latar belakang penelitian 1
TRANSCRIPT
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Manusia pada dasarnya tidak dapat melepaskan diri dari sejarah, sebab
sejarah merupakan petunjuk dalam perjalanan menyongsong kehidupan sekarang
dan kehidupan akan datang. Sejarah membantu dalam memahami dan
merekontruksi peristiwa. Peristiwa yang terjadi pada masa lampau baik sejara
individual maupun kelompok, yang kemudian dijadikan pedoman dalam
melaksanakan kegiatan dimasa kini.
Dalam perspektif kesejarahan, pembangunan disegala bidang kehidupan
yang sedang giat-giatnya dilaksanakan, merupakan mata rantai perjalanan sejarah
bangsa indonesia pada masa lampau. Dengan demikian, pembangunan yang
tengah dilaksanakan itu merupakan rangkaian perjalanan masa lampau dari bangsa
kita yang bukan hampa akan nilai-nilai sejarah. Kitapun diperhadapkan dengan
realitas kehidupan masa lampau yang dapat dipersaksikan hingga masa kini perlu
kiranya diungkapkan secara jelas melalui penelitian ilmiah. Oleh karena itu,
kehadiran ilmu sejarah sangat penting untuk mengungkapkan dan menuntun
pemahaman kita tentang berbagai aktivitas manusia baik dari segi ekonomi,
sosial-budaya dan segi politik maupun pertahanan keamanan.
Khusus bidang pertahanan dan keamanan sebagai unsur penting dalam
perkembangan kehidupan suatu masyarakat manusia, baik secara individual
maupun secara kolektif. Hal ini merupakan salah satu segi kehidupan manusia
yang perlu dikaji ulang agar diperoleh pengetahuan tentang berbagai usaha
1
menangkal berbagai serangan, tantangan dan hambatan yang dapat mengacaukan
kehidupan masyarakat.
Sudah merupakan suatu hal yang tidak dapat dipungkiri, bahwa setiap
orang selalu berusaha untuk melindungi diri demikian pula suatu bangsa, negara
maupun kerajaan pada masa lampau, selalu berusaha mempertahankan diri dengan
sistem pertahanan dan keamanan yang sebaik-baiknya.
Dalam upaya mempertahakan diri tersebut maka setiap bangsa, negara
atau kerajaan di dunia ini tentu saja akan mempunyai pola sistem pertahanan dan
keamanan yang berbeda-beda tergantung pada situasi dan kondisi geografis dan
karakter pimpinan yang sedang memegang tampuk pemerintahan.
Demikian pula Bangsa Indonesia dengan sistem pertahanan dan keamanan
yang dikembangkannya mempunyai perbedaan yang mencolok dengan bangsa-
bangsa lain di dunia. Dalam uapaya memperkuat sistem pertahanan dan keamanan
khususnya dalam menangkal musuh atau serangan bangsa lain, maka bangsa
Indonesia sangat memperhatikan kondisi geografis disamping kekuatan-kekuatan
lain yang kesemuanya terwujud dalam sistem pertahanan keamanan rakyat
semesta.
Kepulauan Indonesia yang terletak antara benua Asia dan Australia sering
diumpamakan sebagai sebuah jembatan diantara kedua benua tersebut. Kepulauan
Indonesia terletak antara 60 garis lintang utara dan 110 garis Lintang Selatan serta
950 dan 1450 garis Bujur Timur, merupakan gugus kepulauan terbesar di dunia.
Daratan Indonesia kurang lebih 1.904.000 kilo meter persegi, dibagi menjadi
empat satuan geografis. Satuan pertama, meliputi kepulauan Sumatra Barat, yaitu
2
Sumatra, Jawa, Bali, Kalimantan, dan Sulawesi, termasud pulau-pulau kecil di
sekitarnya. Satuan kedua meliputi, kepilauan Sunda Kecil, yaitu pulau-pulau
disebelah tenggara, dari Lombok sampai timur (Djuliati, Suroyo, 2007: 23-24)
Sehingga sejarah maritim memegang peranan penting dalam upaya
menelusuri hubungan lintas budaya antara satu komunitas dengan komunitas lain,
baik antardaearah maupun antarpulau, yang menjadi dasar bagi proses integrasi;
dan dalam perjalanan waktu menjadi satu bangasa Indonesia (dahulu disebut
Nusantara) merupakan gugusan kepulauan yang menempatkan laut sebagai
penghubung, dan bukan sebagai pemisah (Djuliati, Suroyo, 2007)
Pada masa lampau di Indonesia terdapat banyak kerajaan-kerajaan yang
tersebar diberbagai daerah. Tercatat dalam sejarah bahwa di Indonesia terdapat
banyak kerajaan-kerajaan besar maupun kerajaan kecil. Diketahui dalam sejarah
bahwa dua kerajaan besar yaitu Kerajaan Sriwijaya dan Majapahit. Kedua
kerajaan itu memiliki kontribusi yang besar dalam perjalanan sejarah bangsa
Indonesia karena dua cikal-bakal Negara Indonesia adalah berasal dari kedua
kerajaan tersebut. Kerajaan Sriwijaya tercatat dalam perkembangannya banyak
menguasai beberapa daerah kekuasaan. Hal itu dikarenakan selain kerajaan
Sriwijaya memiliki pasukan yang hebat juga peran seorang raja yang dibantu oleh
beberapa penjabat kerajaan salah satunya adalah peran mentri (Senopati). Hal
tersebut juga terjadi pada sistem pemerintahan kerajaan Majapahit yang berkuasa
hampir seluruh wilayah di Nusantara pada masa lalu karena peran raja dan peran
para pejabat atau perdana mentri (Senopati).
3
Dengan latar belakang kebesaran dan kejayaan yang pernah diraih oleh
Kerajaan tersebut, dan sebagai suatu episode dalam mata rantai sejarah masa lalu
Nusantara, maka sudah tentu kronologis peristiwa maupun Kerajaan tersebut
sangat penting diungkapkan keberadaannya dan keterkaitannya dengan Sejarah
Nasional, teristimewa dalam kaitannya dengan soal peranan dan nilai-nilai
kepemimpinan dari para pemimpinnya.
Dengan kajayan sejarah maritim diawali dari masa kerajaan maritim
Sriwijaya hingga kerajaan-kerajaan Aceh, Goa/Makassar, dan Ternate terlihat
sebuah benang merah hubungan pelayaran dan perdagangan antar pulau; diikuti
dengan hubungan ekonomi, sosial, budaya, serta pasang surut kekuasaan politik.
Sehingga proses tersebut menghasilkan integrasi yang bersifat regional, sebuah
embrio menuju integrasi nasional pada masa Indonesia merdeka.
Nilai-nilai kepemimpinan dan kesejarahan lainnya dari para pemeran
sejarah Kerajaan tersebut terasa penting untuk diangkat kepermukaan khususnya
kerajaan Konawe. Sejarah Kerajaan Konawe beserta para tokoh-tokoh
pemerannya telah banyak diungkapkan oleh penulis Sejarah Lokal di daerah ini,
namun upaya-upaya tersebut masih perlu untuk ditingkatkan baik dari segi
kuantitas maupun kualitas penelitiannya. Salah satu aspek kesejarahan Kerajaan
Konawe yang nampaknya masih perlu untuk ditingkatkan intensitas penelitiannya
adalah peranan dari segi-segi kepemimpinan dari beberapa tokoh legendaris
Kerajaan Konawe lainnya selain seperti Raja Tebawo dan Raja Lakidende sudah
diketahui tokoh-tokoh tersebut sangat besar fungsi dan peranan mereka dalam
mendukung keberhasilan Raja dalam memimpin Kerajaan.
4
Istilah Sulawesi tenggara sebagai kawasan secara historis dibentuk oleh
posisi geografis dan peran kekuasaan lembaga kerajaan (Rabani, 2010: 15). Pada
masa lampau pernah ada beberapa kerajaan diantaranaya seperti Kerajaan Buton,
Kerajaan Muna, kerajaan Konawe, dan Kerajaan Mekongga. Pada masing-masing
kerajaan tersebut, dapat kita amati ketika raja dalam menjalankan
pemerintahannya di bantu oleh beberapa penjabat kerajaan. Kerajaan atau
kesultanan Buton, raja dibantu oleh beberapa orang mentri (bonto/bontona),
sedangkan pada kerajaan Mekongga raja biasa dibantu oleh tangan besi raja
(Kapita), begitu pula di kerajaan Konawe, yang dibantu oleh “Siwole Mbatohu
dan Opitu Dula batuno Konawe” atau yang disebut Empat Sisi Wilayah Besar dan
Tujuh Dewan Kerajaan Konawe (Basrin Melamba, 2011: 49).
Dibeberapa daerah di kenal jabatan yang mempunyai masalah pertahanan
dan keamanan di laut seperti di Buton di kenal Kapita Lao, sedangkan di Kerajaan
Konawe Sejak zaman mokole Tebawo kerajaan Konawe telah membentuk
panglima angkatan laut yang disebut Kapita Lau atau juga lebih dikenal Kapita
Bondoala. Berkedudukan di Pu’usambalu Sambara/Sampara. Pada zaman itu
dijabat oleh Haribau dengan gelar Kapita Bondoala (Basrin Melamba, 2011: 54)
Aspek permasalahan dan kajian Peran Kapita Lau mengingat luasanya
ruang lingkup permasalahan serta untuk menghindari terjadinya tumpang tindih
dalam pembahasan masalah penelitian ini, oleh karena itu untuk membatasi dan
menghindari permasalahan itu, tulisan ini membatasi pembahasan dari tahun
1725-1904. Penetapan temporal tahun 1725-1904 karena pada kurun waktu
tersebut dibentuknya suatu jabatan dimana Kapita Lau (Panglima Angkatan Laut)
5
yang memiliki peran yang cukup besar di Kerajaan Konawe. Batasan Spasial
(tempat) dalam penelitian ini mencakup lokalitas kawasan Konawe dengan spasial
penelitian pada kelurahan Sampara Kec. Sampara Kabupaten Konawe yang
merupakan tempat kedudukan Kapita Lau (Panglima Angkatan Laut). Sedangkan
batasan tematis dalam penelitian ini adalah sesuai dengan permasalahan dalam
penelitian ini.
B. Rumusan Masalah
1. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka masalah dalam penelitian ini
dirumuskan sebagai berikut:
a. Bagaimana latar belakang terbentuknya Kapita Lau di Kerajaan Konawe?
b. Bagaiman peranan Kapita Lau di Kerajaan Konawe?
c. Bagaimana struktur pemerintahan kerajaan Konawe?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan penelitian
Adapun tujuan yang diharapkan dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut:
a. Untuk mengetahui latarbelakang terbentuknya Kapita Lau di Kerajaan
Konawe
b. Untuk mengetahui peran dan fungsi Kapita Lau terhadap Kerajaan
Kanawe
c. Untuk mengetahui sturktur pemerintahan Kerajaan Konawe
6
2. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian yang disusun dalam bentuk karya tulis ilmiah ini
diharapkan dapat bermanfaat sebagai berikut:
a. Manfaat Teoritis
Bermanfaat sebagai bahan masukan untuk memperkaya khazanah ilmu
pengetahuan tentang sejarah lokal daerah Sulawesi Tenggara khususnya
peran Kapita Lau di Kerajaan Konawe
b. Manfaat Praktis
1. Bagi kalangan pemerintah, yaitu sebagai bahan masukan dan
sumbangan pemikiran melalui istansi terkait untuk dijadikan bahan
dokumen dalam upaya melestarukan nilai-nilai sejarah yang
terkandung dalam Sejarah Lokal Sulawesi Tenggara umumnya dan
Sejarah Konawe Khususnya sebagai bagian dari Kebudayaan
Nasional.
2. Bagi kalangan akademis, yaitu sebagai bahan masukan dan
sumbangan pemikiran serta bahan perbandingan dalam penelitian
tentang sejarah lokal/daerah yang telah ada sebelumnya, khususnya
yang berkaitan tentang sejarah masa lalu Kerajaan Konawe.
3. Bagi kalangan masyarakat, sebagai bahan informasi kepada
masyarakat luas, khususnya masyarakat Konawe tentang Peran
Kapita Lau di Kerajaan Konawe.
7
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Konsep Kemaritiman
Laut tidak hanya sebagai alat pemersatu bangsa, tetapi ia juga telah
memainkan peranan yang besar dalam sejarah pertumbuhan masyarakat dan
bangsa Indonesia. Lewat laut pula berbagai peradaban dan kebudayaan dari
berbagai belahan dunia, seperti India, Cina, Arab, dan kemudian dari Eropa masuk
kenegara ini. Di samping itu, Laut juga menjadi lahan tempat sebagian besar
orang Indonesia, langsung atau tidak langsung mencari nafkah.
Menurut Gusti Asnan (2007: 6) dunia maritim adalah sebuah dunia yang
luas, dalam, sukar ditebak sebab ia bisa tenang memberikan kedamaian dan rezeki
bagi anak manusia. Hal ini seperti yang dikemukakan A.B. Lapian (dalam Gusti
Asnan, 2001: 7) bahwa ada tujuh aspek maritim yang berlaku didalam masyarakat
di berbagai pelosok dunia, yaitu perdagangan, pelayaran, perkapalan, tradisi
bahari, mitologi laut, perompakan dan perikanan. Sedangkan Baharuddin Lapo
Menambahkan satu aspek lagi, yakni hukum laut (Gusti Asnan, 2007: 6)
Seperti yang dikemukakan oleh Suwardi dalam bukunya yang bejudul
Mengabdi pada Ilmu dan profesi sejarah (2008: 123) mengenai Bugis dalam
sejarah di kepulauan ini, jika dikaitkan dengan kemaritiman dam migrasi. Orang
Bugis sepertinya tidak bisa dilepaskan dengan laut.
Indonesia adalah negara kepulauan yang terbentang dari sabang hingga
merauke. Batas wilayah laut Indonesia pada awal kemerdekaan hanya selebar 3
8
mil laut dari garis pantai (Coastal baseline) setiap pulau, yaitu perairan yang
mengelilingi Kepulauan Indonesia bekas wilayah Hindia Belanda (Territoriale
Zee en Maritime Kringen Ordonantie tahun 1939 dalam Soewito et al 2000).
Namun ketetapan batas tersebut, yang merupakan warisan kolonial Belanda, tidak
sesuai lagi untuk memenuhi kepentingan keselamatan dan keamanan Negara
Republik Indonesia. Atas pertimbangan tersebut, maka lahirlah konsep Nusantara
(Archipelago) yang dituangkan dalam Deklarasi Juanda pada tanggal 13
Desember 1957. Isi pokok dari deklarasi tersebut “Bahwa segala perairan di
sekitar, diantara dan yang menghubungkan pulau-pulau yang termasuk daratan
Negara Republik Indonesia tanpa memandang luas atau lebarnya adalah bagian-
bagian yang wajar dari wilayah daratan Negara Republik Indonesia, dan dengan
demikian merupakan bagian dari perairan nasional yang berada di bawah
kedaulatan mutlak Negara Republik Indonesia”.
Melalui Konvensi Hukum Laut Internasional (UNCLOS) pada tahun 1982,
yang hingga kini telah diratifikasi oleh 140 negara, negara-negara kepulauan
(Archipelagic states) memperoleh hak mengelola Zona Ekonomi Eksklusif seluas
200 mil laut diluar wilayahnya. Sebagai negara kepulauan, Indonesia mempunyai
hak mengelola (yurisdiksi) terhadap Zona Ekonomi Eksklusif, meskipun baru
meratifikasinya. Hal itu kemudian dituangkan dalam Undang-Undang No. 17
tanggal 13 Desember 1985 tentang pengesahan UNCLOS (United Nations
Convention on the Law of the Sea). Penetapan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia
(ZEEI) mencapai jarak 200 mil laut, dikukur dari garis dasar wilayah Indonesia ke
arah laut lepas. Ketetapan tersebut kemudian dikukuhkan melalui Undang-Undang
9
Nomor 5/1983 tentang Zona Ekonomi Eklsklusif Indonesia. Konsekuensi dari
implementasi undang-undang tersebut adalah bahwa luas wilayah perairan laut
Indonesia bertambah sekitar 2,7 juta Km2, sehingga menjadi sekitar 5,8 juta Km2.
Konvensi PBB tentang Hukum Laut 1982 (UNCLOS 1982) melahirkan
delapan zonasi pegaturan (regime) hukum laut yaitu, 1) Perairan Pedalaman
(Internal waters), 2) Perairan kepulauan (Archiplegic waters) termasuki ke
dalamnya selat yang digunakan untuk pelayaran internasional, 3) Laut Teritorial
(Teritorial waters), 4) Zona tambahan ( Contingous waters), 5) Zona ekonomi
eksklusif (Exclusif economic zone), 6) Landas Kontinen (Continental shelf), 7)
Laut lepas (High seas), 8) Kawasan dasar laut internasional (International sea-bed
area). (Sumber : Keanekaragaman Hayati Laut : Aset Pembangunan Berkelanjutan
Indonesia, Rokhmin Dahuri, 2003)
Konvensi Hukum Laut 1982 mengatur pemanfaatan laut sesuai dengan
status hukum dari kedelapan zonasi pengaturan tersebut. Negara-negara yang
berbatasan dengan laut, termasuk Indonesia memiliki kedaulatan penuh atas
wilayah perairan pedalaman, perairan kepulauan dan laut teritorial; sedangkan
untuk zona tambahan, zona ekonomi eksklusif dan landasan kontinen, negara
memiliki hak-hak eksklusif, misalnya hak memanfaatkan sumberdaya alam yang
ada di zona tersebut. Sebaliknya, laut lepas merupakan zona yang tidak dapat
dimiliki oleh negara manapun, sedangkan kawasan dasar laut Internasioal
dijadikan sebagai bagian warisan umat manusia.
10
Seperti dalam pepata Melayu mengatakan: “Kalua tak ada laut, hampalah
perut” “kalau tak ada hutan, binasalah badan” “kalau binasa hutan yang lenbat,
rusak lembaga hilanglah adat” (Suardi MS, 2008: 81)
B. Konsep Peranan
Istilah peranan dapat diartikan sebagai serangkaian aksi-aksi yang
dilakukan oleh seseorang atau kelompok orang yang diberi tugas dan kekuatan
untuk menjadi “bapak masyarakat” dalam menjalankan fungsi-fungsi kepercayaan
dan wewenang yang diberikan kepadanya. Peranan juga lebih cenderung dimaknai
sebagai suatu perilaku seseorang dalam suatu kegiatan atau aktifitas tertentu.
Peranan ialah perilaku yang diharapkan oleh orang lain dari seseorang
yang menduduki status tertentu. Peranan-peranan yang tepat dipelajari sebagai
bagian dari proses sosialisasi dan kemudian diambil alih oleh individu (Cohen,
1983: 82).
Dengan demikian, peran adalah suatu pola tindakan sebagai suatu respon
yang ditampilkan oleh seseorang atau sekelompok orang, dimana tindakan ini
membawa suatu efek atau dampak. Senada dengan itu, Koentjaraningrat dalam
Saragih (1990: 172) bahwa peran adalah ciri khas yang ditampilkan atau
dipentaskan oleh individual dalam kedudukannya dimana ia berhadapan dengan
individu-individu lain dalam kedudukannya. Selanjutnya peranan dirumuskan
sebagai suatu rangkaian perilaku yang teratur, yang ditimbulkan karena suatu
jabatan tertentu atau karena adanya suatu organisasi.
Sejalan dengan itu maka peranan pada hakekatnya dapat diartikan sebagai
wujud pelaksanaan dari fungsi dan status seseorang atau sekelompok orang yang
11
menonjol dalam suatu kegiatan untuk mencapai tujuan tertentu. Pendapat Gros
Etol yang dikutip oleh Paulus Wirutomo (1982: 99) mengemukakan pengertian
peranan sebagai perangkat harapan-harapan yang dikenakan kepada individu yang
meliputi kedudukan sosial tertentu. Harapan-harapan tersebut merupakan
hubungan dari norma-norma dalam masyarakat. Maksudnya kita diwajibkan
melakukan hal-hal yang diharapkan oleh masyarakat dalam pekerjaan kita,
didalam keluarga kita dan di dalam peranan-peranan lainnya.
Selanjutnya Merton dalam Saragih (1990: 32) berpendapat bahwa peran
(role zet) yang dimainkan seseorang akan mencakup beberapa hal, yaitu (1) posisi
dan status seseorang dalam struktur sosial tertentu, (2) presepsi bagaimana
seseorang dalam memandang peranannya, dan (3) tata cara memainkannya dan
berbagai harapan yang muncul dalam masyarakat terhadap peran yang dimainkan.
Status ialah kedudukan sosial individu dalam suatu kelompok atau biasa
juga diartikan sebagai suatu tingkat sosial dari suatu kelompok dibandingkan
dengan kelompok-kelompok lainnya. Kedudukan status individu akan
menentukan hak-hak dan hak-hak istimewa seseorang dalam masyarakat (Cohen,
1983: 82).
Bertolak dari berbagai konsep peranan diatas, maka dalam kaitannya
dengan peranan Kapita Lau di Kerajaan Konawe sebagai panglima angkatan laut
dengan menampilkan kinerja yang diharapkan dalam melaksanakan tugas-
tugasnya dengan baik.
12
C. Konsep Pertahanan dan Keamanan
Sistem pertahanan dan keamanan baik ditinjau secara individu kelompok
bahkan pada seluruh Negara memiliki arti penting bagi kelangsungan kehidupan
manusia. Mereka berusaha untuk berbuat baik, dari segi lahiriah dan batiniah
untuk mempertahankan diri atas berbagai ancaman yang datang dari luar maupun
dari dalam. Dari pernyataan tersebut maka pertahanan merupakan salah satu
upaya pencapaian ketahanan nasional suatu bangsa.
Ketahanan nasional adalah kondisi dimana suatu bangsa selalu dinamis
yang berisi keuletan dan ketangguhan yang mampu menyeimbangkan ketahanan
nasional dalam menghadapi dan mengatasi segala tantangan, ancaman, hambatan,
dan gangguan baik dari dalam maupun dari luar yang langsung maupun tidak
langsung yang membahayakan integritas, identitas serta kelangsungan hidup
bangsa dan Negara (Surbakti Akhadiat, 1984: 42).
Berdasarkan pendapat diatas dapat memberikan pemahaman bahwa
pertahanan dan keamanan suatu bangsa atau kerajaan mutlak diperlukan adanya,
karena pertahanan dan keamanan dapat memegang peranan yang sangat penting
dan cukup strategis dalam pemerintahan suatu Negara atau kerajaan. Demikian
pula dengan keberadaan Kapita Lau di Kerajaan Konawe mempunya peranan
yang sangat penting dan cukup strategis dalam meningkatkan sistem pertahanan
dan keamanan Kerajaan Konawe, baik dalam bidang kelautan, maupun dalam
bidang sosial budaya, sebagaimana Tugas Kapita Lau (panglima angkatan laut)
yang menjunjung tinggi stabilitas keutuhan Kerajaan Konawe.
13
D. Teori Kepemimpinan
Kepemimpinan mengandung suatu pengertian kemampuan seseorang
untuk menuntun atau membimbing orang lain baik secara individu maupun secara
kelompok. Oleh karena itu kepemimpinan muncul bersamaan dengan lahirnya
kelompok atau organisasi. Sehubungan dengan itu Pamudji (1986: 152)
mengemukakan bahwa seorang pemimpin menggerakkan pengikut dengan
harapan bahwa ia berhasil mencapai tujuan organisasi akan dapat menguntungkan
sehingga setiap anggota masyarakat akan terjadi suatu interaksi. Sejalan dengan
itu Yayat Hayati (2008: 2) mengemukakan bahwa dalam setiap organisasi terdapat
tiga unsur dasar yaitu:
a) orang-orang (sekumpulan orang)
b) kerja sama
c) serta tujan yang akan dicapai
Seorang pemimpin harus ditopang oleh unsur-unsur yang bersumber dari
dalam dirinya (bakat atau sifat) dan kondisi sosial sekitarnya. Kedua unsur akan
bersatu dan berproses sampai tampilnya seseorang menjadi pemimpin. Sejalan
dengan itu munculnya seorang pemimpin dalam suatu masyarakat yang
membangun karena ia memiliki sifat-sifat karismatik, yaitu timbul karena
kesaktian atau kekuatan yang dianggap luar biasa, yang menurun sebagai warisan
dari leluhurnya. Sejalan dengan itu Uchajana (1986: 32) mengemukakan bahwa,
sebuah kepemimpinan tradisional adalah pemimpin yang tumbuh berdasarkan
sejarah.
14
Selanjutnya Kartono (2003: 49) mengemukakan bahwa “kepemimpinan”
adalah kegiatan mempengaruhi orang orang agar mereka mau melakukan kerja
sama untuk mencapai tujuan yang diinginkan, kepemimpinan adalah kegiatan
yang mempengaruhi orang-orang agar mereka berusaha mencapai tujuan-tujuan
kelompok, kepemimpinan adalah seni untuk mempengaruhi tingkah laku manusia,
dan kemampuan kemampuan untuk membimbing orang. Sejalan dengan itu
Suradinata (1995: 11) mengemukakan, kepemimpinan adalah kemampuan
seorang pemimpin untuk mengendalikan, mempengaruhi pikiran, atau tingkah
laku orang lain dan untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan sebelumnya.
Selanjutnya Pasolong (2010: 5) mengemukakan bahwa, kepemimoinan
adalah cara atau teknik yang di gunakan pemimpin dalam mempengaruhi pengikut
atau bawahannya dalam melakukan kerja sama mencapai tujuan yang telah
ditentukan.
Dari uraian di atas dapat member pemahaman bahwa kepemimpinan lahir
sebagai ekspresi kharismatik dari sifat yang dimiliki oleh seseorang, sehingga
mampu memberikan gemah kepada orang lain untuk tunduk dan patut terhadap
segala tindakannya. Kharismatik yang dimilikinya dapat dijadikan sebagai suatu
kekuatan yang mempengaruhi orang yang dipimpinnya, sehingga menjadikan
pemimpin itu semakin memperkokoh kekuasaannya, dan semakin kuat kekuasaan
seseorang semakin tinggi pula kualitas kepemimpinan yang dimilikinya.
E. Konsep Kepemimpinan Tolaki
Dengan demikian terjadinya kepemimpinan disebabkan oleh adanya
interaksi antara satu dengan yang lain dalam suatu organisasi. Sejalan dengan itu
15
Mokodompit (1973: 1) bahwa kepemimpinan merupakan hasil organisasi sosial
masyarakat. Kepemimpinan sangat erat kaitannya dengan usaha seseorang untuk
mengontrol atau mengawasi orang lain.
Sondang P. Siagian (2003: 43) mengemukakan bahwa seorang pemimpin
yang demokratik, dihormati dan disegani dan bukan ditakuti karena karena
perilakunya dalam kehidupan organisasional mendorong para bawahannya
menumbuhkan dan mengembangkan daya inovasi dan kreativitasnya. Efektivitas
kepemimpinan dari para pemimpin yang bersangkuntan merupakan suatu hal yang
sangat didambakan oleh oleh semua pihak organisasi atau didalam kepemimpinan
suatu Kerajaan. Selanjutnya Uchjana (1981: 1) menjelaskan bahwa kepemimpinan
merupakan proses kegiatan seseorang dalam memimpin, membimbing,
mempengaruhi atau mengontrol perasaan atau tingkah laku orang lain.
Kepemimpinan tradisional hanya dijumpai pada masyarakat besar maupun pada
masyarakat kecil, contohnya kepemimpinan tradisional Kapita Lau (panglima
angkatan laut) di Kerajaan Konawe.
Sejalan dengan itu, Abdurrauf (1993: 189-191) mengemukakan bahwa
Adapun dasar dan tujuan kepemimpinan Tradisional Orang Tolaki. Secara ideal
dasar kepemimpinan tradisional orang tolaki adalah: (1) petono’a (kemanusiaan),
yakni kemanusiaan menurut pe’oliwi ari ine mbue (ajaran dari pesan-pesan
leluhur), (2) ponano ana niowai, tono nggapa, rome-romeno wonua (kehendak
orang banyak), dan (3) medulu, mepoko’aso (kesatuan dan persatuan). Secara
konstitusional dasar kepemimpinan itu adalah ajaran adat, yang tercakup dalam
Kalo sebagai pu’uno o sara (adat pokok orang tolaki). Kalo sebagai adat pokok
16
adalah sumber dari segala adat-istiadat orang tolaki yang berlaku dalam semua
aspek kehidupan mereka (Abdurrauf, 1993: 191)
Adapun tujuan kepemimpinan dalam masyarakat Tolaki tersebur di atas
adalah mewujudkan masyarakat yang bersatu, makmur, dan sejahtera. Orang
Tolaki menggambarkan wujud masyarakat yang bersatu sebagai suatu masyarakat
di mana hubungan antara orang seorang, keluarga dengan keluarga, dan golongan
dengan golongan senantiasa terjalin suasana yang disebut medudulu (saling
bersatu), mete’alo-alo (saling menanam budi), samaturu (saling ikut serta dalam
usaha kepentingan bersama), mombeka pona-pona ako (saling harga menghargai),
dan mombekamei-meiri’ako (saling kasi mengkasihi). Mereka juga
menggambarkan wujud masyarakat yang makmur melalui apa yang disebut
suasana mondaweako (padi melimpah), kiniku nebanggona (banyak kerbau,
ternak melimpah), olo waworaha (banyak kebun tanaman jangka panjang),
tapohiu o epe (banyak areal tanaman sagu), kadu mbinokono (cukup barang-
barang pakaian dan perhiasan), melaika’aha (mempunyai rumah yang besar),
ndundu karandu tumotapa rari (bunyi gong di tengah malam, tawa dan teriakan
yang ramai dalam pesta).
Dalam usaha mewujudkan ketiga tujuan kepemimpinan dalam masyarakat
Tolaki, seorang pemimpin tradisional orang tolaki harus mampuh menjalankan
tiga prinsipkepemimpinan yang disebut: mo’ulungako (mengajak orang banyak
yang dipimpinnya), mohiasako (menggerakkan tenaga orang banyak yang
dipimpinnya), dan momboteanako (mengmbala orang banyak yang dipimpinnya).
Sebagai seorang pemimpin yang mengajak orang banyak, maka ia adalah seorang
17
yang disebut positaka (tauladan yang baik bagi orang banyak); demikuan sebagai
seorang pemimpin yang menggerakkan orang banyak, maka ia adalah seorang
yang disebut pohaki-haki (pemberi semangat bagi orang banyak), dan begitu pula
sebagai seorang pemimpin mengembala orang banyak, maka ia adalah seorang
yang disebut tani’ulu (pemegang tali kendali) (Abdurrauf, 1993: 189-191)
F. Penelitian Terdahulu (Historiografi)
Pada penelitian sebelumnya seperti yang dilakukan oleh Abdul Kadir
Laossong dengan judul skripsi Peranan Barata Lohia Terhadap Kerajaan Muna.
Dalam penelitiannya mengemukakan bahwa kerajaan Muna pada zaman dahulu
merupakan salah satu kerajaan yang ada di Nusantara yang memiliki sistem
pertahanan keamanan yang strategis disebut Barata. Barata tersebut merupakan
basis pertahanan yang ada di lingkungan kerajaan Muna. Barata-barata tersebut
terdiri dari Barata Lohia, Barata Lahontohe, dan Barata Wasolangka. Ketiga
Barata tersebut merupakan tempat yang sangat strategis dan memiliki daya
pendukung di bidang pertahanan keamanan dalam menjaga integrasi kerajaan
Muna.
Kemudian penelitian yang dilakukan oleh Alimudin dengan judul skripsi
Peran Bontona Pada Masa Kesultanan Buton (1538-1960). Dalam penelitiannya
mengatakan bahwa Bantona Siompu awalnya adalah sebuah kerajaan kecil
disekitar wilayah Kerajaan Buton. Namun kemudian Bantona Siompu bergabung
menjadi anggota Siolimbona dan menyatakan bernaung dibawa kekuasaan
kerajaan Buton disebabkan adanya ancaman besar dari bajak laut Tobelo.
18
Bergabungnya Kerajaan Siompu di bawah pemerintahan kerajaan Buton
membuat status siompu berubah dari kerajaan menjadi Kadie atau wilayah bagian
kekuasaan Buton yang dikepalai oleh seorang Bonto. Setelah Siompu bergabung
di Kerajaan Buton kemudian menambah eksistensi Buton menjadi semakin kuat
untuk membendung serangan bajak laut Tobelo.
Hal ini membuat Siompu memegang peranan penting dalam
mempertahankan keutuhan wilayah kerajaan Buton. Peranan Bontona Siompu
diantaranya dalam pemerintahan sebagai kepala kadie, dalam bidang pertahanan
yaitu membantu Matana Surumba Wabula di daerah pertahanan bagian selatan,
dibidang pelayaran dan perdagangan mengurus kegiatan izin pelayaran dan
perdagangan, sedangkan dibidang sosial dan budaya sebagai tokoh masyarakat
Siompu yang mengurus tentang pendidikan, agama dan ekonomi masyarakat.
Dengan bertolak pada penelitian yang telah dilakukan oleh Abdul Kadir
Lassong dan Alimudin telah banyak memberikan motivasi bagi peneliti untuk
mengungkapkan sejarah Kapita Lau di Kerajaan Konawe dan historiografi tentang
Panglima Angkatan Laut belum banyak diungkapkan. Hal ini yang mendorong
penulis untuk menelitinya.
19
20
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini akan dilaksanakan di Kab. Konowe dan waktu penelitian
pada bulan Maret 2012 sampai selesai
B. Pendekatan Penelitian
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan
struktural yang mempelajari dua domain yaitu domain peristiwa (iven) dan
domain strukturis.
C. Langkah – langkah Penelitian
1. Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode sejarah Ernest
Bernheim yang dikutip oleh Helius Sjamsuddin dan Ismaun (1996: 19) yaitu (1)
Heuristiek, yaitu mencari, menemukan dan mengumpulkan sumber-sumber
sejarah, (2) Kritiek, yaitu menganalisis secara kritis sumber-sumber sejarah, (3)
Auffassung, yaitu penanggapan terhadap fakta-fakta sejarah yang dipungut dari
dalam sumber sejarah, dan (4) Darstellung, yaitu penyajian cerita yang
memberikan gambaran sejarah yang terjadi pada masa lampau. Adapun tahapan
kerjanya adalah sebagai berikut:
a. Pengumpulan sumber (Heuristik)
Dalam penelitian ini, peneliti berusaha untuk mendapatkan dan
mengumpulkan sumber yang berkaitan dengan peran Kapita Lau di Kerajaan
21
Konawe. Dalam kegiatan ini, pengumpulan data dilakukan dengan langkah
sebagai berikut:
1. Penelitian kepustakaan (Library Research), yaitu mengkaji beberapa buku,
makalah, disertasi serta laporan hasil penelitian yang ada lerevansinya
dengan judul dan masalah dalam penelitan ini.
2. Penelitian lapangan (Field Research), yaitu mengadakan penelitian secara
langsung dilokasi penelitian guna menghimpun data atau informasi yang
berkaitan erat dengan topik. Kajian dalam penelitian ini menggunakan
beberapa Tradisi Liasan (Oral Tradition) yang dilakukan dengan cara,
yaitu dengan melakukan wawancara kepada orang (informan) yang benyak
megetahui tentang obyek yang diteliti dalam hal ini mengenai latar
belakang Kapita Lau dan peranannya di Kerajaan Konawe pada tahun
1725 – 1904.
b. Kritik
Setelah sumber terkumpul, maka tahap berikutnya adalah verifikasi atau
kritik atau keabsahan sumber tersebut. Verivikasi sumber lilakukan dengan dua
cara yaitu sebagai berikut:
1) Kritik ekstern (autentisitas), yaitu dimaksudkan sebagai kritik terhadap
keaslian sumber data yang diperoleh. Dalam hal ini dilakukan analisis
terhadap suatu sumber data dengan meneliti penampilan luarnya seperti
kertasnya, gaya tulisannya, tintannya, bahasa, kalimat, kata-kata, dan segi
penampilan luar lainnya
22
2) Kritik intern, (Kredibilitas sumber), yaitu dimaksudkan sebagai kritikan
terhadap kebenaran isi sumber itu, apakah informasi (data) yang diberikan
oleh sumber itu dapat diterima kebenarannya ataukah tidak. Dalam hal ini
dilakukan analisis mengenai hubungan antara fakta sejarah yang termuat
dalam sumber itu sendiri
c. Auffassung (Intepretasi)
Setelah data lolos dari proses kritik atau penilaian, maka ditemukan
sejumlah keterangan atau informasi tentang masalah yang diteliti. Langkah
berikutnya setelah kritik sumber tersebut adalah interpretasi, yang dilakukan
dengan dua cara yaitu:
1. Analisis, yaitu menguraikan, dimana keterangan atau informasi yang
diperoleh tersebut diuraikan terlebih dahulu kemudian dari uraian tersebut
dapat disusun beberapa fakta sejarah
2. Sintesis, yaitu menyatukan, dimana setelah fakta sejarah ditemukan
tindakan selanjutnya adalah fakta sejarah tersebut dihubungkan dan
dikombinasikan antara satu dengan yang lain hingga menjadi satu kesatuan
yang utuh. Penafsiaran data ini sangat penting untuk memperoleh suatu
kesimpulan akhir yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
d. Darstellung (Tahapan penulisan)
Tahapan terakhir dari rangkaian metode penelitian sejarah adalah tahap
penulisan (Darsellung) yaitu kegiatan menyusun atau penulisan terhadap data dan
fakta yang telah lolos seleksi dan sudah melewati tahap penafsiran sehingga dapat
menjadi suatu karya ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan.
23
2. Sumber Data Penelitian
Sumber data penelitian yang digunakan penulis mengacu pada tiga
kategori sumber yaitu sebagai berikut:
a. Sumber tertulis, yaitu data yang diperoleh dalam bentuk buku, arsip,
skripsi serta laporan hasil penelitian yang relevan dan mendukung
perolehan data hasil penelitian ini. Sumber-sumber tertulis tersebut
diperoleh di perpustakaan daerah maupun di tempat penelitian ini.
b. Sumber lisan, yaitu data yang diperoleh melalui studi keterangan lisan
(studi lisan) berupa cerita rakyat (folklore), nyanyian rakyat (folksong) dan
kepercayaan rakyat (folkbelieve) dengan para informan yang dianggap
memiliki kemampuan untuk memberikan keteranagan terhadap masalah
yang diteliti.
c. Sumber visual, yaitu data yang diperoleh melalui hasil pengamatan
langsung terhadap berbagai sarana pendukung yang berkaitan dengan
peranan Kapita Lau di Kerajaan Konawe.
24
BAB III
GAMBARAN UMUM
A. Keadaan Geografis Kerajaan Konawe
Berbicara mengenai suatu peristiwa sejarah, kita tidak dapat melepaskan dari
letak geografis, karena letak suatu tempat adalah komponen dari suatu peristiwa
sejarah itu sendiri. Dengan mengetahui letaknya akan lebih mudah mengetahui
kondisi suatu daerah dan mempermudah pula dalam memahami peristiwa yang
terjadi di daerah tersebut.
Daerah konawe adalah merupakan suatu wilahyah kerajaan yang terletak di
daratan Sulawesi Tenggara yang sekaran ini sebagian besar menjadi daerah
Kabupaten Konawe, Konawe Selatan, Konawe Utara, dan Kota Kendari. Adapun
batas-batas administrasi wilayah kerajaan Konawe sebagai berikut:
a. Sebalah utara berbatasan wilayah kerajaan Luwu dan kerajaan Bungku.
b. Seblah Timur berbatasan dengan Laut Banda dan Kesultanan Buton
c. Seblah Selatan berbatasan dengan selat Tiworo dengan kerajaan Muna
d. Seblah Barat berbatasan dengan Teluk Bone dan Kerajaan Mekongga
Jika ditinjau dari segi pertahanan, maka letaknya sangat strategis karena
letaknya berada di tengah-tengah kekuatan politik kerajaan lain, sedangkan Ibu
Kota Kerajaan Konawe di Unaaha terletak di tengah-tengah wilayah pada daratan
yang luas yang diapit oleh dinding alam berupa hutan dan pegunungan.
Pada masa pemerintahan Mokole Tebawo abad XVII, di tetapkan suatu
perangkat penguasaan batas-batas wilayah kerajaan yang disebut “Siwole
Mbatohu” yang meliputi:
25
a. Tambo I’Losoanao Oleo atau Gerbang Timur adalah wilayah Ranomeeto.
b. Tampo I’Tepuliano Oleo atau gerbang Barat adalah wilayah Wawo
Latoma.
c. Bharata I Hana atau Bintara kanan adalah wilayah Tonga Una.
d. Barata I Moeri atau Bintara kiri adalah wilayah Asaki/Lambuya.
Bagian wilayah tersebut nampaknya merupakan suatu strategi pertahanan
keamanan yang sangat cermat dan tepat, hal ini tentunya merupakan suatu
pemikiran yang dinilai tidak ketinggalan dalam alam kemajuan sekarang ini.
Dari segi letak geografis, lalulintas perekonomin dan perdagangan wilayah
kerajaan Konawe sangat menguntungkan karena mempunyai garis pantai yang
strategis dibagian Timur, selatan maupun Barat. Bandar-bandar tersebut banyak
dikunjungi para pedagang dari luar (dari kesultanan Ternate, Buton, Muna/Tiworo
di Timur dan dari kerajaan Bone, Luwu, Goa di Barat) yang memperdagangkan
hasil hutan, hasil Laut dan hasil pertanian. Dengan demikian posisi kerajaan
Konawe cukup strategis meskipun letak ibukotanya di Unaaha agak jauh dari
pantai (Tamburaka, 2003: 193-194).
B. Keadaan Demgrafis Kerajaan Konawe
Penduduk asli daerah konawe belum ada kesepakatan para ahli, cerita rakyat
setempat mengungkpkan bahwa sebenarnya nenek moyang mereka adalah
pendatang-pendatang dari luar berdasarkan tradisi masyarakat di Sulawesi
Tenggara tentang kedatangan nenek moyang mereka mengungkapkan dua versi.
Versi daratan menyatakan bahwa nenek moyang mereka berasal dari langit
26
(Tolaki Mornene), dan persi kepulauan menyatakan bahwa keluar dari bambu.
Belum dapat dipastikan kapan wilayah ini di huni oleh manusia, tetapi ada bekas-
bekas yang mnunjukkan bahwa wilayah ini telah dihuni oleh manusia sejak zaman
prasejarah.
Sementara itu, versi Mekongga dalam buku Burhanuddin (1977: 4)
mengungkapkan bahwa, dahulu daratan Sulawesi Tenggara pernah dihuni oleh
orang-orang kecil, kemudian dihuni oleh orang-orang yang bertubuh besar.
Meskipun demikian, berdasarkan pengamatan atas penduduk Sulawesi Tenggara
sekarang ini, maka dapat diduga bahwa penduduk daratan pada waktu itu dominan
ciri Mongoloid, sedangkan daerah kepulauan mempunyai cirri Austro-
Melanosoid. Sejalan dengan itu Rustam E. Tamburaka (1989: 4) mengemukakan
bahwa Sulawesi Tenggara merupakan pertemuan ras-ras dalam proses
persebaran/perpindahan bangsa-bangsa prasejarah yaitu ras Mongoloid dari Utara,
Austo-Melanosoid dari Timur, dan ras Proto-Melayu dari Barat/Utara. Oleh
karena itu, daratan Sulawesi Tenggara dan pulu-pulau sekitarnya memiliki
kekhasan baik kehidupan manusianya, maupun flora dan faunanya.
Suku tolaki dan mornene mempunyai cirri fisik dan budaya mirip dengan
suku-suku yang ada di Sulawesi Tengah dan mungkin juga dengan Sulawesi
Utara, sehingga dapat dikatakan bahwa nenek moyng mereka datang di Sulawesi
Tenggara secara bergelombang.
Tamburaka (1989: 6) mengemukakan bahwa, suku Mornene dilihat dari ciri-
ciri antropologisnya, banyak persamaan suku Tolaki, diduga berasal dari Asia
27
Timur atau Hindia. Suku Mornene tersebut termaksud rumpun bangsa Melayu
Tua yang datang dari Hindia Belakang pada gelombang ketiga.
Secara umum penyebaran penduduk di Nusantara ini menurut para ahli
bahwa mereka datang secara bergelombang dari Gobi, Yunani, dan Indocina
melalui Sememnanjung Malaka dan seterusnya menyebar ke Selatan dan Timur
yang diantaranya kemudian suku-suku bangsa yang mendiami Sulawesi Tenggara.
Jika dilihat dari cirri-ciri antropologisnya, repalikx indeks, mata agak sipit,
rambut hitam lurus, warna kulit kuning langsat, tinggi badan rata-rata 160 cm.
suku Tolakimemiliki kesamaan dengan ras Mongoloid, diduga berasal dari Asia
Timur, untuk kemudian tersebar tersebar ke Selatan melalui kepulauan Riukyu,
Taiwan, Fhilipina, Sangir-talaud, pantai Timur Sulawesi samapai ke Sulawesi
Tenggara. Ada mengatakan bahwa perpindahan pertama berasal dari Yunan
(perbatasan Cina an vietnam) keselatan melalui Filipina, Sulawesi Utara ke pasir
Timur dan Halmahera. Pada saat memasuki daratan Sulawesi Tenggara masuk
melalui muara sungai Laasolo dan Konawe’eha yang dinamakan Andolaki
(Tamburaka, 1995: 4).
Proses perpindahan penduduk itu disebabkan oleh peperangan atau penyakit
menular, akhirnya mereka menyebar ke Utara dan mendesak suku-suku bangsa di
Sulawesi Tengah (Tomapu, Tokulawi, Tobada) untuk menduduki tempatnya yang
sekarang. Gelombang penyebaran ini di perkirakan terjadi antara abad IX-XI.
Proses persebaran mereka di Sulawesi Tenggara yang sebelumnya mendiami
sekitar danau Matana, Danau Towuti, dan pada bagian Selatan pada kedua danau
tersebut pada negeri-negeri seperti, Rahambu’u, Alaaka, Andolaki,
28
Wutamendonga, Tongauna. Negeri-negeri tersebut terletak di hulu Sungai
Konawe’eha dan Sungai Lasolo sekarang (Monografi, 1977: 9)
Seorang bekebangsaan Belanda Alber C. Kruyt (1921: 21) mengatakan
bahwa, suku Tolaki mempunyai pertalian erat dengan suku-suku Moti i Malili.
Hampir dapat dipastikan bahwa dalam perpindahannya dari Utara menuju ke
Selatan menempati dan menduduki tempat yang sekarang ini menyusuri Sungai
Lasolo yang sumber-sumbernya terdapat di danau Towuti.
Dari tempat tersebut (Rahambuu) kemidian mereka terbagi dua
serombongan mengikuti lereng pegunungan Mekongga lalu membelok ke arah
Barat Daya, tibalah di tempat-tempat baru yang kemudian dikenal dengan nama
sebagai: Lombo, Laloeha, Silea, dan Puuehu. Mereka inilah yang berkembang
menjadi suku Tolaki Mekongga. Satu rombongan lagi menyusuri lereng Timur
pegunungan Mekongga lau menempati suatu tempat dibagian udik suangai besar
yang mengalir dari kaki pegunungan Mekongga (Chalik, 1986: 6)
Keberadaan mereka disuatu tempat dimana mereka melakukan konsolidasi,
tempat dimana kemudian dinamakan Andolaki, artinya temapat pemukiman orang
Tolaki. Rombongan inilah yang kemudian selanjutnya berjalan mengikuti Sungai
Konaweeha sambil mendesak penduduk lama yaitu Mornene. Pada akhirnya
tibalah mereka disuatu padang laus pada daratan yang ada disekitarnya, akhirnya
terjadilah peperangan antara Mokole Padangguni dengan Mokole Besulutu.
Dalam peperangan yang berlangsung lama itu, pada akhirnya Besulutu
menyatakan takluk dan Totongano Wonua kemudian memusatkan kedudukannya
di Unaaha dan dia menganggap dirinya sebagai pembentuk masyarakat Konawe.
29
Rupanya organisasi Tolaki ini telah muncul sejak masa bercocok tanam. Seperti
yang dikemukakan oleh Lakebo (1986: 52) bahwa pemimpin mereka disebut
Toono Motuo (orang yang di tuakan), dia dibantu oleh seorang yang bernama Pue
atau Nenek yang bertugas sebagai dukun dan memimpin upacara yang
berhubungan dengan masalah-masalah bercocok tanam.
Dari segi mata pencaharian penduduk, menunjukkan bahwa umumnya
mereka dari kehidupan bercocok tanam dengan bertani ladang dengan menanam
tanaman seperti Durian, Langsat, Sagu, Padi, dan berternak hewan seperti Kerbau.
C. Keadaan Sosial Budaya
1. System kekerabatan
Dikalangan masyarakat Suku Tolaki keluarga batih disebut merapu artinya
membentuk rumah tangga baru. Relasi kekerabatan karena keturunan orang
Tolaki di kerajaan Konawe menyebut “Meohai”, hubungan karena perkawinan
disebut penetono, sedangkan hubungan orang tua disebut To’ono motuo.
Hubungan antara anggota keluarga dalam sistem kekerabatan oaring tolaki
diatur berdasarkan norma-norma sosial sebagaimana yang tercermin dalam makna
dari istilah Ama (ayah), Ina (ibu) dan ana (anak) yang masing-masing mempunyai
hubungan timbal balik dalam kehidupan meraka.
Sistem kekerabatan dalam rumah tangga orang Tolaki, ama (ayah) berarti
orang yang berperan sebagai pelindung, pemelihara, dan penanggungjawab anak
dalam memenuhi kebutuhannya sejak kecil sampai memasuki jenjang perkawinan.
Demikian pula istilah ina (ibu) adalah orang yang berperan sebagai pengasih dan
30
penyayang kepada anak sejak kecil hingga dewasa, berperan sebagai pembantu
kelak masa tua dan sebagai penerus nama baik dari pada keluarg.
Dalam kehidupan masyarakt Tolaki mereka sangat memperhatikan nilai-
nilai kemanusian, hal ini dapat dilihat dengan banyaknya anggota keluarga yang
berdiam dalam suatu rumpun keluarga tertentu. Sejalan dengan itu Abdurrauf
(1993: 118) mengemukakan bahwa suatu rumah tangga orang tolaki tidak hanya
terdiri dari ayah, ibu, dan sejumlah anak-anak tetapi juga terdiri dari ipar-ipar
yang belum kawin, paman, serata mertua dan juga yang yatim piatu. Sehingga
dengan adanya pola hubungan sosial tersebut maka tidak mengherankan apabila
rumah-rumah orang Tolaki memiliki ukuran yang lebih besar jika dibandingkan
dengan kelompok masyarakat lainnya.
Apabila dilihat dari pranata sosial dikalangan suku Tolaki dibandingkan
dengan suku bangsa lain khususnya dikalangan orang-orang Bugis, maka hal itu
menunjukkan sautu persamaan yang bersifat asasi dalam kehidupannya.
Kalo merupakan sarana yang digunakan dalam kelompok masyarakat Tolaki
yang bertujuan untuk mewujudkan hubungan tibal balik dari kelompok-kelompok
kekerabatan mereka, dalam rangka mewujudkan dan memupuk rasa persatuan dan
kesatuan dikalangan para kerabat.
Kalo pada tingkat norma-norma sosial merupakan suatu nilai budaya yang
berfungsi mempersatukan pranata-pranata yang ada dalam kehidupan orang-orang
Tolaki di Kerajaan Konawe.
Kalo dalam beberapa sector kehidupan orang Tolaki merupakan ketentuan
adat yang harus ditaati dan bagi mereka yang melanggar ketentuan adat tersebut,
31
maka konsekwensinya hukum yang dijatuhkan kepadanya dapat berwujud sebagai
sanksi batin maupun sanksi fisik, sehingga bagi kelompok yang melanggar hukum
(adat) tersebut akan kehilangan kehormatan dilingkungan masyarakat.
2. Sistem Pelapisan Sosial
Pada masa lalu dimasa pemerintahan kerajaan Konawe masayrakat suku
Tolaki menganut dua system pelapisan sosial resmi dan tak resmi. Khusus untuk
pelapisan sosial resmi, masyarakat suku Tolaki digolangkan atas tiga lapisan
golongan yaitu:
a. Golongan Bangsawan (anakia)
b. Golongan Penghulu (to’ono motuo)
c. Golongan orang banyak atau rakyat biasa (To’ono dadio)
Dasar-dasar pelapisan resmi tersebut maka dasar munculnya pelapisan
tersebut adalah berdasarkan faktor keturunan artinya kedudukan seseorang dalam
struktur pelapisan sosial tersebut tergantung dari asal-usul keturunannya.
Disamping keturunan, faktor keaslian sebagai penduduk setempat juga menjadi
salah satu dasar pelapisan sosial, karena antara penduduk asli yang disebut
mbuwonua dengan pendatang to’ono leu ada pembedaan stratifikasi yang
menjolok dengan kata lain penduduk asli dianggap memiliki kedudukan yang
lebih tinggi dalam segala aktivitas sosial dibandingkan dengan pendatang.
Adapun klasifikadi dari golongan anakia tersebut terbagi atas:
1. Anakia mbatola yaitu mereka yang memegang tampuk
pemerintahan dalam kerajaan yang berketurunan sangia.
32
2. Anakia wulaa atau wula motaha yang artinya emas murni yaitu
bapaknya adalah keturunan bangsawan tulun.
3. Anakia wisole yaitu mereka yang berketurunan bangsawan akan
tetapi telah mengalami krisis kewibawaan karena memiliki sifat-
sifat tidak terpuji, miskin atau melarat.
4. Anakia ndina’asi yaitu meskipun ayahnya berasal dari golongan
bangsawan murni namun ia lahir dari perkawinan yang tidak wajar
dari ibunya yang berstatus hamba budak di dalam rumah raja
sehingga tidak dinikahi secara resmi.
5. Anakia sukara, yaitu mere yang lahir dari ayah turunan anakia
keempat dengan golongan budak yang merdeka.
Khusus dari golongan kelas menengah (golongan penghulu) atau (To’ono
motua) mereka ini dalam sistem sosial orang Tolaki dipandang tidak mempunyai
pembagian kelas seperti pada golongan bangsawan, tetapi mereka mempunyai
status sebagai keturunan memimpin didalam struktur pemerintahan kerajaan
tingkat onapo atau kombo atau tugas besar mewakili raja atau Mokole atau utusan
kepercayaan raja dalam suatu bidang pekerjaan yang memerlukan keberanian,
ketangguhan, dan ketegaran seperti sebagai panglima perang, juru bicara adat,
utusan raja dan sebagainya.
Adapun dari golongan ketiga (orang kebanyakan), status sosialnya terdiri
atas :
33
1.) Susunan ndono motuo artinya orang kebanyakan tapi punya hubungna
darah salah satu sisi orang tuanya dengan golongan penghulu diatas.
2.) Ata wonua yakni mereka yang diperbudak dan termasuk golongan
biasa karena ditawan oleh kerajaan (meskipun mereka golongan
kerajaan di negerinya)
3.) Ata inoli yakni dibeli atau sebagai pembayar hutang dari seseorang raja
kepaa raja lainnya.
4.) Ata Mbinehua yakni mereka yang karena diserahkan oleh seseorang
raja kepada sesama raja atau sebab tertentu misalnya kalah judi atau
ada hal lainnya.
5.) To’ono biasa artinya mereka yang tidak termaksud kepada salah satu
golongan diatas, maupun golongan menengah atau golongan raja
(orang kebanyakan yang juga bukan budak).
Ketiga golongan yang disebutkan di atas, dalam kegiatan kemasyarakatan
diberikan gelar menurut jabatannya yaitu:
a. Mokole atau jabatan raja
b. Pu’u tobu bagi mereka yang menjabat selaku penguasa wilayah dalam
kerajaan.
c. To’ono motuo bagi mereka yang menjabat selaku pimpinan masyarakat
dalam komunitas yang kecil misalnya kampong, nggalo, puutobu an
sebagainya.
3. Agama dan Kepercaan
34
Sebelum masuknya agama Islam, dan Kristen, suku Tolaki telah menganut
kepercayaan yang percaya kepada dewa-dewa (sangia) yang dianggap menguasai
alam dan kehidupan manusia.
Mereka juga percaya kepada mahluk-mahluk halus, arwah nenek moyang
dan kepercayaan kepada kekuatan sakti, dikalangan masyarakat Tolaki disebut
sangia. Ada tiga sangai pencipta alam, sangia wonua (dewa negeri), sangia
mokora (dewa pemelihar alam).
Disamping ketiga sangia tersebut masyarakat Tolaki percaya pula akan
adanya sangi-sangia yang lainnya yaitu:
1. Sangia ilosoano oleo yang berkuasa diufuk timur
2. Sangia itepuliano oleo yang berkuasa diufuk barat
3. Sangia I puri wuta yang berkuasa diperut bumi
4. Sangia ipuri tahi yang berkuasa didasar laut
5. Sangia ilahuene yang berkuasa diatas langit
6. Sangia mbongae yang membawa penyakit terhadap manusia
7. Sangia mbae atau sangia sanggoleo mba yang menghidupkan dan
memelihara padi-padian dan sebagainya.
Kepercayaan diatas itu termaksud kepercayaan animism dan dinamisme
yang sampai sekarang masi sering dijumpai dalam masyarakat suku Tolaki.
Dewasa ini penduduk Tolaki pada umumnya sudah menganut agama islam sejak
Mokole Lakidende II, agama Kristen sejak abad ke-19 Hindu dan Budha.
35
D. Struktur Organisasi Pemerintahan Kerajaan Konawe
Sejak diangkatnya raja Tebawo pada abad XVII, maka Ia langsung
melakukan pembenahan terhadap Kerajaan Konawe yang telah mengalami
kehancuran akibat perang saudara antara kerajaan-kerajaan kecil Tolaki seperti
Besulutu, Abuki, dan Wawolesea. Ketiga kerajaan itu berhasil dipersatukan
(Arsamid Al-Ashur, 2003: 2)
Sejalan dengan itu Basrin Melamba didalam bukunya yang berjudul Tolaki
di Konawe (2001: 48) mengemukkan bahwa dengan menerapkan suatu struktur
dan sistem pemerintahan baru yaitu Siwole Mbatohuu dan Opitu Dula Batuno
Wuta Konawe (Empat sisi Wilayah besar dan 7 dewan kerajaan Konawe). Siwole
Mbatohu yang memiliki arti, yaitu talam atau wadah tempat menyimpan Kalo
berbentuk persegi empat dengan empat sudut yang melambangkan daerah
kekuasaan daerah kekuasaan Kerajaan Konawe yang membagi wilayah Konawe
terdiri dari empat wilayah kekuasaan. Dalam pelaksanaannya Sabandara
Buburanda ditugaskan di wilayah Barat untuk memerintah dan menjaga daerah
Konawe dari daerah barat dari ekspansi Luwu.
Kekuasaan Kerajaan Konawe merupakan lingkaran konsentrik, mulai dari
tingkatan Wonua atau negeri yang berpust di istana Kerajaandi Unaaha dipegang
langsung oleh Mokole. Dibantu oleh pejabat Siwole Mbatohu di empat penjuru
daerah kekuasaan kerajaan. Sesudah Wonua yaitu wilayah O’tobu dipimpin oleh
seorang Puutobu.
Pada zaman raja Tebawo, O’tobu di daerah ini berjumlah 30 (tiga puluh)
wilayah Tobu dan wilayah pada tingkat O’napo yang dipimpin oleh Kapala Napo
36
dengan gelar Tonomotuo, semacam wilayah pemerintahan tingkat desa pada
zaman Belanda menjadi Kambo yang dipimpin oleh kapala Kambo atau kepala
kampung. Setelah mokole Tebawo naik tahta dibentuknya tanah kerajaan Konawe
yang sangat luas sebagai suatu bentuk persegi empat, yang perlu mendapat
pelayanan dari pemerintah pusat kerajaan untuk menjamin ide tersebut maka pada
tahun 1609 dibentuklah perangkat penguasa wilayah di empat penjuruh di
kerajaan Konawe dikenal dengan sebutan Siwole Mbatohuu.
Dapat dijelaskan bahwa ketiga Puluh (30) wilayah daerah bawahan
Pu’utobu adalah sebagai berikut:
1. Ranomeeto membawahi Pu’utobu-pu’utobu:
a. Poasia
b. Moramo
c. Kolono
d. Laeya
e. Wawanii
f. Konda
2. Latoma membawahi Pu’utobu-pu’utobu:
a. Arombu
b. Pu’ulemo Ue’esi
c. Asera
d. Lalowata
3. Tongauna membawahi pu’utobu-pu’utobu:
a. Toriki
37
b. Anggaberi
c. Lasolo
4. Asaki membawahi pu’utobu-pu’otobu:
a. Puriala
b. Rate-rate
c. Andoolo
d. Lalohao
e. Angata
5. Uepay, membawahi pu’utobu-pu’utobu:
a. Anggopiu
b. Mooreha
c. Tudaone
6. Sambara, membawahi pu’utobu-pu’utobu:
a. Limbo
b. Rawua
c. Besu
7. Kasipute, membawahi pu’tobu-pu’utobu:
a. Palrahi
b. Anggotoa
c. Ksipute
d. Teteona
Disamping itu ada satu daerah khusus (Abuki) membawahi
pu’utobu-pu’utobu:
38
a. Asolu
b. Unaasi (Lasada)
c. Walay.(Chalik,dkk. 19978:20-21)
Pembagian wilayah pu’utobu tersebut diatas, menurut Muslimin Su’7ud
(1989:93) hanya dilihat dari segi lokasi/letak geografis yaitu tempat dimana
pejabat dewan adat kerajaan bermukim namun dilihat dari segi hirarki jabatan dan
tanggung jawab pelaksanaan tugasnya, sesuai yang ditentukan/ditetapkan Sidang
Dewan Adat Kerajaan yang dimaksud ke 30 wilayah pu’utobu yang secara
organisatoris bertanggung jawab melalui ke empat pejabat penguasa wilayah
masing-masing, (Ranomeeto, Latoma, Tnngauna danAsaki) dan bukan melalui
dewan adat kerajaan, maka susuann dan pembagiannya adalah sebagai berikut:
1. Wilayah Gerbarg Timur kerajaan (Ranomeeto) membawahi pu’utobu-
pu’utobu:
a. Poasia
b. Morammo
c. Kolono
d. Laeya
e. Wawonii
f. Konda
g. Andaroa (Sambara)
h. Besu (Sambara)
i. Lemo (Sambara)
39
2. Wilayah Gerbang Barat kerajaan (Latoma) membawahi pu’utobu-
pu’utobu:
a. Arombu
b. Waworaha
c. Pu’ulemo (Kolaka Utara)
d. Ue’esi
e. Lawata (Lalowata)
f. Laloeha (Kolaka)
3. Wilayah sayap kanan kerajaan (Tongauna) membawahi Pu’utobu-
pu’utobu:
a. Toriki
b. Anggaberi
c. Kasipute
d. Anggotoa
e. Wawotobi
f. Teteona
g. Lasolo/Andumowu
4. Wilayah sayap kiri (asaki) membawahi Pu’utobu-pu’utobu:
a. Puriala
b. Angata
c. Lalohao
d. Rate-rate
e. Tinondo
40
f. Morehe
g. Kowioha.
(Su’ud, 1989: 72-73)
Menurut Muslimin Su’ud selanjutnya, bahwa ke—30 pejabat Pu’utobu
diatas, sepanjang menyangkut tugas penyelenggaraan urusan pemerintahan,
mereka hanya bertanggungjawab kepada raja/garing mokole melalui ke-4
penguasa dimasing-masing wilayahnnya (Sapati, Sabandara, Ponggawa, dan
Inowa),
Pada dasarnya konsep Siwole Mbatohuu sesungghnya telah dipersiapkan
sebelum Sangi Inato dilantik menjadi Mokole atau Raja oleh pendahulunya yaitu
Mokole Melamba dengan gelar Letengapa, Lolamoa, Sangia Nggondombara,
Tawe eha yang memerintah pada tahun 1539-1602. Konsep awal Siwole Mbatohu
pada masa raja Melamba dalam membentuk struktur yag belum lengkap sebagai
berikut:
1. Pembagian pusat-pusat pemerintahan dibawah pimpinan beberapa Mokole
atau raja yaitu:
a. Pemerintahan pusat dipegang oleh Mokole I’Larisomba atau anakia
Meita.
b. Pemerintahan daerah/wilayah dipegang oleh Ndotongano Wonua.
c. Pemerintahan daerah kerajaan Konawe, dipegang oleh anangguro
Metipu Wuta I’Konawe, Wonua ngguluku Lipu I’Loronii I’Unaaha
2. Wilayah-wilayah kekuasaan atau kerajaan Lokal meliputi:
41
a. Wulele Ngasu Dewa, Wuanggasu Wula ( turunan kayu jawa, tunas
ayau buah negeri emas) yang berpusat di Mowewe.
b. Pano dewa wulaa (sisa pengaruh kerajaan jawa terdampar) yang
berpusat di andoolo).
c. Tolalo nggasu wulaa (Turunan Raja Pulau emas yang mengasingkan
diri) yang berpusat di abuki (Alosika) yang dibantu turunan
to’onomotuo (tetua adat setempat) di Walay.
d. Meosadaki isi Peopati Mohewu (putri raja yang mungil tetapi cantik)
berkedudukan di Puriala.
e. Tamburu nggasu dawa, pala-malamba mengga (beduk yang tebuat dari
kayu jawa yang menyala-nyala) bepusat atau berkedudukan di Asolu.
f. Polia-lia langi ana somba wulaa (turunan cucu bangsawan dari pulau
emas yang bertingkat atau berstatus) berkedudukan di Arombu.
g. Tundu mbassi nununggu (pelabuhan laut) di daerah Lasolo dan lembo
daerah Mboo.
Astruktur pementahan di atas merupakan cikal bakal Siwole Mbatohuu dan
O Pitu Dula Batuno Konawe tergambar bahwa kondisi pemerintahan wilayah
Kerajaan Konawe pada periode sebelum Sangia Inato, yaitu:
a. Bahwa kerajaa Konawe pada saat itu berstatus berstatus sebagai
kerajaan vasal atau vasal staat dari suatu kerajaanluar Konawe berpusat
42
dijawa menurut prediksi kerajaan Majapahit, ataukah di Sulawesi
Selatan yang diduga berpusat dio Bone dan kedatuan Luwu.
b. Bahwa para bangsawan atau anakia kerajaan Konawe pada periode itu
memiliki relasi geneologi dengan raja-raja di Jawa.
c. Bahwa keturunan bangsawan tersebut memiliki daerah kekuasaan yang
terpisah dengan pusat pemerintahan di Unaaha di bawah Mokole Sangia
Mbinauti.
Pada perkembangan selanjutnya, keenam tahun menjelang pelantikan
Mokole Tebawo dengan gelar Sangi Inato, Sangia Mbinauti (raja yang dipayungi)
bernama Mokole Maago, menyempurnakan lagi konsep tersebut menjadi konsep
persiapan “Siwole Mbatohu Opitu Dula Batuno Konawe” yang lebih sempurna
dan lengkap dengan struktur sebagai berikut:
1. Mokole atau Sangia berpusat di Inolobu Nggadue Unaaha.
2. Inae Sinumo Wuta Mbinotiso Towu Tinorai (pengganti Mokole atau
Sangia) berkedudukan di Abuki.
3. Sulemandara (perdana mentri) berkedudukan di Puu’osu.
4. Opitu Dula Batuno Konawe (tujuh kementrian kerajaan) yang tersiri dari:
a. Pelapi Wungguaro (komandan pengawal kerajaan) berkedudukan di
Tuoy.
b. Tusa Wuta (penjabat yang membidangi pertanian) di Wawotobi ke
Kasipute.
c. Bite Kinalumbi (pengadilan) di Anggotoa.
43
d. Kotu Bitara (hakim pemutus perkara) berkedudukan di Wonggeduku.
e. Putumbu Laradati (kejaksaan) di Lalosabila atau Tuoy.
f. Bite Metado (penjabat penghubung seperti Mokole, dewan Kerajaan
para Mentri) berkedudukan di Tudaone.
g. Tugas Laradati (penjabat bagian intelejen atau kepolisian)
berkedudukan di Unaasi/Palarahi.
h. Kapia Anamolepo (panglima angkatan darat) berkedudukan di Uepai.
i. Kapita Lau (panglima angkatan laut) berkedudukan di Puu Sambalu,
Sambara atau Pohara .
j. Tu’oy (secretariat kerajaan meliputi pengawal dan urusan rumah
tangga kerajaan) berkedudukan di Toriki Anggaberi dan Tuoy.
Pemberlakuan konsep tersebut hanya hanya berlangsung selama kurang
lebih dua belas tahun, selanjutnya diadakan perubahan, melalui musyawarah atas
usul Lelesuwa sebagai Kotubitara. Maka ditetapkan konsep struktur baru kerajaan
Konawe Siwole Mbatohuu O’pitu Dula Batuno Wuta Konawe konsep ini dianggap
lebih baik dan sempurnah khususnya tentang pembagian kekuasaan dan
wewenang.
Dalam konsep struktur pemerintahan Siwole Mbatohu dan O’pitu Dula
Batuno Konawe dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Struktur tingkat kerajaan (wonua) atau negeri yang terdiri dari:
a. Mokole sebagai raja atau sebagai kepala negeri atau pemerintah
tertinggi.
44
b. Dewan kerajaan yang disebut “Opitu dula Batuno Konawe” yang
disebut Anakia Momboindi Parenda Mokole yang aparatnya terdiri dari
1) Sulewata Mandara atau Sulemandara, selaku perdana mentri yang
dijabat pertama kali oleh Sulemandara Kalenggo. Jabatan ini
dikenal juga dengan sebutan Lopa-lopa Wula, Palako Lumeledo,
Metemba Nggolo Sara, Pebite Ngginalumbi, Sumusule Wonua,
Mandara Hii Wuta Konawe yang berkedudukan di Pu’Osu.
2) Pembantu Mokole di wilayah bagian timur dengan gelar sapati,
merangkap sebagai pemimpin wilayah kerajaan Konawe bagian
Timur yang disebut “Motombi-tombi Nggilo, Mebandera Wulaa,
Tambo I’Losoanao Oleo” yang pertama dijabat oleh Sapati
Sorumba.
3) Pembantu Mokole di wilayah Barat penjabatnya bergelar Sabandara
atau Sabannara (Syabandar), sekaligus sebagai pimpinan wilayah
bagian Barat yang disebut Taune Napo Wulaa, Ore-ore Mebubu,
Tampo Itepiliano Oleo yang dijabat pertama kali oleh Sabandara
Buburanda.
4) Pembantu mokole di wilayah Utara (Sisi Kanan) yang disebut
ponggawa, merangkap sebagai pemimpin wilayah di bagian Utara
(sisi kanan) kerajaan Konawe yang disebut Melingge-lingge Bara
Metuka Ndambosisi, Tambosisi Ruromoro Opua Mepambai Barata
I’Hana yang dijabat pertama kali oleh Ponggawa Paluwu.
45
5) Pembantu raja diwilayah bahagian Selatan (Sisi Kiri) kerajaan
Konawe yang disebut atau bergelar I’Nowa merangkap sebagai
kepala wilayah bagian Selatan (kiri) yang disebut Tetoremba-remba
Nggilo, Toko Wula Wulaa, Merembirembi Eno Mekalambi Wulaa,
Simburu Nggati Nggilo Patirangga Wulaa Rahambaha
Monggasono Wuta Konawe Barata I’Moeri yang disebut atau
bergelar Kapita Anamolepo Wuta I Asaki dengan pimpinan pertama
Taridala.
6) Panglima angkatan darat Kerajaan Konawe yang digelar Kapita
Anamolepo, berkedudukan di Uepai yang pertama kali dijabat oleh
Kapita Anamolepo Taridala.
7) Panglima angkatan Laut Kapita Sambara Wuta Konawe, kerajaan
Konawe yang bergelar Tanoopa Moloro, Tadohopa Nduosa,
Lomalaea Ndahi Membandera Waea Kapita Lau, berkedudukan di
Puusambalu Sambara atau Sampara (wilayah bagian Timur kerajaan
Konawe) yang dijabat pertama kali oleh Kapita Lau Haribau.
Para penjabat tersebut dibantu oleh beberapa penjabat yang berstatus mentri
muda, sedangkan pejabat tersebut berstatus sebagai pejabat tingkat Wonua mereka
memiliki otoritas atau wewenang yaitu:
a. Mentri sekertaris kerajaan bergelar Tu’oy yang pertama kali di jabat
oleh Tuoy Podada berkedudukan di Tu’oy
46
b. Iwoy Solombule, Waa Solo Mbendua, uha Bite Metado, Pesurino Wuta
Konawe. Mentri urusan peertanian kerajaan yang bergelar Tusawuta,
berkedudukan di Kasipute yang dijabat pertamakali oleh Anakia
Ndusawuta Latuo gelar Tawe Terumba Raha Mboluloaa.
c. Mentri urusan kehakiman atau begian peradilan pada tingkat kerajaan
yang bergelar Kotubitara berkedudukan di Wonggeduku, yang pertama
kali dijabat oleh Kotubitara Lelesuoa.
d. Owati Anggotoa oleh Tainoa berkedudukan sebagai hakim.
Keempat pejabat tersebut bertanggung jawab atau berada dalam koordinasi
dengan Sulemandara atau sebagai ketua dewan kerajaan Opitu Dula Batuno
Konawe (Basrin, Melamba, 2011: 48-55)
Berdasarkan bentuk-bentuk tersebut dapat diperoleh gambaran bahwa
dengan diterapkannya system dan struktu organisasi Siwole Mbatohu dan Opitu
Dula Batu, maka penyelenggaraan administrasi pemerintahan kerajaan yang
dipimpin oleh raja Tebawo dapat berjalan lancer dan mampu menciptakan
stabilitas keamanan selama masa pemerintahannya bahkan dapat menjadikan
kerajaannya yang mekmur, kuat dan tersohor yang sekaligus menjadikan namanya
sebagai salah satu seorang raja Konawe yang terkenal dimana-mana yang atas
dasar itu sepeninggal belia, Ia diberikan gelar dengan sebutan “Tebawo” (yang
tersohor diman-mana)
47
BAB VI
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Latar Belakang Terbentuknya Kapita Lau Di Kerajaan Konawe
Hampir setiap kerajaan tradisional di Nusantara pada masa lalu kita temukan
pengawal pribadi raja seperti dikerajaan Mataram, Demak, Buton, Ternate, dan
48
sebagainya. Termaksud di Kerajaan Konawe terdapat pengawal raja yang disebut
Kapita Lau yang pertama kali di jabat oleh Ndawuto berkedudukan di
Sambara/Sampara.
Dimana jabatan Kapita Lau ini muncul pada zaman pemerintahan Mokole
Tebawo, kerajaan Konawe telah membentuk Panglima Angkatan Laut (Kapita
Lau) atau juga lebih dikenal Kapita Bondoala. Berkedudukan dipu’usambalu
Sambara/Sampara. Pada saat itu dijabat oleh Haribau dengan gelar Kapita
Bondoala.
Kapita Bondoala merupakan gelar Kapita Lau (Panglima angkatan laut)
Kerajaan Konawe yang diberikan oleh masyarakat Konawe setelah ia kembali dari
peperangan bersama Buton, Bone (Arung Palaka) dan lain-lain melawan Gowa
dan berhasil menduduki salah satu wilayah kerajaan Gowa yang bernama
“Bontoala” pada tahun 1667 (Basrin, dkk, 2011: 58).
Pada waktu Mokole Lakidende II dengan gelar Sangia Nginoburu, mengirim
utusan ke Bone untuk membantu raja Bone melawan Belanda pada perang Bone
pertama oleh raja Lakidende kemudian menunjuk Tosugi dari Anggaberi untuk
memimpin rombongan tersebut yang dibantu oleh Haribau putra Ndawuto dari
Sambara, menunjuk La Besi dan La Taripa selaku juru bahasa. Ekspedisi ini Bone
waktu itu dipimpin oleh seorang Ratu perempuan yang bernama Imanung Arung
Data Matinrowe Wikesi.
Sekembalinya mereka dari Bone maka Tosugi berganti nama menjadi
Pakandreate dan Haribau bergelar Kapita Bondoala. Dan La Besi oleh raja
49
Lakidende memperkenenkan menyebarkan islam di bagian Timur kerajaan
konawe di lembah aliran suangai Andabia dan Anggasuru yang dibantu oleh
putaranya yang bernama Bakealu.
Sejalan dengan itu seperti dalam bukunya Arsamid yang berjudul Sejarah
Pemerintahan Kabupaten Konawe (2003: 7) yang mengemukakan bahwa, jabatan
Kapita Lau ini berada dibawah pejabat Sulemandara , kemudian lebih
disempurnakannya melalui sidang dewan kerajaan. Seluruh wilayah kerajaan
Konawe dibagi dalam empat (4) bagian wilayah besar yang disebut Siwole
Mbatohu’u (penguasa wilayah besar dan menjadi dewan pertimbangan Mokele),
masing-masing:
1. Tambo Ilosoano Oleo, yaitu gerbang Timur bepusat di Ranome’eto,
pimpinannya bergelar Sapati.
2. Tambo Itepuli’ano Oleo, yaitu gerbang Barat berpusat di Wowa Latoma,
pimpinannya bergelar Sabandara.
3. Barata Ihana, yaitu Bintara Kanan berpusat di tonga’una, pimpinannya
bergelar Ponggawa.
4. Barata Imoeri, yaitu Bintara Kiri berpusat di Asaki (Lambuya),
pimpinannya bergelar Inowa.
Selain itu ditetapkan pula 7 (tujuh) pejabat fungsional kerajaan yang disebut Opitu
Dula Batu, masing-masing:
1. Sulemandara, perdana mentri dan urusan Luar Negeri, berkedudkan di
puu’osu.
50
2. Tutuwi Motaha, Mentri Pertahanan berkedudukan di Anggaberi.
3. Tusawuta, Mentri Pertahanan berkedudukan di Kasipute.
4. Petumbu Lara Dati, Mentri Kehakiman berkedudukan di
Tuda’one/konawe.
5. Bite Kinalumbi, Mentri Penerangan berkedudukan di Kasipute.
6. Kapita Anamolepo, Mentri Panglima Angkatan Darat berkedudukan di
Uepay.
7. Kapita Lau/Kapita Bondoala, Mentri Panglima Angkatan Laut, yang
berkedudukan di Sambara.
B. Struktur Pelaksanaan Tugas Kapita Lau Di Kerajaan Konawe
Sejalan dengan fungsi dan kedudukan kapita Bondoala dalam sistem
pemerintahan kerajaan Konawe dimasa pemerintahan raja Tebawo, untuk menjaga
masuknya musuh, baik yang datang melalui darat maupun memalalui laut, yang
menjaga keamanan di Timur jauh dari kerajaan dan di Barat jauh dari kerajaan di
tetapkan dua panglima perang, yakni Panglima Perang di Darat yang disebut
Kapita Ana Molepo (Kapten Anak Muda) yang berkedudukan di Ue’pay.
Panglima Perang dilaut yang disebut Kapita Lau (Kapten Laut) yang
berkedudukan di Pulusabila, Sampara, Tarimana (Dalam Basrin Melamba, dkk,
2011: 83).
Kapita yaitu merupakan tangan besi Mokole atau merupakan tangan kanan
yang menjadi kepercayaan raja sebagai wakil yang menjabat jabatan panglima
perang, yang di jabat oleh golongan bangsawan Tulen (Anakia Songo). Kapita
bertugas memerangi dan menghancurkan musuh-musuh baik dari dalam negeri
51
maupun dari luar Kerajaan dalam menjalankan tugasnya Kapita diabantu oleh
Tamalaki sebagai prajurit-prajurit yang gagah berani dan Tadu yang mengatur
strategi perang.
Tamalaki merupakan prajurit-prajurit yang gagah berani, sebagai penjaga
keamanan dan pertahanan kerajaan dalam keadaaan bahaya maupun dalam
keadaan aman. Menjaga keselamatan Raja, terutama dalam melakukan perjalanan
Dinas kedaerah-daerah dan melindungi rakyat dari perlakuan sewenang-wenang
oleh pejabat-pejabat yang ada dalam kerajaan Kerajaan Konawe. Tamalaki ini ada
dari golongan bangsawang maupun dari golongan To-nonggapa, bahkan dari
golongan budak pun, apabila dapat memiliki keberanian dan telah bebas status
ata-nya itu.
Selanjutnya, O’tadu merupakan seorang yang mempunyai keahlian strstegi
perang, ahli nujum dan ahli siasat perang agar dengan mudah mengalahkan dan
menghancurkan musuh-musuh kerajaan Konawe. Tugas lainnya menentukan
waktu-waktu mana yang baik dan buruk untuk berangkat berlayar, musim
berburu, musim berladang, dan sebagainya. Dalam dokumen tanggal 28-9-1946,
telah dikemukakan dua orang Kapita, yaitu Kapita Lau dan Kapita Ana Molepo
masing-masing dijabat oleh Haribau sebagai Panglima Perang Laut.
Konsep Tambo I losoano Oleo adalah pintu terbitnya matahari, yaitu
wilayah kekuasaan sebelah Timur Kerajaan Konawe, yang dikuasai oleh seorang
raja yang bergelar Sapati. Sapati ini dikenal dengan nama samarannya kowuna
nggona I’a Ranomeeto, sebagai wilayah kecamatan Ranomeeto sekarang ini.
52
Pemerintahan Sapati kowuna nggona I’a, berkedudukan di Putu Mbopondi,
Ranomeeto, dengang pejabat-pejabatnya yang mulai dari sebagai berikut:
1. Sorumba
2. Melamba
3. Malandeo
4. Tebau
5. Wemaho
6. Mangu
7. Sao-sao dan
8. Tekaka
Pemerintahan daerah Sapati Ranomeeoto, dengan kerja sama Kapita Lau
(Bontoala) di Sampara, membawahi beberapa pemerintahan wilayah (Putobu)
yaitu:
1. Sampara
2. Poasia
3. Moramo
4. Kolono
5. Laeya dan
6. Wowonii
Wilayah-wilayah tersebut berada dalam kekuasaan dan tanggungjawab Sapati
Ranomeeto untuk menjalankan pemerintahan dengan baik sesuai instruksi-
instruksi yang diberikan oleh Mokole sebagai pimpinan yang tertinggi dalam
kerajaan Konawe.
53
Sistem pemerintahan yang didasarkan atas musyawarah, kegotongroyongan
sangat diutamakan dimana hubungan persahabatan dengan Bone dilaksanakan
oleh Pakandeate dan Haribau.
Pada tahun 1905 Saranani mangkat dengan meninggalkan satu orang istri
yakni Balea dan 4 orang anak masing-masing tiga orang putra dan satu orang
putri. Setelah mangkatnya Saranani maka kepemimpinan Anggaberi menjadi
Tutuwi Motaha dari Pakandeate beralih ke keturunan Rakawula. Akan tetapi pada
tahun tersebut jabatan Tutuwi Motaha sudah tidak berfungsi lagi menjadi
panglima kerajaan Konawe seperti pada masa-masa pemerintahan raja-raja
konawe dulu. Hal ini disebabkan oleh para bangsawan pada masing-masing
daerah tidak lagi mengakui akan eksistensi Mokole atau raja apalagi setelah
Saranani mangkat pada tahun 1904.
Keadaan ini berlangsung hingga berkuasanya pemerintahan Hindia Belanda
pada tahun 1905. Diamana posisi pejabat mengalami perubahan adalah sebagai
berikut:
1. Sapati Ranomeeto dijabat oleh Maho putri Tebawo
2. Sabandara Latoma di jabat Tanggapili
3. Ponggawa I una dijabat oleh Lagarai
4. Inowa Asaki dijabat oleh Apaa Tawe Simbau.
Adapun pergeseran posisi pejabat Pitu Dula Batuno Konawe antara lain
sebagai berikut:
1. Tutuwi Motaha di jabat oleh Sariah.
2. Kotu Bitara atau Wati dijabat oleh Ram.
54
3. Kapita Ana Molepo
4. Kapita Bondoala di jabat oleh Rambi
5. Pabitara
6. Rakahi Mbetumbu di jabat oleh Eha (Basrin, dkk, 2011: 208-213)
Sehingga keadaan tersebut diatas bertambah rumit karena wilayah Konawe
bagianTimur yaitu wilayah Ranomeeto telah memisahkan diri dan mendirikan
kerajaan baru yang bernama Laiwoi yang dipimpin pertama kali oleh Lamangu
yang mengadakan perjanjian pertama dengan Belanda yang disebut Long
Contract.
Demikian sejarah Kapita Lau di Kerajaan Konawe sejak tahun 1725-1904.
C. Peranan dan Fungsi Kapita Lau di Kerajaan Konawe
Dalam bagian ini akan dijelaskan mengenai fungsi dan peranan Kapita
Lau di Kerajaan Konawe hingga datangnnya orang-orang Tiworo yang berasal
dari pulau Maginti Masudu (masa itu kampung termasuk dalam wilayah kerajaan
Muna), dan kampung Wandoke. Mereka tersebar dibeberapa kampong di konawe
diantaranya kampong Lalonggaluku di kecamatan Bondoala, di Hongoa dan
Wukusao dikecamatan Pondidaha, dikampung Parauna dikecamatan Anggaberi
semuanya berada dikabupaten Konawe.
Pada masa kerajaan Konawe pada tahun 1731 tibalah rombongan utusan
Sultan Buton dari kepulauan Tiworo dikerajaan Konawe. Rombongan ini
dipimpin oleh La Besi sebagai Imam(Imamu), Lataripa sebagai juru bicara, La
55
goha sebagai Moji(Modi), La Pepera sebagai Doja (Doda), dan seorang
bangsawan Buton yang bernama Wa Ode Ndoke, beserta 40 orang pengikutnya.
Adapun tujuan utusan Sultan Buton tersebut datang di Kerajaan Konawe adalah
untuk menyampaikaan syiar dakwah dan sekaligus mengislamkan Raja atau
Mokole Konawe serta seluruh rakyat di Kerajaan Konawe.
Sebelum rombongan La Besi tiba di Unaaha Ibukota Kerajaan Konawe,
perjalanan mereka melalui laut menyusuri sungai Konaweeha dengan
menggunakan perahu, dengan iringi 7 buah perahu. Ketika mereka melewati
Sambara (Sampara), rombongan tersebut dilihat oleh Ndawuto, ayah Haribau yan
pada waktu itu menjabat sebagai Kapita Lau(sebelum menjadi kapita Bondoala).
Yang kemudian timbul kekwatiran Ndawuto terhadap mereka yang disangkanya
adalah musuh yang akan mengadakan perlawanan terhadap Mokole Lakidende di
Unaaha dan seluruh rakyat Kerajaan.
Olehnya itu, Kapita Lau kemudian memerintahkan Tamalakinya yang
bernama Mengguri untuk mencegah dan menahan rombongan La Besi tersebut.
Setelah La Besi dan rombongannya berhenti maka naiklah La Besi, La Taripa dan
Wa Ode Ndoke di rumah Kapita Lau yang diterima oleh Kapita dengan
menyuguhkan Sirih Pinang sebagai penghargaan Kapita Terhadap tamunya
tersebut. Setelah mereka beristrahat sejenak maka segeralah La Besi
menyampaikan maksud dan tujuannya mengadakan perjalanan menuju Unaaha
untuk menemui raja Konawe dan sekaligus mengislamkannya atas pesan dari
Sultan Buton. Setelah mendengar dari penjelasan La Besi kepada Kapita, oleh
Kapita menyampaikan kepada La Besi kalu maksud untuk mengislamkan raja
56
kiranya tidak boleh membawa banyak pengikut atau rombongan, yang nanti oleh
Mokole salah sanggkah bahwa dikiranya musuh yang hendak datang untuk
Momuho (berperang), (Wawancara Arsamid, 16 April 2012)
Selanjutnya, La Besi tersebut memutuskan dan menetapkan 15 (lima
belas)orang pengikutnya untuk tinggal di Sambara/Sampara, yang kemudian oleh
Kapita Lau yang berkedudukan di Pu’usambalu memberikan sebuah tempat untuk
mereka tempati dan membuka hutan menjadi tempat tinggal mereka yang
sekarang menjadi sebuah kampong yang disebut Lalonggaluku.
La Besi dan rombongannya melanjutkan perjalanan mereka, namun
sebelum tiba di Ibukota kerajaa Konawe di Unaaha, setelah mereka tiba di Amesiu
(Pondidiaha), mereka ditahan lagi oleh Nanggoleo seorang tamalakinya
Latalambe (Tawe Tundu O’luto), putra dari pada Sulemandara Kalenggo (Tawe
Puosu), lalu La Besi dan rombongannya kemudian singgah di Pondidaha dan
menyampaikan maksud serta tujuan mereka menuju Unaaha.
Latalambe berpendapat yang sama dengan Ndawuto dari Sambara bahwa
La Besi tidak diperkenankan atau diizinkan untuk membawah seluruh
pengikutnya ke ibukota kerajaan, sebab akan disangka oleh Mokole mereka akan
mengadakan peperangan, selanjutnya La Besi menyimpan pengikutnya 20 orang
di Pondidaha. Oleh Latalambe 20 oarang inillah yang kemudian dibagi-bagi untuk
menempati wilayah-wilayah dilingkungan Pondidaha yang belum berpenghuni
seperti Hongoa, Wawoone, Wukusao, Lahututu, dan Sabulakoa. Sehingga pada
saat ini keturunan merekalah yang berkembang dan menempati daerah-daerah
tersebut.
57
Selanjutnya rombongan La Besi meneruskan perjalanan mereka dan
sampai di Unaaha yang kemudian mereka menambatkan perahunya dipinggir
sungai Konaweeha yang ada dekat Unaaha, tempat mereka berlabu dengan
menggunakan perahunya kemudian disebut dengan nama Rahabangga atau
pelabuhan perahu. Lalu merekka naik beserta seluruh rombongannya di istana
Raja Konawe (Laika Mbinati Pati) yang pada waktu itu kerajaan Konawe sedang
dipimpin oleh Mokole Lakidende. Kemudian raja mennyambutnya dengan
menyuguhkan sirih Pinang atau melaksanakan adat penyambutan tamu raja berupa
Mowule-wule, dan mereka melepas lelah sejenak setelah itu kemudian La Besi
dengan perantaraan La Taripa menyampaikan maksud dan tujuan kedatngan
mereka di istanah raja Konawe yaitu menyampaikan ajakan sultan Buton kepada
Mokole Konawe kiranya mau menerima ajaran agama Islam, dan memeluknya
Islam, sebagai agama yang diyakini kebenarannya dan dianut oleh raja dan rakyat
kesultanan Buton.
Setelah raja dan seluruh petinggi kerajaan Konawe berkumpul dan
mengadakan rapat, segeralah La Besi menyampaikan tentang Islam antara lain
melarang pemeluknya untuk memakan daging Babi, karena pada waktu itu
sebelum islam datang di Konawe maka masyarakat Konawe masi memakan Babi
dengan istilah Meota’inah. Selanjutnya, bila terdapat orang meninggal dunia
jenasahnya sudah harus dikuburkan/dikebumikan.
Olehnya itu, tidak mengherankan jika raja-raja yang memerintah sebelum
raja Lakidende kuburan atau makam mereka tidak ada karena pada saat itu
58
sebelum islam datang jenasah orang-orang meninggal masih dimasukkan kedalam
Gua.
Setelah raja Lakidende dan seluruh petinggi kerajaan Konawe memeluk
Islam lalu raja memberikan La Besi sebuah tempat didekat ibukota Unaaha yaitu
di Parauna untuk ditempati beserta rombongannya. Juga raja Lakidende
memberikan kebebasan kepada La Besi untuk melepas Kerbau gembalaannya
mulai dari Longgida Pea’a sampai Nambea Boru, adapun Longgida Pea’a masuk
dalam wilayah kekuasaan Wati Anggotoa dan Nambea Boru masuk dalam
wilayah kekuasaan Ponggawa Tongauna.
Pada tahun ke tiga kedatangan La Besi yaitu tahun 1734 mereka membuka
hutan di Kamausu untuk dijadikan lahan pertanian dan pemukiman mereka yang
mena sekarang disebut Sepermori di waktu membuka hutan disinilah Ia
menemukan Toono Nggono Wuwuyang kemudian dipersembahkannya kepada
raja Lakidende, Sepemori sekarang terdapat makam Wa Ode Ndoke dan
suaminya.
Pada waktu Mokole Lakidende II dengan gelar Sangia Nginoburu,
mengirim utusan ke Bone untuk membantu raja Bone melawan Belanda pada
perang Bone pertama oleh raja Lakidende kemudian menunjuk Tosugi dari
Anggaberi untuk memimpin rombongan tersebut yang dibantu oleh Haribau putra
Ndawuto dari Sambara, menunjuk La Besi dan La Taripa selaku juru bahasa.
Ekspedisi ini Bone waktu itu dipimpin oleh seorang Ratu perempuan yang
bernama Imanung Arung Data Matinrowe Wikesi.
59
Sekembalinya mereka dari Bone maka Tosugi berganti nama menjadi
Pakandreate dan Haribau bergelar Kapita Bondoala. Dan La Besi oleh raja
Lakidende memperkenenkan menyebarkan islam di bagian Timur kerajaan
konawe di lembah aliran suangai Andabia dan Anggasuru yang dibantu oleh
putaranya yang bernama Bakealu.
Selang beberapa tahun kedatangan mereka dari Bone maka raja Lakidende
Mangkat dan jenasahnya di urus oleh La Besi secara islam dan menguburkannya
pula. Olehnya itu, raja Lakidende diberi gelar “Sangi Ngginoburu” artinya dewa
yang dikuburkan karena raja Lakidende inilah yang pertama di kuburkan. Sampai
hari ini, keturunan La Besi dari Parauna yang senantiasa diperkenankan untuk
melaksanakan ritual keagaamaan di makam raja Lakidende berupa “Mobubusi
Koburu” harus berasal dari turunan tiworo.
Adapun Fungsi dan kedudukan kapita Bondoala dalam sistem
pemerintahan kerajaan Konawe dimasa pemerintahan raja Tebawo adalah sebagai
berikut:
b. Sebagai panglima angkatan laut kerajaan Konawe digelar sebagai Kapita
Lau yang memiliki pasukan angkatan laut kurang lebih 1000 orang,
berkedudukan dipu’usambalu (pohara) sambara, dengan pusat pertahanan
Lalimbue
c. Selain sebagai Panglima Angkatan Laut kerajaan, juga merangkap sebagai
anggota dewan adat kerajaan (opitu dulu batuno konawe)
Sejalan dengan itu, Basrin Melamba (2011: 54) mengemukakan bahwa Panglima
angkatan laut Kapita Sambara Wuta Konawe, kerajaan Konawe yang bergelar
60
“Tanoopa Moloro, Tadohopa Nduosa, Lamalaea Ndahi Membandera Waea
Kapita Lau”, berkedudukan di Puu Sambalu.
61
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa:
1. Jabatan Kapita Lau ini muncul pada zaman pemerintahan Mokole
Tebawo, kerajaan Konawe telah membentuk Panglima Angkatan Laut
(Kapita Lau) atau juga lebih dikenal kapita Bondoala. Ia masuk dalam
struktur Opitu Dula Batuno Konawe, berkedudukan di Pu’usambalu
Sambara/Sampara yang pertama kali dijabat oleh Haribau dengan gelar
Kapita Bondoala. Pada masa Mokole Lakidende II dengan gelar Sangia
Ngginoburu, raja ,mengirim Haribau dan Tosugi ke Bone untuk
membantu raja Bone melawan Belanda pada perang Bone.
2. Struktur pelaksanaan tugas Kapita Lau di Kerajaan Konawe yaitu
merupakan tangan besi Mokole atau tangan kanan yang menjadi
kepercayaan raja sebagai wakil yang menjabat jabatan Panglima Perang.
Adapun wilayah-wulayah pemerintahan Kapita Lau (Bontoala) di
Sampara yaitu:
a. Sampara
b. Poasia
c. Moramo
d. Kolono
e. Laeya
62
Wilayah tersebut berada dalam kekuasaan dan tanggung jawab Sapati
Ranomeeto dan Kapita Lau untuk menjalankan pemerintahan dengan
baik.
3. Peran dan fungsi Kapita Lau di kerajaan Konawe yaitu:
a. Berfungsi sebagai panglima angkatan laut kerajaan Konawe digelar
sebagai Kapita Lau yang memiliki pasukan angkatan Laut ± 1000
orang, berkedudukan di Pu’usambalu, Sambara (yang sekarang ini
disebut Pohara).
b. Bersama Tosugi dari Anggaberi pernah memimpin rombongan ke
Bone untuk membantu raja Bone melawan Belanda. Ekspedisi Bone
waktu itu dipimpin oleh seorang Ratu Perempuan yang bernama
Imanung Arung Data Matinrowe Wikesi, dan berhasil memenangkan
perang tersebut sehingga Haribau diberi gelar Kapita Bondoala,
Sambara/Sampara.
B. Saran-Saran
Berdasarkan pada pokok-pokok pikiran diatas maka dapat dirumuskan
beberapa saran, berkenaan dengan masalalu bahwa perang penting searang
pengawal raja menduduki posisi penting bagi kelangsungan kepemimpinan
dan ketahanan seorang raja. Maka jika dilihat kondisi kekinian maka peran-
peran tersebut masih berkesinambungan untuk itu Negara harus
memperbaiki sistem pengawal pejabat sekarang ini.jabatan pengawal raja
memperlihatkan kesinambungan fungsi dan perannya guna mengatur kondisi
dalam menjaga keselamatan pemimpinnya
63
C. Implikasi Hasil Penelitian Terhadap pembelajaran Sejarah dan muatan
Lokal di Sekolah
Pembangunan diberbagai sektor pada era reformasi sekarang ini
Nampak mengalami peningkatan yang cukup signifikan hal ini disebabkan
oleh tuntutan kebutuhan yang makin hari makin diraskan oleh masyarakat.
Dengan makin majunya ilmu pengetahuan dan teknologi menjadikan
manusia sebagian besar melupakan masa lamapau. Masa lampau itu adalah
sesuatu yang kuno yan tidaka pantas lagi untuk dilakukan pada masa
sekarang. Padahal apa yang terjadi pada masa lampau itu dapat dijadikan
sebagai pengalaman dalam menjalani hidup di masa kini dan masa yang
akan datang kesalahan-kesalahan yan terjadi dimasa lampau tidak trulang
lagi dimasa kini dan masa yang akan datang.
Perkembangan zaman yang begitu pesat baik dalam segi
pengetahuan maupun teknologi brdampak pula pada dunia pendidikan
dewasa ini. Seiring dengan tuntutan zaman tersebut para pendidik(guru)
diharapakan dapat dituntut untuk senantiasa memiliki budi pekerti luhur,
disiplin, mandiri dan profesional, karena apa yang dilakukan guru disekolah
dapat dijadikan panutan oleh murid-muridnya untuk itu para pendidik (guru)
diharpkan mampu menjadi teladan bagi muridnya.
Penulisan peranan seorang tokoh dalam masyrakat sekitarnya bisa
dijadikan contoh bagi peserta didik sehingga mereka bisa lebih dekat
mengenal tokoh sejarah didaerah mereka terlebih dahulu sebelum mengenal
tokoh sejarah didaerah lain (Nasional). Dalam hal ini dengan memahami
64
nilai-nilai sejarah yang tertanam dalam kehidupan masyarakat baik aspek
politik, ekonomi maupun sosial budaya mempunyai daya tarik yang sangat
penting dalam memperluas wawasan dan pengetahun kita serta dapat
mempertebal rasa kecintaan terhadap bangsa dan Negara.
Bila kita melihat kembali bagaimana peranan seorang tokoh dalam
hal ini Haribau (kapita Lau) dalam upaya mempertahankan dan menjaga
keamanan kerajaan serta memperluas kekuasaannya yang tentu saja tanpa
melupakan kesejahteraan rajanya karena segala yang dilakukan oleh Haribau
(Kapita Lau) adalah semata-mata dari kemaslahatan kerajaan. Apa yang
diciptakan oleh para leluhur kita diamas lamapau yang juga menjadi ciri
khas dari sebuah daerah itu terlepas dari keuletan, kedisiplinan, serta
kepatuhan mereka pada aturan yang telah dibuat.
Implikasi hasil penelitian terhadap pembelajaran sejarah disekolah
dapat di ajarkan pada tingkat SMP Kelas VII Semester I berdasarkan
kurikulum berbasis kompetenasi (KBK) dengan kompetensi dasar yaitu:
kemampuan menguraikan proses perkembangan Agama, mengharagai
peninggalan-peninggalan sejarahnya. Dengan indikatornya yaitu : a)
menyusun kronologi perkembangan kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia, b)
mengidentifiaksi persamaan dan perbedaan bentuk dan ciri-ciri peninggalan
sejarah yang bercorak Islam di berbagai daerah. Dari enam kali pertemuan
materi ini dibahas pada pertemuan ke-4 dan ke-5.
Adapun strategi yang diterapkan guru dalam mengajarkan materi ini
adalah dengan menggunakan metode ceramah, studi lapangan, diskusi
65
kelompok dan Tanya jawab. Hal ini dimaksud agar siswa tidak hanya
memperoleh pengetahuan itu dari guru tapi juga dapat memperoleh
pengetahuan itu dengan cara pengalaman studi lapangan diskusi dan tanya
jawab. Namun dalam proses diskusi, guru tetap mengontrol dan juga
mengarahkan siswa jika mereka mengalami kesulitan dalam diskusi
sehingga ada kerja sama antara guru dan siswa.
Relevansi dengan pengajaran sejarah di SMP adalah konsep mata
pelajaran sejarah yang menanamkan pengetahuan kepada siswa yang seperti
menyangkut sikap dan tingkah laku dalam bermasyarakat. Sikap-sikap yang
seperti ini bisa dijadikan sebagai panutan seperti sikap dan kearifan Haribau
(Kapita Lau) dalam pembinaan sosial, politik, Agama dan budaya dalam
kerajaan Konawe yang tercermin saat beliau memerintah. Sehubungan
dengan ini maka nilai yang dapat dipetik dari penelitian ini dunia pendidikan
akhlak yang dimiliki dalam kehidupan nantinya akan direalisasikan kepada
peserta didik yang masih duduk dibangku-bangku sekolah.
Guru didalam menerapkan metode pembelajaran sejrah tidak harus
fakum tetapi guru tersebut harus relative dalam membawa pemikiran siswa
pada masalah yang sedang dijelaskan dan untuk mempermudah hal itu maka
guru dapat menggunakan metode karya wisata, dimana siswa diajak
mengunjungi tempat-tempat bersejarah (situs sejarah) yang berkaitan dengan
materi yang dibawakan dan dari kunjungan tersebut siswa mendapat banyak
manfaat seperti: siswa bisa rekreasi tapi sekaligus juga belajar karena siswa
66
tidak saja mengetahui teori dan materi yang dijelaskan tapi juga praktenya
dengan melihat langsung objek yang dibahas.
Dengan demikian maka pengajaran sejarah merupakan dasar bagi
pendidik dalam masalah pembangunan jiwa generasi muda dengan
membangkitkan kesadaran bahwa mereka adalah generasi penerus cita-cita
bangsa. Peranan seorang tokoh Haribau (Kapita Lau) merupakan asset
sejarah lokalyang perlu diketahui oleh generasi muda sekarang.
67