luapan air ciberang
DESCRIPTION
mini cerpenTRANSCRIPT
Luapan Air Ciberang
Oleh : Sefty Astria Nugrahawati
Rangkabitung jarak yang tidak jauh dari keramaian ibu kota Indonesia, Jakarta.
Jarak tempuh kurang lebih hanya dua jam menggunakan kereta api. Namun entah mengapa
daerah yang aku diami ini diberi julukan “daerah tertinggal”. Mungkin benar atas julukan
itu, karena Rangkasbitung belum mempunyai fasilitas yang cukup, baik suprastruktur dan
infrasturktur yang kurang.
Tapi bagiku, Rangkasbitung tempat yang nyaman dijadikan tempat tinggal. Sumber
daya alam yang melimpah dan panorama alam yang cukup indah. Eksotisme pantai selatan
yang memukau mata menjadi tak ingin berkedip, gunung Halimun yang dikelilingi sungai
yang jernih, dan suku Baduy yang kukuh dengan kepercayaannya dan adat istiadat yang
dilestarikan. Itulah alasan mengapa aku betah tinggal di kota yang memiliki semboyan
“uman, aman, iman, amin”.
Aku adalah anak pertama dari empat bersaudara. Bapakku bekerja sebagai
pengrajin kayu dan ibuku bekerja sebagai buruh cuci. Hidupku tidak kaya, sederhana pun
hampir, sehingga karena alasan itulah keluargaku memiliki Kartu Keluarga Miskin. Walau
dalam ekonomi aku miskin, tapi hati dan imanku yang mewakiliatas segala kekayaanku.
Rumahku tidak jauh dari sungai ciberang, hanya 50 meter menuju sungai, tepatnya di desa
Pasir Tanjung. Rukun dan damai adalah aku dan keluargaku.
Dengan segala kekuranganku, tanggung jawabku sebagai anak pertama, aku tidak
ingin membuat orang tuaku kecewa terhadapku dan aku inginmereka bangga terhadapku.
Atas izin bapakku untuk bersekolah, kini aku duduk di bangku SMP kelas IX, dan ujian
nasional telah dihadapanku. Di sekolah aku dinobatkan sebagai murid yang berprestasi,
karena saat kelas VIII aku mendapatkan juara tiga lomba siswa teladan se-Kecamatan. Ya,
walau hanya juara tiga se-Kecamatan, tapi di sekolahku itu merupakan hal yang sangat
luar biasa. Jelas saja, karena sekolahku terletak dipinggiran kota. Jarak sekolah dengan
rumahku cukup jauh, jika dihitung dengan satuan matematika kurang lebih 10 km. Jarak
itu aku lalui dengan langkah per langkah, belum lagi sekolahku terletak di sebrang
kampung yang aku tempati, jembatan gantung yang sudah tua telah menjadi lalapan aku
tiap harinya menuju sekolah, tidak ada jalan lagi menuju sebrang sana kecuali tiap harinya
aku harus berenang agar sampai menuju sebrang, jembatan gantung tua itulah akses jalan
satu-satunya.
Awalnya aku takut sekali jika sendirian tanpa didampingi bapak melewati jembatan
gantung tua itu, tapi aku tidak ingin dianggap anak yang manja oleh bapak, aku tekadkan
dan memberanikan diri untuk melewati jembatan gantung tua itu, tanpa menghiraukan
phobia ku pada ketinggian, dan lama kelamaan aku terbiasa melewati jembatan itu. Alasan
mengapa aku memilih berjalan pergi ke sekolah dengan berjalan kaki sangat klasik,
memang aku diberi uang jajan, tapi aku jarang sekali memakai jatah itu untuk jajan,
melainkan untuk menabung. Hal itu saya lakukan karena aku sangat ingin melanjutkan
belajarku ditingkat menengah atas dan aku tidak ingin menyulitkan kedua orang tuaku.
Seperti biasanya setelah pulang sekolah, aku tidak pernah bermain dengan teman-
teman sebayaku, tapi aku keliling kampung untuk menawarkan barang daganganku kepada
warga yang ingin membeli.
”Teh, beli teh, gorengan !”, teriak orang yang memanggil dan ingin membeli
daganganku. Senyumku merekah pembeli pertama telah aku dapatkan setelah satu jam aku
berkeliling.
“Iya bu”, jawab aku membalikan badanku sambil tersenyum menghampiri ibu itu.
“Alhamdulillah, ya Allah”, gumam dalam hati kuucap syukur panjatkan pada Allah
Yang Maha Kuasa atas segala yang diciptakan-Nya dan terus melangkah dengan penuh
kepastian.
“Mau gorengan apa bu ? Ini ada pisang goreng, bakwan, keroket. Masih anget.
Tinggal dipilih bu ?” mulutku tak berhenti berbicara menawarkan makanan yang aku bawa
pada ibu itu.
“Hmm, bakwannya empat sama pisang gorengnya enam, jadi lima ribu ya neng ?
Jangan lupa bakwannya dikasih sambel”, ibu itu berkata sambil memilih-milih gorengan
yang aku bawa.
“Iya bu, terimakasih ya bu”, berserilah aku setelah lelah berjalan. Sedikit yang aku
dapat, tapi ini adalah berkah untuk aku, dan aku berterimakasih pada Allah SWT.
Langkah pun aku mulai kembali untuk mencari beberapa lembar kertas dan logam
yang dapat aku gunakan untuk mencukupi kebutuhan keluargaku. Ucap syukur sisa
daganganku tinggal sepuluh buah, walau tidak habis terjual tapi uang yang aku dapat hari
ini lumayan cukup besar.
Tak terasa adzan ashar telah terdengar oleh telingaku, panggilan seluruh umat
muslim untuk menghadap pada-Nya. Langkah kupercepat menuju mushola di tepi sungai,
mushola yang biasa aku kunjungi untuk istirahat sejenak merebahkan seluruh badan yang
letih setelah berjualan. Segera kuambil air wudhu, kubersihkan telapak tangan, wajah,
lengan, telinga dan kaki, ragaku segar kembali dan dinginnya air membuat mataku tak
terkantuk lagi. Kugelarkan sajadah, dan ku kenakan mukena yang ku bawa dari rumah.
Siap aku menghadap illahi sore ini dengan keadaan suci. Shalatku berjalan khusyuk.
Selesai salat aku memutuskan untuk tidak melanjutkan berjualan dan pulang ke
rumah. Tidak biasanya aku memilih untuk pulang, namun keyakinan hatiku menyuruhku
untuk segera pulang ke rumah. Saat aku melihat keluar melalui jendela dari dalam
mushola, awan berubah warna menjadi gelap, pertanda hujan akan datang. Ku segerakan
merapikan mukena dan meninggalkan mushola itu. Rintik hujan telah menyerbu tanah
yang kering, bau khas tanah yang terbasahi air tercium. Aku suka bau itu. Namun beberapa
menit kemudian hujan rintik berubah menjadi hujan yang sangat deras yang disertai angin
kencang. Dengan cepat ku ambil langkah seribu menuju rumah melewati pinggiran sungai
agar aku bisa segera datang sampai rumah.
“Assalamu’alaikum”, ucapku dengan nafas tidak teratur dan tiba dengan sekujur
tubuhku basah terkena air hujan.
“Walaikumsalam, nak. MasyaAllah, kenapa kamu ini ? Ayo cepat ganti
pakaianmu, mandi sana, supaya kamu tidak sakit nanti”, sambil membuka pintu ibuku
berbicara dengan lembut memberikan perhatian penuh padaku, senang aku memiliki ibu
seperti beliau. Ibu yang memiliki sifat sabar yang sangat luar biasa dan bisa menjadi
contoh yang baik untuk aku dan keempat adikku.
“Iya bu, terimakasih. Tapi bu, maafkan aku. Bukan hanya aku yang basah, tapi sisa
gorengannya ikut basah juga bu. Dan hari ini aku tidak berkeliling ke kampung sebelah,
jadi penghasilanyang aku dapat tidak penuh bu. Maafkan bu”, jawabku lirih karena aku
menyesal, daganganku tidak habis hari ini.
“Huusstt nak, jangan meminta maaf, tidak apa-apa sayang, yang penting kamu bisa
kembali dengan selamat. Hiraukan sisa gorengan itu, gorengan bisa ibu buat lagi. Sana gih
cepat mandi, pakai air hangat”, ibuku masih tetap sabar walaupun aku telah merugikan
dagangannya, ibuku benar-benar sangat menyayangiku. Syukur ku ucapkan kembali,
bersyukur dan berterimakasih pada Allah SWT bahwa aku diberikan ibu yang sangat dan
sangat baik.
Sambil berjalan menuju kamar mandi, aku baru sadar bahwa bapak tidak ada di
rumah. “Bu, bapak mana ?”, tanyaku penasaran kepada ibu.
“Bapak belum pulang nak, mungkin bapak masih kerja. Tapi tidak biasanya bapak
pulang sesore ini. Ayo cepat mandi”, ibu menjelaskan kepadaku tentang keberadaan
bapak.
“Oh, gitu. Baiklah bu”, segera ku masuk ke kamar mandi. Dan saat aku mandi,
entah mengapa aku khawatir sekali pada bapak yang belum pulang. Tapi aku tetap berpikir
positif bahwa bapak akan baik-baik saja.
Waktu menunjukan pukul 17.15 WIB, tapi sore itu berbeda dengan yang
sebelumnya, tertutupnya matahari dengan awan yang hitam membuat sore ini menjadi
sangat gelap. Magrib pun telah tiba, hujan sangat deras yang tak kunjung henti, gemuruh
petir dan sambaran kilat terus menerus menembus bumi pertiwi.
Dengan pikiran yang mendesak aku untuk berpikir positif, aku buka lembaran tiap
lembaran pada lapisan kertas menumpuk yang bertuliskan bahasa Indonesia. Hampir lupa
bahwa pelajaran ini ada tugas yang belum aku kerjakan di ruang tamu. Tidak lama aku
mengerjakan tugas terdengar suara ketukan pintu dari luar. Setelah ku bukakan pintu,
terlihat sosok seseorang dengan postur tubuh yang cukup besar, dada yang lapang, dan
dengan komdisi pakaian yang basah.
“Assalamualaikum”, suara yang lirih dan bergetar karena dinginnya badan yang
terciprat air hujan, terdengar dari luar.
“Wallaikumsalam, bapak, bapak darimana jam segini baru pulang ? Bapak gak
kenapa-kenapa ?”, kubukakan pintu dan dengan sangat terkejut ku jawab salam bapak, aku
khawatir akan keadaan bapak.
“Bapak tidak kenapa-kenapa nak, bapak cuma kehujanan dan sedikit capek. Mana
adik-adikmu ?”, jawab bapak dengan nada rendah karena telah letih bekerja seharian.
Namun bapak masih saja memperlihatkan senyum bahagia kepada aku dan adik-adikku
juga ibu. Itulah bapak meski raganya telah rapuh tapi bapak tidak pernah menyerah untuk
menjalani kehidupan dengan keikhlasan.
“Hanun, Alia, Fatir, sudah tidur dari magrib tadi pak”, terdengar suara ibu dari
dapur menjawab pertanyaan bapak.
“Oh gitu, terus kenapa kamu belum tidur Aisha ?”, bapak bertanya padaku, karena
aku anak satu-satunya yang belum pergi ke pulau kapuk. Dan bapak, merebahkan
badannya di kursi goyang yang sudah tua pemberian almarhum kakekku.
“Aisha masih ngerjain tugas pak, besok harus selesai dan dikumpulkan. Sebentar
lagi juga selesai pak”, jawabku sambil mengerjakan tugas sekolah kembali.
“Yasudah kerjakan dulu, tapi ingat jangan malam-malam kamu tidur, nanti besok
kesiangan pergi sekolah”, bapak memberi nasihat padaku dengan penuh kasih sayang.
“Iya pak”, senyumku pada bapak dan syukurku kembali memiliki bapak yang tak
kalah sayang padaku dan adik-adikku.
Setelah selesai aku mengerjakan tugas, kurapikan buku-buku dan kumasukan ke
dalam tas, lalu aku pergi mengambil wudhu untuk melaksanakan kewajibanku sebagai
kaum muslim agar aku dicintai Allah SWT. Selalu aku memohon kepada yang kuasa, agar
salatku dapat diterima oleh-Nya. Dan semoga do’a yang aku minta dapat dikabulkan oleh
Allah SWT. Tepat pukul 23.00 WIB aku rapihkan kembali alat salat yang aku kenakan,
dan kemudian aku membaringkan tubuhku di atas risbang yang dilapisi kasur
palembangdengan sandaran bantal yang sudah lusuh, namun bantal lusuh itu sangat
nyaman untukku. Namun aku bingung, akan merebahkan tubuh ini dimana, semua lahan
telah diambil oleh adik-adikku dengan posisi tidur yang tidak teratur. Walau tidak luas dan
tidak dapat kugerakan seluruh anggota badan, aku tidur di paling ujung risbang itu. Do’a
ku lafalkan kembali agar setan-setan tidak menggangguku ketika tidur
Lelapan tidurku terus diiringi oleh derasnya hujan dan gemuruh petir, memang hal
itu membuat tidurku pulas seperti kerbau. Di tengah mimpiku yang indah, aku terusik
olehtetsan air yang jatuh dari atap-atap rumah yang bolong. Aku pun terbangun, terdengar
dengan lantang warga yang mengatakan “Banjir...banjirr...banjir...”. Sontak aku langsung
turun dari risbang, dan ternyata benar, ketika kutapakkan kaki pada lantai, air itu selututku.
Aku panik, ku panggil bapak dan ibu. “Bapak, Ibu,” panggilku dengan teriakan dengan
volume suara melebihi satu oktaf. Ketika aku mengintip dari luar pintu kamarku, aku
dapati bapak dan ibu yang telah bolak-balik membereskan barang-barang yang mungkin
sekira mereka berharga, tapi aku heran, mengapa aku dan adik-adikku tidak dibangunkan.
Tidak berpikir lama, kubangunkan adik-adikku.
“Hanun, Alia, Fatir, ayo bangun, bangun”, membangunkan mereka perlahan,
karena aku tidak ingin membuat mereka panik.
“Tapi ini masih malam kaka, aku masih ingin tidur”, ucap Hanun yang masih
terkantuk.
“Ayo, bangun, kamu ingin tenggelam dalam air ini, lihat ke bawah, air sudah
selututku”, tidak dapat aku sembunyikan rasa panik aku terhadap adik-adikku.
“Apa ? Banjir kak ?”, terkejut Alia.
“Ini bukan banjir, gunung meletus, iyalah, kau ini bagaimana. Ayo cepat bereskan
barang-barang berharga kalian. Kakak akan membawa Fatir keluar. Hanun jaga adikmu
ya”, dengan sedikit kesal aku menjawab pertanyaan Alia karena terlalu banyak pertanyaan
yang diucapkan.
Aku dengan mengendong Fatir segera keluar dari kamar. Bapak dan ibu telah basah
kuyup memberskan peralatan rumah tangga, dan membawa ke tempat yang lebih tinggi.
Ketika aku bertanya pada ibuku, ibuku pun menjelaskan alasan mengapa ibu dan bapak
tidak membangunkan aku dan adik-adikku terlebih dahulu, yaitu karena ibu dan bapakku
tidak ingin adik-adikku capek karena harus mengangkat-angkat barang yang cukup berat.
Untung saja aku tidak berpikiran negatif terlebih dahulu, dan memang benar kedua orang
tuaku sangat sayang padaku dan adik-adikku.
Selesai Ibu, Bapak, Hanun, Alia, dan aku membereskan peralatan rumah dan pergi
kedataran yang lebih tinggi. Tanpa terasa tetesan air mata akupun terjatuh, ada perasaan
marah pada sang pencipta, mengapa memberi cobaan yang cukup berat terhadapku,
bapakku, ibuku, adik-adiku dan seluruh warga di desa Pasir Tanjung dan lainnya yang
terkena banjir. Cukup sulit untukku dan keluargaku menjalani kerasnya hidup dengan
ekonomi yang tidak lebih hanya untuk kebutuhan sehari-hari dan kini banjir yang
menggenangkan rumahku. Tangisanku terlihat oleh ibu. Ibu tau apa yang aku tangisi,
namun dengan kesabaran ibu, ibu menasihatiku, bahwa dalam kondisi ini aku harus tetap
bersyukur bahwa aku masih bisa berkumpul dengan keluargaku walau dengan kondisi
seperti ini, dan banjir ini hanyalah peringatan dari Allah SWT, bahwasannya kita harus
tetap untuk menjaga dan melestarikan lingkungan, jangan sampai kita merusaknya.
Sungguh sabar ibu menghadapi ini semua, dan masih ada cekungan di lesung pipinya
ketika senyum. Dan aku sadar, bahwa aku tidak boleh lemah dan menyalahkan semua ini
pada Allah SWT, dan sadar bahwa ini semua kembali pada manusia yang menyebabkan
seperti ini.
Dua hari kemudian, luapan air ciberang menjadi surut, pintu bendungan di
Pamarayab dibuka, dan banjir itu berpindah ke Serang, tepatnya di daerah Tol Jakarta-
Merak.
Hamdalah aku ucapkan, seluruh warga desa Pasir Tanjung saling gotong royong
untuk membersihkan lingkungan sekitar yang terkena banjir. Sangat banyak hewan-hewan
yang terdampar di pekarangan rumah karena terbawa arus banjir, seperti cacing, lintah,
bahkan ular.
Dengan ajakan bapak yang bersemangat, aku dan adik-adikku kembali ke rumah
untuk memberskan rumah. Cukup satu hari penuh untuk memberskan seisi dan luar rumah.
letih tak terkira, walau sudah dibersekan, tapi aku dan adik-adikku belum bisa tidur di
risbang yang dilapisi kasur palembang itu karena masih basah, terpaksa aku, bapak, ibu,
dan adik-adiku tidur di pertengahan rumah. Masih nyaman untuk aku tidur.
Senang aku telah kembali ke rumah, namun masih ada yang aku sedihkan. Yaitu
jembatan tua itu berubah menjadi jembatan yang tidak layak pakai, jembatan itu tidak
datar lagi, tapi miring 90° akibat banjir yang melanda desaku dua hari yang lalu. Dengan
sangat terpaksa aku melewati jembatan itu jengan berpegangan terhadap satu tali tambang
dengan posisi jalan seperti kepiting, lima belas menit aku melewati jembatan itu dengan
jantung yang berdebar karena berada pada ketinggian, aku berjalan lima langkah dan
berhenti untuk mengatur nafas, aku berjalan kembali dan berhenti mengatur nafas kembali
dan seterusnya itu yang aku lakukan selama berjalan pada jembatan gantung tua yang
miring itu untuk menyebrang. Sekolah, aku harus bangun subuh agar aku dapat antrian
paling depan untuk menyebrang jembatan gantung tua yang miring itu, jika jembatan itu
diisi banyak orang otomatis jembatan itu akan rubuh. Diisi kurang lebih sepuluh orang
untuk tingkatan Sekolah Dasar, delapan orang untuk tingkatan Sekolah Menengah
Pertama, dan lima orang untu tigkatan dewasa. Sulit memang tapi harus aku lalui, jika aku
memilih jalan memutar, waktu berangkat sekolahku akan bertambah kurang lebih 45
menit. Waktu yang tidak sedikit.