laporan pt msk 2 - greenomics indonesiabh… · laporan ini membahas praktik pengelolaan hak...

10
5 Desember 2011 www.greenomics.org MEMBENDUNG meluasnya preseden buruk pengelolaan HPH di Indonesia HPH PT Mutiara Sabuk Khatulistiwa -- yang beroperasi di Provinsi Riau -- melakukan land-clearing hutan rawa gambut seluas lebih dari setengah areal konsesinya untuk penyiapan penanaman akasia. Ini merupakan preseden buruk pengelolaan HPH di Indonesia. Kayu hasil land-clearing tersebut dipasok sebagai bahan baku industri pulp dan kertas PT Indah Kiat Pulp and Paper (IKPP/Sinar Mas Group).

Upload: ngonguyet

Post on 05-Mar-2018

218 views

Category:

Documents


4 download

TRANSCRIPT

 

5 Desember 2011

www.greenomics.org

MEMBENDUNG  meluasnya preseden buruk pengelolaan HPH di Indonesia  

HPH PT Mutiara Sabuk Khatulistiwa -- yang beroperasi di Provinsi Riau -- melakukan land-clearing hutan rawa gambut seluas lebih dari setengah areal konsesinya untuk penyiapan penanaman akasia. Ini merupakan preseden buruk pengelolaan HPH di Indonesia. Kayu hasil land-clearing tersebut dipasok sebagai bahan baku industri pulp dan kertas PT Indah Kiat Pulp and Paper (IKPP/Sinar Mas Group).

Laporan ini membahas praktik pengelolaan Hak Pengusahaan Hutan (HPH atau Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Alam/IUPHHK-HA) PT Mutiara Sabuk Khatulistiwa (PT MSK) yang beroperasi di wilayah kelompok hutan S. Gaung di Kabupaten Indragiri Hilir, Provinsi Riau seluas 44.595 hektar. Izin HPH PT MSK tersebut diberikan melalui Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: 109/Kpts-II/2000 tertanggal 29 Desember 2000.  

Pertimbangan utama mengapa HPH PT MSK dipilih menjadi studi kasus dalam laporan ini adalah mengacu pada penetapan zonasi areal kerja HPH PT MSK – yang tentunya telah disetujui oleh pihak Kementerian Kehutanan – yang telah menimbulkan preseden buruk terhadap Pengelolaan Hutan Alam Produksi Lestari (PHAPL) di Indonesia.  

Dalam Keputusan Menteri Kehutanan yang memberikan izin HPH kepada PT MSK, disebutkan bahwa PT MSK diharuskan melaksanakan tiga sistem silvikultur terhadap 44.595 hektar areal konsesinya tersebut secara benar dan bersungguh-sungguh, yakni a) TPTI (Tebang Pilih Tanam Indonesia) pada areal hutan primer dan areal bekas tebangan (logged-over area/LOA), b) Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ) pada areal bekas tebangan (LOA), dan c) Tebang Habis Permudaan Buatan (THPB/land-clearing) pada areal tanah kosong atau non-produktif.

Keputusan Menteri Kehutanan tersebut juga memberikan jatah produksi tahunan kepada PT MSK dengan kisaran luas tebang maksimum 1.006 hektar per tahun. Dari kisaran luasan tersebut, jatah produksi tahunan yang diberikan sebesar 18.372 m3 per tahun dengan jumlah batang 16.645 batang per tahun.

Namun, pada tanggal 18 Agustus 2009, Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: SK.190/VI-BPHA/2009 mengesahkan RKU (Rencana Kerja Usaha) HPH PT MSK (2009-2018) dengan hanya menggunakan dua sistem silvikultur TPTI dan TPTJ.  

Dalam RKU PT MSK disebutkan bahwa berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan No. 10172/Kpts-II/2002 tertanggal 18 November 2002 telah dinyatakan sistem silvikultur TPTJ tidak berlaku lagi. Sehingga, PT MSK menerapkan sistem silvikultur TPTI dan THPB. Di bagian lain dari dokumen RKU tersebut, disebutkan pula bahwa dengan melihat kondisi fisik lapangan yang ada, maka diterapkan sistem TPTI dan THPB.

Atas dasar itu, RKU PT MSK membagi zonasi areal kerja PT MSK menjadi; a) areal berhutan efektif untuk dikelola dengan sistem silvikultur TPTI Binaan seluas 11.450 hektar, b) areal berhutan efektif untuk dikelola dengan sistem silvikultur THPB (land-clearing hutan alam) seluas 20.760 hektar, c) kawasan lindung seluas 7.820 hektar, d) areal tidak efektif untuk unit produksi seluas 3.844 hektar, dan e) areal penanaman di areal non-hutan seluas 1.987 hektar.  

Secara keseluruhan, berdasarkan RKU PT MSK, disebutkan bahwa penggunaan sistem silvikultur THPB untuk penyiapan lahan penanaman akasia mencapai 23.307 hektar, setara dengan 52,26% dari total luas konsesi HPH PT MSK.  

Mengapa  PT  Mutiara  Sabuk  Khatulistiwa?  

1  

Berdasarkan RKU PT MSK, disebutkan bahwa realisasi kegiatan penanaman baru mencapai 5.050 hektar, yang terdiri dari tanaman tahun 2006 seluas 1.310 hektar dan tanaman tahun 2007 seluas 3.740 hektar. Sisanya, seluas 15.710 hektar akan diselesaikan (melalui land-clearing hutan alam) selama tiga tahun (2009-2011), masing-masing seluas 4.980 hektar tahun 2009, 5.280 hektar tahun 2010 dan 5.450 hektar tahun 2011.  

Dalam Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: SK.190/VI-BPHA/2009 yang mengesahkan RKU PT MSK tersebut, ditetapkan bahwa sistem silvikultur TPTI tidak merencanakan penebangan dan dikonsentrasikan melaksanakan pembinaan hutan, yang berdasarkan RKU PT MSK dinyatakan seluas 11.450 hektar.  

Sedangkan sistem silvikultur THPB, merencanakan kegiatan penyiapan lahan pada areal bekas tebangan hutan alam seluas 15.710 hektar dengan volume kayu 736.641,90 m3, yang terdiri dari volume kayu berdiameter <30 cm sebanyak 238.524,93 m3 dan berdiameter 30 cm ke atas sebanyak 498.116,97 m3.

Ternyata, sistem silvikultur PT MSK, yang diperbolehkan oleh Kementerian Kehutanan untuk melakukan land-clearing hutan alam hingga seluas lebih dari setengah areal konsesinya tersebut, telah menimbulkan 'daya tarik' dari kalangan pemegang izin HPH.    

“Bahkan, berdasarkan informasi dari Direktur Bina Usaha Hutan Alam Kementerian Kehutanan, Awriya Ibrahim, terdapat sekitar 30 HPH di Indonesia yang telah mengajukan usulan untuk menerapkan sistem silvikultur THPB model PT MSK tersebut, yakni THPB dengan land-clearing hutan alam.”    

Atas dasar pertimbangan tersebut, Greenomics Indonesia menaruh perhatian serius terhadap situasi tersebut, sehingga terdorong untuk mempelajari ancaman dari penerapan sistem silvikultur THPB model PT MSK, di mana pembagian zonasi areal kerjanya yang hampir setengah dari areal konsesinya yang masih berupa hutan alam efektif diperbolehkan untuk di-land clearing secara legal sebagai bahan baku industri pulp dan kertas, dan lahan yang telah di-land clearing tersebut disiapkan untuk ditanami akasia (Acacia crasicarpa).  

Jika suatu waktu, katakanlah Kementerian Kehutanan pada akhirnya meloloskan usulan 30 HPH tersebut untuk mengadopsi sistem silvikultur model zonasi areal kerja seperti yang diterapkan oleh PT MSK -- maka praktik konversi hutan alam secara besar-besaran akan terjadi di areal konsesi HPH di Indonesia, setidaknya akan mengancam pada areal sedikitnya setengah dari 25 juta hektar areal konsesi HPH di Indonesia.  

Atas dasar pertimbangan tersebut, maka laporan ini memaparkan potensi ancaman yang nyata bagi Pengelolaan Hutan Alam Produksi Lestari (PHAPL) di Indonesia jika pihak Kementerian Kehutanan pada akhirnya meloloskan sekitar 30 HPH untuk menerapkan sistem silvikultur dan zonasi areal kerja seperti yang diterapkan oleh PT MSK. Pada bagian akhir, laporan ini juga akan memberikan rekomendasi.  

Mengapa  preseden  buruk?  

2  

Pertanyaan-pertanyaan fundamental yang wajar diajukan terhadap operasi PT MSK di antaranya; mengapa sebuah izin HPH dapat dikelola seperti layaknya sebuah izin HTI, dan lebih dari setengah areal konsesinya di-land clearing untuk penyiapan lahan penanaman akasia? Dan, mengapa pula sebuah izin HPH diarahkan untuk menyediakan bahan baku industri pulp, terutama yang berasal dari hasil land-clearing hutan alam.  

Selanjutnya, mengapa pula sistem silvikultur TPTI yang seharusnya menjadi sistem silvikultur utama suatu izin HPH justru tidak dilakukan sama sekali dalam operasi PT MSK? Apakah data potensi hutan yang diacu oleh Menteri Kehutanan ketika menerbitkan izin HPH PT MSK tidak akurat? Sementara itu, mengingat seluruh areal konsesi HPH PT MSK adalah rawa gambut, mengapa RKU PT MSK sama sekali tidak menjelaskan tentang kedalaman gambut terhadap areal yang di-land clearing dengan sistem silvikultur THPB tersebut? Beberapa pertanyaan fundamental tersebut akan ‘mengawal’ kerangka analisis dalam laporan ini.  

Beberapa pertanyaan fundamental  

Greenomics Indonesia secara langsung menanyakan kepada Direktur Bina Usaha Hutan Alam Kementerian Kehutanan, Awriya Ibrahim, terkait dengan mengapa bisa terjadi sebuah izin HPH seperti PT MSK ini dapat beroperasi layaknya seperti izin HTI (Diskusi pada 2 November 2011).  

Respon Direktur Bina Usaha Hutan Alam Kementerian Kehutanan terhadap pertanyaan tersebut adalah: “Walaupun penerapan multi-sistem silvikultur dalam pengelolaan kawasan hutan pada areal kerja PT MSK tersebut memiliki dasar hukum, namun secara teknis, pengelolaan hutan alam tersebut dapat dipastikan akan sangat sulit menuju pada suatu pengelolaan hutan alam produksi lestari (PHAPL). Sehingga, untuk ke depannya nanti, dikehendaki adanya kebijakan penerapan multi-sistem silvikultur THPB terhadap areal konsesi HPH dengan tidak memperbolehkan melakukan land-clearing hutan alam. Nantinya, diharapkan dalam penerapan multi-sistem silvikultur dalam areal konsesi HPH, jenis-jenis yang diperbolehkan hanya jenis tanaman unggulan setempat, dan bukan jenis tanaman invasif, seperti akasia. Tujuannya adalah untuk memperkuat pencapaian pengelolaan hutan alam produksi lestari pada setiap unit manajemen HPH.”  

Perlu pula dijelaskan di sini bahwa dalam RKU PT MSK disebutkan bahwa kayu dari hasil land-clearing hutan alam tersebut digunakan untuk mensuplai industri pulp PT Indah Kiat Pulp and Paper Tbk (IKPP/Sinar Mas Group) berdasarkan kontrak kerjasama. Tak hanya kayu hasil land-clearing hutan alam tersebut yang menjadi sumber bahan baku industri pulp tersebut, kayu hasil pemanenan dari hasil penanaman akasia (diperkirakan mulai pemanenan pada 2012), juga menjadi sumber pasokan bahan baku PT IKPP.  

Artinya, selama 2009-2011, hampir 740.000 m3 kayu hasil land-clearing hutan alam di areal konsesi HPH PT MSK tersebut merupakan bahan baku PT IKPP. Fakta sebelumnya, berdasarkan RKT (Rencana Kerja Tahunan) PT MSK 2007, ditetapkan areal seluas 8.426,25 hektar (bruto) untuk sistem silvikultur THPB, di mana seluas 6.770 hektar hutan masih berpotensi untuk di-land clearing dalam rangka penanaman dan pembangunan sarana dan prasarana dengan target volume kayu sebesar 217.544,58 m3. Berdasarkan data Rencana Pemenuhan Bahan Baku Industri (RPBBI) PT IKPP 2007, kayu tersebut dipasok menjadi bahan baku PT IKPP.

PHAPL & Bahan baku industri pulp dan kertas  

3  

RKU PT MSK memberikan justifikasi bahwa sistem silvikultur TPTI dan THPB juga mengacu pada “kondisi fisik lapangan”, bukan hanya karena sistem silvikultur TPTJ telah dicabut pada November 2002.  

Kondisi fisik lapangan yang dimaksud dalam RKU PT MSK adalah berdasarkan Peta Penafsiran Liputan 10 Februari 2007, di mana kondisi penutupan lahan areal konsesi PT MSK terdiri dari hutan bekas tebangan seluas 37.738 hektar, atau seluas hampir 85 persen dari total areal konsesi. Disebutkan pula dalam RKU tersebut bahwa berdasarkan hasil survei potensi dengan intensitas 0,2 persen, disimpulkan bahwa sebagian besar areal sudah tidak produktif lagi. Sehingga, sistem silvikultur yang diterapkan adalah TPTI dan THPB.

Dalam RKU PT MSK tersebut juga dinyatakan bahwa berdasarkan hasil inventarisasi tegakan di areal berhutan, diperoleh potensi pohon yang berdiameter > 40cm sebesar 30,49 m3 per hektar dengan kerapatan 12 pohon per hektar. Sehingga, RKU tersebut menyatakan bahwa jika mengacu pada kriteria hutan produksi alam yang masih produktif, maka potensi tegakan tersebut tergolong tidak produktif.

Atas dasar itu, menurut RKU PT MSK, areal kerja PT MSK yang melibatkan sistem silvikultur TPTI pada areal berhutan efektif adalah seluas 11.450 hektar, yang dinyatakan tidak untuk ditebang dengan alasan perlu dilakukan pembinaan agar produktivitas tegakan meningkat. RKU PT MSK memberikan istilah dengan nama “TPTI Binaan”.

Sedangkan, seluas 15.710 hektar, di-land clearing. Sebelumnya, pada tahun 2007, PT MSK juga melakukan land-clearing pada areal hampir 8.500 hektar, di mana hampir 7.000 hektar masih berupa hutan alam.

Mengapa dominan areal yang di-land clearing?  

4  

Land-­clearing  2009-­2011  

Kondisi fisik lapangan versi RKU PT MSK menyebutkan bahwa seluruh areal konsesi dinyatakan tidak produktif untuk dikelola dengan sistem silvikultur TPTI, sehingga lebih dari setengah areal konsesi tersebut -- yang mayoritas merupakan hutan bekas tebangan – di-land clearing untuk penyiapan areal hutan tanaman, dan kayu dari hasil land-clearing hutan alam tersebut dipasok untuk industri pulp dan kertas PT IKPP.

Terlihat jelas bahwa operasi PT MSK ini seperti praktik operasional izin HTI (Hutan Tanaman Industri) terselubung. Sedangkan sistem silvikultur TPTI-Binaan diduga hanya sebagai “tameng” agar izin HPH tersebut tetap “berwajah” HPH.

Ternyata,  menciptakan  preseden  buruk!  

5  

Yang perlu digarisbawahi adalah, land-clearing seluas lebih dari 20.000 hektar yang dilakukan pada satu blok besar hutan rawa gambut dalam di areal konsesi PT MSK untuk penyiapan lahan hutan tanaman akasia dan kayu alamnya sebagai sumber bahan baku PT IKPP, ternyata tanpa memperhitungkan tingkat kedalaman gambut.

Dalam RKU PT MSK, hanya terdapat peta geologi, yang memperlihatkan bahwa seluruh areal konsesi PT MSK adalah gambut, namun tidak memperlihatkan sebaran gambut berdasarkan tingkat kedalamannya.

Padahal, terhadap izin HTI, sebelum suatu areal ditetapkan menjadi areal yang dapat dibangun hutan tanaman melalui land-clearing, maka terlebih dahulu harus dilakukan deliniasi mikro, di antaranya dengan memperhitungkan tingkat kedalaman gambut dalam penentuan luasan hektar yang bisa di-land clearing -- walaupun dalam beberapa kasus, ditemukan perhitungan manipulatif terhadap tingkat kedalaman gambut dalam dokumen deliniasi mikro, sehingga aktivitas land-clearing tetap bisa dilakukan.

Praktik land-clearing yang dilakukan oleh PT MSK terhadap satu blok besar hutan rawa gambut dalam telah merepresentasikan suatu praktik yang jauh dari suatu tujuan untuk mencapai pengelolaan hutan alam produksi lestari (PHAPL) melalui sistem perizinan HPH.

Land-clearing di areal HPH bergambut dalam

6  

Dalam RKU PT MSK, disebutkan bahwa terdapat beberapa parameter yang digunakan untuk penentuan silvikultur. Yang membingungkan adalah terhadap penempatan parameter dampak lingkungan minimum sebagai salah satu parameternya dalam melaksanakan sistem silvikultur melalui kaidah-kaidah reduced impact logging (penebangan berdampak rendah).

Dikatakan membingungkan mengingat operasi PT MSK tidak melibatkan aktivitas TPTI (selective logging), namun lebih dari setengah areal konsesinya yang berupa hutan rawa bekas tebangan seluas 23.307 hektar, di-land clearing untuk penyiapan lahan pembangunan hutan tanaman akasia.

Praktik ‘legal’ tersebut ternyata menimbulkan daya tarik bagi puluhan HPH untuk mengadopsi model zonasi areal kerja PT MSK serta sistem silvikultur yang digunakannya tersebut.  

 

Sebagai bentuk komitmen terhadap penerapan kebijakan multi-sistem silvikultur THPB tanpa land-clearing hutan alam, Direktur Bina Usaha Hutan Alam Kementerian Kehutanan, Awriya Ibrahim, telah mengesahkan 4 RKU (Rencana Kerja Usaha) HPH dengan penerapan sistem multi silvikultur tanpa land-clearing hutan alam.  (Diskusi dengan Greenomics Indonesia, 1 Desember 2011)  

 

Alasan munculnya daya tarik puluhan HPH untuk meniru sistem silvikultur dengan model zonasi areal kerja PT MSK tersebut, tentu karena ‘fasilitas’ tersebut serba menguntungkan; kayu dari hasil land-clearing hutan alam dapat dijual kepada pihak ketiga.  

Atau, jika HPH itu berafiliasi dengan satu grup bisnis industri pulp, maka kayu dari hasil land-clearing tersebut dapat dimanfaatkan sebagai sumber pasokan bahan baku untuk industri pulp oleh grup usahanya sendiri.

Daya  tarik  land-­clearing  

7  

Motif kelayakan ekonomi

Terkait dengan bahasan sebelumnya soal daya tarik land-clearing hutan alam, maka sangat relevan melihat parameter lain yang digunakan oleh PT MSK dalam menentukan sistem silvikulturnya – seperti yang tercantum dalam RKU PT MSK.

Parameter tersebut adalah kelayakan ekonomi. Dalam RKU tersebut dijelaskan bahwa parameter kelayakan ekonomi tersebut dicirikan dengan pemilihan sistem silvikultur yang mampu memberikan profit (keuntungan) dan benefit (manfaat) yang terus meningkat yang diinvestasikan kembali ke hutan, sehingga modal berupa hutan mempunyai nilai yang meningkat.

Parameter kelayakan ekonomi ini patut diduga menjadi alasan penting bagi PT MSK untuk mengadopsi sistem silvikultur THPB dengan melakukan land-clearing pada areal hutan rawa gambut seluas lebih dari setengah areal konsesinya itu.  

 

Pendapatan dari penjualan kayu hasil land-clearing jelas sangat signifikan. Pendapatan PT MSK dari penjualan kayu hasil land-clearing hutan alam selama 2009-2011 -- yang diproyeksi dalam dokumen RKU PT MSK tersebut -- mencapai angka hampir Rp 650 miliar.    

Angka ini belum lagi termasuk pendapatan PT MSK dari hasil land-clearing tahun sebelumnya, seperti tahun 2007 yang melakukan land-clearing hutan rawa berhutan seluas 6.770 hektar dengan target produksi hampir 220.000 m3.  

Pertimbangan lain dari kelayakan ekonomi PT MSK tersebut adalah modal berupa hutan mempunyai nilai yang terus meningkat. Artinya, terdapat korelasi positif antara luas tegakan hutan tanaman dan nilai aset PT MSK. Artinya, semakin luas zonasi areal kerja untuk penanaman akasia, tentu semakin besar pula modal berupa hutan yang nilainya terus meningkat.  

Tentu menjadi ‘wajar’ jika puluhan HPH meminta “keadilan” kepada pihak Kementerian Kehutanan untuk diberikan “fasilitas serupa” seperti yang diberikan kepada PT MSK dengan alasan parameter kelayakan ekonomi seperti yang digunakan oleh PT MSK. Permintaan “keadilan” tersebut yang harus dicegah.  

Dapat dibayangkan jika parameter kelayakan ekonomi tersebut “diloloskan” oleh Kementerian Kehutanan secara kolektif. Apa yang akan terjadi? Lebih dari setengah areal konsesi-konsesi HPH yang masih berhutan akan di-land clearing. Dampak buruknya adalah upaya untuk menuju pada pengelolaan hutan alam produksi lestari secara nasional, tentu semakin suram.  

8  

 Guna membendung ancaman terjadinya konversi hutan alam secara besar-besaran di areal konsesi HPH secara nasional, maka patut didukung langkah Direktur Bina Usaha Hutan Alam Kementerian Kehutanan, Awriya Ibrahim, yang terus bertahan untuk hanya menyetujui sistem silvikultur THPB tanpa land-clearing hutan alam pada operasi HPH.  

 

Kebijakan tersebut patut untuk didukung, baik dalam konteks membendung meluasnya preseden buruk yang ditimbulkan oleh model zonasi areal kerja PT MSK maupun dalam konteks untuk terus mengupayakan pencapaian PHAPL pada unit manajemen HPH.  Kebijakan tersebut juga sejalan dengan berbagai pidato Presiden Susilo Bambang Yudhoyono terkait dengan upaya pengurangan emisi dari sektor kehutanan.  

Kebijakan THPB tanpa land-clearing hutan alam  

Rekomendasi  1) Kementerian  Kehutanan  perlu  memperkuat  aspek  legalitas  

terhadap  kebijakan  THPB  tanpa  land-­clearing  hutan  alam    di  areal  konsesi  HPH  tersebut,  sehingga  dapat  memastikan  untuk  mencegah  meluasnya  preseden  buruk  yang  ditimbulkan  oleh  model  zonasi  areal  kerja  PT  MSK  serta  penggunaan  sistem  silvikultur  THPB  dengan  land-­clearing  hutan  alam.    

2) Para  pemangku  kepentingan  kehutanan  perlu  mendukung  kebijakan  sistem  silvikultur  THPB  tanpa  land-­clearing  hutan  alam  pada  areal  konsesi  HPH.  

Untuk diskusi lebih lanjut, dapat menghubungi: Elfian Effendi Direktur Eksekutif Greenomics Indonesia [email protected]

9