lmg

14
LETHAL MIDLINE GRANULOMA PENDAHULUAN Definisi Lethal midline granuloma (LMG) biasa disebut juga dengan istilah “Stewart’s granuloma”, “polymorphic reticulosis”, atau “midline malignant”. Menurut literatur modern LMG merupakan salah satu tipe dari limfoma non-Hodgkin disebut juga dengan Extranodal NK/T cell limfoma, nasal type atau limfoma angiosentrik. Penggunaan istilah LMG sudah harus ditinggalkan karena tidak tepat lagi. Jadi LMG merupakan keganasan dari sel limfosit T atau sel natural killer (NK) yang menyebabkan lesi destruktif dengan predileksi di daerah kavum nasi dan sinus paranasal. Proliferasi limfosit yang angiosentrik dan angiodestruktif menyebabkan nekrosis jaringan yang luas. LMG ini bersifat agresif, destruktif lokal, dan menyebabkan lesi nekrosis di daerah midfasial. Prevalensi Di Amerika Serikat limfoma jenis ini sangat jarang ditemukan, dengan prevalensi antara 0,17 – 1,5% dari semua Limfoma Non-Hodgkin (LNH). Limfoma ini lebih sering ditemukan di Asia, Meksiko, dan Amerika Tengah dan Selatan. Rata-rata prevalensi limfoma ini di Hongkong dan Amerika Selatan berkisar antara 2,5% - 8% dari semua LNH. Ratio laki-laki dan perempuan pada pasien dengan Limfoma sel T sekitar 2,5:1. Usia rata-rata dari penyakit ini pada dekade 40 dan 50. 1

Upload: ukhuholic

Post on 25-Jul-2015

118 views

Category:

Documents


12 download

TRANSCRIPT

LETHAL MIDLINE GRANULOMA

PENDAHULUAN

Definisi

Lethal midline granuloma (LMG) biasa disebut juga dengan istilah “Stewart’s

granuloma”, “polymorphic reticulosis”, atau “midline malignant”. Menurut literatur

modern LMG merupakan salah satu tipe dari limfoma non-Hodgkin disebut juga dengan

Extranodal NK/T cell limfoma, nasal type atau limfoma angiosentrik. Penggunaan istilah

LMG sudah harus ditinggalkan karena tidak tepat lagi. Jadi LMG merupakan keganasan

dari sel limfosit T atau sel natural killer (NK) yang menyebabkan lesi destruktif dengan

predileksi di daerah kavum nasi dan sinus paranasal. Proliferasi limfosit yang angiosentrik

dan angiodestruktif menyebabkan nekrosis jaringan yang luas. LMG ini bersifat agresif,

destruktif lokal, dan menyebabkan lesi nekrosis di daerah midfasial.

Prevalensi

Di Amerika Serikat limfoma jenis ini sangat jarang ditemukan, dengan prevalensi

antara 0,17 – 1,5% dari semua Limfoma Non-Hodgkin (LNH). Limfoma ini lebih sering

ditemukan di Asia, Meksiko, dan Amerika Tengah dan Selatan. Rata-rata prevalensi

limfoma ini di Hongkong dan Amerika Selatan berkisar antara 2,5% - 8% dari semua LNH.

Ratio laki-laki dan perempuan pada pasien dengan Limfoma sel T sekitar 2,5:1. Usia rata-

rata dari penyakit ini pada dekade 40 dan 50. Secara keseluruhan, pasien dengan Limfoma

sel T cenderung lebih muda daripada pasien dengan limfoma konvensional.

Patofisilogi

Manifestasi dari Ekstranodal limfoma sel T/NK tipe nasal adalah di cavum nasi.

Pasien dengan limfoma jenis ini biasanya terdiagnosis pada stadium masih awal (stadium

I), namun bisa juga terdiagnosis saat stadium sudah lanjut dan hal ini akan menurunkan

angka survival rate-nya. Limfoma sel NK/T tipe nasal hampir selalu (> 95% kasus)

berhubungan dengan virus Epsteinn-Barr (EBV). Mekanisme yang menyebabkan

transformasi maligna oleh EBV masih belum diketahui dengan pasti.

Secara histologis, Limfoma sel NK/T tipe nasal dikarakterisasi dengan infiltrat sel

campuran dengan invasi limfoid angiosentrik dan oklusi dari pembuluh darah, sehingga

1

terjadi nokrosis iskemik dari jaringan normal dan neoplasma.. Dimana terlihat proses

inflamasi yang destruktif pada hidung dan traktus respiratori bagian atas.

Karena keganasan ini berasal dari sel limfosit maka secara imunohistokimia dapat

dideteksi adanya marker-marker sel limfosit. Marker untuk sel limfosit secara umum adalah

CD45, untuk sel B adalah CD20, untuk sel T adalah CD3, CD43 dan CD45RO dan untuk

sel natural-killer (NK) adalah CD56 dan CD57. Sehingga limfoma sel NK/T tipe nasal

dapat dikonfirmasi bilamana positif CD45, CD45RO, CD56 dan / atau CD57, dan negatif

CD20.

Klasifikasi

Klasifikasi limfoma terbaru menurut WHO dipublikasikan tahun 2001 dan

diperbarui tahun 2008. Klasifikasi WHO berdasarkan klasifikasi sebelumnya dari "Revised

European-American Lymphoma classification" (REAL). Klasifikasi ini membagi kelompok

limfoma berdasarkan jenis sel dan karakteristik pada fenotipik, molekular, dan sitogenetik.

Pembagian klasifikasi WHO adalah :

1. B-cell neoplasms

o Precursor B-lymphoblastic leukemia/lymphoma

o Chronic lymphocytic leukemia/small lymphocytic lymphoma

o Lymphoplasmacytic lymphoma

o Plasma cell myeloma

o Extraosseous plasmacytoma

o Extranodal marginal zone B-cell lymphoma of mucosa-associated lymphoid

tissue (MALT-lymphoma)

o Follicular lymphoma

o Mantle cell lymphoma

o Diffuse large B-cell lymphoma

o Intravascular large B-cell lymphoma

2. B-cell proliferations of uncertain malignant potential

o Lymphomatoid granulomatosis

o Posttransplant lymphoproliferative disorder, polymorphic

3. T-cell and NK-cell neoplasms

o Precursor T-lymphoblastic leukemia/lymphoma

o Blastic NK-cell lymphoma

2

o Adult T-cell leukemia/lymphoma

o Extranodal NK-/T-cell lymphoma, nasal type

o Subcutaneous panniculitislike T-cell lymphoma

o Mycosis fungoides

o Sézary syndrome

o Primary cutaneous anaplastic large cell lymphoma

o Peripheral T-cell lymphoma

o Angioimmunoblastic T-cell lymphoma

o Anaplastic large cell lymphoma

4. T-cell proliferation of uncertain malignant potential

o Lymphomatoid papulosis

o Hodgkin lymphoma

o Histiocytic and dendritic-cell neoplasms

o Mastocytosis

DIAGNOSIS

Anamnesis

Gejala klinik yang mula-mula timbul dan paling sering dikeluhkan penderita adalah

obstruksi nasi dan rinorea purulen. Gejala sistemik seperti demam, keringat malam hari,

malaise, nyeri sendi dan penurunan berat badan hanya ditemukan pada beberapa kasus.

Selain di kavum nasi, beberapa organ yang lain dapat terkena, yaitu paru-paru, sistem

gastrointestinal, traktus genitourinari, dan kulit. Berbeda dengan granuloma Wagener, lesi

pada LMG lebih sering mengenai hidung secara unilateral dengan perluasan sampai ke

jaringan lunak pada hidung, bibir atas, kavum oris, dan sinus maksilaris, dengan atau tanpa

keterlibatan rongga orbita. Lesinya bersifat “eksplosif”, progresif cepat, dan didapatkan

kerusakan jaringan yang disertai dengan keterlibatan mikroorganisme gram negatif dan

kuman anaerob.

Gejala klinik yang dapat timbul di bagian kepala dan leher selain yang tersebut di atas

adalah:

Nyeri dan pembengkakan di wajah

Diplopia, penurunan ketajaman penglihatan

3

Pembengkakan di daerah orbita

Otalgia, penurunan kemampuan pendengaran

Epistaksis

Ulserasi pada palatum

Odinofagi, disfagi

Trismus, halitosis

Hoarseness, dispnea

Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan di bagian kepala dan leher dapat menemukan:

Neuropati kranial

Penurunan visus

Massa di rongga orbita

Proptosis

Pembengkakan dan eritem di wajah (kebanyakan di daerah midline wajah)

Otitis media serousa

Ulserasi di daerah palatum, tonsil, nasofaring, dan laring

Massa di kavum nasi

Massa di leher

4

A. Pembengkakan / eritema di wajah (midline). B. Ulserasi di palatum

Pemeriksaan penunjang

Untuk menegakkan diagnosis LMG diperlukan pemeriksaan berikut:

1. Pemeriksaan laboratorium darah

Pemeriksaan darah untuk mengetahui kadar darah rutin (mungkin ditemukan

anemia, limfositopenia), tes fungsi hati termasuk kadar laktat dehidrogenase (LDH)

dimana bila ditemukan peningkatan LDH berhubungan dengan prognosis yang

jelek, tes fungsi ginjal, kadar asam urat dan kalsium, dan titer EBV.

2. Endoskopi

Endoskopi digunakan untuk melihat gambaran secara langsung lesi yang terjadi dan

karakteristik lesi.

3. Biopsi di tempat lesi

Biopsi harus dilakukan dengan hati-hati, diusahakan mengambil sedalam mungkin,

untuk menghindari jaringan nekrotik dan lesi peradangan. Secara histologik akan

nampak lesi campuran antara jaringan nekrosis, yang disebabkan invasi limfoid

angiosentrik dan oklusi pembuluh darah, dan peradangan kronik disertai dengan

infiltrat polimorfik, elemen limfoplamasitik, neutrofil dan histiosit yang tersebar.

Jika pemeriksaan histologik tidak dapat memastikan, dilakukan pemeriksaan

imunohistokimia untuk mencari petanda sel T/NK.

4. CT-Scan, MRI dan PET

Pada pemeriksaan CT-Scan biasanya ditemukan gambaran penebalan mukosa dan

erosi serta destruksi tulang. Lesi destruksi biasanya dimulai dari septum nasi,

5

meluas sampai palatum dan sinus paranasal. Berbagai penelitian tentang hasil

pemeriksaan CT-Scan melaporkan bahwa tidak ditemukan gambaran khas /

patognomonis baik pada LMG maupun WG, sehingga sulit membedakan keduannya

berdasarkan hasil Scanning. Oleh karena itu pemeriksaan CT-Scan digunakan untuk

mengetahui perluasan lesi, menentukan staging, mengevaluasi progresi penyakit dan

efek terapi. Bila LMG dicurigai meluas ke intrakranial, MRI mungkin berguna

untuk mendeteksi perluasan tersebut.

Pemeriksaan pencitraan lain yang cukup berguna adalah PET (Positron

Emission Tomography). Pemeriksaan ini dapat digabungkan dengan CT-Scan atau

MRI sehingga sangat berguna untuk menentukan batas-batas tumor / lesi dan juga

mampu menemukan lesi yang tersembunyi (occult). Namun tidak semua fasilitas

kesehatan mempunyai pemeriksaan jenis ini.

A. Gambaran CT-Scan pada LMG, tampak adanya penebalan mukosa disertai dengan erosi dan destruksi tulang

B. Gambaran PET menunjukkan limfoma sel NK/T mengenai kavum nasi kanan.

5. Pemeriksaan imunohistokimia

Pemeriksaan imunohistokimia akan didapatkan petanda/marker yang berhubungan

dengan sel T, seperti CD3, CD45 dan CD45RO. Pada tumor ini juga sering

didapatkan marker sel NK yaitu CD56 atau CD57. Pemeriksaan imunohistokimia

ini juga menegaskan asal tumor dari sel T atau sel NK, dan tidak ditemukan marker

dari sel B. Secara genotip, limfoma sel T/NK di traktus aerodigestivus atas

6

kebanyakan berasal dari sel NK, dan hanya sedikit yang berasal dari sel T. Kira-

kira 80% berasal dari sel NK, dan 10-30% berasal dari sel T.

Diagnosis Banding

Diagnosis banding LMG / Limfoma sel NK/T tipe nasal bisa sangat luas seperti

infeksi (bakteri, jamur dan parasit); penyakit inflamasi (Wegener granulomatosis,

sarcoidosis, SLE dan poliarteritis nodosa); proses neoplasma (karsinoma sel basal atau

squamosa, adenokarsinoma, estesioneuroblastoma, fibrosarkoma dll); penyalahgunaan

kokain (pada pecandu kokain secara hisap); dan trauma (giant cell reparative granuloma).

Dari semua kelainan diatas yang mempunyai gejala klinis paling mirip dengan LMG

adalah Wegener’s granulomatosis (WG). Berikut adalah beberapa point yang dapat

digunakan untuk membedakan LMG dengan WG:

1. Pada LMG distribusi lesinya fokal, terlokalisir dan progresif, sedangkan pada WG

ulcerasinya bersifat difus.

2. Pada keduaanya dapat ditemukan kelainan sistemik dan infiltrate paru, namun pada

LMG sangat jarang ditemukan kelainan di telinga, trakea dan ginjal.

3. Secara morfologi, WG ditandai oleh gambaran vaskulitis sedangkan LMG ditandai

oleh infiltrate limfoid polimorfik angiosentrik.

4. Secara imunohistokimia, pada LMG di temukan marker sel limfosit T atau NK seperti

CD45, CD45RO dan CD57, sedangkan pada WG ditemukan antibody antineutrofil

(ANCA).

A. Gambaran cocaine abuse . B. Gambaran Sarkoidosis

7

Algoritma diagnosis lesi granulomatosa nasal. ACE (kadar angiotensin converting enzim); IgG/A (kadar immunoglobulin G atau A); ESR (LED); CXR (Foto thorax).

Staging

Seperti halnya limfoma tipe lainnya, staging pada limfoma ini juga mengikuti

klasifikasi menurut Ann Arbor, yaitu :

Stadium I - Keterlibatan kelenjar getah bening hanya 1 regio atau 1 organ

ekstralimfatik.

Stadium II - Keterlibatan 2 regio atau lebih kelenjar getah bening tetapi masih satu

sisi diafragma.

Stadium III - Keterlibatan kelenjar getah bening pada kedua sisi diafragma; dapat

mencakup limpa

Stadium IV – Disseminata, mengenai 1 atau lebih organ ekstralimfatik secara difus.

PENATALAKSANAAN

Terapi optimal untuk neoplasma NK/T masih kontroversial karena jarangnya

penyakit ini, bervariasinya gejala klinis, dan kurangnya percobaan klinik. Terapi untuk

LMG dibagi menjadi Seperti limfoma yang lain, reseksi bedah dari limfoma sinonasal tidak

dianjurkan. Kombinasi kemoterapi dan radioterapi terlihat lebih efektif daripada terapi

tersebut dijalankan sendiri-sendiri. Radioterapi tunggal mungkin dapat diberikan jika

stadium penyakit masih awal. Respon rate dengan radioterapi pada penyakit stadium awal

bisa mencapai > 80%. Namun angka relaps setelah terapi radiasi ternyata cukup tinggi

mencapai 50%. Terapi radiasi harus direncanakan secara matang, bila perlu dilakukan

8

pemeriksaan MRI untuk menentukan batas-batas area radiasi. Area radiasi mencakup 1-2

cm diluar batas tumor. Dosis yang diberikan biasanya berkisar antara 30 Gy s/d 60 Gy

dalam dosis terfraksinasi antara 1,5 Gy – 2,5 Gy. Agar radiasi bisa efektif maka perlu

dilakukan nekrotomi secara teratur pada lesi yang nekrotik. Tindakan ini juga membantu

untuk mengurangi kejadian infeksi sekunder yang dapat mempersulit penyembuhan. Terapi

radiasi biasanya dapat ditoleransi oleh hampir semua pasien, termasuk pada usia lanjut.

Efek samping tersering dari radiasi adalah mukositis, dermatitis dan hilangnya sensasi

pengecapan untuk sementara.

Tingginya angka relaps setelah radioterapi mendorong di gunakannya terapi

kombinasi dengan kemoterapi. Berbagai penelitian melaporkan adanya manfaat dengan

pemberian terapi kombinasi radiasi dan kemoterapi. Kemoterapi yang biasa diberikan

adalah regimen CHOP (Cyclophosphamide, doxorubicine, vincristine dan prednisolone).

Biasanya kemoterapi diberikan terlebih dahulu sebelum radiasi, namun jangan terlalu lama

menunda terapi radiasi. Belum ada bukti yang menunjukkan bahwa regimen lain yang lebih

komplek seperti BACOP, m-BACOD atau MACOP-B lebih baik dibanding regimen

CHOP.

Terapi terbaru yang masih terus dikembangkan adalah dengan kemoterapi dosis

tinggi diteruskan dengan transplantasi sel batang (Autologous or Allogeneic

Haematopoietic Stem Cell Transplantation). Terapi jenis ini telah banyak diaplikasikan

pada jenis limfoma yang lain, namun pengalaman pada limfoma sel NK/T ekstranodal tipe

nasal ini masih sangat terbatas.

9

DAFTAR PUSTAKA

1. Tami TA, Shah A, Ryzenman JM. Nasal manifestations of systemic diseases. In:

Lalwani AK, editor. Current diagnosis and treatment otolaryngology head and neck

surgery. 2nd ed. New York: Mc Graw Hill, 2006. 12

2. McDonald TJ. Nasal manifestations of systemic diseases. In: Cumming CW, et al,

editors. Cummings: otolaryngology: head & neck surgery. 4 th ed. Philadelphia:

Elsevier's, 2005. 39

3. Poetker DM, Cristobal R, Smith TL. Granulomatous and autoimmune diseases of

the nose and sinuses. In: Bailey BJ, Johnson JT, Newlands SD, editors. Head &

neck surgery-otolaryngology. 4th ed. Baltimore: Lippincott, 2006. 27: 380

4. Skarin A. Lethal midline granuloma revisited: nasal T/Natural-Killer cell

lymphoma. Journal of Clinical Oncology. 1999. 17: 1322-5

5. Teli MA, Baba KM, Gupta M, Arshd S, Katoch SS, Nazir I. Lethal midline

granuloma presenting as facial cellulitis. JK Science. 2000. 11: 39-41

6. Kim GE, Cho JH, Yang WI, Chung EJ, Suh CO, Park KR, et al. Angiocentric

lymphoma of the head and neck: patterns of systemic failure after radiation

treatment. J Clin Oncol. 2000. 18: 54-63

10

7. Kim K, Chie EK, Kim CW, Kim IH, Park CI. Treatment outcome of angiocentric T-

cell and NK/T-cell lymphoma nasal type: radiotherapy versus chemoradiotherapy.

Jpn J Clin Oncol. 2005. 35: 1–5

11