larangan mencukur rambut dan memotong kuku bagi shohibul qurban alaihi wa sallam

4
1 Larangan Mencukur Rambut dan Memotong Kuku Bagi Shâhibul Qurbân Beberapa kali penulis ditanya tentang maksud larangan mencukur rambut dan memotong kuku bagi shâhibul qurbân sejak tanggal 1 Dzulhijjah hingga penyembelihan hewan qurban yang diawali pelaksanaannya pada tanggal 10 Dzulhijjah. Karena hingga saat ini kontroversi tentang masalah itu masih ada di masyarakat, maka dalam tulisan ini penulis berkeinginan untuk memaparkan diskusi para ulama di seputar masalah ini. Konon, Al-Lajnah Ad-Dâimah (Komisi Fatwa di Saudi Arabia) pernah juga ditanya tentang masalah ini, “Katanya ada hadits yang menjelaskan bahwa siapa yang ingin berqurban atau keluarga yang diniatkan pahala untuk berqurban, maka ia tidak boleh mencukur bulu, rambut kepala dan juga memotong kuku sampai ia berqurban. Apakah larangan ini berlaku umum untuk seluruh anggota keluarga (yang diniatkan dalam pahala qurban), baik dewasa atau anak-anak? Ataukah larangan ini berlaku untuk yang sudah dewasa saja, tidak termasuk anak-anak? Para ulama yang terhimpun dalam Al-Lajnah Ad-Dâimah itu menjawab. Kami tidak mengetahui lafazh hadits sebagaimana yang penanya sebutkan. Lafazh yang kami tahu sebagaimana shahih dari Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam diriwayatkan oleh al-Jama’ah kecuali al-Bukhari, yaitu dari Ummu Salamah radhiyallâhu ‘anha, Dari ummu Salamah, bahwa Nabi s.a.w. bersabda: Jika kalian telah menyaksikan hilal Dzulhijjah (maksudnya telah memasuki satu Dzulhijah, pen.) dan kalian ingin berqurban, maka hendaklah dia [Shâhibul Qurbân] membiarkan (artinya tidak memotong) rambut dan kukunya.” (Hadits Riwayat Muslim, Shahîh Muslim, VI/83, hadits nomor 5234; Hadits Riwayat Ibnu Hibban, Shahîh Ibni Hibbân, 13/237, hadits nomor 5916; Hadits Riwayat Abu Ya’la, Musnad Abî Ya’lâ, XII/340, hadits nomor 6910; Hadits Riwayat ad-Daruquthni, Sunan ad-Dâruquthnî, V/501, hadits nomor 4745; Hadits Riwayat al-Baihaqi, As-Sunan al-Kubrâ li al-Bayhaqî, IX/266, hadits nomor 91191; Hadits Riwayat Abu ‘Awanah, Mustakhraj Abî ‘Awânah, VIII/465, hadits nomor 6264 dan Hadits Riwayat ath-Thabrani, Al-Mu’jam al-Kabîr li ath-Thabrânî, XVII/205, hadits nomor 19362). Dalam lafazh lainnya dinyatakan,

Upload: muhsin-hariyanto

Post on 12-Jun-2015

115 views

Category:

Documents


7 download

TRANSCRIPT

Page 1: Larangan mencukur rambut dan memotong kuku bagi shohibul qurban alaihi wa sallam

1

Larangan Mencukur Rambut dan Memotong Kuku

Bagi Shâhibul Qurbân

Beberapa kali penulis ditanya tentang maksud larangan mencukur rambut

dan memotong kuku bagi shâhibul qurbân sejak tanggal 1 Dzulhijjah hingga

penyembelihan hewan qurban yang diawali pelaksanaannya pada tanggal 10

Dzulhijjah.

Karena hingga saat ini kontroversi tentang masalah itu masih ada di masyarakat, maka dalam tulisan ini penulis berkeinginan untuk memaparkan diskusi para ulama di seputar masalah ini.

Konon, Al-Lajnah Ad-Dâimah (Komisi Fatwa di Saudi Arabia) pernah juga

ditanya tentang masalah ini, “Katanya ada hadits yang menjelaskan bahwa siapa yang ingin berqurban atau keluarga yang diniatkan pahala untuk berqurban, maka

ia tidak boleh mencukur bulu, rambut kepala dan juga memotong kuku sampai ia berqurban. Apakah larangan ini berlaku umum untuk seluruh anggota keluarga

(yang diniatkan dalam pahala qurban), baik dewasa atau anak-anak? Ataukah larangan ini berlaku untuk yang sudah dewasa saja, tidak termasuk anak-anak?

Para ulama yang terhimpun dalam Al-Lajnah Ad-Dâimah itu menjawab.

Kami tidak mengetahui lafazh hadits sebagaimana yang penanya sebutkan. Lafazh yang kami tahu sebagaimana shahih dari Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam

diriwayatkan oleh al-Jama’ah kecuali al-Bukhari, yaitu dari Ummu Salamah radhiyallâhu ‘anha,

“Dari ummu Salamah, bahwa Nabi s.a.w. bersabda: Jika kalian telah menyaksikan hilal Dzulhijjah (maksudnya telah memasuki satu Dzulhijah, pen.) dan kalian ingin berqurban,

maka hendaklah dia [Shâhibul Qurbân] membiarkan (artinya tidak memotong) rambut dan

kukunya.” (Hadits Riwayat Muslim, Shahîh Muslim, VI/83, hadits nomor 5234;

Hadits Riwayat Ibnu Hibban, Shahîh Ibni Hibbân, 13/237, hadits nomor 5916;

Hadits Riwayat Abu Ya’la, Musnad Abî Ya’lâ, XII/340, hadits nomor 6910; Hadits

Riwayat ad-Daruquthni, Sunan ad-Dâruquthnî, V/501, hadits nomor 4745; Hadits

Riwayat al-Baihaqi, As-Sunan al-Kubrâ li al-Bayhaqî, IX/266, hadits nomor 91191;

Hadits Riwayat Abu ‘Awanah, Mustakhraj Abî ‘Awânah, VIII/465, hadits nomor

6264 dan Hadits Riwayat ath-Thabrani, Al-Mu’jam al-Kabîr li ath-Thabrânî,

XVII/205, hadits nomor 19362).

Dalam lafazh lainnya dinyatakan,

Page 2: Larangan mencukur rambut dan memotong kuku bagi shohibul qurban alaihi wa sallam

2

“Siapa saja yang ingin berqurban dan apabila telah memasuki awal Dzulhijah (1 Dzulhijah), maka janganlah ia memotong rambut dan kukunya sampai ia berqurban.”

(Hadits Riwayat Muslim dari Ummu Salamah, Shahîh Muslim, VI/83, hadits nomor

5236; Hadits Riwayat Abu Dawud, Sunan Abî Dâwud, III/51, 2793; Hadits Riwayat

Abu ‘Awanah, Mustakhraj Abî ‘Awânah, VIII/465, hadits nomor 6267; Hadits

Riwayat Ath-Thahawi, Syarh Musykil al-Atsâr, 14/133, hadits nomor 5513 dan

Hadits Riwayat Al-Baihaqi, Syu’ab al-Îmân, IX/445, hadits nomor 6948)

Hadits ini secara tekstual menunjukkan ‘terlarang’nya memotong rambut

dan kuku bagi orang yang ingin berqurban setelah memasuki 10 hari awal bulan Dzulhijah (mulai dari tanggal 1 Dzulhijah, pen.), dan tidak tepat dipahami sebagai larangan untuk memotong bulu (rambut) dan kuku hewan qurban, Rambut dan

kuku yang dilarang untuk dipotong dalam hadis di atas adalah rambut dan kuku shâhibul qurbân, bukan rambut dan kuku hewan qurban. Karena dhâmir (kata ganti)

yang digunakan dalam kalimat ‘َشْعِرِه’ dan ‘َأْظَفاِرِه’ adalah kata ganti tunggal untuk

jenis mudzakkar (laki-laki), yaitu kata ganti ‘ه’. Dan huruf ‘ه’ ini adalah kata ganti

yang kembali kepada pemilik hewan qurban, bukan hewan qurbannya.

Hadits pertama menunjukkan perintah untuk tidak memotong (rambut dan

kuku). Asal perintah di sini menunjukkan wajibnya hal ini. Kami pun tidak mengetahui ada dalil yang memalingkan dari hukum asal yang wajib ini.

Sedangkan riwayat kedua adalah larangan memotong (rambut dan kuku). Asal larangan di sini menunjukkan terlarangnya hal ini, yaitu terlarang memotong

(rambut dan kuku). Kami pun tidak mengetahui ada dalil yang memalingkan dari hukum asal yang melarang hal ini.

Secara jelas pula, hadits ini khusus bagi orang yang ingin berqurban. Adapun

anggota keluarga yang diikutkan dalam pahala qurban, baik yang sudah dewasa atau belum, maka mereka tidak terlarang memotong bulu, rambut dan kuku. Meraka (selain yang berniat qurban) dihukumi sebagaimana hukum asal yaitu boleh

memotong rambut dan kulit dan kami tidak mengetahui adanya dalil yang memalingkan dari hukum asal ini.

Fatwa ini ditandatangani oleh Syaikh ‘Abdul ‘Azîz bin Baz sebagai Ketua,

Syaikh ‘Abdur Razzâq ‘Afîfî sebagai Wakil Ketua, Syaikh ‘Abdullâh bin Mani’ dan Syaikh ‘Abdullah bin Ghadyan sebagai Anggota. [Fatwa Al-Lajnah Ad Dâ-imah lil

Buhûts ‘Ilmiyyah wal Iftâ’, soal ketiga dari Fatwa no. 1407, 11/426-427, Darul Iftâ’]

Page 3: Larangan mencukur rambut dan memotong kuku bagi shohibul qurban alaihi wa sallam

3

Penjelasan Larangan Memotong Rambut dan Kuku (An-Nawawi, Syarh Shahîh

Muslim, VI/472)

Para ulama berselisih pendapat mengenai orang yang akan memasuki 10 hari

awal Dzulhijah dan berniat untuk berqurban.

Pendapat Pertama

Sa’id bin al-Musayyib, Rabi’ah, Imam Ahmad, Ishaq, Dawud dan sebagian murid-murid Imam Asy-Syafi’i mengatakan bahwa larangan memotong rambut dan kuku (bagi shâhibul qurbân) dihukumi haram sampai diadakan penyembelihan

qurban pada waktu penyembelihan qurban. Secara zhâhir (tekstual), pendapat

pertama ini melarang memotong rambut dan kuku bagi Shâhibul Qurbân berlaku

sampai hewan qurbannya disembelih. Misalnya, hewan qurbannya akan disembelih pada hari tasyriq pertama (11 Dzulhijah), maka larangan tersebut berlaku sampai

tanggal tersebut.

Pendapat pertama yang menyatakan haram mendasarinya pada hadits larangan Shâhibul Qurbân memotong rambut dan kuku yang telah disebutukan

dalam Fatwa Lajnah ad-Dâimah di atas.

Pendapat Kedua

Pendapat ini adalah pendapat Imam asy-Syafi’i dan murid-muridnya. Pendapat kedua ini menyakan bahwa larangan tersebut adalah makrûh, yaitu

makrûh tanzîh, dan bukan harâm.

Pendapat kedua menyatakannya makrûh dan bukan haram berdasarkan

hadits ‘Aisyah r.a. yang menyatakan bahwa Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam pernah

berqurban dan beliau tidak melarang apa yang Allah halalkan hingga beliau menyembelih hadyu (qurbannya di Makkah). Artinya di sini, Nabi shallallâhu ‘alaihi

wa sallam tidak melakukan sebagaimana orang yang ihram yang tidak memotong

rambut dan kukunya. Ini adalah anggapan dari pendapat kedua. Sehingga hadits di

atas dipahami makrûh.

Pendapat Ketiga

Yaitu pendapat Imam Abu Hanifah dan Imam Malik dalam salah satu

pendapatnya menyatakan tidak makrûh sama sekali.

Imam Malik dalam salah satu pendapat menyatakan bahwa larangan ini makrûh. Pendapat beliau lainnya mengatakan bahwa hal ini diharamkan dalam

qurban yang sifatnya sunnah dan bukan pada qurban yang wajib.

Page 4: Larangan mencukur rambut dan memotong kuku bagi shohibul qurban alaihi wa sallam

4

Ketika kita berpijak pada kaedah ushul fiqih yang menyatakan: “pada dsasarnya setiap larangan itu menunjukkan haram, sebelum adanya keterangan

yang memalingkan ( لقرينة إال التحريم النهي في األصل ) (Zakaria bin Ghulam Qadir, Ushûlul

Fiqh ‘Alâ Manhaj Ahlil Hadîts, I/86), maka pendapat yang lebih kuat adalah pendapat pertama, berdasarkan larangan yang disebutkan dalam hadits di atas, dan pendapat ini

dianggap sebagai pendapat yang lebih hati-hati. Adapun pendapat ketiga adalah

pendapat yang sangat-sangat lemah karena bertentangan dengan hadits larangan.

Sedangkan pendapat yang memakruhkan juga dinilai kurang tepat, karena sebenarnya hadits ‘Aisyah r.a. hanya memaksudkan bahwa Nabi shallallâhu ‘alaihi

wa sallam melakukan perkara yang sifatnya keseharian yaitu memakai pakaian

berjahit dan memakai harum-haruman, yang seperti ini tidak dibolehkan untuk orang yang ihram. Namun untuk memotong rambut adalah sesuatu yang jarang

dilakukan (bukan kebiasaan keseharian) sehingga beliau masih tetap tidak memotong rambutnya ketika hendak berqurban.

Sendainya kita berpendapat bahwa larangan itu bermakna ‘makrûh’ (tidak

sampai pada derajat harâm), ketika kita mengamalkan hadits ini, dengan tidak

memotong rambut dan kuku, maka perbuatan kita ini pun bisa dinyatakan sebagai

perbuatan yang mulia. Wallâhu A’lamu bish-Shawâb.

Apa yang dimaksud rambut yang tidak boleh dipotong?

Yang dimaksud dengan larangan mencabut kuku dan rambut di sini menurut ulama Syafi’iyah adalah dengan cara memotong, memecahkan atau cara lainnya. Larangan di sini termasuk mencukur habis, memendekkannya, mencabutnya,

membakarnya, atau memotongnya dengan bara api. Rambut yang dilarang dipotong tersebut termasuk bulu ketiak, kumis, bulu kemaluan, rambut kepala dan

juga rambut yang ada di badan.

Hikmah Larangan

Menurut ulama Syafi’iyah, hikmah larangan di sini adalah agar rambut dan kuku tadi tetap ada hingga qurban disembelih, supaya makin banyak dari anggota

tubuh ini terbebas dari api neraka.

Ada pula ulama yang mengatakan bahwa hikmah dari larangan ini adalah agar tasyabbuh (menyerupai) orang yang muhrim (berihram). Namun hikmah yang

satu ini dianggap kurang tepat menurut ulama Syafi’iyah karena orang yang berqurban beda dengan yang muhrim. Orang berqurban masih boleh mendekati

isterinya dan masih diperbolehkan menggunakan harum-haruman, pakaian berjahit

dan selain itu, berbeda halnya orang yang muhrim (berihram).

(Dikutip dan diselaraskan dari berbagai sumber)