wasiat rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam kepada abu dzar al ghifari

23
Yogyakarta, Jumat 13 Februari 2015 Page 1 PENGAJIAN JUMAT PETANG BA’DA MAGHRIB KAJIAN HADITS TEMATIK MASJID MARGO RAHAYU NAMBURAN KIDUL YOGYAKARTA Wasiat Rasulullah Shallallâhu ‘Alaihi wa Sallam Kepada Abu Dzar Al-Ghifari . “Dari Abu Dzar radhiyallâhu ‘anhu, ia berkata: “Kekasihku (Rasulullah) Shallallâhu ‘Alaihi wa Sallam berwasiat kepadaku dengan tujuh hal: (1) supaya aku mencintai orang-orang miskin dan dekat dengan mereka, (2) beliau memerintahkan aku agar aku melihat kepada orang yang berada di bawahku dan tidak melihat kepada orang yang berada di atasku, (3) beliau memerintahkan agar aku menyambung silaturrahimku meskipun mereka berlaku kasar kepadaku, (4) aku dianjurkan agar memerbanyak ucapan lâ haulâ walâ quwwata illâ billâh (tidak ada daya dan upaya kecuali dengan pertolongan Allah), (5) aku diperintah untuk mengatakan kebenaran meskipun pahit, (6) beliau berwasiat agar aku tidak takut celaan orang yang mencela dalam berdakwah kepada Allah, dan (7) beliau melarang aku agar tidak meminta-minta sesuatu pun kepada manusia.” (Hadits Riwayat ath-Thabrani, Al-Mu’jam al-Kabîr, juz II, hal. 217, hadits no. 1626; Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad ibn Hanbal, juz V, hal. 159, hadits no. 21453 dan Al-Baihaqi, Syu’ab al-Îmân, juz V, hal. 104, hadits no. 3156, dari dari Abu Dzar. Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani menyatakan bahwa hadits ini shahih. Lihat: Shahîh at-Targhîb wa at-Tarhîb, juz I, hal. 199, hadits no. 811) Abu Dzar al-Ghifari Abu Dzar adalah seorang yang bernama asli Jundub bin Junadah bin Sakan (Arab: جندب بن جنادة بن سكن) atau lebih dikenal dengan nama Abu Dzar al- Ghifari. Ia adalah sahabat Nabi Muhammad Shallallâhu ‘Alaihi wa Sallam. Abu Dzar berasal dari suku Ghifar (dikenal sebagai penyamun pada masa sebelum datangnya Islam). Ia memeluk Islam dengan sukarela, ia salah

Upload: muhsin-hariyanto

Post on 25-Jul-2015

352 views

Category:

Documents


19 download

TRANSCRIPT

Page 1: Wasiat rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam kepada abu dzar al ghifari

Yogyakarta, Jumat 13 Februari 2015 Page 1

PENGAJIAN JUMAT PETANG BA’DA MAGHRIB

KAJIAN HADITS TEMATIK MASJID MARGO RAHAYU NAMBURAN KIDUL YOGYAKARTA

Wasiat Rasulullah Shallallâhu ‘Alaihi wa Sallam

Kepada Abu Dzar Al-Ghifari

.

“Dari Abu Dzar radhiyallâhu ‘anhu, ia berkata: “Kekasihku (Rasulullah) Shallallâhu

‘Alaihi wa Sallam berwasiat kepadaku dengan tujuh hal: (1) supaya aku mencintai orang-orang miskin dan dekat dengan mereka, (2) beliau memerintahkan aku agar aku melihat kepada orang yang berada di bawahku dan tidak melihat kepada orang yang berada di atasku, (3) beliau memerintahkan agar aku menyambung silaturrahimku

meskipun mereka berlaku kasar kepadaku, (4) aku dianjurkan agar memerbanyak ucapan lâ haulâ walâ quwwata illâ billâh (tidak ada daya dan upaya kecuali dengan pertolongan Allah), (5) aku diperintah untuk mengatakan kebenaran meskipun pahit, (6) beliau berwasiat agar aku tidak takut celaan orang yang mencela dalam berdakwah kepada

Allah, dan (7) beliau melarang aku agar tidak meminta-minta sesuatu pun kepada

manusia.” (Hadits Riwayat ath-Thabrani, Al-Mu’jam al-Kabîr, juz II, hal. 217,

hadits no. 1626; Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad ibn Hanbal, juz V, hal. 159,

hadits no. 21453 dan Al-Baihaqi, Syu’ab al-Îmân, juz V, hal. 104, hadits no. 3156,

dari dari Abu Dzar. Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani menyatakan

bahwa hadits ini shahih. Lihat: Shahîh at-Targhîb wa at-Tarhîb, juz I, hal. 199,

hadits no. 811)

Abu Dzar al-Ghifari

Abu Dzar adalah seorang yang bernama asli Jundub bin Junadah bin Sakan (Arab: سكن بن جنادة بن جندب ) atau lebih dikenal dengan nama Abu Dzar al-

Ghifari. Ia adalah sahabat Nabi Muhammad Shallallâhu ‘Alaihi wa Sallam.

Abu Dzar berasal dari suku Ghifar (dikenal sebagai penyamun pada masa sebelum datangnya Islam). Ia memeluk Islam dengan sukarela, ia salah

Page 2: Wasiat rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam kepada abu dzar al ghifari

Yogyakarta, Jumat 13 Februari 2015 Page 2

satu sahabat yang terdahulu dalam memeluk Islam. Ia mendatangi Nabi Muhammad langsung ke Mekkah untuk menyatakan keislamannya.

Setelah menyatakan keislamannya, ia berkeliling Mekkah untuk

meneriakkan bahwa ia seorang Muslim, hingga ia dipukuli oleh suku Quraisy. Atas bantuan dari Abbas bin Abdul Muthalib, ia dibebaskan dari suku Quraisy,

setalah suku Quraisy mengetahui bahwa orang yang dipukuli berasal dari suku Ghifar. Ia mengikuti hampir seluruh pertempuran-pertempuran selama Nabi Muhammad Shallallâhu ‘Alaihi wa Sallam hidup.

Orang-orang yang masuk Islam melalui dia, adalah: Ali-al-Ghifari, Anis al-Ghifari, Ramlah al-Ghifariyah.

Dia dikenal sangat setia kepada Rasulullah Shallallâhu ‘Alaihi wa Sallam.

Kesetiaan itu misalnya dibuktikan sosok sederhana ini dalam satu perjalanan pasukan Muslim menuju medan Perang Tabuk melawan kekaisaran Byzantium. Karena keledainya lemah, ia rela berjalan kaki seraya memikul bawaannya. Saat

itu sedang terjadi puncak musim panas yang sangat menyayat.

Dia keletihan dan roboh di hadapan Nabi Shallallâhu ‘Alaihi wa Sallam.

Namun Rasulullah Shallallâhu ‘Alaihi wa Sallam heran kantong airnya masih

penuh. Setelah ditanya mengapa dia tidak minum airnya, tokoh yang juga sering menyampaikan kritik kepada penguasa yang semena-mena ini mengatakan, "Di

perjalanan saya temukan mata air.

Saya minum air itu sedikit dan saya merasakan nikmat. Setelah itu, saya bersumpah tak akan minum air itu lagi sebelum Nabi Shallallâhu ‘Alaihi wa

Sallam meminumnya." Dengan rasa haru, Rasulullah Shallallâhu ‘Alaihi wa

Sallam berujar, "Engkau datang sendirian, engkau hidup sendirian, dan engkau

akan meninggal dalam kesendirian. Tapi serombongan orang dari Irak yang saleh kelak akan mengurus pemakamanmu." Abu Dzar al-Ghifari, sahabat setia

Rasulullah Shallallâhu ‘Alaihi wa Sallam itu, mengabdikan sepanjang hidupnya

untuk Islam.

Sebelum Masuk Islam

Tidak diketahui pasti kapan Abu Dzar lahir. Sejarah hanya mencatat, ia lahir dan tinggal dekat jalur kafilah Mekkah, Syria. Riwayat hitam masa lalu

Abu Dzar tak lepas dari keberadaan keluarganya.

Abu Dzar yang dibesarkan di tengah-tengah keluarga perampok besar Al-Ghiffar saat itu, menjadikan aksi kekerasan dan teror untuk mencapai tujuan

sebagai profesi keseharian. Itu sebabnya, Abu Dzar yang semula bernama Jundub, juga dikenal sebagai perampok besar yang sering melakukan aksi teror

di negeri-negeri di sekitarnya.

Kendati demikian, Jundub pada dasarnya berhati baik. Kerusakan dan derita korban yang disebabkan oleh aksinya kemudian menjadi titik balik dalam

Page 3: Wasiat rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam kepada abu dzar al ghifari

Yogyakarta, Jumat 13 Februari 2015 Page 3

perjalanan hidupnya, insyaf dan berhenti dari aksi jahatnya tersebut. Bahkan tak saja ia menyesali segala perbuatan jahatnya itu, tapi juga mengajak rekan-

rekannya mengikuti jejaknya. Tindakannya itu menimbulkan amarah besar sukunya, yang memaksa Jundub meninggalkan tanah kelahirannya.

Bersama ibu dan saudara lelakinya, Anis al-Ghifari, Abu Dzar hijrah ke

Nejed Atas, Arab Saudi. Ini merupakan hijrah pertama Abu Dzar dalam mencari kebenaran. Di Nejed Atas, Abu Dzar tak lama tinggal. Sekalipun banyak ide-idenya dianggap revolusioner sehingga tak jarang mendapat

tentangan dari masyarakat setempat.

Masuk Islam

Mendengar datangnya agama Islam, Abu Dzar pun berpikir tentang agama baru ini. Saat itu, ajaran Nabi Muhammad Shallallâhu ‘Alaihi wa Sallam

ini telah mulai mengguncangkan kota Mekkah dan membangkitkan gelombang kemarahan di seluruh Jazirah Arab. Abu Dzar yang telah lama merindukan

kebenaran, langsung tertarik kepada Rasulullah, dan ingin bertemu dengan Nabi Shallallâhu ‘Alaihi wa Sallam. Ia pergi ke Mekkah, dan sekali-sekali mengunjungi

Ka'bah. Sebulan lebih lamanya ia memelajari dengan seksama perbuatan dan

ajaran Nabi. Waktu itu masyarakat kota Mekkah dalam suasana saling bermusuhan.

Demikian halnya dengan Ka'bah yang masih dipenuhi berhala dan

sering dikunjungi para penyembah berhala dari suku Quraisy, sehingga menjadi tempat pertemuan yang populer. Nabi Shallallâhu ‘Alaihi wa Sallam juga datang

ke sana untuk salat.

Seperti yang diharapkan sejak lama, Abu Dzar berkesempatan bertemu dengan Nabi Shallallâhu ‘Alaihi wa Sallam. Dan pada saat itulah ia memeluk

agama Islam, dan kemudian menjadi salah seorang pejuang paling gigih dan berani.

Bahkan sebelum masuk Islam, ia sudah mulai menentang pemujaan

berhala. Dia berkata: "Saya sudah terbiasa bersembahyang sejak tiga tahun sebelum mendapat kehormatan melihat Nabi Besar Islam." Sejak saat itu, Abu

Dzar membaktikan dirinya kepada agama Islam.

Kisah masuk Islamnya Abu Dzar

Diceritakan oleh (Abu Jamra): Ibn Abbas r.a berkata pada kami:

Maukah kalian aku ceritakan kisah tentang masuk Islamnya Abu Dzar? Kami menjawab: "Ya"

Abu Dzar berkata, "Aku adalah seorang pria dari kabilah Ghifar, Kami

mendengar bahwa ada seseorang mengaku nabi di Mekkah. Aku bilang pada seorang saudaraku, 'Pergilah temui orang itu, bicaralah dengannya lalu

kabarkanlah beritanya padaku'. Dia pergi menjumpainya dan kembali. Aku

Page 4: Wasiat rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam kepada abu dzar al ghifari

Yogyakarta, Jumat 13 Februari 2015 Page 4

bertanya padanya, 'Ada kabar apa yang kau bawa?', Dia berkata, 'Demi Allah, aku melihat seorang pria mengajak pada hal-hal yang baik dan melarang hal-hal

yang buruk', Aku berkata padanya, 'Kamu tidak memuaskan keingin-tahuanku dengan keterangan yang hanya sedikit itu'.

Aku mengambil kantung air dan tongkat lalu pergi menuju Mekkah.

Aku tak tahu siapa dan seperti apa nabi itu, dan akupun tak mau menanyakan hal itu pada siapapun. Aku terus minum air zam-zam dan terus berdiam diri di sekitar Ka'bah. Lalu Ali lewat didepanku, dia bertanya, 'Sepertinya anda orang

asing di sini? 'Aku jawab 'Ya'.

Dia mengajakku kerumahnya, aku lalu mengikutinya. Dia tidak menanyakan apapun padaku, Akupun tidak mengatakan apa-apa padanya.

Besok paginya aku pergi lagi ke Ka'bah untuk menanyakan perihal nabi

itu pada orang-orang disana, tapi tak seorangpun mengatakan sesuatu tentangnya. Ali kembali lewat dihadapanku dan bertanya, 'Adakah seseorang

yang belum juga menemukan tempat tinggalnya?', Aku bilang,'Tidak'. Dia berkata, 'Kemari mendekatlah padaku'. Lalu dia bertanya, 'Anda punya urusan

apa disini? Apa yang membuat anda datang ke kota ini?'. Aku bilang padanya, 'Jika kamu bisa menjaga rahasiaku, maka aku akan mengatakannya ', Dia menjawab, 'Akan aku lakukan'. Aku berkata padanya, 'Kami mendengar bahwa

ada seseorang di kota ini mengaku dirinya sebagai seorang nabi...aku lalu mengutus seorang saudaraku untuk bicara dengannya dan waktu dia kembali,

dia membawa kabar yang tidak memuaskan. Jadi aku berpikir untuk bertemu dengannya secara langsung'. Ali berkata, 'Tercapailah sudah tujuanmu, Aku

mau menemui dia sekarang, jadi ikutlah denganku dan kemanapun aku masuk ke suatu tempat, masuklah setelahku. Jika aku menjumpai seseorang yang mungkin akan menyusahkanmu, aku akan berdiri didekat tembok berpura-pura

memerbaiki sepatuku (sebagai tanda peringatan) dan anda harus segera pergi'.

Kemudian Ali berjalan dan aku mengikutinya sampai dia masuk ke suatu tempat dan aku masuk dengannya menemui sang nabi yang padanya aku

berkata, 'Terangkanlah hakekat Islam itu padaku'. Waktu dia menjelaskannya, aku langsung menyatakan masuk Islam seketika itu juga. Nabi bersabda,'Wahai

Abu Dzar, simpanlah perkataanmu itu sebagai rahasiamu dan pulanglah ke daerah asalmu dan apabila kamu mendengar kabar tentang kemenangan kami,

kembalilah temuilah kami'. Aku berkata, 'Demi Dia Yang telah mengutus

engkau dalam kebenaran, aku akan mengumumkan ke-Islamanku secara terang-terangan dihadapan mereka (kaum musyrikin)'. Abu Dzar pergi ke Ka'bah

dimana banyak orang-orang Quraish berkumpul, lalu berseru, 'Hai, Kalian orang-orang Quraish! Aku bersaksi (Asyhadu a lâ ilâha ill-Allah wa asyhadu

anna Muhammadan abduhû wa rasûluhu) Tiada Tuhan selain Allah dan aku

bersaksi Muhammad itu hamba dan rasul Allah!'. (Mendengar hal itu) Orang-orang Quraish itu berteriak, 'Tangkap Sâbi itu (Muslim itu)! Mereka bangkit lalu

memukuliku sampai hampir mati. Al Abbas melihatku lalu menabrakkan badannya ke badanku untuk melindungiku. Lalu dia menghadapi mereka dan

berkata, 'Ada apa dengan kalian ini! Apakah kalian mau membunuh seorang

Page 5: Wasiat rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam kepada abu dzar al ghifari

Yogyakarta, Jumat 13 Februari 2015 Page 5

dari kabilah Ghifar?, padahal selama ini kalian berdagang dan berkomunikasi dengan dunia luar melewati daerah kekuasaan mereka?!'. Mereka lalu

meninggalkanku...

Besok paginya aku kembali ke Ka'bah dan berseru sama persis seperti yang aku lakukan kemarin, mereka kembali berteriak, 'Tangkap Sâbi itu (Muslim

itu)!'. Lalu aku dipukuli (sampai hampir mati) sama seperti kemarin, dan kembali Al-Abbas menghampiri diriku dan menabrakkan badannya ke badanku untuk melindungiku, dan dia berkata pada mereka sama seperti yang dia

lakukan kemarin.

Begitulah kisah tentang masuk Islamnya Abu Dzar r.a.

Menjadi Sahabat Nabi

Mendapat kepercayaan Nabi Shallallâhu ‘Alaihi wa Sallam, Abu Dzar

r.a. ditugaskan mengajarkan Islam di kalangan sukunya. Meskipun tak sedikit

rintangan yang dihadapinya, misi Abu Dzar tergolong sukses. Bukan hanya ibu dan saudara-saudaranya, hampir seluruh sukunya yang suka merampok berhasil

diislamkan. Itu pula yang mencatatkan dirinya sebagai salah seorang penyiar Islam fase pertama dan terkemuka.

Rasulullah sendiri sangat menghargainya. Ketika dia meninggalkan

Madinah untuk terjun dalam "Perang pakaian compang-camping", dia diangkat sebagai imam dan administrator kota itu. Saat akan meninggal dunia, Nabi memanggil Abu Dzar. Sambil memeluknya, Rasulullah berkata: "Abu Dzar

akan tetap sama sepanjang hidupnya." Ucapan Nabi ternyata benar, Abu Dzar tetap dalam kesederhanaan dan sangat saleh. Seumur hidupnya ia mencela sikap

hidup kaum kapitalis, terutama pada masa khalifah ketiga, Usman bin Affan, ketika kaum Quraisy hidup dalam gelimangan harta.

Bagi Abu Dzar, masalah prinsip adalah masalah yang tak bisa ditawar-

tawar. Itu sebabnya, hartawan yang dermawan ini gigih memertahankan prinsip egaliter Islam. Penafsirannya mengenai "Ayat Kanz" (tentang pemusatan

kekayaan), dalam surat Attaubah, menimbulkan pertentangan pada masa pemerintahan Usman, khalifah ketiga.

"Mereka yang suka sekali menumpuk emas dan perak dan tidak

memanfaatkannya di jalan Allah, beritahukan mereka bahwa hukuman yang sangat mengerikan akan mereka terima. Pada hari itu, kening, samping dan punggung mereka akan dicap dengan emas dan perak yang dibakar sampai

merah, panasnya sangat tinggi, dan tertulis: Inilah apa yang telah engkau kumpulkan untuk keuntunganmu. Sekarang rasakan hasil yang telah engkau

himpun."

Atas dasar pemahamannya inilah, Abu Dzar menentang keras ide menumpuk harta kekayaan dan menganggapnya sebagai bertentangan dengan

semangat Islam. Soal ini, sedikit pun Abu Dzar tak mau kompromi dengan

Page 6: Wasiat rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam kepada abu dzar al ghifari

Yogyakarta, Jumat 13 Februari 2015 Page 6

kapitalisme di kalangan kaum Muslimin di Syria yang diperintah Muawiyah, saat itu.

Menurutnya, sebagaimana dikutip dalam buku Tokoh-tokoh Islam

yang Diabadikan Alquran, merupakan kewajiban Muslim sejati menyalurkan kelebihan hartanya kepada saudara-saudaranya yang miskin.

Untuk memerkuat pendapatnya itu, Abu Dzar mengutip peristiwa masa

Nabi: "Suatu hari, ketika Nabi Besar sedang berjalan bersama-sama Abu Dzar, terlihat pegunungan Ohad.

Nabi berkata kepada Abu Dzar, 'Jika aku mempunyai emas seberat

pegunungan yang jauh itu, aku tidak perlu melihatnya dan memilikinya kecuali bila diharuskan membayar utang-utangku. Sisanya akan aku bagi-bagikan kepada hamba Allah'."n her

Pelayan Dhuafa dan Pelurus Penguasa

Semasa hidupnya, Abu Dzar al-Ghifari sangat dikenal sebagai

penyayang kaum dhuafa. Kepedulian terhadap golongan fakir ini bahkan menjadi sikap hidup dan kepribadian Abu Dzar. Sudah menjadi kebiasaan

penduduk Ghiffar pada masa jahiliyah merampok kafilah yang lewat. Abu Dzar sendiri, ketika belum masuk Islam, kerap kali merampok orang-rang kaya.

Namun hasilnya dibagi-bagikan kepada kaum dhuafa. Kebiasaan itu berhenti begitu menyatakan diri masuk agama terakhir ini.

Prinsip hidup sederhana dan peduli terhadap kaum miskin itu tetap ia pegang di tempat barunya, di Syria. Namun di tempat baru ini, ia menyaksikan

gubernur Muawiyah hidup bermewah-mewah. Ia malahan memusatkan kekuasaannya dengan bantuan kelas yang mendapat hak istimewa, dan dengan

itu mereka telah menumpuk harta secara besar-besaran. Ajaran egaliter Abu Dzar membangkitkan massa melawan penguasa dan kaum borjuis itu.

Keteguhan prinsipnya itu membuat Abu Dzar sebagai 'duri dalam daging' bagi penguasa setempat.

Ketika Muawiyah membangun istana hijaunya, Al Khizra, salah satu

ahlus shuffah (sahabat Nabi SAW yang tinggal di serambi Masjid Nabawi) ini mengkritik khalifah, "Kalau Anda membangun istana ini dari uang negara, berarti Anda telah menyalahgunakan uang negara. Kalau Anda membangunnya

dengan uang Anda sendiri, berarti Anda melakukan 'israf' (pemborosan)." Muawiyah hanya terpesona dan tidak menjawab peringatan itu.

Muawiyah berusaha keras agar Abu Dzar tidak meneruskan ajarannya.

Tapi penganjur egaliterisme itu tetap pada prinsipnya. Muawiyah kemudian mengatur sebuah diskusi antara Abu Dzar dan ahli-ahli agama. Sayang,

pendapat para ahli itu tidak memengaruhinya.

Page 7: Wasiat rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam kepada abu dzar al ghifari

Yogyakarta, Jumat 13 Februari 2015 Page 7

Muawiyah melarang rakyat berhubungan atau mendengarkan pengajaran salah satu sahabat yang ikut dalam penaklukan Mesir, pada masa

khalifah Umar bin Khattab ini. Kendati demikian, rakyat tetap berduyun-duyun meminta nasihatnya. Akhirnya Muawiyah mengadu kepada khalifah Usman. Ia mengatakan bahwa Abu Dzar mengajarkan kebencian kelas di Syria, hal yang

dianggapnya dapat membawa akibat yang serius.

Keberanian dan ketegasan sikap Abu Dzar ini mengilhami tokoh-tokoh besar selanjutnya, seperti Hasan Basri, Ahmad bin Hanbal, Ibnu Taimiyah, dan

lainnya. Karena itulah, tak berlebihan jika sahabat Ali Ra, pernah berkata: "Saat ini, tidak ada satu orang pun di dunia, kecuali Abuzar, yang tidak takut kepada

semburan tuduhan yang diucapkan oleh penjahat agama, bahkan saya sendiri pun bukan yang terkecuali."

Penjelasan

Hadits di atas mengajarkan kepada diri kita – umat Islam – untuk melaksakan amal shalih dan meninggalkan perbuatan tercela.

Pertama: Mencintai Orang-orang Miskin dan Dekat Dengan Mereka.

Wasiat yang Rasulullah Shallallâhu ‘Alaihi wa Sallam tujukan untuk Abu

Dzar ini, pada hakikatnya adalah wasiat untuk umat Islam secara umum. Dalam

hadits ini, Nabi Shallallâhu ‘Alaihi wa Sallam berwasiat kepada Abu Dzar agar

mencintai orang-orang miskin dan dekat dengan mereka. Kita sebagai ummat

Islam hendaknya menyadari bahwa nasihat Beliau (Rasulullah) Shallallâhu

‘Alaihi wa Sallam ini tertuju juga kepada kita semua.

Orang-orang miskin yang dimaksud, adalah mereka yang hidupnya

tidak berkecukupan, tidak punya kepandaian untuk mencukupi kebutuhannya,

dan mereka tidak mau meminta-minta kepada manusia. Pengertian ini sesuai dengan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

. "Orang miskin itu bukanlah mereka yang berkeliling meminta-minta kepada orang lain agar diberikan sesuap dan dua suap makanan dan satu-dua butir kurma.” Para sahabat bertanya: “Ya Rasulullah, (kalau begitu) siapa yang dimaksud orang miskin itu?” Beliau

Page 8: Wasiat rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam kepada abu dzar al ghifari

Yogyakarta, Jumat 13 Februari 2015 Page 8

menjawab,"Mereka ialah orang yang hidupnya tidak berkecukupan, dan dia tidak mempunyai kepandaian untuk itu, lalu dia diberi shadaqah (zakat), dan mereka tidak

mau meminta-minta sesuatu pun kepada orang lain.”1

Islam menganjurkan umatnya berlaku tawadhu` terhadap orang-orang

miskin, duduk bersama mereka, menolong mereka, serta bersabar bersama mereka.

Ketika Rasulullah Shallallâhu ‘Alaihi wa Sallam berkumpul bersama

orang-orang miskin, datanglah beberapa pemuka Quraisy hendak berbicara

dengan Beliau (Rasulullah) Shallallâhu ‘Alaihi wa Sallam, tetapi mereka enggan

duduk bersama dengan orang-orang miskin itu, lalu mereka menyuruh beliau

agar mengusir orang-orang fakir dan miskin yang berada bersama beliau. Maka

masuklah dalam hati beliau keinginan untuk mengusir mereka, dan ini terjadi

dengan kehendak Allah Subhânahu wa Ta’ala. Lalu turunlah ayat:

“Janganlah engkau mengusir orang yang menyeru Rabb-nya di pagi dan petang hari,

mereka mengharapkan wajah-Nya.” (QS al-An’âm/6: 52).2

Mencintai orang-orang miskin dan dekat dengan mereka, yaitu dengan

membantu dan menolong mereka, bukan sekadar dekat dengan mereka. Apa

yang ada pada kita, kita berikan kepada mereka karena kita akan diberikan kemudahan oleh Allah Subhânahu wa Ta’ala dalam setiap urusan, dihilangkan

kesusahan pada hari Kiamat, dan memeroleh pahala yang besar.

Rasulullah Shallallâhu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

... “Barangsiapa menghilangkan satu kesusahan dunia dari seorang mukmin, Allah akan menghilangkan darinya satu kesusahan di hari Kiamat. Dan barangsiapa yang

memudahkan kesulitan orang yang dililit utang, Allah akan memudahkan atasnya di

dunia dan akhirat…”3

1HR Muslim, Shahîh Muslim, juz III, hal. 95, hadits no. 2440 dan an-Nasâ`i,

Sunan an-Nasâiy, juz V, hal. 85, hadits no. 2572, dari Abu Hurairah radhiyallâhu ‘anhu. 2HR Muslim, Shahîh Muslim, juz VII, hal. 127, hadits no. 6394, HR Ibnu Majah,

Sunan ibn Mâjah, juz V, hal. 243, hadits no. 4128, dari Sa’ad bin Abi Waqqash; dan Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qurân al-‘Azhîm, juz III, hal. 90.

3HR Muslim, Shahîh Muslim, juz VIII, hal. 71, hadits no. 7028; At-Tirmidzi, Sunan at-Tirmidzi, juz IV, hal. 34, hadits no. 1425; Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad

Page 9: Wasiat rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam kepada abu dzar al ghifari

Yogyakarta, Jumat 13 Februari 2015 Page 9

Beliau (Rasulullah) Shallallâhu ‘Alaihi wa Sallam juga bersabda:

.

"Orang yang membiayai kehidupan para janda dan orang-orang miskin bagaikan orang yang berjihad fî sabîlillâh.” –Saya (perawi) kira beliau bersabda-, “Dan bagaikan orang

yang shalat tanpa merasa bosan serta bagaikan orang yang berpuasa terus-menerus.”4

Rasulullah Shallallâhu ‘Alaihi wa Sallam selalu berkumpul bersama

orang-orang miskin, sampai-sampai beliau berdo’a kepada Allah agar

dihidupkan dengan tawadhu’, akan tetapi beliau mengucapkannya dengan kata "miskin".

. “Ya Allah, hidupkanlah aku dalam keadaan miskin, matikanlah aku dalam keadaan miskin, dan kumpulkanlah aku bersama rombongan orang-orang miskin.”5

Ini adalah doa dari beliau Shallallâhu ‘Alaihi wa Sallam agar Allah

Subhânahu wa Ta’ala memberikan sifat tawadhu` dan rendah hati, serta agar

tidak termasuk orang-orang yang sombong lagi zhalim maupun orang-orang

kaya yang melampaui batas. Makna hadits ini bukanlah meminta agar beliau menjadi orang miskin, sebagaimana yang dijelaskan oleh Ibnu Atsir

rahimahulâh, bahwa kata "miskin" dalam hadits di atas adalah tawadhu’.6 Sebab, di dalam hadits yang lain Rasulullah Shallallâhu ‘Alaihi wa Sallam

berlindung dari kefakiran.7 Beliau berdoa seperti ini, karena beliau mengetahui bahwa orang-orang

miskin akan memasuki surga lebih dahulu daripada orang-orang kaya. Tenggang

bin Hanbal, juz II, hal. 252, hadits no. 7421; Ath-Thabrani, Al-Mu’jam al-Kabîr, XIV, 30. Hadits no. 15682; dan Al-Baihaqi, Syu’ab al-Îmân, III, 218, hadits no. 1572; dari Abu Hurairah radhiyallâhu ‘anhu.

4HR al-Bukhari, Shahîh al-Bukhâriy, juz VIII, hal. 11, hadits no. 6007 dan Muslim, Shahîh Muslim, juz VIII, hal. 221, hadits no. 7659, dari Abu Hurairah.

5HR At-Tirmidzi, Sunan at-Tirmidzi, juz IV, hal. 577, hadits no. 2352 dari Anas bin Malik; Ibnu Majah, Sunan ibn Mâjah, juz V, hal. 240, hadits no. 4126 dari Abu Sa’id al-Khudriy; dan Al-Baihaqi, As-Sunan al-Kubrâ, juz VII, hal. 12, hadits no. 13530 dari Anas bin Malik.

6Lihat: Ibn al-Atsir, An-Nihâyah fî Gharîb al-Hadîts, juz II, hal. 385. 7Lihat: HR an-Nasâ`i, Sunan an-Nasâ’i, juz VIII, hal. 265 dan 268) dan al-

Hakim. Al-Mustadrak, juz I, hal. 531.

Page 10: Wasiat rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam kepada abu dzar al ghifari

Yogyakarta, Jumat 13 Februari 2015 Page 10

waktu antara masuknya orang-orang miskin ke dalam surga sebelum orang kaya dari kalangan kaum muslimin adalah setengah hari, yaitu lima ratus tahun.

Rasulullah Shallallâhu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

.

“Orang-orang faqir kaum Muslimin akan memasuki surga sebelum orang-orang kaya

(dari kalangan kaum Muslimin) selama setengah hari, yaitu lima ratus tahun.”8

Orang–orang miskin yang masuk surga ini, adalah mereka yang taat kepada Allah, mentauhidkan-Nya dan menjauhi perbuatan syirik, menjalankan sunnah dan menjauhi perbuatan bid’ah, menjalankan perintah-perintah Allah

dan menjauhi segala larangan-Nya.

Sebab terlambatnya orang-orang kaya memasuki surga selama lima ratus tahun, adalah karena semua harta mereka akan dihitung dan

dipertanggungjawabkan di hadapan Allah Subhânahu wa Ta’ala.

Dalam hadits yang lain Rasulullah Shallallâhu ‘Alaihi wa Sallam berdo’a

agar mencintai orang-orang miskin. Rasulullah Shallallâhu ‘Alaihi wa Sallam

bersabda:

.

“Ya Allah, aku memohon kepada-Mu agar aku dapat melakukan perbuatan-perbuatan baik, meninggalkan perbuatan munkar, mencintai orang miskin, dan agar Engkau mengampuni dan menyayangiku. Jika Engkau hendak menimpakan suatu fitnah (malapetaka) pada suatu kaum, maka wafatkanlah aku dalam keadaan tidak terkena

fitnah itu. Dan aku memohon kepada-Mu rasa cinta kepada-Mu, rasa cinta kepada orang-orang yang mencintaimu, dan rasa cinta kepada segala perbuatan yang

mendekatkanku untuk mencintai-Mu.”9

8HR Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad ibn Hanbal, juz II, hal. 243, hadits no.

8502; An-Nasâ’i, Sunan an-Nasâ’i, juz X, hal. 192, hadits no. 11285, Ath-Thabrani, Al-Mu’jam al-Kabîr, juz XX, hal. 23 , hadits no. 1259 dan At-Tirmidzi, Sunan at-Tirmidzi, juz IX, hal. 164, hadits no. 2528, dari Abu Hurairah radiyallâhu ‘anhu.

9HR Malik bin Anas, Al-Muwaththa’, juz I, hal 218., hadits no. 508; At-

Page 11: Wasiat rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam kepada abu dzar al ghifari

Yogyakarta, Jumat 13 Februari 2015 Page 11

Selain itu, dengan menolong orang-orang miskin dan lemah, kita akan

memeroleh rezeki dan pertolongan dari Allah Subhânahu wa Ta’ala.

Rasulullah Shallallâhu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

“Kalian hanyalah mendapat pertolongan dan rezeki dengan sebab adanya orang-orang

lemah dari kalangan kalian.”10

Beliau Shallallâhu ‘Alaihi wa Sallam juga bersabda:

.

“Sesungguhnya Allah menolong ummat ini dengan sebab orang-orang lemah mereka di

antara mereka, yaitu dengan doa, shalat, dan keikhlasan mereka.”11

Kedua: Melihat Kepada Orang Yang Lebih Rendah Kedudukannya

Dalam Hal Materi dan Penghidupan Rasulullah Shallallâhu ‘Alaihi wa Sallam memerintahkan kita agar

melihat orang yang berada di bawah kita dalam masalah kehidupan dunia dan

mata pencaharian. Tujuan dari hal itu, agar kita tetap mensyukuri nikmat yang telah Allah berikan kepada kita. Rasulullah Shallallâhu ‘Alaihi wa Sallam

bersabda:

. “Lihatlah kepada orang yang berada di bawahmu dan jangan melihat orang yang berada di atasmu, karena yang demikian lebih patut, agar kalian tidak meremehkan nikmat

Allah yang telah diberikan kepadamu.”12

Tirmidzi, Sunan at-Tirmidzi, juz V, hal. 366, hadits no. 3233 ; Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad ibn Hanbal, juz V, hal. 243, hadits no. 22162; Al-Hakim, Al-Mustadrak, juz I, hal. 708, hadits no. 1932; Ath-Thabrani, Al-Mu’jam al-Kabîr, juz XV, hal. 22, hadits no. 16640; dan Al-Baihaqi, Ad-Da’awât al-Kabîr, juz I, hal. 294, hadits no. 207, dari Tsauban.

10HR al-Bukhari dari Mush’ab bin Sa’ad bin Abi Waqqash, Shahîh al-Bukhâriy, juz IV, hal. 44, hadits no. 2896;

11HR An-Nasâ’i dari Mush’ab bin bin Sa’ad dari Ayahnya (Sa’ad bin Abi Waqqash), Sunan an-Nasâ’i, juz VI, hal. 45, hadits no. 3178.

12HR At-Tirmidzi dari Abu Hurairah, Sunan at-Tirmidzi, juz IX, hal. 426, hadits

Page 12: Wasiat rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam kepada abu dzar al ghifari

Yogyakarta, Jumat 13 Februari 2015 Page 12

Nabi Shallallâhu ‘Alaihi wa Sallam melarang seorang Muslim melihat

kepada orang yang di atas. Maksudnya, jangan melihat kepada orang kaya, banyak harta, kedudukan, jabatan, gaji yang tinggi, kendaraan yang mewah,

rumah mewah, dan lainnya. Dalam kehidupan dunia terkadang kita melihat kepada orang-orang yang berada di atas kita. Hal ini merupakan kesalahan yang fatal. Dalam masalah tempat tinggal, misalnya, terkadang seseorang hidup

bersama keluarganya dengan "mengontrak rumah", maka dengan keadaannya ini hendaklah ia bersyukur karena masih ada orang-orang yang tidak memiliki

tempat tinggal dan tidur beratapkan langit. Begitu pun dalam masalah penghasilan, terkadang seseorang hanya mendapat nafkah yang hanya cukup

untuk makan hari yang sedang dijalaninya saja, maka dalam keadaan ini pun ia harus tetap bersyukur karena masih ada orang-orang yang tidak memiliki penghasilan dan ada orang yang hanya hidup dari menggantungkan harapannya

kepada orang lain.

Sedangkan dalam masalah agama, ketaatan, pendekatan diri kepada Allah, meraih pahala dan surga, maka sudah seharusnya kita melihat kepada

orang yang berada di atas kita, yaitu para nabi, orang-orang yang jujur, para syuhada’, dan orang-orang yang shalih. Apabila para salaf ash-shâlih sangat

bersemangat dalam melakukan shalat, puasa, shadaqah, membaca al-Qur`ân,

dan perbuatan baik lainnya, maka kita pun harus berusaha melakukannya seperti mereka. Dan inilah yang dinamakan berlomba-lomba dalam kebaikan.

Dalam masalah berlomba-lomba meraih kebaikan ini, Allah Subhânahu

wa Ta’ala berfirman:

“Dan untuk yang demikian itu, hendaknya orang berlomba-lomba.” (QS al-

Muthaffifîn/83: 26).

Rasulullah Shallallâhu ‘Alaihi wa Sallam memerintahkan kita melihat

kepada orang yang berada di bawah kita dalam masalah dunia, agar kita menjadi orang-orang yang bersyukur dan qana’ah. Yaitu merasa cukup dengan

apa yang Allah telah karuniakan kepada kita, tidak hasad dan tidak iri kepada manusia.

Apabila seorang muslim hanya mendapatkan makanan untuk hari yang

sedang ia jalani sebagai kenikmatan yang paling besar baginya. Rasulullah

Shallallâhu ‘Alaihi wa Sallam telah menyinggung hal ini dalam sabdanya:

no. 2703.

Page 13: Wasiat rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam kepada abu dzar al ghifari

Yogyakarta, Jumat 13 Februari 2015 Page 13

. “Siapa saja di antara kalian yang merasa aman di tempat tinggalnya, diberikan kesehatan pada badannya, dan ia memiliki makanan untuk harinya itu, maka seolah-

olah ia telah memiliki dunia seluruhnya.”13

Abu Dzar radhiyallâhu ‘anhu adalah teladan kita dalam hal ini. Beliau

mencari makan untuk hari yang sedang dijalaninya, sedangkan untuk esok harinya beliau mencarinya lagi. Beliau melakukan yang demikian itu terus-

menerus dalam kehidupannya. Mudah-mudahan Allah meridhai beliau.

Ketiga: Menyambung Silaturrahim, Meskipun Karib Kerabat Berlaku

Kasar. Imam Ibnu Manzhur rahimahullâh berkata tentang silaturrahim: “Al-

Imam Ibnu al-Atsir rahimahullâh berkata: ‘Silaturrahim adalah ungkapan mengenai perbuatan baik kepada karib kerabat karena hubungan senasab atau

karena perkawinan, berlemah lembut kepada mereka, menyayangi mereka, memerhatikan keadaan mereka, meskipun mereka jauh dan berbuat jahat.

Sedangkan memutus silaturrahim, adalah lawan dari hal itu semua’.”14

Dari pengertian di atas, maka silaturrahim hanya ditujukan pada orang-orang yang memiliki hubungan kerabat dengan kita, seperti kedua orang tua, kakak, adik, paman, bibi, keponakan, sepupu, dan lainnya yang memiliki

hubungan kerabat dengan kita.

Sebagian besar kaum muslimin salah dalam menggunakan kata silaturrahim. Mereka menggunakannya untuk hubungan mereka dengan rekan-

rekan dan kawan-kawan mereka. Padahal silaturrahim hanyalah terbatas pada orang-orang yang memiliki hubungan kekerabatan dengan kita. Adapun kepada orang yang bukan kerabat, maka yang ada hanyalah Ukhuwwah Islamiyyah

(persaudaraan Islam).

Silaturrahim yang hakiki bukanlah menyambung hubungan baik

dengan orang yang telah berbuat baik kepada kita, namun silaturrahim yang

hakiki adalah menyambung hubungan kekerabatan yang telah retak dan putus, dan berbuat baik kepada kerabat yang berbuat jahat kepada kita. Rasulullah Shallallâhu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

13HR At-Tirmidzi dari ‘Ubaidullah bin Mihshan al-Khathmi dari Ayahya, Sunan

at-Tirmidzi, juz IX, hal. 150, hadits no. 2517. 14Lisân al-‘Arab, Juz XV, hal. 318.

Page 14: Wasiat rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam kepada abu dzar al ghifari

Yogyakarta, Jumat 13 Februari 2015 Page 14

.

“Orang yang menyambung kekerabatan bukanlah orang yang membalas kebaikan, tetapi orang yang menyambungnya adalah orang yang menyambung kekerabatannya apabila

diputus.”15

Imam al-‘Allamah ar-Raghib al-Asfahani rahimahullâh menyatakan

bahwa rahim berasal dari kata rahmah yang berarti lembut, yang memberi konsekuensi berbuat baik kepada orang yang disayangi.16

Ar-Rahîm, adalah salah satu nama Allah. Rahîm (kekerabatan), Allah

letakkan di ‘Arsy.

Rasulullah Shallallâhu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

.

“Rahîm (kekerabatan) itu tergantung di ‘Arsy. Dia berkata,"Siapa yang

menyambungku, Allah akan menyambungnya. Dan siapa yang memutuskanku, Allah akan memutuskannya.”17

Menyambung silaturrahim dan berbuat baik kepada orang tua adalah

wajib berdasarkan dalil-dalil dari Al-Qur`ân dan as-Sunnah. Sebaliknya, memutus silaturrahim dan durhaka kepada orang tua adalah haram dan

termasuk dosa besar. Allah Subhânahu wa Ta’ala berfirman:

“… dan memutuskan apa yang diperintahkan Allah untuk disambungkan…” (QS al-

Baqarah/2: 27).

Dalam menafsirkan ayat di atas, al-Imam Ibnu Jarir ath-Thabari

berkata: “Pada ayat di atas, Allah menganjurkan hamba-Nya agar menyambung hubungan kerabat dan orang yang memiliki hubungan rahim, serta tidak memutuskannya”.18

15HR al-Bukhari dari ‘Abdullah bin ‘Amr al-‘Ash, Shahîh al-Bukhâriy, juz VIII,

hal. 7, hadits no. 5991. 16Lihat: Al-Mufrâdât li Alfâzh al-Qur`ân, halaman 347. 17HR Muslim dari ‘Aisyah r.a., Shahîh Muslim, juz VIII, hal. 7, hadits no. 6683. 18Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân Fî Ta’wîl al-Qurân, juz I, hal. 221.

Page 15: Wasiat rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam kepada abu dzar al ghifari

Yogyakarta, Jumat 13 Februari 2015 Page 15

Rasulullah Shallallâhu ‘Alaihi wa Sallam mengaitkan antara

menyambung silaturrahim dengan keimanan terhadap Allah dan hari Akhir.

Beliau (Rasulullah) Shallallâhu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

. “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari Akhir, hendaklah ia menyambung silaturrahim.”19

Dengan bersilaturrahim, Allah akan melapangkan rezeki dan memanjangkan umur kita. Sebaliknya, orang yang memutuskan silaturrahim,

Allah akan sempitkan rezekinya atau tidak diberikan keberkahan pada hartanya. Adapun haramnya memutuskan silaturrahim telah dijelaskan oleh

Rasulullah Shallallâhu ‘Alaihi wa Sallam dalam sabdanya:

.

“Tidak masuk surga orang yang memutuskan silaturrahim.”20

Bersilaturrahim dapat dilakukan dengan cara mengunjungi karib

kerabat, menanyakan kabarnya, memberikan hadiah, bersedekah kepada mereka

yang miskin, menghormati mereka yang berusia lebih tua dan menyayangi yang lebih muda dan lemah, serta menanyakan terus keadaan mereka, baik dengan

cara datang langsung, melalui surat, maupun dengan menghubunginya lewat telepon ataupun short message service (sms). Bisa juga dilakukan dengan meminta

mereka untuk bertamu, menyambut kedatangannya dengan suka cita, memuliakannya, ikut senang bila mereka senang dan ikut sedih bila mereka sedih, mendoakan mereka dengan kebaikan, tidak hasad (dengki) terhadapnya,

mendamaikannya bila berselisih, dan bersemangat untuk mengokohkan hubungan di antara mereka. Bisa juga dengan menjenguknya bila sakit,

memenuhi undangannya, dan yang paling mulia ialah bersemangat untuk berdakwah dan mengajaknya kepada hidayah, tauhid, dan Sunnah, serta

menyuruh mereka melakukan kebaikan dan melarang mereka melakukan dosa dan maksiat.

Hubungan baik ini harus terus berlangsung dan dijaga kepada karib kerabat yang baik dan istiqamah di atas Sunnah. Adapun terhadap karib kerabat

19HR al-Bukhari dari ‘Uqbah bin ‘Amir, Shahîh al-Bukhâriy, juz VIII, hal. 39,

hadits no. 6138. 20HR al-Bukhari dari, Shahîh al-Bukhâriy, juz VIII, hal. 6, hadits no. 5984 dan

Muslim, Shahîh Muslim, juz VIII, hal. 7, hadits no. 6684. dari Jubair bin Muth’im..

Page 16: Wasiat rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam kepada abu dzar al ghifari

Yogyakarta, Jumat 13 Februari 2015 Page 16

yang kafir atau fasik atau pelaku bid’ah, maka menyambung kekerabatan dengan mereka dapat melalui nasihat dan memberikan peringatan, serta berusaha

dengan sungguh-sungguh dalam melakukannya.21 Silaturrahim yang paling utama adalah silaturrahim kepada kedua

orang tua. Orang tua adalah kerabat yang paling dekat, yang memiliki jasa yang sangat besar, mereka memberikan kasih dan sayangnya sepanjang hidup mereka.

Maka tidak aneh jika hak-hak mereka memiliki tingkat yang besar setelah beribadah kepada Allah. Di dalam al-Qur`ân terdapat banyak ayat yang

memerintahkan kita agar berbakti kepada kedua orang tua. Birrul-walidain adalah berbuat baik kepada kedua orang tua, baik berupa

bantuan materi, doa, kunjungan, perhatian, kasih sayang, dan menjaga nama baik pada saat keduanya masih hidup maupun setelah keduanya meninggal

dunia. Birrul-walidain adalah perbuatan baik yang paling baik.

Diriwayatkan dari Sahabat ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallâhu ‘anhu, ia berkata: Aku bertanya kepada Rasulullah Shallallâhu ‘Alaihi wa Sallam:

. “Amal apakah yang paling utama?” Beliau menjawab,"Shalat pada waktunya (dalam

riwayat lain disebutkan shalat di awal waktunya).” Aku bertanya,"Kemudian apa?” Beliau menjawab,"Berbakti kepada kedua orang tua.” Aku bertanya,"Kemudian apa?”

Beliau menjawab,"Jihad di jalan Allah.”22

Selain itu, Allah Subhânahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya melarang kita

berbuat durhaka kepada kedua orang tua. Sebab, durhaka kepada kedua orang tua adalah dosa besar yang paling besar.

Silaturrahim memiliki sekian banyak manfaat yang sangat besar, di antaranya sebagai berikut.

1. Dengan bersilaturrahim, berarti kita telah menjalankan perintah Allah

dan Rasul-Nya. 2. Dengan bersilaturrahim akan menumbuhkan sikap saling tolong-

menolong dan mengetahui keadaan karib kerabat.

21Lihat: Syaikh Muhammad bin Ibrahim al-Hamd, Qathî`ah ar-Rahim: Al-

Mazhâhir al-Asbâb Subul al-‘Ilâj, hal. 21-22. 22HR Muslim dari Abdullah bin Mas’ud, Shahîh Muslim, juz I, hal. 62, hadits no.

262.

Page 17: Wasiat rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam kepada abu dzar al ghifari

Yogyakarta, Jumat 13 Februari 2015 Page 17

3. Dengan bersilaturrahim, Allah akan meluaskan rezeki dan memanjangkan umur kita. Rasulullah Shallallâhu ‘Alaihi wa Sallam

bersabda bersabda:

.

“Barangsiapa yang suka diluaskan rezekinya dan dipanjangkan umurnya, maka hendaklah ia menyambung tali silaturrahim.”23

4. Dengan bersilaturrahim, kita dapat menyampaikan dakwah,

menyampaikan ilmu, menyuruh berbuat baik, dan mencegah berbagai kemungkaran yang mungkin akan terus berlangsunng apabila kita tidak

mencegahnya. 5. Silaturrahim sebagai sebab seseorang masuk surga.

Diriwayatkan dari Abu Ayyub al-Anshari Radhiyallahu anhu, bahwasanya ada seorang laki-laki yang bertanya kepada Rasulullah

Shallallâhu ‘Alaihi wa Sallam: “Wahai Rasulullah, beritahukanlah

kepadaku suatu amal yang dapat memasukkanku ke dalam surga dan

menjauhkanku dari neraka,” maka Nabi Shallallâhu ‘Alaihi wa Sallam

bersabda:

. “Engkau beribadah kepada Allah dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu pun, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan menyambung silaturrahim.”24

Keempat: Memerbanyak Ucapan ‘Lâ Haula wa lâ Quwwata illâ Billâh’

(Tidak Ada Daya dan Upaya Kecuali Dengan Pertolongan Allah)

Mengapa Rasulullah Shallallâhu ‘Alaihi wa Sallam menyebutkan kalimat

lâ haulâ wa lâ quwwata illâ billâh?

Jawabannya, agar kita melepaskan diri kita dari segala apa yang kita

merasa mampu untuk melakukannya, dan kita serahkan semua urusan kepada

Allah. Sesungguhnya yang dapat menolong dalam semua aktivitas kita hanyalah Allah Subhânahu wa Ta’ala, dan ini adalah makna ucapan kita setiap kali

melakukan shalat,

23HR al-Bukhari, Shahîh al-Bukhâriy, juz VIII, hal. 6, hadits no. 5986 dan

Muslim, Shahîh Muslim, juz VIII, hal. 8, hadits no. 6688, dari Anas bin Malik. 24HR al-Bukhari dari Abu Ayyub, Shahîh al-Bukhâriy, juz II, hal. 130, hadits no.

1396.

Page 18: Wasiat rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam kepada abu dzar al ghifari

Yogyakarta, Jumat 13 Februari 2015 Page 18

“Hanya kepada-Mu kami beribadah dan hanya kepada-Mu kami memohon

pertolongan.” (QS al-Fâtihah/1: 5)

Dan kalimat ini, adalah makna dari doa yang sering kita ucapkan

dalam akhir shalat kita:

.

“Ya Allah, tolonglah aku agar dapat berdzikir kepada-Mu, bersyukur kepada-Mu, dan

beribadah dengan baik kepada-Mu.”25

Pada hakikatnya seorang hamba tidak memiliki daya dan upaya kecuali

dengan pertolongan Allah. Seorang penuntut ilmu tidak akan mungkin duduk di majelis ilmu, melainkan dengan pertolongan Allah. Seorang guru tidak akan

mungkin dapat mengajarkan ilmu yang bermanfaat, melainkan dengan pertolongan Allah. Begitupun seorang pegawai, tidak mungkin dapat bekerja melainkan dengan pertolongan Allah.

Seorang hamba tidak boleh sombong dan merasa bahwa dirinya

mampu untuk melakukan segala sesuatu. Seorang hamba seharusnya menyadari bahwa segala apa yang dilakukannya semata-mata karena pertolongan Allah.

Sebab, jika Allah tidak menolong maka tidak mungkin dia melakukan segala sesuatu. Artinya, dengan mengucapkan kalimat ini, seorang hamba berarti telah menunjukkan kelemahan, ketidakmampuan dirinya, dan menunjukkan bahwa ia

adalah orang yang sangat membutuhkan pertolongan Allah.

Kelima: Berani Mengatakan Kebenaran Meskipun Pahit. Pahitnya kebenaran, tidak boleh mencegah kita untuk

mengucapkannya, baik kepada orang lain maupun kepada diri sendiri. Apabila sesuatu itu jelas sebagai sesuatu yang haram, syirik, bid’ah dan munkar, jangan sampai kita mengatakan sesuatu yang haram adalah halal, yang syirik dikatakan

tauhid, perbuatan bid’ah adalah sunnah, dan yang munkar dikatakan ma’ruf.

Menyembah kubur, misalnya, yang sudah jelas perbuatan syirik namun banyak para dai yang beralasan bahwa hal tersebut, adalah permasalahan yang

masih diperselisihkan. Seorang dai harus tegas mengatakan kebenaran, perbuatan yang bid’ah harus dikatakan bid’ah, dan perbuatan yang haram harus

dikatakan haram, dengan membawakan dalil dan penjelasan para ulama tentang keharamannya.

25HR Ahmad bin Hanbal dari Mu’adz bi Jabal, Musnad Ahmad ibn Hanbal, juz V,

hal. 244, hadits no. 22172.

Page 19: Wasiat rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam kepada abu dzar al ghifari

Yogyakarta, Jumat 13 Februari 2015 Page 19

Sesungguhnya jihad yang paling utama ialah mengatakan kalimat yang

haq (kebenaran) kepada penguasa.

. “Jihad yang paling utama ialah mengatakan kalimat yang haq (kebenaran) kepada penguasa yang zhalim.”26

Yaitu dengan mendatangi mereka dan menasihati mereka dengan cara yang baik. Jika tidak bisa, dapat dilakukan dengan menulis surat atau melalui

orang yang menjadi wakil mereka, tidak dengan mengadakan orasi, provokasi, demonstrasi. Dan tidak boleh menyebarkan aib mereka melalui mimbar, mimbar

Jum’at, dan yang lainnya. Islam telah memberikan ketentuan dalam menasihati para pemimpin

(Ulil Amri). Rasulullah Shallallâhu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

.

“Barangsiapa yang ingin menasihati penguasa, janganlah ia menampakkan dengan terang-terangan. Hendaklah ia pegang tangannya lalu menyendiri dengannya. Kalau

penguasa itu mau mendengar nasihat itu, maka itu yang terbaik. Dan bila si penguasa itu enggan (tidak mau menerima), maka sungguh ia telah melaksanakan kewajiban amanah yang dibebankan kepadanya.”27

Keenam: Tidak Takut Celaan Para Pencela Dalam Berdakwah Di

Jalan Allah. Dalam berdakwah di jalan Allah Subhânahu wa Ta’ala, banyak orang

yang menolak, mencela, dan lainnya. Hati yang sakit pada umumnya menolak kebenaran yang disampaikan. Ketika kebenaran itu kita sampaikan dan mereka

mencela, maka kita diperintahkan untuk terus menyampaikan dakwah yang haq

dengan ilmu, lemah lembut, dan sabar.

26HR Ahmad bin Hanbal dari Abu Sa’id al-Khudriy, Musnad Ahmad ibn Hanbal,

juz III, hal. 19, hadits no. 11159. 27HR ‘Amr bin Abi ‘Ashim adh-Dhahhak asy-Syaibani dari ‘Iyadh bi Ghanm,

As-Sunnah Li Abî ‘Āshim, juz II, hal. 521, hadits no. 1096. Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih. Lihat: Dhilâl al-Jannah, juz II, hal. 273.

Page 20: Wasiat rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam kepada abu dzar al ghifari

Yogyakarta, Jumat 13 Februari 2015 Page 20

Di antara akhlak yang mulia, adalah berani dalam menyampaikan kebenaran, dan ini merupakan akhlak Salaf ash-Shâlih. Islam mencela sifat

penakut. Hal ini dapat tercermin dari perintah untuk maju ke medan perang dan tidak boleh mundur pada saat telah berhadapan dengan musuh. Disamping itu,

Rasulullah Shallallâhu ‘Alaihi wa Sallam berlindung kepada Allah dari sifat

pengecut. Beliau berdoa dalam haditsnya:

. “Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari sifat pengecut, aku berlindung

kepada-Mu dari sifat kikir, aku berlindung kepada-Mu dari dikembalikan kepada umur yang paling hina (pikun), aku berlindung kepada-Mu dari fitnah dunia, dan aku

berlindung kepada-Mu dari adzab kubur.”28

Dakwah yang diberkahi Allah ini (dakwah kepada tauhid dan sunnah)

harus diperjuangkan oleh para dai, supaya tegak dan berkembang. Para da’i

yang menyeru kepadanya tidak boleh merasa takut. Kepada para da’i yang menyeru kepada dakwah yang haq ini, jangan merasa takut apabila mendapat

celaan, cobaan, penolakan, dan pertentangan. Jangan sekali-kali mundur dalam menegakkan kebenaran dan tidak mau lagi berdakwah. Dakwah mengajak

manusia kepada tauhid dan Sunnah harus terus berjalan meskipun orang mencela, mencomooh, dan menolaknya.

Seorang dai tidak boleh mundur dalam berdakwah di jalan Allah dan tidak boleh takut, karena Allah yang akan menolong orang-orang yang berada di

atas manhaj yang haq.

Dalam al-Qur`ân, Allah Subhânahu wa Ta’ala menyebutkan tentang

orang-orang yang menyampaikan risalah Allah, sedangkan mereka tidak takut.

Allah Subhânahu wa Ta’ala berfirman:

“(Yaitu) orang-orang yang menyampaikan risalah-risalah Allah, mereka takut kepada-Nya dan tidak merasa takut kepada siapa pun selain kepada Allah. Dan cukuplah Allah

sebagai pembuat perhitungan.” (QS al-Ahzâb/33: 39)

28HR al-Bukhari dari ‘Amr bin Maimun al-Audiy, Shahîh al-Bukhâriy, juz IV, hal.

27, hadits no. 2822.

Page 21: Wasiat rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam kepada abu dzar al ghifari

Yogyakarta, Jumat 13 Februari 2015 Page 21

Dan di antara ciri hamba yang dicintai Allah, adalah mereka tidak takut

celaan para pencela. Allah Subhânahu wa Ta’ala berfirman:

“Wahai orang-orang yang beriman! Barangsiapa di antara kamu yang murtad (keluar) dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum, Dia mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya, dan bersikap lemah lembut terhadap orang-

orang yang beriman, tetapi bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di jalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah yang diberikan-Nya kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah

Mahaluas (pemberian-Nya), Mahamengetahui.” (QS al-Mâidah/5: 54)

Ketujuh: Tidak Meminta-Minta Sesuatu Kepada Orang Lain

Orang yang dicintai Allah, Rasul-Nya, dan manusia, adalah orang yang tidak meminta-minta kepada orang lain dan zuhud terhadap apa yang dimiliki

orang lain. Rasulullah Shallallâhu ‘Alaihi wa Sallam menyuruh umatnya agar

tidak meminta-minta kepada manusia, karena meminta-minta hukum asalnya adalah haram. Seorang Muslim harus berusaha makan dengan hasil keringatnya

sendiri, dengan usaha kita sendiri, dan bukan dari usaha dan belas kasihan orang lain. Seorang Muslim harus berusaha sendiri untuk memenuhi kebutuhan

hidupnya, karena Allah yang akan menolongnya.

Masyarakat yang masih awam (kurang memahami ilmu agama), mereka berusaha untuk menghidupi keluarga mereka dengan berjualan, baik di pinggir-pinggir jalan maupun di kendaraan umum, seperti bus dan kereta api.

Yang demikian itu lebih mulia daripada dia meminta-minta kepada manusia. Seharusnya hal ini menjadi cambuk bagi para penuntut ilmu, agar mereka pun

berusaha memenuhi kebutuhan hidup mereka dengan keringat mereka sendiri, dan tidak bergantung kepada orang lain.

Rasulullah Shallallâhu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

Page 22: Wasiat rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam kepada abu dzar al ghifari

Yogyakarta, Jumat 13 Februari 2015 Page 22

“Sungguh, seseorang dari kalian mengambil talinya lalu membawa seikat kayu bakar di atas punggungnya, kemudian ia menjualnya, sehingga dengannya Allah menjaga

kehormatannya. Itu lebih baik baginya daripada ia meminta-minta kepada manusia. Mereka memberinya atau tidak memberinya.”29

Meminta-minta merupakan perbuatan yang sangat tercela, dan hukum asalnya adalah haram, kecuali untuk maslahat kaum Muslimin karena termasuk tolong-menolong dalam kebaikan, seperti untuk pembangunan masjid, pondok

pesantren, biaya hidup anak yatim, dan yang sepertinya. Ini pun harus dengan cara yang baik, yaitu dengan mendatangi orang-orang yang kaya dan mampu

atau diumumkan di masjid, bukan dengan cara meminta-minta di pinggir jalan. Sebab, perbuatan tersebut tidak ada contohnya dari Rasulullah Shallallâhu ‘Alaihi

wa Sallam dan para sahabatnya, serta merusak nama baik Islam dan kaum

muslimin. Adapun meminta-minta untuk kepentingan pribadi, maka hukumnya

haram dalam Islam. Diriwayatkan dari Sahabat Qabishah bin Mukhariq al-Hilali

radhiyallâhu ‘anhu, ia berkata, bahwa Rasulullah Shallallâhu ‘Alaihi wa Sallam

bersabda:

. “Wahai, Qabishah! Sesungguhnya meminta-minta tidak dihalalkan kecuali bagi salah seorang dari tiga macam: (1) seseorang yang menanggung hutang orang lain, ia boleh meminta-minta sampai ia melunasinya, kemudian ia berhenti (tidak meminta-minta lagi), (2) seseorang yang ditimpa musibah yang menghabiskan hartanya, ia boleh

meminta-minta sampai ia mendapatkan sandaran hidup, dan (3) orang yang ditimpa kesengsaraan hidup sehingga ada tiga orang yang berakal dari kaumnya mengatakan "Si

29HR al-Bukhari dari Abu Hurairah, Shahîh al-Bukhâriy, juz VIII, hal. 385,

hadits no. 2542.

Page 23: Wasiat rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam kepada abu dzar al ghifari

Yogyakarta, Jumat 13 Februari 2015 Page 23

Fulan telah ditimpa kesengsaraan," ia boleh meminta-minta sampai ia mendapatkan sandaran hidup. Meminta-minta selain tiga hal itu, wahai Qabishah, adalah haram, dan orang yang memakannya adalah memakan yang haram.”30

Bahkan orang yang selalu meminta-minta, kelak pada hari Kiamat tidak ada daging sedikit pun pada wajahnya, sebagaimana ia tidak malu untuk

meminta-minta kepada manusia di dunia. Beliau Shallallâhu ‘Alaihi wa Sallam

bersabda:

.

“Seseorang senantiasa minta-minta kepada orang lain hingga ia akan datang pada hari Kiamat dengan tidak ada sekerat daging pun di wajahnya.”31

Maksudnya bahwa pada hari Kiamat ia akan dikumpulkan di hadapan

Allah dalam keadaan wajahnya hanya tulang (tengkorak) saja, tidak ada daging padanya. Hal itu sebagai hukuman baginya, dan sebagai tanda dosa baginya

ketika di dunia ia selalu minta-minta dengan wajahnya tanpa malu.32

Penutup Mudah-mudahan tulisan ini bermanfaat untuk penulis dan para

pembaca, dan wasiat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini dapat kita

laksanakan dengan ikhlas karena Allah Subhânahu wa Ta’ala. Mudah-mudahan

shalawat dan salam tetap tercurah kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa

sallam, keluarga dan para sahabat beliau serta para pengikut setianya.

Āmîn Yâ Mujîbas Sâilîn.

Yogyakarta, 13 Februari 2015

(Dikutip dan diselaraskan dari

http://almanhaj.or.id/content/3517/slash/0/wasiat-rasulullah-shallallahu-

alaihi-wa-sallam-kepada-abu-dzar-al-ghifari/)

30HR Muslim dari Qabishah bin Mukhariq al-Hilali r.a., Shahîh Muslim, juz III,

hal. 97, hadits no. 2451. 31HR al-Bukhari, Shahîh al-Bukhîriy, juz II, hal. 153, hadits no. 1474 dan

Muslim, Shahîh Muslim, III, 96, hadits no. 2445. Abdullah bin Umar. 32Lihat: An-Nawawi, Syarh Shahîh Muslim, juz VII, hal. 130.