This observational research used approach of ecological studies. Research data was obtained from secondary data drawn from The Health Center Gribig. The data was analyzed by spearman correlation test. The results of this research showed that the frequency of fogging related had been significantly positive with ABJ (p = 0,03; r = 0,22) and ABJ significantly related positively with incidence of DHF (p = 0,000; r = 0,503). An increase in the frequency of fogging was accompanied by increased ABJ and despite increased of ABJ, the incidence of DHF didnt decrease. In addition there were no suitability in the time implementation of fogging in the work area clinics Gribig with the guidelines given by Depkes RI 2005, although fogging has been done, ABJ remain low. Despite the increased value of ABJ own average remain low so as not to affect the incidence DHF.

    Key words: free numbers wiggler (ABJ), frequency fogging, dengue hemorrhagic fever (DHF) incidence, the work area health center clinics Gribig.

    PENDAHULUAN

    Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan penyakit endemis di Indonesia, sejak pertama kali ditemukan pada tahun 1968 di Surabaya dan Jakarta, jumlah kasus terus meningkat, baik dalam jumlah maupun luas wilayah yang terjangkit dan secara sporadis selalu terjadi Kejadian Luar Biasa (KLB) setiap tahun. KLB DBD terbesar terjadi pada tahun 1998 dengan Incidence Rate (IR) = 35,19 per 100.000 penduduk dan Case Fatality Rate (CFR) = 2%. Pada tahun 1999, IR menurun tajam sebesar 10,17%, namun tahun-tahun berikutnya IR cenderung meningkat yaitu 15,99 (tahun 2000); 21,66 (tahun 2001); 19,24 (tahun 2002); dan 23,87 (tahun 2003).1

    Jawa Timur merupakan salah satu provinsi terbanyak terjangkit kasus DBD setelah DKI Jakarta dan Jawa Barat. Angka kejadian DBD di Jawa Timur pun mengalami peningkatan selama tahun 2004-2007, berturut-turut adalah 8.287 kasus, 14.796 kasus, 18.484 kasus, dan 24.186 kasus dengan angka kematian berturut-turut 120 orang, 264 orang, 217 orang, dan 340 orang.2 Mulai Januari hingga September 2010 tercatat 22.040 kasus dengan angka kematian 190. Dari 38 kabupaten/kota, tercatat 10 daerah yang merupakan pandemic DBD, antara lain Kabupaten Pacitan, Kabupaten Ponorogo, Kabupaten Tulungagung, Kota Madiun, Kota Kediri, Kota Malang, Kota Surabaya, Kota Probolinggo, dan Kabupaten Situbondo.3

  • Jurnal Penelitian

    3

    Jumlah kasus DBD di Kota Malang sendiri pada 2008, 2009, dan 2010 berturut-turut adalah 408 kasus, 614 kasus, dan 879 kasus dengan jumlah kematian berturut-turut adalah 3 orang, 4 orang, dan 5 orang. Jumlah kasus di Kecamatan Kedungkandang pada tahun 2008, 2009, dan 2010 berturut-turut adalah 67 kasus, 126 kasus, dan 166 kasus. Hal ini menunjukkan peningkatan kejadian DBD dari tahun ke tahun.4

    Selama ini DBD masih menjadi salah satu penyakit yang paling banyak terjadi di Kota Malang selain infeksi saluran pernafasan atas (ISPA). Data di Dinas Kesehatan Kota Malang awal tahun 2008 menunjukkan jumlah kasus DBD sudah mencapai 174 kasus. Beberapa korban di antaranya meninggal dunia. Menurut Kepala Bidang P2PL Kota Malang5 puncak kasus DBD antara bulan Maret-April. Biasanya pada bulan-bulan ini timbul 70-90 kasus DBD. Daerah-daerah yang rawan muncul DBD adalah permukiman padat dan kotor (banyak kaleng dan barang-barang bekas ditumpuk). Misalnya daerah Sawojajar Kecamatan Kedungkandang dan Kecamatan Sukun.6

    Untuk itu, pemerintah mengambil langkah cepat dalam upaya pencegahan penyebaran kasus DBD dengan cara Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) secara serentak dan periodik melalui pemberdayaan tokoh masyarakat dan kader kesehatan untuk membentuk tim khusus pemberantasan DBD, program penyelidikan epidemiologi, abatisasi selektif, fogging, dan penyuluhan kesehatan masyarakat.7

    Fogging bertujuan untuk membunuh sebagian besar vektor infektif dengan cepat, sehingga rantai penularan segera dapat diputuskan. Selain itu, kegiatan ini juga bertujuan untuk menekan kepadatan vektor selama waktu yang cukup sehingga siklus vektor dapat dihentikan sebelum menjadi virus.8

    Menurut Fathi,9 tidak tampak peran tindakan pengasapan (fogging)

    terhadap terjadinya KLB penyakit DBD di Mataram (Chi-square, p>0,05). Tidak tampaknya peran fogging ini dikarenakan kurangnya frekuensi kegiatan fogging di daerah penelitian. Kegiatan pengasapan seharusnya dilaksanakan dalam 2 siklus, yaitu waktu antara pengasapan pertama dan berikutnya (kedua) harus dalam interval 7 hari, dengan maksud jentik yang selamat dan menjadi nyamuk Aedes dapat dibunuh pada pengasapan yang kedua.10 Fogging yang pada umumnya menggunakan insektisida golongan organofosfat misalnya malathion dalam larutan minyak solar tidak begitu efektif dalam membunuh nyamuk dewasa dan kecil pengaruhnya dalam menurunkan kepadatan populasi nyamuk Aedes, apalagi siklus pengasapannya tidak 2 kali dengan interval 7 hari.

    Menurut Febri.F,11 salah satu kegiatan bagian Kesehatan Lingkungan Puskesmas Rawat Inap Muara Fajar di Kota Pekanbaru adalah pemeriksaan jentik nyamuk Aedes yang dilakukan setiap bulan. Berdasarkan Laporan Evaluasi Program Kerja Bagian Kesling Puskesmaas Muara Fajar tahun 2008 didapatkan cakupan target dari kegiatan ini masih kurang dari 95% dengan perhitungan, dari 1839 jumlah bangunan yang terdata di kelurahan Muara Fajar, 420 bangunan diperiksa jentik, dan 297 bangunan memiliki nilai ABJ sebesar 70,71%. Dari analisa terhadap laporan bulanan program Kesling didapatkan bahwa pemeriksaan jentik belum sesuai pedoman dari Dirjen P2PL dimana tidak dilakukan setiap 3 bulan, serta tidak adanya formulir JPJ (juru pemeriksa jentik) atau formulir hasil pemeriksaan jentik. Sehingga pencatatatan ABJ tidak sesuai dengan pedoman dan data yang didapatkan cenderung rendah. Menurut Departemen Kesehatan RI12 tentang Pemberantasan Demam Berdarah menyatakan angka bebas jentik (ABJ) pada 100 rumah sampel harus > 95%.

    Berdasarkan salah satu fakta dan data di atas, terbukti bahwa

  • Jurnal Penelitian

    4

    kurangnya frekuensi fogging dan waktu pelaksanaan fogging yang kurang sesuai serta tidak tercapainya target ABJ yang harus > 95 % diduga menyebabkan tingginya angka kejadian DBD di Indonesia. Selain itu lengkapnya data mengenai pencatatan frekuensi fogging, ABJ, dan angka kejadian DBD di wilayah kerja Puskesmas Gribig dibandingkan dengan Puskesmas lainnya menjadi alasan utama peneliti untuk melakukan penelitian dengan judul Hubungan Angka Bebas Jentik (ABJ) dan Frekuensi Fogging dengan Angka Kejadian Demam Berdarah Dengue (DBD) di Wilayah Kerja Puskesmas Gribig, Kecamatan Kedungkandang, Kota Malang Tahun 2008-2009.

    METODE PENELITIAN Desain Penelitian

    Desain penelitian yang akan digunakan merupakan jenis penelitian analitik observasional dengan pendekatan studi ekologi. Populasi dan Sampel

    Populasi penelitian ini adalah kelurahan Lesanpuro, Madyopuro, dan Sawojajar.Sampel penelitian ini adalah kelurahan Lesanpuro, Madyopuro, dan Sawojajar yang berada di Kecamatan Kedungkandang, Kota Malang. Ketiganya merupakan wilayah kerja Puskesmas Gribig.

    Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian ini adalah

    wilayah kerja Puskesmas Gribig yang terdiri dari Kelurahan Lesanpuro, Madyopuro, dan Sawojajar Kecamatan Kedungkandang. Waktu penelitian adalah pada bulan Januari Maret 2011. Teknik dan Instrumen Pengumpulan Data

    Teknik pengambilan sampel yang dilakukan pada penelitian ini menggunakan purposive sampling. Sampel yang dipilih adalah wilayah kerja Puskesmas Gribig karena

    pencatatan kasus DBD, pencatatan ABJ, dan pelaksanaan fogging relatif baik dibanding wilayah kerja puskesmas lainnya. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional Variabel Bebas Frekuensi fogging adalah Jumlah kegiatan fogging yang dilakukan oleh Dinkes dan swadaya di tiap kelurahan perbulannya. ABJ adalah indikator dari pemantauan jentik berkala oleh jumantik di tiap kelurahan perbulannya. Variabel Tergantung

    Angka kejadian DBD adalah Insiden rate penyakit DBD di Kelurahan Lesanpuro, Madyopuro, dan Sawojajar per tahunnya. Analisis Data

    Untuk mengetahui hubungan antara ABJ dan frekuensi fogging dengan angka kejadian DBD, data dianalisa dengan uji korelasi. Apabila data terdistribusi normal, maka dapat dianalisis dengan uji korelasi pearson. Sedangkan, apabila data tidak terdistribusi normal, maka akan dianalisis dengan uji korelasi spearman. HASIL PENELITIAN Angka Bebas Jentik (ABJ)

    Berdasarkan data yang diperoleh dari Puskesmas Gribig menunjukkan bahwa rata-rata ABJ selama dua tahun dari ketiga kelurahan sebesar 36,15 % dimana ABJ terendah 0 % dan tertinggi 100 %.

    Frekuensi Fogging

    Nilai rata-rata frekuensi fogging periode 2008-2009 di kelurahan Lesanpuro adalah 4 kali setiap tahun dengan frekuensi fogging terendah 0 kali dan tertinggi 3 kali setiap bulannya. Di kelurahan Madyopuro, nilai rata-rata frekuensi fogging adalah 5 kali setiap tahun dengan frekuensi fogging terendah 0 kali dan tertinggi 2 kali setiap bulannya. Sedangkan di

  • Jurnal Penelitian

    5

    kelurahan Sawojajar nilai rata-rata frekuensi fogging adalah 7,5 (8 kali) setiap tahun dengan frekuensi fogging terendah 0 kali dan tertinggi 3 kali setiap bulannya.

    Angka Kejadian DBD Angka kejadian DBD di

    Kelurahan Lesanpuro tahun 2008 22,06 dan tahun 2009 193,65. Kelurahan Madyopuro tahun 2008 180,5 dan tahun 2009 226,14. Kelurahan Sawojajar tahun 2008 154,8 dan tahun 2009 128,11.

    Analisis Data

    Hasil uji Kolmogorov-Smirnov menunjukkan data ketiga variabel tersebut tidak terdistribusi normal. Karena itu untuk mengetahui hubungan antara ABJ dengan frekuensi fogging dan ABJ dengan angka kejadian DBD digunakan uji korelasi spearman.

    Hubungan antara Frekuensi Fogging dengan ABJ

    Berdasarkan hasil analisa data, nilai uji korelasi (r) frekuensi fogging dan ABJ adalah 0,22 dengan arah positif. Hal ini menunjukkan terdapat hubungan yang lemah antara frekuensi fogging dengan ABJ di Kelurahan Lesanpuro, Madyopuro dan Sawojajar. Arah positif dari nilai r menunjukkan bahwa semakin banyak frekuensi fogging ternyata tidak menurunkan ABJ. Sedangkan nilai p = 0,03 dimana nilai p < 0,05 berarti dapat dikatakan bahwa ABJ berkorelasi positif dengan frekuensi fogging di Kelurahan Lesanpuro, Madyopuro, dan Sawojajar.

    Gambar 5.4 Hubungan antara Frekuensi Fogging dan ABJ dengan Arah Positif

    Hubungan antara ABJ dengan Angka Kejadian DBD

    Berdasarkan hasil analisa data, nilai uji korelasi (r) ABJ dengan angka kejadian DBD adalah 0,503 dengan arah positif. Hal ini menunjukkan terdapat hubungan yang sedang antara ABJ dengan angka kejadian DBD di Kelurahan Lesanpuro, Madyopuro dan Sawojajar. Arah positif dari nilai r menunjukkan bahwa semakin tinggi presentase ABJ semakin tinggi angka kejadian DBD. Sedangkan, nilai uji korelasi memiliki nilai p = 0,000 dimana nilai p < 0,05 berarti dapat dikatakan bahwa antara ABJ berkorelasi positif dengan angka kejadian DBD.

    Gambar 5.5 Hubungan antara ABJ dan Angka Kejadian DBD dengan Arah Positif

  • Jurnal Penelitian

    6

    PEMBAHASAN Hubungan Angka Bebas Jentik dengan Frekuensi fogging

    Dari hasil analisa data didapatkan hubungan yang signifikan dengan arah positif. Hal ini menunjukkan peningkatan frekeunsi fogging disertai dengan peningkatan ABJ. Namun kekuatan hubungan antara ABJ dan Frekuensi fogging lemah.

    Menurut WHO, pemberantasan vektor penyakit DBD pada waktu terjadi wabah sering dilakukan fogging atau penyemprotan lingkungan rumah dengan insektisida malathion yang ditujukan pada nyamuk dewasa. Dari beberapa penelitian menunjukkan bahwa pengasapan rumah dengan malathion sangat efektif untuk pemberantasan vektor. Namun apabila kegiatan ini tanpa didukung dengan aplikasi abatisasi, dalam beberapa hari akan meningkat lagi kepadatan nyamuk dewasanya karena jentik yang tidak mati sehingga ABJ mengalami penurunan.13

    Untuk membasmi penularan virus dengue penyemprotan dilakukan dua siklus dengan interval 1 minggu, pada penyemprotan siklus pertama semua nyamuk yang mengandung virus dengue (nyamuk infektif) dan nyamuk-nyamuk yang lainnya akan mati, tetapi akan segera muncul nyamuk-nyamuk baru yang diantaranya akan menghisap darah penderita viremia yang masih ada yang dapat menimbulkan terjadinya penularan kembali. Oleh karena itu perlu dilakukan penyemprotan siklus kedua, penyemprotan yang kedua dilakukan 1 minggu sesudah penyemprotan yang pertama agar nyamuk baru yang infektif tersebut akan terbasmi sebelum sempat menularkan pada orang lain. Hal ini bertolak belakang dengan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti dimana pelaksanaan fogging hanya dilakukan 1 siklus, sehingga meskipun fogging telah dilakukan ABJ tetap rendah.

    Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Sungkar, insektisida yang digunakan dalam pelaksanaan fogging adalah malation untuk membasmi nyamuk dewasa Ae. aegypty dan temefos untuk membasmi larva Ae. aegypty. Kedua jenis insektisida ini telah digunakan secara masal sejak tahun 1980. Sehingga penggunaan insektisida tersebut dalam waktu lama menyebabkan resistensi terhadap Ae. Aegypty yang akhirnya menurunkan ABJ. Hal ini sejalan dengan penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti dimana meskipun telah dilaksanakan fogging akan tetapi ABJ tetap rendah.14 Hubungan Angka Bebas Jentik dengan Angka Kejadian DBD

    Dari hasil analisa data didapatkan hubungan yang signifikan dengan arah positif. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun ABJ meningkat namun angka kejadian DBD tetap meningkat. ABJ sendiri meskipun meningkat nilai rata-ratanya tetap rendah. Hubungan kekuatan antara ABJ dan angka kejadian DBD sedang.

    Penyebaran penyakit DBD dipengaruhi oleh faktor lingkungan seperti jumlah hari hujan, suhu dan kelembaban udara. Selain itu faktor lainnya yang mempengaruhi penyebaran penyakit ini adalah angka bebas jentik (ABJ) dan kepadatan penduduk. ABJ tersebut merupakan salah satu indikator keberhasilan program pemberantasan vektor penular DBD. ABJ sebagai indikator upaya pemberantasan vektor melalui gerakan PSN-3M menunjukan tingkat partisipasi masyarakat dalam mencegah DBD. Rata-rata ABJ yang masih di bawah 95% menunjukkan bahwa partisipasi masyarakat untuk mencegah penyakit DBD dengan cara 3M di lingkungannya masing-masing belum optimal, sehingga kasus DBD masih sering terjadi. Hal ini sejalan dengan penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti dimana ABJ masih rendah sehingga tidak

  • Jurnal Penelitian

    7

    berpengaruh terhadap angka kejadian DBD.15

    Menurut Sungkar berdasarkan penelitian yang telah ia lakukan ABJ merupakan indikator penyebaran Ae. aegypti. Dengan strategi pemberantasan yang telah ditetapkan, ditargetkan ABJ dapat mencapai lebih dari 95%. Sampai saat ini beberapa daerah telah melaporkan bahwa ABJ telah mencapai 90% bahkan ada juga yang mencapai 95%, tetapi pada kenyataannya jumlah penderita DBD masih tetap tinggi. Hal tersebut disebabkan jumlah penderita DBD tidak semata-mata berhubungan langsung dengan ABJ melainkan tingginya ABJ mungkin disebabkan oleh jumantik yang kinerjanya kurang baik, misalnya kurang teliti dalam melakukan survey dimana kemungkinan jumantik hanya memeriksa tempat penampungan air yang besar seperti bak mandi, ember dan drum, sedangkan wadah yang kecil misalnya vas bunga, penampungan tetesan AC, dan wadah dispenser tidak diperiksa.

    Selain itu menurut Haryadi faktor paling dominan yang mempengaruhi tingginya kejadian DBD adalah kepadatan penduduk dan ABJ yang rendah. Kepadatan penduduk dapat meningkatkan penularan kasus DBD dimana dengan semakin banyak manusia maka akan semakin besar peluang nyamuk Aedes aegypti menggigit, sehingga penyebaran kasus DBD dapat menyebar dengan cepat dalam suatu wilayah. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh peneliti dimana ABJ yang rendah merupakan salah satu faktor yang menyebabkan masih tingginya angka kejadian DBD.16,17

    Kelemahan Penelitian

    Kelemahan dalam penelitian yang dilakukan ini adalah ketidak lengkapan data. Hal ini dikarenakan pencatatan ABJ oleh kader/jumantik kemungkinan tidak lengkap, tidak akurat, serta terlambatnya data yang terkumpul di puskesmas setempat.

    Begitupula dengan waktu pelaksanaan fogging yang kemungkinan tidak tercatat ataupun tidak dilaporkan sehingga mengurangi kelengkapan data yang akan diteliti. Selain itu, kejadian DBD didapatkan berdasarkan laporan warga (bersifat subjektif) yang disampaikan kepada kader, sehingga ada kemungkinan data yang diperoleh tidak menunjukkan fakta yang sebenarnya, misalnya warga tidak tahu, tidak ingat atau kader tidak melaporkan adanya kejadian DBD.

    Selain itu, penggunaan studi ekologi dalam penelitian ini juga menyebabkan lemahnya penelitian, yaitu studi ekologi tidak dapat dipakai untuk menganalisis hubungan sebab akibat karena ketidakmampuan menjembatani kesenjangan status paparan dan status penyakit pada tingkat populasi dan individu, serta tidak mampu untuk mengontrol faktor perancu potensial. KESIMPULAN

    1. ABJ dan frekuensi fogging tidak menurunkan angka kejadian DBD di wilayah kerja Puskesmas Gribig, Kecamatan Kedungkandang, Kota Malang tahun 2008-2009.

    2. Frekuensi fogging berhubungan dengan angka bebas jentik (ABJ) di Kelurahan Lesanpuro, Madyopuro dan Sawojajar. Keduanya memiliki hubungan yang lemah dengan arah positif. Hal ini menunjukkan peningkatan frekeunsi fogging menurunkan ABJ.

    3. Angka bebas jentik (ABJ) berhubungan dengan angka kejadian DBD di Kelurahan Lesanpuro, Madyopuro dan Sawojajar. Keduanya memiliki hubungan yang sedang dengan arah positif. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun ABJ meningkat namun angka kejadian DBD tetap meningkat. ABJ sendiri meskipun

  • Jurnal Penelitian

    8

    meningkat nilai rata-ratanya tetap rendah.

    4. Tingkat ABJ di Wilayah kerja Puskesamas Gribig menunjukkan bahwa nilai rata-rata ABJ selama 2 tahun dari tiga kelurahan adalah 36,15% nilai tertinggi 100% dan terendah 0%.

    5. Nilai rata-rata frekuensi fogging pertahun dari tiga kelurahan sebanyak 6 kali, tertinggi di Kelurahan Sawojajar sebanyak 8 kali dan terendah di kelurahan Lesanpuro sebanyak 4 kali.

    SARAN 1. Bagi Peneliti

    Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai faktor lain yang mempengaruhi pelaksanaan dan keberhasilan fogging dan pencatatan ABJ

    2. Bagi Petugas Kesehatan Perlu dilakukan pencatatan ABJ yang akurat dan terjadwal. Selain itu dalam pelaksanaan fogging disarankan untuk sesuai dengan pedoman yang ada sehingga harapannya pelaksanaan fogging menjadi efektif dan efisien. Kemudian hendaknya masyarakat diberi edukasi dasar mengenai kegiatan fogging, pemeriksaan jentik, dan penyebaran serta cara pencegahan penyakit DBD.

    3. Bagi Masyarakat Mengingat fogging kurang efektif maka masyarakat disarankan untuk melakukan pemberantasan sararang nyamuk (PSN) misalnya dengan cara melakukan gerakan 3M, menjaga kebersihan rumah dan lingkungan dari sampah-sampah yang mudah menjadi sarang nyamuk terutama sampah yang mudah digenangi air seperti botol dan kaleng bekas, melakukan abatesasi

    pada tempat-tempat penampungan air ataupun kolam dan tidak selalu mengandalkan fogging. Selain itu masyarakat diharapkan dapat bekerja sama dengan petugas kesehatan dalam rangka mencegah penyakit DBD, misalnya bersedia untuk diperiksa tempat tinggalnya saat survei jentik oleh kader/jumantik, dan aktif dalam berbagai penyuluhan mengenai penyakit DBD yang dilakukan oleh puskesmas/kader setempat.

    DAFTAR PUSTAKA

    1. Depkes RI Dirjen P2MPL. 2004. Tatalaksana DBD di Indonesia. Jakarta.

    2. Departemen Infokom Jatim. 2009. Jawa Timur Bertekat Basmi DBD. (www.d-infokom-jatim.go.id, diakses pada 15 Desember 2010)

    3. Ica. 2010. Jatim Potensi KLB DBD. (www.harianbirawa.co.id, diakses 15 Desember 2010)

    4. Dinkes Kota Malang. 2010. Data Penderita Demam Berdarah Kota Malang 2008-2010. Malang: Dinkes.

    5. P2PL Dinkes Kota Malang. 2008. Laporan Tahunan DBD Kota Malang

    6. Irawati, Dahlia. 2008. DBD Masih Terus Mengancam Malang. Kompas, Senin 14 April 2008 18.31 kompas.com

    7. Depkes RI. 2004. Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 1091/Menkes/SK/X/2004 Tentang Petunjuk Teknis Standar Pelayanan Minimal Bidang Kesehatan Di Kabupaten/Kota. Jakarta.

    8. Ambarwati, dkk. 2006. Fogging Sebagai Upaya Untuk Memberantas Nyamuk Penyebar Demam Berdarah Di Dukuh Tuwak Desa Gonilan, Kartasura, Sukoharjo. WARTA, Vol .9, No. 2, September 2006:

  • Jurnal Penelitian

    9

    130 138. Surakarta: FIK UMS.

    9. Fathi, et al. 2005. Peran Faktor Lingkungan dan Perilaku Terhadap Penularan Demam Berdarah Dengue di Kota Mataram. Jurnal Kesehatan Lingkungan Vol. 2, No. 1, Juli 2005: 1-10.

    10. Depkes RI. 2005. Pencegahan dan Pemberantasan Demam Berdarah Dengue di Indonesia. Jakarta: Direktorat Jendral PP-PL.Dengue . Jakarta : Dirjen PPM dan PLP.

    11. Fahmi, Febri. 2009. Pelaksanaan Kegiatan PJB pada Program Kesehatan Lingkungan Puskesmas Muara Fajar. Riau : FK Riau 2009.

    12. Depkes RI. 1996. Modul Latihan Kader Dalam Pemberantasan Sarang Nyamuk Demam Berdarah Dengue . Jakarta : Dirjen PPM dan PLP.

    13. WHO. 2009. Dengue guidelines for Diagnosis Treatment Prevention and Control. Geneva.

    14. Sungkar, Saleha. 2007. Pemberantasan Demam Berdarah Dengue: Sebuah Tantangan yang Harus Dijawab. Majalah Kedokteran Indon, Volume: 57, Nomor: 6. Jakarta.

    15. P2PL Dinkes Kota Malang. 2007. Laporan Tahunan DBD Kota Malang

    16. Haryadi, Dedy. 2007. Analisis Spasial Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) di Kabupaten Karawang tahun 2005-2007. Tesis. FKM UI. Jakarta

    17. Yusmariami. 2004. Gambaran Kejadian Kasus Demam Berdarah Dengue di Kota Depok Selama Wabah Bulan Januari Mei Tahun 2004. Skripsi. FKM UI. Jakarta.

    Menyetujui, Pembimbing I

    Lilik Zuhriyah, SKM, M.Kes NIP. 19730606 199702 2 001