laporan phpt

40
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam meningkatkan produksi pertanian banyak kendala yang kita hadapi diantaranya adalah gangguan organisme pengganggu Tanaman (OPT). Serangan OPT mengakibatkan kerusakan tanaman dan penurunan hasil mulai dipertanaman hingga kepenyimpanan. Akibat kerusakan yang ditimbulkan oleh OPT tersebut akan mengakibatkan penurunan hasil baik secara kwantitas atau kwalitas. Hama terjadi karena adanya ketidak seimbangnya ekologi yang disebabkan oleh kontrol manusia terhadap penggunaan bahan kimia-kimia secara berlebihan, tidak terukur dan berkelanjutan Berbagai jenis hama mempunyai peran penting terhadap penurunan produksi pertanian. Pada tanaman padi saja tercatat 100 jenis hama dan 40 jenis penyakit. Pada kedelai tercatat 50 jenis hama dan 30 jenis penyakit (Soejitno,1988, Tjoa,1953). Masih banyak lagi jenis hama dan penyakit yang menyerang tanaman hortikultura dan tanaman perkebunan lainnya. Dalam upaya mengatasi masalah hama/penyakit tanaman kubis, pada umumnya para petani menekankan pada pengendalian secara kimiawi. Menurut laporan Woodford et al. (1981), biaya penggunaan pestisida pada tanaman kubis yang dilakukan oleh petani di Kabupaten Bandung adalah sebesar 30% dari total biaya produksi. Umumnya pestisida digunakan secara intensif, baik secara tunggal maupun campuran dari 1

Upload: nanang-mutahir

Post on 23-Oct-2015

91 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

untuk memebuhi kewajiban tugas mata kuliah

TRANSCRIPT

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Dalam meningkatkan produksi pertanian banyak kendala yang kita hadapi

diantaranya adalah gangguan organisme pengganggu Tanaman (OPT). Serangan OPT

mengakibatkan kerusakan tanaman dan penurunan hasil mulai dipertanaman hingga

kepenyimpanan. Akibat kerusakan yang ditimbulkan oleh OPT tersebut akan

mengakibatkan penurunan hasil baik secara kwantitas atau kwalitas. Hama terjadi

karena adanya ketidak seimbangnya ekologi yang disebabkan oleh kontrol manusia

terhadap penggunaan bahan kimia-kimia secara berlebihan, tidak terukur dan

berkelanjutan Berbagai jenis hama mempunyai peran penting terhadap penurunan

produksi pertanian. Pada tanaman padi saja tercatat 100 jenis hama dan 40 jenis

penyakit. Pada kedelai tercatat 50 jenis hama dan 30 jenis penyakit (Soejitno,1988,

Tjoa,1953). Masih banyak lagi jenis hama dan penyakit yang menyerang tanaman

hortikultura dan tanaman perkebunan lainnya.

Dalam upaya mengatasi masalah hama/penyakit tanaman kubis, pada umumnya

para petani menekankan pada pengendalian secara kimiawi. Menurut laporan Woodford

et al. (1981), biaya penggunaan pestisida pada tanaman kubis yang dilakukan oleh

petani di Kabupaten Bandung adalah sebesar 30% dari total biaya produksi. Umumnya

pestisida digunakan secara intensif, baik secara tunggal maupun campuran dari

beberapa jenis pestisida, dengan konsentrasi penyemprotan melebihi rekomendasi dan

interval penyemprotan yang pendek, 1-2 kali/minggu (Sastrosiswojo 1987). Dampak

negatif yang timbul sebagai akibat penggunaan pestisida yang intensif tersebut antara

lain adalah : (1) hama ulat daun kubis (Plutella xylostella L.) menjadi resisten terhadap

beberapa jenis insektisida kimia dan mikroba (Sastrosiswojo et al. 1989; Setiawati

1996), (2) resurgensi hama P. xylostella terhadap Asefat, Permetrin dan Kuinalfos

(Sastrosiswojo 1988), (3) residu pestisida yang dapat membahayakan konsumen

kubis(Soeriaatmadja & Sastrosiswojo 1988), dan (4) terganggunya kehidupan dan

peranan parasitoid Diadegma semiclausum sebagai musuh alami penting hama P.

xylostella (Sastrosiswojo 1987).

1

Untuk mengatasi masalah tersebut di atas, konsep Pengendalian Hama Terpadu

(PHT) bertujuan membatasi penggunaan pestisida sesedikit mungkin, tetapi sasaran

kualitas dan kuantitas produksi kubis masih dapat dicapai.

1.2. Rumusan Masalah

1. Jelaskan tentang morfologi tanaman bunga kubis?

2. Jelaskan pengertian hama, musuh alami, dan pengendalian secara terpadu ?

3. Hama apa saja yang terdapat pada tanaman kubis bunga ?

4. Sebutkan dan jelaskan musuh alami hama dan cara pengendaliannya pada tanaman

kubis bunga ?

1.3. Tujuan

Agar mahasiswa dapat memahami, mengetahui, dan mengaplikasikan ilmu tentang

morfologi tanaman kubis bunga, hama dan musih alami yang terdapat pada tanaman

kubis bunga serta cara pengendalian hama tersebut dengan pengendalian hama terpadu.

2

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Sejarah Tanaman Kubis Bunga

Tanaman kubis bunga diduga berasal dari Eropa, pertama kali ditemukan di

Cyprus, Italia Selatan dan Mediterania. Beberapa spesies kubis bunga telah tumbuh di

Mediterania selatan lebih dari 2000 tahun. Mengenai masuknya kubis bunga di

Indonesia tidak terdapat keterangan pasti, diduga terjadi pada abad XIX, yang

varietasnya berasal dari India (Rukmana, 1994). Tanaman kubis bunga termasuk dalam

golongan tanaman sayuran semusim atau umur pendek. Tanaman tersebut hanya dapat

berproduksi satu kali dan setelah itu akan mati. Pemanenan kubis bunga dapat dilakukan

pada umur 60 – 70 hari setelah tanam, tergantung pada jenis dan varietasnya (Cahyono,

2001).

2.2. Syarat Tumbuh Tanaman Kubis Bunga

Syarat tumbuh tanaman kubis bunga dalam budidaya tanaman kubis bunga adalah

sebagai berikut :

1. Iklim

Pada mulanya kubis bunga dikenal sebagai tanaman sayuran daerah yang

beriklim dingin (sub tropis), sehingga di Indonesia cocok ditanam di daerah dataran

tinggi antara 1000 – 2000 meter dari atas permukaan laut (dpl) yang suhu udaranya

dingin dan lembab. Kisaran temperatur optimum untuk pertumbuhan dan produksi

sayuran ini antara 150C – 180C, dan maksimum 240C (Rukmana, 1994). Kubis bunga

termasuk tanaman yang sangat peka terhadap temperatur terlalu rendah ataupun terlalu

tinggi, terutama pada periode npembentukan bunga. Bila temperatur terlalu rendah,

sering mengakibatkan terjadinya pembentukan bunga sebelum waktunya. Sebaliknya

pada temperatur yang terlalu tinggi, dapat menyebabkan tumbuhnya daun-daun kecil

pada massa bunga (curd) (Pracaya, 2000).

2. Tanah

Tanaman kubis bunga cocok ditanam pada tanah lempung berpasir, tetapi

toleran terhadap tanah ringan seperti andosol. Namun syarat yang paling penting

keadaan tanahnya subur, gembur, kaya akan bahan organik, tidak mudah becek

3

(menggenang), kisaran pH antara 5,5 – 6,5 dan pengairannya cukup memadai (Anonim.

B, 2009).

2.3. Teknik Budidaya Tanaman Kubis Bunga

1. Pengolahan Tanah

Pengolahan tanah pada lahan hendaknya tanah disterilisasi dari rumput - rumput

liar maupun sisa - sisa perakaran tanaman. Penggemburan tanah dilakukan dengan cara

mencangkul tanah supaya tanah - tanah yang padat bisa menjadi longgar, sehingga

pertukaran udara di dalam tanah menjadi baik, gas - gas oksigen dapat masuk ke dalam

tanah, gas – gas yang meracuni akar tanaman dapat teroksidasi, dan asam - asam dapat

keluar dari tanah. Selain itu dengan longgarnya tanah maka akar tanaman dapat

bergerak dengan bebas menyerap zat - zat makanan di dalamnya (Anonim. A, 2009).

Tanah yang telah diolah selanjutnya dapat dibentuk menjadi bedengan - bedengan dan

parit. Bedengan - bedengan tersebut berfungsi sebagai tempat penanaman bibit yang

telah disemai, sedangkan parit atau selokan berfungsi sebagai saluran irigasi dan

drainase. Sistem budidaya dengan menggunakan mulsa plastik hitam perak, dapat

memberikan hasil yang lebih tinggi dan lebih baik dibandingkan dengan yang tidak

menggunakan mulsa plastik hitam perak. Adapun keuntungannya penggunaan mulsa

tersebut adalah :

a. Apabila penanaman dilakukan pada musim hujan, maka mulsa plastik tersebut dapat

melindungi tanah dari curah hujan sehingga tanah tidak terlalu basah dan dapat

menghindarkan terjadinya pemadatan tanah akibat curahan air hujan

b. Dapat menjaga keadaan suhu tanah dan kelembabannya, sehingga dapat

meningkatkan pertumbuhan dan pembentukan massa bunga

c. Dapat mengurangi penguapan air, sehingga dapat mencegah terjadinya kekeringan

pada tanaman

d. Dapat mencegah tumbuhnya gulma atau rumput - rumputan sehingga tanaman tidak

terganggu pertumbuhannya

e. Dapat memantulkan sinar matahari sehingga dapat mencegah perkembangan hama

f. Dapat menjaga dan mempertahankan kegemburan tanah, sehingga akan dapat tumbuh

dengan baik, demikian pula organisme tanah yang bermanfaat juga dapat tumbuh dan

berkembang. ( Anonim. A, 2009).

4

2. Pengadaan Benih dan Pembibitan

Pengadaan benih dapat dilakukan dengan cara membuat sendiri atau membeli

benih yang telah siap tanam. Pengadaan benih dengan cara membeli akan lebih praktis,

petani tinggal menggunakan tanpa jerih payah. Sedangkan pengadaan benih dengan cara

membuat sendiri cukup rumit. Di samping itu, mutunya belum tentu terjamin baik

(Cahyono, 2003). Kubis bunga diperbanyak dengan benih. Benih yang akan diusahakan

harus dipilih yang berdaya tumbuh baik. Benih kubis bunga sudah banyak dijual di

toko-toko pertanian. Untuk mendapatkan kubis yang baik maka biji disemaikan terlebih

dahulu hingga dewasa baru dipindah ke lapangan. Setelah benih disebar (disemai),

biasanya pada umur 4 – 5 hari kemudian sudah tumbuh menjadi bibit kecil. Pada umur

10– 15 hari setelah sebar benih , bibit telah berdaun 1 – 2 helai dapat segera

dipindahkan ke dalam polibag. Kubis bunga yang siap dipindahkan ke lahan adalah

bibit yang sudah berdaun 3 – 4 helai. Pesemaian dibuat dengan maksud membantu

tanaman muda yang masih lemah agar lebih mudah dirawat. Sinar matahari yang terik,

hujan lebat, kekurangan air dan lain sebagainya relatif dapat dihindari (Sutarya, 1995).

3. Penanaman

Bibit kubis bunga yang disemai dapat langsung dipindahkan pada lahan setelah

umur 10 – 15 hari setelah tanam dan ditanam dengan jarak tanam 50 x 60 cm. Waktu

tanam yang baik adalah pagi hari pukul 06.00 –10.00 atau sore hari antara pukul 15.00-

17.00 saat penguapan air oleh pengaruh sinar matahari dan temperatur udara tidak

terlalu tinggi. Selesai penanaman, segera diairi sampai basah benar, baik dengan cara

disiram (Cahyono, 2001).

4. Pemeliharaan Tanaman

Kegiatan pokok pemeliharaan dalam budidaya tanaman kubis bunga meliputi

tahapan penyiraman, penyiangan dan penggemburan tanah, pemupukan, penutupan

massa bunga (curd), pengendalian hama dan penyakit, serta pemanenan.

a. Penyiraman

Kubis bunga mempunyai sistem perakaran yang dangkal sehingga perlu

pengairan yang rutin, terutama dimusim kemarau. Hal yang terpenting adalah menjaga

agar tanah tidak kering atau kekurangan air. Waktu pemberian air sebaiknya pagi atau

sore hari. Pada musim kemarau, pengairan perlu dilakukan 1 – 2 kali sehari, terutama

pada fase awal pertumbuhan dan pembentukan bunga (Rukmana, 1994).

5

b. Penyiangan

Biasanya setelah turun hujan, tanah di sekitar tanaman menjadi padat sehingga

perlu digemburkan. Sambil menggemburkan tanah, juga dapat melakukan

pencabutan rumput-rumput liar yang tumbuh. Penggemburan tanah ini jangan sampai

merusak perakaran tanaman. Kegiatan ini biasanya dilakukan 1 kali seminggu

(Anonim. B, 2009). Untuk membersihkan tanaman liar berupa rerumputan seperti

alang – alang hampir sama dengan tanaman perdu, mula - mula rumput dicabut

kemudian tanah dikorek dengan gancu. Akar - akar yang terangkat diambil,

dikumpulkan, lalu dikeringkan di bawah sinar matahari, setelah kering rumput

kemudian dibakar (Sugeng, 1981).

c. Pemupukan Susulan

Pemupukan adalah pemberian zat - zat makanan yang diperlukan oleh tanaman

untuk pertumbuhan dan pembentukan hasil. Pemupukan susulan ini merupakan

pemupukan yang kedua setelah pemupukan dasar yang dilakukan pada saat

pengolahan tanah. Sehingga pemupukan tahap ini dikenal sebagai pemupukan

susulan yang besifat memberikan makanan tambahan berupa zat makanan (hara) atas

kekurangan pada pemupukan dasar, dan berupa pemberian zat makanan (pupuk)

yang disesuaikan dengan tingkat pertumbuhan tanaman (Suteja, 2002).

Pupuk yang digunakan dalam pemupukan susulan adalah jenis pupuk

anorganik (pupuk kimia buatan pabrik), karena jenis pupuk kandang (organik) telah

diberikan pada pemupukan dasar. Jenis pupuk anorganik yang diberikan adalah jenis

NPK. Jenis pupuk NPK ini sangat perlu diberikan karena dapat menambah

kekurangan unsur hara NPK yang terdapat pada pupuk kandang dan di dalam tanah,

sedangkan jumlah pupuk NPK dalam jumlah yang cukup untuk tanaman baik bagi

pertumbuhan dan pembentukan hasilnya ( Cahyono, 2001).

d. Penutupan Massa Bunga (Curd)

Kegiatan penutupan massa bunga dilakukan khusus pada budidaya tanaman

kubis bunga. Massa bunga ditutup dengan daunnya, penutupan massa bunga ini

bertujuan untuk menghindari massa bunga dari pengaruh sinar matahari secara

langsung, sehingga massa bunga tetap berwarna putih bersih dan berkualitas baik.

Massa bunga yang tidak ditutup dan terkena sinar matahari secara langsung akan

6

berkualitas rendah, yaitu berbercak - bercak atau berbintik – bintik coklat kehitaman

dan mudah rusak (Rukmana, 1994).

5. Pengendalian Hama dan Penyakit

Pertumbuhan tanaman dan pembentukan massa bunga dapat berjalan sempurna

apabila tanaman dapat terhindar dari serangan hama dan penyakit. Pengendalian

hama dan penyakit merupakan kegiatan perlindungan tanaman yang bertujuan untuk

menyelamatkan hasil dari kerusakan yang ditimbulkan oleh hama dan penyakit

tersebut. Organisme pengganggu tanaman (OPT) khususnya hama dan penyakit

merupakan salah satu faktor pembatas dalam peningkatan produksi kubis-kubisan di

Indonesia. Misalnya saja, kehilangan hasil akibat serangan hama ulat tritip (Plutella

xylostella L.) , ulat grayak (Spodoptera sp.) dan kutu daun (Aphis brassicae). Untuk

penyakit yang banyak menyerang tanaman kubis bunga antara lain, penyakit akar

bengkak (Plasmodiopora brassicae), penyakit bercak hitam, penyakit busuk lunak

(busuk basah) (Tjahjadi, 1996).

6. Pemanenan

Pemanenan merupakan kegiatan memetik hasil produksi tanaman yang

dilakukan pada umur yang tepat. Pada tanaman kubis bunga bagian tanaman yang

dipetik sebagai hasil panen yang utama adalah massa bunganya. Pada pemanenan

kubis bunga harus diperhatikan umur panen tanaman, umumnya pada umur 50 – 60

HST. Cara pemanenan massa kubis bunga sangat sederhana, yaitu dengan memotong

tangkai bunga bersama dengan batang dan daun - daunnya dengan menggunakan

sabit atau pisau. Pemotongan sebagian batang dan daun - daunnya hendaknya

dilakukan jangan terlalu dekat dengan tangkai bunganya, yaitu sepanjang kurang

lebih 25 cm atau mendekati permukaan tanah (pangkal batang). Waktu pemanenan

kubis bunga yang baik adalah pagi atau sore hari saat cuaca yang cerah (tidak

mendung atau hujan) (Cahyono, 2001).

7

BAB III

PEMBAHASAN

3.1. Morfologi Kubis Bunga

Tanaman kubis bunga memiliki nama-nam di beberapa negara dan daerah, yaitu :

brokoli ( nama daerah), Broccoli (Inggris), Yang Hua Ye Chai (China), Asparkapsa

(Estonia), Parsakaali (Finlandia), Chou broccoli (Perancis), Brokkoli (Jerman), Cavolo

broccoli (Italia), Burokkori (Jepang), Brócolos (Portugis), Bróculos (Brazil), Brokkoli,

Kapústa sparzhevaia (Rusia), Brócoli, Bróculi, Brécol (Spanyol), Brokuł (Polandia),

Brokolica (Slovenia), Brokolice (Cekoslovakia) (Rocha, 1995)

Sinonim Tumbuhan

Sinonim: Brassica oleracea var. botrytis subvar. Cymosa, Brassica botrytis

Miller, Brassica oleracea var botrytis cauliflora (Dalimartha, 1999)

3.1.1. Klasifikasi dan Morfologi Tanaman Kubis Bunga

Menurut klasifikasi dalam tata nama (sistem tumbuhan) tanaman kubis bunga

termasuk kedalam :

1. Divisi : Spermatophyta (tanaman berbiji).

2. Sub divisi : Angiospermae (biji berada di dalam buah).

3. Kelas : Dicotyledoneae (biji berkeping dua atau biji belah).

4. Ordo : Rhoeadales (Brassicales).

5. Famili : Cruciferae (Brassicaceae).

6. Genus : Brassica

7. Spesies : Brassica oleraceae var. botrytis L.

Kubis bunga merupakan salah satu anggota dari keluarga tanaman kubis-kubisan

(Cruciferae). Bagian yang dikonsumsi dari sayuran ini adalah massa bunganya atau

disebut dangan “Curd”. Massa bunga kubis bunga umumnya berwarna putih bersih atau

putih kekuning - kuningan (Anonim. A, 2009). Seperti tanaman yang lainnya, tanaman

kubis bunga mempunyai bagian - bagian tanaman seperti akar, batang, daun, bunga,

buah dan biji.

8

1. Akar

Sistem perakaran kubis bunga menurut Cahyono (2001) memiliki akar tunggang

(Radix Primaria) dan akar serabut. Akar tunggang tumbuh ke pusat bumi (kearah

dalam), sedangkan akar serabut tumbuh ke arah samping (horizontal), menyebar, dan

dangkal (20 cm – 30 cm). Dengan perakaran yang dangkal tersebut, tanaman akan dapat

tumbuh dengan baik apabila ditanam pada tanah yang gembur dan porous.

2. Batang

Batang tanaman kubis bunga tumbuh tegak dan pendek (sekitar 30 cm). Batang

tersebut berwarna hijau, tebal, dan lunak namun cukup kuat dan batang tanaman ini

tidak bercabang (anonim. B, 2009).

3. Daun

Daun kubis bunga menurut Cahyono (2003) berbentuk bulat telur (oval) dengan

bagian tepi daun bergerigi, agak panjang seperti daun tembakau dan membentuk celah -

celah yang menyirip agak melengkung ke dalam. (Sugeng, 1981) menambahkan daun

tersebut berwarna hijau dan tumbuh berselang - seling pada batang tanaman. Daun

memiliki tangkai yang agak panjang dengan pangkal daun yang menebal dan lunak.

Daun -daun yang tumbuh pada pucuk batang sebelum massa bunga tersebut berukuran

kecil dan melengkung ke dalam melindungi bunga yang sedang atau mulai tumbuh.

4. Bunga

Massa bunga (curd) terdiri dari bakal bunga yang belum mekar, tersusun atas lebih

dari 5000 kuntum bunga dengan tangkai pendek, sehingga tampak membulat padat dan

tebal berwarna putih bersih atau putih kekuning - kuningan. Diameter massa bunga

kubis bunga dapat mencapai lebih dari 20 cm dan memiliki berat antara 0,5 kg – 1,3 kg,

tergantung varietas dan kecocokan tempat tanam (Pracaya, 2000).

9

5. Buah dan Biji

Tanaman kubis bunga dapat menghasilkan buah yang mengandung banyak biji.

Buah tersebut terbentuk dari hasil penyerbukan bunga yang terjadi karena penyerbukan

sendiri ataupun penyerbukan silang dengan bantuan serangga lebah madu. Buah

berbentuk polong, berukuran kecil dan ramping, dengan panjang antara 3 cm – 5 cm. Di

dalam buah tersebut terdapat biji berbentuk bulat kecil, berwarna coklat kehitam –

hitaman. Biji – biji tersebut dapat dipergunakan sebagai benih perbanyakan tanaman

(Cahyono, 2001).

3.1.2 Jenis-Jenis Tanaman Kubis Bunga

Pada dasarnya, varietas kubis bunga dibedakan menjadi 2 kelompok menurut

klasifikasi umurnya, yaitu varietas berumur genjah (early variety) dan berumur panjang

atau lambat (late variety) (Rukmana, 1994). Dalam beberapa literatur ditemukan bahwa

varietas kubis bunga yang berumur genjah antara lain Snowball yang terdiri dari

beberapa galur, seperti Early Snowball, Snowball Drifist, Super Snowball A, Snowball

X, dan Lecerf Utrechen. Varietas kubis bunga yang berumur lambat (panjang)

umumnya menghasilkan massa bunga yang berukuran lebih besar dibandingkan dengan

varietas kubis bunga berumur pendek (genjah). Beberapa contoh kubis bunga varietas

berumur lambat ini adalah Erfut, Snowdrift, White Montain, Snowball M dan Improved

Holand Erfurt (Anonim. B, 2009). Ini beberapa varietas kubis bunga yang telah

diketahui dapat tumbuh dan berproduksi di Indonesia :

1. Farmers Early No. 2 (506)

Ini merupakan varietas kubis bunga berumur pendek (genjah), dapat dipanen pada

umur 55 hari setelah pindah tanam. Daya adaptasinya luas, baik di dataran rendah atau

dataran tinggi. Umumnya massa kubis bunga berwarna putih, padat dan beratnya kurang

lebih 1,3 kg/bunga dan varietas ini cukup tahan terhadap penyakit berbahaya.

2. Fengshan Extra Early (501)

Varietas ini berumur sangat pendek, yaitu dapat dipanen pada umur 40 hari

setelah pindah tanam. Tahan terhadap kondisi cuaca panas maupun penyakit berbahaya.

10

Jenis ini tidak dianjurkan ditanam pada daerah yang cuacanya dingin bersuhu kurang

dari 200C.

3. Snow Crown

Merupakan varietas berumur pendek yang dapat dipanen pada umur 60 hari

setelah pindah tanam. Tahan terhadap cuaca panas maupun dingin sehingga cocok

ditanam di dataran menengah sampai dataran tinggi. Tahan terhadap penyakit busuk

leher hitam, busuk hitam pada akar dan bercak daun. Massa bunga berwarna putih

bersih.

4. Tropikal Early

Varietas ini berumur sangat pendek, yaitu dapat dipanen pada umur 56 hari

setelah pindah tanam. Massa bunga berwarna kuning dengan diameter kurang lebih 13

cm. Dapat beradaptasi dengan baik dan dapat ditanam di daerah dataran rendah. Sifat

persariannya bebas (open polinity), sehingga dapat dibijikan sendiri.

5. Cirateun

Varietas ini merupakan benih asli dari Indonesia yang ditemukan di desa Cirateun.

Massa bunga berwarna putih atau putih kekuning – kuningan. Sifat persariannya bebas

(open polinity), sehingga dapat dibijikan sendiri. Cocok untuk ditanam di daerah

dataran tinggi lebih dari 1000 m dari permukaan laut (Rukmana, 1994).

3.1.3. Kandungan Kimia

Brokoli mengandung air, protein, lemak, karbohidrat, serat, kalsium, zat besi,

vitamin (A, C, E, tiamin, riboflavin, nikotinamid), beta karoten, dan glutation. Selain itu

brokoli mengandung senyawa sianohidroksibutena (CHB), sulforafan, dan iberin yang

merangsang pembentukan glutation (Dalimartha, 1999).

3.1.4. Kegunaan

Bunga brokoli digunakan untuk mempercepat penyembuhan, mencegah dan

menghambat perkembangan sel kanker (Dalimartha, 1999), yang disebabkan oleh

adanya kandungan karotenoid (beta-karoten), indol, dan sulforafan (Hembing, 2008).

11

Menurut Profesor Dipak Das dari Universitas Connecticut, brokoli hendaknya menjadi

salah satu sayur yang direkomendasikan untuk dikonsumsi setiap hari untuk mencegah

penyakit-penyakit degeneratif

3.2. Pengertian Hama Utama, Musuh Alami, dan Pengendalian secara Terpadu

Pengertian Hama Utama

Pengertian Musuh alami

Penegrtian epngendalian Secara Terpadu

PHT adalah suatu cara pendekatan atau falsafah pengendalian OPT yang berdasar

pada pertimbangan ekologi dan efisiensi ekonomi dalam rangka pengelolaan

agroekosistem yang bertanggung jawab. Oleh karena itu, tindakan pengendalian OPT,

khususnya dengan pestisida, yang didasarkan pada posisi OPT terhadap Ambang

Ekonomi (AE) atau Ambang Pengendalian (AP) saja bersifat statis dan seringkali

kurang menguntungkan. PHT merupakan sistem pengendalian hama dalam hubungan

antara dinamika populasi dan lingkungan suatu jenis hama, serta menggunakan

berbagai teknik pengendalian yang kompatibel untuk menjaga agar populasi hama

selalu di bawah ambang ekonomi. Pengendalian hama dan penyakit tanaman dengan

mengandalkan satu komponen pengendalian, terutama pestisida, berpotensi merusak

lingkungan. Undang-Undang No.12/1992 tentang Sistem Budi Daya Tanaman

menekankan pentingnya pengendalian hama terpadu (PHT). Dikaitkan dengan upaya

peningkatan produksi, pendapatan petani, daya saing produksi, dan pelestarian

lingkungan maka sistem PHT perlu diintegrasikan ke dalam model pengelolaan

tanaman terpadu (PTT). Pengendalian OPT tetap harus mengarah dan berpegang pada

prinsip bahwa sistim pengendalian pada suatu wilayah adalah efektif dan efisien serta

berwawasan lingkungan. Konsepsi pengendalian yang dikombinasikan dari berbagai

cara dan dikembangkan secara lebih luas yaitu sebagai suatu sistim pengelolaan

populasi hama yang menggunakan semua tehnik yang sesuai dan kompatebel (saling

mendukung) untuk menurunkan populasi sampai tingkat dibawah ambang kerugian

ekonomi dan konsep ini dikenal dengan konsep Pengendalian hama Terpadu (PHT).

Penggunaan AE (AP) yang baku dan seragam serta kurang memperhatikan

keanekaragaman dan dinamika ekosistem, kurang dapat mencapai sasaran efektivitas

dan efisiensi ekonomi. Seharusnya, pengambilan keputusan tindakan pengendalian

didasarkan pada analisis ekosistem secara keseluruhan. Oleh karena itu, pengamatan

12

rutin untuk mengikuti keadaan ekosistem, baik populasi hama maupun populasi musuh

alami, peertumbuhan tanaman, keadaan cuaca, dan lain-lain perlu dilakukan.

Keputusan tindakan pengendalian harus selalu didasarkan pada data aktual lapangan

yang diperoleh dari kegiatan pemantauan ekosistem. Dalam penerapan konsepi PHT

pada tanaman kubis, ada empat macam prinsip pokok yang harus diterapkan, yaitu :

(1) budidaya tanaman sehat; (2) pemanfaatan dan pelestarian musuh musuh alami; (3)

pengamatan lahan secara mingguan atau rutin; dan (4) pembinaan petani sebagai pakar

PHT. Pengelolaan ekosistem dengan cara budidaya tanaman sehat dan pengamatan

lahan secara rutin (mingguan) telah dibahas di depan.

A. Manfaat dari pengendalian Hama Terpadu

Menghindari dan meninimumkan keracunan bahan kimia terhadap lingkungan hidup

antara lain menghindari tertinggalnya residu racun yang tidak diharapkan padan

tanaman, hasil, tanah , air dan makanan.

Menghindari timbulnya resistensi pada berbagai jenis seranggan hama terbunuhnya,

musuh alami dan serangga berguna,serta timbulnya resurgensi hama dan timbulnya

hama scunder atau hama baru.

Memperbaiki kualitas tanah, tumbuhan dan lingkungan

Meningkatkan produksi dari tanah secara keseluruhan

Meningkatkan keanekaragaman , daya tahan terhadap hama dan cuaca ektrim

Yang paling penting adalah meningkatkan kwalitas hidup manusia

3.3. Hama Utama Kubis Bunga

Jenis hama penting pada setiap fase pertumbuhan tanaman kubis disajikan pada

Tabel 1. (Sastrosiswojo 1987; Sastrosiswojo & Setiawati 1993; Djatnika 1993). Pada

Tabel 1 tampak bahwa banyak jenis hama yang menyerang tanaman kubis sejak

persemaian sampai panen. Namun, hanya beberapa jenis hama tertentu yang merupakan

hama utama. Hama utama adalah hama yang dalam kondisi tertentu mampu merusak

dan merugikan, sehingga perlu dilakukan tindakan pengendalian. Pemahaman biologi

dan ekologi hama utama merupakan dasar dan langkah awal yang perlu dilakukan agar

upaya pengendalian dapat berhasil baik.

13

adapun hama utama pada tanaman kubis bunga, diantaranya :

Ulat tanah, A. ipsilon (Lepidoptera:Noctuidae)

a. Morfologi dan biologi serangga dewasa (Sujud & Emka 1974; Kalshoven 1981)

Sayap depan ngengat berwarna coklat, sedangkan sayap belakang berwarna putih

dengan tepi coklat keabu-abuan. Panjang sayap terentang 40-50 mm. Panjang tubuh

sekitar 2,2 mm. Ngengat mampu hidup sekitar 10-20 hari. Ngengat aktif pada

senja/malam hari. Nisbah kelamin betina dengan jantan adalah 1:1.

14

• Telur

Bentuk telur bulat panjang dengan garis tengah kira-kira 0,5 mm. Warnanya

putih-krem, kemudian berubah menjadi kuning kemerahan dan sebelum menetas

berwarna kehitam-hitaman. Telur diletakkan pada pangkal tanaman muda gulma di

sekitar tanaman inang. Jumlah telur tiap betina 500-2.500 butir, yang menetas dalam

waktu sekitar enam hari.

• Larva

Stadium larva terdiri atas empat sampai lima instar. Larva instar pertama

berwarna kuning sampai kelabu kekuning-kuningan. Kepala, pronotum, dan ujung

abdomen berwarna hitam. Larva dewasa berwarna coklat tua sampai coklat kehitam

hitaman, biasanya dengan garis coklat pada dua sisi tubuh dan bercak berwarna coklat

muda pada sisi dorsal. Tubuh larva selalu tampak berkilau. Panjang larva tua sekitar

30-35 mm. Larva aktif pada senja dan malam hari. Pada siang hari, larva bersembunyi

di permukaan tanah di sekitar batang tanaman muda, pada celah-celah atau bongkahan

tanah kering. Pada saat istirahat, posisi tubuh larva sering melingkar. Ulat tanah dapat

berpindah-pindah sampai sejauh 20 m. Masa larva lamanya 18 hari. Larva tua bersifat

kanibalistik (saling membunuh).

• Pupa

Pupa berwarna coklat terang berkilau atau coklat gelap, berada beberapa cm di

bawah permukaan tanah. Panjang pupa kira-kira 20-30 mm. Tempat terbentuknya

pupa mempunyai hubungan dengan keadaan air dalam tanah. Semakin kering keadaan

tanah, semakin dalam letak pembentukan pupa. Lamanya pembentukan pupa tidak

terpengaruh oleh keadaan kelembaban tanah. Masa pupa lamanya lima sampai enam

hari.

• Daur hidup

Daur hidup A. ipsilon dari telur sampai dewasa sekitar 36-42 hari. Lamanya daur

hidup A. ipsilon tergantung pada tinggi rendahnya suhu udara, semakin rendah suhu

udara semakin lama daur hidupnya dan sebaliknya (Kalshoven 1981).

b. Daerah sebar dan ekologi

A. ipsilon dilaporkan terdapat di seluruh negara Asia, termasuk di Indonesia,

yaitu pulau Jawa, Sumatera, Bali dan Sulawesi. Populasi larva biasanya meningkat pada

awal musim kemarau (Maret-April) di dataran tinggi. Di musim hujan, umumnya

15

populasi larva rendah (Kalshoven 1981). Puncak populasi larva terjadi pada

pertengahan bulan Juni. Pada saat tersebut bisanya banyak sayuran muda yang ditanam

petani, sehingga serangan A. ipsilon secara ekonomis mempunyai arti yang penting

(Sujud & Emka 1974).

c. Tanaman inang dan gejala kerusakan

Inang utama ulat tanah adalah tanaman sayuran muda seperti tomat, kubis,

petsai, kacang merah, kentang, cabai, dan bawang. Selain itu, ulat tanah juga menyerang

tanaman muda jagung, tembakau, kapas, ubi jalar, tebu, teh, kopi, rosela, rerumputan,

padi gogo, dan serealia lainnya (Kalshoven 1981). Ulat tanah merusak tanaman yang

baru ditanam atau pada tanaman muda. Tanda serangan pada tanaman muda berupa

gigitan larva pada pangkal batang atau tanaman kubis sama sekali terpotong, sehingga

dapat menimbulkan kerusakan berat (Gambar 1). Larva dewasa kadang- kadang

membawa potongan-potongan tanaman ke tempat persembunyiannya. Kerusakan berat

pada pertanaman kubis muda kadang-kadang terjadi di awal musim kemarau. Kerugian

yang ditimbulkan oleh serangan A. ipsilon pada pertanaman kubis muda dapat mencapai

75-90% dari seluruh bibit kubis yang ditanam (Sastrosiswojo 1982).

Gambar 1. Ulat tanah (A. ipsilon) (Foto : Tonny K. Moekasan)

Ulat daun kubis, P. xylostella (Lepidoptera: Yponomeutidae)

a. Morfologi dan biologi

Serangga dewasa berupa ngengat kecil, kira-kira 6 mm panjangnya, berwarna

coklat kelabu, dan aktif pada malam hari. Pada sayap depan terdapat tiga buah lekukan

(undulasi) yang berwarna putih menyerupai berlian (bahasa Inggris diamond). Oleh

sebab itu serangga ini dalam bahasa Inggris disebut diamondback moth. Ngengat P.

xylostella tida kuat terbang jauh dan mudah terbawa oleh angin. Menurut Harcourt

(1954), pada saat tidak m ada angin, ngengat jarang terbang lebih tinggi dari 1,5 m di

atas permukaan tanah. Jarak terbang horizontal adalah 3-4 m. Longevitas (masa hidup)

16

ngengat betina rata-rata 20,3 hari (Vos 1953). Ngengat betina kawin hanya satu kali

(Harcourt 1957).

• Telur

Telur berbentuk telur oval, ukurannya 0,6 mm x 0,3 mm, warnanya kuning, berkilau

dan lembek. Ngengat betina meletakkan telur secara tunggal atau dalam kelompok kecil

(tiga atau empat butir), atau dalam gugusan (10-20 butir) di sekitar tulang daun pada

permukaan daun kubis sebelah bawah (Vos 1953). Ngengat betina bertelur selama 19

hari dan jumlah telur rata-rata sebanyak 244 butir. Lama stadium telur tiga hari (Vos

1953).

• Larva

Larva berbentuk silindris, berwarna hijau muda, relatif tidak berbulu,, dan

mempunyai lima pasang proleg (Harcourt 1954). Larva P. Xylostella terdiri atas empat

instar (Vos1953; Harcourt 1957). Panjang larva dewasa (instar ke-3 dan 4) kira-kira 1

cm. Larva lincah dan jika tersentuh akan menjatuhkan diri serta menggantungkan diri

dengan benang halus. Larva jantan dapat dibedakan dari larva betina karena memiliki

sepasang calon testis yang berwarna kuning (Sastrosiswojo 1987). Rata-rata lamanya

stadium larva instar kesatu 3,7 hari, larva instar kedua 2,1 hari, larva instar ketiga 2,7

hari, dan larva instar keempat 3,7 hari (Vos 1953).

• Prapupa dan pupa

Antara larva instar ke-4 dengan prapupa tidak terjadi pergantian kulit (Harcourt

1954). Panjang pupa rata-rata 6,3-7,0 mm dan lebarnya 1,5 mm (Harcourt 1954). Pupa

P. xylostella dibungkus kokon (jala sutera) dan diletakkan pada permukaan bagian

bawah daun kubis. Menurut Vos (1953), lamanya stadium pupa rata-rata 6,3 hari.

• Daur hidup

Lamanya daur hidup P. xylostella di Segunung (Pacet) pada suhu 16-25 oC rata-

rata 21,5 hari (Vos 1953). Menurut Sastrosiswojo (1987), daur hidup P. xylostella di

KP Margahayu (Lembang) pada suhu 15,5- 20,6 oC rata-rata 22,0 hari (Gambar 2).

17

Gambar 2. P. xylostella (Foto : Tonny K. Moekasan)

b. Daerah sebar dan ekologi

Hama ini bersifat kosmopolitan dan di Indonesia umumnya dapat ditemukan di

pertanaman kubis di dataran tinggi, pegunungan, atau perbukitan. Namun, karena akhir

akhir ini kubis juga ditanam di dataran rendah, P. xylostella juga dapat ditemukan pada

pertanaman kubis di dataran rendah. Faktor iklim (curah hujan) dapat mempengaruhi

populasi larva P. xylostella. Kematian larva akibat curah hujan lebih banyak terjadi pada

larva muda, yakni larva instar ke-1 dan larva instar ke-2 daripada larva instar ke-3 dan

larva instar ke-4. Oleh karena itu, umumnya populasi larva P. xylostella tinggi di musim

kemarau (bulan April sampai dengan Oktober) atau apabila keadaan cuaca kering

selama beberapa minggu. Populasi larva yang tinggi terjadi setelah kubis berumur enam

sampai delapan minggu (Sudarwohadi 1975). Hama P. xylostella juga dapat menyerang

tanaman kubis yang sedang membentuk krop sampai panen. Keadaan ini dapat terjadi

jika (Sastrosiswojo 1987) :

(1) populasi musuh alaminya, yaitu parasitoid D. Semiclausum rendah;

(2) tidak ada hama pesaing yang penting, yaitu ulat krop kubis (C. binotalis);

(3) hama P. xylostella telah resisten terhadap insektisida yang digunakan; dan

(4) populasi larva P. xylostella sangat tinggi.

Keadaan demikian menyebabkan hama P. xylostella dapat merusak krop kubis

sehingga menggagalkan panen, karena kerusakan yang ditimbulkan bersama-sama hama

C. binotalis. dapat mencapai 100% (Sudarwohadi 1975).

18

c. Tanaman inang dan gejala kerusakan

P. xylostella merupakan hama utama tanaman kubis putih dan jenis kubis

lainnya seperti kubis merah, petsai, kubis bunga, kaelan, selada air, sawi jabung, radis,

turnip, dan lain-lain. Selain itu, gulma kubis- kubisan yang juga dapat menjadi inang P.

xylostella adalah Capsella bursapastoris (rumput dompet gembala), Cardamine hirsuta

(rumput selada pahit berbulu), Brassica pachypoda, Nasturtium officinale, dan

Lepidium sp. (Sastrosiswojo 1987). Biasanya hama P. xylostella merusak tanaman kubis

muda. Meskipun demikian hama P. xylostella seringkali juga merusak tanaman kubis

yang sedang membentuk krop jika tidak terdapat hama pesaingnya, yaitu C. binotalis.

Larva P. xylostella instar ketiga dan keempat makan permukaan bawah daun kubis dan

meninggalkan lapisan epidermis bagian atas. Setelah jaringan daun membesar, lapisan

epidermis pecah, sehingga terjadi lubang-lubang pada daun. Jika tingka populasi larva

tinggi, akan terjadi kerusakan berat pada tanaman kubis, sehingga yang tinggal hanya

tulang-tulang daun kubis (Gambar 3). Serangan P. xylostella yang berat pada tanaman

kubis dapat menggagalkan panen (Sastrosiswojo 1987).

Gambar 3. Gejala serangan hama P. xylostella pada tanaman kubis (Foto : Tonny K.

Moekasan)

Ulat krop kubis, C. binotalis (Lepidoptera : Pyralidae)

a. Morfologi dan biologi (Oever 1973; Sastrosiswojo & Setiawati 1992)

• Serangga dewasa

Dada C. binotalis dewasa berwarna hitam, sedangkan perutnya berwarna coklat

kemerahan, panjang tubuhnya kira-kira 1,1 cm. Ngengat aktif pada malam hari. Sayap

depan ngengat jantan mempunyai rumbai dari rambut halus yang berwarna gelap pada

19

bagian tepi-depan (anterior). Panjang tubuh rata-rata untuk serangga jantan 10,4 mm

dan serangga betina 9,6 mm.

• Telur

Telur diletakkan dalam kelompok menyerupai genting-genting rumah dan

berwarna hijau muda. Kelompok telur dapat ditemukan pada permukaan bawah daun,

di tepi daun, atau di dekat tulang daun. Jumlah telur rata-rata 48 butir dan ukurannya

2,6 mm dan 4,3 mm. Masa telur tiga sampai enam hari dan rata-rata empat hari.

• Larva

Larva berwarna hijau muda kecoklatan dan terdiri atas lima instar. Pada bagian

sisi dan bagian atas tubuh larva terdapat garis-garis putih sepanjang tubuhnya. Larva

muda bergerombol pada permukaan bawah daun kubis. Larva “tua” (instar ke-4 dan

ke-5) panjangnya kira-kira 2 cm, bersifat malas, dan selalu menghindari cahaya

matahari. Masa larva 11-17 hari dengan rata-rata 14 hari pada suhu udara 26-33,2 oC.

• Pupa

Biasanya pembentukan pupa terjadi pada permukaan tanah. Pupa berwarna

kuning kecoklatan dan berukuran lebar 3 mm serta panjang 10 mm. Masa pupa 9-13

hari dan rata-rata 10 hari pada suhu udara 26-33 oC.

• Daur hidup

Dalam kondisi laboratorium, (suhu 16-22,5 oC dan kelembaban 60- 80%),

lamanya daur hidup C. binotalis adalah 30-41 hari (Gambar 4).

Gambar 4. C. binotalis (Foto : Tonny K. Moekasan)

20

b. Daerah sebar dan ekologi

C. binotalis umum dijumpai pada pertanaman kubis, baik yang diusahakan

maupun pada tanaman kubis liar. Di pulau Jawa, C. Binotalis dijumpai menyerang

kubis, baik di perbukitan maupun di dataran rendah. C. binotalis merupakan hama

utama kedua setelah P. xylostella pada tanaman kubis. Dua jenis hama tersebut

seringkali didapatkan saling bergantian menempati kedudukan sebagai hama utama

pada tanaman kubis. Daerah sebar C. binotalis dilaporkan di Asia Selatan dan Asia

Tenggara, Australia, Afrika Selatan, Tanzania, dan kepulauan Pasifik (Kalshoven 1981).

Menurut hasil penelitian Oever (1973), Sudarwohadi (1975), dan Thayib (1983) di KP

Segunung, puncak populasi telur terjadi pada bulan Februari, Mei dan Juli-Agustus.

Puncak populasi larva terjadi pada bulan Maret, Juni dan Agustus. Hal ini menunjukkan

adanya korelasi negatif antara populasi larva C. binotalis dengan tinggi/rendahnya curah

hujan. Pada tanaman kubis, populasi larva meningkat mulai dua minggu setelah tanam

dan mencapai puncaknya pada umur enam sampai delapan minggu setelah tanam lalu

menurun sampai saat panen kubis.

c. Tanaman inang dan gejala kerusakan

Tanaman inang C. binotalis adalah pelbagai jenis kubis seperti kubis putih,

kubis bunga, petsai, brokoli, dan lain-lainnya. Selain itu tanaman turnip, radis, sawi

jabung, dan selada air juga merupakan inang C. binotalis (Sastrosiswojo 1987).

Gambar 5. Gejala serangan C. binotalis pada tanaman kubis (Foto : Tonny K.

Moekasan)

Larva muda bergerombol pada permukaan bawah daun kubis dan meninggalkan bercak

putih pada daun yang dimakan. Larva inster ke-3 sampai ke-5 memencar dan

menyerang pucuk tanaman kubis, sehingga menghancurkan titik tumbuh. Akibatnya,

tanaman mati atau batang kubis membentuk cabang dan beberapa krop berukuran kecil

(Sastrosiswojo 1987). Serangan hama C. binotalis pada tanaman kubis yang sudah

21

membentuk krop akan menghancurkan krop atau menurunkan kualitas krop, sehingga

kubis tidak laku dijual (Gambar 5).

3.4. Musuh Alami Kubis Bungan dan Cara Pengendaliannya

Serangga hama utama pada tanaman kubis adalah ulat tanah (A. ipsilon), ulat

daun kubis (P. xylostella) dan ulat krop kubis (C. binotalis). Salah satu komponen

pengendalian hama yang penting adalah pemanfaatan musuh-musuh alami hama

tersebut. Pemanfaatan musuh-musuh alami dalam pengendalian hayati hama utama

merupakan komponen kunci hampir setiap program (PHT). Pada Tabel 2 disajikan

jenis-jenis musuh alami hama A. ipsilon, P. xylostella, dan C. binotalis. Meskipun

banyak jenis (spesies) musuh alami hama-hama tersebut yang telah diketahui, tetapi

hanya beberapa jenis saja yang mempunyai arti penting (efektif).

1. Cotesia (=Apanteles) rufricus (Hal.)

C. ruficrus merupakan tabuhan Braconidae yang sifatnya kosmopolitan. C. Rufricus

memarasit larva A. ipsilon instar ke-2 dan ke-3 dan meninggalkan inangnya pada instar

ke-4. Dalam satu ekor larva A. ipsilon yang terparasit dapat ditemukan sampai 60 kokon

parasitoid. Tingkat parasitasi larva A. ipsilon oleh C. ruficrus dapat mencapai 50%

(Kalshoven 1981).

2. Tritaxys braueri (De Meij) (= Goniophana heterocera)

T. braueri adalah lalat Tachinidae yang merupakan parasitoid larva A. ipsilon yang

penting di dataran tinggi pulau Jawa dan Sumatera. Tingkat parasitasinya dapat

mencapai 60%. Telur parasitoid bisanya diletakkan pada tepi daun kubis. Larva A.

ipsilon yang besar lebih disukai oleh parasitoid T. braueri. Lama perkembangan

parasitoid pada larva A. ipsilon instar ke-3, 4, dan 5 memerlukan waktu masing-masing

25, 16, dan 10 hari (Kalshoven 1981).

3. Diadegma semiclausum (Hellen) (= Angitia cerophaga Grav.)

D. semiclausum (Gambar 9) merupakan musuh alami yang paling penting bagi

hama P. xylostella di Indonesia. Tingkat parasitasi larva P. xylostella oleh D.

semiclausum relatif tinggi, bahkan di beberapa daerah mencapai lebih dari 80%

22

(Sastrosiswojo 1987). Daur hidup D. semiclausum dari telur sampai serangga dewasa

(imago) di dataran tinggi lamanya 18-20 hari, sedang di dataran rendah lamanya 14 hari

(Vos 1953). Masa telur, larva (4 instar) dan pupa masing-masing 2 hari, 8 hari dan 8-10

hari di dataran tinggi. Seekor betina D. semiclausum mampu memarasit sampai 117

ekor larva P. xylostella.

4. Cotesia plutellae. Kurgj. (= Apanteles plutellae Kurdj.)

Di Malaysia, tingkat parasitasi larva P. xylostella oleh C. Plutellae dilaporkan dapat

mencapai 29,6% (Yusof & Lim 1992). Kemampuan pencarian larva P. xylostella oleh

parasitoid C. plutellae lebih rendah jika dibandingkan dengan D. semiclausum.

Keberadaan parasitoid C. plutellae di Indonesia hampir punah karena kalah bersaing

dengan D. semiclausum. Tampaknya parasitoid C. plutellae lebih cocok hidup di yang

suhunya relatif tinggi seperti di daerah dataran rendah, sedang D. semiclausum di daerah

dingin (dataran tinggi). Total daur hidup C. plutellae lamanya 10-16 hari dengan rata-

rata 13 hari (Lim & Yusof 1992). Lamanya perkembangan telur, larva, dan pupa C.

plutellae masing-masing adalah 2 hari; 6,6 hari; dan 4,5 hari

23

5. Zoophthora radicans (Bref) (=Entomophthora sphaerosperma)

Larva dan pupa P. xylostella kadang-kadang terserang patogen penyakit, terutama

dua jenis cendawan dari Famili Entomophthoraceae, yaitu Z. radicans dan Arynia

blunckii (Lakon). Namun, Z. radicans lebih sering ditemukan di lapangan menyerang

larva dan kadang-kadang pupa P. xylostella (Wilding 1986). Larva P. xylostella yang

terbunuh oleh cendawan patogen penyakit ini melekat pada daun kubis yang disebabkan

oleh rhizoids yang muncul sepanjang abdomen (perut) pada permukaan ventral (bawah)

tubuh serangga. Serangan penyakit ininmeningkat bila keadaan kelembaban udara tinggi

Pemanfaatan dan pelestarian musuh alami

D. semiclausum (Hellen) merupakan parasitoid Hymenoptera penting bagi larva P.

xylostella. Parasitoid tersebut telah mapan di Indonesia dan daerah pencarnya di dataran

tinggi cukup luas. Tingkat populasi larva P. xylostella pada tanaman kubis umumnya

tinggi mulai umur lima minggu setelah tanam (mst) sampai dengan 9 mst. Oleh karena

populasi (tingkat parasitasi) D. semiclausum mengikuti kepadatan inang (larva P.

xylostella), maka pengamatan tingkat parasitasi perlu dilakukan ketika kubis berumur 5,

6, 7, 8 dan 9 mst. Caranya adalah sebagai berikut (Sastrosiswojo 1987) : 1) Dihitung

jumlah larva P. xylostella instar ke-3/ke-4 (± 1 cm panjangnya) dan jumlah pupa/10

tanaman contoh. 2) Dihitung jumlah kokon D. semiclausum/10 tanaman contoh. 3)

Tingkat parasitasi larva P. xylostella : - Diambil 10 ekor larva P. xylostella instar ke

3/ke-4 pada 10 tanaman contoh (diambil 1-2 larva/tanaman). - Kepala dan ekor larva

contoh dipegang dengan jari tangan dan ditarik pelan-pelan. Jika dari perut larva P.

xylostella keluar larva kecil, maka larva P. xylostella tersebut terparasit oleh D.

semiclausum. - Dihitung tingkat parasitasi larva P. xylostella dengan rumus :

c + (a : 10) x d

P = ⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯ x 100%

a + b + c

Keterangan :

P adalah tingkat parasitasi total (dalam %)

a adalah jumlah larva P. xylostella instar ke-3/ke-4 pada 10 tanaman contoh.

b adalah jumlah pupa P. xylostella/10 tanaamn contoh.

c adalah jumlah kokon D. semiclausum/10 tanaman contoh.

24

d adalah jumlah larva terparasit/10 larva contoh. Tingkat parasitasi larva P. Xylostella

(dalam %) diubah menjadi angka desimal. Data tingkat parasitasi larva P. Xylostella

dapat digunakan untuk dua macam tujuan sebagai berikut :

1) Pelepasan inundasi pada saat kritis.

2) Bila tingkat parasitasi parasitoid P. xylostella ≤ 25%, maka perlu dilakukan pelepasan

parasitoid d. semiclausum sebanyak 400 kokon atau 200 pasang imago/1000 tanaman

kubis.

3) Keputusan tindakan pengendalian secara dinamis :

a) Digunakan rumus : Y = (1 – P) . X

Keterangan :

Y adalah Tingkat populasi larva P. xylostella yang mempunyai potensi merusak

tanaman kubis.

P adalah Tingkat parasitasi larva (dalam angka desimal) (lihat uraian di atas).

X adalah Rata-rata populasi larva P. xylostella/tanaman contoh dari hasil

pemantauan.

b) Keputusan tindakan pengendalian :

- Jika Y ≥ AP P. xylostella (0.5 larva/tanaman contoh) dilakukan penyemprotan

dengan insektisida efektif/selektif.

- Jika Y < AP P. xylostella, tidak perlu dilakukan penyemprotan insektisida.

25

BAB III

PENUTUP

3.1. Kesimpulan

26

DAFTAR PUSTAKA

Sastrosiswono Sudarwohadi, Uhan Tinny, Sutarya Rachmat. 2005. Penerapan

Teknologi PHT pada Tanaman Kubis. Balai Penelitian Tanaman Sayuran.

http://webcache.googleusercontent.com/search?

q=cache:WFj7uZ6JhuUJ:balitsa.litbang.deptan.go.id/ind/images/isi_monografi/M-

21.pdf+&cd=3&hl=en&ct=clnk

Tinjaun Pustaka. http://webcache.googleusercontent.com/search?

q=cache:IrbpaYXWMzoJ:repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/20747/4/Chapter

%2520II.pdf+&cd=2&hl=en&ct=clnk

Fitriani Lina Mey. 2009 BUDIDAYA TANAMAN KUBIS BUNGA (Brassica

oleraceae var botrytis L.) DI KEBUN BENIH HORTIKULTURA (KBH)

TAWANGMANGU. Surakarta. http://webcache.googleusercontent.com/search?

q=cache:8JXoeWASg_UJ:eprints.uns.ac.id/

8620/1/91520308200909571.pdf+&cd=4&hl=en&ct=clnk

27