love in memories

Upload: husnarusdiani

Post on 06-Jan-2016

215 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

cerita cinta berakhir tragis

TRANSCRIPT

Love in MemoriesBy: Husna RusdianiCinta. Percayakah pada kata itu? Pernahkah merasakannya? Tidak! Belum! Sampai saat itu tiba. Saat rasa manis itu menelusup ke relung jiwa yang hambar. Menghangatkan hati yang dingin. Terus menjalar hingga ke seluruh organ tubuh, menggelitik di tiap sudutnya. Dan saat gejala itu mulai terasa, itulah yang disebut cinta. Di saat sepasang manusia saling bertemu, dan mata itu saling bertatapan. Saat itulah rasa itu mulai tumbuh. Rasa yang menyenangkan, menghangatkan, dan begitu manis.--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Teng Teng Teng

Bel istirahat berdenting keras, mencipta gerombolan siswa berhambur ke luar dari tiap pintu kelas.

Kau tidak jajan, Luna? bertanya pada seorang gadis yang sedang duduk di bangku depan kelas. Hanya gelengan kecil yang mewakili jawaban si gadis. Sedikit memberikan senyuman dari bibir kecilnya kepada sang sahabat, Tania.

Kenapa akhir-akhir ini kau selalu tidak mau jajan saat istirahat pertama, sih? kesal kepada sang sahabat yang akhir-akhir ini sering menolak jika diajak jajan di saat istirahat pertama, dan lebih memilih duduk di bangku depan kelas. Diam. Tidak ada satu katapun yang keluar dari mulut Luna, seakan mulutnya sudah terkunci rapat dan tidak dapat dibuka lagi. Menyisakan Tania yang hanya melongos kesal, menatap Luna yang hanya diam sambil menatap lurus ke depan.

Tan panggil Luna lirih, hampir tak terdengar.

Apa? jawab Tania ketus. Seakan ingin membalas perlakuan Luna yang sedari tadi hanya mendiamkannya.

Kau pernah jatuh cinta? Luna memalingkan wajahnya, berbalik memandang Tania ynag menatapnya dengan tatapan tidak percaya. Apa yang barusan ia dengar? Seorang Luna bertanya soal cinta? Ini mimpi!

Apa kau sedang jatuh cinta, Luna? tidak percaya! Tania bahkan hampir pingsan mendengarnya. Siapa yang telah membuat sahabatnya yang satu ini jatuh cinta? Selama ini Luna tidak pernah membicarakan masalah laki-laki yang dekat dengannya. Lalu siapa yang telah membuat Luna membicarakan cinta? Apakah laki-laki itu juga yang mengubah sifat Luna menjadi sedikit lebih pemurung?

Luna tersenyum tipis. Mengalihkan pandangannya dan kembali menatap lurus ke depan. Memperhatikan sekelompok anak laki-laki yang mulai memenuhi lapangan basket. Sementara Tania hanya bisa menautkan alisnya bingung. Mengambil posisi duduk di samping Luna dan ikut menatap ke depan. Pikirannya mulai menerawang siapa laki-laki yang kiranya telah merebut hati Luna? Apa laki-laki itulah yang menjadi alasan Luna sering menolak diajak jajan saat istirahat pertama?

Siapa? Siapa laki-laki yang kau sukai? terucap begitu saja dari mulut Tania. Ia benar-benar penasaran siapa laki-laki itu. Apa laki-laki itu salah satu dari murid-murid yang sedang asyik bermain basket?

Luna menatap Tania lekat, mencari bilar mata Tania yang penuh rasa penasaran. Sejurus kemudian Luna mendongkakkan kepalanya, menengadah ke langit. Menatap gumpalan awan-awan yang bergerak pelan. Seakan membimbingnya untuk kembali mengulang suatu memori.-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Aku lelaaaahhh !! Luna mendengus kesal. Menatap sapu lidi yang tergeletak begitu saja di samping tumpukan daun-daun kering. Merutuki dirinya sendiri yang dihukum oleh Pak Kadir karena terlambat datang ke sekolah. Seandainya tadi malam ia menolak ajakan kakaknya untuk menemani menonton bola. Seandainya ia tidak lupa menyalakan alarm jam weaker, dan bangun pagi seperti biasa. Seandainya tadi ia cepat dapat taksi. Seandainya ia tidak bertemu dengan Pak Kadir. Seandainya. Seandainya dan seandainya. Seandainya semua itu tidak terjadi, nasibnya tidak akan berkahir di sini. Di lapangan basket bersama seonggok sapu lidi dan daun-daun kering yang berserakan di mana-mana.

Aku benci hari ini! Benar-benar menyebal

Awaasss!!

Bukkkk

Sebuah bola basket berhasil mendarat kasar tepat di kepala Luna, membuatnya beraduh ria. Kepala Luna serasa berputar. Ia bahkan hampir pingsan, jika tidak ada seorang yang berlari menghampirinya.

Maaf, aku tidak sengaja ucap laki-laki yang saat ini sedang memungut bola yang tergeletak di samping Luna. Hey! Apa kau baik-baik saja? laki-laki itu berdiri memperhatikan Luna yang masih memegangi kepalanya yang terasa berputar-putar.

Hah? Aku Luna menggelengkan kepalanya, mencoba mengusir bintang-bintang yang mulai berkeliling di atas kepalanya. Aku.. aku

Kau tidak terkena amnesia, kan ? ucap laki-laki itu asal sambil memandang prihatin Luna.

Luna mendongkakkan kepalanya yang sudah tidak terasa berputar lagi. Membuka matanya pelan, dan mulai mengedarkan pandang ke sekeliling. Sampai akhirnya, kedua bola matanya menangkap sosok di hadapnnya.

Deg.. deg.. deg..

Apa ini? Apa ia malaikat? Apa aku sudah mati karena bola tadi? Apa iya aku sudah di surga sekarang? Ahh bukan. Kakiku masih menginjak tanah. Aku masih di lapangan basket. Luna membatin. Pandangannya tak lepas dari wajah laki-laki yang mulai menatapnya... aneh.

Hey! Apa kau benar-benar terkena amnesia? pertanyaan bodoh yang keluar dari mulut laki-laki tadi berhasil membuyarkan lamunan Luna.

Te.. Tentu saja tidak! Aku masih ingat namaku. Namaku Luna. Luna Amelia. Dan kau Luna berhenti sejenak, matanya mulai mencari-cari letak name tag laki-laki itu. Kau.. Kau Danil kan? Danil Suhendra? yaa.. luna baru ingat! Laki-laki ini bernama Danil yang baru tiga bulan pindah ke sekolah ini. Pantas luna hampir tidak mengenalinya.

Baguslah jika kau tidak apa-apa. Kalu begitu aku pergi dulu. Lain kali hati-hati jika sedang berada di tengah lapangan basket. Danil tersenyum kecil sebelum berbalik dan meninggalkan Luna yang masih melongo di tengah lapangan. Sesekali ia memejamkan matanya, merasakan sesuatu yang berdesir hebat di aliran darahnya.

Sreekkkk~

Suara gesekan antara kursi dan lantai berdenyit keras membuat Luna menoleh ke arah sumber suara dan menghentikan sejenak kegiatan makannya.

Hey! Kita bertemu lagi. Sapa seseorang yang kini telah mengambil posisi duduk di samping Luna. Kalau tidak salah namamu Luna kan? tanyanya lagi sambil tersenyum manis. Begitu manis, hingga membuat Luna terus berkutat dengan kata-kata seperti tampan, imut, sempurna dalam pikirannya.

I.. Iya. Kau Danil, kan? Jawab Luna sambil memamerkan senyuman terbaiknya. Membuat yang ditanya mengangguk pelan, merespon pertanyaan Luna.

Eh. Kau benar-benar tidak apa-apakan, Lun?

Iya. Aku tidak apa-apa. jawab Luna singkat, ada semburat merah yang kini telah menghiasi pipi tirusnya.

Bagulah kalau begitu. Sahut Danil santai, sambil mulai menyuap makanannya. Menyisakan Luna yang sesekali mencuri pangang ke arahnya selama acara makan berlangsung di kantin.

***

Love at first sight Luna bergumam sendiri di kamarnya. Di depannya tersuguh tumpukan buku tebal yang sedari tadi hanya ia bolak-balikkan. Seakan tidak bisa memikirkan hal lain, otaknya terus memproses sebuah nama Danil Suhendra. Bahkan saat ini wajah Danil terus menari-nari di benak Luna. Benarkah ini yang dinamakan cinta? Cinta pertama yang dirasakan Luna. Cinta yang datang, tepat pada perjumpaan pertama.

Ck! Kenapa dia begitu tampan sih? Manis, baik, dan senyumnya itu.. ahhh tampaknya aku benar-benar jatuh

Clekkk~

Jatuh apa, Lun? Siapa yang tampan? Luna gelagapan bukan main, ia bahkan hampir jatuh dari kursinya hanya gara-gara Ricky, sang kakak yang tiba-tiba masuk ke kamarnya. Dan kini ia tengah duduk dengan santai di pinggir kasur Luna.Hey! Kenapa tingkahmu jadi aneh, sih? Ricky mendekatkan wajahnya dengan wajah Luna. Wajahmu merah, Luna. Apa kau sakit? meletakkan punggung tangannya tepat di dahi Luna, mengukur suhu tubuh sang adik. Tidak panas. Atau jangan-jangan kau menggantung kalimatnya, menjauhkan wajahnya dari wajah Luna, mengetuk-negetuk jemarinya di dagu, kemudian menyeringai aneh. Apa kau sedang jatuh cinta, Luna? Seperti seorang sniper handal yang lihai menembakkan peluru. Tebakan Ricky tepat sasaran. Membuat pipi Luna semakin bersemu merah.

Emm.. mu.. mungkin. Sahutan kecil dari Luna, namun berhasil mengundang gelak tawa Ricky. Luna tidak bisa menghindar atau sekedar berkata, Tidak. Mana mungkin aku jatuh cinta. Itu hanya akan sia-sia, Ricky terlalu mengenalnya.

Wahhh~ adikku ternyata bisa juga bisa jatuh cinta. Ricky kembali membuka suara setelah mengakhiri tawanya. Ceritakan padaku, siapa laki-laki yang telah merebut hati adik manisku ini? kembali menggoda Luna yang mulai menatapnya sebal. Mencubit pelan pipi Luna. Kemudian berhenti saat tangan Luna memukul keras tangannya dan mulai bercerita.

***

Jika bertemu sebanyak tiga kali berturut-turut dan itu tidak disengaja, mungkin itu bisa dikatakan jodoh. Luna berjalan sambil menenteng dua buah mangkuk di tangannya. Minggu pagi yang harusnya masih ia nikmati di singgasana mimpinya, harus ia relakan begitu saja setelah sang kakak yang tiba-tiba mengeluh sakit kaki dan menyuruh Luna menggantikannya untuk membeli bubur ayam di depan komplek. Luna berjalan tanpa semangat sambil sesekali mengulang kalimat yang diucapkan kakaknya tadi malam. Aku tidak percaya, Kak Ricky masih percaya dengan mitos semacam itu. Aku saja tidak perca Luna menggantung kalimatnya saat kedua bola matanya menangkap siluet seorang yang ia kenal, tengah mengantre membeli bubur ayam.Aku percaya mitos itu! Luna berguman pelan, sambil mempercepat langkahnya menuju kedai bubur ayam.

Hai, Danil Luna menepuk pundak Danil yang saat ini mengantre di depannya.

Oh, Luna! Apa kau mau membeli bubur ayam juga? Danil berpaling memandang Luna sambil tersenyum manis.

Iya. Emm, rumahmu di dekat sini?

Ya, rumahku di komplek sebelah. Kau sendiri?

Rumahku di komplek ini. Tepat di sebelah tikungan itu.Benarkah? Wah! Ternyata rumah kita berdekatan, ya ?

Iya! sahut Luna. Dan nampaknya kita juga berjodoh. lanjutnya dalam hati.

Kau akan makan di sini? tanya Luna pada Danil yang telah memposisikan dirinya duduk di kursi taman samping kedai. Hanya anggukan pasti dari danil yang menjawab pertanyaan Luna. Danil kembali berkutat pada bubur ayamnya yang masih mengepulkan asap.

Ehh, kau juga akan makan di sini? menoleh pada Luna yang tiba-tiba duduk di sampingnya, ikut mengaduk bubur yang dipangkunya.

Iya. Sepertinya mengasyikan makan di sini. Jawab Luna pasti. Melempar senyum pada Danil yang kini juga tengah mengulum senyum. Mulai menyendok bubur ayam, lalu meniupnya pelan, sebelum akhirnya memasukkan ke dalam mulutnya yang juga mulai asyik berbincang dengan Danil. Melupakan bubur ayam sang kakak yang tergeletak begitu saja di sampingnya. Sudah tidak perduli dengan reaksi Kak Ricky yang pasti akan marah jika ia pulang dengan bubur yang sudah dingin. Hanya ingin menikmati setiap detik bersama Danil saat ini. Merasakan kehangatan yang mengalir begitu saja di sela canda gurau mereka.***

Sudah beberapa minggu terakhir ini, Luna dan Danil semakin dekat. Mereka sering mengobrol saat istirahat sekolah, berjalan bersama di sekitar komplek saat sore hari, bertukar nomer handphone dan saling berkomunikasi lewat sms ataupun telepon. Luna juga rutin melihat Danil latihan basket saat istirahat pertama. Bahkan, setiap hari Minggu ia akan bangun pagi untuk membeli bubur ayam. Tentu saja tujuan utamanya hanya untuk bertemu dan berbincang dengan Danil. Seperti saat ini, Luna dan Danil tengah menyantap sarapan bubur mereka di kursi taman seperti biasa. Mengobrol, tertawa, dan bercanda bersama.

Luna. panggil Danil di sela acara makan mereka. Minggu depan aku akan bertanding basket. Aku ingin kau menyaksikan pertandingan itu. Mungkin aku tidak akan bertanding basket lagi. Aku sangat berharap kau dapat menyaksikan pertandingan itu, dan menyemangati tim kami. Kau mau kan, Lun? ucap Danil sembari menatap dalam pada manik mata Luna. Menatap Luna penuh harap, tatapan yang sukses membuat pipi tirus Luna memproduksi semburat-semburat merah yang kini menghiasi tiap lekuk pipinya.

Te.. tentu saja. Aku akan ke sana, menonton pertandingan, dan menyemangati kalian. Kalau perlu aku akan membawa banner dukunganku nanti. Luna menjawab pasti.sedikit memberikan bayolan kecil di akhir kalimat untuk meneteralisir rasa gugupnya. Menghasilkan kekehan kecil dari Danil, yang kemudian berterimakasih pada Luna.

***

Sempurna! Luna mematut dirinya di cermin. Memandangi pantulan dirinya yang mengenakan t-shirt putih polos yang dibalut sweater coklat muda, dipadukan dengan celana jeans hitam panjang. Merapikan rambutnya yang dikuncir ke belakang. Menyisakan poni yang menjuntai, menutupi dahi mulusnya.

Lama sekali sih, Luna. Aku dari tadi menunggumu. Luna melonjak kaget ketika Ricky tiba-tiba masuk ke kamarnya. Kau itu mau menonton basket atau berkencan, sih? Luna terkekeh melihat sang kakak yang kini menatapnya geram. Luna memang agak keterlaluan, membiarkan Ricky lama menunggunya yang terus mematut diri di depan cermin. Padahal Ricky sudah mau mengantarnya ke tempat pertandingan. Luna sebenarnya tidak mau merepotkan kakaknya, tapi mau bagaimana lagi. Tania, sahabatnya yang sebelumnya dimintai untuk menemaninya, mendadak membatalkannya karena ada urusan keluarga. Jadilah tadi malam Luna terus merengek pada Ricky agar mau mengantarnya. Dan hasilnya, dengan sangat terpaksa, Ricky akhirnya mau mengantar Luna menonton pertandingan.

Terimakasih Kak Ricky yang baik hati, tampan dan keren. Luna mencubit pelan pipi Ricky setibanya mereka di tempat pertandingan. Tertawa keras saat melihat reaksi sang kakak yang menatapnya sebal.Aduh, sakit! Sudah sana masuk! Nanti pangeranmu tidak jadi tanding gara-gara menunggumu. Goda Ricky pada Luna yang mulai salah tingkah.

Dia bukan pangeranku! berkata kesal pada Ricky yang terus menggodanya.Sekarang memang bukan, tapi sebentar lagi juga akan jadi pangeranmu, princess Luna. Ricky tertawa keras sebelum menyalakan mesin motornya, dan melaju meninggalkan Luna dengan pipi yang benar-benar merah. Melangkahkan kakinya masuk ke area pertandingan, sesekali tersenyum kecil saat mengingat apa tujuan keduanya. Tujuan yang akan menjadikan Danil pangerannya. Luna akan menyatakan perasaannya pada Danil. Menyatakan rasa cintanya, cinta pertamanya.-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------Hey, Luna! Kenapa malah melamun? Kau ini, jahat sekali tidak mau menceritakan kisah cintamu pada sahabat sendiri. Tania mengibas-ngibaskan tangannya di depan wajah Luna yang ,masih asyik memandang langit, berkutat dengan pikirannya sendiri. Hey, Luna! Aku bicara denganmu! Siapa sih laki-laki yang membuatmu jatuh cinta? sedikit membentak Luna yang masih betah mendiamkannya. Membuat Luna sedikit melonjak kaget.

Eh, sudahlah. Tidak perlu dipikirkan. Anggap saja tadi aku tidak berkata apapun. Luna memalingkan pandangannya ke arah Tania yang menatapnya kesal. Lagipula aku juga tidak mungkin bersatu dengannya. Luna bergumam pelan, namun masih dapat didengar Tania, yang mulai menampilkan ekspresi khawatir.

Ke.. kenapa? Apa dia sudah punya pacar? Luna tersenyum miris mendengar ucapan Tania.

Tidak. Dia belum punya pacar. Mungkin juga tidak akan punya pacar. Ucap Luna lirih, sejurus kemudian ia kembali mengalihkan wajahnya, menatap lurus ke depan.

Kalu dia belum punya pacar, kenapa kau malah pesimis jika kalian tidak akan bersatu?

Emmm, mungkin karena takdir kami tidak mengijinkannnya.

Ck! Kau ini. Mungkin jika kau menyatakan perasaanmu, takdir itu akan berbalik menyatukan kalian.

Luna menghela nafas. Ia kembali memandang langit, sebelum kembali membuka suara, Tania. Hanya dengungan dari Tania yang menjawab panggilan Luna. Apa kau tahu dengan Danil? kali ini Luna menundukkan kepalanya, menatap keramik putih tempat ia berpijak. Dia orang yang aku sukai. Orang yang membuatku jatuh cinta. Terdengar amat pelan, bahkan hanya seperti bisikan.Ma.. maksudmu Danil pemain basket yang Tania tak melanjutkan kalimatnya. Ia tahu jika kalimat yang akan ia ucapkan selanjutnya hanya kan membuka sebuah kenyataan pahit. Merutuki dirinya sendiri yang kenapa begitu memaksa Luna menceritakan soal percintaannya. Menatap nanar pada Luna yang semakin menunduk, seakan menahan sesuatu yang siap jatuh kapanpun dari manik mata indahnya.

----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------Luna bangkit dari bangku penonton, ia edarkan pandangannya ke seluruh area pertandingan. Matanya mencari-cari sosok yang ia tunggu, yang tak kunjung datang. Mulai beranjak dari tempatnya dan berjalan menyusuri area bangku pemain cadangan. Luna menghentikan langkahnya tepat saat Danu, teman satu tim Danil berlari ke arah gerombolan pemain.Hosh.. hosh.. Danu mengatur nafasnya yang tersenggal. Pelatih, Da.. Danil.. Danil ia kecelakaan dalam perjalanan menuju ke sini. motornya terserempet oleh pengendara motor lain.

Deg!

Seakan jantungnya baru saja dialiri listrik dinamis dengan daya lebih dari 100 volt, jantung Luna seakan ingin meloncat ke luar. Otaknya berfikir keras mencerna kata-kata yang diucapkan Danu.

Hanya terserempet, kan? Tanya sang pelatih yang juga mulai terlihat cemas.

I.. Iya. Danil hanya terserempet dan jatuh di tengah jalan. Tidak banyak luka yang ia dapat saat ia jatuh. Danu kembali diam, seakan mengumpulkan energi untuk melanjutkan kalimatnya. Ta.. tapi, di belakangnya ada sebuah truk yang melaju kencang. Naasnya, truk itu datang saat Danil masih berusaha bangkit. Dan, danil meninggal di tempat setelah dilindas badan truk.Deg.

Lagi. Seakan ditusuk dengan besi panas tepat di hulu hati Luna. Rasanya sakit, sangat sakit. Tidak bisa menerimanya. Kenapa harus Danil? Kenapa harus sekarang? Kenapa di saat ia akan mengatakan suatu kejujuran? Aku mencintaimu, Danil. hanya sebuah bisikan kecil yang begitu lirih. membiarkan untaian kata yang baru ia uacapkan di bawa hembusan angin. Berharap anginlah yang akan menyampaikan padanya. Pada sosok yang telah pergi dalam keabadian.

-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------Hanya satu kata, cinta. Yang akan membawamu terbang tinggi hingga batas langit. Merasakan indahnya melayang di udara fana. Namun cinta itu tidak selamanya indah. Tidak selamanya sanggup menopangmu di udara. Perlahan cinta akan menghempaskanmu hingga ke dasar bumi. Menyisakan hanya rasa sakit dan serpihan hati yang remuk. Dan cinta tidak selamanya mengalirkan kehangatan ke relung jiwa yang merasakannya. Dan saat cinta mulai menunjukkkan taringnya, maka hanya akan ada dingin yang menusuk hati, kekosongan yang menyelimuti jiwa. Hingga akhirnya hanya bulir air mata yang mulai turun membasahi relung jiwa.***

The End