laporan praktikum pmm
TRANSCRIPT
LAPORAN PRAKTIKUM
MATA KULIAH
PENYEHATAN MAKANAN DAN MINUMAN
Disusun oleh :
Nama : Novy Nur Kusumawardhani
NIM : G1B011041 / B
Kelompok : 2
KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN
JURUSAN KESEHATAN MASYARAKAT
PURWOKERTO
2013
PEMERIKSAAN BAHAN KIMIA BERBAHAYA PADA MAKANAN
(BORAKS)
I. Tujuan
Tujuan dalam praktikum ini adalah mengetahui kontroversi
penggunaan bahan berbahaya dalam pencampuran pembuatan makanan.
II. Metode
1. Alat dan Bahan
a) Alat
1) Pemijar
2) Cawan porselin
3) Mortar dan penggerus
4) Pipet ukur
5) Rak tabung reaksi
6) Tabung reaksi
7) Timbangan
b) Bahan
1) Air kapur jenuh
2) Amoniak
3) Sampel makanan (ketupat)
4) H2SO4 pekat
2. Cara Kerja
Sampel 20 grHaluskan dalam
mortarTambahkan larutan
kapur (basa)
Panaskan dikompor sampai jadi abu
Tambahkan 5 ml H2SO4 + 10 ml methanol
Nyalakan apiApi hijau (+)Api biru (-)
III. Teori
Meningkatnya pertumbuhan industri makanan di Indonesia, telah
terjadi peningkatan produksi makanan yang beredar di masyarakat. Sudah
tidak asing lagi bahwa banyak zat-zat berbahaya yang langsung dicampur
sebagai bahan tambahan makanan, salah satu zat yang sering digunakan yaitu
‘Boraks’ atau ‘Bleng’. Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Nomor:
722/MenKes/Per/IX/88 tentang BTP, boraks termasuk bahan yang berbahaya
dan beracun sehingga tidak boleh digunakan sebagai BTP (Triastuti,2013)
Boraks berasal dari bahasa arab yaitu BOURAQ yang berarti kristal
lunak yang mengandung unsur-unsur boron, berwarna dan larut dalam air.
Boraks merupakan kristal lunak dengan nama kimia Natrium Tetrabonat
( Na2.B4O7.10H2O). Boraks mempunyai nama lain natrium biborat, natrium
piroborat, natrium tetraborat yang seharusnya hanya digunakan dalam industri
non pangan (Rizki, 2011).
Sejak lama, boraks disalah gunakan oleh produsen nakal untuk
pembuatan kerupuk beras, mie, lontong (sebagai pengeras), ketupat (sebagai
pengeras), bakso (sebagai pengenyal dan pengawet), kecap (sebagai
pengawet), bahkan pembuatan bubur ayam (sebagai pengental dan pengawet).
Padahal fungsi boraks yang sebenarnya adalah digunakan dalam dunia
industri non pangan sebagai bahan solder, bahan pembersih, pengawet kayu,
antiseptik, dan pengontrol kecoa (Suhanda, 2012 dalam Sultan, 2013).
Mengkonsumsi makanan yang mengandung boraks tidak langsung
berakibat buruk terhadap kesehatan tetapi boraks akan menumpuk
sedikit demi sedikit karena diserap dalam tubuh konsumen secara kumulatif.
Seringnya mengkonsumsi makanan berboraks akan menyebabkan gangguan
otak, hati, dan ginjal. Dalam jumlah banyak, boraks menyebabkan demam,
anuria (tidak terbentuknya urin), koma, merangsang sistem saraf pusat,
menimbulkan depresi, apatis, sianosis, tekanan darah turun, kerusakan ginjal,
pingsan, hingga kematian (Anonim, 2011).
Penggunaan boraks dalam waktu lama dan jumlah yang banyak dapat
menyebabkan kanker. Namun pelanggaran peraturan di atas masih sering
dilakukan oleh produsen makanan. Menurut Medikasari (2003) dalam
Syorayah (2012), hal ini terjadi selain karena kurangnya pengetahuan para
produsen juga karena harga pengawet yang khusus digunakan untuk industri
relatif lebih murah dibandingkan dengan harga pengawet yang khusus
digunakan untuk makanan maupun minuman.
IV. Hasil
Dari hasil pemeriksaan senyawa boraks didalam sampel ketupat
dengan metode nyala api, diketahui bahwa nyala api bewarna biru. Hal ini
menunjukan bahwa sampel ketupat tidak mengandung boraks atau borak (-).
V. Pembahasan
Berdasarkan pemeriksaan yang telah dilakukan, dapat diketahui
bahwa sampel ketupat yang telah diuji di laboratorium dengan metode nyala
api menghasilkan reaksi nyala api berwarna biru yang menunjukkan bahwa
sampel tersebut tidak mengandung bahan pengawet berbahaya boraks.
Apabila dengan metode nyala api menghasilkan nyala api yang berwarna
hijau, ini menunjukkan bahwa sampel tersebut mengandung boraks. Hal ini
sesuai dengan Permenkes RI No. 1168 Tahun 1999 tentang Bahan Tambahan
Makanan bahwa tidak boleh ada bahan tambahan makanan berbahaya di
dalam makanan.
Bila boraks diberikan pada bakso dan lontong (ketupat) akan membuat
bakso/lontong tersebut sangat kenyal dan tahan lama, sedangkan pada
kerupuk yang mengandung boraks jika digoreng akan mengembang dan
empuk serta memiliki tekstur yang bagus dan renyah. Parahnya, makanan
yang telah diberi boraks dengan yang tidak atau masih alami, sulit untuk
dibedakan jika hanya dengan panca indera, namun harus dilakukan uji khusus
boraks di Laboratorium (Sultan 2013).
Makanan yang mengandung boraks dapat menyebebkan dampak
negatif bagi tubuh dimana pada dosis tertinggi yaitu 10-20 gr/kg berat badan
orang dewasa dan 5 gr/kg berat badan anak-anak akan menyebabkan
keracunan bahkan kematian. Sedangkan dosis terendah yaitu dibawah 10-20
gr/kg berat badan orang dewasa dan kurang dari 5 gr/kg berat badan anak-
anak, jika sering dikonsumsi akan menumpuk/terakumulasi pada jaringan
tubuh di otak, hati, lemak dan ginjal yang pada akhirnya dapat memicu
terjadinya kanker. Yuliarti (2007), menyebutkan bahwa orang dewasa dapat
meninggal dunia apabila mengonsumsi asam borat sebanyak 15-25 gr,
sedangkan anak-anak 5-6 gr (Syorayah 2012).
Gejala awal keracunan boraks bisa berlangsung beberapa jam hingga
seminggu setelah mengonsumsi atau kontak dalam dosis toksik. Gejala klinis
keracunan boraks biasanya ditandai dengan sakit perut sebelah atas, muntah,
mencret, sakit kepala, penyakit kulit berat, sesak nafas dan kegagalan
sirkulasi darah, tidak nafsu makan, dehidrasi, koma dan jika berlangsung
terus menerus akan mengakibatkan kematian (Yuliarti, 2007 dalam Sorayah,
2012).
VI. Kesimpulan
Dari hasil pemeriksaan tersebut dapat disimpulkan bahwa sampel
ketupat tidak mengandung boraks. Hal ini dibuktikan dengan nyala api yang
bewarna biru. Sehingga ketupat tersebut tidak berbahaya untuk dikonsumsi.
VII. Daftar Pustaka
Rizki, Palupi. 2011. Identifikasi Boraks Dalam Makanan Identifikasi Boraks
Dalam Makanan (Makalah). Politeknik Kesehatan Kemenkes
Semarang : Semarang.
Sultan, Pramutia. 2013. Analisis Kandungan Zat Pengawet Boraks Pada
Jajanan Bakso Di Sdn Kompleks Mangkura Kota Makasar.
Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin : Makasar.
Syorayah, Imee. 2012. Analisis Kandungan Boraks (Na2B4O710H2O) Pada
Roti Tawar Yang Bermerek Dan Tidak Bermerek Yang Dijual Di
Kelurahan Padang Bulan Kota Medan Tahun 2012. Fakultas
Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara : Sumatra
Utara.
Triastuti, Endang.2013. Analisis Boraks Pada Tahu Yang Diproduksi Di Kota
Manado. Jurnal Ilmiah Farmasi – UNSRAT Vol. 2 No. 01 Februari
2013 ISSN 2302 – 2493. Program Studi Farmasi FMIPA UNSRAT
: Manado.
www. repository.usu.ac.id
PEMERIKSAAN PEWARNA PADA MAKANAN
A. Tujuan
Tujuan dalam praktikum ini adalah mengetahui jenis pewarna yang
digunakan pada makanan (sintetik yang diperbolehkan dan tidak
diperbolehkan).
B. Metode
1. Alat dan Bahan
a) Alat
1) Gelas Kimia
2) Pengaduk
3) Pinset
4) Pipet Ukur
5) Pipet Tetes
6) Pipet Filter
7) Kompor
b) Bahan
1) Sampel minuman (nutrisari)
2) Larutan KHSO4 10%
3) Larutan NH4OH 10%
4) Larutan CH3COOH encer
5) Benang wool
2. Cara Kerja
Sampel nutrisari 50ml + KHSO4 (asam) 0,5ml Panaskan + benang wool
Didihkan 10 menitAmbil wool bagi 2 bagian
Tetesi NH4OH 10% terjadi perubahan warna berarti (+) pewarna alami + H2O 50 ml didihkan, ganti
dengan wool baru/+ KHSO4 10% 0,5ml didihkan jika cairan berwarna berarti (+) pewarna sintetis yang diperbolehkan
C. Teori
Menurut International Food Information Council Foundation / IFICF
(2004), pewarna pangan adalah zat yang digunakan untuk memberikan atau
meningkatkan warna suatu produk pangan, sehingga menciptakan image
tertentu dan membuat produk lebih menarik (Mariana, 2012).
Warna merupakan daya tarik terbesar untuk menikmati makanan
setelah aroma. Pewarna dalam pangan dapat meningkatkan penerimaan
konsumen terhadap suatu produk. Oleh karena itu produsen pun berlomba
menawarkan aneka produknya dengan tampilan yang menarik dan warna-
warni (Sumarlin, 2012).
Berikut ini adalah pewarna yang diijinkan penggunaanya di Indonesia:
Warna Nama Nomor Indeks NamaI. Zat warna alam
MerahMerah KuningKuning KuningKuningHijauBiruCoklatHitamHitamPutih
AlkananCochineal red (karmin)AnnatoKarotenKurkuminSafronKlorofilUltramarinKaramelCarbon BlackBesi oksidaTitanium oksida
7552075470751207513075300751007581077007
-772667749977891
II. Zat warna sintetikMerahMerah MerahOranyeKuningKuningHijauBiruBiru Ungu
CarmoisineAmaranthErythrosineSunsetyellow FCFTartazineQuinelene yellowFast Green FCFBrilliant blue FCFIndigocarmine (Indigotine)Violet GB
14720761854543015985191404700542053420904209042640
Sumber: Direktorat Pengawasan Makanan dan Minuman
D. Hasil
Dari hasil pemeriksaan pewarna pada makanan didalam sampel
nutrisari dengan metode calorimetri, diketahui bahwa :
1. Benang wool + NH4OH = tidak terjadi perubahan warna
Berarti nutrisari tidak mengandung pewarna alami.
2. Benang wool + H2O lalu diganti dan ditambah KHSO4 = larutan berubah
warna menjadi agak kebiruan. Berarti nutrisari mengandung pewarna
sintetis yang diperbolehkan.
E. Pembahasan
Berdasarkan pemeriksaan yang telah dilakukan, kandungan zat
pewarna nutrisari yaitu Tetrazine dan Sunsetyellow merupakan zat pewarna
sintetis yang diperbolehkan. Hal ini memenuhi syarat sesuai Permenkes RI.
No.722/Menkes / Per /IX/ 1988 tentang Bahan Tambahan Pangan. Sehingga
nutrisari tidak berbahaya untuk dikonsumsi namun dalam jumlah yang cukup.
Pemberian zat pewarana makanan dapat berpengaruh terhadap
kesehatan. Misalnya, penggunaan tartrazine secara berlebihan menyebabkan
reaksi alergi, asma, dan hiperaktif pada anak. Penggunaan Erythrosine secara
berlebihan dapat menyebabkan reaksi alergi pada pernafasan, hiperaktif pada
anak, tumor tiroid pada tikus, dan efek kurang baik pada otak dan perilaku.
Penggunaan fast green FCF secara berlebihan menyebabkan reaksi alergi dan
produksi tumor. Sementara, penggunaan sunset yellow secara berlebihan
menyebabkan radang selaput lendir pada hidung, sakitpinggang, muntah-
muntah, dan gangguan pencernaan (Saparinto, 2006 dalam Mariana, 2012).
Pemakaian zat pewarna sintetis dalam makanan dan minuman
mempunyai dampak positif bagi produsen dan konsumen, diantaranya dapat
membuat suatu makanan lebih menarik, meratakan warna pangan,
mengembalikan warna dari bahan dasar yang telah hilang atau berubah
selama pengolahan ternyata dapat pula menimbulkan hal-hal yang tidak
diinginkan dan bahkan memberikan dampak negatif bagi kesehatan
konsumen bila bahan pewarna sintetis dimakan dalam jumlah kecil namun
berulang, bahan pewarna sintetis dimakan dalam jangka waktu lama dan
digunakan secara berlebihan (Cahyadi,2008 dalam Mariana, 2012).
F. Kesimpulan
Dari hasil pemeriksaan tersebut kandungan zat pewarna Tetrazine dan
Sunsetyellow merupakan zat pewarna sintetis yang diperbolehkan sehingga
aman dikonsumsi dalam jumlah yang cukup.
G. Daftar Pustaka
Mariana, Fransisca. 2012. Pemeriksaan Jenis Dan Kadar Zat Pewarna
Buatan Pada Permen Lolipop Bermerek Dan Tidak Bermerek Yang
Beredar Di Kota Medan Tahun 2012. Fakultas Kesehatan
Masyarakat Universitas Sumatera Utara : Medan.
Sumarlin, L.Ode. 2012. Identifikasi Pewarna Sintetis Pada Produk Pangan
Yang Beredar di Jakarta dan Ciputat. Program Studi Kimia FST
UIN Syarif Hidayatullah : Jakarta.
www. repository.usu.ac.id
UJI SANITASI ALAT MAKAN
A. Tujuan
Tujuan dalam praktikum ini adalah
1. Agar dapat diketahui kebersihan dari alat makan
2. Agar dapat memantapkan petugas dalam melakukan pengawasan
3. Memberikan data untuk feed back (umpan balik) kepada pengusaha
B. Metode
1. Alat dan Bahan
a) Alat
1) Tabung reaksi
2) Rak tabung reaksi
3) Lampu bunsen
4) Lidi kapas
5) Pipet ukur steril
6) Pipet filter
7) Cawan petri
8) Inkubator
9) Colony counter
10) Sarung tangan steril
11) Spidol
12) Formulir untuk pemeriksaan laboratorium
13) Gunting
14) Termos es
b) Bahan
1) Larutan buffer phosphat steril
2) Media PCA
3) Kertas cellotape
4) Alkohol
5) Kapas
6) Karet
7) Label
8) Kertas aluminium foil
9) Korek api
10) Sampel alat makan (gelas)
2. Cara Kerja
C. Teori
Undang-undang No. 36 tahun 2009 tentang kesehatan menyebutkan
bahwa peningkatan dan pemantapan upaya kesehatan diselenggarakan
melalui 15 macam kegiatan, salah satunya adalah pengamanan makanan dan
minuman. Upaya pengamanan makanan dan minuman akan lebih
ditingkatkan untuk mendukung peningkatan dan pemantapan upaya kesehatan
secara berhasil guna dan berdaya guna. Semua itu merupakan upaya untuk
melindungi masyarakat dari makanan dan minuman yang tidak memenuhi
persyaratan mutu (Depkes RI, 2009 dalam Mulyani, 2012).
Peluang terjadinya kontaminasi makanan dapat terjadi pada setiap
tahap pengolahan makanan.Pengelolaan makanan yang tidak higienis dan
saniter dapat mengakibatkan adanya bahan-bahan di dalam makanan yang
Buffer 5 mlCelupkan kapas lidi
Isatkan ke dinding tabung
Usapkan ke alat makan (searah 3x)
Masukan kapas lidi ke tabung reaksi
Ambil 1 ml
Tuangkan ke masing-masing cawan petri
Patahkan lidi
Ambil 0,1 ml
Tambahkan PCA ½ tinggi cawan
Inkubasikan pada suhu 370C dan 2 X 24 jam
Hitung jumlah koloni
dapat menimbulkan gangguan kesehatan pada konsumen (Naria, 2005 dalam
Mulyani, 2012).
Susiwi (2009), beberapa hal yang memungkinkan untuk menjadi
sumber kontaminasi pada industri pangan adalah :1) Bahan baku mentah,
proses pembersihan dan pencucian untuk menghilangkan tanah dan untuk
mengurangi jumlah mikroba pada bahan mentah. Penghilangantanah amat
penting karenatanah mengandung berbagai jenis mikroba khususnya dalam
bentuk spora.2) Peralatan/mesin yang berkontak langsung dengan makanan,
alat ini harus dibersihkan secara berkala dan efektif dengan interval waktu
agak sering, guna menghilangkan sisa makanandan tanah yang
memungkinkan sumber pertumbuhan mikroba.3) Peralatan untuk sterilisasi,
harus diusahakan dipelihara agar berada di atas suhu 75 ± 76oC agar bakteri
thermofilik dapat dibunuh dan dihambat pertumbuhannya.4) Air untuk
pengolahan makanan, air yang digunakan sebaiknya memenuhi persyaratan
air minum.5) Peralatan/ mesin yang menangani produk akhir (post process
handling equipment), pembersihan peralatan ini harus bersih dan kering untuk
menjaga agar tidak terjadirekontaminasi.
D. Hasil
Rumus :
∑ 1ml+¿¿¿
Keterangan :
P = luas yang diusap
Q = seluruh luas alat makan atau minum
Jumlah koloni pada suspensi 0,1 ml : 10
Jumlah koloni pada suspensi 1 ml : 14
p (luas yang diusap) : 1/3 π r2
q (luas alat makan/minum) : π r2
Untuk perhitungannya adalah sebagi berikut :
14+(10 x 10)2
x5 x0,69,2
= 18,525 koloni/cm2
Jadi, jumlah koloni yang ada pada sampel alat makan yang diperiksa yaitu
pada gelas adalah sebanyak 18,525 koloni/cm2 → kurang dari nilai ambang
batas yaitu 100 koloni per cm2 (memenuhi syarat standart kesehatan pada alat
makan).
E. Pembahasan
Dari hasil pemeriksaan uji usap alat (gelas) diketahui angka total
kuman sebanyak 18,525 koloni/cm2, sehingga piring tersebut masih
memenuhi persyaratan kebersihan alat sesuai dengan baku mutu kepmenkes
No:1204/MENKES/SK/X/2004 bahwa kebersihan peralatan ditentukan
dengan angka total kumansebanyak-banyaknya 100/cm2 permukaan dan tidak
ada kuman E. Coli.
Hal ini bisa dikarenakan dalam membersihkan gelas tersebut sudah
sesuai dengan aturan yaitu dengan air yang mengalir dan sabun sehingga
angka kuman yang terdeteksi sedikit.
Apabila angka total kuman tinggi, mengindikasikan bahwa peralatan
tersebut tidak memenuhi syarat kebersihan peralatan sehingga bila peralatan
makan tersebut masih digunakan akan mengakibatkan kontaminasi terhadap
makanan dan penyakit yang dapat ditimbulkan yaitu diare, tipus, dan penyakit
pencernaan lainnya. Solusi yang dapat digunakan untuk menurunkan angka
total kuman diperalatan makanan yaitu dengan metode pencucian peralatan
makananyang baik dan benar, menggunakan air bersih yang mengalir,
menggunakan sabun pencuci alat makan, dll.
F. Kesimpulan
Dari hasil uji tersebut didapatkan jumlah koloni yang ada pada sampel
gelas adalah sebanyak 18,525 koloni/cm2 yang berarti jumlahnya kurang dari
nilai ambang batas yaitu 100 koloni per cm2 sehingga alat tersebut masih
memenuhi syarat standart kesehatan pada alat makan.
G. Daftar Pustaka
Mulyani, Lany. 2012. Aspek Hygiene dan Sanitasi Makanan pada Rumah
Makan di Terminal 42 Andalas Kota Gorontalo. Skripsi, Jurusan
Kesehatan Masyarakat, Fakultas Ilmu – Ilmu Kesehatan dan
Keolahragaan, Universitas Negeri Gorontalo : Gorontalo
Dhamayanti, Evy. 2008. Aspek Sanitasi dan Higiene di Kantin Asrama
Tingkat Persiapan Bersama Intitut Pertanian Bogor. Jurnal Gizi
dan Pangan, Maret 2008 3(1):22-29. IPB : Bogor.
Badan POM RI. 2012. Cara Produksi Pangan Siap Saji Yang Baik.
Direktorat Surveilan dan Penyuluhan Keamanan Pangan.