mabari dalam pola produksi petani kelapa di dua … · 60 bulanan ini sebagai penghasilan tambahan,...

26
BAB VI MABARI DALAM POLA PRODUKSI PETANI KELAPA DI DUA KOMUNITAS Dukungan komunitas di doa lokasi penelitian terhadap nilai bari dan terus menghidupkan kelembagaan mabari berbeda. Bab ini berupaya menunjukkan bukti tentang dinamika mabari yang masih mewarnai kehidupan masyarakat, khususnya didalam kegiatan perkebunan kelapa rakyat. Maksud dari uraian tersebut ingin ditunjukkan, bahwa bari sebagai nilai yang melandasi kelembagaan mabari sebenarnya masih perlu difungsikan didalam pembangunan. Oleh karena, mabari masih berpotensi menjadi proses sosial yang mendekatkan semua pihak didalam kehidupan masyarakat pedesaan di Kabupaten Halmahera Barat. 6.1. Petani Kelapa Di Dua Desa Kehidupan petani kelapa di kedua desa akan di potret dari beberapa orang petani kelapa. Sebagai potret tidak akan mampu mencakup semua keseluruhan sudut dari landscape sosial dua desa, namun kedalaman menelusuri beberapa sosok ini diharapkan memberikan gambaran aktifitas kehidupan sehari-hari para petani kelapa di dua Desa. Keberadaan beberapa sosok, dimaksudkan memberikan deskripsi kualitatif bersifat mendalam guna mengatasi keterbatasan dari keluasan jarak pandang. Kebun kelapa di Desa Susupu berada terpisah dari perkampungan penduduk, kebun berada di bagian luar desa, sementara perumahan penduduk mengumpul di tengah desa. Hanya ada jalan setapak untuk menuju kebun para petani kelapa. Di depan gubuk para petani di buatkan para-para besar sebagai tempat mengasapi kelapa untuk dijadikan kopra. Para-para sebagai tempat pengasapan kelapa terdapat dua lubang di bagian bawah sebagai tempat sabut dan batok kelapa yang akan dibakar sebagai pengganti kayu bakar. Para-para tersebut dibuat dari potongan bambu,sementara atapnya dari anyaman daun kelapa. Rata-rata petani kelapa di Desa Susupu memiliki luas lahan lebih dari 1 hektar, dan mereka juga memiliki 0,5 hektar lahan untuk tanaman bulanan. Sebagaimana yang dilihat pada setiap lahan para petani terdapat sepetak lahan yang ditanami tanaman-tanaman bulanan berbaris rapi. Hasil dari tanaman

Upload: hanhi

Post on 09-Mar-2019

224 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

BAB VI

MABARI DALAM POLA PRODUKSI PETANI KELAPA

DI DUA KOMUNITAS

Dukungan komunitas di doa lokasi penelitian terhadap nilai bari dan terus

menghidupkan kelembagaan mabari berbeda. Bab ini berupaya menunjukkan

bukti tentang dinamika mabari yang masih mewarnai kehidupan masyarakat,

khususnya didalam kegiatan perkebunan kelapa rakyat. Maksud dari uraian

tersebut ingin ditunjukkan, bahwa bari sebagai nilai yang melandasi

kelembagaan mabari sebenarnya masih perlu difungsikan didalam

pembangunan. Oleh karena, mabari masih berpotensi menjadi proses sosial

yang mendekatkan semua pihak didalam kehidupan masyarakat pedesaan di

Kabupaten Halmahera Barat.

6.1. Petani Kelapa Di Dua Desa

Kehidupan petani kelapa di kedua desa akan di potret dari beberapa

orang petani kelapa. Sebagai potret tidak akan mampu mencakup semua

keseluruhan sudut dari landscape sosial dua desa, namun kedalaman

menelusuri beberapa sosok ini diharapkan memberikan gambaran aktifitas

kehidupan sehari-hari para petani kelapa di dua Desa. Keberadaan beberapa

sosok, dimaksudkan memberikan deskripsi kualitatif bersifat mendalam guna

mengatasi keterbatasan dari keluasan jarak pandang.

Kebun kelapa di Desa Susupu berada terpisah dari perkampungan

penduduk, kebun berada di bagian luar desa, sementara perumahan penduduk

mengumpul di tengah desa. Hanya ada jalan setapak untuk menuju kebun para

petani kelapa. Di depan gubuk para petani di buatkan para-para besar sebagai

tempat mengasapi kelapa untuk dijadikan kopra. Para-para sebagai tempat

pengasapan kelapa terdapat dua lubang di bagian bawah sebagai tempat sabut

dan batok kelapa yang akan dibakar sebagai pengganti kayu bakar. Para-para

tersebut dibuat dari potongan bambu,sementara atapnya dari anyaman daun

kelapa.

Rata-rata petani kelapa di Desa Susupu memiliki luas lahan lebih dari 1

hektar, dan mereka juga memiliki 0,5 hektar lahan untuk tanaman bulanan.

Sebagaimana yang dilihat pada setiap lahan para petani terdapat sepetak lahan

yang ditanami tanaman-tanaman bulanan berbaris rapi. Hasil dari tanaman

60

bulanan ini sebagai penghasilan tambahan, bila pohon kelapa belum dapat di

panen.

Para petani kelapa di Desa Susupu rata-rata memiliki 300 pohon kelapa.

Lahan pohon kelapa sebagian merupakan warisan dari orang tua. Usia pohon

kelapa mencapai lebih dari 50 tahun bahkan ada yang di atas 100 tahun dan

karenanya batang pohon kelapa cukup tinggi .

Lahan petani kelapa umumnya tidak memiliki sertifikat. Walaupun

demikian, tetap mendapatkan pengakuan sosial pemilikan lahan. Apabila di

kemudian hari terdapat masalah (sengketa) atas penguasaan lahan tersebut,

maka penyelesaian sengketa itu dilakukan di dalam masjid. Penyelesaian

sengketa yang dimaksud adalah dengan sasi, suatu upacara pengucapan

sumpah yang tekait dengan konflik tanah, dan lain-lain.

Untuk meningkatkan produktifitas petani kelapa, Pemerintah Halmahera

Barat pernah memberikan bantuan kelapa hibrida, kelapanya lebih pendek dan

hasilnya sedikit lebih banyak, umur kelapa mencapai 25 tahun. Berbeda dengan

kelapa lokal yang bisa mencapai ratusan tahun umurnya. Program kelapa hibrida

tidak diminati para petani, mereka memilih mempertahankkan varietas lokal.

Kehidupan petani kelapa di Susupu dapat dipotret dari pak Haler. Dalam

memulai aktivitas kebun kelapanya, selalu di dampingi oleh istri. Keseharian

mereka mencerminkan kehidupan masyarakat petani kelapa di desa Susupu.

Dalam mencurahkan waktu dalam beraktifitas di kebun, kaum perempuan yang

telah bersuami, memiliki waktu yang sangat terbatas, berbeda halnya dengan

kaum laki-laki. pak Haler misalnya, pergi ke kebun bersama istri pada pukul 06.

Mereka telah menyiapkan bekal (makanan dan minuman) untuk keseharian

aktivitasnya di kebun. Istrinya akan kembali ke rumah kurang lebih pukul 12

siang. Selama di kebun perempuan di desa Susupu sebagaimana yang

ditunjukan oleh istri pak haler, membersihkan dan merwat tanaman-tanaman

bulanan seperti halnya kacang panjang, tomat, fofoki (terong), pisang, kasbi,

(ubi). Pekerjaan menanam dan merawat tanaman dilakukannya tidak lain adalah

untuk menambah pendapatan suaminya dalam rangka pemenuhan kehidupan

sehari-hari mereka. Pendapatan mereka, umumnya sangat tergantung pada

penghasilan kopra dalam setiap tiga bulan sekali panen. Disela-sela waktunya di

kebun, aktifitas mengumpulkan buah kelapa kering yang jatuh dari pohon kelapa

selalu di lakukan pak Haler. Setiap hari bisa memporoleh kurang lebih dari 100

buah kelapa. Buah-buah kelapa yang dipungut, tidak di ambil dari lahan orang

61

lain, melainkan lahannya sendiri dan lahan-lahan yang merupakan milik

keluarganya. Kelapa yang kumpulkan umumnya di jual dengan harga 350 per-

buah kelapa. Oleh karenanya dapat dihitung pendapatan per hari pak haler dari

hasil jualan kelapa hasil ware (mengumpul) sebesar 35000 rupiah. Jika buah

kelapa yang jatuh dari pohonnya berkurang dalam sehari, akan berimbas pada

pendapatan hariannya. Untuk mengatasi masalah ini, pak Haler begitupun

petani-petani kelapa yang lain meminjam uang kepada pengumpul kopra

(langganan penjualan kopra), , dengan perjanjian pemotongan disaat

pembayaran hasil panen kopranya nanti. Langganan kopra para petani kelapa di

dua Desa ini umumnya adalah orang Cina.

Masyarakat petani kelapa termasuk yang berada di Desa Susupu dan

Lako Akelamo mendapatkan lahan kebun kelapa melalui pewarisan dari nenek

moyangnya. Mulanya warga mendapatkan kebun sesuai dengan tingkat

hubungan sosialnya dengan Sultan Ternate, yaitu sesuai dengan soa. Mereka

yang berada dalam soa sangaji sebagai perwakilan Sultan di wilayah tentu saja

memiliki luas tanah yang lebih besar dibanding soa lainnya. Selama berabad

kemudian kepemilikan tanah tersebut diwariskan kepada anak cucu. Di atas

tanah warisan itulah para petani kelapa berproduksi.

Proses pembagian warisan ini dilakukan dengan cara berembug

beberapa saudara mereka (kakak beradik) dan menyepakati luas bidang lahan

yang harus mereka bagikan secara merata. Sebagaimana Muhammad dan

Radjab adalah dua kakak beradik dari sekian banyak orang (petani) di Desa

Susupu yang mendapatkan warisan sebidang lahan masing-masing seluas satu

hektar lebih yang diberikan orang tuanya. Lahan pertanian warisan yang mereka

dapatkan, umumya telah ditanami pohon kelapa. Tugas pewaris hanya merawat,

membersihkan, sehingga pohon kelapanya dapat berbuah, bebas dari hama

sexsava, sehingga hasil kelapanya nanti dapat dinikamati keluarga. Hal yang

sama juga terjadi pada Haler dan Ibrahim, mereka adalah kakak adik, berlima

dengan satu saudara perempuan. Orangtua mereka memiliki 12 hektar kebun

kelapa, pada akhirnya lahan dibagi lima orang anaknya, masing-masing

mendapatkan du hektar. Ibrahim menandai batas mereka sampai dengan rawa.

Di Desa Susupu, tak semua orang menjadi petani kelapa, ada pula mereka yang

mendapatkan pekerjaan lain seperti pegawai negeri, guru, aparat Polri, dan lain-

lain. Bagi yang telah mimiliki pekerjaan/keahlian lain, idak lagi mendapatkan hasil

pembagian warisan. Mereka hanya mendapatkan sedikit hasil panen yang

62

biasanya disebut sebagai “pipi hena” (uang pinang) dari penjualan hasil panen

kelapa.

6.2. Mabari dan Pola Produksi Petani Kelapa

Setelah kita mendapatkan gambaran sepintas mengenai profile para

petani kelapa, maka pada bagian ini akan dideskripsikan lebih lanjut mengenai

pola produksi petani kelapa di dua Desa yaitu Susupu dan Lako Akelamo. Pola

produksi petani kelapa di dua Desa berlangsung dari tahap pembukaan lahan,

penanaman bibit, hingga pemanenan.

Pada proses pembukaan lahan dan penyiapan lahan, secara rinci

masyarakat petani melakukan enam tahap pembukaan lahan semua ini

dilaksanakan dengan tradisi bari. Tahapan-tahapan tersebut dikenal dengan tola

gumi sebagai tahap pertama, tahap kedua adalah manyigu , tahap ketiga adalah

madoti, tahap keempat adalah majongo, tahap kelima “mabaca” dan tahap yang

keenam adalah masagu. Keenam tahap tersebut adalah tradisi pembukaan lahan

hingga penanaman yang dilaksankan secara bari dan telah turun-temurun

diwariskan oleh nenek moyang petani Sahu.

Pada kebanyakan desa, meskipun secara dekat kita melihat terdapat

hubungan kekerabatan, namun ikatan komunitas terutama didasarkan pada

suatu kenyataan, bahwa orang di desa juga hidup bersama dalam suatu lokasi

yang sama dan harus bekerja sama dengan berbagai mekanisme yang ditempuh

berdasarkan nilai-nilai yang hidup di dalam masyarakat desa itu sendiri demi

keamanan dan kelangsungan hidup mereka.

Kebutuhan akan tindakan kolektif seperti halnya tola gumi, manyigu,

madoti,majongo, mabaca, dan masagu yang terdapat pada dua desa dengan

semangat mabari, sepertinya merupakan suatu tindakan kolektif yang juga

menandakan saling ketergantungan diantara mereka.

Tola Gumi (potong tali), adalah awal pekerjaaan pembukaan lahan

dengan ditandai sejenis tiang/pohon yang dipatok/ditanami untuk mengetahui

batasan area dusun yang hendak di tanami. Tindakan ini merupakan bentuk

claim teritori atau pernyataan penegasan pemilik terhadap sumber daya yang

dimilikinya. Klaim ini menuntut orang lain menghormati klaim teritori (wilayahnya),

sekaligus juga memberikan penghargaan pada kepemilikan wilayah petani lain.

Tindakan ini secara tak langsung mencegah terjadinya konflik klaim teritori antar

petani kelapa. Pernyataan klaim terhadap resources tak selalu dinyatakan dalam

63

bentuk klaim formal di atas kertas, melainkan klaim langsung di atas sumber

daya.

Tahap berikutnya adalah manyigu, manyigu memotong rumput-rumput,

tali-tali yang melingkari pohon yang berada di area dusun yang dikerjakan

bersama-sama oleh para petani. Pekerjaan ini dilakukan untuk mempermudah

proses penanaman. Tahap ketiga disebut “madoti” yaitu kegiatan memotong

pohon-pohon secara bersama-sama oleh para petani kelapa. Pohon yang

dipotong adalah pohon sedang maupun tinggi yang dianggap menghalang atau

menghambat jalannya proses penanaman nantinya. Tahap keempat, disebut

majongo, merupakan kegiatan mengumpul pohon-pohon yang telah ditebang,

maupun rumput-rumput yang diparas, dan selanjutnya dibakar. Dalam kegiatan

ini ada beberapa pohon-pohon pilihan yang tidak turut dibakar, seperti halnya

pohon Ngaru. Pohon Ngaru menurut masyarakat setempat dijadikan sebagai

“betangamor.”

Sementara yang kelima disebut mabaca yaitu kegiatan pembersihan

secara keseluruhan dari kegiatan-kegiatan sebelumnya ( tola gumi, manyigu,

madoti, dan majongo.). Yang terakhir disebut manyigu adalah suatu bentuk

kegiatan galian lubang yang diperuntukan bagi penanaman bibit kelapa dan lain-

lain. Untuk menggambarkan tahapan tentang pelaksanaaan mabari, secara

sederhana seperti yang terdapat di Tabel 3.

Setelah proses pembukaan dan penyiapan lahan, proses berikutnya

adalah penanaman bibit kelapa. Penanaman bibit kelapa dimulai dari masagu.

Masagu adalah aktivitas pemberian tanda di atas lahan yang nantinya akan digali

untuk tempat menanam bibit. Setelah itu dilakukan penggalian lubang sebagai

tempat bibit yang akan ditanam. Lubang digali kurang lebih 30 cm. Jumlah

lubang galian disesuaikan dengan jumlah bibit yang akan ditanam.

Ketika menanam bibit, ada mitologi dan tradisi yang masih dipercaya oleh

masyarakat setempat dalam melakukan penanaman bibit kelapa. Kepercayaan

terhadap mitologi merupakan bagian dari budaya masyarakat setempat. Mitos

dapat dimengerti sebagai suatu cerita kuno oleh nenek moyang mereka yang

dianggap memiliki ungkapan bertuah disertai perwujudannya dalam berbagai

bentuk tindakan yang di percaya dan diyakini oleh masyarakat didua desa secara

turun temurun. Mitos juga dipandang sebagai suatu pedoman atau arah yang

juga memiliki konsekwensi-konsekwensi pada sesuatu pekerjaan yang akan

dilaksanakan. Dalam proses penanaman bibit kelapa misalnya terdapat mitos

64

Tabel.3. Tahapan aktifitas mabari perkebunan kelapa rakyat, 2009

No Tahap aktifitas mabari Keterangan

1 Tola gumi

suatu pekerjaan awal pembukaan lahan dengan

ditandai sejenis tiang/pohon yang

dipatok/ditanami untuk mengetahui batasan area

dusun yang hendak di tanami

2 Manyigu

memotong rumput-rumput, tali-tali yang

melingkari pohon yang berada di area dusun

3 Madoti

kegiatan memtong pohon yang dianggap

menghalang pekerjaan mereka.

4 Majongo

mengumpul pohon-pohon yang telah ditebang,

maupun rumput-rumput yang diparas, dan

selanjutnya dibakar

5 Mabaca Kegiatan pembersihan secara keseluruhan

6 Masagu

pemberian tanda di atas lahan yang nantinya

akan digali sebagai tempat menanam bibit

yang diyakini, dan telah menjadi kebiasaan dalam suatu pekerjaan penanaman

bibit kelapa oleh masyarakat setempat. Mereka kembali mengingat peristiwa-

persitiwa Menurut C.H.Van Peurson ( tahun..) mitos tidak hanya sekedar laporan

dan peristiwa yang pernah terjadi, akan tetapi juga mengenai ritual-ritual dalam

suatu kelompok masyarakat. Di bawah ini kita akan melihat mitos pada

komunitas petani kelapa dalam proses penanaman bibit kelapa

A seorang responden mengatakan, bahwa:

suatu tradisi penanaman bibit yaitu jika tanahnya sudah digali untuk

dipersiapkan penanaman bibit kelapa, maka sebelum bibitnya

dimasukan, lubang yang digali tersebut terlebih dahulu dimasukan

buah seho (enau) dalam bahasa setempat dikenal dengan

“syarati”. Buah anau yang di masukan ke dalam lubang, diyakini

masyarakat agar jika kelapa nanti tumbuh besar, buahnya akan

sarat atau banyak seperti buah anau. Proses memasukan anau

65

kedalam lobang tidak hanya sekedar dari bentuk “syarati”, namun

diikuti juga dengan bobeto yang artinya permintaan yang syarat

dengan “doa”.

Setelah penyampaian bobeto selesai, maka proses selanjutnya adalah

para petani akan menunggu bulan yang baik untuk memasukkan bibit kelapa

yang telah mereka persiapkan. Kepercayaan masyarakat setempat, setiap

penanaman pohon kelapa harus melihat “ara lamo” atau “ara ici”. Ara lamo dapat

diartikan sebagai bulan besar dan ara ici sebagai bulan kecil. Perhitungan bulan

kecil menurut masyarakat di Dua Desa dimulai dari tanggal 1-9 bulan baru, dan

bulan besar adalah dihitung dari tanggal 20-30/31 (pada saat bulan purnama).

Bulan terbaik untuk melaksanakan kegiatan penanaman kelapa adalah pada

bulan kecil. Terdapat kepercayaan bahwa bulan kecil akan membuat tanaman

kelapa mereka cepat berbuah dan tumbuh subur. Sementara bulan besar

sebaliknya membuat tanaman mereka tidak tumbuh subur dan

perkembangannya cukup lambat. Walaupun ada terdapat tradisi penanaman

yang menunggu bulan kecil atau ara ici, namun tidak serta merta jika bulan kecil

tiba lantas proses penanamannya dilakukan, akan tetapi waktu penanamannya

mereka menunggu disaat wange soru atau matahari hampir terbenam yakni pada

jam 17-18 sore. Pada waktu ini maka proses penanaman dilaksanakan oleh

mereka, dengan posisi “kepala kelapa” menghadap ke matahari terbit. Bibit

kelapa yang ditanam sesuai waktu yang di percaya, perkembangan pohon

kelapa yang ditanam tidak terlalu tinggi. Begitupun sebaliknya jika proses

penanamannya dilakukan pada waktu pagi dan siang hari, maka bibit kelapa

yang ditanam akan tumbuh besar, dan menyulitkan pada saat panen..

Setelah tahap penanaman usai, proses perawatan akan di lakukan sekali

dalam sebulan. Bentuk perawatan yang dilakukan adalah membersihkan rumput

di bawah pohon kelapa dan setelah itu dibakar. Pihak-pihak yang terlibat dalam

kegiatan ini adalah mereka para petani kelapa yang berada di desa Susupu yang

bekerja sama melakukan kegiatan tersebut. Kegiatan ini menurut mereka

biasanya disebut sebagai munara oro wange, artinya ambil hari. Kegiatan oro

wange ini, dicontohkan oleh pak Radjab sebagai berikut, misalnya, Ada seorang

petani kelapa sebut saja si A melaksanakan pembersihan kelapa, atau panjat

kelapa, maka Si B, si C, maupun si D, mereka akan datang membantu, karena

66

awalnya Si A telah membantu mereka dalam pekerjaan yang sama, yakni

pembersihan kelapa atau panjat kelapa.

Dengan demikian oro wange ini, merupakan model pertukaran kerja yang

dapat diberlakukan pada pekerjaan yang sama. Dalam kegiatan oro wange

dihitung tenaga yang dikeluarkan berdasarkan berapa banyak pohon kelapa

yang dibersihkan atau dipanjat. Masyarakat di Desa Susupu dan Lako Akelamo

menganggap kegiatan oro wange mencirikan nilai-nilai “bari”, namun

perbedaannya bari melibatkan semua pekerja, dan tanpa mengenal batasan

kerja yang harus dikerjakan, sementara oro wange memiliki batasan kerja dan

berlaku pada pekerjaan yang sama. Dalam komunitas petani kelapa khususnya

di desa susupu hubungan timbal balik ini semakin memudar akibat komersialisasi

dalam sistem kontrak dalam proses pemanenan kelapa,seperti yang dijelaskan

pada bagian sebelumnya.

Dalam konteks pemeliharaan lahan dan tanaman yang telah ditanami,

bentuk-bentuk kegiatan ritual yang dilakukan dengan maksud penjagaan

tanaman dan pengolahan lahan sebagaimana juga dilakukan oleh masyarakat

Desa Lako Akelamo berdasarkan tradisinya, hingga kini masih tetap terpelihara

dan dijaga eksistensinya. Tradisi itu, disebut dengan beta ngamor. Beta-ngamor

seperti yang dijelaskan di atas adalah sejenis pohon-pohon pilihan yang

dikumpulkan dan disusun dengan rapih di sudut-sudut batas lahan, maupun

disamping batas lahan, dan terdapat nasi tumpeng dan telur (bira dada boro)

yang disajikan dan didoakan sebagai persembahan kepada sang kuasa, dan

stelah itu nasi tumpeng dan telurnya ditanam ditengah-tengah kebun, agar lahan

dan tanamannya tetap subur. Ritual ini dipimpin oleh orang yang dituakan, dan

orang tersebut ditugaskan menjaga lahan dari awal hingga akhir tanaman itu

mendekati panen.

Beta ngamor, dipercaya oleh masyarakat setempat sebagai , salah satu

cara untuk membasmi binatang-binatang kecil, maupun hama yang sengaja

datang untuk merusak tanaman yang terdapat pada dusun mereka. Jika kayu-

kayu pilihan dari hasil tebangan itu dikumpulkan dan disusun, maka dipercaya

binatang-binatang kecil seperti halnya tikus dan lain-lain tidak akan masuk

kedalam lahan yang telah ditanami, melainkan binatang-binatang itu akan masuk

kedalam kayu-kayu yang disusun itu yakni, ”beta nagmor”. Tentu bagi mereka ini

adalah cara-cara tradisonal yang hingga saat ini bagi masyarakat di Desa Lako

Akelamo masih dipraktekkan untuk membasmi serangan hama yang sengaja

67

merusak kebun dan tanamannya. Selanjutnya beta ngamor ini pun akan segera

dibakar atau dihanguskan setelah proses panen selesai.

Tahap berikutnya adalah tahap panen kelapa. Pada tahap panen inilah

kegiatan bari lebih banyak dikenal, bahkan kadang-kadang kosakata bari selalu

menunjuk pada aktivitas panen kelapa. Ini terjadi karena tahap panen kelapa

adalah tahap yang melibatkan banyak orang. Sebelum panen dilakukan mula-

mula segala peralatan yang dibutuhkan pada kegiatan panen dipersiapkan. Alat-

alat itu adalah beberapa buah parang (golok), pacol (cangkul), linggis, tempurung

(sebagai pengganti gayun), gayun biasanya digunakan untuk mengeluarkan

tanah dari galian yang biasanya umumnya dipakai pada saat penanaman pohon

kelapa baik di Desa Susupu maupun Lako Akelamo.

Sedangkan untuk kegiatan panen kelapa, peralatan yang harus

disiapkan adalah pedang kurang lebih 15 buah, siu-siu (alat pencongkel isi buah

kelapa dari tempurungnya), karung goni (sebagai wadah untuk menampung isi

buah kelapa yang telah dicongkel keluar), sari,(penggayung) sebagai pengganti

skop yang dipergunakan untuk membolak-balik isi kelapa pada saat pengasapan

di atas para-para kelapa. Harus mempersiapkan juga dego-dego (tempat duduk)

yang dibuat sendiri dari kulit kelapa untuk dijadikan tempat duduk nanti ketika

dilaksanakannya kegiatan popo igo (membelah kelapa) dan masiu (

mengeluarkan isi kelapa dari tempurungnya). Gerobak dan sapi, dipergunakan

untuk mengumpulkan buah kelapa yang telah dipetik dan berada di bawah pohon

kelapa.

Untuk memperjelas deskripsi aktivitas tahap panen kelapa, kita

mendatangi aktivitas panen di lahan Haler. Keseluruhan proses panen dahulunya

dilakukan secara bersama-sama dan karenanya disebut dengan bari. Bari

menjadi semacam satu kelompok petani kelapa, kelompok bari inilah yang

melakukan aktivitas panen secara bersama-sama. Seminggu sebelum

melakukan aktivitas bari dalam konteks penanaman kelapa dan pemanenan,

awal mulanya mereka mendatangi sanak keluarganya dalam rangka

menyampaikan maksud dan tujuan. Dan di waktu yang bersamaan pula mereka

menyempatkan diri untuk memberitahukan kawan-kawan petani kelapa yang

memiliki lahan kelapa yang sama untuk kegiatan penanaman ataupun panen

yang hendak mereka lakukan. Perlu diketahui bahwa para petani yang dihubungi,

tidak hanya berasal dari Desa Susupu saja, namun ada juga yang berasal di luar

Desa Susupu. Mereka datang tanpa dihubungi, namun semata-mata dikarenakan

68

adanya faktor pertukaran tenaga kerja sebelumnya dalam suatu aktifitas yang

sama.

Biasanya panen dilakukan 3 bulan sekali, dimulai dari lahan dibersihkan,

selanjutnya pohon kelapa dipanjat dan dipetik buahnya. Buah kelapa tersebut

kemudian dikumpulkan di tempat pengasapan. Selanjutnya bagaimana proses

pengolahan kelapa dilangsungkan terdeskripsikan sebagaimana kunjungan saya

ke lahan Haler siang itu. Siang itu saya mendapati di lahan Haler ternyata sudah

ada banyak orang, kira-kira 10 orang laki-laki, mereka sedang mencongkel-

congkel isi kelapa. Rupanya Haler sedang panen kecil, hanya dari buah kelapa

yang jatuh, sebagian hasil panjatan kelapa dan sebagian hasil pembelian Haler

dari petani di sekitarnya.

Setelah kelapa dikumpulkan di tempat pengasapan, proses selanjutnya

adalah pengolahan kelapa menjadi kopra. Prosesnya, kelapa dibelah dua, airnya

dikeluarkan, lalu isinya dicongkel kecil-kecil. Kegiatan mencongkel isi kelapa ini

disebut masiu Potongan kelapa kecil-kecil itu dimasukkan ke dalam karung untuk

nanti ditumpahkan di atas para-para pengasapan. Beberapa karung sudah

dihasilkan, bahkan sudah ada tumpukan potongan isi kelapa di atas para-para.

Setelah semua hasil potongan isi kelapa ada di atas para-para, maka segeralah

proses pengasapan dilakukan. Pengasapan berlangsung selama 1 malam dan

setelahnya proses pengasapan tersebut kelapa pun menjadi kopra. Hari

berikutnya kopra dimasukkan ke dalam karung dan kemudian diangkut untuk

dijual pada pengumpul di desa atau dibawa ke Jailolo.

Sebenarnya pendapatan komunitas petani kelapa tidak hanya didapat

dari hasil penjualan kopra, namun mereka juga bisa mendapatkan keuntungan

secara ekonomis dari batok kepala pasca pengasapan, namun karena

ketedaktersediaan pasar di Maluku Utara, membuat batok kelapa hanya di buang

begitu saja. Ibm menuturkan, bahwa :

…sabut dan batok kelapa dibiarkan dibuang atau dibakar sebagai pengganti kayu bakar, sisanya dibagikan kepada mereka yang mengikuti kerja bersama tersebut untuk keperluan sehari-hari misalnya membakar ikan, dll. Padahal di Manado, kata Ibrahim, sabut kelapa bisa dimanfaatkan, demikian juga dengan batok kelapa dapat dimanfaatkan sebagai arang, sebab di sana ada pengumpul/pengolah sabut dan arang untuk dipasarkan, sementara di sini tidak terdapat pengolah maupun pasar untuk sabut dan arang.

Umumnya setiap panen rutin selama 3 bulanan, petani seperti Pak

Rajab, panennya dapat mencapai volume 1 ton lebih. Harga sekarang Rp 250,-

69

/kg, maka bila dikalikan 1000 kg (1 ton), maka setiap 3 bulan mendapatkan Rp

2,5 juta rupiah. Rajab hanya mengeluarkan biaya untuk pengangkutan,

menyewa kendaraan, besaran sewa kendaraan dihitung dari banyaknya kopra

yang di bawa. Hitungannya per sak, 1 sak = Rp 10.000,-, 1 ton sama dengan

kurang lebih 10 hingga 12 sak, jadi ia hanya membayar sekitar Rp 100.000,-

saja.

Bentuk-bentuk kegiatan kerja bersama dalam setiap tahapan produksi

kelapa dari pembukaan dan penyiapan lahan hingga pemanenan inilah yang

disebut dengan bari atau mabari. Para petani kelapa yang terlibat dalam kerja

bersama tersebut mengelompokkan diri dan menyebut diri mereka sebagai

kelompok bari. Biasanya pengelompokan bari dilakukan atas dasar kedekatan

lokasi lahan mereka satu sama lain serta hubungan kekerabatan sebab biasanya

hubungan kekerabatan menyebabkan lokasi lahan mereka berdekatan.

6.3. Perbedaan Praktek Bari Dalam Pola Produksi Kelapa di Dua Desa

Khususnya di Desa Lako Akelamo sebagaimana diceritakan oleh D

Kepala Desa Lako Akelamo yang juga seorang petani kelapa, mempunyai tradisi

unik pada saat penanaman bibit kelapa. Menjelang kegiatan manyigu, sering

diwarnai dengan tradisi “tori gura” ( pencuri bibit). Tadisi ini, berlangsung pada

kegiatan penanaman kelapa dan padi, atau tanaman bulanan lainnya. Sehari

menjelang kegiatan menanam, bibit yang hendak ditanam akan dicuri/diambil

pada waktu subuh di lokasi pembibitan. Kegiatan mencuri bibit dilakukan para

petani secara bersama-sama, tanpa sepengetahuan pemilik lahan/bibit. Bibit

yang diambil, kemudian ditanam pada lahan yang telah dibersihkan oleh mereka.

Pemberitahuan bahwa bibitnya telah diambil dan telah ditanam di sampaikan

melalui bunyi tifa (beduk) bernada tarian gala lala atau togal. Tradisi ini

bertujuan untuk menyenangkan atau memberikan surprise bagi pemilik lahan

atau pemilik bibit tersebut.

Berbeda dengan masyarakat petani Lako Akelamo, pada masyarakat

petani Desa Susupu saat ini tradisi tori gura sudah hilang. Hilangnya tradisi ”tori

gura” di Desa Susupu, tentu dipengaruhi oleh banyak faktor, di antaranya

menurut Rjb adalah munculnya ketidakpercayaan. Ketidakpercayaan ini

didasarkan atas perilaku mencuri bibit oleh orang-orang tertentu sesama petani

yang tidak bertanggung jawab. Orang yang melakukan pencurian bibit, tidak

70

memiliki kepentingan untuk di jual, melainkan bibitnya di bawa ke lokasi miliknya

untuk di tanam. Menurut Rjb :

…pernah ada yang kehilangan tiga puluh bibit pohon kelapa pada

tempat pembibitan ketika digelarnya tradisi tori gura oleh teman-

temannya sesama petani. Bibit yang diangkut tidak sampai di dusun

yang hendak ditanami, tetapi di bawa pergi. Menurut M, faktor

kemalasan untuk melakukan pembibitan, menyebabkan yang

bersangkutan lebih suka mendapatkan bibit dengan cara mencuri, hal

tersebut diduga menyebabkan hilangnya bibit kelapanya pada tradisi

tori gura. Kejadian tersebut menyebabkan para petani akhirnya

memilih untuk memindahkan tempat pembibitan kelapa ke dusunnya

dengan menyewa orang untuk mengangkutnya. Ongkos pengangkutan

bibit sebesar Rp 100 per buah.

Jika diamati lebih jauh, maka bukan hanya faktor kemalasan yang

membuat berubahnya atau hilangnya tradisi torigura, namun karena factor

ketidakpercayaan sebagaian para petani di desa susupu kepada orang-orang

yang terlibat dalam tradisi tori gura.

Mengikuti mabari dalam kegiatan panen kelapa di Desa Susupu, terlihat

perempuan-perempuan berdatangan di lokasi pemanenan kelapa. Mereka

datang membawakan konsumsi untuk seluruh petani yang mengikuti kegiatan

bari. Itu artinya bahwa penarapan aktifitas mabari di Desa Susupu, pemilik

kebun yang melaksanakan proses panen mendapat tanggungjawab untuk

menanggung semua konsumsi petani yang mengikuti kegiatan bari. Biasanya

pekerjaan penyediaan konsumsi ini menjadi tugas perempuan (istri).

Seperti yang diceritakan istri Rjb di bawah ini

”saya harus mempersiapkan konsumsi untuk kebutuhan makan, minum, termasuk rokok para anggota bari. Aktifitas bari ini, saya harus keluarkan uang Rp 600.000,00 sampai Rp 700.000,00. untuk memenuhi kebutuhan rokok dan konsumsi makan dan minuman mereka. kebiasaan ini sangat memberatkan apalagi situasi harga kopra yang hanya Rp 2.500,00/kg. Kebun kami hanya mampu menghasilkan 1000 kg kelapa, maka keuntungan penjualan kelapa tidak akan kami dapatkan, karena terbagi habis dengan biaya konsumsi dan rokok yang diberikan disaat kegiatan panen

Ini gambaran fenomena “bari” ala Desa Susupu. Di Desa Lako Akelamo, tidak

pernah di temukan tradisi makan yang ditanggung sepenuhnya oleh orang yang

71

melaksanakan kegiatan bari. Bagi mereka yang melaksanakan ”hajatan” bari,

mereka hanya cukup menyiapkan peralatan yang dibutuhkan. Sementara

konsumsi makan dan minuman serta rokok disediakan sendiri oleh orang-orang

yang datang membantunya. Situasi ini sudah berlangsung kurang kebih 10 tahun

terakhir.

Dahulu di Desa Lako Akelamo, masih menggunakan praktek seperti yang

ada pada masyarakat di Desa Susupu. Namun saat ini tak diberlakukan lagi,

karena dianggap menyusahkan masyarakat petani kelapa itu sendiri, terutama di

tengah situasi harga barang-barang yang naik. Kesadaran akan hal ini,

berpuncak pada suatu pertemuan yang melibatkan seluruh petani pemilik lahan,

kelapa di Desa Lako Akelamo, beserta tokoh masyarakat dan unsur pemeritah

desa. Mereka menyepakati bahwa, pada setiap kegiatan panen konsumsi setiap

orang harus dibawa sendiri-sendiri dari rumah mereka masing-masing, tanpa

harus dibebankan oleh orang yang melaksanakan kegiatan panen tersebut.

Kesepakatan ini masyarakat di Desa Lako Akelamo didasarkan pada

pertimbangan bahwa, terdapat petani kelapa di Desa Lako Akelamo yang tidak

berkecukupan secara ekonomi, tentu menjadi suatu masalah yang cukup berat

ditengah-tengah harga sembako yang meningkat. Pertimbangan yang kedua

adalah menginginkan terciptanya hubungan masyarakat setempat yang tidak

saling membedakan berdasarkan status sosial ekonomi dalam kegiatan usaha

panen kelapa.

Tabel.4. Perbedaan mabari di dua desa lokasi penelitian

No Mabari di Desa Susupu No Mabari di Desa Lako Akelamo

1 Hilangnya tradisi tori gura 1 Masih terdapat Tradisi tori gura

2 Konsumsi di tangung oleh yang melakanakan panen

2 Konsumsi ditanggung oleh masing-masing anggota bari.

3 Anggota bari yang tidak datang bekerja, dapat di ganti dengan uang/barang

3 Anggota bari yang tidak hadir, harus mengutus orang sebagai pengganti, tenaga tidak diganti dengan uang/barang

Sabagaimana halnya D (kepala kampong/kades) di Desa Lako Akelamo

juga memiliki dusun kelapa, menyatakan bahwa di dalam proses panen dan

produksi kelapa dibebaskan dari tanggungan konsumsi, serta mendapatkan

72

tenaga sukarela (bari) dari anggota masyarakatnya. Kondisi inipun dapat terjadi

pada semua anggota masyarakat, walau pun kedudukan sosial ekonomi diantara

mereka berbeda. Di Desa Lako Akelamo, masyarakat petani kelapa secara

bersama-sama menyelesaikan setiap tahapan kegiatan dari penanaman hingga

pada proses panen. Tidak terdapat ganti rugi materi (kopi, gula, beras) dengan

tenaga dalam suatu pekerjaan, namun tenaga harus dibayar dengan tenaga.

Mereka yang tidak terlibat pada kegiatan bersama dapat mengutus orang lain

sebagai pengganti pada kegiatan panen tersebut..

Perbedaan mencolok antara petani Desa Susupu dan Lako Akelamo juga

terjadi pada kegiatan panjat kelapa.. Komunitas petani di Desa Susupu

dahulunya, bari dilakukan dalam semua tahap pengelolaan kelapa, sejak

penanaman hingga panen, akan tetapi kegiatan bari sekarang hanya dapat

ditemukan pada proses pengasapan atau pengolahan kopra dengan tahap

membelah, mengeluarkan isinya, dan proses pengasapan kelapa. Di Desa

Susupu kegiatan pemanjatan kelapa dilakukan dengan menyewa tenaga panjat.

Dibawah ini adalah kutipan pengakuan dan alasan pak Ibrahim tentang

penggunaan tenaga sewa panjat :

Torang di Desa Susupu sebenarnya tara pake sewa orang untuk banae kalapa. Tapi, torang sering pake mabari. Skarang ini torang pe petani-petani dorang juga sibuk deng dorang p karja-karja laeng yang dapa doi. Jadi kalo harap gratis banae torang p kalapa, dorang juga pasti mau, tapi dorang p karja juga dap alia rupa kabarang. Abis dorang so ada karja sampingan. Blum lagi torang p tetangga kabong yang rata-rata orang punya doi, dorang juga so kase biasa deng bayar kong. Kalu bayar orang, dia p sewa Rp 1.500,-. Satu pohon kalapa. ( Artinya : Di Desa kami sebenarya tidak menggunakan tenaga sewa dalam panjat kelapa, biasanya mereka menggunaka kelompok mabari. Sekarang ini para petani juga sibuk dengan pekerjaan sampingan mereka yang menghasilkan uang. Mereka bias dating membantu kita secara gratis, tapi hasil dari pekerjaan nanti tidak memuaskan. Di tambah lagi dengan tetangga-tetangga kebun yang rata-rata memiliki uang sering membiasakan kerja tenaga sewaan. Untuk tenaga sewaan, satu pohon kelapa di bayar sebesar Rp 1500.)

Munculnya tenaga sewa panjat kelapa di sebabkan oleh variasi pekerjaan

lain yang dimiliki oleh para petani. Variasi pekerjaan itu antara lain, seperti

kegiatan pertukangan, ojeg sepeda motor yang dapat memberikan penghasilan

harian buat masyarakat setempat. Mengikuti mabari dapat dilakukan namun

memiliki konsekwensi terhadap pendapatan harian mereka sebagai tukang ojeg,

dll. Kesibukan tugas dan pekerjaan, para PNS dan pengusaha yang memiliki

kebun kelapa turut menyuburkan praktek tenaga panjat sewaan di Desa Susupu.

73

Umumnya para petani kelapa mempraktekan tenaga kerja sewaan pada saat

harga kopra dipasaran meningkat. Sewa-menyewa ini hanya terdapat pada

proses mafere ( memanjat kelapa), namun ada juga yang berlangsung hingga

pada proses mapopo, masiu, dan proses pengasapan kelapa (mafufu).

Di Desa Susupu mulai mengenal teknologi berupa alat pemotong rumput.

Bila biasanya pembersihan lahan kelapa dikerjakan dengan mabari, saat ini telah

menggunakan mesin pemotong rumput. Mesin tersebut di pinjam dari sekolah,

atau kantor dinas lainnya. Di Desa Susupu pemilik mesin pemotong rumput

dimilki oleh desa, sekolah, dan sebagaian warga Desa. Ongkos sewa mesin

potong rumput untuk 1 hektar lahan adalah Rp 600.000,00. Tentu saja jumlah

yang tidak sedikit, apalagi di tengah harga kopra yang jatuh.

Bila dihitung ongkos panen petani Desa Susupu jumlahnya sangat besar.

Untuk pohon sebanyak 300 pohon, petani harus menyewa 3 tenaga panjat dalam

hitungannya 300 X Rp 1.500,00 = Rp 750.000,00, ongkos itu masih ditambah

dengan sewa mesin, 1 hektar lahan terdapat 150 pohon kelapa, berarti lahan

untuk 300 pohon kelapa adalah 2 hektar, maka sewa mesin untuk 2 hektar lahan

dapat mencapai Rp 1.200.000,00, ongkos tersbut belum ditambah dengan biaya

pengangkutan, biaya konsumsi, dan rokok. Untuk harga kopra yang hanya

mencapai Rp 2.500,00/kg saat ini, tentu ongkos panen petani kelapa menjadi

sangat besar dan memberatkan.

Fenomena tenaga panjat sewaan di atas, tidak dijumpai pada masyarakat

petani kelapa di Desa Lako Akelamo. Masyarakat petani di Desa ini tetap

melibatkan bari dalam seluruh tahap pemanenan, termasuk panjat kelapa.

Menurut masyarakat petani di Desa Lako Akelamo, menggunakan mabari lebih

menghemat biaya produksi petani.

Tabel 6 memperlihatkan tentang perubahan bari dan kelembagaan mabari di

Desa Sususpu dan Lako Akelamo kecamatan Sahu kabupaten Halmahera Barat.

6.4. Mekanisme Sosial Penyelesaian Konflik Produksi

Komunitas petani kelapa dua desa, memiliki pilihan tersendiri terkait

dengan mekanisme sosial penyelesaian konflik produksi. Terdapat

kecenderungan menggunakan kemampuan magic untuk mengantisipasi

hilangnya tanaman, rusaknya tanaman dari tangan-tangan orang yang tidak

bertanggungjawab. Bagi masyarakat di dua desa sering menyebut sebagai

matakau. Cara membuatnya tentu berbeda-beda dan sangat sederhana

74

Tabel 5. Ciri aktifitas mabari dan wujud baru kelembagaan mabari.

No Ciri Aktifitas Mabari Ciri Yang Berubah Wujud Baru Kelembagaan mabari

1 Mempunyai Tujuan Kerja sama,Tolong menolong dalam , pembukaan kebun kelapa, pembersihan kelapa, dll.

Terlihat penggunaan teknologi alat pemotong rumput pada pembersihan lahan, hadirnya “kelompok tani baru”-bisa dipakai dgn bayaran tertentu.

Terdapat kelompok organisasi modern

2 Memiliki Nilai Reciprocity ( orogia, orowange, )

Hadirnya tenaga sewa dalam aktifitas mabari

Memilik schedule kerja

3 Mempunya tradisi ritual dalam aktifitas mabari

Sudah hilangnya tradisi ritual dalam kegiatan mabari.

Terdapat kegiatan “jojobo” dalam keanggotaan kelompok tani

4 Tokoh adat ,atau pemilik lahan dipercayakan sebagai pimpinan dalam kegiatan mabari. (struktur organisasi tradisonal)

Telah ada kelompok tani yang memiliki struktur organisasi yang modern

Kelompok tani ini bisa dipekerjakan (disewa) dengan bayaran tertentu untuk suatu pekerjaan kebun.

pembuatannya. Umumnya mereka sering menggunakan botol. Di dalam botol

terdapat air yang telah dibacakan mantra-mantar, diujung botol diikat kain

berwarna merah dan digantung pada pohon yang terletak di tengah-tengah

dusun. Cara ini sangat dipercaya bagi masyarakat di dua desa, dan pada

umumnya masyarakat Halmahera Barat.

Keberadaan matakau di salah satu dusun, maka dusun itu akan aman

gangguan pengrusakan atau pencurian. Masyarakat setempat meyakini bahwa

apabila seseorang mempunyai niat mencuri tanaman/buah-buahan di daerah

dusun yang telah dipasang matakau, maka orang yang hendak mencuri akan

terkena sakit perut dan tidak bisa jalan, atau terdiam di bawah pohon. Terkecuali

pemilik kebun datang dan membebaskannya dengan penawar mantra yang

digunakan. Korban matakau kemudian diadili oleh si pemilik dusun dan

selanjutnya di bawah langsung ke kepala desa dan pihak kepolisian untuk

ditindaklanjuti penyelesaian kasusnya sesuai hukum.

Pada sisi lain, budaya sasi bukan saja berlaku pada tardisi masyarakat

Maluku di Ambon dalam pengaturan dan pengelolaan sumber daya alam. Sasi

sebagai bagian dari otoritas lokal, terdapat pada masyarakat di Kecamatan Sahu,

75

khususnya di desa Susupu dan Lako Akelamo. Menurut Corolus Djawa sebagai

tokoh budaya di Halmahera Barat, mengatakan bahwa istilah sasi dipakai oleh

masyarakat ambon karena saat itu ekspansi kerajaan Ternate sampai pada

wilayah Ambon dan mempengaruhi strukur sosial budaya masyarakatnya. Dilihat

dari asal kata sasi sendiri berasal dari bahasa Ternate yang artinya, sumpah.

Sumpah atau sasi bagi masyarakat Maluku Utara, khususnya di desa

Susupu dan Lako Akelamo diberlakukan atau diterapkan karena atas dasar

ketidakpuasan atas suatu masalah hak kepemilikan atau pengaturan sumber

daya alam, dan perselisihan antara dua belah pihak yang tidak ada titik temu,

seperti halnya tanah, tanaman, dan lain sebagainya. Bagi masyarakat setempat

melihat masalah tersebut sebagai “harbata” atau perselisihan yang tidak ada

akhir penyelesaiannya secara damai. Penyelesaian terhadap suatu masalah

yang memiliki kaitannya dengan tanah, dusun, pohon kelapa, biasanya masalah

tersebut di bawa kepada pihak pemerintah desa setempat untuk diselesaikan.

Dalam penyelesaian masalah yang dimediasi pemerintah desa tidak berhasil,

maka kedua belah pihak akan digiring oleh pihak pemerintah desa, tokoh

masyarakat, tokoh adat dan tokoh agama menemui para imam sigi lamo atau

masjid besar, dan jomoding/petugas harian masjid, beserta para khatib untuk

diselenggarakannya proses sasi di dalam masjid.

Sasi toma kalammullah atau proses sumpah dihadapan mihrab masjid

merupakan solusi penyelesaian atas masalah kedua bela pihak. Saksi-saksi

yang menghadiri proses itu terdiri dari tokoh agama, tokoh adat, imam masjid

besar, dan para jomoding. Prosesi sasi berlangsung dengan diletakannya kitab

suci alquran diatas kepala masing-masing kedua bela pihak, dan para saksi

memerintahkan kepada kedua belah pihak secara bergantian untuk si bobeto. Si

bobeto artinya memerintahkan kepada kedua belah pihak yang bermasalah

untuk mengeluarkan perkataan sumpah yang ditujukan kepada pihak pertama,

begitupun sebaliknya. Sumpah yang mereka keluarkan pada saat proses sasi

tentu sangat bervariasi, sesuai kehendak mereka. Masyarakat setempat percaya

akan akibat dari sasi ini. Pernah ditelusuri pelaku-pelaku yang pernah bertikai

masalah lahan kebun kelapa diantaranya Om M yang menceritakan sebagai

berikut :

Saya pernah bertikai dengan saudara saya bernama Om B, karena masalah lahan kelapa pada tahun 1990. Kami berdua mendapatkan warisan tanah dari kedua orang tua kami., namun saat menerima warisan tanah, hanya terdapat sedikit pohon kelapa di atas tanah itu. Saya pun segera melakukan pembibitan dan menanam pohon kelapa..

76

Selesai menanam pohon kelapa itu, saya pergi merantau tepatnya di pulau Bacan Halmahera selatan. Kurang lebih 15 tahun saya berada di Bacan bersama istri. Karena rindu akan kampung halamannya saya pun harus kembali ke kampung untuk kembali berkumpul bersama keluargan. Tanah warisan sepiniggalan orang tua kami di kelola oleh saudara saya, namanya Om B. Ia tidak memberikan kesempatan kepada saya untuk mengelola lahan yang dulu sempat saya Tanami kelapa. menurut Om B, selama 15 tahun semenjak saya pergi Om B lah yang merawat dan memelihar isi kebun itu. Saya berpendapat, apa yang dikatakan saudara saya (om Baba) itu benar, sehingga saya meminta untuk mengelola sebagiannya, dan sebagiannya lagi untuk Om B. Akan tetapi Om B bersikeras mempertahankan lahan dan seisinya, bahwa dia lah yang harus mengelolanya. Perselisihan pun terjadi, tidak ada titik penyelesaian sehingga baik Om Baba, dan saya digiring didepan kalammullah (didalam masjid tepatnya didepan mihrab) untuk dilakukan proses sasi. Baik Om B dan Om M, masing- masing mereka diberikan kesempatan untuk mengeluarkan bobeto.

Om M menceritakan bahwa persitiwa itu cukup menegangkan karena takut akan akibat yang akan ditanggungnya kedepan. Pada kesempatan itu bobeto yang disampaikan juga oleh Om M adalah sebagai berikut:

Insya Allah fangare lahi jou Allah Ta’ala, kalo gogou igo gena fangare gia sebadan kama boboho ua, fangare dahe bahala, cobo fangare na durengo ida bicara se iwaro fangaere na gia se badan na boboho karna igo enagena, ngon oro, tapi ngon se ngofa sedano tero panyake pado. ( artinya : saya minta Kepada Allah Swt, kalau benar-benar pohon kelapa itu tangan dan badan saya tidak lelah, maka saya akan dapat kutukan, namun jika keringat saya dapat bicara dan tahu bahwa badan dan tangan saya ini cukup dan sangat lelah atas kelapa yang ditanam itu, saya tidak akan minta apa2 dari hasil itu, tapi kamu (Om B) jika kamu tetap ambil dan makan pohon kelapa yang saya tanami, maka anak dan cucumu akan terkena penyakit kusta). Setelah selesai proses sasi di masjid, bagi masyarakat, mereka yakini akan

datang kebenaran dan sanksi dari Allah Swt terhadap pihak yang dianggap

benar dan salah. Menjelang setahun kemudian Om B menderita sakit, jari-jari

tangannya perlahan-lahan habis dimakan waktu. Om B pun kemudian dilarikan

ke rumah sakit. Sakit yang diderita adalah penyakit kusta menurut dokter. Ibu

dan anaknya pun menderita penyakit yang sama, yakni penyakit kusta.

Kasus Om B dan Om M merupakan sedikit dari sekian banyak kasus yang

disasi di desa Susupu. Jika ada lahan, dan pohon kelapa maupun sejenis

tanaman lainnya yang sedang di sasi, maka pasca gelar sasi, kedua belah pihak

bersama keluarganya masing-masing tidak akan bisa menikmati atau memiliki

apa yang diperebutkannya. Lahan kebun yang telah di sasi, kebanyakan di

kelola oleh orang lain diluar dari keluraga kedua belah pihak yang berseteru,

sementara hasil dari lahan tersebut diberikan kepada masjid.

77

Kemampuan masyarakat mengatur aturan main dalam hubungan sosial di

masyarakat, sebagaimana ditunjukkan oleh budaya sasi dalam keseharian

masyarakat Sahu, memperlihatkan kepada kita bahwa sesungguhnya

masyarakat mampu mengatur proses sosialnya, termasuk dalam hal ini

menetapkan sanksi-sanksi sosial mereka. Sanksi-sanksi sosial dan adat dalam

masyarakat menunjukkan kepada kita bahwa di dalam masyarakat tak hanya ada

satu hukum negara yang mengatur hubungan sosial melainkan ada hukum sosial

yang disusun masyarakat sendiri. Tertib sosial (social order) yang ada dalam

masyarakat sama sekali bukan merupakan bagian dari keteraturan hukum (legal

order) yang diproduksi negara, juga bukan ketertiban yang berlangsung dalam

masyarakat tersebut dianggap sebagai sikap taat yang spontan dan otomatis

(outomatic spontanaeus submission to tradition)1

Kemampuan masyarakat menciptakan aturan main, memberi makna dan

kategori secara beragam dan berubah sepanjang waktu mengenai hukum yang

berlangsung dalam kehidupan sosial mereka, menginspirasi Moore, Sally Falk,

1978, untuk mengemukakan pandangannya mengenai hukum sebagai proses.2

Ia menganggap masyarakat sebagai semi outonomous social field yang dapat

membentuk hukum. Semi outonomous social field menunjukkan bahwa

sesungguhnya masyarakat dapat memiliki kapasitas untuk membentuk aturan

(rule-making capasities). Bagi Moore, hukum (law) adalah self regulating dari

semi outonomous social field. Pandangan ini menurut Moore sangat penting

untuk melihat konteks masyarakat yang tak selalu berada di bawah subordinasi

aturan yang diproduksi negara, melainkan senantiasa berkembang sesuai

dengan konteks dinamika sosial masyarakatnya, dan integral dalam perilaku

masyarakatnya.

6.5. Pola Produksi dan Variasi Pekerjaan

Selain kebun kelapa sebagai sumber produksi utama, masyarakat dua

desa ini juga memiliki tanaman lain yang ditanam sebagai tanaman bulanan.

Mereka menyisakan sebagian petak kebunnya untuk ditanami tomat, pisang,

1 Pandangan dari Redcliffe Brown, 1986. Pandangan kaum structural fungsional ini juga diwakili

oleh Hoebel 1983, juga Pospisil, 1971. Dapat dibaca selanjutnya pada Irianto, Sulistyowati,

Sejarah dan Perkembangan Pemikiran Pluralisme Hukum dan Konsekwensi Metodologisnya,

artikel dalam Pluralisme Hukum dalam Kajian Interdisipliner, Huma, 2005, hal 56-57. 2 Moore, Sally Falk, Law as Process: An Anthropological Approach,University of California,

1978, chapter 2, hal 54-81.

78

pala, cengkeh, dan lain-lain. Tak jauh berbeda dengannya petani lain, mereka

juga menanam tanaman serupa termasuk juga kasbi (ubi), rica (cabai), coklat, dll.

Sementara sebagian petani Desa Lako Akelamo terutama mereka yang

berada dekat muara sungai memanfaatkan lahan suburnya untuk ditanami padi

gaga serta sayuran, di samping kelapa sebagai komoditas unggulannya. Mereka

yang berada dekat laut memanfaatkan pula waktu senggangnya untuk

menangkap ikan di laut. Bagi mereka, tanaman bulanan tersebut mereka jual

untuk menutupi keperluan sehari-hari di luar dari hasil produksi kelapa.

Pola produksi yang seperti ini merupakan pola multicrop, dimana kelapa

merupakan produksi pokok (maincrop) yang diharapkan memberikan cash

money yang besar setiap kali panen.

Walaupun di tengah-tengah harga kopra yang anjlok, namun tak ada

sedikit niatpun untuk merubah area pertanian/perkebunannya dari kebun kelapa

menjadi kebun tanaman lainnya. Hingga saat ini harga kopra hanya berada

pada kisaran 2500 rupiah per kilogram. Padahal 4 bulan yang lalu harga kopra

masih berada pada kisaran 5000 rupihah per kilogram. Umumnya hasil olahan

pengasapan kelapa (kopra) para petani di Desa Susupu dan Lako Akelamo

mencapai 1 ton kelapa. Di Desa Susupu dan Lako Akelamo, daya dukung

area/pertanian/perkebunan ( kebun kelapa) hingga mencapai 1 ton kopra maka

harus dibutuhkan luas lahan sebesar satu hingga dua hektar lahan, dengan

jumlah pohon kelapa yang ditanami sebanyak 150 pohon kelapa hinga 300

pohon kelapa, dengan jarak pohon kelapa sepanjang delapan kali depalan

meter. Rata-rata banyak buah kelapa per masing – masing pohon kelapa

sebanyak tiga puluh buah kelapa. Jika harga kopra sebesar 2500 rupiah per

kilogram, maka 1 ton kopra kelapa hanya dihargai dengan nilai Rp 2.500.000,00

(dua juta lima ratus ribu rupiah). Bagi petani kelapa, tentu merasakan beban

hidupnya terasa berat ditengah harga kopra yang anjlok akhir-akhir ini. Terdapat

kekecewaan antara hasil dan jerih payah mereka atas pohon kelapa, dengan

harga kopra di pasaran

Bagi mereka walaupun di tengah anjloknya harga kopra, mereka tetap

menerima dan menganggap tanaman kelapa sebagai komoditi unggulannya.

Sejak di telusuri, ternyata penghargaan terhadap pemberian orang tuanya

kepada mereka dalam bentuk kelapa inilah yang membuat mereka tidak tega

untuk menggantikan tanaman kelapanya dengan tanaman lainnya. Dalam

pandangannya, segala pemberian orang tua, tidak dapat diperjual belikan atas

79

dasar dan keinginan yang tidak jelas. Sebab ada semancam pantangan yang

dikenal dengan nama “boboso”. Namun demikan, lahan tersebut hanya dapat

dimanfaatkan untuk penanaman tanaman lainnya tanpa harus mengubah secara

keseluruhan fungsi lahan sebagai lahan kelapa.

Mereka memilih selain dengan menjual tanaman tambahannya, untuk

menutupi dan menambah hasil pendapatan kesehariannya mereka juga

melakukan pekerjaan tambahan dengan menjadi pekerja harian bangunan,

dengan ongkos upah perhari sebesar 25 ribu rupiah. Dengan alasan bahwa mata

pencaharian sebagai petani kelapa tidak menyita waktu terus-menerus, maka

sebagian masyarakat desa juga melakukan pekerjaan lain, seperti menjadi

tukang ojek motor sebagaimana yang dilakukan oleh Ibrahim.

Dengan demikian pola multicropping antara produksi kelapa dengan

penanaman tanaman lain yang kemudian dijual merupakan bentuk respon atas

situasi ekonomi petani kelapa yang semakin sulit. Pola ini menunjukkan sikap

resistensi ekonomi petani terhadap situasi luar yang menghimpitnya.

Strategi resistensi, dalam arti bertahan dari tekanan luar yang menghimpit

kondisi petani juga tersirat dari variasi pekerjaan atau pekerjaan lain di luar

produksi tani seperti buruh bangunan dan ojek yang dilakukan petani untuk tetap

mendapatkan penghasilan guna memenuhi kebutuhan hidupnya.

6.6.Pasar

Baik masyarakat Susupu dan Lako Akelamo hanya segelintir orang saja

yang memiliki akses terhadap jaringan di luar desa terutama menyangkut dengan

pasar. Khusus akses yang berkaitan dengan pasar, umumnya kopra dibeli oleh

orang-orang cina yang berada di dua desa tersebut, maupun orang Cina yang

berada di luar kecamatan. Ada beberapa orang pribumi asli yang menjadi

pembeli kelapa, namun jumlahnya sangat sedikit. Para petani yang berlanganan

jumlahnya sangat sedikit. Terdapat sepuluh orang Cina yang berdomisili di Desa

Susupu dan Lako Akelamo sebagai pembeli kopra, sementara terdapat empat

orang pribumi asli sebagai pembeli kopra.

Umumnya para petani kelapa menjual kopra kepada langganan orang

Cina. Mereka menganggap lebih menguntungkan, dibandingkan menjual kepada

pedagang pribumi asli. Orang Cina menurut mereka dapat dipercaya karena

“timbangan” kopra yang jujur serta harganya yang sedikit lebih tinggi walau

perbedaan harga dengan pedagang non cina hanya pada kisaran seratus-an.

80

Biasanya harga kopra yang dibeli oleh pembeli non Cina dalam satu kilogram

dihargai dengan sembilan ratus rupiah maka, pada orang Cina berani mengambil

dengan harga seribu per kilogram. Perbedaan harga hanya seratus rupiah,

namun sangat membantu untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga mereka.

Selain soal harga yang berbeda, alasan adalah karena mereka (orang

cina) mempunyai kepedulian dan perhatian yang cukup pada petani kelapa di

Desa Susupu. Radjab bercerita pada bulan Juni 2008 dia sudah melaksanakan

kegiatan panen kelapanya, namun pada bulan Juli uang yang didapat dari hasil

penjualan kopranya telah dipakai habis untuk memperbaiki kondisi rumah dan

memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidup lainnya. Pada saat yang bersamaan

anaknya yang masih duduk di bangku kuliah membutuhkan uang untuk

membayar iuran SPP. Untuk memenuhi kebutuhan pendidikan anaknya, dia tidak

meminta kepada keluarganya, namun dia hanya mengungkapkan keluhan

anaknya atas kebutuhan SPP anaknya kepada sesama petani kelapa yang

kebetulan berbatasan dusun kelapa dengannya yaitu Amir. Keluhan itu pun

terdengar sampai ditelinganya Om Hui3. Om Hui datang di rumah Radjab pada

pagi hari dan langsung menanyakan kebutuhannya untuk dapat memenuhi biaya

SPP anaknya. Radjab mengutarakan masalahnya dan pada saat itu juga Om

Hui membantu untuk meringankan masalah dan beban akan kebutuhan biaya

pendidikan anaknya.

Akan tetapi, pertolongan orang cina itu tidak secara gratis didapatkan.

Ada perjanjian atau kontrak, jika tiba saatnya kelapa di panen, hasilnya dalam

bentuk kopra harus dijual kepada orang cina. Setelah dijual, uang dari hasil

penjualan kopranya kemudian dipotong sebagai pengganti uang yang

dipinjamkan. Berbeda halnya dengan pembeli non Cina, tidak pernah membantu

mereka atau sekedar melihat mereka ketika dalam keadaan susah.

Bagi pedagang pembeli kopra pribumi, ada upaya dan keinginan untuk

membantu kebutuhan-kebutuhan mendesak para petani seperti yang dilakukan

oleh orang Cina (Om Hui), namun karena keterbatasan modal yang dimilikinya.

6.7. Hak dan Akses Sumberdaya Alam

Sebelum melanjutkan pembahasan kita mengenai proses produksi yang

lebih jauh, ada baiknya kita berangkat dari dua hal yang mendasar dalam

3 . Om Hui adalah nama salah satu pedagang pembeli kopra yang berdomisili di Desa Susupu yang

berketurunan cina. Dia telah hidup dan dibesarkan didesa ini. Disamping sebagai pembeli kopra,

kesehariannya sebagai pedagang sembilan bahan pokok dan lain sebagainya.

81

pembahasan mengenai manusia dan relasinya terhadap resources atau sumber

daya. Konteks pertama adalah mengenai Hak (Right) dan kedua adalah Access

(akses).

Kita perlu meletakkan cara pandang terhadap relasi manusia dengan

sumber daya ke dalam cara pandang komprehensif mengenai landscape

(kawasan) sosial, yang berarti meletakkan alam/sumber daya dalam satu

kesatuan ekosistem bersama manusia. Sumber daya sesungguhnya terletak di

dalam relasi sosial antara alam dan manusia, serta relasi antar manusia terhadap

alam. Relasi antar manusia terhadap alam berada dalam konteks mengenai

pengakuan sosial atas kepenguasaan seseorang atas sumber daya (alam),4

maupun konteks berlangsungnya transaksi sosial ekonomi terhadap sumber

daya. Pernyataan hubungan sumber daya dan manusia ada pada pernyataan

mengenai hak dan tindakan membangun akses (mengambil kemanfaatan) oleh

manusia terhadap sumber daya. Sementara relasi sosialnya berlangsung dalam

pengakuan sosial (baik dari pemerintah maupun masyarakat) atas

kepenguasaan maupun kepemilikan individual maupun kolektif dan kemanfaatan

atas transaksi sosial ekonomi terhadap sumber daya tersebut.5

Di sanalah konteks pokok konsep dari hak terhadap sumber daya alam.

Oleh karena itu dalam konteks hak atas tanah dari para petani kelapa tersebut,

pengakuan sosial terhadap penguasaan serta kepemilikan dari seseorang

merupakan dasar hak yang sesungguhnya.

N sebagai informan menjelaskan lebih lanjut mengenai hak atas sumber

daya itu, sebagai bundle of right, terpetakan dalam beberapa ciri kategori

kemanfaatan yang dapat diambil oleh yang bersangkutan. Sebagaimana

dituturkan Rjb dan beberapa petani kelapa lainnya, termasuk ditegaskan oleh

Kepala Desa Lako Akelamo, bahwa masyarakat hanya memiliki sertifikat tanah

dan rumah. Namun mereka tidak memiliki sertifikat kebun/lahan kelapa, Untuk

itu, masyarakat perlu melihatnya dari sudut pandang hak (right) dalam definisi

sebagai pengakuan sosial atas pernyataan (klaim) seseorang dalam mengambil

kemanfaatan/menggunakan resources. Bahwasanya pengakuan sosial tersebut

belum diformalisasi ke dalam bentuk pengakuan oleh negara berupa selembar

surat kepemilikan (sertifikat kepemilikan), bukanlah suatu masalah yang

meniadakan hak dari para petani tersebut.

4 Meminjam pernyataannya Neil Meyer dalam introduction to Property Righat.

5 Masih meminjam Neil Meyer.

82

Dalam pembicaraan mengenai hubungan manusia dan sumberdaya

alam, kategorisasi hak (right) adalah juga sesuatu konsep yang mendasar, yang

akan mempengaruhi relasi sosial antar manusia dalam hubungan terhadap

sumber daya yang dimaksud. Ini adalah kategorisasi yang mendasar dalam teori

property right. Dalam teori property right, konsep hak juga dipengaruhi oleh

karakteristik sumber daya. Meminjam pernyataan dari George Mc Dowell, bahwa

atribut dari benda (sumber daya alam) membuat perbedaan yang sangat kuat

dalam hubungan antar orang dan hak-hak kepemilikan dan digunakan dalam

hubungan antar manusia. Atribut yang berbeda akan menghasilkan tipe yang

berbeda dari ketergantungan tersebut, dan juga menghasilkan pilihan-pilihan

berbeda dari hak-hak kepemilikan. Oleh karena itu maka dalam pembicaraan ini

menjadi tepat kalau kita membahas terlebih dulu mengenai karakter sumber daya

alam dalam hubungannya dengan pernyataan hak dan akses.

Karakteristik sumber daya di sini adalah bentang alam berupa dataran

rendah, yang terpetak-petakkan dalam bentuk kebun yang ditumbuhi kelapa.

Masing-masing petani menandai batas-batas lahannya dengan tanaman lain

seperti pohon durian, atau batas alam seperti sungai. Tidak semua orang bebas

mengambil kemanfaatan dari kebun kelapa. Setiap yang ditanam seperti kelapa,

pisang, kasbi, pala, dll, hanya dimanfaatkan oleh pemiliknya, orang lain yang

menginginkan mengambil kemanfaatan dari kebun tersebut hanya dapat

mengambilnya dengan seijin si pemiliknya.

Melihat dari setiap kategori sebagaimana yang diperlihatkan dalam tabel

sebelumnya, maka tampak jelas bahwa karakteristik fisik sumber daya

menunjang bentuk-bentuk pemanfaatan tertentu sebagaimana kategori dalam

tabel, menunjukkan bahwa hak atas sumber daya yang ada merupakan private

property right, kepemilikan individual, bukan common property right (kepemilikan

bersama) atau open access of property right (kepemilikan terbuka). Bahwa

pengelolaan kebun dilakukan bersama-sama itu hanya menunjukkan kategori

management (kelola) bukan right (hak).

Berbeda sekali dengan laut di ujung Desa Susupu, yang secara

mendasar karakteristik sumber dayanya berupa laut, terbuka bagi siapa saja

untuk mengambil kemanfaatan atas sumber daya laut. Yang menjadi private

kemanfaatannya adalah ketika ikan sudah ditangkap oleh nelayan, dan hanya

dapat diambil kemanfaatannya oleh orang lain melalui transaksi.

83

Hak atas sumber daya yang masuk dalam kategori private property right

berpindah pada orang lain melalui transaksi (tradable), dalam hal ini transaksi

jual beli. Hal ini pun dapat terjadi di masyarakat petani kelapa Susupu,

sebagaimana disampaikan Rajab bahwa peralihan kebun dapat dilakukan

dengan jual beli, buktinya adalah kwitansi penjualan, dan surat keterangan jual

beli yang diketahui pihak desa.

Setelah bicara mengenai hak maka kita perlu bicara mengenai akses.

Berbeda dengan hak yang berkutat pada masalah kemanfaatan (benefit) atas

sumber daya yang mendapat pengakuan sosial, maka akses ada pada

pembahasan mengenai kontrol atas sumber daya, orang, dan institusi/lembaga,

sebagaimana dijelaskan oleh Nancy Lee Peluso dalam The Theory of Access.6

Tema akses dengan demikian merujuk pada isu kekuasaan atas sumber daya,

orang, maupun institusi/lembaga.

Dalam konteks ini mengacu pada subjek yang memiliki kekuasaan

(power) atas sumber daya, orang, dan institusi. Mereka yang mengontrol pasar

yaitu para pengumpul/pembeli kopra memiliki kuasa kontrol yang lebih besar

kepada para petani kelapa terutama dalam menentukan harga. Untuk mengikat

hubungan produksi dengan para petani mereka tak jarang juga melibatkan diri

dalam persoalan sosial lainnya, misalnya tolong-menolong keuangan, yang

walaupun pada dasarnya itu hanya hubungan pinjam-meminjam akan tetapi

memiliki arti sosial yang besar bagi para petani dan karenanya hubungan sosial

itu juga mempererat hubungan ekonomi produksi.

6.8. Ikhtisar

Kelembagaan mabari yang dilandasi nilai bari mempunyai manfaat besar

di kalangan masyarakat desa didalam konteks pengembangan kegiatan nafkah

penduduk dua desa lokasi penelitian. Kerjasama yang digalang dengan mabari

ternyata berkait dengan berbagai aspek pembangunan, mulai dari pengawas

sosial untuk pemeliharaan solidaritas sosial, pengaturan atas pengembangan

pasar, sampai pada memberi kepastian hak atas sumberdaya alam. Peran

pemerintah desa pun dapat ditingkatkan dengan adanya mabari. Oleh

karenanya, dapat dikatakan mabari masih berpotensi menjadi proses sosial yang

mendekatkan semua pihak, sehingga perlu dipelihara dan kembali

6 Dalam Peluso, Nancy Lee and Jesse C Ribot, A Theory of Access, Rural Sociology, June, 2003

84

didayagunakan dalam kehidupan masyarakat pedesaan di Kabupaten

Halmahera Barat.