latar belakang masalahrepository.radenfatah.ac.id/5507/2/tesis bab 1-5 ba_da... · 2020. 1. 10. ·...
TRANSCRIPT
Bab 1PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Untuk mewujudkan insan yang beriman dan taat pada ajaran agama, maka perlu
dibangun landasan keagamaannya, titik awal untuk membangunnya adalah dengan
melakukan pembinaan terhadap pendidikan aqidahnya. Ajaran Islam dibagi kedalam
tiga aspek pokok, yaitu aqidah. Syariat dan akhlak. Aspek aqidah merupakan aspek
yang pundamental dalam Islam dan berkaitan dengan hal-hal yang berhubungan dengan
keyakinan atau keimanan dan kepercayaan terhadap hal-hal yang ghaib. Aqidah
berkaitan dengan pekerjaan hati. Aspek syariat adalah aspek yang berkaitan dengan
amal ibadah, yang berkenaan dengan pelaksanaan hukum berupa perintah dan larangan
Allah SWT. Akhlak adalah aspek yang berkaitan erat dengan persoalan etika, moral,
dan pergaulan hidup. Ketiga aspek ini berkaitan erat satu sama lainnya dan tak dapat
dipisahkan.(Hasan Mu’arif Ambarawy,dkk, 2003, hal. 25).
Aqidah adalah asas untuk membangun Islam pada diri anak, kalau landasannya
sudah bagus dan kokoh, maka Islam akan tegak dalam diri anak. Jika ada pernyataan
kenapa dewasa ini atau masa yang akan datang anak-anak kita tidak tegak dan kokoh
dalam beragamanya, tidak kuat aqidahnya dan banyak terjadi perlanggaran-
perlanggaran terhadap ajaran agama, atau dalam bahasa sosialnya, banyak kenakalan
remaja pada anak-anak dan remaja muslim. Kemungkinan yang terjadi kurang
kokohnya bangunan pendidikan aqidah atau keimanan terhadap ajaran-ajaran Islam
selama sebelumnya. Untuk itu langkah awal yang harus dikerjakan adalah pendidikan
aqidah sejak dini. Kewajiban awal yang terpikul kepada orang tua. Seperti diajarkan
dalam surat Luqman ayat 13, yaitu:
2
( 13 :,31 /))
Artinya: ”Dan (Ingatlah) ketika Luqman Berkata kepada anaknya, di waktu ia
memberi pelajaran kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah,
Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar"
(Depag RI, 1989, hal. 654).
Aqidah juga adalah masalah fundamentil dalam Islam, ia menjadi titik tolak
permulaan muslim. Sebaliknya, tegaknya aktivitas keislaman dalam hidup dan
kehidupan seseorang itulah yang dapat menerangkan bahwa orang itu memiliki aqidah
atau menunjukkan kualitas iman yang ia miliki. Masalahnya karena iman itu bersegi
teoritis dan ideal yang hanya dapat diketahui dengan bukti lahiriah dalam hidup dan
kehidupan sehari-hari (Nasruddin Rozak, 1993, hal. 120).
Dari sisi lain, menurut Khalifah Abdul Hakim (1986, hal. 53) keyakinan terhadap
adanya alam ghoib merupakan postulat fundamental dalam Islam, adanya hukum sebab-
akibat atau keragaman alam adalah aksioma fundamental dari semua sains, bahwa alam
semesta berada dalam kekuasaan suatu hukum dalam segala aspeknya. Bagaimana
seorang ilmuwan menyatakan suatu keseluruhan yang tak terbatas hanya dengan
pengalaman di bagian alam semesta yang sangat terbatas. Setiap ilmuwan harus
meyakini bahwa yang tidak terlihat (gaib) itu jauh lebih besar dari pada yang terlihat.
Sarana untuk mencapai itu dengan menyakini adanya kekuasaan Yang Maha Kuasa di
balik itu semua, dari kondisi ini peran pendidikan iman atau aqidah membereskan
keraguan sains terhadap Kebenaran Tuhan. Tujuan ini adalah untuk meghindari diri dari
kesyirikan kepada ketauhidan Allah Swt. Ungkapan tauhid, seperti pendapat Noordeen
(2003, hal. 185), bahwa tauhid memang lengkap dalam Islam.
3
With complete belief, knowledge and understanding of the concept of divinity(tawhid), a believer finds a perfect and comprehensive concept of the universe,of life and humanity. He does not falter in the darkness to seek a solution tomany of this problems relating to modes of behaviour or judicial decisionsbecause all these matters are based on the fundamental concept of tawhid.(Noordeen, 2003,hal. 185).
Berdasarkan alasan pentingnya pendidikan aqidah bagi seorang muslim, maka
pendidikan Islam sangat berperan untuk menerapkan pendidikan ini kepada anak-anak,
terutama anak yang belum mencapai dewasa atau baligh. Agar sesuai dengan
perkembangan anak-anak serta sesuai dengan kebutuhan ilmu pengetahuan dan
teknologi, kesenian dan budaya serta perkembangan kebutuhan masyarakatnya. Untuk
itu menurut Yusufhadi Miarsi (2004, hal. 329) perlu adanya usaha yang sengaja
mendidik masyarakat, termasuk murid dan guru agar dapat secara selektif menerima
pesan-pesan media massa yang mereka terima, sejak kanak-kanak, sehingga mampu
menyaring dampak-dampak negatif yang mungkin timbul.
Salah satu titik awal dari itu semua adalah memberikan pendidikan dari segala
seginya, baik berupa pendidikan formal, informal maupun nonformal. Orang tua
mempunyai peranan utama di dalam keluarga dalam membentuk kepribadian anak yang
agamis, beriman dan bertaqwa (Husen Segaf, 1991, hal. 58-59). Sesuai dengan ayat
berikut ini yang terpenting dan terlebih ddahulu keluarga haruslah diutamakan untuk
memeliharanya yaitu : At-Tahrim(66) ayat 6 atau suroh Asy-Syua’ara (26) ayat 214-
215. Sistem keluarga yang dilembagakan oleh Islam bersandar pada pengetahuan yang
mendalam akan elemen-elemen kebahagiaan keluarga serta ikatan dalam lingkup
”psikologi, mental, dan sosial. Ia menuntut untuk memuaskan setiap individu dengan
kebaikan, kasih sayang, kelemahlembutan, serta ketentraman” (Baqir Sharif al Qarashi
2003, hal. ,52).
4
Sejalan dengan itu Islam memandang pendidikan sebagai proses yang terkait
dengan upaya mempersiapkan manusia untuk mampu memikul tugas hidup (taklif)
sebagai Khalifah Allah di muka bumi ini. Untuk maksud tersebut, manusia diberi
potensi manusia untuk mampu mengelola dan mengolah kekayaan alam yang ada
dilangit dan di bumi, bagi kesejahteraan manusia di dunia dan akhirat (Sholeh Iskandar
1992, hal.14). Dalam ayat Al-Qur’an Allah memerintahkan kepada manusia untuk
membaca, maka tidak aneh apabila umat Islam disebut “umat Iqro’, umat ilmu
pengetahuan dan cahaya”.(Hery Noer Aly dan Munzier, 2000,hal. 13).
Dengan ini semua, maka jalan untuk beribadah, memproleh petunjuk menjadi
berbudaya memakmurkan bumi guna melaksanakan tugas hidup dari Allah adalah
dengan ilmu dan pengetahuan yang dijiwai dengan iman (Hery Noer Aly dan Munzier
2000, hal.13). kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi tidak saja membawa pengaruh
positif bagi peningkatan kualitas kehidupan masyarakat Indonesia, tentu saja membawa
pengaruh tidak positif. Sekarang ini masyarakat relatif mudah untuk memperoleh
pangan sandang. Namun di sisi lain kemajuan ekonomi ini pada gilirannya juga telah
melahirkan masalah-masalah baru, seperti kesenjangan sosial yang tinggi antara yang
kaya dan miskin, meningkatnya tindak kriminalitas, seperti pembunuhan dan
perampokan sadis terhadap suatu keluarga, meningkatnya remaja pemakai narkoba,
merosotnya kepedulian sosial masyarakat dan seterusnya.
Dengan kondisi inilah menyebabkan masyarakat mulai melirik kembali kepada
lembaga pendidikan Islam seperti Madrasah atau pondok pesantren atau cara-cara yang
tepat dalam menerapkan materi-materi keislaman agar anak-anak termotivasi untuk
menjalankan dan mentaati ajaran-ajaran Islam ini. Ini semua diyakini dapat menjadi
benteng yang ampuh untuk menjaga kemrosotan moralitas masyarakat dan bangsa.
Sebuah contoh yang riil dalam lintas sejarah sampai sekarang belum nampak santri-
5
santri atau anak-anak pengajian yang tawuran dan mabuk-mabukan setelah pulang dari
belajar dan lainnya.
Dalam mendidik atau memberikan suatu pendidikan banyak hal yang perlu
diperhatikan, namun dari pendidikan dan hasil pendidikan itu tergantung dari beberapa
faktor diantaranya:,” pendidik, anak yang didik, sarana pendidikan dan cara
mendidik”(Ny.Singgih dan Singgih Gunarsa 1992, hal. 131). Dari sekian banyak
metode menurut kesimpulan Abdullah Nashih Ulwan (1988, hal. 2) meteode yang
efektif dan kaedah-kaedah yang influentif dalam membentuk dan mempersiapkan anak
yang menjadi perhatian adalah dengan jalan:
(1 ) pendidikan dengan keteladanan,
(2) pendidikan dengan adat kebiasaan,
(3) pendidikan dengan nasehat,
(4) pendidikan dengan memberikan perhatian, dan
(5) pendidikan dengan memberikan hukuman.
Oleh karena itu dalam usaha membantu pengembangan kedekatan diri anak
dengan nilai-nilai ajaran agama, terutama anak-anak di bawah masa akil baligh, sejak
lahirnya harus diperhatikan apa meteri-materi yang mudah untuk diterapkan dan
pendekatan apa yang cocok yang dapat dioptimalkan oleh para pendidik dapat berupa
orang tua, guru dan masyarakat yang terkategori punya pengaruh terhadap
perkembangan dan pengembangan keagamaannya. Termasuk dalam hal dasar aqidah
yang dilaksanakan oleh orang tua dalam keluarga khususnya anak yang belum baligh.
Walaupun pada awalnya anak yang baru lahir pada dasarnya adalah belum beragama,
tetapi telah mempunyai potensi atau fitrah untuk berkembang menjadi manusia yang
6
beragama. Maka menurut A.Aziz Ahyadi (1991, hal. 40) bahwa ”isi, warna dan corak
perkembangan kesadaran beragama anak sangat dipengaruhi oleh keimanan, sikap dan
tingkah laku keagamaan orang tuanya”.
Untuk itu, keluarga sebagai madrasatul u’la atau lembaga pertama dan utama
sangat menentukan perkembangan keagamaan bagi anak-anaknya, termasuk
perkembangan kegiatan peribadatan, perkembangan keakhlakan dan perkembangan
keimanan dalam arti aqidah yang melekat yang diyakininya pada bentuk kegiatan
ibadah, kegiatan muamalah, dan berbentuk kegiatan akhlaknya.
Dengan memperhatikan alasan-alasan itu, maka penulis akan mempertajam dan
menganalisis dalam uraian dan pembahasan lebih fokus dan mendetil dalam bentuk
penelitian lebih lanjut, terhadap bagaimana pentingnya mengelola dan mengatur dalam
memberikan pendidikan anak-anak yang belum baligh terutama bidang keyakinan
dalam menjalankan ajaran-ajaran agamanya pada usia-usia sebelum baligh dan terbiasa
dan menyatu dalam dirinya ketika dewasanya kelak.
Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana tujuan pelaksanaan pendidikan aqidah pada anak-anak sebelum masa
akil baligh di dalam keluarga muslim ?
2. Bagaimana materi pendidikan aqidah anak-anak sebelum masa akil baligh di dalam
keluarga muslim ?
Batasan Masalah
7
Ruang lingkup yang menjadi penelitian ini adalah menguraikan tentang
pengoptimalisasian manajemen pendidikan aqidah sebagai salah satu pendekatan
dalam mendidik anak-anak sebelum masa akil baligh menurut tinjauan konsep
pendidikan dalam Islam di keluarga yang termaktub dalam al-Quran dan perintah-
perintahnya tentang pentingnya mendidik anak-anak sebelum menjelang dewasa yang
terjadi dalam lingkungan keluarga. Alasan yang pokok menguraikan batas tersebut
adalah karena pendidikan agama, termasuk didalamnya pendidikan aqidah anak-anak
sejak dini bahkan sejak dalam kandungan sangat penting, maka setiap orang dewasa
punya tangung jawab moral yang besar dalam mendidik anak-anak pada perbuatan
yang sesuai dengan ajaran agama dan nilai-nilai ajaran Islam dalam kitab suci al-
Qur’an al-Karim. Kemudian meninjau tentang materi apa yang sesuai dalam
mendidiknya akan dilihat dari kategori perkembangan fisik, psikis, dan perkembangan
keagamaannya sesuai dengan format atau konsep dalam ajaran Islam dan pendapat para
ahli yang berhubungan dengan masalah ini, serta meninjau juga tentang tujuan
pelaksanaan pendidikan aqidah tersebut, kemudian dianalisa dalam pengembangannya
dengan pendapat para ahli pendidik dan kejiwaan sesuai dengan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi yang berkembang ini. Kajian pendidik dimaksudkan dalam
tinjauan ini adalah orang tua atau orang yang dituakan atau orang dewasa lainnya di
dalam lingkungan keluarga muslim.
Pertama, dari sisi tujuan pendidikan aqidah dalam keluarga muslim, penelitian
ini berupaya mengungkapkan fakta tentang tujuan aqidah bagi seorang muslim,
tujuan dan fungsi pendidikan bagi orang tua, serta tujuan pendidikan aqidah bagi
anak-anak.
8
Adapun masa-masa perkembangan anak-anak akan disesuaikan dengan materi
pendidikan aqidah padanya, yang kedua ingin mengungkapkan fakta tentang materi
pendidikan aqidah anak dalam kandungan, materi pendidikan aqidah anak sejak lahir
sampai umur dua tahun, materi pendidikan aqidah anak umur balita (dua sampai lima
tahun), dan materi pendidikan aqidah umur anak enam tahun sampai baligh (15
tahun). Pada setiap masa akan dijelaskan landasan yang mendasari dari ayat-ayat al-
Qur’an dan beberapa hadits, misal hadits tentang anak lahir diazankan, hadits tentang
aqiqah, hadits tentang memberi nama, hadits tentang dihitankan, hadits tentang diajari
anak shalat.
Tujuan Penelitian
Secara khusus tujuan penelitian ini adalah :
(1) untuk mengetahui secara lebih fokus dan mendalam tentang tujuan pelaksanaan
pendidikan aqidah pada anak-anak sebelum masa akil baligh di dalam keluarga
muslim, dan
(2) untuk mengetahui materi pendidikan aqidah anak-anak sebelum masa akil baligh di
dalam keluarga muslim.
Kegunaan Penelitian
Kegunaan penelitian ini terbagi dua yakni kegunaan teoretis dan praktis.
Kegunaan teoretis untuk menambah khazanah ilmu pengetahuan tentang pendidikan
aqidah bagi anak-anak baik di keluarga maupun di luar rumah dan aspek-aspek yang
mempengaruhinya. Kegunaan praktis, hasil penelitian diharapkan akan memberikan
manfaat dan berguna bagi pengelola pendidikan dan para ahli didik pada umumnya
serta bagi kemajuan dalam mentaati ajaran agama bagi setiap muslim sesuai dengan
format-format ajaran Islam dalam al-Qur’an, ditambah juga akan memperkuat iman
9
dalam menghadapi era yang terus berkembang dan menggelobal ini, terutama setiap
keluarga muslim siap dan kokoh pada keimanannya dalam menghadapi era globalisasi
yang tak menentu.
Tinjauan Pustaka
Pengkajian tentang pendidikan prabaligh atau sebelum masa baligh sebenarnya
telah banyak dilakukan oleh para ahli didik baik melalui hasil-hasil karya berupa buku
atau sejenisnya maupun dalam bentuk seminar, diskusi dan sejenisnya. Semuanya
berkesimpulan bahwa anak-anak sejak usia dini perlu diperhatikan dalam
perkembangannya dan pendidikannya, oleh karenanya sangat penting memperoleh
perhatian secara serius. Pada kesempatan ini, akan diungkap berbagai hasil penelitian
tentang pendidikan pada anak-anak di bawah masa akil baligh ini terutama di dalam
keluarga dari beberapa sudut. Di antara beberapa tulisan yang dapat penulis telaah dan
analisis adalah pertama, tulisan Eliya Yulyanti, ”Peranan Orang Tua dalam Membentuk
Tingkah Laku Anak-Anaknya di Bawah Masa Akil Baligh Di Desa Ujung Tanjung
Kecamatan Banyuasin III Kabupaten MUBA”. Skripsi mahasiswa Fakultas Tarbiyah
IAIN Raden Fatah Palembang tahun 1996. Yang pembahasannya pada peranan orang
tua dalam mempengaruhi tingkah laku keagamaannya, dengan sub bahasan yang lain
tentang faktor-faktor penting yang mempengaruhi tingkah laku anak-anaknya itu,
seperti faktor pendidikan orang tua, penghasilan, jenis pekerjaan, keteladanan,
perhatian dan faktor lingkungan sekitarnya.
Kedua, tulisan Buchari yang berjudul, ”Keluarga Muslim dan Peranannya dalam
Menciptakan Aktivitas Keagamaan Masa Remaja”. Skripsi mahasiswa Fakultas
Tarbiyah IAIN Raden Fatah Palembang tahun 1997. Pembahasannya mengenai
aktivitas yang tergolong remaja, bisa dalam arti belum menikah atau belum dewasa
dalam arti umurnya. Aktivitas yang dimaksud dalam penelitiannya adalah aktivitas
10
yang ada hubungannya dengan habluminallah, termasuk di dalamnya, shalat lima
waktu, pengajian al-Qur’an, puasa dan lainya. Dan aktivitas yang berhubungan dengan
habluminannas, seperti mengikuti kegiatan ceramah peringatan hari besar Islam,
remaja masjid dan sejenisnya. Dan yang berhubungan dengan alam sekitarnya, seperti
gotong royong membersihkan lingkungannya. Kemudian dibahas juga tentang metode
yang digunakan oleh orang tua dalam menumbuhkan aktivitas tersebut, yaitu metode
keteladanan, perhatiannya, nasehat-nasehat, memberi sarana pada remaja dan metode
menghukumnya.
Selanjutnya tentang pendidikan anak di bawah masa akil baligh ini juga dibahas
dalam tulisan berupa tesis dan disertasi, antara lain, pertama, tulisan Nurlaili yang
berjudul : ”Pendidikan Keluarga dalam Perspektif Pendidikan Islam”. Tesis mahasiswa
Program Pascasarjana IAIN Raden Fatah Palembang tahun 2006. Dalam
pembahasannya menguraikan tentang keluarga itu perlu memperhatikan pendidikan
akhlak anaknya, pokok-pokok ajaran Islam, membaca al-Qur’an dan pendidikan aqidah
Islamiyah, pada bab yang lain dikaji tentang metode yang akan diterapkan, yaitu
metode keteladanan, pembiasaan, nasehat, perhatian pengamanan, hukuman dan
metode motivasi dan intimidasi. Kemudian dibahas juga tentang tujuan pendidikan
dalam kajian Islam itu, sub kajiannya beriman, bertakwa, berakhlak yang mulia, cerdas,
sehat dan bertangung jawab.
Kedua, tulisan Anwar berjudul : ”Metode Pembinaan Akhlak Mulia Terhadap
Remaja”. Tesis mahasiswa PPs IAIN Raden Fatah palembang tahun 2005. dalam
tulisannya dibahas tentang perlunya melaksanakan pembinaan terhadap reamaja secara
bersama oleh orang tua, guru dan masyarakat. Menurutnya juga dibahas tentang faktor
yang dominan mempengaruhi akhlak remaja, bisa dalam bentuk kegiatan memperbaiki
kegiatan keseharian yang dikategorikan jahat, penanaman nilai-nilai akhlak sejak dini
11
dan terakhir remaja harus melibatkan diri dalam kegiatan keagamaan remaja
kesehariannya.
Ketiga, tulisan Miftahul Huda, ”Model Interaksi Pendidikan Anak Dalam Al-
Qur’an”. Disertasi mahasiswa Program Doktor dalam Program Studi Ke-Islaman PPs
IAIN Sunan Ampel Surabaya tahun 2007. Disertasi ini memfokuskan pada tujuan dan
materi pendidikan, karakter pendidik dan etika anak didik dan metode pendidikan yang
digali dari Al-Qur’an. Obyek penelitiannya mengarah pada kisah-kisah yang memuat
interaksi pendidikan anak, dalam arti yaitu Adam, Nuh, Ibrahim, Ya’qub, Ayarkha,
Hannah, Luqman Al Hakim, Zakaria, dan Maryam. Dan juga dikaji tentang Konsep
Pendidikan anak dalam masyarakat muslim yang didominasi oleh pemikiran pakar
pendidikan Barat, fakta akademik pendidikan dasar yang memperhatinkan dan penuh
dengan krisis dan Al-Qur’an memuat dasar-dasar interaksi pada pendidikan anak.
Metode yang digunakan metode tafsir dengan pendekatan Mawdlu’i dan tahlili. Dalam
penelitiannya, Miftahul Huda menunjukkan bahwa pendidikan anak dalam Al-Qur’an
bertujuan untuk pemberdayaan spiritual anak didik melalui pendidikan aqidah dan
syari’ah. Serta pemberdayaan moralitas personal dan sosial melalui pendidikan akhlak.
Serta model interaksi yang diharapkan yaitu tiga model, model assosiatif, disassosiatif
dan disassosiatif-assosiatif (gabungan anatara keduanya).
Penelitian dalam bentuk skripsi, tesis, dan disertasi di atas, meski membahas
tentang pendidikan anak-anak, namun titik tekan pembahasannya terlihat dari sudut
yang berbeda, ada yang memfokuskan pada pendidikan akhlak pada remaja, ada yang
membicarakan aktivitas keseharian remaja yang dipengaruhi orang tua, dan ada yang
memfokuskan pada metode tertentu dalam menerapkan sikap anak-anak dalam
keluarga saja oleh orang tua. Dan ada juga yang memfokuskan pada penafsiran al-
Qur’an dalam pendidikan anak. Sedangkan penelitian ini titik beratnya terletak pada
12
materi pendidikan aqidah yang dapat membangkitkan ketaatan anak-anak sebagai
muslim pada ketaatan menjalankan perintah agama, dengan cara meninjau bagaimana
sebaiknya konsep yang diterapkan dalam pendidikan aqidah anak-anak ini dalam
keluarga, yang dilihat dari tinjauan cara memanajemen tujuan dan materi yang sesuai
menurut ajaran Islam, dan nantinya dapat dikembangkan menurut al-Hadits dan para
ahli pendidikan dan ahli ilmu jiwa pendidikan.
Untuk itu, setelah membaca dan meninjau beberapa karya di atas, walaupun di
sana sini masih ada kesamaannya, namun untuk pembahasan dalam topik Manajemen
Pendidikan Aqidah Pada Anak-Anak Sebelum Masa Akil Baligh Dalam Keluarga
Muslim (Tinjauan Tujuan dan Materi Pelaksanaan), secara khusus belum penulis
temukan.
Kerangka Teori
Pendidikan aqidah dalam ajaran agama sudah dimulai sebelum seseorang masuk
ke kehidupan dunia ini. Betapa penting dan utamanya pendidikan aqidah ini, telah
dimulai jauh semasa manusia itu masih di alam ruh, yaitu ”alamnya yang paling awal
yang tidak dapat dibatasi dengan waktu atau disebut masa azaly” (A.Rahman Ritonga
2005, hal. 9). Di alam ini calon manusia sebagai ruh dalam keadaan bersih (qudus),
alam di mana tidak ada permusuhan, tidak ada dengki dan dendam, tidak ada yang
berstatus kaya atau miskin, alam tersebut alam yang paling damai dan sentosa.
Oleh sebab itu, sebelum manusia dikirim ke alam rahim untuk seterusnya ke
alam dunia, lebih dahulu diminta kesediaan mereka menandatangi kontrak ketuhanan,
seperti yang diabadikan dalam al-Qur’an, Surat al-A’raf(7) ayat 172-173, sebagai
berikut:
13
)172 ) الأعراف-173:7 /
Artinya: . Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anakAdam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka(seraya berfirman): "Bukankah Aku Ini Tuhanmu?" mereka menjawab: "Betul(Engkau Tuban kami), kami menjadi saksi". (Kami lakukan yang demikian itu) agardi hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah
orang-orang yang lengah terhadap Ini (keesaan Tuhan) "
Atau agar kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya orang-orang tua kami Telahmempersekutukan Tuhan sejak dahulu, sedang kami Ini adalah anak-anak keturunanyang (datang) sesudah mereka. Maka apakah Engkau akan membinasakan kamiKarena perbuatan orang-orang yang sesat dahulu.1[Depag RI, 1989, hal. 250 )
Dalam ajaran Islam, kepercayaan pokok yang lurus diyakini lebih dahulu ialah
bahwa tidak ada Tuhan selain Allah (la’i’la’ha illa’ Allah). Pernyataan ini menunjukkan
bahwa Allah Maha Esa, tidak berserikat dan tidak boleh disyarikatkan dengan yang lain.
Hanya Allah Swt. satu-satunya yang patut dan berhak disembah. Aqidah terhadap
keesaan Allah Swt ini akan melahirkan keyakinan yang mengakui adanya wujud Allah,
sifat-sifat-Nya, hukum-hukum-Nya, dan kekuasaan-Nya. Pokok aqidah ini dengan
sendirinya akan mencakup kepercayaan yang lain, seperti Malaikat-Malaikat-Nya, para
rasul-Nya, kitab-kitab-Nya, hari kebangkitan, dan ketentuan takdir-Nya.( Hasan Mu’arif
Ambarawy, dkk, 2003, hal. 25).
Dalam Al-Qur’an, aqidah diistilahkan dengan iman dan syariat. Iman dan syariat
ini diistilahkan dengan amal shaleh. Keduanya selalu disebut beriringan, umpamanya
1Maksudnya: agar orang-orang musyrik itu jangan mengatakan bahwa bapak-bapak mereka dahuluTelah mempersekutukan Tuhan, sedang mereka tidak tahu menahu bahwa mempersekutukan Tuhan itusalah, tak ada lagi jalan bagi mereka, hanyalah meniru orang-orang tua mereka yang mempersekutukanTuhan itu. Karena itu mereka menganggap bahwa mereka tidak patut disiksa Karena kesalahan orang-orang tua mereka itu.
14
dalam QS,16 : 97, QS,18: 107-108 dan QS,103: 1-3. Ayat-ayat di atas membuktikan
bahwa Islam bukan semata-mata aqidah atau semata-mata syariat, melainkan satu
kesatuan ajaran yang meliputi aqidah dan syariat. Aqidah merupakan pokok ajaran
Islam yang sangat penting dalam ajaran Islam.
Kenapa harus aqidah? Jawabnya adalah karena dengan aqidah anak selamat dunia
dan akhirat, aqidah merupakan modal dasar bagi anak-anak menapaki kehidupan, dapat
dibayangkan apa yang terjadi jika seorang anak tidak mempunyai aqidah yang kuat,
pasti anak-anak itu akan mudah terserang berbagai virus-virus kekejian, kemungkaran,
kemunafikan, dan kemaksiatan kepada Allah, imunitas keimanan anak akan lemah, dan
pada akhirnya anak terjebak dalam kejamnya dunia ini. Terbawa arus deras gelapnya
kehidupan, tenggelamnya dalam kubangan kemaksiatan, kegersangan hidup dan
kesengsaraan batin. (Riwayat, 0n-line,8/06 2009).
Menurut HasanAl-Banna, dalam Musa Sueb (2004, hal. 84) mengatakan bahwa
aka’id (bentuk jamak dari aqidah) artinya beberapa perkara yang wajib diyakini
kebenarannya oleh hatimu, mendatangkan ketentraman jiwa, menjadi keyakinan yang
tidak bercampur sedikitpun dengan keraguan-raguan. Dalam pendapat lain, Abu Bakar
Jabir al-Jazairy mengatakan aqidah adalah ”sejumlah kebenaran yang dapat diterima
secara umum oleh manusia berdasarkan akal, wahyu, dan fitrah. Kebenaran itu
dipatrikan oleh manusia di dalam hati dan diyakini kesalihannya dan keberadaannya
secara pasti, dan ditolak segala sesuatu yang bertentangan dengan kebenaran itu”.(Musa
Sueb 2004, hal. 84).
Berdasarkan dua pengertian aqidah di atas, kesimpulan yang dapat ditarik
menurut Musa Sueb (2004, hal. 85) adalah sebagai berikut:
1.Setiap manusia mempunyai fitrah untuk mengenal adanya Tuhan yangdidukung oleh hidayah Allah berupa indera, akal, agama (wahyu), dan
15
taufiqiyah (sintetis antara kehendak Allah dengan kehendak manusia). Olehkarena itu, manusia ingin mengenal Tuhan secara baik harus mampumemfungsikan hidayah-hidayah tersebut.
2. Keyakinan sebagai sumber utama aqidah itu tidak boleh bercampur tangandengan keraguan.
3. Aqidah yang kuat akan melahirkan ketentraman jiwa.
4. Tingkat aqidah seseorang bergantung pada tingkat pemahamannya terhadapayat-ayat qauliyah dan kauniyyah.
Beberapa konsep tentang aqidah tersebut, betapa pentingnya pendidikan aqidah
itu bagi eksistensi seorang muslim. Dalam memantapkan eksistensi itu peran pendidikan
sangat menentukan, terutama diawali dengan pendidikan keagamaan, walaupun
materinya apa saja., dengan maksud ini istilah pendidikan lebih tepat adalah tarbiyah,
dari akar kata ”rabba”, diartikan pengasuhan, demikian pendapat Naquib al-Attas dalam
Ramayulis (1994, hlm.2) yang pada ahkirnya tertuju pada pengasuhan yang lebih besar
dalam segalanya, ”rabbana” (Tuhannya kita semua). Firman Allah dalam suroh Al-
Isra’ ayat 24 menyatakan bahwa:
24 (/17 )الإسراء:
Artinya: Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh
kesayangan dan ucapkanlah: "Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya,
sebagaimana mereka berdua Telah mendidik Aku waktu kecil".(Depag RI 1989, hal.
428).
Selanjutnya menurut Abdurrahman al-Bani dalam Abdurrahman an-Nahlawi
(2002, hal. 32) bahwa istilah tarbiyah terdiri dari empat unsur:
Pertama, menjaga dan memelihara fitrah anak menjelang baligh.Kedua, mengembangkan seluruh potensi dan kesiapan yang bermacam-macam.
16
Ketiga, mengarahkan seluruh fitrah dan potensi ini menuju kepada kebaikan dan kesempurnaan yang layak baginya.Keempat, proses ini dilaksanakan secara bertahap dan sedikit demi sedikit (an-Nahlawi, 2002, hal. 32).
Oleh karenanya, setiap pendidik dalam arti orang tua, guru dan masyarakat
hendaknya menyadari, bahwa pendidikan bukanlah sekedar mengajarkan pengetahuan,
pengetahuan agama, dan melatih untuk terampil beribadah. Akan tetapi lebih luas dari
itu. Terutama pendidikan agama dan keagamaan, bahwa :
Pendidikan agama hendaknya dapat mewarnai kepribadian anak, sehinggaagama itu, benar-benar menjadi bagian dari pribadinya yang akan menjadipengendali dalam hidupnya dikemudian hari. Untuk tujuan pembinaan pribadiitu, maka pendidikan agama hendaknya diberikan oleh guru yang benar-benartercermin agama itu dalam sikap, tingkah laku, gerak gerik, cara berpakaian,cara menghadapi persoalan dan dalam keseluruhan pribadinya (Zakiah Daradjat1991, hal. 107).
Dalam konsep lain, mengacu kepada pernyataan-pernyataan Rasul Allah SAW,
terlihat bahwa bimbingan yang bersifat efektif adalah bimbingan yang diberikan di
lingkungan keluarga. Dari segi pengertian keluarga muslim terbagi dua kata, yaitu
keluarga dan muslim, secara etimologi keluarga adalah ”satuan kekerabatan yang sangat
mendasar dalam masyarakat” (Depdikbud, 1988, hal. 471). Dalam keluarga itu sendiri
terdapat pilar-pilar utama adalah ”ayah, ibu anak, suami dan istri”(Radhawi 1986,
hal.18). Jadi yang dimaksud dengan keluarga muslim menurut an-Nahlawi (1983, hal.
193) adalah ”sepasang suami istri yang kedua tokoh intinya (ibu dan ayah) berpadu
dalam merealisasikan tujuan pendidikan”.
Dan menurut hasil penelitian mengatakan bahwa yang dominan membentuk jiwa
manusia adalah lingkungan, dan ”lingkungan yang pertama dialami oleh anak-anak
adalah orang tua atau keluarga” (Umar Hasyim 1993, hal. 15). Keluarga sebagai salah
satu dari lapangan pendidikan yang pertama dan utama, maka menurut Jalaluddin
17
(2002, hal.111) tampaknya Islam menekankan rumah tangga sebagai lapangan
pendidikan yang terpenting. Keluarga dinilai sebagai peletak dasar bagi pendidikan
selanjutnya. Setidaknya ada empat tahapan, pertama bimbingan dengan cara belajar
sambil bermain pada jenjang usia 0-7 tahun, kedua tanamkan sopan santun dan disiplin
pada jenjang7-14 tahun, ketiga ajaklah bertukar pikiran pada jenjang usia 14-21 tahun,
dan sesudah itu lepaskan mereka untuk mandiri.
Memperhatikan betapa pentingnya pendidikan keluarga ini. Guru dan
masyarakat ikut juga bertanggung jawab dalam memikul pendidikan, walaupun
sebenarnya sebagai pelimpahan tidak langsung dari orang tua. Maka guru yang
dimaksudkan adalah guru yang profesional, terutama guru pendidikan tingkat bawah
sebagai dasar pendidikan bagi anak. Menjadi guru tidak sembarang orang, maka guru
harus memenuhi persyaratan tertentu, tetapi yang pokok adalah bagaimana kewajiban
dan tugas guru itu dapat mempengaruhi dan membantu perkembangan keberagamaan
anak-anak itu menjadi taat dan terus komitmen pada ajaran agama yang dianutnya.
Imam Gazali, sebagai mana yang dikutip oleh Athiyah al-Abrasyi (1990, hal.150)
bahwa kewajiban yang harus diperhatikan oleh guru, antara lain :
1. Harus menaruh rasa kasih sayang terhadap murid dan memperlakukan merekaseperti perlakuan terhadap anak sendiri.
2. tidak mengharapkan balas jasa ataupun ucapan terima kasih, tetapibermaksud dengan mengajar itu mencari keredhaan Allah dan mendekatkandiri kepada Tuhan (arti luas).
3. berikanlah nasehat kepada murid pada tiap kesempatan untuk menasehati danmenunjuki.
4. mencegah murid dari sesuatu akhlaq yang tidak baik dengan jalan sindiran jikamungkin dan dengan jalan terus terang cara yang halus dan janganmencela, .........
5. jangan ditimbulkan rasa benci pada diri murid mengenai suatu cabang ilmulain selain jurusan pelajarannya sendiri.
6. .....(Athiyah al-Abrasyi 1990, hal. 150).
Sekolah bukan semata-mata mengajar anak-anak membaca, menulis, berhitung,
18
sains, teknologi, sejarah dan seterusnya, tetapi lebih dari itu, mempersiapkan anak-anak
untuk tertarik menjalankan perintah dan ajaran agama dalam hidup dan kehidupannya.
Walaupun materinya sains, sainsnya masih terkembali kepada asalnya, ciptaannya.
Inilah nilai-nilai ajaran aqidah.
Pada sisi lain, masyarakat besar pengaruhnya dalam memberi arah terhadap
pendidikan anak, terutama pendidikan aqidah. Zakiah Daradjat (1996, hal. 46)
memberikan pesan bahwa ”semua anggota masyarakat memikul tanggung jawab juga
dalam membina, memakmurkan, memperbaiki, mengajak kepada kebaikan, memerintah
yang makruf dan melarang yang mungkar”. Demikian Islam menggambarkan perhatian
terhadap pendidikan perorangan dan perhatian juga terhadap pendidikan sosial dan
kemasyarakatan, sehubungan dengan ini Allah Swt. Berfirman, yaitu :
ال) )110: 3عمران/
Artinya: ”Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia,
menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada
Allah. sekiranya ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara
mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik”
(Depag RI 1989, hlm. 94).
Dalam konsep lain, penetrapan pendidikan hendaknya disesuaikan dengan pola
pendekatan yang menarik dan berpengaruh. Sebagaimana dinyatakan, bahwa pendidik
tidak boleh memberi pengaruh kepada anak-anak dengan metode yang hanya akan
merusak fitrahnya. Sikap kebaikan dan kelembutan Nabi SAW mendapat tekanan dalam
Al-Qur’an. Karena, seandainya Nabi berbuat keras hati atau kasar, niscaya para sahabat
19
akan meninggalkan beliau (QS,3 Ali-Imron: 159), Nabi juga diperingatkan agar
merendahkan sayapnya kepada orang-orang mukmin (QS,15 Al-Hijir: 88). Agar dapat
mencapai tujuan pendidik harus dapat menggunakan dan mengelola atau mengatur
pelaksanaan metode yang tepat. Penerapan metode secara bertahap, mulai dari yang
sederhana menuju yang kompleks merupakan prosedur kependidikan yang juga
diperintahkan oleh al-Qur’an.(Abdurrahman Saleh Abdullah 1990, hal. 205). Metode
sebagai cara dalam pelaksanaan pendidikan dalam rangka mencapai tujuan membina
anak-anak agar pandai beribadah dan tetap kokoh keyakinan bergamanya.
Materi pendidikan, sebagai suatu pesan perlu disampaikan kepada orang lain.
Pesan itu dapat berupa ” konsep, maksud atau pendapat yang disampaikan melalui
berbagai media seperti bahasa misalnya; bahasa, tanda-tanda atau alat-alat lain yang
berfungsi serupa” (Zakiah Daradjat, dkk, 2001, hal.111). Untuk itu dapat dimaksudkan
apa itu metode?. Di dalam dunia pendidikan secara sederhana, istilah metode secara
sederhana berarti suatu cara yang harus dilalui untuk menyajikan bahan pelajaran agar
tercapai tujuan pendidikan. Sedangkan menurut kamus Purwadarminta ( 1976 ), secara
umum metode adalah cara yang telah teratur dan terpikir baik – baik untuk mencapai
suatu maksud. Metodologi pengajaran, menurut Zakiah Daradjat (2001, hal. 111)
adalah ”cara-cara yang dapat digunakan guru untuk menyampaikan pelajaran kepada
murid. Cara-cara penyampaian dimaksud berlangsung dalam interaksi edukatif dan
penggunaan berbagai cara itu merupakan upaya untuk mempertinggi mutu pendidikan /
pengajaran yang bersangkutan”. Artinya dalam mencapai tujuan pendidikan, perlu juga
dikelola tentang materi yang sesuai dengan perkembangan dan kemampuan anak dan
metode atau cara dalam penerapannya.
Untuk menentukan pelaksanaan maka perlu ditentukan apa tujuan yang hendak dicapai,
Secara umum, pada hakekatnya tujuan pendidikan Islam adalah ”mencerdaskan akal
20
dan membentuk jiwa yang Islami, sehingga akan terwujud sosok pribadi muslim sejati
yang berbekal pengetahuan dalam segala aspek kehidupan” (Al-Baghdadi, 1996,
hlm.30). Begitu juga dengan rumusan tujuan pendidikan Islam yang diringkas menurut
Arifin (2008, hlm. 64), yaitu ”mewujudkan manusia yang berkepribadian muslim yang
bulat lahiriah dan batiniah yang mampu mengabdikan segala amal perbuatannya untuk
mencari keridaan Allah Swt”.
Pelaksanaan pendidikan dalam keluarga kunci keberhasilannya bila kedua orang
tua dapat mengatur dan mengorganisir pendidikan sesuai dengan petunjuk ajaran dalam
Al-Qur’an. Tuhan menurunkan Al-Qur’an bertujuan untuk memberi rahmat sekalian
alam melalui proses pendidikan atau pengajaran itu. Berhubungan dengan manajemen
dalam kaitan dengan organisasi, dalam hal ini adalah keluarga. Manajemen diartikan
”sebagai proses merencana, mengorganisasi, memimpin dan mengendalikan upaya
organisasi dengan segala aspeknya agar tujuan organisasi tercapai secara efektif dan
efisien”.(Nanang Fattah, 2008, hal. 1). Dalam kegiatan pembelajaran di sekolah,
manajemen berbentuk membuat prencanaan program, melaksanakan program, dan
mengevaluasi program. Dalam hubungannya dengan Al-Qur’an, menurut Mochtar
Effendy (1996, hlm. 34- 40) prinsip dan teknik manajemen yang ada relevansinya
dengan ayt-ayat al-Qur’an, antara lain, 1). Prinsip amar ma’ruf nahi mungkar (Ali-
Imron(3): 110), 2) prinsip kewajiban menegakkan kebenaran (QS, Al-Isro’17: 81, Ali-
Imron(3): 60), 3) prinsip menegakkan keadilan (An-Nisaa’(4): 58, Al-A’raf(7): 29), dan
4) prinsip kewajiban menyampaikan amanat (An-Nisa’(4): 58). Dalam tinjauan ini
manajemen pendidikan dimaksudkan melalui pendekatan prinsip manajemen Islam
yang dipandu oleh nilai-nilai ajaran al-Qur’an.
Demikian selintas, kerangka teori-teori yang dapat dikembangkan dalam
penelitan berikutnya, tentang konsep aqidah dalam ajaran Islam, pendidikan bagi anak-
21
anak, pelaku pendidikan itu sendiri dan lingkungannya, serta pendekatan yang tepat
untuk diterapkan sesuai dengan materi dan perkembangan anak-anak itu sendiri. Serta
bagaimana memenej metode yang sesuai dalam pendidikan aqidah bagi anak-anak agar
mereka kuat dan komitmen pada ajaran Islam dalam al-Qur’an, setelah dewasanya
kelak.
Definisi Konseptual
Berangkat dari permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini, yang berjudul
”Manajemen Pendidikan Aqidah Pada Anak-Anak Sebelum Masa Akil Baligh Dalam
Keluarga Muslim (Tinjauan Tujuan dan Materi Pelaksanaan),”. Maka untuk
menghindari kemungkinan kesalahpahaman terhadap penelitian ini, berikut akan
dijelaskan istilah-istilah yang dipandang penting untuk dijadikan pengangan dalam
kajian penelitian ini lebih lanjut. Namun sebelum didefinisikan secara konseptual dan
operasional dalam arti fokus kajiannya lebih jelas, maka perlu pengertian secara
etimologi (al-lughot) dan terminologi (al-qo,idah), sebagai berikut:
Manajemen diartikan sebagai ”seni penyelesaian dalam mencapai suatu tujuan
dicmana di dalamnya terdapat proses yang meliputi perencanaan (planning),
pengorganisasian (organizing), memimpin dan mengarahkan
(leading/directing/actuating), dan pengendalian (controlling) dengan memberdayakan
semaksimal mungkin seluruh sumber daya yang ada” (http://cahyaulumuddin.multiply.
com/journal, online, 16/3/2011). Di luar dari pengertian itu, manajemen dimaksudkan di
sini adalah bagaimana orang tua mengatur, mengelola, menentukan, menggerakan atau
melaksanakan dan mengentrol proses didikan yang terjadi dalam keluarganya tentang
pendidikan aqidah bagi anak-anak yang belum baligh bidang sajian tentang mengatur
materi didikan dan penentuan tujuan yang hendak dicapai dalam melaksanakan
pendidikan, terutama tentang penguatan akan aqdiah anaknya.
22
Pendidikan Aqidah, di antara pendapat tentang ”Pendidikan adalah usaha
sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar
peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan
spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta
keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat. Bangsa dan negara” (UU Sisdiknas
no.20 tahun 2003). Sedangkan aqidah berarti ”menyimpulkan atau mengikatkan tali dan
mengadakan perjanjian”( .(Hasan Mu’arif Ambarawy, dkk, 2003, hlm. 25). Maksudnya
suatu kebenaran yang diikat oleh hati, sehingga dapat mendatangkan ketentraman jiwa,
tidak mendatangkan keraguan.
Diluar dari arti tersebut sebagai defenisi kajian operasionalnya, di sini
dimaksudkan pendidikan aqidah diartikan pendidikan yang materi-materinya dapat
memperkuat keimanan dan akan menumbuhkan semangat untuk taat dan patuh pada
ajaran agama. Dalam menerapkan pendidikan itu diatur dengan suatu cara yang lebih
baik, yaitu manajemen pendidikan. Manajemen pendidikan aqidah adalah suatu cara
bagaimana mengatur anak-anak yang dilakukan pendidik dalam arti orang tua, atau
orang yang dituakan, atau orang dewasa lainnya untuk menyampaikan materi-materi
dasar ajaran Islam untuk memperkuat keimanannya menurut aturan dalam ayat-ayat
tertentu dalam al-Qur’an.
Anak-anak sebelum masa akil baligh, kalimat itu jika dipisah anak-anak dapat
diartikan kumpulan sejumlah anak. Anak adalah ”seseorang yang berada pada sesuatu
masa perkembangan tertentu dan mempunyai potensi untuk menjadi dewasa” (Wasty
Soemanto 1990, hlm.166). Akil: ”berakal, cerdik, pandai, dan baligh: sampai umur,
cukup umur, akil baligh” (WJS Poerwadarminta 1976, hlm.81). Sedang dalam
pendekatan fiqih, masuknya baligh (dewasa) dapat dilihat salah satu tanda, cukup umur
lima belas tahun, keluar mani bagi laki-laki, mimpi bersetubuh atau keluar headh bagi
23
perempuan (Sulaiman Rasyid,1989, hlm.75). Hampir mirip apa yang dikemukahkan
oleh al-Maghribi (2004, hlm. 357), bahwa balighnya anak-anak itu, ditandai dengan
ihtilam (keluar mani mimipi bagi laki-laki), tumbuhnya bulu kemaluan, mencapai lima
belas tahun dan bagi perempuan ditambah datangnya haidh serta membesarnya buah
dada.
Dalam penelitian ini dimaksudkan anak-anak di bawah masa akil baligh adalah
suatu batas masa anak-anak yang akan memasuki masa pubertas atau masa remaja pada
umumnya umur mereka berkisar antara 13 sampai 15 tahun dan batas mulai atau awal
penelitian ini sejak tahun pertama atau baru lahir bahkan sejak dalam kandungan
menurut perspektif kajian ayat-ayat al-Quran yang dikategorikan berkenaan dengan
masalah ini dan mengenai pokok-pokok ajaran Islam yang dikembangkan oleh para ahli.
Keluarga muslim menurut an-Nahlawi (2002, hlm. 193) adalah ”sepasang suami
istri yang kedua tokoh intinya (ibu dan ayah) berpadu dalam merealisasikan tujuan
pendidikan”. Dari segi pengertian keluarga muslim terbagi dua kata, yaitu keluarga dan
muslim, secara etimologi keluarga adalah ”satuan kekerabatan yang sangat mendasar
dalam masyarakat” (Depdikbud, 1988, hlm. 471). Dalam keluarga itu sendiri terdapat
pilar-pilar utama adalah ”ayah, ibu anak, suami dan istri”(Radhawi 1986, hlm.18).
Dalam penelitian ini, keluarga muslim adalah satuan masyarakat terkecil yang
terdiri dari ayah, ibu, kakek, nenek, orang dewasa lainnya (kerabatnya) dan anak-
anaknya atau anak-kerabatnya yang beragama Islam yang mempunyai komitmen untuk
hidup Islami.
Dengan demikian yang dimaksud dengan manajemen pendidikan aqidah anak-
anak sebelum masa akil baligh adalah kiat-kiat tugas atau kegiatan pendidikan yang
dilakukan oleh para pendidik, dalam hal ini orang tua atau orang yang dituakan di
24
dalam keluarga terhadap anak-anak yang belum baligh untuk membentuk ketaatannya
dalam menjalankan ajaran agamanya secara berkelanjutan atau komit menurut tinjauan
atau kajian penjelasan dalam ajaran Islam dalam al-Qur’an tentang tujuan dan materi
yang disampaikan dalam pendidikan aqidah tersebut.
Metodologi Penelitian
Jenis Penelitian
Berdasarkan tempatnya penelitian dapat dibedakan, yaitu field research
(penelitian lapangan), langsung di lapangan; library research (penelitian kepustakaan),
dilaksanakan dengan menggunakan literatur (kepustakaan) dari penelitian sebelumnya;
dan laboratory research (penelitian laboratorium), dilaksanakan pada tempat tertentu
/seperti laboratorium, biasanya bersifat eksperimen atau percobaan. Maka penelitian ini
ditinjau dari tempatnya jenis penelitian ini adalah tergolong penelitian kepustakaan
(literature) bukan studi lapangan. Studi kepustakaan yaitu suatu upaya yang bersifat
ilmiah dari suatu sumber tertulis yang sudah mapan. Maka peneliti menggunakan
pendekatan deskriptif. Ronny Kountur (2005, hal. 50) memberikan pengertian deskriptif
“sebagai suatu jenis penelitian yang memberikan gambaran atau uraian atas suatu
keadaan sejernih mungkin tanpa ada perlakuan terhadap objek yang diteliti”. Penelitian
ini berkenaan dengan pengelolaan atau manajemen pendidikan aqidah, khususnya bagi
anak-anak sebelum mencapai masa akil baligh yang terjadi dalam keluarga muslim.
Pendekatan Penelitian
Pendekatan penelitian yang penulis gunakan adalah penelitian secara kualitatif.
Penelitian kualitatif adalah penelitian yang menghasilkan prosedur analisis yang tidak
menggunakan prosedur analisis sisitematik atau kuantitatif. Penelitian yang
menggunakan pendekatan naturalistik untuk mencari dan menemukan pengertian atau
25
pemahaman tentang fenomena dalam suatu latar yang berkonteks khusus (Moleong,
2007, hal. 6). Sedangkan menurut Hadi dan Haryono (1998, hal. 18) penelitian kualitatif
yang diutamakan adalah “mendeskripsikan secara analisis suatu peristiwa atau proses
sebagaimana adanya dalam lingkungan alami, untuk memperoleh makna yang
mendalam dari hakekat proses itu”.
Pendekatan kualitatif adalah suatu proses penelitian dan pemahaman yang
berdasarkan pada metodologi yang menyelidiki suatu fenomena sosial dan masalah
manusia. Pada pendekatan ini, peneliti membuat suatu gambaran kompleks, meneliti
kata-kata, laporan terinci dari pandangan responden, dan melakukan studi pada situasi
yang alami. Bogdan dan Taylor (Moleong, 2007. hal. 3) mengemukakan bahwa
metodologi kualitatif merupakan prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif
berupa kata-kata tertulis maupun lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati.
Dalam pendekatan kualitatif ini dapat dilihat beberapa gambaran tentang pandangan
hasil penelitian sebelumnya berupa leteratur tertulis, mengenai pendidikan aqidah dalam
rumah tangga, materi-materi yang diterapkan sesuai dengan kajian pendidikan Islam
dalam keluarga, dan tujuan pendidikan aqidah pada anak-anak dalam
keluarga.Termasuk kajian teoritik tentang pengertian aqidah, pengertian sebelum
baligh, fungsi orang tua dalam keluarga, masalah perkembangan anak-anak atau ruang
lingkup aqidah Islamiyah.
Jenis Data
Jenis dapat dikatakan sebagai macam-macam data yang ada dalam penelitian ini,
sedangkan sumber data dapat dikatakan berbagai referensi baik original maupun
mendekati orisinil. Berikut jenis dan sumber data dalam penelitian ini adalah jenis data
26
kualitatif yang bersumber dari paper berupa hasil karya para ahli berupa kitab-kitab,
buku-buku, majalah, jurnal atau lainnya.
Arikunto (2000, hal. 107) menyatakan bahwa sumber data dapat berupa, person
(sumber data berupa orang), place (sumber data berupa tempat) dan paper (sumber data
berupa huruf, angka, gambar atau simbol-simbol lainnya), Menurut Moleong (2004, hal,
6) penelitian kualitatif adalah “data yang dikumpulkan berbentuk; kata-kata, gambar
dan bukan angka-angka. Penelitian ini dapat bersumber dari naskah wawancara, foto
video tape, dokumen pribadi, catatan atau memo dan dokumen resmi lainnya”. Jadi
jenis data yang digunakan adalah data kualitatif, yaitu data yang berupa dokumen dan
penjelasan-penjelasan atau keterangan dari berbagai sumber yang berkenaan dengan
konsep pendidikan dalam keluarga, perkembangan anak-anak, materi pendidikan
aqidah bagi anak-anak, dan tujuan pendidikan aqidah dalam keluarga.
Sumber Data
Sumber data dalam penelitian ini meliputi data primer dan data skunder.
Menurut Lofland dalam (Moleong, 2007, hal. 157) sumber data utama dalam penelitian
kualitatif ialah ”kata-kata, dan tindakan, selebihnya adalah data tambahan, seperti
dokumen dan lain-lain”. Berkaitan dengan itu pula jenis datanya dapat dibagi ke dalam
kata-kata dan tindakan, sumber data tertulis, foto, dan statistik. Dilihat dari segi sumber,
bahan data yang berasal dari sumber tertulis tidak bisa diabaikan. Sumber tertulis dapat
dibagi atas ” sumber buku dan majalah ilmiah, sumber dari arsip, dokumen pribadi, dan
dokumen resmi” (Moleong, 2007, hal. 159). Adapun sumber data yang tergolong
sumber tertulis adalah ayat-ayat Al-Quran dan Hadits yang berhubungan dengan
Pendidikan aqidah dalam keluarga, buku Abdullah Nashih Ulwan ” Pendidikan Anak
Menurut Islam”, Umar Hasyim, ”Cara Mendidik Anak Dalam Islam ”, Zakiah
27
Daradjat, ”Ilmu Jiwa Agama”,Sahrin dan Hasan Bakti, ”Eksiklopedi Aqidah Islam”,
Abdurrahman an-Nahlawi; ”Prinsip-Prnsip dan Metoda Pendidikan Islam”, Syahidin:
”Menelusuri Meotde Pendidikan dalam Al-Qur’an”, H.M. Arifin; ”Ilmu Pendidikan
Islam”, Jalaluddin; ”Mempersiapkan Anak Saleh”, Yunahar Ilyas; ”Kuliah Aqidah
Islam”, Sayyid Sabiq; ”Aqidah Islamiyah”, Sayyid Naimullah; ”Keajaiban Aqidah :
Jalan terang Menuju Islam Kaffah”, Sayyid Husein Afandy; Memperkokoh Aqidah
Islamiyah”, Rahman Ritonga; ”Akidah: Merakit Hubungan Manusia Dengan
Khaliknya Melalui Pendidikan Akidah Anak Usia Dini”, dan tentang materi apa yang
tepat dalam menerapkan pendidik aqidah tersebut agar mereka taat dalam menjalankan
perintah-perintah agama, kemudian buku-buku atau kitab-kitab yang berhubungan
dengan pendidikan aqidah, materi-materi dalam pendidikan aqidah, tujuan dalam
pelaksanaan mendidik anak-anak bawah masa akil baligh, perkembangan anak-anak ,
dan data tentang pendapat para ahli tentang pembahasan ini.
Dan sumber data skunder adalah data-data yang mendukung dan mempertajam
sumber yang terdapat dalam data primer, dapat berupa buku-buku, majalah, hasil
seminar, jurnal atau pendapat ahli tertentu yang berkaitan dengan topik penelitian ini.
Teknik Pengumpulan Data
Data yang diperlukan dalam penelitian pustaka dalam rangka penulisan karya
ilmiah ini sudah tentu data kualitatif yang sifatnya tekstual dan kontekstual, yaitu
beberapa statemen atau pernyataan serta proporsi-proporsi ilmiah yang telah
dikemukakan oleh para ahli yang berkaitan dengan pendidikan aqidah dan persoalan
lain yang berkaitan dengan itu. Sesuai dengan metode yang diapakai, maka tehnik
pengumpulan data yang tepat diperlukan dalam penelitian Library Research adalah
28
tehnik dokumenter, yaitu dikumulkan dari buku-buku, hasil penelitian sebelumnya,
makalah-makalah, artikel dan sebagainya, baik yang telah dipublikasikan maupun yang
masih diarsip.
Penelitian ini merupakan kategori ”Library Research”. Maka langkah-langkah
yang ditempuh dalam pengumpulan datanya adalah mengidentifikasi ayat-ayat dan
hadits yang berhubungan dengan topik pendidikan aqidah ini, dilanjutkan dengan
pengidentifikasian leteratur-leteratur yang berhubungan dengan topik bahasan ini,
kemudian disusun dan dikelompokan sesuai dengan kebutuhan dalam pembahasannya.
Teknik Pengolahan dan Analisis Data
Analisa data kulitatif adalah “upaya yang dilakukan dengan jalan bekerja dengan
data, mengorganisasikan data, memilah-milahnya menjadi satuan yang dapat dikelola,
mensintesiskannya, mencari dan menemukan pola, menemukan apa yang penting dan
apa yang dipelajari, dan memutuskan apa yang dapat diceritakan kepada orang lain”.
(Moleong, 2007, hal. 248). Hasil kerja dalam menemukan data dokumen-dokumen yang
berkaitan, kemudian akan diverifikasi dengan menggunakan kajian isi (content
analysis)2.
Analisis ini dimaksudkan untuk menganalisa secara mendalam tentang
pelaksanaan pendidikan aqidah dalam Pendidikan Islam, kondisional anak-anak di
bawah masa akil baligh, materi yang tepat dalam penerapan pendidikannya, metode
yang sesuai pada anak-anak tersebut, serta pendapat para ahli tentang masalah ini.
Setelah leteratur- itu semua terkumpul kemudian disusun secara sistematis (hasil
verifikasi), maka data dianalisa secara filosofis, kemudian disajikan dalam bentuk
deskriptif kualitatif, yaitu data disajikan dalam bentuk verbal (kata-kata). Kata-kata
2Content analysis mengambil pendapat Holsti adalah teknik yang digunakan untuk menarik kesimpulanmelalui usaha menemukan karakteristik pesan, dan dilakukan secara obyektif dansistematis(LexyJMoleong 2007,hlm.220)
29
verbal ini diuraikan secara deduktif maupun induktif. Prosedur berfikir induktif adalah
“pengambilan kesimpulan yang dimulai dari pernyataan atau fakta – fakta khusus
menuju pada kesimpulan yang bersifat umum” ( Nana Sudjana, 2004, hal. 7).
Penelitian kualitatif menggunakan analisis data secara induktif. Penelitian
kualitatif tidak dimulai dengan deduksi teori, tetapi dimulai dari jalan empiris. Peneliti
mempelajari, menganalisis, menafsirkan, dan menarik kesimpulan dari fenomena yang
ada. Analisis data di dalam penelitian kualitatif dilakukan bersamaan dengan proses
pengumpulan data. Analisis induktif ini digunakan karena beberapa alasan. Pertama,
proses induktif lebih dapat menemukan kenyataan-kenyataan jamak sebagai yang
terdapat dalam data. Kedua, analisis demikian dapat menguraikan latar secara penuh
dan dapat memuat keputusan- keputusan tentang dapat tidaknya pengalihan pada suatu
latar lainnya dan dapat menemukan pengaruh bersama yang mempertanyakan
hubungan-hubungan.
Untuk itu, agar kajian dapat dipertanggung jawabkan, maka dalam penelitian ini
digunakan metode deskripsi analisis, yakni menganalisa dan mendeskripsikan temuan-
temuan yang didapat. Adapun tahapan-tahapan yang dilakukan sebagai berikut:
Pertama, menganalisis dalil atau landasan ayat-ayat al-Qur’an dan hadits yang
berhubungan dengan format atau materi pendidikan aqidah, terutama terhadap anak-
anak di bawah masa akil baligh sebagai alasan perintah dari ajaran Islam. Kedua,
menganalisis buku-buku, majalah, jurnal, hasil seminar yang berhubungan dengan
materi-materi pendidikan aqidah, perkembangan anak-anak dan faktor yang
mempengaruhinya, makna manajemen pendidikan, dan tujuan yang dapat diterapkan
agar urgen menjadikan anak-anak taat dan komitmen pada ajaran agamanya. Kemudian
ditulis dalam bentuk bab yang telah direncanakan.
30
Teknik Penulisan
Dalam penulisan tesis ini, pedoman penulisan akan menggunakan Pedoman Penulisan
Tesis yang diterbitkan oleh Program Pascasarjana (PPs) Institut Agama Islam Negeri
(IAIN) Raden Fatah Palembang tahun 2005. Dan atau edisi revisi tahun 2010.
Sistematika Penulisan
Untuk memudahkan penelitian, maka disusunlah sistematik dalam penulisan ini.
Adapun sistematika penulisan ini terbagi dalam lima bab.
Bab pertama, Pendahuluan, meliputi : latar belakang masalah, rumusan dan
pembatasan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, tinjauan pustaka, kerangka teori,
definisi operasional, metodologi penelitian, dan sistematika penulisan.
Ban kedua, sajian teoretis tentang pendidikan aqidah, keluarga dan manajemen,
bab ini meliputi, pengertian pendidikan, pengertian aqidah Islam, pengertian anak-anak
sebelum masa akil baligh, pengertian keluarga muslim, ciri-ciri keluarga muslim,
fungsi keluarga dalam Islam, tujuan dan fungsi pendidikan aqidah dalam ajaran Islam,
sumber dan ruang lingkup aqidah Islamiyah, serta makna manajemen pendidikan.
Bab ketiga, tentang tujuan manajemen pendidikan aqidah dalam keluarga pada
anak sebelum baligh, bab ini berisi; tujuan aqidah bagi seorang muslim, tujuan dan
fungsi pendidikan bagi orang tua, serta tujuan pendidikan aqidah bagi anak-anak.
Bab keempat, tentang Manajemen materi yang sesuai dalam pendidikan aqidah
pada anak-anak sebelum masa akil baligh dalam keluarga muslim. Bab ini meliputi,
materi pendidikan aqidah anak dalam kandungan, materi pendidikan aqidah anak sejak
lahir sampai umur dua tahun, materi pendidikan aqidah anak umur balita (dua sampai
31
lima tahun), dan materi pendidikan aqidah umur anak enam tahun sampai baligh (15
tahun).
Bab kelima, simpulan, meliputi kesimpulan dan saran-saran yang diperlukan.
Bab 2PENDIDIKAN AQIDAH, KELUARGA DAN MANAJEMEN
Pengertian Penddikan
Seorang calon pendidik termasuk orang tua atau orang yang dituakan hanya
dapat melaksanakan tugasnya dengan baik, jika memperoleh gambaran yang jelas dan
benar tentang apa yang dimaksud dengan pendidikan. Gambaran itu dapat dikemukakan
dari diantara pendapat tentang pendidikan itu, diantarnya adalah ”Pendidikan adalah
usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran
agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki
kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak
mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat. Bangsa dan negara”(UU
32
Sisdiknas no.20 tahun 2003). Secara sederhana Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia
(Poerwadarminta, 1991, hlm.232), Pendidikan berasal dari kata ”didik”, lalu kata ini
mendapat awalan ”me” sehingga menjadi ”mendidik” artinya memelihara dan memberi
latihan. Dalam memelihara dan memberi latihan diperlukan adanya ajaran, tuntutan dan
pimpinan mengenai akhlak dan kecerdasan. Kemudian kata mendidik menjadi kata
benda menjadi pendidikan. Pendidikan dapat diartikan ”sebagai proses perubahan sikap
dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia
melalui upaya pengajaran dan latihan; proses, perbuatan, cara mendidik”
(Poerwadarminta, 1991, hlm. 232). Selanjutnya dalam perkembangannya istilah
pendidikan berarti ”bimbingan atau pertolongan yang diberikan dengan sengaja
terhadap anak didik oleh orang dewasa agar ia menjadi dewasa” (Ramayulis, 1994,
hlm.1), dalam pengertian yang lain, pendidikan adalah : usaha yang dijalankan oleh
seseorang atau sekelompok orang untuk mempengaruhi seseorang atau sekelompok
orang agar menjadi dewasa atau mencapai tingkat hidup dan penghidupan yang lebih
tinggi dalam arti mental (Ramayulis, 1994, hlm.1). Dengan demikian pendidikan
berarti, segala usaha orang dewasa dalam pergaulan dengan anak-anak untuk memimpin
perkembangan jasmani dan rohaninya ke arah kedewasaan
Pada hakekatnya pendidikan adalah usaha orang tua atau generasi tua untuk
mempersiapkan anak atau generasi muda agar mampu hidup secara mandiri dan mampu
melaksanakan tugas-tugas hidupnya dengan sebaik-baiknya. Orang tua atau generasi tua
memiliki kepentingan untuk mewariskan nilai, norma hidup dan kehidupan generasi
penerus. Ki Hajar Dewantara mengatakan… “… mendidik ialah menuntun segala
kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak agar mereka sebagai manusia dan sebagai
anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-
tingginya” (Aulia, 2002, hlm.11-12).
33
Oleh karena itu, paling tidak defenisi pendidikan yang dicari sesuai dengan
kenyataan di lapangan, misal defenisi lain, pendidikan adalah ”memilih tindakan dan
perkataan yang sesuai, menciptakan syarat-syarat dan faktor-faktor yang diperlukan,
dan membantu seorang individu yang menjadi objek pendidikan supaya dapat dengan
sempurna mengembangkan segenap potensi yang ada dalam dirinya, dan secara
perlahan-lahan bergerak maju menuju tujuan dan kesempurnaan yang diharapkan”
(Ibrohim Amini, 2006,hlm.5).
Telah dipahami kata pendidikan menurut etimologi berasal dari kata dasar didik.
Apabila diberi awalan me- menjadi mendidik maka akan membentuk kata kerja yang
berarti memelihara dan memberi latihan (ajaran). Sedangkan istilah pendidikan dalam
konteks Islam telah banyak dikenal dengan menggunakan term yang beragam, seperti
at-Tarbiyah, at-Ta’lim dan at-Ta’dib. Menurut Hasan Langgulung (1985, hal. 3),
pendidikan dalam arti luas yaitu ”merubah dan memindahkan nilai kebudayaan kepada
setiap individu dalam masyarakat yang baik melalui pengajaran, latihan introveksi diri
( melibatkan orang untuk meniru atau mengikuti apa yang diperintahkan orang lain)”.
Dalam al-Qur’an Allah memberikan sedikit gambaran bahwa at-Tarbiyah mempunyai
arti mengasuh, menanggung, memberi makan, mengembangkan, memelihara, membuat,
membesarkan dan menjinakkan.
Menurut Naquib Al-Atas, (1990, hal. 75) kata yang tepat untuk menunjukkan
pendidikan adalah kata ta’dib, yang merupakan istilah yang paling tepat dan cermat
untuk menunjukkan pendidikan dalam arti Islam. Sekarang mesti disimpulkan bahwa
tarbiyah dalam pengertian aslinya dan dalam penerapan dan pemahamannya oleh orang
Islam pada masa-masa yang lebih dini tidak dimaksudkan untuk menunjukkan
pendidikan maupun proses pendidikan. Penonjolan kualitatif pada konsep tarbiyah
adalah kasih-sayang (rahmah) dan bukan pengetahuan (’ilm). Sementara dalam kasus
34
ta’dib, pengetahuan lebih ditonjolkan daripada kasih-sayang, dalam struktur
konseptualnya ta’dib sudah mencakup unsur-unsur pengetahuan (’ilm), pengajaran
(ta’lim) dan pengasuhan yang baik (tarbiyah). Karenanya, tidak perlu lagi untuk
mengacu kepada konsep pendidikan dalam Islam sebagai tarbiyah, ta’lim dan ta’dib
sekaligus. Ta’diblah istilah yang tepat.
Pada pendapat lain, jika pendidikan Islam, diistilahkan dengan tarbiyah,
pertama, yang berasal dari kata raba yarbu yang berarti :bertambah dan tumbuh,
dalilnya Ar-Rum : 39, kedua jika tarbiyah dari rabiya yarba wazan dari khafiya yakhfa
berarti menjadi besar, ketiga, jika rabba yarubbu dengan wazan madda yamuddu berarti
memperbaiki, menguasai urusan, menuntun, menjaga dan memelihara. (An-
Nahlawi,1992, hlm.31). Dari beberapa pengkajian itu, makna ar-Rabb at-Tarbiyah, yaitu
”menyampaikan sesuatu sedikit demi sedikit hingga sempurna” (An-Nahlawi,1992, hal.
32). Dari ketiga asal itu, Abdurrahman An-Nahlawi, menyimpulkan bahwa pendidikan
(tarbiyah) terdiri atas empat unsur:
Pertama, menjaga dan memelihara fitrah anak menjelang baligh.Kedua, menggembangkan seluruh potensi dan kesiapan yang bermacam-macamKetiga, mengarahkan seluruh fitrah dan potensi ini menuju kepada kebaikan dankesempurnaan yang layak baginya.Keempat, proses ini dilaksanakan secara bertahap, sebagaimana diisyaratkanyaitu sedikit- demi sedikit. (An-Nahlawi, 1992, hal. 32).
Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa pengertian
pendidikan keluarga adalah proses transformasi prilaku dan sikap di dalam kelompok
atau unit sosial terkecil dalam masyarakat. Sebab keluarga merupakan lingkungan
budaya yang pertama dan utama dalam menanamkan norma dan mengembangkan
berbagai kebiasaan dan prilaku yang penting bagi kehidupan pribadi, keluarga dan
masyarakat. Keluarga adalah sebagai unit sosial terkecil dalam masyarakat yang
35
merupakan lingkungan budaya pertama dan utama dalam rangka menanamkan norma
dan mengembangkan berbagai kebiasaan dan perilaku yang dianggap penting.
Pengertian Aqidah Islam
Islam sebagai ”Dien” mempunyai dua dimensi, yaitu ”sebagai seperangkat
keyakinan atau aqidah dan sebagai sesuatu yang diamalkan”.(Sabiq, 2006, hlm.5).
Setiap amal merupakan kelanjutan dan implementasi dari aqidah itu atau aqidah
Islamiyah. Perkataan aqidah berasal dari Bahasa Arab, Menurut HasanAl-Banna, dalam
Musa Sueb (2004, hal. 84) mengatakan bahwa aka’id (bentuk jamak dari aqidah) artinya
“beberapa perkara yang wajib diyakini kebenarannya oleh hatimu, mendatangkan
ketentraman jiwa, menjadi keyakinan yang tidak bercampur sedikitpun dengan
keraguan-raguan”. Dalam pendapat lain, Abu Bakar Jabir al-Jazairy mengatakan aqidah
adalah ”sejumlah kebenaran yang dapat diterima secara umum oleh manusia
berdasarkan akal, wahyu, dan fitrah. Kebenaran itu dipatrikan oleh manusia di dalam
hati dan diyakini kesalihannya dan keberadaannya secara pasti, dan ditolak segala
sesuatu yang bertentangan dengan kebenaran itu” (Musa Sueb 2004, hal. 84). Pada
yang senada, aqidah menurut bahasa ialah keyakinan yang tersimpul kokoh di dalam
hati, mengikat, dan merngandung perjanjian. Sedangkan menurut terminologis di
antaranya pendapat Hasan al-Banna mengatakan bahwa aqidah ialah beberapa hal yang
harus diyakini kebenarannya oleh hati, sehingga dapat mendatangkan ketenteraman,
keyakinan yang tidak bercampur dengan keragu-raguan (Yunahar Ilyas, 2004, hal. 1)
Walaupun demikian dapat ditegaskan lagi bahwa menurut bahasa akidah berasal
dari al-aqdu د) (العق yang berarti “ikatan, kepastian, penetapan, pengukuhan,
pengencangan dengan kuat, dan juga berarti yakin dan mantap” (Al-Aqel, 1996, hal.13).
Sedangkan menurut istilah, terdapat dua pengertian tentang akidah, yaitu pengertian
36
secara umum dan secara khusus. Secara umum, akidah adalah “hukum yang qath’i tanpa
keraguan lagi, baik berdasarkan syar’i (naqli) maupun hasil pemikiran yang sehat (aqli),
seperti i’tikad yang benar atau salah”.(Al-Aqel, 1996, hal.13). Sedangkan secara
khusus, akidah adalah
“pokok-pokok ajaran din (Islam) dan hukum-hukumnya yang qath’i, sepertikeimanan dan mentauhidkan Allah, beriman kepada malaikat, beriman kepadakitab-kitab Allah yang telah diturunkan kepada Nabi dan Rasul-NYa, berimanpada hari akhir (kiamat), beriman pada takdir baik dan buruk dari Allah sertasemua hal yang gaib yang didasarkan pada dalil-dalil yang kuat, juga kewajiban-kewajiban din dan hukum-hukum yang qath’i.” Dengan demikian akidah itumeliputi istilah iman, din, dan Islam dalam segi i’tikad, serta meliputi syariatdalam segi pengamalan. (Al-Aqel, 1996, hlm.14).
Hampir senada dengan pendapat lain yang lebih tegas lagi bahwa aqidah adalah
suatu istilah untuk menyatakan “kepercayaan” atau Keimanan yang teguh serta kuat dari
seorang mukmin yang telah mengikatkan diri kepada Sang Pencipta. Makna dari
keimanan kepada Allah adalah sesuatu yang berintikan tauhid, yaitu berupa suatu
kepercayaan, pernyataan, sikap mengesankan Allah, dan mengesampingkan
penyembahan selain kepada Allah (Kaelany HD, 2009, hal. 65).
Konsep dasar pendidikan Islam yang pertama tauhid beserta pengertian tentang
hakikat, sifat-sifat Allah terhadap individu dan kebiasaanya perlu ditanamkan agar
anak-anak yang dididik dalam langkah keluarga itu menyadari bahwa Allah Maha
Kuasa atas segala sesuatu di dunia dan akhirat. Terhindar dari penyimpangan, dengan
pendidikan tauhid akan tumbuh generasi yang sadar sifat ilahiah. Dalam sebuah
keluarga pelajaran pertama yang diperoleh seorang manusia adalah mencintai,
menghormati, mengerti,, menaruh kesetiaan dan ketaatan, serta melaksanakan nilai-nilai
normal. Karena ajaran yang harus diberikan itu sesuai dengan fitrahnya. Fitrah manusia
adalah untuk mengikuti adanya kekuatan yang maha besar, yang mengukur alam
semesta ini dan menguasai diri.
37
Dalam Al-Qur’an, aqidah diistilahkan dengan iman dan syariat. Iman dan syariat
ini diistilahkan dengan amal shaleh. Keduanya selalu disebut beriringan, umpamanya
dalam QS,16 : 97, QS,18: 107-108 dan QS,103: 1-3. Ayat-ayat di atas membuktikan
bahwa Islam bukan semata-mata aqidah atau semata-mata syariat, melainkan satu
kesatuan ajaran yang meliputi aqidah dan syariat. Aqa’id artinya ” ilmu ikatan
kepercayaan (kebundelaning tekat = Jawa). Karena dalam pengetahuan ini ada pasal-
pasal yang harus diikat, dibuhulkan erat-erat dalam hati kita yang harus menjadi
kepercayaan yang teguh” (Zainuddin, 1996, hal. 3).
Dengan demikian, aqidah adalah keimanan yang mantap pada diri seseorang
sampai pada tingkatan tidak tergoyahkan oleh keraguan-keraguan, yang tertanam dalam
hatinya untuk diikatkan kepada Allah Swt. Atau dengan kata lain segala aktivitas hidup
seseorang dilandasi dengan keyakinan dari dan tertujuh kepada Allah (min ila Allah).
Pengertian dan Fase-Fase Perkembangan Anak-Anak
1. Pengertian dan tanda-tanda anak sebelum baligh
Anak-anak sebelum masa akil baligh. Kalimat itu jika dipisah anak-anak dapat
diartikan kumpulan sejumlah anak. Anak adalah “seseorang yang berada pada suatu
masa perkembangan tertentu dan mempunyai potensi untuk menjadi dewasa” (Wasty
Soemanto, 1990 : 166). Akil berarti ; “berakal, cerdik, pandai”.( WJS.Porwadarminta,
1976: 25). Sedangkan baligh diartikan “sampai umur, cukup umur akil baligh”
(Poerwadarminta, 1976, hal. 73). Di sini maksudnya anak-anak di bawah masa akil
baligh adalah suatu batas masa anak-anak yang akan memasuki masa pubertas atau
masa remaja dan pada umumnya umur mereka berkisar sekitar antara 13 – 15 tahun. ).
Sedang dalam pendekatan fiqih, masuknya baligh (dewasa) dapat dilihat salah satu
tanda, cukup umur lima belas tahun, keluar mani bagi laki-laki, mimpi bersetubuh atau
38
keluar headh bagi perempuan (Sulaiman Rasyid, 1989, hal.75). Hampir mirip apa yang
dikemukahkan oleh al-Maghribi (2004, hal. 357), bahwa balighnya anak-anak itu,
ditandai dengan ihtilam (keluar mani mimipi bagi laki-laki), tumbuhnya bulu kemaluan,
mencapai lima belas tahun dan bagi perempuan ditambah datangnya haidh serta
membesarnya buah dada.
Pada pendapat lain, Dalam perkembangannya, seorang anak akan mengalami
perubahan secara fisik maupun psikis dari masa kanak-kanak menuju dewasa. Di antara
dua masa tersebut, ada masa peralihan, yang biasanya dikenal dengan istilah remaja atau
masa puber. Namun, dalam pandangan Islam status seorang hamba di hadapan syariah
hanyalah diakui dalam dua fase, yaitu fase kanak-kanak dan fase dewasa atau balig.
Adanya perbedaan di antara dua fase ini disebabkan perbedaan dalam hal terbebani
hukum syariah (mukallaf) dan tidak terbebani hukum syariah (ghayru mukallaf).
Seorang yang telah dewasa (balig) dan memiliki akal yang sehat secara otomatis terkena
segala konsekuensi dan bertanggung jawab penuh terhadap seluruh perbuatan yang
dilakukannya. Dia mendapat pahala dengan melakukan perbuatan wajib dan sunnah dan
berdosa ketika meninggalkan perbuatan wajib atau melakukan perbuatan haram.
Adapun anak kecil atau orang dewasa yang tidak sempurna akalnya, tidaklah terbebani.
Inilah makna balig yang sesungguhnya menurut Islam. (Kholidwahyudin,
http://khalidwahyudin.wordpress.com, on-line, 17/06/2010).
Tanda-tanda balig biasanya terjadi ketika anak mencapai usia 10-15 tahun untuk
anak perempuan dan 12-15 tahun untuk anak laki-laki, dengan ciri-ciri tertentu seperti:
tumbuhnya buah dada, bulu-bulu halus pada anak laki-laki, suara yang membesar
hingga terjadi menstruasi (haid) atau bermimpi (ihtilâm). Secara psikologis perubahan
akan tampak pada rasa “ingin dilihat cantik atau jantan”, ketertarikan pada lawan jenis,
emosi yang kadang-kadang meledak-ledak, dll. Namun, ada kalanya balig terjadi pada
39
usia di bawah rata-rata, khususnya pada anak perempuan, yang disebabkan karena
pengaruh hormonal, dan masih dianggap wajar selama telah menginjak usia 9 tahun.
Karena itu, penting bagi orangtua untuk selalu mengamati perkembangan anak-anaknya
dan mempersiapkan segala hal yang dibutuhkan, baik secara fisik, mental, ilmu maupun
amal sehingga saat balig kepribadiaan Islam anak telah terbentuk. Walhasil, anak telah
terlatih untuk mengendalikan pola pikir dan pola sikapnya berdasarkan Islam serta siap
untuk menerima segala konsekuensi syariah yang dibebankan kepadanya. Inilah
pertanggung-jawaban terberat orangtua di hadapan Allah SWT. (Kholidwahyudin,
http://khalidwahyudin.wordpress.com, on-line, 17/06/2010).
Berdasarkan pendapat tersebut, ciri yang pokok masuknya umur baligh ini pada
anak-anak laki-laki timbulnya mimpi dan pada anak perempuan datangnya headl.
Orang yang telah dianggap dewasa dan telah dapat mempergunakan akalnya dengan
sempurna maka secara direktif kepadanya telah dikenakan beban hukum, misalnya telah
wajib shalat puasa dan seterusnya.
Anak-anak sebelum baligh dengan cirri-ciri antara lain, anak pada umur tahun
pertama, pertumbuhannya belum mampu menggunakan fikirannya dan perbendaharaan
kata-katanya masih sangat terbatas dan sederhana serta belum mampu memahami
adanya kata-kata yang abstrak. Pada tahun-tahun kedua anak-anak sudah mulai sedikit
mantap mengenal rasa cinta dan rasa hormat kepada orang tua. Anak yang menginjak
usia 3 – 6 tahun biasanya mulai menyadari kesangat berartian orang tua baginya.
Sehubungan dengan ini sebagaimana yang diungkapkan oleh Alex Sobur (1986, hal. 31)
bahwa :
Anak yang menginjak usia 3 sampai 6 tahun khususnya, mulai menyadariseberapa besar arti orang tua dan berusaha untuk meniru orang tuanya, dalamtindak tanduk maupun watak. Kalau orang tua mengenalkan konsep Tuhan,mereka akan menerima sungguh-sungguh dengan mengenalkannya. Hal itu
40
umumnya sikap orang tua cenderung menekankan sikap-sikap yang berkenaandengan hati mereka bahwa Tuhan itu lemah-lembut, begitu pula sebaliknyaorang tua yang keras akan mengajarkannya bahwa Tuhan itu keras.
Dari pernyataan tersebut bahwa sikap si anak terhadap ayah dan ibunya tetap
mempengaruhi pandangan mereka tentang masalah keagamaan di kemudian hari. Ciri-
ciri masa ketiga yaitu sekitar umur 6 sampai 13 tahun adalah masa intelek. Masa ini
pikiran anak mulai berkembang dan masa ini masa yang selalu berubah, maka perlu
penyalurannya dengan baik. (Umar Hasyim, 1983, hal. 94). Anak masa ketiga ini,
diperkirakan masa sedang aktif mengikuti bangku sekolah Dasar (SD) dan Sekolah
Menengah Tingkat Pertama (SMTP). Dalam hubungan ini orang tua hendaknya dapat
memahami dan menerima anak pada posisinya sendiri menurut perkembangannya tetapi
harus dibawa pengawasan dan control orang tua. Misalnya perhatian dalam hal belajar
mereka, dalam hal bergaulnya dengan teman terutama lawan jenis, sebab ada saja anak
yang memanfaatkan masa mudanya dengan hura-hura menghabiskan waktu dan lainnya.
2. Fase- fase perkembangan anak-anak sampai baligh
Tujuan bimbingan adalah untuk menolong anak didik dalam perkembangan
seluruh kepribadian dan kemampuannya. Hal ini akan memudahkan dalam mencapainya
apabila, ”potensi, pribadi dan segala hal berpengaruh diketahui sebelumnya”
(Soemanto, 1990, hal. 165). Dengan kata lain, agar dapat mendidik anak-anak,
termasuk pendidikan aqidahnya akan mudah dikenal dalam segala aspeknya, termasuk
aspek fase-fase perkembangannya.
Tentang pembagian fase-fase perkembangan anak, tiap-tiap penulis mengajukan
pendapat dengan argumentasinya masing-masing, menurut kepentingan sendiri-sendiri
dan meletakkan titik berat sesuai dengan teorinya pula. Dengan pengertian lain, setiap
41
batas suatu masa atau fase itu tidak mutlak melainkan sekedar mengikuti kebiasaan
umum saja, dengan maksud agar mudah diikuti dalam membahas, mempelajari atau
memahaminya dan mereka tidak mementingkan untuk membedakan tentang kedua
istilah tersebut.
Sudah barang tentu, tidak ada orang menyangkal bahwa perkembangan itu suatu
hal yang berkesinambungan, masalah ini biasanya banyak dipersoalkan oleh para ahli,
pendapat mereka mengenai periodesasi serta panjangnya suatu fase bermacam-macam
juga. Dari pendapat yang bermacam itu secara garis besarnya dapat digolongkan, yaitu:
”berdasarkan biologis, didaktis/pedagogis dan berdasarkan psikologis” (Sumadi S,
1982, hal. 15).
Selain itu, hal kedua yang menyebabkan kesukaran dalam usaha
menghubungkan antara batas umur dan kecakapan anak. Sebab anak selalu dipengaruhi
oleh faktor intern dan faktor ekstern, sehingga sukar untuk menghubungkan kedua hal
tersebut. Dalam hal ini teori tertua tentang fase perkembangan yang cenderung
mengalami nilai biologis yang diketengahkan oleh Aristoteles. Ia membagi fase-fase itu
kepada 7 tahun, sehingga dari masa kanak-kanak sampai dewasa terbagi atas tiga
septennia, yaitu :
”0 – 7 tahun : masa kanak- kanak.
7 – 14 tahun : masa anak sekolah, dan
14 – 21 tahun : masa pubertas (masa menjadi dewasa)”.(Agus Sujanto, 1988,
hlm.59).
Sementara menurut Profesor Khonstamm seperti dikutip, oleh Kartini Kartono
(1990, hal. 30) membagi masa perkembangan dalam beberapa fase, sebagai berikut:
42
a. Masa bayi atau masa vital.
b. masa anak kecil, masa estetis.
c. masa anak sekolah, masa intelektual.
d. masa pubertas dan adolesensi, masa sosial.
e. manusia yang sudah matang .
Menurut Khonstamm, manusia itu selalu dalam proses pembentukan dan
perkembangan, selalu menjadi dan dia tidak kunjung selesai terbentuk. Maka proses
menjadi seorang pribadi itu merupakan tugas yang tak kunjung selesai dalam kehidupan
manusia, untuk itu tugas pendidik dalam hal ini orang tua dapat menentukan kebutuhan
anak-anaknya. Pada pendapat lain, yang hampir senada, fase perkembangan anak dapat
dibagi menjadi, yaitu: ”fase bayi (0 – 2 tahun), fase prasekolah (2 – 5 tahun), fase umur
sekolah (5 – 12 tahun), fase remaja (12 – 18 tahun), fase dewasa” (Simandjuntak dan
Pasaribu, 1986, hal. 56).
Demikian tahap atau fase perkembangan nampaknya cenderung bersifat fisik
atau biologis. Kemudian bagaimana fase perkembangan anak-anak dilihat dari sisi
perkembangan pedagogis atau nilai pendidikan. Dipandang dari segi pedagogis,
pendidikan yang lengkap bagi seseorang itu berlangsung dalam 4 jenjang, (seperti
dikutip oleh S. Suryabrata, 1982, hal. 19) pendapat Cemenius dan pendapat Rousseau
adalah sebagai berikut :
1. 1) Sekolah ibu (scola maternal), untuk anak-anak umur 0,0 sampai 6,0.
2) Sekolah bahasa ibu (scola vernacula), untuk anak-anak umur 6,0 sampai 12,0.
3) Sekolah latin (scola latina), untuk remaja umur 12,o sampai 18,0
43
4) Akademi (academia), untuk pemuda- pemudi umur 18,0 sampai 24,0.
2. 1) Tahap I : 0,0 sampai 2,0 masa asuhan.
2) Tahap II : 2,0 sampai 12,0 masa pendidikan jasmani dan latihan panca indera.
3) Tahap III : 12,0 sampai 15,0 periode pendidikan akal
4) Tahap IV : 15,0 sampai 20,0 periode pendidikan watak dan pendidikan agama.
Tahapan perkembangan berikutnya adalah perkembangan anak-anak
berdasarkan teori kejiwaan atau tahap psikologis, para ahli yang berbicara tentang
perkembangan ini beranggapan, bahwa dalam perkembangan individu pada umumnya
individu mengalami kegoncangan. Masa- masa kegoncangan psikis ini dialami hampir
setiap orang , karena itu dapat digunakan sebagai ancar-ancar perpindahan dari masa
yang satu ke masa yang lain dalam proses perkembangan. Pada umumnya selama
perkembangannya individu atau anak mengalami masa kegoncangan dua kali, yaitu
yang pertama, pada kira-kira tahun ke-tiga atau ke- empat dan yang kedua pada
permulaan masa pubertas.
Berdasarkan atas dua kegoncangan itu, perkembangan individu dapat
digambarkan melewati tiga periode atau masa, yaitu :
1. Dari lahir sampai masa kegoncangan pertama, yang biasanya disebut masakanak- kanak.
2. Dari masa kegoncangan pertama sampai masa kegoncangan kedua, yangbiasanya disebut masa keserasihan bersekolah, dan
3. Dari masa kegoncangan yang kedua sampai akhir masa remaja, yangbiasanya disebut masa kematangan. Umur berapa tepatnya berakhirnya masaremaja itu tidak dapat dikatakan dengan pasti, tetapi umumnya dapatditerima sebagai ancar-ancar pada umur 21,0. (S. Suryabrata, 1982, hlm.21)
Berdasarkan fase perkembangan psikis ini, kelihatannya masa kegoncangan
pertama selesainya masa kanak-kanak umur berkisar 4 tahun dan muncul lagi
44
kegoncangan kedua ketika menjelang anak memasuki masa baligh, sekitar umur
mereka 13 sampai 15 tahun atau istilah lain adalah masa pubertas.
Dari berapa pembagian pertumbuhan dan perkembangan secara biologis,
pedagogis dan psikologis di atas, Islam juga berpendapat bahwa pertumbuhan dan
perkembangan anak itu berlangsung melalui fase demi fase. Firman Allah dalam Al-
Qur’an yang menggambarkan tentang hal itu, yaitu :
(QS,Al-Mukmin(40): 67)QS,Al-Mukmin(QS,Al-Mukmin(40): 67)40): 67))
Artinya: Dia-lah yang menciptakan kamu dari tanah kemudian darisetetes mani, sesudah itu dari segumpal darah, kemudiandilahirkannya kamu sebagai seorang anak, kemudian (QS,Al-Mukmin(40): 67)kamudibiarkan hidup) supaya kamu sampai kepada masa (QS,Al-Mukmin(40): 67)dewasa),kemudian (QS,Al-Mukmin(40): 67)dibiarkan kamu hidup lagi) sampai tua, di antara kamuada yang diwafatkan sebelum itu. (QS,Al-Mukmin(40): 67)kami perbuat demikian) supayakamu sampai kepada ajal yang ditentukan dan supaya kamumemahami(QS,Al-Mukmin(40): 67)nya). (QS,Al-Mukmin(40): 67)Depag, 1989, hal. 7)68).
Menurut Arifin, (QS,Al-Mukmin(40): 67)197)6, hal. 27)) ayat tersebut menunjukkan bahwa
fase-fase perkembangan manusia berlangsung sebagai berikut :
1. Masa emberiyo (QS,Al-Mukmin(40): 67)masa dalam perut ibu).
2. Masa kanak-kanak (QS,Al-Mukmin(40): 67)sejak lahir dari rahim ibu).
3. Masa kuat (QS,Al-Mukmin(40): 67)kuatr jasmani dan rohani atau pikiran).
4. Masa tua
5. Masa meninggal dunia.
Dari beberapa penjelasan tentang perkembangan itu, mempunyai
fungsi bahwa anak-anak yang akan kita didik, terutama di dalam lingkungan
keluarga dapatlah memahami kondisi anak-anak, sehingga tujuan yang
ditentukan akan mudah dikelola dalam rangkan pencapaian tujuan yang
45
diharapkan sesuai dengan perkembangan anak-anak tersebut, begitu juga
dengan penentuan materi dan metode apa yang sesuai dalam rangka
mencapai tujuan-tujuan yang dimaksud dan diharapkan. Dalam hal ini
adalah pendidikan aqidah, yang dapat memperkuat nilai-nilai keimanannya
dan dapat membuahkan dalam betuk ibadah dan amal solehnya. Dalam arti
bisa dan berusaha rajin ibadah, bisa dan berusaha berbuat baik sesama
manusia. Metivasi awal yang harus ditanamkan tentang pendidikan aqidah
harus banyak belajar ilmu-ilmu agama untuk memudahkan pemahaman dan
memperaktekkannya dalam hidup keseharian.
Pengertian Keluarga Muslim
Dari segi pengertian keluarga muslim terbagi dua kata, yaitu keluarga dan muslim,
secara etimologi keluarga adalah ”satuan kekerabatan yang sangat mendasar dalam
masyarakat” (Depdikbud, 1988, hal. 471). Dalam keluarga itu sendiri terdapat pilar-pilar
utama adalah ”ayah, ibu anak, suami dan istri” (Radhawi, 1986, hlm.18). Sedangkan
istilah muslim secara umum telah diketahui yakni ”penganut agama Islam”
( Depdikbud, 1988, hal. 676). Keluarga muslim menurut an-Nahlawi (1983, hal. 193)
adalah ”sepasang suami istri yang kedua tokoh intinya (ibu dan ayah) berpadu dalam
merealisasikan tujuan pendidikan”.
Pada pendapat lain dapat diungkapkan bahwa keluarga adalah ”sebagai tempat
lahir anak dan tempat pertama menerima pendidikan, dengan sendirinya pembentukan
pribadi dan watak terlaksana dalam keluarga ini”,(Arifin, 1976, hal.108). Dari
pengertian di atas dapatlah dipahami bahwa keluarga selain tempat mereproduksi
keturunan juga menjadi tempat merealisasikan berbagai macam pendidikan dengan cara
dan ciri khas yang telah digariskan Islam. Jika keluarga sebagai lembaga pendidikan,
maka secara otomatis dan tanpa persiapan yang matang, anak-anak dapat didik melalui
46
anggota keluarganya. Dalam keluarga inilah tempat meletakkan dasar-dasar
kepribadian, dasar-dasar keyakinan (aqidah) dalam menjalankan ajaran agama, karena
pada usia mudah terutama sebelum sampai baligh terjadi kepekaan terhadap pendidikan
dari orang tuanya dan anggota-anggota keluarganya.
Pada sisi lain, pangkal ketentraman dan kedamaian hidup terletak dalam keluarga.
Mengingat pentingnya hidu[ keluarga yang demikian, maka Islam memandang keluarga
bukan hanya sebagai persekutuan terkecil saja, melainkan kedudukannya lebih dari pada
itu, yakni sebagai lembaga hidup manusia yang memberikan peluang untuk hidup
celaka atau bahagia di dunia dan di akhirat (Zakiah, dkk, 1992, hal. 36). Sesuai dengan
apa yang digambarkan Al-Qur’an Surah A-Rum(30) ayat 21.yaitu :
(QS,Al-Mukmin(40): 67)QS,30: 21)
Artinya: ”dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia
menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu
cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu
rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar
terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir” (QS,Al-Mukmin(40): 67)Depag, 1989, hal. 644).
Ungkapan litaskunu mempunyai cakupan makna yang luas, yaitu
tenang, tenang dalam segalanya, ketenangan fisik, ketenangan pikiran dan
ketentraman jiwa.(QS,Al-Mukmin(40): 67)Aziz,1994, hlm.159), Demikian yang dimaksud keluarga
dalam artian Islam, yang tentunya keluarga yang berdasarkan pada ajaran-
ajaran yang sesuai dengan alQur’an dan hadits-hadits nabi Muhammad
Saw.
47
Reformasi individu untuk kembali mengokohkan diri pada ajaran Islam,
mula-mula akan berpengaruh pada lingkup keluarga. Suami istri yang
menjadi pilar utama keluarga sama-sama saleh, maka keduanya akan
mampu membangun rumah teladan yang berdiri di atas pondasi yang telah
dibangun Islam dan dikokohkannya sedemikian rupa. (QS,Al-Mukmin(40): 67)Al-Jauhari dan
Khayyal, 2000, hal.viii).
Ciri- Ciri Keluarga Muslim
Telah dipahami bahwa secara sederhana keluarga adalah persekutuan yang
terkecil yang terdiri dari ayah, ibu dan anak-anak atau anggota lainnya. Keluarga
mempunyai peranan penting dalam mendidik dan membina bangsa, sebaba dari
keluarga yang rukun dan sehat akan lahir anak-anak yang selalu rukun dan sehat pula,
baik jasmaninya maupun rohaninya dan sehat pula jalur perkembangan aqidah
keislamannya. Dari anak- anak dan anggota keluarga yang sehatlah akan terbentuk
secara menyeluruh suatu bangsa yang sehat, kuat dan kokoh keimanannya.
Keluarga sebagai lembaga pendidikan pertama, tempat anak didik pertama-tama
menerima pendidikan dan bimbingan dari orang tuanya atau anggota keluarga lainnya.
Dalam keluarga inilah tempat meletakkan dasar-dasar kepribadian anak didik pada usia
yang masih muda, terutama anak-anak sebelum baligh., karena masa ini anak lebih peka
terhadap pengaruh dari pendidiknya terutama orang tuanya. Dalam ajaran Islam telah
dinyatakan oleh Nabi Muhammad Saw. dalam haditsnya :
قال النب!ي ص مامن مولود ا لا�الله� عنه هر ير رضي حد يث أبي
سانه كما تنتج ال!هيمة بهيمة رانه أو يمجب دانه أو ينصب يو لد على الفطر ة فأبوا ه يهوب
جمعاء
48
: ”Abuhurairah R.a berkata : Nabi Saw. bersabda : tiada bayi yang dilahirkan melainkan
lahir di atas fitrah, maka ayahbundanya yang mendidiknya menjadi Yahudi, Nasrani,
atau Majusi, sebagai lahirnya binatang yang lengkap sempurna, ... ”(HR. Bukhori
Muslim)(A.Baqi’, tt, hal. 1010).
Jika diperhatikan hadits di atas, bahwa pada waktu lahir anak belum beragama,
ia baru memiliki potensi atau fitrah untuk berkembang menjadi manusia yang beragama.
Maka ruang dan kondisi orang tua di keluarga sangat dibutuhkan, makanya, ”isi, warna
dan corak perkembangan kesadaran beragama anak sangat dipengaruhi oleh keimanan,
sikap dan tingkah laku keagamaan orang tunya” (Ahyadi, 1991, hlm.40), atau
”kesalehan jiwa dan perilaku orang tua memiliki andil besar dalam membentuk
kesalehan anak. Bahkan, akan membawa manfaat bagi anak, baik di dunia maupun
akhirat” (Ibn Al-adawy, 2009, hlm.19). Untuk itu dalam rangka menciptakan keluarga
Islami, maka orang tua terlebih dahulu harus memahami ajaran-ajaran yang Islami,
sebelum anak-anaknya lebih Islami.
Oleh karena itu, menurut Ramayulis (1996, hal. 61) keluarga ikut mendidik
seseorang menjadi ”seht, beradab, tahu sopan santun, serta mempunyai sifat-sifat yang
baik menjadi anggota masyarakat yang cukup dan berguna”. Orang tua yang menyadari
akan mendidik anaknya kearah tujuan pendidikan Islam, yaitu ”anak dapat berdiri
sendiri dengan kepribadian muslim” (Zakiah Daradjat dkk,1994, hal.176). Untuk
menciptakan semua itu maka keluarga yang Islami berkewajiban untuk mendidik anak-
anak dan remajanya pada kegiatan yang bersifat keagamaan dalam kehidupannya
sehari-hari.
Adapun ciri-ciri keluarga muslim menurut Abdurrahman an-Nahlawi (1992, hal.
194-197) adalah ,
49
(1) menegakkan hukum-hukum Allah Swt.,
(2) merealisasikan ketentraman jiwa,
(3) melaksanakan perintah Rasulullah saw., dan
(4) merealisasikan kecintaan kepada anak-anak dan beberapa dampak edukatifnya,
Fungsi Keluarga dalam Islam
Keluarga adalah merupakan suatu unit dan lembaga pertama di dalam
masyarakat. Sebagai suatu unit keluarga mempunyai bermacam-macam masalah yang
penuh dengan keindahan dan kasih saying di dalamnya. Oleh karena itu biasanya setiap
orang yang telah berumah tangga menginginkan putra atau putrinya hadir di
keluarganya yang merupakan dambaan setiap orang dan merupakan karunia Allah di
sampng sebagai amanah dari Allah Swt. Sesuai dengan hadits Rasul berikut,
وعن ابن عمر رضي الله عنهما قال سمعت رسولالله صلى الله عليه و سلم يقول:
جل راع في أهله و مسؤ ل كلكم راع وكلكم مسؤل عن رعيته الإ مام راع ومسؤ ل عن رعيته والر
عن رعيته والمرأة راعية في بيت زوجها ومسئولة عن رعيتها والخادم راع في مال
)متفق عليه(سيد ه و مسؤ ل عن ر عيته فكلكم راع و مسؤل عن رعيته
(Imam Nawawi,1999,hlm.315)
Artinya: Dari Ibnu Umar r.a, ia berkata,”Saya mendengar Rasulullah Saw.bersabda ”Kalian adalah pemimpin dan yang dimintai pertanggungjawabantentang kepemimpinan kalian. Seorang penguasa adalah pemimpin dan akandimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Seorang isteri adalahpemimpin terhadap rumah suaminya dan akan dimintai pertanggungjawaban ataskepemimpinannya. Kamu semua adalah pemimpin dan kamu semua akandimintai pertanggungjawaban akan kepemimpinanmu.(Imam Nawawi, 1999,hlm. 315)
50
Berdasarkan hadits di atas, setiap orang adalah pemimpin sesuai dengan beban
dan wewenang masing-masingnya. Jika keluarga suami dan istri sebagai orang tua
kepemimpinannya terutama terhadap pendidikan dan masa depan anak-anaknya sangat
diutamakan.
Sebelumnya, apa itu orang tua, Orang tua menurut bahasa berarti “orang yang
sudah tua, ibu dan bapak, orang yang dianggap tua (pandai cerdik, pandai). .....”
(WJS.Porwadarminta, 1976, hlm. 688). Jadi kalau kita gabungkan orang tua, yaitu
sekelompok manusia yang telah dianggap dewasa dan mempunyai tanggung jawab
untuk memelihara dan mengasuh anak-anaknya atau anggota keluarganya. Melihat dari
pengetian di atas maka orang tua mempunyai peranan yang tidak boleh diabaikan
terhadap pendidikan anaknya.. Maka orang tua ibu dan ayah memegang peranan yang
penting dan amat berpengaruh atas pendidikan anak-anaknya (Zakiah Daradjat,dkk,
1992, hal. 35).
Orang tua merupakan pendidik utama dan pertama bagi anak-anaknya, seperti
yang dikemukahkan oleh Karim Hamzah (1993, hal. 47) bahwa “pengaruh paling kuat
di antara berbagai pengaruh itu adalah faktor kedua orang tua”. Untuk itu jika orang tua
atau ayah bersikap yang kaku, keras, bingung, dan tidak berpendirian, maka sikap-sikap
ini akan berpengaruh dalam pembinaan anak-anak (Dwa Ketut Sukardi, 1987, hal.158).
Orang tua mana yang tidak mengharapkan anak-anaknya tumbuh sempurna. Namun
pada kenyataannya sedikit sekali orang tua yang menjadikan rumahnya sebagai tempat
pendidikan. Semuanya diserahkan hanya kepada sekolah. Tentu saja hal itu disebabkan
karena kebanyakan orang memahami pendidikan itu adalah sekolah fomal, di mana
harus ada kegiatan tutorial dengan guru yang berdiri di depan kelas. Sayang sekali,
seperti yang diungkapkan oleh Bob Samples (2002, hal. 5) bahwa, “Dari ratusan
peristiwa yang terjadi dalam satu hari, tiap-tiap peristiwa sesungguhnya dapat
51
mengembangkan kemampuan kita untuk lebih mengenal diri kita sendiri dan juga
dunia”. Seharusnya kita belajar dari anak-anak. Samples mengatakan, bahwa jarang
sekali kita melihat bayi bosan. Bagi mereka, dunia dan setiap menit yang dialaminya
terisi oleh kekaguman dan pesona. Mereka dapat memandang dengan takjub seberkas
sinar yang menerobos dinding di atas buaian. Kadang-kadang mereka menghabiskan
waktu berjam-jam untuk mengamati dengan cermat jari-jari mereka atau sudut selimut
yang menutupi tubuh mereka. Orang dewasa yang mampu mempertahankan kualitas
belajar ‘anak-anak’ yang penuh antusiasme itu adalah mereka yang menganggap
kehidupan ini sebagai forum belajar tertinggi. Tentu berseberangan dengan kebanyakan
orang yang menganggap pembelajaran adalah kegiatan formal yang dilembagakan,
seperti sekolah atau perguruan tinggi, arena seminar, training-training, dan juga buku-
buku. Sementara pengalaman diri dan pribadi yang terjadi sehari-hari tidak dianggap
sebagai hasil pembelajaran bagi perkembangan anak-anaknya di rumah tangga.
Kalau dianalisa kelihatannya, memang banyak hal yang luput dari pembelajaran di
sekolah, dan justru hal-hal yang mendasar-lah yang hilang dalam kurikulum di sekolah.
Tentang konsep diri, konsep hidup, konsep ketuhanan, dan juga kemandirian yang
justru merupakan materi yang paling mendasar tidak bisa diperoleh di sekolah, sehingga
mau tidak mau orang tua-lah yang harus memberikannya di rumah. Jika tidak, maka kita
pun bisa melihat, keseharian anak-anak kita sekarang ini kebanyakan adalah kegiatan
permainan yang penuh dengan main-main, sehingga kadangkala hampir ritinitas nonton
dan ngobrol yang tak pernah habisnya dari pada sedikit waktu meluangkan kegiatan
belajar baginya. .
Sebuah hasil penelitian di Amerika yang dipaparkan kembali oleh Syaikh Abdul
Hamid Jasim Al-Bilali dalam bukunya berjudul Seni Mendidik Anak ( 2000, hal. 49-50)
cukup mencengangkan. Sejak pertama masuk sekolah hingga tamat sekolah menengah
52
seorang anak menghabiskan waktu 12.000 jam. Dalam tempo yang sama, seorang anak
menghabiskan waktunya di depan TV selama 18.000 jam. Kebersamaan anak dengan
orang tua mereka rata-rata menghabiskan waktu 3.200 jam, di mana 1.200 jam
dihabiskan oleh orang tua dan anak-anaknya untuk berebut dan kadang-kadang
bertengkar menentukan acara-acara TV pilihan mereka masing-masing. . Waktu luang
yang mereka miliki lebih banyak dipergunakan untuk mengobrol dengan kawan dan
kenalan di luar rumah. .
Mengkaji kedua hasil penelitian itu, Al-Bilali menegaskan, seandainya orang tua
mau meluangkan waktunya satu jam saja secara rutin dan disengaja setiap hari bersama
anak-anaknya, untuk menanyakan masalah atau curahan hati mereka, menanamkan
nilai–nilai kebaikan, atau sekedar bermain dan bercanda dengan mereka, jauh lebih baik
daripada menghabiskan banyak waktu bersama mereka dengan hal-hal yang tidak
bermanfaat. Kalau bukan di rumah, di mana lagi pusat pembentukkan nilai-nilai
kebaikan itu? Tidak ada. Karena sesungguhnya sebagian besar waktu hidup seseorang
bermuara di rumah, sehingga karakteristik seseorang pun lebih banyak di bentuk di
rumah. Bagi mereka yang masih memiliki anak-anak balita, terutama anak-anak yang
belum menjelang baligh kesempatan emas masih begitu terbuka. Anak-anak dengan
potensinya yang masih brilian itu bisa diarahkan secara aktif untuk mempelajari apa
pun, sehingga mereka memiliki kemampuan yang optimal di masa dewasanya.
Melihat kenyataan tersebut, bahwa tugas orang tua bukan sekedar merawat saja,
tetapi berusaha membina dan menata pribadi anak melalui penanaman nilai-nilai Islam
pada perbuatannya. Sebagai orang tua hendaknya berusaha agar mereka kenal dan
laksanakan dan kita tuntun sesuai dengan kemampuan kita sebagai orang tua. Selain itu
hendaknya orang tua berusaha sebagai contoh tauladan bagi kpribadian hidup si anak
53
dengan nilai-nilai Islam. Namun secara umum menurut Baqir al-Qarashi (2003, hal. 50).
fungsi keluarga adalah :
1. Keluarga berkewajiban memberi dan memuaskan anak-anak dengan suasanajiwa yang lurus guna memenuhi berbagai kebutuhan sosial serta biologismereka. Keluarga yang memproduksi anak-anak tidak ada bedanya denganhewan.
2. Keluarga bertanggung jawab melatih anak-anak untuk berkumpul danmengidentifikasi nilai-nilai serta berbagai kebiasaan masyarakat.
3. Keluarga bertanggung jawab melengkapi anak-anak dengan berbagai saranakomposisisi personal dalam masyarakat.
4. Keluarga bertanggung jawab menjamin ketenangan, perlindungan, sertasimpati pada anak-anak sampai mereka dewasa. Keluarga meruapakanlembaga paling ahli yang dapat mengusahakan hal demikian, sebab merekamenerima anak-anak lebih dahulu, sementara lembaga sosial yang lain tidakdapat menggantikan mereka dalam hal ini.
5. Keluarga harus memberikan porsi yang besar pada pendidikan akhlak,emosi, serta agama anak-anak di sepanjang tingkat usia yang berbeda-beda.Mereka sepenuhnya bertanggung jawab dalam pendidikan agama anak-anak.
Salah satu titik awal dari itu semua adalah memberikan pendidikan dari segala
seginya, baik berupa pendidikan formal, informal maupun nonformal. Orang tua
mempunyai peranan utama di dalam keluarga dalam membentuk kepribadian anak yang
agamis, beriman dan bertaqwa (Husen Segaf, 1991,hlm. 58-59). Orang tua adalah
merupakan kepala keluarga. Keluarga adalah persekutuan hidup terkecil dari
masyarakat, dan negara yang lebih luas. Maka “pangkal ketenteraman dan kedamaian
hidup adalah terletak di dalam keluarga masing-masing baik menyangkut hubungan
keduniaan maupun masalah yang berhubungan dengan kehidupan akhirat” (Arifin,
1976, hal. 74).
Maka dari itu untuk pertama orang tua harus mengetahui fungsinya sebagai
orang tua dalam membina kepribadian dan tingkah laku anak-anaknya. Menurut ajaran
Islam orang tua fungsinya yaitu :
“1. orang tua berfungsi sebagai pendidik keluarga.
54
2. orang tua berfungsi sebagai pemelihara serta pelindung keluarga” (Arifin,
1976 , hal. 75 ).
Dalam mendidik anak-anak orang tua selain di keluarga dapat mengembangkan
pendidikan terhadap anak-anaknya ke pendidikan yang lebih lengkap sejak dari Taman
Kanak-Kanak sampai ke Perguruan tinggi. Sebab pendidikan itu sangat penting. Sebab
pendidikan itu penting. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Ahmad D.Marimba (1986
,hlm. 31) bahwa pendidikan adalah “bimbingan dan pertolongan secara sadar yang
diberikan oleh pendidik kepada si terdidik dalam perkembangan jasmaniah dan rohaniah
kea rah kedewasaan dan terbentuknya kepribadian muslim”.
Oleh karena itu, keselamatan masyarakat pada hakekatnyha bertumpuh pada
keselamatan keluarga. Demiukian Islam memerintahkan agar orang tua berlaku sebagai
pemimpin dan pemelihara serta berkewajiban untuk menyelamatkan bagi keluarganya,
sebagaimana ayat di atas mengajarkan,yaitu :
(QS,Al-Mukmin(40): 67)QS,66: 6)
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan
keluargamu dari siksa api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan
batu, penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak
mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka
dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan (QS,Al-Mukmin(40): 67)Depag. 1989: 951).
Anak-anak dalam perkembangannya banyak mengalami perubahan-perubahan
yang tidak seirama, seperti anak yang menjelang akil baligh atau memasuki usia puber.
Maka dalam menghadapi itu semua, menurut Najib KhalidAl-Amir (1994, hal.130)
55
Islam mengajarkan terutama kepada para pendidik atau orang tua untuk mengambil
sikap-sikap sebagai berikut .
1. Mengetahui secara optimal perubahan-perubahan yang terjadi pada anak-anakmereka yang sedang puber dengan melakukan pengamatan yang jeli.
2. Mengarahkan mereka untuk selalu pergi ke masjid sejak kecil sehinggamemiliki disiplin naluiah dan andil yang potensial dalam lingkuingan yangrabbaniah. Jika seorang pemuda anjurkan untuk membiasakan shalatberjama’ah dan membaca al-Qur’an.
3. Membuka dialog dan menyadarkan mereka akan status sosial mereka.
4. Menanamkan rasa percaya diri pada diri mereka dan siap mendengarkanpendapat-pendapat mereka.
5. Menyarankan agar menjalin persahabatan dengan teman-teman yang baik.Sikaptersebut tepat menjadi perisai positip dan menjauhkan mereka sifat danperbuatan yang nista.
Jika anak-anak biasa mendengarkan perkataan yang buruk, maka dia pun ikut
mengatakan kepada teman sepermainannya, demikian pula sebaliknya, perkataan dan
perbuatan yang baik yang dilihatnya mempengaruhi pula si anak itu. Sehubungan
dengan itu tentunya setiap orang tua berharap agar anak-anak tumbuh dengan baik,
maka peranan orang tua dalam mengukir jiwa anaknya sangat menentukan sekali. (Alex
Sobur, 1986 : 29). Dan hampir senada dengan yang dikatakan oleh E.G.White seorang
penulis wanita, yang dikutip oleh Henry Siahan mengenai peranan ibu dalam
pendidikan keluarga, “Bahwa Tuhan telah memerintahkan supaya keluarga menjadi
tempat pendidikan yang paling ampuh dan penting dari semuanya” (Henry Siahaan,
1986, hal. 1).
Dari kenyataan itu, pendidikan rumah tangga anak harus dimjlai. Maka anak itu
harus belajar segala pelajaran yang akan dipimpin dan dituntun sepanjang hidupnya,
yaitu “pelajaran-pelajaran tentang penghormatan, penurutan, pengendalian diri dan
kejujuran”. (Henry Siahaan, 1986, hal.1). Dan tak terlupakan akan pelajaran-pelajaran
56
keagamaan tentang cara makan dan minum, cara berpakaian, cara bersikap terhadap
teman dan orang lain, juga tentang belajar al-Qur’an, diajak shalat berjama’ah dimujlai
di rumah terdahulu dan seterusnya, bahkan cara memasuki kamar kecilpun harus
diajarkan.
Untuk itu hendaknya orang tua harus pandai tentang cara mendidik dan harus
mengerti tentang ciri-ciri khas setiap umur yang mereka lalui. Islam mengajarkan untuk
menanamkan jiwa agama sejak si anak lahir. Misalnya setiap anak yang lahir mesti di
azankan, ini berarti pengalaman pertama yang diterima anak adalah kalimat suci dari
Tuhannya. Jiwa inilah yang perlu orang tua tanamkan selama orang tua berperan di
lingkungan keluarga sebagai pendidik utama dan pertama. Maka orang tua dapat
meletakkan pendidikan bagi anaknya tentang belajarnya, hiburannya dan kebutuhan-
kebutuhan lainnya. Inilah yang dimaksud orang tua sebagai madrasatul u’la’.
Oleh karenanya, betapa pentingnya tugas dan fungsi rumah tangga dalam
pendidikan keagamaan bagi anak-anaknya. Melalui rumah, anak-anak menerima
berbagai tradisi, praktik-praktik, keyakinan, sifat-sifat, seni, sejarah serta berbagai
kemenangan bangsa mereka melalui rumah. Kenakalan anak merupakan konsekuensi
wajar dan tak terhindarkan akibat keretakan rumah tangga. Ada lebih dari satu peran
yang dimainkan rumah dalam proses pendidikan (al-Qarashi,2000, hlm.53). Betapa
pentingnya keluarga, Rasul Allah Saw mengajarkan, fungsi dan peran orang tua bahkan
”mampu untuk membentuk arah keyakinan anak-anak mereka. Menurut Beliau, setiap
bayi yang dilahirkan sudah memiliki potensi untuk beragama, namun bentuk keyakinan
agama yang akan dianut anak sepenuhnya tergantung dari bimbingan, pemeliharaan,
dan pengaruh kedua orang tua mereka” (Jalaluddin, 2009, hlm. 282).
57
Tujuan dan Fungsi Pendidikan Aqidah Dalam Ajaran Islam
Secara umum, pada hakekatnya tujuan pendidikan Islam adalah ”mencerdaskan
akal dan membentuk jiwa yang Islami, sehingga akan terwujud sosok pribadi muslim
sejati yang berbekal pengetahuan dalam segala aspek kehidupan” (Al-Baghdadi, 1996,
hal. 30). Begitu juga dengan rumusan tujuan pendidikan Islam yang diringkas menurut
Arifin (2008, hal. 64), yaitu ”mewujudkan manusia yang berkepribadian muslim yang
bulat lahiriah dan batiniah yang mampu mengabdikan segala amal perbuatannya untuk
mencari keridaan Allah Swt”.
Untuk meletakan jalur pondasi yang kuat dalam menuju tujuan itu, pendidikan
aqidah sangat didahulukan dalam memperkokoh muslim yang tangguh sebagai
pengabdi Allah Swt. yang dapat memakmurkan bumi ini. Pondasi awal itu, mulai
ditanamkan sejak dini dalam keluarga setiap muslim sebelum anak-anak menjelang
baligh atau dewasa.
Secara ilmu, aqidah atau tauhid adalah ilmu yang memberikan bekal-bekal
pengertian tentang pedoman keyakinan hidup manusia, di dalam mengarungi samudera
dan gelombang hidup. Secara kodrati manusia diciptakan Allah di dunia ini,
berkekuatan berbeda antara manusia satu dengan yang lain. Tidak sedikit manusia di
dalam mengarungi samudera hidup yang luas itu, kehilangan arah dan pedoman,
sehingga ia menjadi sesat. Di situlah ilmu tauhid berperan untuk memberi pedoman dan
arah, agar manusia selalu tetap sadar akan kewajibannya sebagai makluk terhadap
Penciptanya (Zainuddin, 1996, hlm. 8).
Oleh karena itu tujuan dari ilmu tauhid dan keyakinan bagi umat Islam menurut
Zainuddin (1996, hal. 9-10) adalah sebagai berikut.
1. Agar kita memperoleh kepuasan batin, keselamatan dan kebahagiaan hidup didunia dan akhirat, sebagaimana yang dicita-citakan. ....
58
2. Agar kita terhindar dari pengaruh akidah-akidah yang menyesatkan, yangsebenarnya hanya hasil pikiran atau kebudayaan semata-mata, atau hasilperubahan yang dilakukan terhadap ajaran seorang Nabi dan Rasul yangsebenarnya. Sedangkan tujuan perobahan itu semata-mata politik, sehinggakarenanya di dunia ini selalu terjadi perebutan pengaruh di antara penganutagama-agama yang berbeda-beda. Di satu pihak ingin menyebar luaskan sertamempertahankan kebenaran dan kejujuran dalam beregama, di lain pihak inginmempertahankan pengaruhnya dalam masyarakat. ...
3. Agar terhindar dari pengaruh faham-faham yang dasarnya hanya teorikebendaan (materi) semata. Seperti kapitalisme, komunisme, sosialisme,meterialisme, kolonialisme dan sebagainya yang semuanya itu bertujuan hanyamengumpulkan dan memperebut harta.
Suatu kepercayaan yang merupakan implikasi dari kebenaran yang tinggi adalah
agama. Dan aqidah merupakan dasar-dasar kepercayaan dalam agama yang mengikat
seseorang dengan persoalan-persoalan yang prinsipil dari agama itu. Islam mengikat
kepercayaan umatnya dengan tauhid., yaitu keyakinan bahwa Alloh itu Esa. Tauhid
merupakan aqidah Islam yang menopang seluruh bangunan keislaman seeorang. Ia tidak
hanya sebatas kepercayaan, melainkan keyakian yang mempengaruhi corak
kehidupannya. Keyakinan mendorong seseorang untuk konsisten dan berpegang teguh,
bahkan sanggup menyerahkan segenap hidupnya bagi keyakinan itu. Dengan
menjadikan aqidah Islam sebagai satu-satunya asas bagi kehidupan seorang muslim,
yang dimulai dari rumah tangga muslim, termasuk dalam ”cara berfikir, berkehendak,
sehingga setiap tindakannya terlebih dahulu diukurnya dengan aqidah Islam sebagai
dasarnya” (A. AlBaghdadi,1996, hal. 27). Sesuai dengan Firman Allah dalam Suroh
Yunus ayat 101, yaitu:
(QS,Al-Mukmin(40): 67)QS,10 : 101)
Artinya: Katakanlah: "Perhatikanlah apa yang ada di langit dan di
bumi. tidaklah bermanfaat tanda kekuasaan Allah dan Rasul-rasul yang
memberi peringatan bagi orang-orang yang tidak beriman" (QS,Al-Mukmin(40): 67)Depag, 1989,
hlm.322).
59
Berdasarkan ayat di atas, nyata bahwa Allah menjadikan keimanan
kepada-Nya atau yang dinamakan aqidah Islam sebagai dasar seorang
muslim untuk memastikan sesuatu hukum atas segala sesuatu yang ada di
sekelilingnya, baik itu yang ada di langit maupun di bumi tunduk kepada
hukum dan kekuasaan Allah Swt. Kepercayaan tertinggi dalam Islam adalah tauhid
di mana segenap hidup seorang muslim diserahkan kepada Allah. Penyerahan ini
melahirkan ketentraman dan ketenangan hidup, inilah fungsi aqidah yang diharapkan.
Lebih jauh mengenai aqidah ini Sayyid Sabiq (2006, hal.21) merumuskan tujuan
yang penting bahwa aqidah merupakan ruh bagi setiap orang untuk berpegang teguh
padanya agar hidup dalam keadaan baik dan mengembirakan dan terhindar dari liku-
liku kehidupan yang sesat. Hal ini dimaksudkan bahwa aqidah berarti mengikatkan hati
dan perasaan dengan suatu kepercayaan yang tidak bisa di tukar lagi dengan yang lain,
sehingga jiwa dan raga, fikiran dan pandangan hidup terikat kuat kepadanya, dalam hal
ini aqidah Islamiyah.
Keyakinan yang menopang seluruh perilaku dalam hubungannya dengan Tuhan dan
dengan makhluk lain. Dalam hubungan dengan Tuhan, aqidah memberi kejelasan
tentang Tuhan yang disembahnya sebagai dzat yang Maha Kuasa, satu-satunya Dzat
yang wajib disembah yang di Tangannya nasib seluruh makhluk ditentukan.
Dalam hubungan dengan makhluk lain atau manusia. Keyakinan tauhid ini menjadi
dorongan utama untuk bergaul dan berbuat baik serta berbuat maslahat bagi manusia
dan makhluk lainnya. Dorongan keyakinan ini akan sanggup meniadakan segala pamrih
duniawi dan balas jasa dari kebaikan yang ditanamkan terhadap manusia lain. Seorang
muslim berbuat baik semata-mata keyakinan bahwa Alloh menyuruhnya untuk berbuat
baik, sehingga apapun yang dia peroleh akibat dari perbuatannya akan diterimanya
dengan penuh kesadaran dan lapang dada. Dalam perilaku ini lahir perbuatan ikhlas
60
yang merupakan fenomena perilaku seorang muslim yang taat. Aqidah dapat dilihat
peranannya dalam berbagai sendi dan aspek kehidupan seorang muslim serta memiliki
implikasi terhadap sikap hidupnya. Implikasi dari aqidah itu antara lain dapat dilihat
dalam pembentukan sikap, misalnya sebagai berikut (Etika Nurhasanah,
http//www.dpudt-jogia.org....../on-line/17-06-2010).
1. Penyerahan secara total kepada Allah dengan meniadakan sama sekali kekuatan
dan kekuasaan di luar Allah.
2. Keyakinan kepada Allah, menjadikan orang memiliki keberanian untuk berbuat,
karena tidak ada baginya yang ditakuti selain melanggar perintah Allah.
3. Keyakinan dapat membentuk rasa optimis menjalani kehidupan, karena keyakinan
tauhid menjamin hasil yang terbaik yang akan dicapainya secara ruhaniah, karena
seorang muslim tidak pernah gelisah dan putus asa, ia tetap berkiprah dengan penuh
semangat dan optimis.
Itulah tujuan utama pandidikan aqidah pada anak-anak muda. Yang pada prinsipnya
tetap optimis menjalani hidup dengan tetap bekerja dan berusaha keras, tetapi jangan
lupa kuatkan dan keraskan juga keyakinan akan menjalankan ajaran-ajaran Islam dalam
bentuk amal sholeh dalam hidup keseharian anak-anak.
Sumber dan Ruang Lingkup Aqidah Islamiyah
Yang dimaksud dengan sumber-sumber aqidah Islam adalah metode yang harus
ditempuh dalam menetapkan muatan-muatan aqidah Islam. Metode inilah yang telah
ditempuh kaum salaf dalam menetapkan substansi aqidah ilahiyah.(Ibrohim, tt, hlm.
12). Menurut Ibrohim Muhammad bin Abdullah Al-Buraikan (hlm. 12) ada tiga sumber
aqidah Islam, yaitu ”Al-Qur’an, As-Sunnah dan Akal Sehat”. Sementara Yunahar Ilyas
61
sumber aqidah Islam itu ada dua, adalah Al-Qur’an dan Sunnah. Artinya apa saja yang
terdapat dan disampaikan oleh Allah dalam Al-Qur’an dan oleh Rasulullah dalam
Sunnahnya wajib diimani, diyakini dan diamalkan (Yunahar Ilyas, 1995, hlm. 6).
Adapun dalil aqal atau akal pikiran lanjut Yunahar, tidaklah menjadi sumber aqidah,
tetapi hanya berfungsi untuk memahami nash-nash yang terdapat dalam kedua sumber
tersebut dan mencoba, kalau diperlukan untuk membuktikan secara ilmiah kebenaran
yang disampaikan oleh Al-Qur’an dan Sunnah.
Kita semua harus menyadari bahwa kemampuan akal sangat terbatas, sesuai
dengan terbatasnya kemampuan semua makhluk Allah. Akal tidak akan mampu
menjangkau masail ghaibiyah (masalah ghaib), bahkan akal tidak akan mampu
menjangkau sesuatu yang tidak terikat dengan ruang dan waktu. Misalnya akal tidak
akan mampu menjawab pertanyaan kekal itu sampai kapan ? Atau akal tidak akan
mampu menunjukkan tempat yang tidak ada di darat, di udara, di lautan dan tidak ada di
mana-mana. Karena kedua hal tersebut tidak terikat dengan waktu dan ruang. Oleh
sebab itu, akal tidak boleh dipaksakan untuk memahami alam ghaib tadi. (Yunahar,
1995, hlm. 7).
Jika kita menggunakan pengertian yang sama antara ketauhidan, akidah, dengan
keimanan, maka materi ketauhidan sama dengan materi keimanan. Konsep yang
penyusun gunakan ialah konsep Yunahar Ilyas yang membagi materi ketauhidan
menjadi empat, selain beliau juga membagi ruang lingkup ketauhidan kepada rukun
iman, yang memiliki 6 unsur (Yunahar, 2004, hal. 4) yaitu terbagi menjadi empat yakni:
1) Ilahiyat, 2) Nubuwat, 3) Ruhaniyat, dan 4) Sam’iyyat.
Ilahiyat, yaitu pembahasan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan Ilah
(Tuhan, Allah) seperti wujud Allah, nama-nama dan sifat-sifat Allah, af’al Allah dan
lain-lain. Nubuwat, yaitu pembahasan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan
62
Nabi dan Rasul, termasuk pembahasan tentang Kitab-Kitab Allah, mu’jizat, keramat
dan lain sebagainya. Ruhaniyat, yaitu pembahasan tentang segala sesuatu yang
berhubungan dengan alam metafisik, seperti Malaikat, Jin, Iblis, Syiathon, Roh daan
lain sebagainya. Sam’iyyat, yaitu pembahasan tentang segala sesuatu yang hanya bias
diketahui lewat sam’I (dalil naqli berupa al-Qur’an dan Sunnah seperti alam barzakh,
akhirat, azab kubur, tanda-tanda kiamat, surga neraka dan lain sebagainya (Yunahar,
2004, hal. 6).
Masalah dan inti keimanan kepada Allah adalah agar mengesakannya dan
melaksanakan ajaran dan syari’at-syari’at-Nya yang digariskan dalam dinul- Islam. Al
Ghazali (dalam Hamdani dan Fuad, 1998, hal. 240) menjelaskan bahwa pembinaan
ketauhidan diperlukan 4 hal pokok yakni :
1. Makrifat kepada dzat-Nya.
2. Makrifat kepada sifat-sifat-Nya.
3. Makrifat kepada af’al-Nya.
4. Makrifat kepada syari’at-Nya.
Di samping sistematika di atas, pembahasan aqidah bisa juga mengikuti
sistematika arkanul iman (6 rukun iman), yaitu : Iman kepada Allah SWT, Iman kepada
Malaikat (termasuk pembahasan tentang makhluk rohani lainnya seperti jin, iblis dan
syaithan), Iman kepada kitab-kitab Allah, Iman kepada Nabi dan Rasul, Iman kepada
Hari Akhir, dan Iman kepada Taqdir Allah.
Jika aqidah dikaitkan dengan disiplin ilmu, ilmu aqidah membahas beberapa tema
dan pokok pembahasan, seperti :
Tauhid, Iman, Islam, ghaibiyah, nubuwah, taqdir (qadha dan qadar), akhbar(kehujahan hadits Ahad dalam masalah aqidah dan lain-lain), pkok-pokok dalil
63
hukum yang bersifat tegas dan pasti (ushulul ahkam al-qath’iyyah), seluruhaqidah dan pokok-pokok ajaran Islam yang lain, seperti imamah, sikap terhadappara sahabat, amar ma’ruf nahi munkar dan jihad fi sabilillah, bantahan terhadapahli bid’ah, ahlul hawa’ (pengikut aliran dan pemikiran menyimpang) danberbagai aliran maupun kelompok sesat lainnya, serta sikap Ahlus Sunnahterhadap mereka (Abu Fatiah dan Abu Aisyah (editor), tt, hal. 5).
Penjelasan di atas, tidak memberi ruang penjelasan yang lebih rinci tentang
ruang lingkup aqidah Islamiyah. Ini menunjukan bahwa materi-materi tersebut dapat
dikenalkan dan dipahami serta dapat dilaksanakan dalam lingkungan pendidikan
keluarga. Bentuk –bentuk ibadah, seperti shalat, belajar al-Qur’an, atau perintah
menghintan anak dan lain-lainnya seperti tersebut di atas, secara tidak langsung dapat
membantu pendidikan anak-anak bidang aqidah sekaligus terpadu dengan bidang
ibadahnya, bidang mu’amalat dan bidang akhlaknya. Keterpaduan itulah yang titik
awalnya adalah menguatkan dan mengkokohkan bangunan ke-islaman anak-anak yang
pondasi awalnya adalah aqidah yang kuat dan benar.
Makna Manajemen Pendidikan
1. Makna Manajemen
Manajemen sering diartikan sebagai ilmu, kiat dan profesi. Dikatakan sebagai
ilmu, karena manajemen dipandang sebagai suatu bidang pengetahuan yang secara
sistematik berusaha memahami mengapa dan bagaimana orang bekerja sama. Dikatakan
sebagai kiat karena manajemen mencapai sasaran melalui cara-cara dengan mengatur
orang lain menjalankan dalam tugas. Dipandang sebagai profesi karena manajemen
dilandasi oleh keahlian khusus untuk mencapai suatu prestasi manajer, dan para
professional dituntun oleh suatu kode etik (N. Fattah, 2008, hal. 1). Pada dasarnya teori
manajemen mempunyai peran atau membantu menjelaskan prilaku organisasi yang
berkaitan dengan “motivasi, produktivitas, dan kepuasan (satisfaction)”(Fattah, 2008,
hal. 11).
64
Manajemen diartikan sebagai “seni penyelesaian dalam mencapai suatu tujuan
dimana di dalamnya terdapat proses yang meliputi perencanaan (planning),
pengoganisasian (organizing), memimpin dan mengarahkan (leading
/directing/actuating), dan pengendalian (controlling) dengan memberdayakan
semaksimal mungkin seluruh sumber daya yang ada” (http://cahyaulumuddin.
multiply.com/journal, online, 16/3/20011) Praktek manajerial adalah kegiatan yang
dilakukan oleh manajer atau pemimpin istilah dalam pendidikan. Apabila manajemen
dipandang sebagai serangkaian kegiatan atau proses, maka proses itu akan mencakup
bagaimana cara mengkoordinasikan dan mengintegrasikan berbagai sumber untuk
mencapai tujuan organisasi, yaitu kepuasan pelanggan yang melibatkan orang, teknik,
informasi dan struktur yang telah dirancang (N. Fattah, 2008, hal. 13).
Islam mengajarkan kepada setiap umat manusia untuk mencari ilmu. Dengan
demikian upaya tersebut tidak terlepas dari pendidikan, dan tujuan pendidikan tidak
akan tercapai dengan baik secara optimal tanpa adanya manajemen atau pengelolaan
pendidikan yang baik. Termasuk pengelolaan pendidikan di keluarga.
(T.Katono,http:/blog.binadarma.ac.id/muhammadinah/…online, 12/3/2011).
2. Hakekat Tujuan Manajemen Pendidikan
Tujuan utama manajemen menurut Shrode Dan Voich dalam (Nanang Fattah,
2008, hal. 15) menyebutkan bahwa tujuan utama manajemen adalah “produktifitas dan
kepuasan”. Secara khusus lagi tujuan dari manajemen menurut pendekatan analisa Islam
adalah “membangun sebuah peradaban berdasarkan kepada nilai-nilai etika tauhid,
dengan begitu manajemen harus pada waktu yang sama, memastikan penghapusan
kebusukan, kejahatan, dan ketidakadilan (al-fasad) untuk menetapkan keadilan (‘adl)
baik dalam organisasi-organisasi seperti juga di dalam masyarakat. Sasaran akhir dari
65
manajemen adalah untuk mencapai kebahagiaan (al-falah). (Hasan 1992,
http;//www.azuarjuliandi.com/index,.. online, 16/3/2011).
Untuk lebih fokus dapat dijelaskan sebagai berikut :
Meningkatkan produktivitas
Produktivitas dapat digambarkan dalam dua pengertian yaitu secara teknis dan
finansial. ”Pengertian produktivitas secara teknis adalah pengefesiensian terutama
dalam pemakaian ilmu dan teknologi. Sedangkan pengertian produktivitas secara
financial adalah pengukuran produktivitas atas output dan input yang kuantifikasi”.
(H.R. Soetisna, 2000, hal. 1). Menurut Paul Mali definisi produktivitas adalah ukuran
yang menyatakan seberapa hemat sumber daya yang digunakan di dalam organisasi
untuk memperoleh sekumpulan hasil (Linda, 2000, hal. 1). Maka produktivitas
mengandung makna "keinginan" dan "upaya" manusia untuk selalu meningkatkan
kualitas kehidupan di segala bidang. Produktivitas sebagai sikap mental (Attitude of
mind) yang mempunyai semangat untuk melakukan peningkatan perbaikan.
Sikap mental itu akan tumbuh dan berkembang, setelah dimanajemen dengan
baik oleh manajer atau pimpinan atau kepala sekolah dan guru jika di sekolah, serta
orang tua jika di keluarga. Secara umum di dunia pendidikan, Menurut Miarso (2009),
dalam meningkatkan produktivitas pendidikan, ada tiga hal yang dapat dilakukan, yaitu:
memperlaju pentahapan belajar, membantu guru untuk menggunakan waktunya secara
lebih baik, dan mengurangi beban guru dalam menyajikan informasi, sehingga guru
dapat lebih banyak membina dan mengembangkan kegiatan belajar anak didik. Apa
yang digambarkan tersebut, peningkatan produktivitas pendidikan di sekolah formal,
bagaimana dengan orang tua di keluarga. Keluarga pada prinsipnya dapat mengatur
66
fungsinya memelihara, menjaga dan mengatur keluarganya sesuai dengan
kemampuannya.
Meningkatkan kepuasan pelanggan (kualitas).
Sejak perkembangannya, manajemen di dunia pendidikan tujuannya diarahkan
pada peningkatan kualitas proses dan kualitas hasil pendidikan. Sejalan dengan itu,
manajemen pendidikan diarahkan untuk meningkatkan kepuasan atas penyelenggaraan
pendidikan yang diterapkan. Secara operasionalnya tujuan manajemen pendidikan
adalah tercapainya tujuan pendidikan secara efektif dan efisien. Dalam hubungan
dengan penelitian ini peningkatan kepuasan pelanggan dalam arti tercapainya proses
didikan dengan baik yang dimotori oleh orang tua terhadap anak-anak atau anggota
keluarganya lainnya, dan tercapainya hasil didikan yang ditunjukkan oleh anak-anak
menjadi muslim yang yakin pada ajaran Islam dan mantap dan kokoh keimanan atau
aqidahnya.
3. Prinsip Manajemen Pendidikan Islam dalam Keluarga
Dalam ajaran Islam, segala sesuatu pada prinsipnya tak boleh dilakukan secara
asal-asalan melainkan harus dilakukan secara rapi, benar, tertib, dan teratur serta setiap
proses-proses juga harus diikuti dengan tertib. Sebenarnya manajemen dalam arti
mengatur segala sesuatu agar dilakukan dengan baik, tepat dan tuntas merupakan hal
yang disyariatkan dalam ajaran Islam.Sebab dalam Islam tujuan yang jelas harus
dilandasi dengan kokoh dalam barisan yang teratur. Sesuai dengan makna Firman Allah
Swt. Ash-Shaf (61) ayat 4, yaitu :
61:4 /(الصا ف
67
Artinya: Sesungguhnya Allah menyukai orang yang berperang
dijalan-Nya dalam barisan yang teratur seakan-akan mereka seperti
suatu bangunan yang tersusun kokoh (QS,Al-Mukmin(40): 67)Depag, 1989, hal. ).
Setiap organisasi, termasuk pendidikan keluarga memikliki
aktivitas-aktivitas pekerjaan tertentu dalam rangka mencapai tujuan
organisasi. Salah satu aktivitas tersebut adalah manajemen
pengelolaan pendidikan tentang masalah aqidah yang dapat
menambah kemantapan keyakinan beragama pada ajaran Islam.
Ketika manajemen dipandang dari pendekatan tauhid dimaksudkan
adalah “pemenuhan perjanjian dasar (amanah) antara Tuhan dan
manusia , dimana manusia merupakan abdi atau pelayan Tuhan dan
wakilnya di bumi (khalifah) yang melaksanakan perbuatan-perbuatan
saleh (QS,Al-Mukmin(40): 67)amal saleh) berdasarkan prinsip-prinsip kerjasama dan
konsultasi (QS,Al-Mukmin(40): 67)shura)”. (QS,Al-Mukmin(40): 67)A.Juliandi, http://www.azumjuliandi.com./indet,...
Online, 16/3/2011).
Manajemen diperlukan dalam segala bidang, termasuk
manajemen keluarga dalam mengelola pendidikan anak-anaknya.
Orang tua sebagai manajer suatu organisasi dalam keluarga. Lebih
berhubungan lagi orang tua adalah sebagai pendidik. Pendidik itu
sendiri adalah “orang yang memikul tanggung jawab untuk
membimbing”(QS,Al-Mukmin(40): 67)H. Langgulung, 1986, hal. 17)6).
Pelaksanaan pendidikan dalam keluarga kunci keberhasilannya bila kedua orang tua
dapat mengatur dan mengorganisir pendidikan sesuai dengan petunjuk ajaran dalam Al-Qur’an.
Tuhan menurunkan Al-Qur’an bertujuan untuk memberi rahmat sekalian alam melalui proses
68
pendidikan atau pengajaran itu. Berhubungan dengan manajemen dalam kaitan dengan
organisasi, dalam hal ini adalah keluarga. Manajemen diartikan ”sebagai proses merencana,
mengorganisasi, memimpin dan mengendalikan upaya organisasi dengan segala aspeknya agar
tujuan organisasi tercapai secara efektif dan efisien” (Nanang Fattah, 2008, hal. 1).
Untuk itu prinsip manajemen dapat diterapkan oleh orang tua dalam keluarga. Orang
tua dapat menerapkan prinsip perencanaan, pengorganisasian, penggerakan atau pelaksanaan,
penganggaran, dan prinsip pengendalian atau pengentrolan.
69
Bab 5
SIMPULAN DAN SARAN - SARAN
Simpulan
Dari beberapa uraian –uraian dan analisa pembahasan bab-bab terdahulu, maka
dapat diambil beberapa kesimpulan :
1. Dalam menerapkan pendidikan aqidah dalam keluarga dapat ditentukan tujuan yang
diharapkan, yaitu: pertama, tujuan aqidah bagi muslim adalah (1) aqidah berfungsi
sebagai landasan dan acuan seluruh ajaran Islam yang mereka yakini, (2) aqidah
sebagai pembentuk atau pemotivasi akan kesalehan umat Islam, (3) aqidah sebagai
penyelamat atas keyakinan atau ajaran yang menyimpang, (4) aqidah sebagai
penentu keyakinan yang benar atau salah dan penentu muslim atau bukan muslim.
Kedua, Tujuan Melaksanakan Pendidikan aqidah bagi orang tua, adalah (1) aqidah
dapat menimbulkan optimisme dalam hidup untuk mencari kebutuhan, (2) aqidah
dapat menimbulkan sikap disiplin hidup dalam melaksanakan hubungan dengan
Allah dan hubungan dengan sesama. Ketiga, tujuan pendidikan aqidah bagi anak-
anak adalah (1) anak-anak mengenal dan paham ajaran Islam, (2) anak-anak trampil
dan taat beribadah, (3) anak-anak kuat dan kokoh aqidah ke-islamannya.
2. Keluarga sebagai lembaga pendidikan utama dan pertama bagi anak-anak, perlu
menjadi perhatian setiap orang tua untuk menyusun dan mengaturnya dengan baik.
materi tersebut memang sesuai dengan perkembangan anak-anak. Materi itu adalah :
pertama, materi pendidikan aqidah dalam kandungan, yaitu memperbanyak
makanan yang bernilai halal dan baik dalam arti selalu menjaga nilai gizi dan
kesehatan sambil menjaga kondisi kejiwaan seorang ibu dan ayah dari calon janin
sangat berpengaruh bagi perkembangan janinnya sampai lahir. Dan selalu
70
memperbanyak berzikir dan berdo’a kepada Allah agar calon anak mendapat
kebaikan sampai lahirnya. Kedua, materi pendidikan sejak lahir sampai umur 2
tahun, yaitu : sikap bergembira atas kelahiran anak, mengazankan dan
mengiqamatkannya, pemberian nama yang baik, mengaqiqah anak, dan terakhir
penyusuan penuh.Ketiga, materi pendidikan aqidah anak balita sekitar umur 3
sampai 5 tahun, yaitu : mengenalkan kalimat toiyibah, melaksanakan khitanan,
mengenal dan belajar al-Qur’an, mengenal dan belajar shalat, mengenal dan belajar
puasa dan sedekah. Keempat, materi pendidikan aqidah anak enam sampai baligh
sekitar umur 15 tahun, yaitu : menanamkan rasa taat beribadah, mengenal dan
melaksanakan hukum halal dan menghindari yang haram, mengenal dan mencintai
Rasulullah, mengenal dan mempercayai rukun iman, dan mengenal dan
mempercayai peristiwa ghaib dan rahaniyat lainnya.
Saran – saran
Meningat yang menjadi subjek dalam penelitian atau pembahasan ini, terutama
ditujukan kepada orang tua dalam keluarga atau orang yang ikut membantu
penyelenggaraan berdirinya suatu keluarga, maka dalam kesempatan ini penulis
sementara hanya dapat menyarankan :
1. Kepada pihak orang tua untuk selalu siap sedia memfasilitasi dan mengatur akan
pendidikan agama bagi anak-anaknya, sebab dengan pendidikan agama yang materi-
materi yang diajarkan, dicontohkan, atau disuruh orang lain akan dapat memperkuat
keimanan anak-anak sebagai pondasi awal dalam membentuk bangunan ke-islaman
anak-anak tersebut. Kondisi inilah yang membuat orang Islam siap dan dapat
menghadapi era yang terus-menerus berkembang dengan globalisasi dunia yang tidak
menentu.
71
2. Hendaknya orang tua harus mampu menjadi teladan bagi anak-anaknya, serta
memiliki wawasan keislaman yang integral tentang wawasan materi tentang aqidah
atau ketauhidan, akhlak dan masalah ibadah. Selain itu juga harus memahami tentang
kondisional anaknya, berupa masalah pertumbuhan dan perkembangan anak-anak
dan bagaimana cara mendidiknya, yang biasa disebut metode.
3. Kepada rekan-rekan mahasiswa atau peneliti lainnya, masih banyak peluang untuk
meneliti kembali masalah pendidikan dalam keluarga terutama, dari sisi lainnya
misalnya tentang tujuan pendidikan selain aqidah. Atau peluang lain melihat
pendidikan aqidah yang tercermin dalam dunia pendidikan di sekolah, atau
pendidikan aqidah yang tercermin dalam masyarakat muslim yang sangat Islami itu.
72
REFERENSI
Abdullah, A Saleh 1990, Teori-Teori Pendidikan Berdasarkan Al-Qur’an, RinekaCipta, Jakarta.
Abdul Baqi’, M.Fuad, tt, Al-lu’lu’ wal Marjan, Terjemahan: Salim Bahreisy, Jilid 2,Bina Ilmu, Surabaya.
Abdul Hafizh, Muhammad Nur 1988 , Mendidik Anak Bersama Rasulullah, Al-Bayan .Kairo
Ahyadi, A.Aziz 1991, Psikologi Agama, Sinar Baru, Bandung.
A.Juliandi, http://www.azumjuliandi.com./indet,... Online, 16/3/2011)
Al-Abrasyi, M.Athiyah 1990, Dasar-Dasar Pokok Pendidikan Islam,(diterjemahkanoleh Bustomi dan Djohar), Bulan Bintang, Jakarta.
Al-Adnani, Abu Fatiah, Abu Aisyah Abdurrahman (editor), tt, Buku Pintar Akidah,Roemah Buku, Sukoharjo.
Al-Adawy, Syaikh Musthafa 2009, Fikih Pendidikan Anak: Membentuk kesalehan anaksejak dini, (Penerjemah: Umar Mujahid dan Faisal Saleh), Qisthi Press, Jakarta.
Al-Arusi, A.Aziz 1994, Menuju Islam Yang Benar (Nahwa Al-Islami Al-Haq Buhutsunfi Al-Qurana al-Karim Tudli’i haqiqat al-Islam: Penerjemah: Said Agil Husin Al-Munawar dan Hadri Hasan), Cv.Toha Putra, Semarang.
Al-Amir, Najib Khalid, 1994, Tarbiyah Rasulullah, Gema Insani Press, Jakarta.
Al-Atas, Syed M.Al-Naquib 1990, Konsep Pendidikan Dalam Islam,(Penerjemah;Haidar Baqir), Mizan, Bandung
Albaghdadi, Abdurrahman 1996, Sistem Pendidikan di Masa Khilafah Islam, Al-Izzah,Surabaya.
Al-Buraikan, Ibrohim M.Abdillah, tt, Pengantar Studi Aqidah Islam, alih bahasa : AnisMatta, Al-Manar, Jakarta.
Al-Bilali, Syaikh Abdul Hamid Jasim. 2000. Seni Mendidik Anak. Al-I’tishom Cahaya Umat.Jakarta.
Al-Hasyimi, Sayyid Ahmad 2007, Syarah Mukhaarul Ahaadiits, (Penerjemah dansyarah :Anwar, A.Abu Bakar dan Ii Sufyana), Sinar Baru Algensindo, Bandung.
Al-Jauhari, Mahmud Muhammad dan M.Abdul Hakim Khayyal, 2000, MembangunKeluarga Qur’ani Panduan Untuk Wanita Muslimah, Penerjemah: Kamran As’adIrsyady dan mufliha Wijayati, Amzah, Jakarta.
Ali Quthb, Muhammad 1993 ‘, Auladuna fi-Dlaw-it Tarbiyyatil Islamiyah, (Terj.Bahrun Abu Bakar Ihsan), “Sang Anak dalam Naungan Pendidikan Islam”,Diponegoro, ”, Bandung.
73
Al-Maghribi, Al-Maghribi bin as-Said, 2004, Begini Seharusnya Mendidik Anak,Panduan Mendidik Anak Sejak Masa kandungan Hingga Dewasa, Penerjemah: ZainalAbidin,Muraajah dan A.Shihab, Darul Haq, Jakarta.
Al-Qarashi, Baqir Sharif 2003, Seni Mendidik Islami, alihbahasa: Mustofa budiSantoso, Pustaka Zahra, Jakarta.
al-Salhub, Fuad bin A. Aziz 2005, Al-Muallim al-Awwal SAW Qudwah likulli Muallimwamuallimat, Penerjemah: Abu Haekal, Zikrul Hakim, Jakarta.
Aly, Hery Noer dan Munzier Suparta 2003, Pendidikan Islam Kini dan Mendatang, Cv.Triasco, Jakarta.
Aly, Hery Noer dan Munzier 2000. Watak Pendidikan Islam, Agung insani, Jakarta.
Ambarawy, Hasan Muarif, Nurkholish Madjid, Zakiah Daradjat, Kafrawi Ridwan, danRidho Masduki 2003, Ensiklopedi Islam, Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta.
Amini, Ibrahim 2006, Agar Tak Salah Mendidik, Alih bahasa: A.Subandi dan SalmanFadhullah, Al-Huda, Jakarta.
Anwar 2005 ”Metode Pembinaan Akhlak Mulia Terhadap Remaja”. Tesis mahasiswaPPs IAIN Raden Fatah palembang.
An-Nahlawi, Abdurrahman 1996. Prinsip-Prinsip dan Metoda Pendidikan Islam,alihbahasa: Hery Noer Aly, CV.Diponegori, Bandung.
An-Nahlawi, Abdurrahman 2002. Pendidikan Islam di Rumah Sekolah dan Masyarakat,Gema Insani Press, Jakarta.
Asyarie, Sukmadjaja dan Rosu Yusuf 1984, Indeks Al-Qur’an, Pustaka, Bandung..
Asy-Syaukani, tt, Nailul Authar Juz awwal, t p, Kairo Mesir.
Arikunto, Suharsimi 2000. Prosesur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, BinaAksara, Jakarta.
Arifin, M. 1991. Filsafat Pendidikan Islam, Bumi Aksara, Jakarta.
Arifin, M. 2008. Ilmu Pendidikan Islam, Bumi Aksara, Jakarta.
Arifin, M. 1976, Hubungan Timbal Balik Pendidikan Agama di lingkungan keluargadan Sekolah,Bulan Bintang, Jakarta.
Arief, Armai 2000, Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam, Ciputat PressJakarta,
As-Syafe’i, Ummi Robi’ah 2009. Membangun Keluarga Islami Sejak Dini, Alita Media,Jakarta.
Asyarie, Sukmadjaja dan Rosu Yusuf 1984, Indeks Al-Qur’an, Pustaka, Bandung..
74
Asy-Syaukani, tt, Nailul Authar Juz awwal, t p, Kairo Mesir.
Arief, Armai 2000, Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam, Ciputat PressJakarta,
Ash-Shiddieqy, M. Hasbi 1987, Sejarah dan Penganter Ilmu Al-Qur’an/Tafsir, BulanBintang, Jakarta.
Baqi, M.Fuad Abdul, tt, Al-lu’lu’ walmarjan, Terjemahan H.Salim Bahreisy, BinaIlmu Surabaya,
Badawi , Ahmad Ali 2000, Imbalan dan hukuman: Pengaruhnya bagi pendidikan Anak, ,Gema Insani Pres ,Jakarta.
Bastian,Aulia Reza , 2002 Reformasi Pendidikan, Lappera Pustaka Utama, Yogyakarta
Bungin, Burhan 2001. Metodologi Penelitian Sosial, Airlangga University Press,Surabaya.
Badawi , Ahmad Ali 2000, Imbalan dan hukuman: Pengaruhnya bagi pendidikan Anak, ,Gema Insani Pres ,Jakarta.
Buchari 1997, ”Keluarga Muslim dan Peranannya dalam Menciptakan AktivitasKeagamaan Masa Remaja”. Skripsi mahasiswa Fakultas Tarbiyah IAIN Raden FatahPalembang.
Daradjat, Zakiah 1991. Ilmu Jiwa Agama, Bulan Bintang, Jakarta.
Daradjat, Zakiah, Usman Said, Malikul Adil (et-al) 1996. Ilmu Pendidikan Islam, Bumi Aksara kerjasama Depag, Jakarta
Daradjat, Zakiah, Usman Said, Malikul Adil (et-al) 2001. Metodologi PengajaranAgama Islam, Bumi Aksara, Jakarta.
Daradjat, Zakiah, Usman Said, Malikul Adil (et-al) 1984. Filsafat Pendidikan Islam,Proyek Derjen PKAI, Jakarta.
Daradjat, Zakiah 1976, Membina Nilai-nilai Moral di Indonesia, Bulan Bintang,Jakarta.
Daradjat, Zakiah tt, “Pendidikan Anak Dalam Keluarga : Tinjauan Psikologi Agama”,Al-Fikr, Jakarta.
Dep. Agama 1989. Al-Qur’an dan Terjemahannya, depag kerjasama cv Thoha Putra,Semarang.
D.Gunarsa, Singgih 1992. Psikologi Perkembangan, Gunung Mulia, Jakarta.
D.Gunarsa, Singgih (et-al), 1986. Psikologi Perkembangan, Anak dan Remaja, Gunung Mulia,Jakarta.
D. Gunarsa, Singgihdan Nya Singgih 1992. Psikologi Untuk Membimbing, Gunung Mulia, Jakarta.
75
D.Marimba, Ahmad 1986, Pengantar Pendidikan Islam, Al-Ma’arif, Jakarta
Depag, 2007, Pentingnya Makanan Halal dan Bergizi bagi Keluarga, Dirjend Urais danBimais, Jakarta.
Dep. P & K. 2003. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta.
Effendy, Mochtar 1996. Manajemen Suatu Pendekatan Berdasarkan Ajaran Islam,Bhratara, Jakarta.
Eliya Yulyanti 1996 ”Peranan Orang Tua dalam Membentuk Tingkah Laku Anak-Anaknya di Bawah Masa Akil Baligh Di Desa Ujung Tanjung Kecamatan Banyuasin IIIKabupaten MUBA”. Skripsi mahasiswa Fakultas Tarbiyah IAIN Raden FatahPalembang
Fathurrahman, Pupuh ,2001. Strategi Belajar Mengajar, Tunas Nusantara., Bandung
Fattah, Nanang 2008, Landasan Manajemen Pendidikan, Remaja Rosdakarya,Bandung
Fatiah, Abu Adnani Al dan Abu Aisyah (editor) tt, Buku Pintar Aqidah, Roemah Buku, Soekoharjo .
Feisal, Jusuf Amir 1995, Reorientasi Pendidikan Islam, Gema Insani Press, Jakarta
Gulo, W. 2007. Metodologi Penelitian, Grasindo, Jakarta.
Hakim, Khalifah Abdul 1986. Hidup Yang Islami, Raja Wali, Jakarta.
Hasyim, Umar 1993. Cara Mendidik Anak Dalam Islam (Anak Sholeh Seri 2), BinaIlmu, Surabaya.
Hamdani, Ihsan dan A. Fuad Ihsan 1998. Filsafat Pendidikan Islam, Pustaka Setia,Bandung.
Hadi, Amirul dan Haryono 1998, Metodologi Penelitian, Cv.Pustaka Setia, Bandung.Halimuddin 1990. Kembali Kepada Akidah Islam, Rineka Cipta, Jakarta.
Hafizh, M. Nur Abdul 1997, “Manhaj Tarbiyah Al Nabawiyyah Li Al-Thifl”,Penerj.Kuswandini, et al, Mendidik Anak Bersama Rasulullah SAW, Al-Bayan,Bandung .
Halimuddin 1990. Kembali Kepada Akidah Islam, Rineka Cipta, Jakarta.
Huda, Miftahul 2007. ”Model Interaksi Pendidikan Anak Dalam Al-Qur’an”. Disertasimahasiswa Program Doktor dalam Program Studi Ke-Islaman PPs IAIN Sunan AmpelSurabaya.
Hunainin, Pendidikan Keimanan Bagi Anak Menurut Pemikiran Abdullah Nashih Ulwan, Dalam Kitab Tarbiyah Al-Aulad Fi Al Islam : Tujuan , Materi, Dan Metode, Skripsi Sarjana Pendidikan Islam Perpustakaan UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta.
http://sufiqurani.blogspot. com/2010/05/ajaran-khitan-dalam-islam./on-line, 6-7-2010
76
Hidayat, http:/ aathidayat.wordpress.com,… online, 10/10/2010.
Ibrohim,Metode Pembelajaran dalam Al-Qur’an(kajian surah al-Maidah :67 dan An-Nahl: 125) http://ibrohimnaw.wordpress.com/2009/04/27 /metode-pembelajaran-kajian-tafsir-tarbawi On-Line/20/10-2009
Ilyas,Yunahar 2004. Kuliah Aqidah Islam, LPPI, Yogyakarta.
Iskandar, Sholeh, Januari 1992/12 Rajab 1412 H, Tabloit Jum’at,....
Jalaluddin 2002. Mempersiapkan Anak Saleh, Telaah Pendidikan Terhadap SunnahRasulullah SAW, Raja Grafindo, Jakarta.
Jalaluddin 2009. Psikologi Agama, Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Kaelany HD 2009, Islam Agama Universal, Midada Rahma Press, , Jakarta.
Kartono, Kartini 1990, Psikologi Anak, Mandar Maju, Bandung.
Kountur ,Ronny 2005, Metode Penelitian Untuk Skripsi dan tesis, cet. Ketiga, CV Taruna Grafica, Jakarta.
Kuswandin 1997. Mendidik Anak Bersama Rasulullah SAW, Al Bayan, Bandung.
Langulung, Hasan 1986, Manusia dan Pendidikan Suatu Analisa Psikologi Pendidikan,Pustaka Amani, Jakarta.
Miarsi, Yusufhadi 2004. Menyemai Benih Teknologi Pendidikan,Peranada Mediakerjasama Pustekkom Diknas, Jakarta.
Moleong, Lexy J.2007. Metodologi Penelitan Kualitatif, Remaja Rosdakarya, Bandung.
Muslim, al-Imam Abi Husain Al-Hajjaj 1424/2003, Shahih Muslim, Dar Al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, Libanon
Mustafidh, http/mustafidinahmad.wordpress.com. online, 22/1/2011.
Naimullah, Sayyid 2004. Keajaiban Aqidah : Jalan Terang Menuju Islam Kaffah,(Penerjemah: Sudarmadji), Lintas Pustaka, Jakarta.
Nawawi, Imam 1999, Riyadhlus Shalihin, Jilid 1 (Penerjemah: Sunarto) Pustaka Amani,Jakarta.
Noordeen, A.S. 2003. Islam Idelogy And The Way of Life, Zafar Sdn Bhd, KualaLumpur Malaysia
Nurlaili 2006 : ”Pendidikan Keluarga dalam Perspektif Pendidikan Islam”. Tesis mahasiswa Program Pascasarjana IAIN Raden Fatah Palembang.
Patmonodewo, Soemarti 2000, Pendidikan Anak Prasekolah, Rineka Cipta, Jakarta.
Purwanto, M. Ngalim 1994, Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis, tp, Bandung.
77
Poerwadrminta, WJS 1976, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta.
Radhawi, Said Ahtar 1986, Keluarga Islam, Risalah Bandung.
Ramayulis 1994, Ilmu Pendidikan Islam, Kalam Mulia, Jakarta.
Ramayulisdkk 2001, Pendidikan Islam dalam Rumah Tangga, Jakarta, Kalam Mulia
Rasyid, Sulaiman 1989. Fiqh Islam, Sinar Baru, Bandung.
Rozak, Nasruddin 1993. Dienul Islam, Al-Ma’arif, Bandung.
Riwayat 1983, Mendidik Anak Menurut A-Qur’an, ...........,on-line,8-06-2009.
Ritonga, A.Rahman 2005. Akidah; Merakit hubungan manusia dengan khaliknyamelalui pendidikan akidah anak usia dini, Amelia, Surabaya.
Samples, Bob 2002, Revolusi Belajar untuk Anak, Kaifa, Bandung
Shihab, M.Quraish 2008, Lentera Al-Qur’an, Mizan, Bandung
Shihab, M.Quraish 2008, Lintera Al-Qur’an, Kisah dan hikmah kehidupan, Mizan,Bandung.
Shihab, M.Quraish 2004. Tafsir Al-Mishbah, Volume 14, Lantera Hati, Jakarta.
Soemanto, Wasty 1990, Psikologi Pendidikan, Rineka Cipta Jakarta
Sueb, Musa 2004, Kekuasaan Manusia dan Takdir tuhan, Pedoman Ilmu Jaya, Jakarta
Syamsun,2007, Pendidikan Akidah, Ibadah, dan Moral Bagi Anak dalam Keluarga,http:/www.darussholah.com, on-line,8-06-2009
Sirozi, M, Ris’an Rusli, Suyitno, tt, Pedoman Penulisan Tesis, edisi revisi, PPs IAINRF, Palembang.
Soemanto, Wasty 1990, Psikologi Pendidikan, Rineka Cipta, Jakarta.
Siahaan, Henry, 1986, Peranan Ibu Bapak Mendidik Anak, Angkasa, Bandung.
Sobur, Alex 1986, Anak Masa Depan, Aksara, Bandung.
Simandjuntak, B dan I.L.Pasaribu 1986, Psikologi Perkembangan, Tarsito, Bandung.
Sujanto, Agus 1988, Psikologi Perkembangan, Aksara Baru, Jakarta.
Suryabrata, Sumadi, Perkembangan Individu, Rajawali, Jakarta.
Soetisno, HR 2000, Konsep Dasar Produktivitas, Lab, ITB, Bandung.
Sucipto, http://sucipto.guru.fkip.uns.ac.id/2009/11/26/metode-belajar-On-line.24/12/2009
http://khalidwahyudin.wordpress.com/2008/02/26/mempersiapkan-anak-memasuki-usia-baligh/on-line/17-06-2010.
78
Surya, Muhammad 2003, Percikan Perjuangan Guru, Aneka Ilmu, Semarang,
Sudjana, Nana 2004, Tuntunan penyususnan Karya Ilmiah, cet. Kedelapan, Sinar Baru Algensindo, Bandung. Suyitno (editor) 2010, Pedoman Karya Tulis Ilmiah, edisi revisi, PPs IAIN RF,Palembang.
Segaf, Husein 1991. “Peranan Orang Tua dalam Pendidikan Agama” Majalah Mimbar Ulama, No,165, Edisi Safar 1412/ Oktober 1991.Tafsir, Ahmad 2001, Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam, Remaja Rosdakarya,Bandung
Thalib, M, 1991, 40 Tangung Jawab Orang Tua Terhadap Anak, Al-Kautsar, Jakarta
T.Katono,http:/blog.binadarma.ac.id/muhammadinah/…online, 12/3/2011
Theresia, Linda 2000, Konsep Dasar Produktivitas, Diktat, ITI, Serpong.
Ulwan, A.Nashih 1981, Pedoman pendidikan Anak dalam Islam jilid 1, penerjemah:Saifullah dan Hery Noer Ali, Asy-Syifa, Semarang.
Ulwan, A.Nashih 1988, Pedoman Pendidikan Anak Dalam Islam Jilid2, Penerjemah:Syaifullah Kamilie dan Hery Noer Ali, Asy-Syifa’, Bandung.
Yunahar Ilyas, 2004,Kuliah Aqidah Islam, LPPI, Yogyakarta
Yamin.,Martinis 2003. Metode pembelajaran Yang Berhasil. Sasama Mitra SuksesJakarta
Zainuddin 1996, Ilmu Tauhid Lengkap, Rineka Cipta, Jakarta
Zainu , Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu 2005, Seruan Kepada Pendidik dan Orang tua, (Penerjemah: Abu Hanan dan Ummu Dzakiyyah ), tp, Solom
79
BIODATA PENULIS
a. Identitas Pribadi :
Nama : Ahmad Qosim
Tempat/Tanggal Lahir : Lubuk Puding, 12 Juni 1970
Pekerjaan : Pegawai Negeri Sipil (Guru Pada MTs Sabilul Hasanah
/ MTs Jabal Noer Kantor Kementerian Agama
Kabupaten Banyuasin)
Pendidikan :
1. SD Negeri 3 Lubuk Puding Tahun 1983 2. SMP Negeri 1 Ulu Musi Tahun 1986 3. PGA Negeri Lahat Tahun 1989
4. Sarjana S.1 IAIN Raden Fatah Fak.Tarbiyah Jurusan PAI Tahun 1995
5. Sarjana S.2 IAIN Raden Fatah PPs IPI Tahun 2011Hobi : Membaca dan memelihara tanaman
Alamat : Jalan KH. Sulaiman Rt.10 Rw.03 No. 43 Pangkalan
Balai Banyuasin Sumatera Selatan
Nama ayah : M. Kisok
Nama ibu ; Siti Zaleha
Nama Istri : Eliya Yulyanti,S.Ag
Jumlah Anak : 4 orang (Qowiyatus Sholiha (Pendidikan SD),
Mawaddah Warohmah (SD) , M. Ulil Albab, dan BZ
Said Nursi).
b. Pengalaman Pekerjaan :
Pengalaman Mengajar :
NO NAMA SEKOLAHBIDANGSTUDI/
LAMA MENGAJAR
GURU KELAS Mulai sampai Th
1 Guru MTs Mif.Jannah Kenten Penjas/English 1996 2003
2 Guru SMP Karya Utama Fisika/Mulok 1997 2002
80
3 Guru SMP Bina Mulia Plg Fisika/Mulok 1997 2002
4 Guru SMP Pertiwi Sako IPS 1997 1998
5 Guru MTS Al-Arkom Plg Fiqih 1998 2001
6Guru SDN 5 C.Manis BA.1(PNS) Pend.Agama 2000 2003
7Guru MTs Sabilul Hasanah (PNS) Al Quran Hadits 2003 2011
8 Guru MTs Jabal Noer Aqidah Akhlak 2011 Sekarang
Tugas Tambahan :
1. Kepala MTs Jabal Noer Kecamatan Rantau Bayur Banyuasin2. Anggota TIM PAK Jabatan Guru Kabupaten Banyuasin tahun 2007 s/d 2012
c. Karya Tulis
No Judul Tulisan Jenis Penerbit Tahun01 Urgensi Ilmu Jiwa Agama Dalam Mendidik
Sikap Agamis Pada Anak-Anak di Bawah Masa Akil Baligh
Skripsi
S,1 Tar. 1995
02 Potret Masyarakat Muslim Dalam Memandang Pendidikan Madrasah dan Pesantren =(Peserta Guru Teladan MTs tingkat Propinsi Kanwil Depag SS.mewakili Banyuasin)
KTI - 2005
03 Deskriptif dan Pemetaan MTs Sabilul Hasanah Banyuasin (Upaya Evaluasi dan Peningkatan Mutu) =( Syarat Peserta Guru Berprestasi Tingkat MTs ke tingkat Propinsi mewakili Banyuasin)
KTI - 2010
04 UN, Hardiknas dan Jatidiri Sekolah Kita Artikel
Koran Hr. Banyuasin
6-5-10
05 Zakat Penghasilan Perlu Pahamisasi Sebelum Realisasi
Artikel
Koran Hr. Banyuasin
20-4-10
06 Kebebasan Memilih dan Menilai Penguasa dalam Bingkai Islam
Artikel
Koran Hr. Banyuasin
25-6-09
07 Berkorban dan Musibah Artikel
Koran Transparan
26-1-05
08 Haji Mabrur dalam Pesan dan Kesan Artikel
Tabloit Peta weekly
Jan-06
09 Kebebasan Politik dalam Bingkai Islam Artikel
Media Sumatera
28-8-00
10 Reformasi dan Ulama Pendamping Artikel
Koran Sumeks 4-6-98
11 Merapikan Akidah Hadapi Era Pasar Bebas Artike Koran Sumeks 29-8-97
81
l12 Kepahlawanan, Pemuda dan Era Globalisasi Artike
lKoran Sumeks 12-11-97
13 Remaja, Hindari AIDS Artikel
Koran Sumeks 5-12-97
14 Seragam Artikel
Koran Sripo 12-3-98
15 Enigma Nasib dan Kemandirian Guru dalam UUGD 2005
Artikel
Koran Berita P Peb-07
16 HIV/AIDS, Perzinahan dan Nilai-Nilai Agama
Artikel
Koran Banyuasin 30-11-10
17 Musibah dan Berkorban (2) Artikel
Koran Banyuasin 18-11-10
18 Pesan dan Kesan dalam Haji Mabrur (2) Artikel
Koran Banyuasin -11-10
19 Perayaan Tahun Baru Sebuah Sejarah, Budaya dan Muhasabah
Artikel
Koran Banyuasin 5-1-11
20 Membangun Aqidah Umat, Hadapai era Informasi yang tak Menentu
Artikel
Koran Banyuasin 18-1-11
21 Persfektif Islam Tentang Berbohong dan Kejujuran
Artikel
Koran Banyuasin 21-1-11
22 Gaji, Korupsi dan Sikap Islam Artikel
Koran Banyuasin 29-1-11
d. Riwayat Organisasi :
1. HMI Kom. Tarbiyah tahun 1993-1994 sebagai kabid. Kerohanian
2. Pramuka SDN 412 Tahun 1996-1999 sebagai pelatih/ pembina
3. PGRI Ranting Kenten tahun 2001-2003 sebagai wakil ketua
4. Ikatan Pemuda Muslim Kabupeten Banyuasin2005-2008 sebagai kabid. Dakwah
5. Ikatan Mahasiswa Lintang Empat Lawang (IMAL IV L) tahun 1994-1995 sebagai ketua
6. Pengurus Masjid Al-Makmun Pangkalan Balai Bid. Pendidikan tahun 2007-2009
7. Bendahara Masjid Al-Makmun Pangkanal Balai periode 2011 – 2013 dll
82