larangan mencukur rambut dan memotong kuku bagi shohibul qurban alaihi wa sallam
TRANSCRIPT
1
Larangan Mencukur Rambut dan Memotong Kuku
Bagi Shâhibul Qurbân
Beberapa kali penulis ditanya tentang maksud larangan mencukur rambut
dan memotong kuku bagi shâhibul qurbân sejak tanggal 1 Dzulhijjah hingga
penyembelihan hewan qurban yang diawali pelaksanaannya pada tanggal 10
Dzulhijjah.
Karena hingga saat ini kontroversi tentang masalah itu masih ada di masyarakat, maka dalam tulisan ini penulis berkeinginan untuk memaparkan diskusi para ulama di seputar masalah ini.
Konon, Al-Lajnah Ad-Dâimah (Komisi Fatwa di Saudi Arabia) pernah juga
ditanya tentang masalah ini, “Katanya ada hadits yang menjelaskan bahwa siapa yang ingin berqurban atau keluarga yang diniatkan pahala untuk berqurban, maka
ia tidak boleh mencukur bulu, rambut kepala dan juga memotong kuku sampai ia berqurban. Apakah larangan ini berlaku umum untuk seluruh anggota keluarga
(yang diniatkan dalam pahala qurban), baik dewasa atau anak-anak? Ataukah larangan ini berlaku untuk yang sudah dewasa saja, tidak termasuk anak-anak?
Para ulama yang terhimpun dalam Al-Lajnah Ad-Dâimah itu menjawab.
Kami tidak mengetahui lafazh hadits sebagaimana yang penanya sebutkan. Lafazh yang kami tahu sebagaimana shahih dari Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam
diriwayatkan oleh al-Jama’ah kecuali al-Bukhari, yaitu dari Ummu Salamah radhiyallâhu ‘anha,
“Dari ummu Salamah, bahwa Nabi s.a.w. bersabda: Jika kalian telah menyaksikan hilal Dzulhijjah (maksudnya telah memasuki satu Dzulhijah, pen.) dan kalian ingin berqurban,
maka hendaklah dia [Shâhibul Qurbân] membiarkan (artinya tidak memotong) rambut dan
kukunya.” (Hadits Riwayat Muslim, Shahîh Muslim, VI/83, hadits nomor 5234;
Hadits Riwayat Ibnu Hibban, Shahîh Ibni Hibbân, 13/237, hadits nomor 5916;
Hadits Riwayat Abu Ya’la, Musnad Abî Ya’lâ, XII/340, hadits nomor 6910; Hadits
Riwayat ad-Daruquthni, Sunan ad-Dâruquthnî, V/501, hadits nomor 4745; Hadits
Riwayat al-Baihaqi, As-Sunan al-Kubrâ li al-Bayhaqî, IX/266, hadits nomor 91191;
Hadits Riwayat Abu ‘Awanah, Mustakhraj Abî ‘Awânah, VIII/465, hadits nomor
6264 dan Hadits Riwayat ath-Thabrani, Al-Mu’jam al-Kabîr li ath-Thabrânî,
XVII/205, hadits nomor 19362).
Dalam lafazh lainnya dinyatakan,
2
“Siapa saja yang ingin berqurban dan apabila telah memasuki awal Dzulhijah (1 Dzulhijah), maka janganlah ia memotong rambut dan kukunya sampai ia berqurban.”
(Hadits Riwayat Muslim dari Ummu Salamah, Shahîh Muslim, VI/83, hadits nomor
5236; Hadits Riwayat Abu Dawud, Sunan Abî Dâwud, III/51, 2793; Hadits Riwayat
Abu ‘Awanah, Mustakhraj Abî ‘Awânah, VIII/465, hadits nomor 6267; Hadits
Riwayat Ath-Thahawi, Syarh Musykil al-Atsâr, 14/133, hadits nomor 5513 dan
Hadits Riwayat Al-Baihaqi, Syu’ab al-Îmân, IX/445, hadits nomor 6948)
Hadits ini secara tekstual menunjukkan ‘terlarang’nya memotong rambut
dan kuku bagi orang yang ingin berqurban setelah memasuki 10 hari awal bulan Dzulhijah (mulai dari tanggal 1 Dzulhijah, pen.), dan tidak tepat dipahami sebagai larangan untuk memotong bulu (rambut) dan kuku hewan qurban, Rambut dan
kuku yang dilarang untuk dipotong dalam hadis di atas adalah rambut dan kuku shâhibul qurbân, bukan rambut dan kuku hewan qurban. Karena dhâmir (kata ganti)
yang digunakan dalam kalimat ‘َشْعِرِه’ dan ‘َأْظَفاِرِه’ adalah kata ganti tunggal untuk
jenis mudzakkar (laki-laki), yaitu kata ganti ‘ه’. Dan huruf ‘ه’ ini adalah kata ganti
yang kembali kepada pemilik hewan qurban, bukan hewan qurbannya.
Hadits pertama menunjukkan perintah untuk tidak memotong (rambut dan
kuku). Asal perintah di sini menunjukkan wajibnya hal ini. Kami pun tidak mengetahui ada dalil yang memalingkan dari hukum asal yang wajib ini.
Sedangkan riwayat kedua adalah larangan memotong (rambut dan kuku). Asal larangan di sini menunjukkan terlarangnya hal ini, yaitu terlarang memotong
(rambut dan kuku). Kami pun tidak mengetahui ada dalil yang memalingkan dari hukum asal yang melarang hal ini.
Secara jelas pula, hadits ini khusus bagi orang yang ingin berqurban. Adapun
anggota keluarga yang diikutkan dalam pahala qurban, baik yang sudah dewasa atau belum, maka mereka tidak terlarang memotong bulu, rambut dan kuku. Meraka (selain yang berniat qurban) dihukumi sebagaimana hukum asal yaitu boleh
memotong rambut dan kulit dan kami tidak mengetahui adanya dalil yang memalingkan dari hukum asal ini.
Fatwa ini ditandatangani oleh Syaikh ‘Abdul ‘Azîz bin Baz sebagai Ketua,
Syaikh ‘Abdur Razzâq ‘Afîfî sebagai Wakil Ketua, Syaikh ‘Abdullâh bin Mani’ dan Syaikh ‘Abdullah bin Ghadyan sebagai Anggota. [Fatwa Al-Lajnah Ad Dâ-imah lil
Buhûts ‘Ilmiyyah wal Iftâ’, soal ketiga dari Fatwa no. 1407, 11/426-427, Darul Iftâ’]
3
Penjelasan Larangan Memotong Rambut dan Kuku (An-Nawawi, Syarh Shahîh
Muslim, VI/472)
Para ulama berselisih pendapat mengenai orang yang akan memasuki 10 hari
awal Dzulhijah dan berniat untuk berqurban.
Pendapat Pertama
Sa’id bin al-Musayyib, Rabi’ah, Imam Ahmad, Ishaq, Dawud dan sebagian murid-murid Imam Asy-Syafi’i mengatakan bahwa larangan memotong rambut dan kuku (bagi shâhibul qurbân) dihukumi haram sampai diadakan penyembelihan
qurban pada waktu penyembelihan qurban. Secara zhâhir (tekstual), pendapat
pertama ini melarang memotong rambut dan kuku bagi Shâhibul Qurbân berlaku
sampai hewan qurbannya disembelih. Misalnya, hewan qurbannya akan disembelih pada hari tasyriq pertama (11 Dzulhijah), maka larangan tersebut berlaku sampai
tanggal tersebut.
Pendapat pertama yang menyatakan haram mendasarinya pada hadits larangan Shâhibul Qurbân memotong rambut dan kuku yang telah disebutukan
dalam Fatwa Lajnah ad-Dâimah di atas.
Pendapat Kedua
Pendapat ini adalah pendapat Imam asy-Syafi’i dan murid-muridnya. Pendapat kedua ini menyakan bahwa larangan tersebut adalah makrûh, yaitu
makrûh tanzîh, dan bukan harâm.
Pendapat kedua menyatakannya makrûh dan bukan haram berdasarkan
hadits ‘Aisyah r.a. yang menyatakan bahwa Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam pernah
berqurban dan beliau tidak melarang apa yang Allah halalkan hingga beliau menyembelih hadyu (qurbannya di Makkah). Artinya di sini, Nabi shallallâhu ‘alaihi
wa sallam tidak melakukan sebagaimana orang yang ihram yang tidak memotong
rambut dan kukunya. Ini adalah anggapan dari pendapat kedua. Sehingga hadits di
atas dipahami makrûh.
Pendapat Ketiga
Yaitu pendapat Imam Abu Hanifah dan Imam Malik dalam salah satu
pendapatnya menyatakan tidak makrûh sama sekali.
Imam Malik dalam salah satu pendapat menyatakan bahwa larangan ini makrûh. Pendapat beliau lainnya mengatakan bahwa hal ini diharamkan dalam
qurban yang sifatnya sunnah dan bukan pada qurban yang wajib.
4
Ketika kita berpijak pada kaedah ushul fiqih yang menyatakan: “pada dsasarnya setiap larangan itu menunjukkan haram, sebelum adanya keterangan
yang memalingkan ( لقرينة إال التحريم النهي في األصل ) (Zakaria bin Ghulam Qadir, Ushûlul
Fiqh ‘Alâ Manhaj Ahlil Hadîts, I/86), maka pendapat yang lebih kuat adalah pendapat pertama, berdasarkan larangan yang disebutkan dalam hadits di atas, dan pendapat ini
dianggap sebagai pendapat yang lebih hati-hati. Adapun pendapat ketiga adalah
pendapat yang sangat-sangat lemah karena bertentangan dengan hadits larangan.
Sedangkan pendapat yang memakruhkan juga dinilai kurang tepat, karena sebenarnya hadits ‘Aisyah r.a. hanya memaksudkan bahwa Nabi shallallâhu ‘alaihi
wa sallam melakukan perkara yang sifatnya keseharian yaitu memakai pakaian
berjahit dan memakai harum-haruman, yang seperti ini tidak dibolehkan untuk orang yang ihram. Namun untuk memotong rambut adalah sesuatu yang jarang
dilakukan (bukan kebiasaan keseharian) sehingga beliau masih tetap tidak memotong rambutnya ketika hendak berqurban.
Sendainya kita berpendapat bahwa larangan itu bermakna ‘makrûh’ (tidak
sampai pada derajat harâm), ketika kita mengamalkan hadits ini, dengan tidak
memotong rambut dan kuku, maka perbuatan kita ini pun bisa dinyatakan sebagai
perbuatan yang mulia. Wallâhu A’lamu bish-Shawâb.
Apa yang dimaksud rambut yang tidak boleh dipotong?
Yang dimaksud dengan larangan mencabut kuku dan rambut di sini menurut ulama Syafi’iyah adalah dengan cara memotong, memecahkan atau cara lainnya. Larangan di sini termasuk mencukur habis, memendekkannya, mencabutnya,
membakarnya, atau memotongnya dengan bara api. Rambut yang dilarang dipotong tersebut termasuk bulu ketiak, kumis, bulu kemaluan, rambut kepala dan
juga rambut yang ada di badan.
Hikmah Larangan
Menurut ulama Syafi’iyah, hikmah larangan di sini adalah agar rambut dan kuku tadi tetap ada hingga qurban disembelih, supaya makin banyak dari anggota
tubuh ini terbebas dari api neraka.
Ada pula ulama yang mengatakan bahwa hikmah dari larangan ini adalah agar tasyabbuh (menyerupai) orang yang muhrim (berihram). Namun hikmah yang
satu ini dianggap kurang tepat menurut ulama Syafi’iyah karena orang yang berqurban beda dengan yang muhrim. Orang berqurban masih boleh mendekati
isterinya dan masih diperbolehkan menggunakan harum-haruman, pakaian berjahit
dan selain itu, berbeda halnya orang yang muhrim (berihram).
(Dikutip dan diselaraskan dari berbagai sumber)