laporan tugas makalah

13
LAPORAN TUGAS RESUME MODUL FISIOTERAPI TUMBUH KEMBANG TRAUMA Di susun oleh NAMA : SRI PADITANINGSIH NIM : 201310301045

Upload: padi-ta

Post on 19-Dec-2015

236 views

Category:

Documents


9 download

DESCRIPTION

new

TRANSCRIPT

LAPORAN TUGAS RESUME

MODUL FISIOTERAPI TUMBUH KEMBANG TRAUMA

Di susun olehNAMA : SRI PADITANINGSIHNIM : 201310301045

PROGRAM STUDI S1 FISIOTERAPISTIKES AISYIYAH YOGYAKARTATAHUN 2014-2015

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirobbilalamin, segala puji bagi Allah SWT atas segala limpahan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini. Tujuan pembuatan makalah ini adalah sebagai Tugas dari modul Fisioterapi Kesehatan Wanita. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa makalah masih jauh dari sempurna, untuk itu diperlukan saran dan kritik yang bersifat membangun untuk perbaikan.

Yogyakarta, ...........2015

Penulis

1. SKOLIOSIS Suriani Sari, Ketut Tirtayasa, Sugijanto.2013. Swiss Ball Exercise Dan Koreksi Postur Tdak Terbukti Lebih Baik Dalam Memperkecil Derajat Skoliosis Idiophatik Daripada Klapp Exercise Dan Koreksi Postur Pada Anak Usia 11 13 Tahun

RESUME Skoliosis adalah kelainan-kelainan pada rangka tubuh berupa kelengkungan tulang belakang, dimana terjadi pembengkokan tulang belakang kearah samping kiri atau kanan atau kelainan tulang belakang pada bentuk C atau S. Tanda umum skoliosis antara lain tulang bahu yang berbeda, tulang belikat yang menonjol, lengkungan tulang belakang yang nyata, panggul yang miring, perbedaan antara ruang lengan dan tubuh. Derajat skoliosis dapat di ketahuidengan test adam forward Bending dan inclinometer.Tulang Belakang adalah bagian tubuh kita yang sering kali kita abaikan. Padahal di tulang belakang inilah tersimpan dan terlindung dengan baik syaraf-syaraf yang sangat penting terutama sumsum tulang belakang. Rangka atau tulang dapat mengalami kelainan. Kelainan ini dapat mengakibatkan perubahan bentuk tulang. Kelainan pada tulang belakang disebabkan oleh kebiasaan duduk dengan posisi yang salah. Akibat kesalahan postur dan sikap antara lain menyebabkan trauma pada tulang belakang, seperti terjadinya deformitas misalnya skoliosis, kiposis maupun lordosis.Tanda umum skoliosis antara lain tulang bahu yang berbeda, tulang belikat yang menonjol, lengkungan tulang belakang yang nyata, panggul yang miring, perbedaan antara ruang lengan dan tubuh. Duduk dengan sikap miring ke samping akan mengkibatkan suatu mekanisme proteksi dari otot-otot tulang belakang untuk menjaga keseimbangan, manifestasi yang terjadi justru overuse pada salah satu sisi otot yang dalam waktu terus menerus dan hal yang sama yang terjadi adalah ketidakseimbangan postur tubuh ke salah satu sisi. Jika hal ini berlangsung terus menerus pada sistem muskulosketal tulang belakang akan mengalami bermacam-macam keluhan antara lain: nyeri otot, keterbatasan gerak (range of motion) dari tulang belakang atau back pain, kontraktur otot, dan menumpukan problematik akan berakibat pada terganggunya aktivitas kehidupan sehari-hari bagi penderita, seperti halnya gangguan pada sistem pernapasan, sistem pencernaan, sistem saraf dan sistem kardiovaskulerPengunaan swiss ball dapat meningkatkan keseimbangan otot abdominal dan otot otot pernapasan. Karena dengan berada di atas swiss ball tubuh selalu diposisikan dalam keadaan seimbang (muscle imbalance) dapat meningkatkan otot yang lemah terutama daerah yang konvek. Selain imbalace untuk meningkatkan kekuatan otot serta dijumpai adanya pemendekan otot serta soft tissue lainnya pada daerah konkaf. Latihan ini juga memungkinkan otot-otot yang lain seperti, punggung, dan pinggul mendapatkan latihan yang sama baiknya, dan jika dilakukan dengan benar dapat meningkatkan keseimbangan tubuh dan menjaga postur tubuh menjadi lebih baik. Swiss ball exercise juga dapat meningkatkan kekuatan otot dan fleksibitas pada sendi dan meningkatlan ROM pada tulang belakang. Sehingga dengan latihan yang di berikan pada penelitian ini dengan riwayat skoliosis terjadi perbaikan dengan memeperkecil derajat skoliosis yang menyebabkan otot punggung terileksasi sehingga rib hump kembali ke posisi semula dan diharapkan tidak terjadi peningkatan. Dengan latihan ini dapat meningkatkan propriocetion dan juga terjadi penyesuaian pada vestibular sehingga merubah perasaan lurus, bertujuan untuk merubah kalibrasi titik nol pada vestibular. Jadi dapat disimpulkan terapi latihan pada skoliosis bertujuan untuk mengembalikan mobilitas sendi-sendi yang telah hilang, meregangkan otot yang kontraktur, meningkatkan kekuatan otot, memutar balik dari rotasi deformitas vertebra, mengembangkan musculatur seluruh badan supaya mampu memelihara curve yang telah di koreksi, memelihara keseimbangan dan keindahan sikap yang telah di koreksi semaksimal mungkin, dan membuat kompensasi apabila koreksi tidak mungkin.

2. CTEV

Andri Primadhi, Yoyos D. Ismiarto.2009. Perbandingan Penanganan Clubfoot Metode Kite-Lovell dengan Ponseti

RESUME

Clubfoot banyak terjadi pada bayi baru lahir dan akan menghambat anak untuk berjalan. Bila kelainan ini tidak ditangani dengan benar, akan menetap sampai dewasa dan mempengaruhi kualitas hidupnya. Umumnya penatalaksanaan inisial clubfoot menggunakan cara konservatif, walaupun pemilihan metode manipulasi masih menjadi kontroversi. Congenital talipes equinovarus (CTEV) atau mungkin, dalam waktu satu atau dua hari setelah clubfoot merupakan terminologi yang digunakan kelahiran.5 Inti penanganan mencakup langkah untuk mendeskripsikan kelainan yang bersifat langkah dasar berupa koreksi deformitas dengan kompleks, kongenital, serta kontraktural pada lembut, mempertahankan koreksi dalam waktu tulang dan sendi di daerah kaki dan pergelangan yang lama, dan pemantauan terhadap penderita kaki.Clubfoot merupakan kelainan bawaan yang sampai akhir masa pertumbuhan. Bahkan setelah sering ditemukan pada bayi baru lahir dengan tercapainya koreksi penuh, kegagalan jaringan insidensi 0,93 sampai 1,5 per 1.000 kelahiran lunak yang mengalami kontraktur untuk tumbuh pada ras kaukasia, sedangkan di daerah Asia memanjang akan dapat menimbulkan rekurensi, angka insidensinya sebesar 0,6 per 1.000 kela- biasanya pada saat tulang tumbuh dengan cepat. Kelahiran. Anak laki-laki terkena dua kali lebih banyak dibandingkan dengan perempuan dan pada 50% kasus ditemukan keterlibatan kedua kaki.Metode Kite-Lovell sudah dipopulerkan sejak lama, disebut teknik tradisional, dan dilakukan di RSHS sampai dengn tahun 2004. Metode ini diawali dengan manipulasi untuk mengkoreksi adduksi, kemudian melakukan supinasu secara simultan pada kaki tanpa memberikan tekanan pada talar head. Dengan metode ini, koreksi equinus dilakukan pada awal terapi. Bagian midfoot tidak boleh diregangkan terlalu kuat, dan jangan dipaksakan dorsifleksi pada forefoot, karena akan dapat menyebabkan terjadinya deformitas rocker bottom pada kaki berupa malposisi sumbu talus menjadi lebih vertikal.Jadi dapat disimpulkan bahawa, CTEV akan lebih baik hasilnya bila ditangani lebih dini, namun untuk anak yang tergolong ke dalam tipe CTEV sindromik dan neurogenik tetap tidak akan memberikan hasil memuaskan.

3. TORTIKOLIS J. Hardjono, Retno Dumilah.2007.Perbedaan Pengaruh Penambahan Exercise Dalam Pencapaian Posisi Kepala Yang Simetris Akibat Torticolis

RESUME

Penyebab dari timbulnya torticollis belum diketahui dengan pasti. Namun untuk saat ini faktor yang dapat dikatakan sebagai penyebab timbulnya torticollis adalah proses persalinan yang sulit sehingga harus di Bantu dengan menggunakan alat bantu persalinan seperti forcep dimana pada keadaan ini otot sterno-cleidomastoideus mengalami tekanan dan tarikan yang dapat menimbulkan otot sterno-cleidomastoideus cidera, selain itu juga dapat dijumpai pada beberapa kelahiran bayi melalui proses caesar karena posisi bayi dalam kan-dungan pada posisi sungsang. Karena penggunaan alat bantu persa-linan tadi menimbulkan cidera pada otot sternocleidomastoideus akhirnya otot tersebut mengalami kontraktur sehingga akan menye-babkan leher dalam posisi side fleksi kesisi yang sakit dan rotasi kesisi yang sehat. Selain itu ditemukan juga benjolan pada otot sternocleidomastoideus. Kemudian pada torti-collis biasanya akan terlihat dimana kontraktur dapat menyebabkan derfomitas leher dan asimetris wajah. Asimetris pada wajah akibat torticollis hanya akan dijumpai pada torticollis dengan kondisi yang berat. Penanganan fisioterapi yang dilakukan pada torticollis adalah dengan memberikan massage, stretching dan exercise. Stretching dilakukan pada otot sternocleidomastoideus yang bertujuan untuk merenggangkan otot sternocleidomastoideus yang mengalami pemendekan. Massage dilakukan pada otot sternocleidomastoideus, khusus-nya pada daerah yang mengalami benjolan dan otot-otot sekitar daerah leher yang berhu-bungan dengan torticollis, hal ini bertujuan untuk menghilangkan perlengketan yang terjadi pada otot sternocleidomastoideus. Sedangkan exercise dilakukan dengan memberikan rang-sangan sehingga bayi akan terangsang untuk menggerakan kepalanya kesisi yang sakit dan juga melatih anak untuk mengangkat dan me-ngontrol kepalanya secara simetris dengan begitu bayi akan terlatih untuk melakukan hal tersebut. Exercise dilakukan sesuai dengan usia pasien dan dengan mengacu pada tumbuh kembangnya.Penyebab dari torticollis tidak diketahui dengan pasti, namun hal yang dapat dikatakan sebagai penyebab timbulnya torticollis antara lain adalah karena adanya cidera pada otot sternocleidomastoideus selama proses persa-linan yang mengakibatkan terjadinya fibrotic dan akhirnya menimbulkan pemendekan dari otot sternocleidomastoideus pada satu sisi. Otot sternocleidomastoideus mengalami cidera karena terputusnya serat-serat otot itu sewaktu menarik kepala bayi pada proses kelahiran yang sulit .Periode penting dalam tumbuh kembang adalah masa balita, karena pada masa ini pertumbuhan dasar yang akan datang dapat mempengaruhi dan menentukan perkembangan anak selanjutnya. Pada masa ini perkembangan kemampuan motorik ber-jalan sangat cepat dan merupakan landasan perkembangan berikutnya. Intervensi dini berupa exercise pada usia dini akan meng-hasilkan perkembangan anak yang optimal. Dimana exercise merupakan suatu jenis terapi yang dilakukan dengan melakukan gerakan dasar dari fungsi anggota tubuh yang dibe-rikan secara berulang-ulang sesuai kemampuan yang dimiliki oleh masing-masing individu. Exercise dilakukan secara aktif oleh ppasien itu sendiri sesuai dengan kemampuan yang telah dimilikinya. Massage dapat memberikan efek relaksasi pada otot. Massage dapat meningkatkan peredaran darah ketika jumlah nutrisi dan oksigen yang tersedia untuk otot terpenuhi. Massage memberikan untuk pembuangan dan pengisian kembali dari material nutrisi melalui peningkatan peredaran darah, rasa sakit dan kelelahan otot. Massage dapat mengurangi rasa sakit karena timbulnya spasme pada otot. Massage dapat membantu memelihara kemungkinan terbaik dari status gizi, vitalitas dan fleksibilitas. Stretching juga akan digunakan didalam penerapan intervensi pada penelitian kasus torticollis kali ini. Stretching merupakan suatu syarat umum yang digunakan untuk meng-gambarkan segala gerakan pengobatan yang dimaksudkan untuk memperpanjang suatu otot yang secara patologi pemendekan dari struktur jaringan ototnya dan cara demikian dapat digunakan untuk meningkatkan lingkup gerak sendi. Tujuan utama dari stretching meregang-kan otot yang memendek dan memperbaiki struktur disekitarnya menjadi anatomi dan fisiologis. Pada banyak anak, stretching yang dilakukan pada torticollis akan dapat meng-hasilkan suatu perubahan yang bermakna terhadap deformitas yang ada dengan terja-dinya peningkatan. Stretching terdiri dari beberapa metode antara lain hold rilex yang merupakan suatu teknik dimana kontraksi isometrik mempengaruhi otot antagonis yang mengalami pemendekan, yang akan diikuti dengan hilangnya atau berkurangnya ketega-ngan dari otot-otot tersebut. Suddenly stretch yang merupakan suatu teknik penguluran yang dilakukan pada suatu kecepatan tertentu dimana penderita tidak mampu mengontrol gerakan tersebut. Steady stretch yang meru-pakan suatu teknik penguluran atau tarikan yang stabil atau menetap yang dilakukan secara perlahan dan menetap serta meningkat.Jadi dapat disimpulkan bahwa memberikan exercise memiliki pengaruh terhadap pencapain posisi kepala yang simetris akibat torticollis pada bayi. Hal ini disebabkan karena otot terlatih untuk membiasakan posisi kepala berada pada posisi yang berlawanan dengan sakitnya sehingga kepala dapat digerakan secara normal.

3. POST FRAKTUR COLLES PADA ANAKFitrocha, Eko Budi Prasetyo.2013. Penatalaksanaan Fisioterapi Pada Kondisi Post Fraktur Colles 1/3 Distal Dekstra Dengan Modalitas Infrared Dan Terapi Latihan

RESUME

Fraktur colles adalah salah satu dari macam fraktur yang biasa terjadi pada pergelangan tangan. Umumnya terjadi karena jatuh dalam keadaan tangan menumpu dan biasanya terjadi pada anak-anak dan lanjut usia. Bila seseorang jatuh dengan tangan yang menjulur, tangan akan tiba-tiba menjadi kaku, dan kemudian menyebabkan tangan memutar dan menekan lengan bawah.Pada anak-anak dan lanjut usia, akan menyebabkan fraktur tulang radius. Nyeri tersebut dapat berkurang karena telah dilakukan terapi infrared dan terapi latihan. Karena menurut Sujatno dkk, bahwa infrared yang diberikan kepada pasien secara teratur dapat memberikan efek terapeutik yang berupa rileksasi otot, meningkatkan suplai darah, menghilangkan sisa-sisa metabolisme sehingga nyeri dapat berkurang.Kekuatan sendi, nyeri dan penurunan kekuatan otot berpengaruh terhadap LGS, akibatbeberapa hal ini maka pasien akan membatasi gerakan-gerakan sehingga LGS akan terbatas.Berdasarkan hasil evaluasi, terdapat peningkatan LGS dikarenakan pemberian terapilatihan. Terapi latihan ini dapat mencegah terjadinya atropi, menjaga elastisitas dan kontraktilitas jaringan otot, mobilisasi, stabilitas, rileksasi, koordinasi, keseimbangan dan kemampuan fungsional. pemberian terapi latihan dengan metode passive exercise, active exercise, dan hold relax pada kondisi fraktur dapat mencegah terjadinya atropi yang berlebihan. Jadi dapat disimpulkan Setelah dilakukan penanganan fisioterapi sebanyak enam kali terapi dengan pemberian modalitas infrared dan terapi latihan didapatkan hasil adanya perubahan yang signifikan.

4. JRA PADA ANAKArwin AP Akib.2003. Artritis Idiopatik Juvenil Kesepakatan Baru Klasifikasi dan Kriteria Diagnosis Penyakit Artritis pada Anak

RESUME

Sebagian besar etiologi dan patogenesis penyakit reumatik anak belum diketahui dengan baik, maka dasar utama pembuatan klasifikasi adalah gejala klinis ditunjang oleh riwayat penyakit, pengamatan perjalanan penyakit dan pemeriksaan fisis, laboratorium, pencitraan, serta patologi. Klasifikasi dan kriteria tersebut perlu dibuat untuk menegakkan diagnosis dan merancang strategi pengobatan, serta menentukan prognosis. Dari berbagai diskusi laporan penelitian yang telah dipublikasi maka pembuatan klasifikasi dan kriteria diagnosis penyakit reumatik anak, khususnya mengenai penyakit artritis kronik, harus mempertimbangkan pula faktor genetik. Pada saat ini telah diakui bahwa salah satu manfaat aplikasi ilmu kedokteran dasar dalam klinis adalah penerapan imunogenetik dan biologi molekular dalam studi penyakit reumatik anak yang memberi pandangan baru terhadap etiologi dan patogenesisnya. Hasil studi tersebut tampaknya memberi kemungkinan untuk membuat klasifikasi penyakit reumatik anak secara lebih rasional dan tepat.Sebuah studi prospektif telah dilakukan terhadap 202 pasien artritis anak oleh Hoffer dkk. tahun 1977 di Paris untuk evaluasi kriteria Durban, dan 194 di antaranya dapat didiagnosis sebagai AIJ.8 Dari 194 penderita AIJ ini, 155 orang (80%) dapat dimasukkan ke dalam salah satu dari 6 kategori penyakit AIJ, dan 39 orang lainnya (20%) tergolong dalam kelompok artritis lain. Dari 39 penderita kelompok artritis lain ini, 17 orang (9%) tidak sesuai untuk salah satu kategori dan 22 orang (11%) sesuai dengan dua kategori Durban. Dibandingkan dengan kriteria Durban yang dapat menangkap 80% AIJ ke dalam salah satu kriteria diagnosisnya, maka dengan kriteria Santiago hanya 120 orang (62%) yang dapat dikelompokkan ke dalam salah satu kriteria diagnosis. Perbedaan atau perbaikan tersebut menunjukkan kepada kita bahwa sesungguhnya masih selalu terbuka kemungkinan untuk melakukan revisi terhadap suatu klasifikasi dan kriteria diagnosis penyakit seperti ini. Evaluasi tersebut juga menunjukkan kemampuan kriteria Durban untuk mendiagnosis 33 pasien artritis sistimik (100%) dibandingkan dengan hanya 3 (9%) yang terdiagnosis dengan kriteria Santiago. Tapi di samping itu Hoffer dkk. juga menemukan kelemahan kriteria Durban yang masih menyisakan 39 (20%) penderita artritis lain. Upaya pengobatan optimal bila mungkin dilakukan oleh dokter anak ahli reumatologi, perawat, fisioterapis, terapis okupasional, dan petugas sosial. Selain itu perlu kerjasama dan konsultasi dengan ahli pada bidang oftalmologi, gigi-mulut, ortopedi, kardiologi, psikiatri, nefrologi, dermatologi, serta bidang lain yang sering diminta kerjasamanya. Sokongan terhadap pasien dan keluarga perlu dilakukan oleh ahli psikologi, psikiatri, serta sumber lain dalam komunitas. Bila mungkin dibentuk suatu yayasan atau organisasi yang dapat merangkul dan mempermudah interaksi keluarga pasien, serta kemungkinan untuk memperoleh informasi, pelatihan, atau fasilitas lain yang bermanfaat untuk status tumbuh-kembang normal anak.

5. Osteogenesis imperfectaGuillaume Chevrel. 2004. Osteogenesis imperfecta

RESUME

Osteogenesis imperfecta (OI) is a group of inherited diseases responsible for varying degrees of skeletal fragility. Minimal trauma is sufficient to cause fractures and bone deformities. A classification with 5 types is most widely used.Type I: moderate form with autosomal dominant transmission, characterized by blue sclerae or dentinogenesis imperfecta and sometimes late hearing loss, but no growth retardation.

Type II: lethal form, with autosomal dominant transmission.Type III: severe form with autosomal dominant or recessive transmission, characterized by blue sclerae and dentinogenesis imperfecta.

Type IV: intermediate form with autosomal dominant transmission, characterized by normal sclerae and with or without dentinogenesis imperfecta.

Type V: form with hypertrophic calluses and calcification of interosseous membrane. Type V does not seem to be related to the COL1A1 or COL1A2 genes.

OI is caused by mutations in the COL1A1 or COL1A2 gene, which encode the alpha1 and alpha2 chains of type 1 collagen, respectively. These mutations are responsible for the production of quantitatively or qualitatively deficient fibrils. Accurate incidence and prevalence of the disease are currently unknown. The diagnosis is often readily made in infancy; some cases, however, go unrecognized until adulthood. Lifelong multidisciplinary management is imperative.The ultimate goal of medical treatment in children with severe osteogenesis imperfecta should be to reduce fracture rates, prevent long-bone deformities and scoliosis, and improve functional outcome.Bisphosphonates

Systematic studies have established that bisphosphonates, most notably Pamidronate, constitute a breakthrough in the treatment of OI. (24, 29). Pamidronate therapy has been shown to cause pain relief and to result in the increase of BMD and size of vertebras, as well as in a decrease of the incidence of fractures, while no adverse effects on growth were reported.

The benefits of pamidronate therapy are sufficiently impressive to suggest that routine use of this agent may be in order in all children with OI, even when the manifestations are mild, although this last point is controversial. The need for intravenous injections may limit the use of pamidronate. Studies of oral bisphosphonates (e.g., alendronate Fosamax) are ongoing in children with OI.Hormone replacement therapy or selective estrogen receptor modulator therapy is strongly recommended in postmenopausal women with OI.

Some data show that growth hormone might be useful in combination with bisphosphonates. Parathyroid hormone as a potent bone anabolic agent could be a candidate for treating OI but both regimens remain to be tested.

Vitamin D and calcium supplements

The measures taken to protect patients with OI from trauma and the repeated immobilizations required by the fractures often result in vitamin D and calcium deficiency in children and adults. Prophylactic supplementation is in order, with dosages of about 500 to 1000 mg of calcium and 400 to 800 IU of vitamin D.

Analgesics

Pain is common and should receive adequate attention. Bone pain responds well to bisphosphonate therapy (24,26,29). Other causes of pain include deformities and degenerative lesions, both of which are common: in this situation, the treatment is symptomatic.Cell and gene therapies as potential treatments for OI are currently actively investigated. The design of gene therapies for OI is however complicated by the genetic heterogeneity of the disease and by the fact that most of the OI mutations are dominant negative where the mutant allele product interferes with the function of the normal allele. Major obstacles result from the presence of abnormal collagen molecules. Techniques based on marrow stem cells are under investigation.Orthopedic treatment remains indispensable in OI. A careful preoperative evaluation with special attention to lung function is essential in types III and IV. In children, rodding surgery is well standardized (reviewed in 30, 31). The treatment of spinal deformities varies with the angle of the scoliosis (31). After a fracture or a surgical procedure, prolonged immobilization should be avoided: rehabilitation therapy should be started early, and the healthcare staff reassured that the rehabilitation program is designed to reduce the risk of further fracturing. In children and adults, the goal of fracture management should be to restore the patient to self-sufficiency as completely and rapidly as possible.So, the conclusion is Genetic counselling should be offered to the parents of a child with OI who plan to have subsequent children. During genetic counselling, the possibility that the parents may harbor new mutations, such as asymptomatic somatic and germline mosaicism, needs to be discussed. Parents need special instructions in positioning the child in the crib and handling the child with the least possibility of causing fractures. Upright sitting in infants younger than 1 year should be discouraged in order to decrease development of basilar impression later in life. Hip-knee-ankle-foot orthosis helps early achievement of upright activity.