latte confession

52
Latte Confession Pengakuan yang Terlambat Written by Alfa Junior

Upload: alfa-junior

Post on 03-Aug-2015

86 views

Category:

Art & Photos


5 download

TRANSCRIPT

Latte

ConfessionPengakuan yang Terlambat

Written by Alfa Junior

Love undercover

Saat Viola yakin bahwa harinya sudah cukup buruk dan berpendapat dia sudah

mendapatkan cukup masalah hari ini, dengan muak dia setengah berlari meninggalkan ruang

kantornya, meninggalkan file file yang harusnya dia periksa, dan berteriak teriak pada

sekretarisnya yang ikut ikutan panik ketika bos-nya mendadak mengcancel meeting hari ini.

Viola memang sedang tak sadar ketika dia mengempit hobobag-nya dan menghempaskan

tubuh di jok kulit sedan putih mengkilat miliknya. Dan masih dalam kondisi setengah sadar

ketika dia menginjak pedal gas dalam dalam dan meluncur menuju coffee shop langganannya.

Tempat dia selalu menghabiskan waktunya jika dalam keadaan setengah sinting seperti saat ini.

Viola masuk bistro, masih dengan tampang horor di wajahnya. Pikirannya yang sedang

emosional terbang entah kemana membuatnya dia tidak menyadari bahwa bistro kecil itu

hampir hampir kosong selain keberadaan waitress, satu barista, satu lelaki paruh baya yang

sedang menyesap lattenya, dan tentu saja dia yang berdiri mematung di depan bar dengan

buku menu yang entah bagaimana sudah berada di tangannya.

“maaf, pesanannya ?” tanya seorang pelayan yang kelihatannya baru. Viola hampir hafal

wajah pegawai disini walau dia tidak mengenal mereka

Suara itu seakan akan menghempaskan dia ke bumi, membuat rohnya masuk ke

tubuhnya lagi. Membuat Viola tersadar seutuhnya. Cepat cepat dia memesan hot chocolatte

tanpa repot repot membuka menu, lalu berjalan menyusuri lorong pendek dan duduk di meja

pojok favoritnya. Dia duduk diam menunggu pesanannya sambil memejamkan mata. Viola

berusaha merilekskan tubuhnya setelah didera masalah bertubi tubi sepagian ini.

Yang pertama dan paling utama, datang dari ibunya yang menyuruhnya segera

menikah..

Tidak tidak! Menyuruh bukan kata yang tepat. Ibunya memang sudah merongrongnya

tentang pernikahan selama satu tahun belakangan ini. Tapi pagi ini berbeda, kali ini beliau

memaksanya.

Dua puluh delapan dan karir matang. Apa lagi yang kau tunggu ? Tiga bulan lagi kau

sudah dua puluh sembilan, viola! Setidaknya carilah pacar dan kenalkan kepada ibu! Kata kata

ibunya yang menghantuinya sejak tadi terngiang kembali di telinga Viola. Demi Tuhan, kenapa

urusan menikah yang seharusnya adalah moment bahagia malah berubah menjadi siksaan

baginya? Atau paling tidak, perempuan perempuan seusianya yang belum mempunyai

pendamping.

“Carilah satu atau aku yang akan mencarikannya untukmu!” bayangan ibunya lagi lagi

melintas di kepala. Raut wajah keras hati itu teguh. Sorot matanya sungguh sungguh.

Tidak! Viola menggeleng cepat cepat. Dia tidak mau dijodohkan!

Lalu apa yang harus dia lakukan?

Mencari pacar?

Viola mendesah. Selama ini dia berdalih pekerjaan yang membuatnya sangat sibuklah

yang telah menyita banyak waktunya. Dia tidak sempat pergi hang out dan mencari kenalan

kenalan baru. Dia tidak punya waktu untuk sekedar nonton, makan malam, ataupun meladeni

acara pdkt mereka. Dia menghabiskan seluruh hidupnya di kantor.

Tapi bukan berarti dia tidak punya kekasih.

Viola punya kekasih, hanya saja dia tidak ingin mengenalkannya pada ibunya.

Lagi lagi viola mendesah kalut. Dia menarik keluar ponselnya dari saku blazernya.

Menggeser flipnya sebelum mengetikkan 4 digit nomor security. Dan ketika 4 nomor itu telah

diverifikasi dengan benar, muncullah sebuah foto di wallpaper handphonenya. Foto Viola dan

kekasihnya yang berfoto di disneyland tokyo. Dia tersenyum kecil ketika dia mengingat begitu

sulitnya mencuri curi waktu diantara pekerjaan kantor yang super sibuk ketika mereka berdua

sedang sama sama ditugaskan ke Jepang.

Foto dirinya bersama sekretarisnya.

Lalu kesadaran kembali menghantamnya ketika dia ingat alasan mengapa dia tidak

mengenalkan pacarnya kepada ibunya. Alasan yang sama kenapa dia begitu hati hati sampai

memasang security code pada ponsel smartphonenya.

Sekretarisnya juga adalah seorang perempuan.

***

Melody

Surya memasuki bistro dengan goyah. Kelihatannya cafe itu kosong. Bagus! Karena

dengan begitu Surya bisa sendirian disana. Sendiri dengan semua pikiran pikirannya yang

membuat kepalanya nyaris meledak.

Dia duduk di bar dan langsung meneriaki sang Barista untuk membuatkannya latte

tanpa harus repot repot menunggu pelayan menawarkan menu kepadanya. Barista itu

mengangguk dan segera menyiapkan kopi untuk Surya, sementara pelayan yang setengah jalan

hendak menawari Surya sebuah buku menu berdiri mematung ketika dia tahu dia terlambat

menyerahkan buku itu kepada pelanggan pertamanya. Surya memperhatikan, pelayan itu

gugup dan bingung. Sepertinya wanita muda itu berdebat dalam hati apakah perlu dia

melanjutkan memberikan menu kepadanya atau tidak.

“Kau pegawai baru disini?”, Surya mengamati bahwa dia tidak familier dengan wajah

perempuan muda yang kelihatannya tidak lebih tua dari anaknya.

Pelayan itu mengangguk dan tersenyum kecil, dan rupanya dia memutuskan untuk

memberikan buku menunya. Surya dengan sopan menerimanya, walaupun dia sendiri sudah

hafal isi buku itu. Pelayan itu berbalik dan hendak kembali menuju sudutnya dan berdiam

disana ketika hati Surya mencelos.

Bagian depan tubuh pelayan itu yang tadinya tertutup buku menu sekarang terlihat jelas

oleh Surya. Dia kembali teringat kepada anak semata wayangnya yang kini entah dimana. Di

detik berikutnya dia teringat alasan apa yang membuat pelayan itu mengingatkan Surya kepada

anaknya.

Perempuan itu sedang hamil.

Melody kecilnya juga sedang hamil. Hamil muda dengan pria yang bukan suaminya.

Bukan suaminya karena mereka belum menikah. Dan bagaimana Surya bisa mengizinkah

anaknya menikah dengan laki laki miskin itu? Bagaimana masa depan anak semata wayangnya

jika harus hidup dengan lelaki itu? Dan Demi Tuhan, Melody bahkan masih terlalu muda untuk

menikah! Dia masih baru saja merayakan ulang tahun yang ke-22 bulan lalu!

Tapi kini dia sudah hamil.

Dan dia kabur dari rumah.

“Latte sedikit gula, Om Surya.”

Surya terlonjak sedikit. Cepat cepat ia menoleh kearah suara yang mengangetkannya.

Mendapati barista yang dikenal bernama Bara sedang tersenyum ramah kepadanya. Pemuda

itu meletakkan cangkir dan tatakannya di konter di depan Surya.

“Dia anak baru, om. Ini hari pertamanya”, terang Bara sambil mengerling sekilas ke arah

sang pelayan baru.

Surya mengangguk mengerti, ikut ikutan menoleh ke pelayan baru itu.

“Kau mirip sekali dengan putriku”. Surya menjelaskan kepada perempuan muda yang

sepertinya sedikit ketakutan ditatap olehnya.

“Kau sedang hamil?”

“Iya”

“Mengapa kau malah justru bekerja?”

“Membantu suami”

Surya mengamati ketika perempuan itu memutar mutar cincin di jari manisnya dengan

gugup ketika mengucapkan kata suami. Perempuan muda itu sudah menikah rupanya. Dan

suaminya kesulitan menghidupi mereka berdua, apalagi kini akan ditambah dengan satu mulut

yang harus mereka beri makan. Dan perempuan ini berbesar hati menerima kondisi suaminya.

Aku tidak peduli seberapa banyak gajinya papa! Aku mencintainya!

Surya memalingkah wajahnya dari pelayan yang mengingatkan dia kepada anaknya itu.

Surya kembali menghadapi mejanya dan menyesap lattenya banyak banyak ketika seseorang

masuk dan berjalan kearah Bar. Dari sudut matanya dia melihat pelayan baru itu kini secepat

kilat berusaha memberikan buku menunya ke pengunjung baru. Perempuan yang terlihat

linglung itu menerima buku menunya, tapi bahkan dia memesan tanpa melirik kearah menu.

Dia menoleh ingin tahu tepat ketika perempuan itu berbalik mencari meja, kelihatannya

dia sedang kalut. Sementara itu, Surya melihat pelayan baru itu cepat cepat menyerahkan buku

catatan pesanannya kepada Bara. Tubuh kecilnya yang tidak proporsional di bagian perut itu

terlihat rapuh. Surya khawatir kaki kecil itu tidak sanggup menahan berat janinnya yang harus

dia bawa berdiri sepanjang shift.

Surya menelan ludah. Kembali teringat putrinya yang hanya meninggalkan surat ketika

dia kabur dari rumah. Mengatakan bahwa dia akan kembali jika Surya telah mengijinkannya

menikah.

Tapi masalahnya, dia tidak ingin Melody menikah dengan laki laki dengan penghasilan

pas pasan. Apalagi mereka akan punya anak. Bagaimana hidup Melody nanti? Bagaimana degan

masa depan anak Melody? Cucunya? Walaupun Surya mungkin punya cukup harta untuk

membantu mereka, Surya tidak akan hidup selamanya. Surya tidak akan bisa meninggalkan

mereka dengan tenang.

Surya kembali mencuri pandang kearah pelayan baru, lalu menelan ludah.

Surya tidak ingin Melodynya berakhir di sebuah cafe dengan seragam putih hitam dan

sebuah menu ditangan hanya untuk terus menyambung hidup membantu calon suami yang

hanya seorang pegawai front desk.

***

The same questions

Senja sedikit gugup ketika dia briefing pagi dengan seorang barista. Bagaimana tidak

gugup? Ini memang bukan pertama kalinya ia bekerja. Tapi ini hari pertama ia bekerja di

tempat ini. Dan pagi ini dia akan bekerja sendirian sampai seorang pelayan tambahan datang

saat shift siang. Dan yang paling penting, Senja tidak pernah bekerja dalam keadaan hamil

sebelumnya.

Ketika briefing singkat itu selesai, Senja segera memulai pekerjaannya walaupun dia

tahu ini berat untuknya dan berbahaya bagi juniornya. Dia tidak bisa membiarkan suaminya

bekerja sendirian siang malam untuk menyiapkan kelahiran putra pertama mereka. Dia tahu,

biaya persalinan tidaklah murah.

Sebenarnya Senja tahu, dia bisa meminta kepada ayahnya.

Tapi itu tidak akan terjadi.

Tidak! Tidak selama senja belum bisa meyakinkan mereka tentang pilihan hidupnya.

Selama ayahnya belum merestui mereka.

Klek!

Pintu dibuka dan seorang pria yang kelihatannya berumur pertengahan lima puluh

masuk. Senja belum sempat menawarinya buku menu ketika dia langsung saja duduk di depan

bar dan memesan latte untuk dirinya yang terlihat sangat tertekan. Pria itu menyisir rambut

dengan sebelah tangannya dan menggigit bibir. Sebuah ekspresi yang mengingatkan Senja pada

ayahnya jika sedang banyak pikiran.

“Kau pegawai baru disini?”, tanyanya ramah. Senja mengangguk dan tersenyum tak

kalah ramah. Berspekulasi bahwa pria ini pastilah salah satu pelanggan tetap bistro-nya. Dan

benar saja, tak berselang lama kemudian si barista di balik bar bercakap cakap dengan pria

tersebut. Bukti bahwa dia memang telah mengenal pegawai pegawai disini.

Pria itu menoleh lagi kearah Senja. “Kau mirip sekali dengan putriku”

Senja tersenyum kikuk. Bingung harus melakukan atau mengucapkan apa. Pria itu

sedang teringat akan putrinya. Well, kebetulan yang mengagumkan karena Senja juga sedang

teringat kepada sosok ayahnya ketika memandang pria itu. Laki-laki dengan sorot mata

penyayang walaupun ada sedikit superioritas disana. Nada bicaranya lembut tapi tidak

kehilangan ketegasannya. Pria itu banyak tersenyum. Meskipun Senja tahu senyumnya adalah

sekedar senyum sopan. Senja tahu, pria itu sedang tidak dalam keadaan baik baik saja.

Sosok ayahnya berekelebat didepan mata Senja..

Ayah yang menolak hadir di pernikahannya. Ayah yang menolak memberikan restu

hanya karena suaminya hanyalah seorang pegawai pabrik, sedangkan Senja sendiri adalah anak

seorang direktur pemilik pabrik.

Pergi! Kau bukan anakku lagi jika kau tetap menikah dengannya!

Senja bergerak gerak gelisah. Kenangan terakhirnya bersama ayahnya sama sekali tidak

terlalu bagus untuk diingat. Dia memutar mutar cincin di jari manisnya, bertanya tanya apakah

ayahnya kini telah merestuinya. Senja mendesah pelan. Susah payah menahan air mata yang

tiba tiba ingin meleleh.

Lamunan Senja terpotong oleh kehadiran seorang perempuan dengan tampang

berantakan. Cepat cepat Senja memberikan buku menu kepada perempuan yang kelihatannya

hampir gila itu. Kelihatannya perempuan itu sedang dalam masalah besar. Senja bertanya tanya

dalam hati apakah dia juga seberantakan itu saat melewati masa masa berat dengan ayahnya

dulu? Apakah ayahnya juga merasakan hal yang sama?

Diam diam Senja melirik pria di bar. Senja sedikit terkejut ketika dia melihat sudut mata

pria itu basah. Pria itu menangis.

“Hot chocolatte siap”, kata Bara sambil meletakkan secangkir kopi di nampan yang

ditaruhnya di atas bar. Senja segera mengantarkannya kepada perempuan yang memesannya.

Pilihan yang bagus. Perempuan itu sepertinya benar benar butuh coklat.

Senja melihat perempuan itu menimang nimang ponselnya. Memainkan dengan sebelah

tangannya yang berada di atas meja. Tatapan matanya kosong, seakan akan dia sedang

menimang keputusan yang sangat sulit. Senja meletakkan nampannya tanpa suara, berusaha

tidak mengganggu perempuan yang sepertinya sedang berpikir keras itu. Tapi rupanya Senja

tidak begitu berhasi. Perempuan itu terlonjak kaget ketika nampan Senja menyentuh meja.

Namun dia langsung berusaha menguasai diri.

“Sudah berapa bulan?”, dia bertanya pelan setelah pulih dari kekagetannya sambil

menunjuk kearah perut Senja dengan anggukan kepalanya.

Senja tersenyum. “5 bulan”, jawabnya ramah.

“Ah, selamat yaa”

Senja tersenyum kecil, lalu kembali berpaling untuk menata tissue di meja.

“ Apakah kamu memang berencana menikah muda?”

Senja mengangkat alis, melirik kearah jemari perempuan yang sedang duduk

dihadapannya. Tidak ada cincin disana. Sepertinya Senja mengerti kemana arah pembicaraan

ini. Senja mengangkat bahu.

“Tapi kau mencintainya?”, tanyanya penuh selidik. Kelihatannya tanpa bisa menahan

diri.

“Tentu saja”. Senja mengangguk meyakinkan

Perempuan itu terdiam beberapa saat. Matanya menerawang jauh.

“Apakah kau bahagia?”

Senja terdiam kali ini. Perempuan itu menanyakan pertanyaan yang sama yang selama

ini terus ditanyakan hati kecilnya. Pertanyaan yang selalu terngiang sejak dia memberanikan diri

melawan orang tuanya untuk kawin lari. Dia bahagia bersama cintanya, tentu saja. Tapi disudut

hati kecilnya, dia bertanya tanya apakah kebahagiaan itu harus ditukar dengan merenggut

keutuhan keluarganya?

Senja menahan nafas.

“Entahlah”

Senja harus mengakui, untuk pertanyaan itu dia belum mendapatkan jawabannya.

***

Run off

Apakah kau bahagia ?

Viola bisa mendengar suaranya sendiri meluncur begitu saja dari mulutnya. Dia

berjengit. Pertanyaan itu terlalu pribadi untuk ditanyakan. Pertanyaan itu lebih tepat ditujukan

untuk dirinya sendiri.

Entahlah

Viola berjengit. Dia menatap pelayan muda yang sempat tersenyum kecil itu, sebelum ia

berbalik pergi membawa nampannya.

Jawaban pelayan itu sama persis dengan apa yang ada dipikirannya.

Drrt Drrt..

Viola meraih ponselnya. Mendapati sebuah satu pesan baru disana. Dari sekretarisnya.

Bukan! Mungkin lebih tepat jika dibilang, dari kekasihnya.

Apa yang sedang terjadi ? Kau tidak apa apa?

Singkat, padat, dan jelas. Tapi dibalik pesan singkatnya Viola bisa mendengar nada

cemas perempuan yang tak bisa berhenti mengkhawatirkannya itu. Perempuan yang sudah

hampir 3 tahun menjadi kekasihnya.

Viola mendesah. Tentu saja dia sedang kenapa napa.

Aku baik baik saja, putri. Tidak ada apa apa..

Drrt Drrt..

Kau tahu kau tidak pandai berbohong, sayang. Ada apa? Beritahu aku..

Viola hampir bisa melihatnya mencebik manja. Rayuan yang selalu berhasil membuat

Viola meluluskan apapun keinginan kekasihnya itu. Viola tersenyum kecil. Sesaat, dia hampir

lupa kekalutannya.

Kau bisa pensiun jadi sekretarisku dan beralih menjadi cenayang.

Lucu sekali boss. Apa yang sedang terjadi padamu?

Aku dipaksa segera menikah oleh mamaku, putri. Tentu saja aku tidak bisa melakukan

itu.Hal itu mustahil untukku karena kau satu satunya orang yang ingin kunikahi. Tapi aku juga

belum siap memberitahu mama, kalau kaulah satu satu alasan dibalik semua penolakanku. Aku

masih terlalu pengecut untuk mengaku.

Viola menggigit bibir, dia sudah akan mengirim pesan panjang itu ketika dia berubah

pikiran. Dia mengcancel pesannya dan mematikan ponselnya. Dia tidak akan memberitahu

kekasihnya. Tidak! Dia hanya akan membangkitkan jiwa melankolis perempuan itu dengan

memberitahunya. Viola bahkan bisa membayangkan jawaban apa yang akan ia dapat dari

kekasihnya.

Kau bukan pengecut, sayang. Aku pasti mengalami hal yang sama jika aku masih punya

orang tua. Menikahlah, kalau itu bisa membuatmu lepas dari tekanan mamamu. Aku tidak apa

apa, karena aku tahu hatimu milikku. Aku tidak keberatan, selama itu bisa menolongmu dari

rasa tertekan.

Viola memutar bola mata.Dia? Menikah? Hanya dengan memikirnya menjalani hidup

penuh kepura puraan saja membuatnya mual. Belum lagi kekasihnya yang akan menderita

bersamaya. Walaupun viola tahu kekasihnya adalah perempuan yang tegar dan mengatakan

bahwa ia akan baik baik saja. Tapi perempuan mana yang sudi kekasihnya dibagi dua?

Dia mungkin bisa bilang dia baik baik saja, tapi Viola tahu hatinya terluka.

Dan viola tidak hanya akan menjadi seorang pengecut, dia akan menjadi seorang paling

egois jika membiarkan hal itu terjadi pada kekasihnya.

Lalu apa yang harus dia lakukan?

Apakah dia berani memberitahu mamanya dan membuat hatinya hancur berkeping

keping? Menghadapi murka seorang single parents yang berjuang sendiri membesarkan putri

tunggalnya dan terpaksa harus mengubur harapan harapan yang terlanjur beliau mimpikan?

Apakah ia akan memilih menjadi seseorang yang begitu egois dan kejam terhadap ibu

kandungnya sendiri?

Atau dia akan memilih untuk berdiam diri seperti yang ia lakukan sepanjang hidupnya?

Menutup rapat rapat rahasianya, dan mengorbankan cinta terlarang yang susah payah ia jaga.

Membunuh dua hati, miliknya dan milik kekasihnya. Hanya untuk sebuah kebohongan dan

kepura puraan lain. Apakah ia akan memilih untuk menderita seumur hidupnya?

Rasanya ia ingin kabur ke ruang angkasa.

Viola terduduk tegak. Mengernyitkan dahi sambil menatap barista yang sedang

mengelap gelas gelas besarnya. Dia tersenyum sekilas sebelum akhirnya bangkit berdiri menuju

konter dan duduk disana. Viola tahu apa yang ia butuhkan sekarang.

“Beri aku satu gelas beer yang paling kuat”

Beer akan membuat dia melayang ke angkasa.

***

My princess

“Permisi tante..”

Yang disapa menoleh, mengalihkan pandangannya dari pupuk pupuk dan anggrek

anggrek yang manja. Dia melihat perempuan yang kelihatan buru buru itu bergerak gerak

gelisah di luar gerbang rumahnya. Perempuan itu berblazer lengkap, rambut coklat

sepunggungnya dibiarkan tergerai, dan kacamata gelapnya bertengger diatas hidung yang

Monique yakin hidung blasteran entah negara mana. Tapi wajah itu seakan familier baginya.

Entah dimana ia pernah melihatnya.

Apa mungkin dia sales yang sering datang kemari? Pikir monique sambil berjalan untuk

membukakan pintu pagar untuk perempuan itu. Dia tertawa dalam hati mendengar leluconnya

sendiri. Tidak ada promotion girl yang secantik dan serapi ini.

“Ya ?”

“Violanya ada dirumah ?”

Oh! Tentu saja. Teman kantor viola. Pikir Monique paham. Mungkin ia pernah tanpa

sengaja melihat perempuan ini di album album foto milik anaknya.

Eh, tapi tunggu dulu. Bukankah anaknya sedang pergi kerja?

“Tidak, dia pergi kerja”. Monique mengerutkan alis. “Ada yang bisa saya bantu?”

Perempuan itu menggigit bibir, wajahnya berkerut kerut kecewa. Dan dia terdengar

sangat cemas ketika mulai bercerita. “Viola kabur dari kantor, tante. Karena itu saya kesini. Saya

pikir dia ada di rumah”. Dia menarik nafas satu satu. Sepertinya dia berusaha keras

menenangkan diri. “Dia tidak bisa dihubungi, Dan dia ...”

“Kamu teman kantornya?”. Monique melirik ID card yang menggantung di leher

perempuan itu. Sedikit sulit karna seperti kebanyakan wanita yang menua, Monique juga makin

rabun.

“Ya”. Perempuan itu terdiam sesaat. Dia bergerak gerak gelisah. “saya eh..

sekretarisnya”

Perempuan itu tersenyum dan menunjukkan ID cardnya. Rupanya menyadari kalau

Monique menyipit berusaha membaca nama yang tertera disana.

Airin Hime.

Oh. Keturunan Jepang. Monique mengangguk angguk dalam hati sambil mengawasi

perempuan tadi masuk ke dalam taxi. Dia mencoba mengingat ingat kursus bahasa Jepangnya

dulu waktu dia menjadi pramugari, mencoba mengartikannya ke bahasa Indonesia.

Dan ketika dia berhasil mengingat arti kata hime dari sejuta kosakata yang berlalu lalang

dalam kepingan memorinya. Monique tercekat ngeri..

Dia ingat dimana dia pernah melihat perempuan blasteran jepang itu tadi. Dia pernah

melihatnya memakai kimono lengkap, dalam foto yang tak sengaja ia temukan terjatuh dari

agenda Viola yang tertinggal di meja makan. Dibalik foto 3R itu Monique mengenali tulisan

tangan Viola yang ramping. Tulisan yang membuatnya bertanya tanya, dan nyaris membuatnya

tidak bisa tidur. Tulisan tangan yang mendatangkan badai yang luar biasa di hati Monique. Satu

kalimat yang terdiri dari dua buah kata yang sederhana.

My Princess.

Princess. Putri. Dalam kamus bahasa jepang yang juga berarti hime.

Monique tergopoh gopoh berlari kedalam rumah, menyambar kunci mobil tuanya dan

membanting pintu rumah menutup tanpa repot repot merasa perlu menguncinya. Dia

melempar dirinya ke balik kemudi. Dan dia menyetir kesetanan mengejar taxi.

***

Cinderella Complex

Kau ada dimanaa ? desis Airin dalam hati. Panik melanda sekujur tubuhnya

Kau datang dengan muka seperti baru saja diteror. Lalu kabur dari kantor padahal kau

baru sampai satu setengah jam sebelumnya. Kau tidak kembali pulang karena mamamu bilang

kau tidak ada dirumah. Dan kau tidak menjawab pesanku!

Tut tut tut.. Nomor yang anda tuju sedang..

Airin mengenal kekasihnya lebih dari siapapun. Viola tidak pernah mematikan ponselnya

kecuali ketika dia sedang meeting , atau ketika ia sedang menangis. Dan karena Airin tahu betul

Viola tidak sedang meeting saat ini, maka tentunya dia sedang...

“Mau ke mana lagi, mbak ?”

Airin terlonjak kaget. Lupa pada sopir taxinya yang sedang menunggu perintahnya. Taxi

itu sudah keluar dari kawasan perumahan dan mulai memasuki jalan besar. Airin

menggelengkan kepala kuat kuat, berusaha mengenyahkan pikiran buruknya sementara ia

berkonsentrasi pada tujuan berikutnya.

Benar! Dia harus fokus menemukan kekasihnya.

Airin cepat cepat mengisi kepalanya dengan daftar nama tempat dimana Viola mungkin

bersembunyi. Daftar teratasnya, rumah, telah dicoretnya dengan masam. Dia beralih kepada

kemungkinan kedua.

“Distrik Kayutangan”, kata Airin memutuskan.

Sopir itu mengangguk sekali, mengenali tempat yang dimaksud oleh Airin.

Airin mencoba menenangkan diri ketika taxi melaju menuju tempat tujuan mereka.

Tidak terlalu berhasil karena cuaca yang gerimis seakan akan mengejeknya. Dia juga sempat

mencoba menelepon Viola beberapa kali lagi. Tapi ketika perempuan menjengkelkan lah yang

mengangkat telponnya, Airin menyerah dan melemparkan kembali ponselnya kedalam tas

tanganya dengan frustasi. Dia berdoa agar kekasihnya benar benar ada di tempat yang kini ia

tuju. Ia hampir hampir gila memikirkan keadaan Viola yang tidak jelas bagaimana. Walaupun

samar samar ia tahu apa yang membuat dia begitu kalut.

Airin kembali mengingat ingat pesan terakhir Viola sebelum dia memutuskan untuk

menonaktifkan ponselnya.

Kau tahu? Aku hanya ingin menikah denganmu.

Airin tahu Viola memang selalu kalut jika membicarakan tentang pernikahan. Dia selalu

menganggap hal itu seperti horor pribadi untuknya. Viola memang selalu terlihat menganggap

enteng sambil lalu ketika semua teman, relasi, dan keluarganya bertanya kapan ia akan

menikah. Tapi Airin perempuan yang cerdas dan peka. Dia tahu persis perasaan berkecamuk

yang melanda hati kekasihnya yang bosan ditanya tanya. Viola memang bisa menulikan diri dari

perkataan orang lain, kecuali mungkin satu orang. Dan Airin tahu siapa orang yang bisa

meneror kekasihnya hingga begitu kalut dan tertekan.

Ibunya.

Airin menggigit bibir. Dia tidak punya orang tua yang sanggup merecokinya sepanjang

waktu tentang ketidaknormalannya. Kedua orang tuanya meninggal dalam sebuah kecelakaan

lalu lintas ketika mereka semua masih tinggal di Jepang. Dia pindah ke Indonesia untuk tinggal

bersama neneknya yang masih tersisa. Namun itupun hanya beberapa tahun. Dia berusia 21

Tahun ketika neneknya meninggal dunia. Dia tidak perlu mencemaskan siapapun lagi, karena

dia tidak memiliki siapa siapa.

Tapi tidak dengan Viola, dia masih punya seorang ibu yang mencemaskannya. Seorang

ibu yang tentunya akan keberatan dengan pilihan hidupnya. Dengan keabnormalannya

Airin tidak keberatan dengan hubungan yang serba rahasia. Dia bisa memaklumi Viola

yang harus menjaga nama baiknya. Menjaga rahasianya tertutup rapat. Menutupi kebenaran

demi menjaga hati ibunya agar tidak hancur. Airin juga akan melakukan hal yang sama jika dia

masih punya ibu.

Airin memandang keluar jendela. Mall berkelebat lewat di jendelanya. Lampu lampu

menerangi papan reklame yang terpampang di sepanjang dinding luar mall. Sebagian besar

adalah iklan. Beberapa memuat poster film yang sedang tayang di bioskop XXI.

Tiba tiba Airin teringat film yang pernah ditontonnya di Singapore ketika ia menemani

Viola pergi bekerja. Saat itu dia pergi jalan jalan ke mall sendirian karena Viola sedang sibuk

bertemu kliennya. Airin pergi ke Mall dan sebuah poster film Thailand menarik perhatiannya.

Maka dia menghabiskan sore itu sendirian menonton Yes Or No di bioskop. Merasa tersentuh

akan cerita drama itu. Dan bahkan sempat menangis dibuatnya.

Airin mendesah. Apakah kisah cinta seperti miliknya yang berakhir bahagia hanya ada di

cerita dunia perfilman ataupun fiktif lainnya? Apakah cerita miliknya akan berakhir semanis film

yang pernah ditontonnya? Apa di dunia ini hanya Cinderella yang diperbolehkan hidup bahagia

selamanya?

Airin memilih untuk tidak menjawabnya.

***

Last Wishes

Surya menatap perempuan yang duduk di bar disampingnya. Mata perempuan itu

nanar, mata coklatnya berair menahan tangis. Mukanya memerah karena alkohol. Rambut

hitam pendeknya awut awutan. Dan dia meracau tentang pernikahan, memanggil manggil

sebuah nama yang kedengarannya seperti nama Jepang, dan tak henti hentinya meminta maaf

kepada seseorang yang kelihatannya adalah mamanya.

Surya menggeleng geleng. Bertanya tanya masalah apa yang sedang dihadapi

perempuan ini sampai sampai separah ini halusinasi yang dialaminya. Surya menatap skeptis

gelas beer besar yang hampir kosong itu.

Apa benar alkohol bisa melarikanmu dari masalah?

Wajah perempuan itu kacau sekali. Apakah wajahnya juga akan sekacau itu?

Surya mengerling ke cermin yang tergantung di balik bar tepat diseberangnya. Seorang

pria yang terlihat lebih tua daripada seharusnya mentapnya balik kepadanya. Rambutnya yang

setengah beruban kusut tak disisir. Jambangnya belum dicukur. Matanya berkantung hitam

dibalik bingkai kacamatanya. Dan dasinya menggantung asal di kerah lehernya.

Efek ditinggal kabur putri semata wayangnya memang sangat berdampak pada

kehidupan surya. Surya tersenyum masam. Dia bahkan tidak membutuhkan bantuan alkohol

untuk membuatnya tampak kacau. Dia sudah terlihat sama kacaunya dengan perempuan

mabuk disebelahnya.

“Tolong satu gelas lagi”, pinta perempuan itu sambil mengacungkan gelas kosongnya

kepada si barista untuk yang ketiga kali. Suaranya serak dan intonasinya sudah tidak karuan.

Perempuan ini jelas jelas sudah mabuk

“Kau tidak apa apa?” Surya bertanya khawatir ketika dilihatnya wajah perempuan itu

mulai memucat. “Kelihatannya kau sudah terlalu mabuk”

“Aku tidak papa paman” jawabnya tegas, nyengir. Perempuan itu menegak beer nya lagi

sebelum dia menambahkan lambat lambat, “aku tidak mabuk”. Tapi kontras dengan

perkataannya, dia buru buru berlari ke toilet. Melempar tubuhnya merunduk diatas wastafel.

Dan muntah disana.

Dia bakal pingsan tak lama lagi. Batin Surya prihatin.

Dia mengawasi ketika si pelayan baru yang juga terlihat prihatin itu memapah

perempuan tadi keluar dari toilet. Perempuan itu kembali duduk disebelahnya. Surya bisa

melihat sebagian besar bagian depan kemeja perempuan itu basah. Retina matanya memerah,

kontras dengan wajahnya yang pucat pasi. Perempuan itu balas menatapnya datar.

“Paman, kau punya seorang putri?”

Surya mengangkat alis. Hatinya kembali tersayat ketika ia kembali diingkatkan akan

putrinya. “Ya”

“Apakah kau akan memaksa putrimu menikah jika dia tidak ingin?”

Surya mengerutkan dahi. Pertanyaan macam apa ini?

Tentu saja Surya tidak memaksa putrinya menikah. Malah, Surya memaksa putrinya

untuk tidak menikah. Tapi kalau yang dipertanyakan disini adalah soal paksaan, maka

jawabannya jelas walaupun konteksnya terbalik.

Surya mengangguk hati hati. “Ya”.

Ya. Dia telah memaksa putrinya tidak menikah walaupun putrinya sangat ingin.

“Well, berarti putri paman sama setresnya seperti aku sekarang”. Perempuan itu

mengangkat bahu, dan kembali menegak beernya. Dia bersendawa, lalu tertawa kecil.

Sepertinya perempuan ini mengalami disorientasi.

“kenapa orang tua selalu saja menyuruh anak mereka melakukan hal yang tidak mereka

inginkan?” si perempuan menatapnya Surya heran. “dan selalu tidak suka dengan apa yang

anak mereka inginkan?”, tanya perempuan itu iratoris. Surya hanya diam mendengarnya.

Memikirkan kata kata perempuan itu membuatnya serasa ditampar.

Benarkah Surya orang tua yang separah itu?

“apakah paman tidak ingin anak paman bahagia?”

Surya menggigit bibir. Suara Melody terngiang di telinganya.

Apa papa tidak ingin melihat Melody bahagia?

“Tentu saja ingin”, Surya menelan ludah. “Itulah yang sedang aku lakukan..”

“Yang sedang paman lakukan adalah memaksa anak paman, bukan membuatnya

bahagia!”, perempuan itu menyela cepat. “Siapa yang bisa bahagia jika dipaksa paksa, paman?”

Surya membeku, berusaha menulikan diri dari suara suara yang bergaung dari dalam

kepalanya. Suara Melody yang seakan akan digemakan lagi oleh perempuan dihadapannya itu

menampar hatinya, bagai garam yang ditabur diatas luka yang menganga. Pedih!

Kata kata Melody membanjir memenuhi telinganya. Badan surya bergetar hebat ketika

ingatannya sampai pada kata kata penuh airmata yang diucapkan melody sebelum dia pergi

keesokan harinya. Satu harapan terakhir putrinya.

“Aku hanya ingin menikah dengan orang yang aku cintai paman!”, perempuan

disebelahnya berseru parau.

Hati surya dingin membeku. Darah seakan akan berhenti mengalir dalam pembuluh

darahnya. Sendok yang dimainkan diatas cangkirnya terjatuh berdenting keras sekali.

Pandangannya mulai berkabut ketika kalimat perempuan itu meresapi ingatannya. Surya

menahan nafas. Setitik air mata meleleh membasahi pipinya.

Aku hanya ingin menikah dengan dia papa !

***

It is not the end

Senja menunduk melirik jam tangannya. Sudah jam setengah 2. Sebentar lagi akan ada

pelayan shift siang yang datang untuk membantunya menjaga bistro. Karena walaupun bistro

ini sepi siang ini, kelihatannya dua costumer ini saja bisa membuatnya kewalahan. Satu

perempuan mabuk, dan satu pria paruh baya yang sedang depresi.

Kling!

Suara berdenting nyaring ketika pria paruh baya di bar itu tanpa sengaja menjatuhkan

tea spoonnya. Senja dengan cekatan mengambil sendok yang terajatuh itu dan membawanya

ke konter, lalu menukarnya dengan sendok bersih lain. Senja menyorongkan sendok bersih itu

kepada pria yang duduk di bar itu. Baru pada saat itulah Senja menyadari ekspresi pria itu.

“bapak tidak apa apa?” Senja bertanya khawatir. Sepertinya pria itu sedang shock. Pria

itu terbelalak ngeri, wajahnya merah padam, dan bahkan sepertinya dia berkeringat dingin.

Pria itu menoleh dan mengangguk sekali. Senja menilai ekspresinya. Pria itu kalut, takut,

dan.. menyesal? Pria yang seumuran ayahnya itu tidak melepaskan pandangannya pada

perempuan mabuk yang sedari tadi meracau disampingnya. Perempuan itu terus menerus

mengatakan sesuatu yang berkaitan dengan menikah, memaksa, anak, dan bahagia. Dan

kelihatannya hal itu benar benar membuat pria itu ngeri.

Senja mendengar pria itu berbisik.

“lalu menurutmu apa yang harus aku lakukan ?”

Senja ganti menatap perempuan muda yang kelihatannya sedang meracau entah

tentang apa. Perempuan itu masih duduk dikursinya, setengah badannya bertumpu pada meja

bar, matanya memerah, dan dia mengacung acungkan gelasnya ke udara. Tapi ketika dia

mendengar bisikan pria disampingnya, perempuan itu menoleh cepat. Matanya yang tadi

menerawang tak tentu, kini menggelap dan kembali fokus. Dia menatap tajam mata pria itu.

Tangan perempuan itu bahkan terulur dan mencengkeram erat bahu pria didepannya, seakan

akan perempuan itu ingin memaksa pria itu mendengarnya.

“Biarkan aku bahagia, paman. Walaupun kau tidak suka karenanya”

Perempuan itu berbisik lirih, namun ketajaman suaranya bahkan memenuhi seantero

bistro. Suara itu berat, bernada mengancam, namun pada saat yang bersamaan juga terdengar

sangat sedih dan memilukan. Perempuan itu berhasil membuat seisi bistro terpana melihat

kesedihan dalam suaranya. Dan di detik berikutnya, dia berhasil membuat seisi bistro menahan

nafas ketika dia tiba tiba jatuh dari kursinya.

Pingsan.

Senja tercekat ngeri. Refleks dia segera menjatuhkan nampan yang dipegangnya dan

berlutut disamping perempuan yang terbaring tak bergerak dilantai. Senja mengguncang

guncangnya bahunya, tapi perempuan itu bergeming. Senja berusaha menarik perempuan itu

bangun dari lantai.

Berat.

Dia menoleh ke arah Bara. Laki laki itu sedang panik berusaha menelepon seseorang,

mungkin ambulans. Sementara pria paruh baya yang duduk di bar, masih sempurna mematung.

Kelihatannya dia terlalu shock untuk bergerak, bahkan untuk sekedar mengambil nafas. Senja

jelas tidak bisa mengandalkan mereka berdua.

“Bantu aku menggotongnya ke sofa” sebuah suara parau mengagetkan Senja.

Senja menoleh cepat. Di depannya berjongkok seorang wanita yang rupanya masuk

tepat pada saat perempuan mabuk ini pingsan. Tangannya terulur membantu Senja memegangi

si perempuan pingsan. Senja terlalu panik untuk menyadari kedatangannya tadi.

“Bantu aku, please!” Perempuan itu berseru lebih keras. Senja mengiyakan dan segera

membantu perempuan asing itu menopang tubuh yang tak sadarkan diri didepannya. Dari

sudut sudut matanya Senja bisa melihat Bara juga cepat cepat menghampiri mereka. Bahkan

pria di bar sepertinya juga sudah tersadar dari shocknya karena teriakan perempuan asing tadi.

Walaupun gerakannya masih berupa megerjap ngerjapkan mata.

Dengan tiga pasang tangan, tubuh perempuan yang pingsan itu bisa dipindahkan ke

sofa. Senja buru buru menuju lemari konter, mencari minyak kayu putih atau apapun yang bisa

berguna untuk menyadarkan si perempuan pingsan. Bara juga kembali ke barnya, kembali sibuk

dengan teleponnya. Namun perempuan yang baru datang itu tetap berjongkok disebelah sofa,

kelihatannya perempuan itu saling kenal.

“Viola! Viola! Bangun, sayang”

Senja membeku. Apa katanya? Senja mendongak menatap perempuan yang baru

datang itu lamat lamat. Sebelah tangan perempuan itu menggenggam tangan si perempuan

pingsan, mata coklat blasterannya yang ketakutan tak lepas dari wajah pucat yang tak kunjung

siuman.

Senja mengerjap tak percaya.

Perempuan ini.. kekasihnya?

“Boleh aku melihatnya?” Senja melihat pria yang tadi duduk mematung kini sudah

berdiri di sebelah sofa, disamping perempuan yang hampir menangis. Perempuan itu

mengerutkan dahi, menilai dengan skeptis. Pria itu tersenyum menenangkan. “Aku dokter”,

terang pria itu. Perempuan itu kontan mengangguk, wajah skeptisnya sirna.

“Kau pasti kekasihnya”, Senja mendengar pria itu berbicara setelah dia berdiam diri

cukup lama. Pria itu menoleh dan tersenyum sekilas kepada perempuan yang duduk

disebelahnya, sebelum kembali menekuni pasiennya. Dari nada bicara yang Senja dengar, pria

itu bukan bertanya, pria itu hanya mengkonfirmasi.

Perempuan itu menatapnya beberapa saat, lalu dia mengangguk.

Senja mengangkat alis. Perempuan itu memang kekasihnya.

Dokter itu tertawa kecil. “Pasti kau-lah yang dia ocehkan sedari tadi”.

Senja mengerutkan dahi. Bertanya tanya apa yang dimaksud dokter itu dan berusaha

mengingat ingat kalimat kalimat tak jelas yang tadi diocehkan si perempuan mabuk.

“dia terus terusan bilang ‘Aku hanya ingin menikah dengan orang yang aku cintai

paman’” kenang dokter itu, masih tertawa kecil. “Dan itu sepertinya berarti kau”.

Senja mengangguk paham. Tentu saja! Perempuan itu terus membicarakan pernikahan,

tidak mau menikah dengan orang yang tidak dicintainya, dan hanya ingin menikah dengan

kekasihnya. Senja kini mengerti masalah yang menyebabkan perempuan ini sanggup menegak 4

gelas besar beer.

Dia tidak bisa menikah dengan kekasihnya yang juga adalah seorang perempuan.

“Hime ?” suara serak memecah lamunan Senja.

Perempuan pingsan itu sudah sadar.

Senja buru buru mendekat, membawakan segelas air hangat kepada perempuan yang

baru saja sadar itu. Perempuan itu berantakan, tampak linglung dan masih setengah sadar, dia

mencoba duduk sambil mengernyit memegangi sisi kepalanya. Perempuan yang dipanggil hime

menghambur memeluk si perempuan pingsan. Si perempuan pingsan yang masih setengah

mabuk merangkulnya. Mencium kening kekasihnya.

Senja tersenyum diam diam. Mengelus dada.

Sungguh akhir yang bahagia..

Tapi rupanya moment berharga itu tidak berlangsung terlalu lama. Karena keheningan

yang nyaman itu pecah oleh sebuah jeritan pilu.

“Viola!”

Sebuah suara menggelegar mengagetkan seisi bistro. Seisi bistro menoleh cepat

menghadapi sumber suara. Senja melihat seorang perempuan paruh baya berdiri diambang

pintu dengan murka. Wajahnya kaku, ekspresi antara tidak percaya, marah, dan terluka.

Kebekuan tak kentara mencekam seisi bistro.

“Mama?” bisik si perempuan pingsan lirih, menjadi orang pertama yang berani

bersuara. Mendengar suara kekasihnya, Hime tersadar dari kebekuannya.Dia berusaha

melepaskan diri dari Viola yang masih mematung memeluknya. Tapi ketika dia tidak berhasil

melepaskan diri, perempuan itu hanya menunduk menyembunyikan muka.

Senja mendesah. Tampaknya ia salah mengira, ini bukan akhir..

Bahkan,

ini baru saja dimulai.

***

The Storm

Monique berdiri mematung di ambang pintu sebuah cafe kecil di sebuah distrik yang

cukup ramai. Nafasnya masih terengah engah akibat kebut kebutan dijalan. Andrenalin yang

berlebihan benar benar tidak baik untuk jantungnya. Tapi itu bukan apa apa. Beban di

jantungnya itu masih belum seberapa dibandingkan dengan badai di pusat hatinya.

“Viola!”. Kata itu meluncur begitu saja dari bibir Monique. Penuh kepahitan, luka, dan

amarah.

Dilihatnya sekretaris yang tadi ia buntuti, kini membeku ngeri. Wajahnya pucat pasi

sebelum berubah cepat menjadi merah padam. Ekspresinya campuran antara shock, takut, dan

merasa bersalah. Dia butuh beberapa detik untuk menguasai diri. Dan ketika kesadaran telah

meresap kedalam kepalanya, dia berusaha melepaskan diri dari pelukan viola. Menjauhkan diri

seakan akan tidak ada apa apa. Perempuan itu berusaha mencegah Monique melihat mereka.

Tapi terlambat, Monique sudah melihat. Dan dia sudah mengerti.

“Apa yang kau pikir sedang kau lakukan?”, sembur Monique murka. “Ayo pulang, Vio!”

Viola berdiri dari duduknya, sedikit terhuyung karena keseimbangannya belum

membaik. Dia berpegangan pada seorang pria disampingnya yang dengan baik hati

membantunya berdiri. Sebelah tangannya masih menggenggam tangan kekasihnya, menolak

melepaskan genggamannya walau sang kekasih menggeliat geliat berusaha melepaskan diri.

Viola menatap Monique datar.“Maaf ma, aku tidak bisa ..”, tidak ada nada takut dalam

suaranya. Monique hanya mendengar sebuah keteguhan disana.

“Aku tidak bisa pulang ataupun menuruti mama untuk menikah. Aku tidak bisa”

Monique menahan nafas. Dengan susah payah berusaha menemukan kembali suaranya

yang tertelan amarah. “Apakah karena dia?” tanyanya, sambil menunjuk dengan telunjuknya.

Tepat ke arah Hime.

“Dia? Sekretarismu.. Kimi no hime? Your princess? ”

Dilihatnya Viola mengangguk, sementara sekretarisnya yang menoleh cepat dan

meremas genggaman tangannya takut takut.

“Benar. Dia kekasihku”. Viola mengaku.

Monique melotot garang ke arah Viola. Dia terlalu muak untuk sekedar berbicara. Dia

marah sejadi jadinya. Tapi tidak tahu harus menyalahkan siapa.

Kenapa kau berikan kutukan ini kepada anakku, Tuhan?! Teriak Monique dalam hati.

“Sekarang, setelah mama tahu. Aku hanya berharap suatu saat mama akan mengerti

dan membiarkanku bahagia. Merestui pilihanku ini. Karena aku berhak melakukannya”.

Monique memejamkan mata. Oh tuhan! Viola. Anaknya?!

Anaknya seorang lesbian?

Tidak! Tidak mungkin! Tidak boleh!

“Monique”

Monique berlalu untuk menoleh ke suara yang memanggilnya. Berharap bahwa ada

seseorang yang akan mengatakan padanya bahwa ini semua adalah lelucon. Tapi rupanya

bukan perasaan lega yang ia dapat, Monique makin terkejut setengah mati setelah ia mengenali

pria yang memanggilnya.

Pria itu ada disana, memegangi tangan viola. Si dokter yang tadi merawatnya ketika

Viola jatuh pingsan. Pria itu! Pria yang seharusnya telah pergi jauh jauh dari hidupnya. Pria itu,

mantan suami Monique satu satunya.

“Surya?!” Monique terbelalak. Mulutnya ternganga tak percaya.

Dokter itu tersenyum singkat, mengangguk kepadanya penuh arti. Ekspresinya tenang,

meski Monique yakin dia tadi sekaget dirinya sekarang. Monique juga melihat Viola menatap

ayah yang belum pernah ia temui seumur hidupnya itu. Wajah putrinya berkerut kerut bingung,

berusaha menyambungkan potongan potongan kebenaran didepannya. Butuh waktu cukup

lama ketika akhirnya dia cepat cepat melepaskan pegangan tangannya dan mendekap mulut

tak percaya.

“Kau ayahku?”

Surya tersenyum sedih, “Aku juga baru tahu kau putriku”.

Dia kembali menatap Monique penuh arti sebelum akhirnya berbicara dengan nada

memohon dan sedih yang sama. Monique tahu persis apa yang sedang dipikirkan pria itu. Tapi

Monique masih dalam keadaan shock sehingga dia tidak tahu harus berbuat apa selain diam.

“Monique, kau tidak punya hak untuk memaksanya”

“Tapi..”

“Kau tahu benar rasanya seperti apa ketika kau harus dipaksa. Bahkan kau sudah pernah

mengalaminya, Monique”

“Tapi aku..”

“Jangan menyalahkan Viola, Monique. Kau tahu benar alasannya dia menjadi seperti ini”

“Tidak..”

“Karena dia mewarisi gen itu darimu”

***

Latte Confession

“ APA ?!” Viola berteriak keras. Suaranya bergaung diseantero bistro. Hime

mencengkeram genggamannya lebih kuat. Terkejut bukan kepalang.

Viola mengira tidak bisa ada yang lebih buruk daripada ketika mendapati mamaya

berdiri disana, dan membuat beliau mengetahui rahasianya. Tidak ada yang bisa membuatnya

lebih kaget lagi daripada ketika ia tahu kalau pria yang sedari tadi duduk di sampingnya di bar

dan mendengarnya berceloteh ketika ia mabuk, ternyata adalah ayah kandungnya.

Tapi rupanya viola salah. Kalimat yang diucapkan ayah yang belum pernah dikenalnya

itu menghantam kesadarannya bagai jet coaster dan mencengkeram ulu hatinya kuat kuat.

Bahkan etanol dalam beernya yang dia minum banyak banyak tadi rupanya belum cukup untuk

menganastesi dirinya dari rasa sakit dan terkejut akibat berita ini.

Karena dia mewarisi gen itu darimu

“Jadi mama juga.. ?” kata katanya menghilang, tidak sanggup melanjutkan tapi juga

tidak tahan untuk tidak meminta pengakuan Mamanya. Dia tidak sanggup menilai ekspresi

wajah mamanya yang pucat pasi. Dia terlalu terkejut. Terlalu shock. Mamanya? Ibunya sendiri ?

Lesbian?

Monique membeku. Kelihatannya dia juga shock. Jangankan untuk menjawab. Viola

bahkan yakin mamanya perlu mengerahkan seluruh tenaganya hanya untuk menarik nafas.

Viola ganti menatap ayahnya yang sedang memandang Monique dengan tatapan sendu.

Namun dia menyadari tatapan Viola. Pria itu berbalik dan menatap ke dalam matanya dengan

kebijaksanaan dan kelembutan seorang ayah yang tak pernah Viola dapatkan sebelumnya.

“Karena itulah kami bercerai. Aku bukanlah orang yang bisa membuat ibumu bahagia”

Selama ini Viola bertanya tanya mengapa kedua orang tuanya bercerai. Tapi tak

sekalipun ia mengira, bahkan bermimpi bahwa inilah alasannya. Kenapa dia baru diberitahu

sekarang?! Dengan kondisi seperti ini.

“Hentikan, Surya!” Rintih mamanya pelan. Surya menghampiri perempuan itu dan

memapahnya menuju sofa di tengah ruangan tempat Viola tadi terbaring dan kini mematung.

“Kau mau menyembunyikan itu dari putrimu sendiri, Monique?”, tanya pria itu sambil

mengangkat alis setelah sebelumnya dia memesankan latte untuk Monique. Dia mengibaskan

sebelah tangannya sambil lalu kearah Viola lalu ikut ikutan menghempaskan diri di sebelah

Monique. “Terlambat lebih baik daripada tidak sama sekali”, katanya lambat lambat.

Monique menatap mantan suaminya lamat lamat. Dia menghembuskan nafas berat.

Viola mengamati ekspresi ibunya. Ekspresi perempuan itu.. Lega? Dia juga melihat bahwa

ibunya kini mendongak menatap lurus lurus kepada dia dan Hime.

“Sebenarnya aku sudah tahu sejak setahun yang lalu. Aku sudah menduganya”

Viola berlutut di dekat kaki ibunya. Matanya tidak lepas dari perempuan itu.

“Aku tidak sengaja melihat sebuah foto. Dibaliknya ada tulisanmu. My princes”. Viola

berjegit mendengarnya. Mencela dirinya sendiri. Bagaimana dia bisa seteledor itu?! Monique

mengangkat bahu tidak peduli. “Aku tahu apa yang kaurasakan karena aku juga sepertimu”

Jadi benar apa yang dikatakan ayahnya tadi.

“Maaf, seharusnya aku memberitahumu begitu aku tahu” Monique menyentuh tangan

viola. “Tapi seharusnya kau juga mengaku kepadaku, dan mengenalkan dia padaku” Monique

pura pura kesal, mengerling dan mengedip kepada Hime. Viola tertawa, memeluk kekasihnya.

Tugas terberatnya untuk mengaku telah selesai.

Mamanya tiba tiba menoleh ke arah mantan suaminya. “Jadi kau sudah kenal, Viola?”

Dilihatnya ayahnya tertawa. “Tidak juga”, katanya setelah berpikir. Pria itu masih sedikit

terkekeh ketika melanjutkan ceritanya dengan nada hampa. “Dia memberiku konseling tadi”

Viola mengangkat alis. Memangnya apa yang dia lakukan pada papanya?

“Konseling?”

“Ya, dia meracau ketika mabuk. Dan bisa dibilau, omongannya yang sedikit melantur itu

justru menyadarkanku akan banyak hal. Dan sepertinya aku harus berterimakasih padanya”.

Surya menatap Viola sungguh sungguh “Terimakasih, Vio”

Seorang pelayan datang. Menyuguhkan latte yang tadi dipesan Surya untuk Monique.

Viola melihat Surya mengamati perempuan itu. Wajahnya yang tadi tenang kini berkerut kerut

sedih, seakan pelayan yang sedang hamil itu mengingatkan Surya pada sebuah tragedi yang

membuat hatinya terluka.

“Kau punya adik, Vio. Namanya Melody Nirwana. Dia anak dari almarhum istri keduaku.

Well, dia kabur dari rumah karena aku memaksanya untuk tidak menikah dengan seorang pria

yang menurutku tidak pantas untuknya. Dia tidak akan kembali ke jika aku belum merestuinya”,

Surya bercerita sedih. Suaranya pecah ketika mengucapkan kalimat terakhir. “Dia sudah hamil”,

tembahnya. Matanya berkaca kaca.

“Apakah yang bapak maksud, Melody Pelangi Nirwana?”, tanya sebuah suara.

Viola menoleh sama seperti yang lainnya. Dilihatnya pelayan yang tadi akan berbalik

kembali ke konter kini berdiri terpaku menatap Surya dengan sikap tak percaya. Surya

mengerjap bingung, namun mengangguk dalam dalam.

“Kau mengenalnya?”, tanya Surya bingung.

“Ya, saya kenal baik Melody”

Surya terlonjak berdiri, kini sebuah harapan menyaput wajahnya yang sarat kesedihan.

Dia bertanya cepat cepat kepada si pelayan, “Apa kau tahu dimana dia? Aku harus meminta

maaf padanya. Aku harus memberitahunya..”

“Itu tidak perlu. Saya yakin dia sedang dalam perjalanan menuju kemari”

***

Rights of Judgement

Dia sedang dalam perjalanan menuju kesini.

Kesini? Ke tempat ini? Tapi bagaimana bisa? Surya menggeleng geleng tak mengerti.

“Kami sama sama pegawai baru disini. Dia juga baru akan mulai bekerja hari ini. Shift

nya akan dimulai jam 2”

Surya cepat cepat menunduk dan melihat jam tangannya. 13.42.

Delapan belas menit lagi. Delapan belas menit lagi dan Surya akan bertemu putrinya.

Jantung Surya berpacu. Apa yang harus dia katakan pada Melody?

“Jadi anda ayah Melody?”

Surya mengangguk lambat lambat. Dia masih setengah tak percaya ketika ia kembali

menghempaskan tubuhnya ke sofa. Lega. Namun juga gugup. Apa yang harus ia katakan?

“Terlambat lebih baik daripada tidak melakukannya sama sekali”, didengarnya Viola

berkata ragu ragu. Tersenyum menyemangatinya.

Surya menatap putrinya yang lain. Dia sedang duduk di sofa tepat di seberang Surya

duduk, dan dia sedang menatap balik kedalam matanya. Surya menghela nafas panjang.

Menenangkan diri.

“Benar. Lebih baik terlambat daripada tidak mencobanya sama sekali”

Surya memang sudah terlambat. Dia tidak tahu apakah Melody akan memaafkan dan

menerimanya, sama seperti dia menerima dan memaafkan putrinya itu. Tapi, jika Melody

menolaknya. Jikapun Surya gagal, setidaknya dia sudah pernah mencoba.Dia tidak akan

menuntut apa apa. Surya hanya ingin putrinya bahagia.

“Aku akan membiarkannya melakukan apapun yang ingin dia lakukan, jika itu

membuatnya bahagia”

Ya! Itu lah yang akan dilakukannya. Dia akan memberitahu putrinya kalau dia benar

benar menyesal. Dia akan memintanya memaafkan dia yang sebegini terlambat untuk

menyadari sikap egoisnya. Surya sadar, sikap diktatornya hanya mendatangkan kesedihan baik

bagi dia ataupun putrinya. Surya mendesah. Betapa tercela sikapnya kepada putri kecilnya dulu.

Surya mendongak menatap keseberang meja. Ke arah Viola yang sedang mengenalkan

Hime kepada ibunya. Perempuan itu menggenggam tangan kekasihnya erat erat tanpa ragu

lagi. Sementara Monique memeluk hime hangat. Keikhlasan terpancar terang dari wajahnya.

Menghapus bersih kekecewaan yang tadi sempat ada.

Monique ikhlas dengan kondisi putrinya. Dan kini giliran Surya.

Manusia memiliki haknya untuk memilih tiap jalan yang akan mereka tempuh. Seaneh,

setidaknormal, ataupun seajaib apapun jalan itu. Mereka bebas untuk memilih. Karena ini

adalah hidup mereka sendiri. Dan mereka berhak untuk bahagia.

Terkutuklah manusia yang seenaknya merampas hak itu.

Dan hal itu berlaku juga untuknya. Seorang orang tua yang menghendaki yang terbaik

untuk anaknya. Tapi apakah selalu yang dikiranya terbaik juga terbaik untuk anaknya? Tidak.

Yang perlu ia lakukan sebagai orang tua adalah mendidik putrinya, menuntunnya ke

persimpangan jalan. Hanya menuntun, tidak memilihkan jalan untuknya. Dan untuk itu, Surya

telah berusaha sebisanya.

Tapi dia tidak akan menjadi hakim untuk anaknya. Tidak lagi.

Cklek..

Pintu berdenting terbuka. Seorang perempuan mungil masuk dengan pakaian trainee

putih hitamnya. Perempuan itu membuka pintu lebar lebar ketika ia masuk dengan tubuh tak

proporsionalnya. Angin berhembus masuk menyelimuti seisi bistro dan membawa aroma khas

gerimis hujan dari luar. Angin baru yang seakan ditiup dari samudra kebahagian.

Surya menghambur memeluk perempuan itu. Merengkuhnya kedalam dekapannya.

Perempuan itu terkejut tapi tidak melepaskan diri. Dia mengenali pria itu.

“papa.. ?”

***

Last Call

Mata Senja berkabut. Ujung ujungnya bahkan tak tahan menahan air mata yang meleleh

begitu saja. Melihat seorang ayah yang memeluk meminta maaf pada putrinya itu begitu

membuat Senja terharu. Ayah yang mengabaikan semua keegoisan dan otoriter dalam dirinya.

Ayah yang akhirnya menyadari apa yang seharusnya dialakukan walaupun ia setengah

terlambat.

Tapi tidakada kata terlambat untuk memulai hal yang baru.

Melody telah mengawali hidupnya. Memang tidak sedini yang dia harapkan. Tapi toh

Senja tahu dia tidak akan mengeluh. Terlambat masih lebih baik daripada tidak sama sekali. Kini

Melody sudah berbaikan dengan ayahnya.

Kapankah giliran Senja?

Dia kabur dari rumah seperti Melody. Kabur dengan keyakinan mereka sendiri. Mereka

memulai hidup di petak kamar kos yang kecil bersama kekasih yang telah mereka pilih.

Meninggalkan semua kenyamanan istana yang bagaikan penjara. Memilih hidup sederhana dan

bahagia, daripada harus kaya namun selalu harus berpura pura. Mereka memilih keegoisan

mereka dan menghancurkan hati orang tua mereka. Walaupun tindakan itu juga

menghancurkan hati Senja.

Dia tidak ingin menghancurkan hati ayahnya.

Tapi dia telah melakukannya. 7 Bulan yang lalu.

Senja menatap Melody lekat lekat. Selama ini Senja dan Melody selalu bersama sama.

Mereka teman yang saling mengerti. Saling berbagi. Mereka berdua punya latar belakang dan

cerita yang hampir sama. Duka dan kesamaan nasib membuat mereka dekat. Mereka sudah

sering saling merasakan duka yang lain. Meraka hafal rasa bersalah masing masing.

Rasa bersalah yang tak kunjung hilang, dan semakin besar seiring waktu.

Tapi kini Senja tahu, rasa bersalah dan tertekan itu hilang dari wajah sahabatnya. Tidak

ada ekspresi lain disana selain bahagia. Sempurna bahagia.

Apakah Senja bisa mendapatkan kebahagiaan yang sama? Bagaimana caranya?

Senja menggigit bibir. Mengusap usap ujung apronnya yang tadi sedikit ketumpahan

latte yang dipesan ayah melody untuk mantan istrinya. Kata kata pria itu menggaung didalam

kepalanya.

Lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali.

Senja tersenyum kepada dirinya sendiri. Seharusnya sudah lama sekali dia melakukan

hal ini. Sudah seharusnya dia memulai satu langkah baru. Langkah kecil untuk maju menuju

kedewasaannya. Menjadi perempuan yang lebih bijaksana. Senja mungkin tidak bisa mundur

dari pilihannya ini, dan dia tidak ingin. Dia sudah begitu lama menunggu hingga mencapai titik

ini.

Senja meraih ponsel di kantongnya. Memencet serangkai nomor yang sudah lama ingin

ia hubungi lalu menempelkan benda itu ditelinganya. Senja menahan nafas sambil menunggu

sampai sebuah suara terdengar diujung sana.

“halo?!”

Senja tersenyum lega mendengar suara berat itu. Hatinya tidak lagi merasa ragu.

“Papa ?”

Terlambat lebih baik daripada tidak sama sekali

***