laporan penelitian tk4093

122
TK4093 PENELITIAN TEKNIK KIMIA II Semester II 2014/2015 Judul KARAKTERISASI ELEKTROKIMIA UNTUK MOLTEN CARBONATE FUEL CELL (MCFC) Kelompok B1.1314.K.03 Ivan Rene Soejatmiko (13011052) Valerius Vandru Hartanto (13011057) Pembimbing Dr. Hary Devianto Dr. Dwiwahju Sasongko

Upload: david-immanuel-simamora

Post on 11-Jan-2016

18 views

Category:

Documents


4 download

DESCRIPTION

Kelompok [B1.1314.K.03]

TRANSCRIPT

Page 1: Laporan Penelitian TK4093

TK4093 PENELITIAN TEKNIK KIMIA IISemester II 2014/2015

JudulKARAKTERISASI ELEKTROKIMIA UNTUK MOLTEN

CARBONATE FUEL CELL (MCFC)

Kelompok B1.1314.K.03

Ivan Rene Soejatmiko (13011052)Valerius Vandru Hartanto (13011057)

Pembimbing

Dr. Hary DeviantoDr. Dwiwahju Sasongko

PROGRAM STUDI TEKNIK KIMIAFAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRIINSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG

Juni 2015

Page 2: Laporan Penelitian TK4093

LEMBAR PENGESAHANTK4093 PENELITIAN TEKNIK KIMIA II

Semester II 2014/2015

KARAKTERISASI ELEKTROKIMIA UNTUK MOLTEN CARBONATE FUEL CELL (MCFC)

Kelompok B1.1314.K.03

Ivan Rene Soejatmiko (13011052)Valerius Vandru Hartanto (13011057)

Bandung, Juni 2015Disetujui Pembimbing

Dr. Hary Devianto Dr. Dwiwahju Sasongko (Pembimbing 1) (Pembimbing 2)

B1.1314.K.03

Catatan Pembimbing

i

Page 3: Laporan Penelitian TK4093

SURAT PERNYATAANTK4092 PENELITIAN TEKNIK KIMIA I

Semester II Tahun 2014/2015

Kami yang bertanda tangan di bawah ini:

Kelompok : B1.1314.K.03

Nama (NIM) : Ivan Rene Soejatmiko (13011052)

Nama (NIM) : Valerius Vandru Hartanto (13011057)

dengan ini menyatakan bahwa laporan dengan judul:

KARAKTERISASI ELEKTROKIMIA UNTUK MOLTEN CARBONATE FUEL CELL (MCFC)

adalah hasil penelitian kami sendiri di mana seluruh pendapat dan materi dari sumber

lain telah dikutip melalui penulisan referensi yang sesuai.

Surat pernyataan ini dibuat dengan sebenar-benarnya dan jika pernyataan dalam lembar

pernyataan ini di kemudian hari diketahui keliru, kami bersedia menerima sanksi sesuai

peraturan yang berlaku.

Bandung, 24 Juni 2015

Tanda tangan

Ivan Rene Soejatmiko

Tanda tangan

Valerius Vandru Hartanto

B1.1314.K.03ii

Page 4: Laporan Penelitian TK4093

TK4093 PENELITIAN TEKNIK KIMIA II

Karakterisasi Elektrokimia untuk Molten Carbonate Fuel Cell (MCFC)

Kelompok B1.1314.K.03

Ivan Rene Soejatmiko (13011052) dan Valerius Vandru Hartanto (13011057)

Pembimbing

Dr. Hary Devianto dan Dr. Dwiwahju Sasongko

ABSTRAK

Pertumbuhan penduduk yang semakin cepat membuat kebutuhan akan energi terus meningkat sehingga dibutuhkan energi alternative untuk mengatasi atau mencegah krisis energi di masa depan, salah satunya adalah fuel cell terutama Molten Carbonate Fuel Cell (MCFC). Selain dapat menghasilkan energi listrik dan panas, MCFC juga dapat menangkap karbon dioksida. Dibandingkan metode lain, MCFC memiliki kelebihan dalam mengurangi kandungan gas rumah kaca di udara dan dapat menghasilkan efisiensi yang relatif tinggi apabila diintegrasikan dengan teknologi lain yang mendukung salah satunya adalah penggunaan gas sintesis hasil gasifikasi biomassa sebagai umpan untuk MCFC. Namun, untuk bisa merasakan potensi fuel cell tersebut, Indonesia harus melakukan pengembangan secara mandiri. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengkarakterisasi reaksi elektrokimia Molten Carbonate Fuel Cell (MCFC) dengan menggunakan elektroda logam non-mulia.

Penelitian ini berfokus pada pengembangan produksi anoda MCFC melalui proses sederhana yang disebut metode dry casting. Bahan baku yang digunakan adalah campuran logam Nikel dan Krom dengan komposisi 90% Ni dan 10% Cr. Variasi yang digunakan adalah perbandingan massa logam dan binder (polyvinyl alcohol (PVA)) serta temperatur sintering. Anoda hasil penelitian kemudian dikarakterisasi fisik dengan SEM (Scanner Electron Microscopy), XRD (X-Ray Diffraction) dan uji porositas standar ASTM, karakterisasi kimia anoda hasil penelitian dengan menguji hambatan internal. Hasil karakterisasi akan dibandingkan dengan karakteristik anoda standar yang diperoleh dari Institusi Riset Ilmu Pengetahuan Korea. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, kesimpulan yang diperoleh yaitu rasio optimum antara logam campuran Nikel dan Krom dengan binder adalah 1:1 sedangkan temperatur sintering yang optimum untuk dapat menghasilkan anoda molten carbonate fuel cell adalah 650oC dengan nilai porositas 66.41%, nilai hambatan internal 9.5 ±3.4 ohm dan nilai resistivitas berada dalam rentang 7.2 x 10-4 sampai dengan 1.6 x 10-3 ohm.m.

Kata kunci : Anoda, Karakterisasi, MCFC, Logam non-mulia

B1.1314.K.03iii

Page 5: Laporan Penelitian TK4093

TK4093 CHEMICAL ENGINEERING RESEARCH II

Electrochemical Characterization for Molten Carbonate Fuel Cell (MCFC)

Group B1.1314.K.03

Ivan Rene Soejatmiko (13011052) and Valerius Vandru Hartanto (13011057)

Advisor

Dr. Hary Devianto and Dr. Dwiwahju Sasongko

ABSTRACT

High rate of human growth these days causes the energy demand keep increasing, therefore alternative energy is needed to prevent or overcome the energy crisis that would probably happen in the future, one of them is fuel cell especially Molten Carbonate Fuel Cell (MCFC). Besides it can produce electricity or thermal energy, MCFC is also capable to capture carbondioxide. Compared with other methods, MCFC can reduce the green house gases from the ambient air and produce higher efficiency if the system is integrated with other supporting technologies, such as utilization of synthesis gas from biomass gasification as the feed for MCFC. However, in order to feel the potential of the fuel cell on Indonesia, Indonesians have to do research and development of fuel cell independently. The purpose of this research is to characterize the electrochemical reaction of Molten Carbonate Fuel Cell using the non-noble metal.

The research is focused on the development of MCFC anode fabrication through simple process called dry casting. The raw materials for the anode are 90%Ni and 10%Cr. The sintering temperature and the ratio of alloy and binder (polyvinyl alcohol) mass are varied. The anode produced in this research is then characterized physically using SEM (Scanning Electron Microscopy), XRD (X-Ray Diffraction) and porosity test using ASTM Standard. Chemical characterization of the anode is analyzed by measuring the internal resistance of the anode. The result is then compared with the standard anode from The Korean Science Research and Knowledge Institute. The conclusion obtained is the optimum ratio of alloy and binder is 1:1 while the optimum sintering temperature to produce MCFC anode is 650oC with 66.41% porosity, 9.5 ±3.4 ohm internal resistance and resistivity value in range of 7.2 x 10-4 up to 1.6 x 10-3 ohm.m.

Keywords: Anode, Characterization, MCFC, Logam non-mulia

B1.1314.K.03iv

Page 6: Laporan Penelitian TK4093

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat dan rahmat-Nya sehingga

laporan penelitian ini dapat diselesaikan dengan baik. Laporan penelitian ini disusun

memenuhi salah satu syarat kelulusan dari Program Studi Teknik Kimia Institut

Teknologi Bandung. Penulis juga hendak mengucapkan terima kasih kepada para pihak

yang telah membantu dalam penyusunan laporan penelitian ini, yaitu:

1. Dr. Hary Devianto dan Dr. Dwiwahju Sasongko selaku dosen pembimbing yang

telah memberikan dorongan baik moral maupun materi selama proses

penyusunan dan penulisan laporam penelitian ini.

2. Dr. Isdiriayani Nurdin, Dr. Ardiyan Harimawan dan Dr. Pramujo Widiatmoko

yang telah memberikan ilmu, saran serta arahan kepada penulis selama proses

penulisan proposal penelitian ini berlangsung.

3. Dr. Yogi Wibisono Budhi selaku koordinator mata kuliah TK 4093 Penelitian

Teknologi Kimia II atas bimbingannnya dalam penulisan proposal penelitian.

4. Keluarga dan teman – teman yang telah mendukung penulis dalam penyelesaian

laporan ini.

Penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari semua pihak agar

penulisan laporan penelitian selanjutnya dapat lebih baik. Penulis juga berharap laporan

ini dapat memberikan manfaat dan menambah wawasan mengenai sumber alternatif

energi terbarukan yang ramah lingkungan.

B1.1314.K.03v

Page 7: Laporan Penelitian TK4093

DAFTAR ISI

Halaman

Lembar Pengesahan i

Surat Pernyataan ii

Abstrak iii

Abstract iv

Kata Pengantar v

Daftar Isi vi

Daftar Tabel ix

Daftar Gambar x

I Pendahuluan

1.1 Latar Belakang

1.2 Rumusan Masalah

1.3 Tujuan

1.4 Ruang Lingkup

1

1

4

5

5

II Tinjauan Pustaka

2.1 Fuel Cell

2.1.1 Molten Carbonate Fuel Cell (MCFC)

2.1.2 Alkaline Fuel Cell (AFC)

2.1.3 Phosporic Acid Fuel Cell (PAFC)

2.1.4 Solid Oxide Fuel Cell (SOFC)

2.1.5 Polymer Electrolyte Fuel Cell (PEFC)

2.2 Biomassa

2.3 Gasifikasi

2.3.1 Definisi Gasifikasi

2.3.2 Proses Gasifikasi

2.3.3 Produk Gasifikasi

2.4 Metode Pembuatan Anoda Molten Carbonate Fuel Cell

2.4.1 Metode Tape Casting

7

7

10

12

12

13

13

14

15

15

16

17

18

18

B1.1314.K.03vi

Page 8: Laporan Penelitian TK4093

2.4.2 Metode Dry Casting

2.5 Karakterisasi Anoda Molten Carbonate Fuel Cell (MCFC)

2.5.1 Scanning Electron Microscopy (SEM)

2.5.2 X-Ray Diffraction

2.5.3 Uji Porositas dengan Standar ASTM

2.6 Penelitian Terkait

19

20

20

22

24

24

III Rencana Penelitian

3.1 Metodologi

3.2 Percobaan

3.2.1 Bahan

3.2.2 Alat

3.2.3 Prosedur

3.2.4 Variasi

3.3 Interpretasi Data

3.3.1 Analisis Karakteristik Fisik Anoda dengan SEM (Scanning

Electron Microscopy)

3.3.2 Analisis Karakteristik Fisik Anoda dengan XRD (X-Ray

Diffraction)

3.3.3 Analisis Karakteristik Kimia Anoda

3.3.4 Analisis Sifat Mekanik Anoda

27

27

28

28

28

32

33

34

34

35

35

35

IV Hasil dan Pembahasan

4.1 Tahap Awal Pembuatan Anoda Molten Carbonate Fuel Cell (MCFC)

4.1.1 Pengaruh Penambahan Air dalam Campuran Logam – Binder

4.1.2 Pengaruh Jumlah PVA terhadap Struktur Permukaan Anoda

4.1.3 Proses Sintering Anoda

4.1.4 Uji Porositas

4.2 Karakterisasi Fisik Anoda Molten Carbonate Fuel Cell (MCFC)

4.2.1 Analisis Scanning Electron Microscopy (SEM)

4.2.2 Analisis X-Ray Diffraction (XRD)

4.3 Karakterisasi Elektrokimia Anoda Molten Carbonate Fuel Cell (MCFC)

37

37

37

41

42

46

47

48

51

54

V Kesimpulan dan Saran 57

B1.1314.K.03vii

Page 9: Laporan Penelitian TK4093

5.1 Kesimpulan

5.2 Saran

57

57

Daftar Pustaka 59

Daftar Simbol 63

Lampiran A PROSEDUR OPERASI ALAT PERCOBAAN DAN MSDS 65

Lampiran B HAZARD AND OPERABILITY (HAZOP) ALAT

PERCOBAAN

69

Lampiran C INSTRUKSI KERJA 71

Lampiran D JOB SAFETY ANALYSIS 73

B1.1314.K.03viii

Page 10: Laporan Penelitian TK4093

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 2.1 Klasifikasi fuel cell berdasarkan jenis elektrolit dan temperatur

operasi

9

Tabel 2.2 Tumbuhan penghasil energi di Indonesia 15

Tabel 2.3 Komposisi produk hasil gasifikasi 17

Tabel 2.4 Penelitian terkait mengenai MCFC yang telah dilakukan 24

Tabel 3.1 Variasi penelitian 34

Tabel 4.1 Komposisi air yang harus ditambahkan pada sampel anoda 39

Tabel 4.2 Massa jenis komponen 40

Tabel 4.3 Hasil uji porositas sampel anoda 46

Tabel 4.4 Hasil pengukuran hambatan internal menggunakan ohm meter 55

Tabel 4.5 Hubungan konduktivitas elektrik dengan tebal lapisan NiO 56

B1.1314.K.03ix

Page 11: Laporan Penelitian TK4093

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1.1 Grafik perbandingan produksi dan konsumsi minyak harian

Indonesia

2

Gambar 2.1 Skema fuel cell 7

Gambar 2.2 Prinsip operasi dari MCFC 11

Gambar 2.3 Diagram alir pembuatan anoda dengan menggunakan

metode tape casting

19

Gambar 2.4

Gambar 2.5

Gambar 2.6

Gambar 2.7

Gambar 3.1

Gambar 3.2

Gambar 3.3

Diagram alir pembuatan anoda dengan menggunakan

metode dry casting

Skema alat SEM

Difraksi sinar X oleh lapisan atom pada material

Skema alat XRD

Diagram alir metodologi penelitian

Alat dry casting: 1. alat penekan (a. tampak atas, b. tampak

depan, dan c, tampak bawah), 2. tempat bahan (a. tampak

atas dan b. tampak depan), 3. alas (a. tampak atas, b.

tampak depan, dan c, tampak bawah)

Wadah penampung anoda

19

21

22

23

27

29

30

Gambar 3.4

Gambar 3.5

Gambar 3.6

Gambar 3.7

Prinsip kerja ball mill

Oven

Furnace

Anoda MCFC Ni-10%wt Cr a) setelah oksidasi sebagian;

b) setelah oksidasi-reduksi sebagian

30

31

32

35

Gambar 4.1

Gambar 4.2

Struktur anoda 1:1 dengan penambahan air (a) < 8 tetes

tampak atas; (b) < 8 tetes tampak samping; (c) >8 tetes

tampak atas; (d) >8 tetes tampak samping

Struktur anoda 1:1 dengan penambahan air optimum 8

tetes (a) tampak atas; (b) tampak samping

Struktur permukaan anoda dengan rasio logam:binder (a)

38

39

B1.1314.K.03x

Page 12: Laporan Penelitian TK4093

Gambar 4.3

Gambar 4.4

Gambar 4.5

Gambar 4.6

Gambar 4.7

Gambar 4.8

Gambar 4.9

Gambar 4.10

Gambar 4.11

Gambar 4.12

Gambar 4.13

Gambar 4.14

1:1 ; (b) 2:1 ; (c) 4:1 ; (d) 8:1

Variasi penurunan % massa PVA pada percobaan TGA

dengan laju pemanasan 10oC/menit

Anoda hasil sintering pada temperatur 700oC (a) sebelum

sintering; (b) setelah sintering.

Anoda hasil sintering pada 700oC (a) sebelum sintering ; (b)

setelah sintering.

Ruang anoda dalam furnace yang telah diperkecil

Hasil analisis SEM pada anoda konvensional dengan

perbesaran 10000x

Hasil analisis SEM anoda pada perbesaran 10000x dengan

perbandingan alloy:binder 1:1 pada temperatur (a) 650oC; (b)

700oC; (c) 900oC.

Hasil analisis SEM serbuk nikel 99%

Hasil analisis SEM serbuk nikel oksida

Kurva termogravimetri serbuk nikel pada laju pemanasan

4oC/menit

Hasil XRD anoda standar

Hasil XRD sampel anoda pada suhu sintering (a) 650oC;

(b) 700oC; (c) 900oC.

41

43

44

44

45

48

49

50

50

51

52

53

B1.1314.K.03xi

Page 13: Laporan Penelitian TK4093

B1.1314.K.03xii

Page 14: Laporan Penelitian TK4093

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk dan bertambah pesatnya pertumbuhan

ekonomi, ketergantungan terhadap sumber energi yang berasal dari bahan bakar fosil

pun terus meningkat. Indonesia merupakan negara yang sangat tergantung pada bahan

bakar fosil sebagai sumber energinya. Indonesia memiliki ketergantungan sekitar 90%

terhadap sumber energi seperti minyak bumi 54,4%, gas alam 26,5%, dan batubara

14,1% (LIPI, 2013). Data menunjukkan bahwa kebutuhan minyak bumi Indonesia per

hari mencapai 1,4 juta barel per hari (EIA, 2013). Padahal, produksi minyak dalam

negeri hanya sekitar 825.000 barel per hari. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut,

dilakukan impor minyak dan BBM dengan dana sekitar US$ 100-120 juta (ESDM,

2014).

Laporan dari Dewan Energi Dunia menyatakan bahwa pada tahun 2020 harga minyak

bumi diperkirakan akan naik 50% dari harga sekarang. Sementara Automotive Diesel

Oil (ADO) memprediksi bahwa apabila dalam waktu dekat tidak ada lagi sumber-

sumber baru minyak bumi yang ditemukan maka dalam waktu 10- 15 tahun ke depan

cadangan minyak bumi khususnya di Indonesia dipastikan akan habis. Cadangan

minyak bumi yang menipis akan menimbulkan krisis energi global dan apabila

Indonesia masih tergantung pada minyak bumi, efek krisis energi global tersebut tentu

akan dirasakan dengan gejala seperti yang dirasakan oleh Indonesia pada tahun 2004.

Penurunan produksi minyak bumi dan kenaikan konsumsi membuat pemerintah harus

membuka kran impor bahan bakar dari luar negeri. Grafik yang menyatakan hubungan

antara produksi minyak bumi dan konsumsi minyak bumi dapat dilihat pada Gambar

1.1.

B1.1314.K.031

Page 15: Laporan Penelitian TK4093

Gambar 1.1. Grafik perbandingan produksi dan konsumsi minyak harian Indonesia(Sumber : BP Statistical Review of World Energy 2011)

Di antara sekian banyak sumber energi alternatif terbarukan, fuel cell merupakan

sumber energi yang paling menjanjikan sebagai substitusi bahan bakar fosil. Fuel cell

merupakan bahan bakar hidrogen (BBH) yang bersifat ecoenergy karena hasil dari

reaksinya merupakan air dan energi listrik serta panas. Fuel cell bekerja dengan

memanfaatkan zat dari luar seperti hidrogen dan oksigen. Hidrogen dihasilkan melalui

proses tertentu dan disimpan sedangkan oksigen berasal dari udara. Hidrogen ketika

dicampur dengan oksigen akan terjadi reaksi pembentukan air yang membebaskan

energi. Energi tersebut dikonversi menjadi listrik hingga mendekati 100% dan sisanya

adalah panas.

Hidrogen adalah unsur paling melimpah dengan persentase kira-kira 75% dari total

massa unsur alam semesta. Senyawa hidrogen relatif langka dan jarang dijumpai secara

alami di bumi dan biasanya dihasilkan secara industri dari berbagai senyawa lain seperti

hidrokarbon, contonya metana (Muliawati, 2008). Hidrogen dapat diperoleh dari proses

tertentu seperti elektrolisis air, namun hal tersebut akan menambah biaya operasional

karena harus menambah unit lain sebagai penghasil hidrogen. Hidrogen secara industri

dihasilkan dari proses gasifikasi bahan bakar fosil namun hasil gasifikasi bahan bakar

B1.1314.K.032

Page 16: Laporan Penelitian TK4093

fosil akan mencemari lingkungan karena menghasilkan gas COx, NOx, dan SOx.

Alternatif lain untuk memperoleh hidrogen yang digunakan untuk fuel cell adalah dari

pemanfaatan kembali gas sintesis hasil gasifikasi biomassa sehingga meningkatkan

efisiensi keseluruhan proses industri.

Salah satu jenis fuel cell yang potensial untuk dikembangkan yaitu Molten Carbonate

Fuel Cell (MCFC) yang termasuk fuel cell bertemperatur tinggi yang beroperasi pada

suhu 600 – 650oC. MCFC pertama kali dikembangkan oleh ilmuwan dari Belanda G. H.

J. Broers dan J. A. A. Ketelaar pada akhir tahun 1950an karena mereka menemukan

adanya keterbatasan pada fuel cell jenis lain. Pada tahun 1960 mereka menemukan

melaporkan bahwa mereka membuat sel yang dapat aktif selama 6 bulan dengan

campuran lithium-, natrium- dan atau kalium karbonat. Pada pertengahan tahun 1960,

the US Army’s Mobility Equipment Research and Development Center (MERDC) di Ft.

Belvoir menguji beberapa molten carbonate sel yang dibuat oleh Texas Instruments.

Rentang ukurannya dari 100 W sampai 1000 W keluaran dan dirancang untuk

menjalankan combat gasoline menggunakan alat pendukung untuk mengekstraksi

hidrogen. MCFC memiliki berbagai keunggulan diantaranya tidak membutuhkan

material mahal seperti Platinum (Pt) karena dapat digantikan dengan Nikel (Ni) yang

jauh lebih ekonomis, dapat menggunakan gas sintesis hasil gasifikasi biomassa serta

dapat menghasilkan efisiensi hingga 80% apabila didukung dengan siklus cogeneration.

Penggunaan Molten Carbonate Fuel Cell sudah mulai diaplikasikan sejak awal tahun

1990an di Jepang. MCFC dapat menghasllkan daya sebesar 1000 Watt dan dapat

berlangsung selama 10000 jam. Sudah 10 industri di Jepang yang menggunakan MCFC

sebagai sumber listrik. Pada tahun 1997 di Miramar Marine Corps Air Station, San

Diego dipasang 250 kW MCFC dan Southern Co. bekerja sama dengan Mercedes Bens

(US) mendirikan 250 kW pabrik MCFC di Mercedes’ New Museum and Visitor Center

di Tuscaloosa, Alabama,

Ancol Project merupakan salah satu aplikasi pengembangan MCFC di Indonesia

dengan skala 300 kW. Proyek ini melibatkan kerja sama dengan POSCO Power pada

akhir tahun 2012. POSCO Power akan menggabungkan modul fuel cell dengan sumber

B1.1314.K.033

Page 17: Laporan Penelitian TK4093

tenaga lokal dan memasang pembangkit listrik berbasis fuel cell di Ancol, Jakarta.

Keuntungan yang diperoleh dengan menggunakan pembangkit listrik berbasis MCFC

adalah ramah lingkungan, efisien dan dapat diandalkan. POSCO Power akan memulai

proyek dengan skala mega watt (MW) di Asia Tenggara, mulai dari Indonesia kemudian

Thailand, Malaysia dan Singapura (Aldous, 2011).

1.2. Rumusan Masalah

Dewasa ini, permintaan penggunaan energi di Indonesia terus meningkat dari tahun ke

tahun namun tidak diimbangi dengan cadangan energi yang tersedia di Indonesia.

Faktor yang menyebabkan permintaan energi yang tinggi adalah kemajuan teknologi,

pertumbuhan ekonomi dan pertambahan penduduk. Fuel cell merupakan salah satu

teknologi yang dapat dikembangkan untuk menghasilkan energi karena sifatnya yang

ramah lingkungan.

Fuel cell merupakan teknologi yang dapat menghasilkan energi dengan efisiensi yang

tinggi dan sedikit polusi. Fuel cell juga menggunakan bahan bakar yang jumlahnya tak

terbatas. Pada umumnya fuel cell menggunakan gas H2 sebagai bahan bakar dan gas O2

yang dapat diperoleh dari udara untuk bereaksi dengan H2 membentuk H2O. Salah satu

jenis yang potensial yaitu Molten Carbonate Fuel Cell (MCFC), fuel cell bertemperatur

tinggi (600oC) yang dapat dikembangkan di Indonesia karena MCFC dapat

menggunakan bahan yang lebih murah dibandingkan dengan penggunaan logam mulia.

Nikel merupakan salah satu bahan yang dapat digunakan sebagai elektroda sehingga

penggunaan MCFC lebih ekonomis apabila dibandingkan dengan penggunaan fuel cell

dengan elektroda logam mulia. MCFC juga dapat menghasilkan efisiensi yang tinggi

bahkan sampai 80% apabila didukung dengan siklus cogeneration.

Proses pembuatan anoda fuel cell dapat menggunakan metode tape casting. Metode

tape casting memerlukan teknologi yang tinggi dan cenderung mahal dan merupakan

proses yang panjang dan kompleks, yang meliputi persiapan slurry dalam membuat

lembaran, deaerasi, tahap utama tape casting dan pelarut organik yang beracun dan

B1.1314.K.034

Page 18: Laporan Penelitian TK4093

berbahaya. Jika ditinjau dari segi ekonomi, metode ini cenderung membutuhkan waktu

yang panjang dan biaya yang tinggi sehingga metode ini tergolong tidak ekonomis.

Untuk menjawab permasalahan di atas, dilakukan pengembangan metode dry casting

yang menggunakan teknologi sederhana dan lebih murah untuk membuat anoda MCFC

yang memiliki rasio logam nikel-krom yang optimum sehingga proses pembuatannya

dapat lebih terjangkau dan ramah lingkungan serta penggunaan bahan baku logam non-

mulia sebagai elektroda MCFC.

1.3. Tujuan

Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengkarakterisasi reaksi elektrokimia Molten

Carbonate Fuel Cell (MCFC) yang dibuat menggunakan bahan logam non-mulia.

Tujuan khusus penelitian ini adalah mengkarakterisasi anoda MCFC yang dibuat

dengan menggunakan metode dry casting untuk memperoleh rasio nikel-krom dengan

binder dan suhu sintering yang optimum untuk menghasilkan anoda yang baik.

1.4. Ruang Lingkup

Percobaan dilakukan pada tekanan ruang, 1 atm dan temperatur operasi 650oC dengan

melakukan variasi rasio massa logam terhadap massa binder serta temperatur sintering

anoda MCFC. Anoda MCFC yang digunakan merupakan campuran logam Ni dengan

logam Cr dengan komposisi 90% Ni dan 10% Cr. Karakterisasi fisik anoda MCFC

menggunakan Scanning Electron Microscopy (SEM), X-Ray Diffraction (XRD) dan

ASTM C373-88 sedangkan karakterisasi elektrokimia anoda MCFC dengan cara

mengukur hambatan internal anoda. Karakteristik anoda hasil sintesis akan

dibandingkan dengan anoda standar yang diperoleh dari Institusi Riset Ilmu

Pengetahuan Korea.

B1.1314.K.035

Page 19: Laporan Penelitian TK4093

B1.1314.K.036

Page 20: Laporan Penelitian TK4093

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Fuel Cell

Fuel cell adalah suatu alat elektrokimia yang secara langsung mengkonversi energi

kimia yang terdapat didalamnya menjadi energi listrik (EG&G Technical Service,

2004). Fuel cell terdiri dari dua elektroda, negatif dan positif, yang dikenal dengan

sebutan katoda dan anoda. Reaksi elektrokimia terjadi di elektroda. Fuel cell juga terdiri

dari elektrolit yang dapat menghantarkan partikel bermuatan listrk dari satu elektroda

menuju elektroda yang lain, serta katalis yang berfungsi untuk mempercepat reaksi yang

terjadi di elektroda.

Gambar 2.1. Skema fuel cell. (EG&G Technical Service, 2004)

Reaksi kimia yang terjadi pada fuel cell:

2H2 + O2 2H2O

Hidrogen merupakan bahan bakar yang paling umum digunakan pada fuel cell namun

fuel cell juga membutuhkan oksigen. Pada anoda, dialirkan bahan bakar hidrogen secara

berkesinambungan sedangkan pada katoda dialirkan oksigen. Reaksi yang terjadi di

anoda adalah elektrolisis hidrogen menjadi elektron – elektron bebas. Atom hidrogen

terionisasi menjadi ion hidrogen bermuatan positif. Elektron bermuatan negatif

B1.1314.K.037

Page 21: Laporan Penelitian TK4093

menghasilkan arus melalui kabel pada alat fuel cell.

Reaksi kimia yang terjadi pada anoda:

2H2 4H+ + 4 e-

Oksigen pada katoda bergabung dengan elektron dan ion hidrogen yang melalui

elektrolit dari anoda. Oksigen mengikat elektron dan bergerak melalui elektrolit menuju

anoda dan bergabung dengan hidrogen.

Reaksi kimia yang terjadi pada katoda:

O2 + 4H+ + 4 e- 2H2O

Pada elektrolit, hanya ion-ion tertentu yang dapat melalui anoda dan katoda. Apabila

elektron bebas dan senyawa lain dapat melewati elektrolit, maka senyawa-senyawa

tersebut dapat mengganggu reaksi kimia yang terjadi. Hidrogen dan oksigen bereaksi

membentuk molekul air yang dikeluarkan dari sel. Pada prinsipnya, fuel cell akan terus

menghasilkan energi selama bahan bakar tetap dialirkan.

Menurut Chris dan Scott (2003), fuel cell memiliki beberapa kelebihan dibandingkan

dengan pembangkit listrik konvensional, diantaranya:

1. Tidak mengeluarkan emisi suara

2. Efisiensi energi cukup tinggi

3. Ramah lingkungan karena bebas emisi polutan

4. Dapat digunakan dalam berbagai jenis aplikasi penggunaan

Fuel cell memiliki efisiensi yang baik karena 50 – 70 % bahan bakar yang digunakan

dikonversi menjadi energi listrik, bahkan dapat mencapat 90% jika diterapkan

pemanfaatan panas kembali. Apabila fuel cell diintegrasikan dengan sistem pembangkit

panas dan listrik, maka teknologi tersebut dapat memberikan kontribusi dalam

pengurangan emisi gas CO2 (Birnbaun dkk., 2008). Fuel cell dapat diaplikasikan untuk

menghasilkan energi untuk telepon genggam, komputer dan pembangkit listrik seperti

pada rumah sakit, gedung perkantoran, sekolah dan kendaraan transportasi.

Secara umum, fuel cell dapat diklasifikasikan berdasarkan jenis elektrolit yang

digunakan dan temperatur operasi. Klasifikasi fuel cell disajikan dalam Tabel 2.1.

B1.1314.K.038

Page 22: Laporan Penelitian TK4093

Tabel 2.1. Klasifikasi fuel cell berdasarkan jenis elektrolit dan temperatur operasi. (Suhada, 2001)

Jenis ElektrolitTemperatur

Operasi (oC)Karakteristik Penggunaan

Alkaline (AFC) Kalilauge

(KOH)

60 – 120 Efisiensi energi

tinggi, memiliki

kepekaan

terhadap CO2

Pesawat luar

angkasa,

kendaraan

Polymer

Exchange

Membrane

(PEM)

Polymer

electrolyte

(H+)

60 – 100 Kerapatan energi

tinggi, memiliki

kepekaan

terhadap CO (<

100ppm)

Kendaraan,

stasiun

pembangkit

panas

Phosphoric

Acid Fuel Cell

(PAFC)

Phosphor

Acid (H+)

160 – 200 Efisiensi energi

terbatas, pea

terhadap CO (<

1.5% v/v)

Stasiun

pembangkit

panas,

kendaraan

Molten

Carbonate

Fuel Cell

(MCFC)

Molten

Carbonate

(CO32-)

500 – 650 Rentan korosi Stasiun

pembangkit

energi listrik,

stasiun

pembangkit

energi panas

Solid Oxyde

Fuel Cell

(SOFC)

Lapisan

Keramik

(O2-)

800 – 1000 Efisiensi sistem

tinggi, temperatur

operasi perlu

diturunkan

Pembangkit

energi panas,

penggabung

stasiun

pembangkit

dengan turbin

gas

B1.1314.K.039

Page 23: Laporan Penelitian TK4093

Secara umum, jenis elektrolit yang terdapat dalam fuel cell akan menentukan jenis sel

bahan bakar, jenis reaksi elektrokimia yang terjadi didalamnya, jenis katalis yang

digunakan, jenis bahan bakar yang diperlukan serta rentang temperatur kerja fuel cell

(Chris dan Scott, 2003).

2.1.1. Molten Carbonate Fuel Cell (MCFC)

Molten Carbonate Fuel Cell (MCFC) beroperasi pada temperatur sekitar 650 oC dan

memiliki efisiensi yang tinggi (40 – 60%). Temperatur tinggi dibutuhkan untuk

mendapatkan konduktivitas yang baik pada elektrolit karbonat, namun MCFC

membutuhkan logam yang tidak mahal. Temperatur tinggi juga membuat sel

elektrokimia dapat berlangsung tanpa menggunakan katalis logam mulia seperti platina.

Pada umumnya MCFC menggunakan paduan logam nikel (anoda) dan nikel oksida

(katoda). Elektroda ini pada temperatur operasi MCFC dapat berperan sebagai katalis

untuk mendorong reaksi elektrokimia.

Elektrolit pada MCFC biasanya menggunakan alkali karbonat yang berada di dalam

matriks LiOAlO2. Pada suhu operasi MCFC alkali karbonat akan membentuk lelehan

garam yang memiliki koduktivitas yang sangat baik. Konduktivitas ini disebabkan

karena adanya ion karbonat dalam lelehan.

Reaksi setengah sel yang terjadi pada anoda dan katoda MCFC adalah

Anoda : H2 + CO32- H2O + CO2 + 2e-

Katoda : ½ O2 + CO2 + 2e- CO32-

Reaksi keseluruhan : H2 + : ½ O2 + CO2 (katoda) H2O + CO2 (anoda)

Bahan bakar yang digunakan pada MCFC adalah hidrogen, oksigen, dan karbon

dioksida. Oksigen diperoleh dari udara dan CO2 yang dibutuhkan pada katoda dapat

diperoleh dari sumber luar atau dapat didaur ulang dari CO2 yang dihasilkan pada

anoda. Untuk memisahkan CO2 dari gas lain yang dihasilkan pada anoda dapat

digunakan separator yang berupa membran. Karbon dioksida pada katoda kemudian

diubah menjadi ion karbonat yang berfungsi sebagai penghantar listrik pada elektrolit.

B1.1314.K.0310

Page 24: Laporan Penelitian TK4093

Gambar 2.2. Prinsip operasi dari MCFC. (Perez dkk., 1991)

Kelebihan MCFC dibandingkan dengan jenis fuel cell lain adalah :

1. Murah karena elektrokatelisnya tidak meggunakan logam mulia (EG&G, 2004)

2. Katalis tidak akan teracuni oleh CO karena bukan dari logam mulia

3. Lebih ramah lingkungan

4. Emisi gas CO2 dapat didaur ulang untuk reaksi di katodik

5. Peralatan yang digunakan relatif lebih sederhana

6. Bahan bakarnya dapat menggunakan gas hasil gasifikasi biomassa

7. Menghasilkan daya dalam skala besar (100 kW – 10 MW) sehingga sangat

cocok untuk pembangkit listrik skala menengah (Beomjoo dkk., 2011)

8. Efisiensi arus mencapai 40 – 60% jika dibandingkan dengan jenis fuel cell lain

yang hanya mencapai 35% dan jika gas buang (CO2) dari anoda dialirkan lagi ke

katoda serta panas reaksinya dimanfaatkan maka efisiensinya dapat mencapai 60

– 80% (Beomjoo dkk., 2011)

Selain kelebihan yang disebutkan di atas MCFC juga memiliki beberapa kekurangan

yang menyebabkan umur operasi berkurang dan meningkatkan biaya operasional seperti

berkurangnya jumlah elektrolit karena evaporasi pada temperatur yang tinggi dan

terjadinya korosi pada elektroda, cell frame, dan current collector (Frangini, 2007).

MCFC dapat dibedakan menjadi dua jenis berdasarkan bahan bakarnya, yaitu :

1. MCFC internal reforming

B1.1314.K.0311

Page 25: Laporan Penelitian TK4093

MCFC jenis ini menggunakan gas alam sebagai bahan bakarnya. Beberapa

perusahaan telah mengembangkan MCFC jenis ini, seperti Fuel Cell Energy

(FCE) di USA dengan kapasitas 11,5 MW.

2. MCFC external reforming

Perusahaan yang telah mengembangkan MCFC jenis ini adalah Ansaldo Fuel

Cell Italia (AFCO) dengan kapasitas 500 kW, Ishikawajima-Harima Heavy

Industry (IHI) dan pusat penelitian Research Institute for Electric Power

Industry (CRIEPI).

2.1.2. Alkaline Fuel Cell (AFC)

Alkaline Fuel Cell adalah fuel cell modern pertama yang dikembangkan pada tahun

1960. Pada saat itu, AFC diaplikasikan pada pesawat luar angkasa Apollo untuk

menyediakan energi listrik dalam pesawat. Union Carbide Corp. (UCC)

mengembangkan AFC untuk perjalanan luar angkasa sejak akhir 1950 hingga awal

1970. UCC menggunakan karbon sebagai elektrodanya dan cairan kaustik sebagai

elektrolitnya dengan nikel sebagai current collector.

Reaksi yang terjadi di AFC adalah :

Anoda : H2 + 2OH- 2H2O + 2e-

Katoda : ½ O2 + 2H2O + 2e- 2OH-

2.1.3. Phosphoric Acid Fuel Cell (PAFC)

Phosphoric Acid Fuel Cell (PAFC) adalah fuel cell pertama yang dikomersialkan.

Kebanyakan pabrik memiliki kapasitas 50 – 200 kW namun pabrik besar dapat

membangun PAFC dengan kapasitas hingga 11 MW. Perusahaan yang ikut

mengembangkan PAFC adalah UTC Fuel Cell di USA dan Fuji Electric Corporation,

Toshiba Corporation, dan Mitsubishi Electric Corporation di Jepang.

PAFC menggunalan katalis logam mulia seperti platina (Pt) atau paduan platina pada

B1.1314.K.0312

Page 26: Laporan Penelitian TK4093

kedua elektroda sehingga akan meningkatkan biaya produksinya dan platina dapat

teracuni oleh gas CO yang berasal dari bahan bakarnya.

Reaksi yang terjadi dalam PAFC adalah :

Anoda: H2 2H+ + 2e-

Katoda: ½ O2 +2H+ + 2e- H2O

2.1.4. Solid Oxide Fuel Cell (SOFC)

Solid Oxide Fuel Cell (SOFC) merupakan fuel cell dengan elektrolit padat yaitu oksida

logam yang tidak berpori, biasanya menggunakan ZrO2 yang distabilkan dengan Y2O3.

Temperatur operasi SOFC berada pada rentang 600 – 1000 oC dan perpindahan ion

dilakukan oleh oksigen. Elektroda yang digunakan biasanya berupa Ni-ZrO2 sebagai

anoda dan Sr-LaMnO3 sebagai katoda. SOFC tidak menggunakan elektrolit cair

sehingga tidak menimbulkan korosi. Sekarang SOFC dengan densitas energi yang

tingggi sudah dapat dioperasikan pada temperatur lebih rendah (700 – 850 oC).

2.1.5. Polymer Electrolyte Fuel Cell (PEFC)

Pada fuel cell jenis PEFC elektrolit yang digunakan adalah membran penukar ion yang

merupakan konduktor proton sangat baik. Cairan yang terdapat pada fuel cell ini adalah

air. sehingga kemungkinan terjadinya korosi sangat kecil. Elektroda karbon dengan

katalis elektroda platinum digunakan untuk anoda dan katoda.

Pengelolaan air dalam membran merupakan sesuatu yang penting dalam menentukan

efisiensi kinerja fuel cell. Fuel cell harus beroperasi dalam kondisi dimana produk

samping berupa air tidak menguap lebih cepat daripada proses terbentuknya produk

tersebut karena membran harus tetap basah. PEFC biasa digunakan untuk aplikasi pada

kendaraan (Fuel Cell Vehicles). Aplikasi yang lebih banyak dikembangkan dalam

penerapan PEFC adalah pada otomotif dan portable apllications.

B1.1314.K.0313

Page 27: Laporan Penelitian TK4093

2.2. Biomassa

Biomassa adalah istilah untuk semua bahan yang dihasilkan dari fotosintesis oleh

makhluk hidup yang ada di permukaan bumi, dimana sumber dari segala energi dalam

biomassa berasal dari matahari. Biomassa mengandung energi tersimpan yang

jumlahnya cukup banyak. Biomassa dimanfaatkan sebagai sumber bahan bakar nabati

(biofuel), dan dari bahan bakar nabati dapat dikembangkan lagi menjadi biokerosen

(minyak tanah), biodiesel, dan bioetanol. Biomassa adalah satu – satunya sumber energi

terbarukan yang dapat diubah menjadi bahan bakar cair (biofuel) yang dapat digunakan

sebagai bahan bakar kendaraan bermotor. Jenis biofuel yang banyak dikenal adalah

biodiesel, biogas, dan bioetanol.

Indonesia mempunyai potensi biomassa yang besar yang dapat menghasilkan biofuel

karena sumber daya hayati yang dimiliki baik di darat maupun di perairan. Menurut

penelitian ada beberapa biomassa yang dapat dimemiliki potensi menjadi bahan bakar

alternatif, yaitu :

1. Kelapa sawit, jarak pagar, sirsak, srikaya, dan kapuk sebagai sumber bahan

bakar pengganti solar (minyak diesel).

2. Tebu, jagung, sagu, singkokng, ubi jalar, dan ubi-ubian yang lain sebagai

sumber bahan bakar pengganti premium.

3. Azolla dan alga memiliki potensi sebagai sumber bahan bakar pengganti minyak

tanah dan minyak bakar untuk penerbangan.

Beberapa tumbuhan yang memiliki potensi sebagai penghasil energi di Indonesia

disajikan dalam Tabel 2.2.

Selain dapat diolah menjadi biofuel, biomassa dapat digasifikasi. Gasifikasi merupakan

proses yang mengubah biomassa padat menjadi gas sintesis atau gas alam yang mudah

terbakar dengan menggunakan uap panas. Proses gasifikasi dapat mengubah hampir

semua bahan organic padat menjadi gas bakar bersih atau netral. Gas hasil gasifikasi

dapat digunakan sebagai pembangkit listrik, sumber energi, maupun sebagai pamanas.

Gas yang dihasilkan pada gasifikasi biomassa disebut dengan gas sintesis yang dominan

dengan gas H2, CO, dan CH4. Bahan bakar yang umumnya digunakan untuk gasifikasi

B1.1314.K.0314

Page 28: Laporan Penelitian TK4093

adalah bahan bakar padat seperti batubara.

Tabel 2.2. Tumbuhan penghasil energi di Indonesia. (Sumber: Business Week edisi 15 Maret 2006)

Jenis TumbuhanProduksi Minyak

(Liter per Ha)

Ekivalen Energi

(kWh per Ha)

Elaeis guineensis (kelapa sawit) 3.600-4.000 33.900-37.700

Jatropha curcas (jarak pagar) 2.100-2.800 19.800-26.400

Aleurites fordii (biji kemiri) 1.800-2.700 17.000-25.500

Saccharum officinarum (tebu) 2.450 16.000

Ricinus communis (jarak kepyar) 1.200-2.000 11.300-18.900

Manihot esculenta (ubi kayu) 1.020 6.600

2.3. Gasifikasi

2.3.1. Definisi Gasifikasi

Gasifikasi dapat dijelaskan sebagai proses oksidasi tidak sempurna (partial oxidation)

atau konversi secara termal secara bertahap untuk mengubah bahan baku atau umpan

padat yang mengandung hidrokarbon yang biasanya berasal dari kayu atau batubara

menjadi bahan bakar gas (gas sintesis) atau produk dengan heating value yang masih

dapat digunakan (Higman dan Burgt, 2008). Proses gasifikasi berlangsung secara

endotermik yang mengubah bahan bakar padat menjadi gas sintesis yang mudah

terbakar. Proses ini membutuhkan oksidator berupa steam, udara, atau oksigen.

Teknologi gasifikasi sudah dikenal cukup lama sebagai penghasil gas untuk bahan bakar

alternatif pengganti bahan bakar cair atau padat. Salah satu pertimbangan penggantian

jenis bahan bakar cair dan padat menjadi gas adalah campuran gas mudah dimurnikan

dan konversi bahan bakar gas lebih tinggi.

B1.1314.K.0315

Page 29: Laporan Penelitian TK4093

2.3.2. Proses Gasifikasi

Konversi bahan bakar padat menjadi gas dilakukan dalam serangkaian tahapan.

Rangkaian proses ini terjadi dalam beberapa reaksi selama proses gasifikasi, reaksi-

reaksi tersebut adalah (Higman dan Burgt, 2008):

1. 2C + O2 2CO

2. C + O2 CO2

3. C + CO2 2CO (Boudouard reaction)

4. CO + H2O CO2 + H2 (shift reaction)

5. C + H2O CO + H2 (water gas reaction)

6. C + 2H2 CH4

7. 2H2 + O2 2H2O

8. CO + 2H2 CH3OH

9. CO + 3H2 CH4 + H2O (reaksi metanasi)

10. CO2 + 4H2 CH4 + 2H2O

11. C + 2H2O 2H2 + CO2

12. 2C + H2 C2H2

13. CH4 + 2H2O CO2 + 4H2 (steam methane reforming reaction)

Proses gasifikasi secara garis besar terdiri dari empat tahap, yaitu pengeringan, pirolisis,

pembakaran atau oksidasi, dan reduksi (Capart dkk., 1980). Gasifikasi dilakukan dalam

tahapan yang terpisah hingga dapat menyalakan api dan mempertahankan gas yang

mudah terbakar dalam bentuk gas lalu mengalirkan dalam gasifier pada temperatur

tertentu yang berbeda pada masing-masing tahapan. Proses pengeringan, pirolisis, dan

reduksi bersifat endotermik, sedangkan proses oksidasi bersifat eksotermik.

Proses gasifikasi dapat dibagi menjadi beberapa jenis, yaitu small industrial-scale

gasifier, entrained flow gasifiers, fluidised bed gasifiers, dan sistem gabungan (hybrid).

Pemilihan reaktor gasifikasi didasari oleh beberapa faktor seperti kondisi umpan dan

kondisi reaksi. Hasil keluaran dari reaktor gasifikasi berupa gas panas.

B1.1314.K.0316

Page 30: Laporan Penelitian TK4093

2.3.3. Produk Gasifikasi

Tabel 2.3. Komposisi produk hasil gasifikasi. (Ciferno dan Marano, 2002)

Produk gasifikasi terdapat dalam 3 fasa, yaitu padat, cair, dan gas. Produk padat berupa

arang, produk cair berupa minyak dan tar, dan produk utama berupa gas yang

mengandung karbon monoksida, karbon dioksida, hidrogen, metana, dan sedikit

hidrokarbon lainnya, jika digunakan udara sebagai oksidator maka juga akan terdapat

nitogen dan air.

Produk gas dari gasifikasi dapat berupa gas dengan kandungan energi tinggi, sedang,

dan rendah. Gas dengan kandungan energi tinggi mengandung metana murni, gas

dengan kandungan energi rendah sebagian besar mengandung karbon monoksida dan

hidrogen, dan gas dengan kandungan energi rendah mengandung sekitar 50% gas

nitrogen, dengan jumlah bahan bakar seperti hidrogen dan karbon monoksida yang lebih

sedikit, serta mengandung karbon dioksida dan metana. Komposisi produk hasil

B1.1314.K.0317

Jenis Gasifier

BFB CFB MCTI

Umpan Bervariasi Bervariasi Biomassa (kayu)

H2 5-16 7-20 14,9

CO 13-27 9-22 46,5

CO2 12-40 11-16 14,6

H2O <18 10-14 0

CH4 3-11 <9 17,8

C2+ <3 <4 6,2

Tar <0,11 <1 -

H2S ~0 ~0 -

O2 <0,2 0 0

NH3 0 0 0

N2 13-56 46-52 0

H2/CO 0,2-1,6 0,6-1,0 0,3

Panas pembakaran

(MMBtu/ft3)120-389 120-224 538

Page 31: Laporan Penelitian TK4093

gasifikasi disajikan dalam Tabel 2.3.

2.4. Metode Pembuatan Anoda Molten Carbonate Fuel Cell

2.4.1. Metode Tape Casting

Tape casting merupakan proses untuk memproduksi lapisan keramik tipis dan dengan

luas permukaan yang luas. Serbuk keramik mentah dan agen pendisspersi didispersikan

dalam larutan dan dicampur dengan sistem binder organik. Selama proses pengeringan

cairan pendispersi akan menguap saat ketebalan tape berkurang. Tape casting

merupakan salah satu teknologi pembuatan elektroda pada fuel cell bertemperatur

tinggi. Kelebihan dari metode tape casting adalah dapat mengatur ketebalan dari

lembaran keramik yang memiliki permukaan yang luas dengan baik. Tujuan metode

bertemperatur tinggi adalah membuat lembar elektroda berdimensi tertentu yang

memberikan unjuk kerja optimal (Jingtao dkk., 2010).

Pembuatan elektroda dengan metode tape casting dilakukan dengan mencampurkan

bahan organic dan binder lalu digiling dengan ball milling untuk mendapat karakteristik

campuran yang baik. Tape casting dilakukan pada temperatur 35 oC. Lembaran

elektroda disusun dengan arah yang berbeda kemudian dilapisi elektrolit dan ditekan

pada tekanan 35 kN pada temperatur 70 oC. Kemudian hasilnya dikeringkan pada

temperatur 100 oC selama 24 jam. Diagram alir pembuatan anoda dari campuran Ni

dengan menggunakan metode tape casting ditunjukkan pada Gambar 2.3.

2.4.2. Metode Dry Casting

Tahap awal dari metode dry casting adalah pre-treatment. Pada persiapan awal, bahan

dasar pembuat elektroda dicampur dengan campuran yang memiliki komposisi tertentu.

Campuran kemudian digiling sampai homogen. Setelah itu campuran ditekan dengan

B1.1314.K.0318

Page 32: Laporan Penelitian TK4093

menggunakan hydraullic pressing machine dengan kapasitas tekanan sebesar 60 kN/m2

sehingga diperoleh elektroda dalam bentuk pelet. Metode dry casting memiliki beberapa

keuntungan diantaranya dapat meningkatkan jumlah produksi disertai penurunan jumlah

material dan harga yang digunakan serta meningkatkan kekuatan dan daya tahan karena

mengandung sedikit air dalam campuran. Diagram alir pembuatan anoda dari campuran

Ni dengan menggunakan metode dry casting ditunjukkan pada Gambar 2.4.

Gambar 2.3. Diagram alir pembuatan anoda dengan menggunakan metode tape casting. (Mingoo dkk., 2012)

Gambar 2.4. Diagram alir pembuatan anoda dengan menggunakan metode dry casting. (Mingoo dkk., 2012)

2.5. Karakterisasi Anoda Molten Carbonate Fuel Cell (MCFC)

B1.1314.K.0319

Page 33: Laporan Penelitian TK4093

Karakterisasi anoda pada MCFC dapat dilakukan dengan dua metode yaitu fisik dan

kimia. Karakterisasi fisik pada anoda bertujuan untuk mengetahui sifat fisik anoda

seperti komposisi material, porositas dan struktur mikronya sedangkan karakterisasi

kimia pada anoda bertujuan untuk melihat kelakuan reaksi kimia dalam anoda.

Karakterisasi fisik dapat dilakukan dengan menggunakan metode Scanning Electron

Microscopy (SEM), X-Ray Diffraction serta uji porositas dengan menggunakan standar

American Society for Testing and Material (ASTM). Karakterisasi secara kimia dapat

dilakukan dengan menggunakan ohm meter.

2.5.1. Scanning Electron Microscopy (SEM)

Scanning Electron Microscopy (SEM) digunakan untuk mengamati morfologi

permukaan dan komposisi objek spesimen dengan pemetaan. Prinsipnya menyerupai

mikroskop cahaya, namun menggunakan cahaya berkas elektron. Berkas elektron

difokuskan dengan medan magnet dan berinteraksi dengan aton – atom dalam spesimen.

SEM dapat melakukan perbesaran hingga 3x106 kali. SEM dapat dihubungkan dengan

EDS (energy dispersive spectroscopy) yang menganalisa sinar x-ray yang dihasilkan

dari interaksi SEM dengan spesimen yang diamati. SEM terdiri dari beberapa peralatan

utama, yaitu :

1. Pemancar elektron berupa filamen yang terbuat dari unsur yang mudah

melepaskan elektron.

2. Lensa magnetik untuk memfokuskan berkas elektron.

3. Detektor elektron.

4. Sistem vakum untuk membantu elektron berjalan lebih mudaj menuju sasaran.

Elektron yang digunakan sebagai pemindai akan dipercepat dengan memberikan beda

potensial. Untuk memusatkan arus elektron yang memilik sudut yang cukup besar

digunakan lensa elektromagnetik. Elektron yang terfokuskan ini akan mengenai seluruh

permukaan sampel, lalu sampel akan menghasilkan elektron baru yang akan diterima

oleh detektor dan dikirim ke monitor.

B1.1314.K.0320

Page 34: Laporan Penelitian TK4093

Kelebihan dalam menggunakan metode SEM yaitu:

- Preparasi sampel yang sederhana

- Ukuran sampel yang cukup besar

- Rentang perbesaran yang sangat luas

Kekurangan dalam menggunakan metode SEM yaitu:

- Resolusinya relatif rendah

- Harus menggunakan vakum

- Hanya dapat mengamati permukaan

- Memerlukan pelapisan dengan Au

Gambar 2.5. Skema alat SEM. (Sumber: http://serc.carleton.edu/research_education/ geochemsheets/techniques/SEM.html)

2.5.2. X-Ray Diffraction

B1.1314.K.0321

Page 35: Laporan Penelitian TK4093

Sinar X dapat digunakan untuk tujuan pemeriksaan yang tidak merusak objek yang

diteliti baik itu berupa material maupun manusia. Sinar X dapat menghasilkan pola

difraksi tertentu yang dapat digunakan untuk analisis kualitatif dan kuantitatif pada

material. Saat suatu material dikenai sinar X, maka intensitas sinar yang ditransmisikan

lebih rendah dibandingkan intensitas sinar yang datang. Hal ini disebabkan karena

adanya penyerapan oleh material dan juga penghamburan oleh atom-atom yang

terkandung dalam material tersebut. Berkas sinar X yang dihamburkan ada yang saling

menghilangkan karena fasanya sama sedangkan berkas sinar X yang saling menguatkan

disebut dengan difraksi. Teknik X-Ray Diffraction digunakan untuk mengidentifikasi

fasa kristalin dalam material dengan menentukan parameter struktur kisi dan untuk

mendapatkan ukuran partikel.

Gambar 2.6. Difraksi sinar X oleh lapisan atom pada material. (Sumber: http://www.spec2000.net/09-xrd.htm)

Difraksi sinar X terjadi pada hamburan elastis foton-foton sinar X oleh atom dalam

sebuah kisi periodik. Hamburan monokromatis sinar X dalam fasa tersebut memberikan

interferensi yang saling menguatkan (konstruktif). Persamaan Bragg merupakan

persamaan dasar yang digunakan dalam metode XRD, yaitu:

n = 2d sin (2.1)

Berdasarkan persamaan Bragg, apabila sinar X dijatuhkan pada sampel material, maka

lapisan pada material tersebut akan membiaskan sinar X yang panjang gelombangnya

sama dengan jarak antar kisi dalam kristal tersebut. Sinar yang dibiaskan ditangkap oleh

detektor yang kemudian dibaca sebagai puncak difraksi. Semakin banyak lapisan pada

B1.1314.K.0322

Page 36: Laporan Penelitian TK4093

material, makin kuat intensitas pembiasan yang dihasilkan. XRD terdiri dari tiga unit

utama yaitu tabung sinar X, tempat objek yang ingin diteliti dan detektor sinar X.

Gambar 2.7. Skema alat XRD. (Dhanaraj dan Rajesh, 2013)

Kegunaan metode XRD adalah:

1. Membedakan material yang bersifat kristal dengan amorf.

2. Mengukur berbagai macam penyimpangan kristal.

3. Mengkarakterisasi material kristal.

4. Identifikasi mineral berbutir halus dengan menggunakan kamera khusus (Gandolfi).

5. Menentukan unit sel, panjang ikatan, sudut ikatan dan susunannya.

6. Mengkarakterisasi ikatan kation-anion.

Kelebihan metode XRD adalah:

1. Tidak perlu adanya proses pemisahan.

2. Non-destructive

3. Menghasilkan struktur kristal secara jelas, termasuk dimensi sel, panjang ikatan,

sudut ikatan serta susunannya.

4. Dapat mengidentifikasi mineral berbutir halus.

5. Dengan menggunakan ruang khusus, struktur fasa pada tekanan dan temperatur tinggi

dapat ditentukan.

Kelemahan metode XRD adalah:

1. Sampel harus berukuran 50-250 mikron.

B1.1314.K.0323

Page 37: Laporan Penelitian TK4093

2. Membutuhkan waktu yang lama untuk mendapatkan data, 24 – 72 jam.

3. Sulit untuk menentukan struktur objek berupa bubuk (powder).

2.5.3. Uji Porositas dengan Standar ASTM

Porositas merupakan salah satu penyebab diskontinuitas dalam pelapisan elektrokimia

(electroplated coating). Pori dapat membuat zat terekspos ke agen pengkorosi,

mengurangi kekuatan mekanik, dan mempengaruhi sifat elektriknya. Uji porositas dapat

dilakukan dengan meode ASTM C373-88 (American Society for Testing and Material)

dengan basis perhitungan porositas adalah air. Porositas dapat ditentukan dengan

persamaan 2.2.

Porositas=(W 3−W 1)(W 3−W 2)

(2.2)

2.6. Penelitian Terkait

Tabel 2.4. Penelitian terkait mengenai MCFC yang telah dilakukan.Penulis Kesamaan terkait Hasil dan kesimpulan

Nasution, R., 2013

Penggunaan metode karakterisasi elektroda MCFC menggunakan SEM, XRD, ASTM C373-88 dan EIS serta penggunaan elektrolit LiCO3/K2CO3 pada MCFC

Perubahan laju alir total umpan elektroda mempengaruhi tahanan perpindahan massa jika T = 600oC karena laju reaksi lebih lambat. Jika laju alir konstan dan temperatur dinaikkan maka impedansi sel akan semakin kecil karena laju reaksi semakin cepat, hasil karakterisasi menunjukkan bahwa struktur necking tidak hancur setelah elektroda digunakan serta porositas elektroda menjadi besar jika dilakukan ekstraksi terhadap elektroda setelah proses oksidasi dan lithiation.

Feng dkk., 2010

Penggunaan biomassa untuk memperoleh gas sintesis (syngas)

Temperatur berpengaruh pada proses gasifikasi arang dari biomassa. Semakin tinggi temperatur maka H2

yang dihasilkan dan efisiensi konversi karbon akan jauh lebih tinggi. Jumlah uap yang tepat juga dapat meningkatkan efisiensi H2 yang dihasilkan dan efisiensi konversi karbon. Hasil tertinggi yang diperoleh adalah 2.44 Nm3/kg gas kering dan efisiensi konversi karbon mencapai 95.78% pada temperatur 850oC dengan laju alir uap 0.165 g/min/g biomass

B1.1314.K.0324

Page 38: Laporan Penelitian TK4093

Tabel 2.4. Penelitian terkait mengenai MCFC yang telah dilakukan (lanjutan).Penulis Kesamaan terkait Hasil dan kesimpulan

Iaquaniello dan Mangiapane, 2006

Penggunaan produk hasil gasifikasi biomassa untuk MCFC

Analisis biaya menghasilkan total capital cost on investment (TCI) pada rentang 1300-

2000€. Proses yang paling berpengaruh pada TCI adalah 45% untuk dua tahap kompresi, 30% untuk menghilangkan partikulat, tar dan alkali sedangkan 35% untuk menghilangkan halida, H2S dan COS. Harga yang tinggi disebabkan karena absorben yang digunakan untuk menghilangkan H2S dan COS. Hasil dari analisis menunjukkan bahwa pembersihan gas panas dan kompresi syngas merupakan bagian yang terbanyak memberikan biaya investasi yang besar pada sistem gasifikasi biomassa pada tekanan atmosfer dan MCFC bertekanan. Diperlukan analisis lebih lanjut untuk mencari kondisi operasi yang optimum untuk gasifier uap untuk memproduksi syngas dengan komposisi H2 dan CO yang tinggi dan tidak mengandung banyak kontaminan serta tekanan operasi MCFC.

Yunsung dkk., 2006

Penggunaan campuran logam Ni sebagai anoda MCFC

Dari analisis mikrostruktural, ketahanan sintering anoda Ni/7%wt Ni3Al dan Ni/5%wt Ni3Al/5%wtCr dapat ditingkatkan dengan memperlambat gerakan batas butir nikel karena Ni3Al tersebar dalam matrik nikel dan ketahanan mulur dapat ditingkatkan dengan menghambat laju perpindahan massa dibawah tekanan yang ditetapkan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kedua anoda tersebut memiliki ketahanan mulur yang tinggi sehingga dapat digunakan sebagai anoda berpori pada MCFC.

Tomasi dkk., 2006

Penggunaan produk hasil gasifikasi biomassa sebagai umpan pada MCFC

Efisiensi yang dihasilkan dengan mengintegrasikan gasifier fluidized-bed dengan MCFC adalah 43 – 49%. Fraksi energi panas yang dihasilkan apabila dimanfaatkan akan memungkinkan untuk mencapai efisiensi exergy global yaitu 78 – 81% dan melepas syngas bertemperatur 800oC tanpa menggunakan umpan uap di gasifier dan 250oC dari keluaran / buangan burner. Hal ini akan menguntungkan apabila memanfaatkannya sebagai umpan panas dalam pabrik. Pengaruh yang diberikan ke lingkungan juga sangat rendah sehingga hal ini dapat diaplikasikan untuk mendistribusikan produksi energi khususnya di kota-kota kecil atau desa di daerah pegunungan dimana terdapat banyak limbah biomassa yang dihasilkan, sedangkan biaya pengolahan limbah biomassa cenderung

B1.1314.K.0325

Page 39: Laporan Penelitian TK4093

Tabel 2.4. Penelitian terkait mengenai MCFC yang telah dilakukan (lanjutan).Penulis Kesamaan terkait Hasil dan kesimpulan

relatif tinggi. Relokasi untuk membangkitkan listrik akan menghasilkan perngurangan kehilangan distribusi listrik dan dapat bersaing secara efektif dengan sistem pembangkit konvensional.

Donolo dkk., 2005

Penggunaan produk hasil gasifikasi biomassa sebagai umpan pada MCFC

Efisiensi yang diperoleh dengan mengombinasikan antara gasifikasi biomassa dengan MCFC adalah sekitar 36 – 40%, bergantung pada jenis biomassa yang digunakan. Dari proses gasifikasi biomassa, dihasilkan energi panas dalam jumlah besar yaitu 20% dari total input HHV pada 870oC. Gas sintesis yang dihasilkan mengandung 10% tar dari total HHV sehingga memerlukan proses lebih lanjut untuk menghilangkan kandungan tar. Pembentukan secara endoterm mengonversi energi panas menjadi energi kimia dan meningkatkan kandungan H2 dan CO untuk fuel cell. Sekitar 6% biomassa HHV dapat dikonversi menjadi energi listrik. Bagas merupakan jenis biomassa yang tidak cocok digunakan karena menghasilkan efisiensi energi listrik yang rendah, efisiensi energi panas rendah dan kandungan bahan bakar dalam gas sintesis juga rendah akibat kesulitan dalam proses gasifikasi bagas tersebut. Penelitian mengatakan bahwa pemanfaatan biomassa dapat diterapkan pada negara berkembang.

Morita dkk., 2004

Penggunaan gas hasil gasifikasi biomassa sebagai umpan pada MCFC

Operasi MCFC pada tekanan diatas 8 atm tidak memiliki keuntungan dalam hal efisiensi karena deposisi karbon terjadi. Rentang tekanan operasi optimum pada MCFC adalah 1-5 atm. Unjuk kerja MCFC relatif rendah dibandingkan dengan unjuk kerja gas turbin, Konversi gas CH4

menjadi H2 dan CO sebelum masuk kedalam MCFC merupakan faktor yang menentukan performansi MCFC. Unit pembersihan gas pada temperatur lebih menguntungkan untuk mencegah terjadinya deposisi karbon pada MCFC dan meningkatkan efisiensi MCFC. Temperatur gas keluaran dari unit gasifier yang diinginkan adalah sedekat mungkin dengan temperatur MCFC.

B1.1314.K.0326

Page 40: Laporan Penelitian TK4093

BAB III

RENCANA PENELITIAN

3.1. Metodologi

Secara garis besar, penelitian ini dilakukan dalam beberapa tahap yaitu:

1. Tinjauan pustaka

2. Penentuan variasi penelitian

3. Persiapan alat dan bahan

4. Pembuatan anoda

5. Karakterisasi fisik dan kimia anoda

6. Pembuatan laporan

Diagram alir pelaksanaan metodologi penelitian yang akan dilakukan disajikan pada

Gambar 3.1.

B1.1314.K.0327

Page 41: Laporan Penelitian TK4093

Gambar 3.1. Diagram alir metodologi penelitian.

3.2. Percobaan

3.2.1. Bahan

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian adalah:

1. Serbuk campuran logam Ni dan logam Cr

Anoda yang digunakan dalam penelitian dibuat dengan menggunakan campuran logam

Ni dan Cr dengan perbandingan 90% Ni dan 10% Cr dengan ukuran 3-5 mikron.

2. Binder

Binder digunakan untuk memperkuat ikatan antar campuran logam Ni dan Cr. Binder

yang digunakan dalam penelitian adalah polyvinyl alcohol (PVA).

3. Anoda MCFC standar

Untuk menguji hasil karakteristik anoda yang dibuat dalam penelitian, digunakan anoda

MCFC standar sebagai acuan atau pembanding hasil pengujian. Anoda MCFC standar

diperoleh dari Institusi Riset Ilmu Pengetahuan Korea.

4. Aqua dm

Aqua dm digunakan sebagai aditif untuk mengaktifkan binder PVA yang berguna untuk

mengikat logam – logam yang terdapat dalam sampel anoda.

Material Safety Data Sheet (MSDS) bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian

dapat dilihat pada Lampiran A.

3.2.2. Alat

Peralatan yang digunakan dalam penelitian adalah:

B1.1314.K.0328

Page 42: Laporan Penelitian TK4093

1. Cetakan dry casting

Cetakan dry casting yang digunakan merupakan silinder berbahan dasar logam yang

berlubang pada bagian tengahnya. Desain cetakan dry casting dapat dilihat pada

Gambar 3.2. dan 3.3.

Gambar 3.2. Alat dry casting: 1. alat penekan (a. tampak atas, b. tampak depan, dan c, tampak bawah), 2. tempat bahan (a. tampak atas dan b. tampak depan), 3. alas (a. tampak atas, b. tampak depan, dan c, tampak bawah).

B1.1314.K.0329

Page 43: Laporan Penelitian TK4093

Gambar 3.3. Wadah penampung anoda.

2. Ball mill

Ball mill merupakan alat penghalus yang biasa digunakan untuk menghaluskan suatu

material menjadi bentuk bubuk (powder). Dalam percobaan, ball mill digunakan untuk

membuat ukuran serbuk campuran logam (alloy) yang digunakan untuk anoda dengan

binder menjadi homogen dan tercampur secara merata. Prinsip kerja dari ball mill

disajikan dalam Gambar 3.4.

Gambar 3.4. Prinsip kerja ball mill. (Sumber: http://www.ilpi.com/inorganic/glassware /ballmill.html)

Ball mill yang digunakan dalam percobaan terbuat dari silinder plastik tertutup pada

kedua ujungnya dengan diameter 10 cm dan panjang 20 cm. Di dalam ball mill terdapat

bola pejal yang terbuat dari baja atau keramik. Ball mill bekerja dengan silinder luar

yang berputar dan menyebabkan bola-bola didalam silinder dan material didalamnya

B1.1314.K.0330

Page 44: Laporan Penelitian TK4093

ikut bergerak dan terjadi kontak satu sama lain. Akibat perbedaan ukuran dan kekuatan

yang berbeda relatif besar antara bola pejal dan serbuk logam serta binder, maka bola

pejal dengan kekuatan dan ukuran lebih besar akan menghancurkan serbuk logam dan

binder yang terdapat didalamnya. Rotasi silinder mengakibatkan terjadinya

pencampuran antara serbuk logam dan binder didalam silinder.

3. Oven

Oven digunakan untuk menghilangkan kadar air dalam campuran logam dan binder

yang telah diproses menggunakan ball mill. Saat campuran dipanaskan dalam oven,

maka air yang memiliki titik didih lebih rendah akan lebih dulu menguap dibandingkan

padatan campuran antara logam dengan binder. Oven yang digunakan dapat dilihat pada

Gambar 3.5.

Gambar 3.5. Oven. (Sumber: http://www.edonilab.com/2012/04/memmert-oven-type- unb-dan-une.html)

4. Furnace

Furnace dalam penelitian digunakan untuk memanaskan logam campuran yang

digunakan untuk membuat anoda supaya terjadi sintering. Sintering bertujuan untuk

membentuk ikatan antar partikel logam campuran agar memiliki kekuatan mekanik.

Furnace yang digunakan memiliki temperatur maksimum 900oC. Selama proses

pemanasan berlangsung, gas nitrogen (N2) dialirkan secara kontinyu untuk menghindari

proses oksidasi logam campuran.

B1.1314.K.0331

Page 45: Laporan Penelitian TK4093

Gambar 3.6. Furnace. (Sumber: http//ecx.images-amazon.com/images/I/61hLBaJ1K 7L._SL1500_.jpg)

5. Alat Scanning Electron Microscopy (SEM)

6. Alat X-Ray Diffraction

7. Ohm meter

Hazard and Operability (HAZOP) alat percobaan dapat dilihat pada Lampiran B.

3.2.3. Prosedur

1. Pembuatan Anoda

Pembuatan anoda MCFC dilakukan dengan menggunakan metode dry casting.

Pertama-tama alat dan bahan untuk pembuatan anoda disiapkan kemudian bahan dasar

untuk pembuatan anoda yang berupa serbuk logam nikel-krom dan binder dicampur

pada komposisi tertentu sesuai dengan porositas dan kekuatan mekanik yang ingin

dicapai. Setelah itu, serbuk nikel-krom dimasukkan dalam ball mill dan digerus hingga

homogen selama satu jam. Anoda yang dihasilkan pada tahap ini diharapkan memiliki

porositas sebesar 60% dengan galat ±5%. Hasil pengadukan dikeringkan dalam oven

selama 24 jam pada suhu 120oC. Campuran serbuk yang sudah dikeringkan, ditatar pada

cetakan dry casting kemudian ditekan pada tekanan 60 kN/m2. Hasil cetakan yang telah

ditekan dipanaskan untuk sintering pada suhu 650oC hingga 900oC dan tekanan

atmosfer. Gas nitrogen dialirkan pada furnace secara kontinyu untuk mencegah

B1.1314.K.0332

Page 46: Laporan Penelitian TK4093

terjadinya oksidasi.

2. Karakterisasi Fisik Anoda

Hasil anoda yang telah dibuat dan berukuran diameter 3 cm dan tebal 0.7 mm diuji

karakteristiknya sehingga dapat dikatakan layak sebagai anoda MCFC baik secara fisik

maupun kimia. Karakterisasi fisik yang digunakan adalah metode SEM, XRD dan

ASTM C373-88 untuk menguji porositas, struktur kristal, serta pengujian kekuatan fisik

beban tarik. Pengujian dilakukan pada anoda yang diperoleh dari hasil penelitian

maupun anoda standar sebagai acuan, kemudian hasil pengujian keduanya

dibandingkan. Apabila secara fisik anoda yang diperoleh dari hasil penelitian sama atau

mirip dengan karakteristik anoda standa, maka anoda hasil penelitian diuji lebih lanjut

secara elektrokimia.

3. Karakterisasi Elektrokimia

Pengujian elektrokimia anoda dilakukan dengan mengukur hambatan internal yang

dihasilkan oleh anoda yang difabrikasi tersebut. Pengukuran hambatan internal

dilakukan menggunakan ohm meter. Ohm meter dihubungkan ke anoda tersebut

kemudian hasil yang terbaca pada ohm meter merupakan hambatan internal anoda.

Langkah-langkah percobaan dapat dilihat pada Lampiran C sedangkan prosedur

keselamatan kerja dapat dilihat pada Lampiran A dan C.

3.2.4. Variasi

Variabel – variabel yang akan divariasikan dalam penelitian ini adalah rasio massa

logam campuran terhadap binder dan temperatur sintering. Tabel 3.1.

merepresentasikan variasi dari variabel yang akan dilakukan pada penelitian ini.

B1.1314.K.0333

Page 47: Laporan Penelitian TK4093

Tabel 3.1. Variasi penelitian.

3.3.

Interpretasi Data

Metode analisis data yang digunakan adalah analisis karakter fisik dan kimia serta sifat

mekanik anoda. Karakterisasi dilakukan dengan SEM (Scanner Electron Microscopy),

ASTM C373-88, XRD (X-Ray Diffraction), dan EIS (Electrochemical impedance

Spectroscopy).

3.3.1. Analisis Karakteristik Fisik Anoda dengan SEM (Scanning Electron

Microscopy)

SEM digunakan untuk mengamati struktur mikro dari anoda yang dibuat. Dengan

menggunakan SEM dapat diketahui pororsitas dan dioptimasi. Hasil porositas yang

diperoleh kemudian dibandingkan dengan porositas hasil perhitungan.

Perhitungan porositas menggunakan metode ASTM C373-88 dengan air sebagai basis.

Perhitungan dilakukan berdasarkan penentuan berbagai satuan massa terhadap setiap

anoda yang dihasilkan. Pemilihan anoda yang baik didasarkan atas nilai porositas anoda

komersial standar yang digunakan sebagai acuan.

Gambar 3.7. merupakan contoh anoda MCFC Ni-10%wt Cr yang diproses sintering

dengan perlakuan berbeda.

B1.1314.K.03

Rasio massa logam campuran terhadap massa binder 1:1, 2:1, 4:1, 8:1

Temperatur sintering (oC) 650, 700, 800, 900

34

Page 48: Laporan Penelitian TK4093

Gambar 3.7. Anoda MCFC Ni-10%wt Cr a) setelah oksidasi sebagian; b) setelah oksidasi-reduksi sebagian. (Dokyol dkk., 2003)

3.3.2. Analisis Karakteristik Fisik Anoda dengan XRD (X-Ray Diffraction)

Analisis struktur kristal anoda hasil penelitian dilakukan untuk melihat apakah struktur

kristal yang dihasilkan serupa dengan anoda komersial standar yang digunakan sebagai

acuan. Apabila terdapat kemiripan pada struktur kristal anoda hasil penelitian dan anoda

komersial standar, maka anoda hasil penelitian dapat dikatakan layak.

3.3.3. Analisis Karakteristik Kimia Anoda

Analisis karakteristik kimia anoda dilakukan dengan mengukur hambatan internal

anoda. Hambatan internal anoda diukur dengan menggunakan ohm meter. Tujuan

dilakukannya pengukuran hambatan internal anoda adalah mengetahui seberapa besar

hambatan yang diberikan oleh anoda untuk dapat menghantarkan listrik. Hambatan

internal yang baik akan bernilai kecil yang artinya anoda tersebut dapat digunakan

untuk menghantarkan listrik dan sebaliknya. Hambatan internal anoda yang dihasilkan

kemudian dibandingkan nilainya dengan anoda umum MCFC dan anoda konvensional

yang diperoleh dari Korea.

3.3.4. Analisis Sifat Mekanik Anoda

Dalam pembutan anoda, hasil anoda yang diinginkan adalah anoda yang memiliki sifat

mekanik yang baik. Hal ini dilakukan dengan memanaskan bahan anoda dan binder

pada suhu sintering tertentu. Hasil yang diperoleh kemudian dipotong dengan diameter

3 cm dan diharapkan memiliki porositas 60%.

B1.1314.K.0335

Page 49: Laporan Penelitian TK4093

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Tahap Awal Pembuatan Anoda Molten Carbonate Fuel Cell (MCFC)

B1.1314.K.0336

Page 50: Laporan Penelitian TK4093

Anoda MCFC terdiri dari campuran logam nikel (Ni) dan kromium (Cr) dengan

perbandingan massa 9:1. Agar logam – logam tersebut dapat bercampur, maka

digunakan binder berupa polyvinylalcohol (PVA) sesuai dengan variasi percobaan.

Logam – logam dan binder dicampur dengan menggunakan ball mill selama 8 jam

dengan kecepatan putar 100 rpm yang bertujuan untuk membuat campuran homogen.

Setelah itu, campuran tersebut ditekan dengan menggunakan hydraullic pressing

machine dengan tekanan 60 kPa. Proses penekanan tersebut bertujuan untuk

membentuk anoda dalam bentuk piringan berdiameter 5 cm dengan tebal 2.5 mm.

PVA merupakan binder yang dapat mengikat logam – logam nikel dan kromium dalam

campuran agar terbentuk anoda yang berupa piringan agar dapat diproses lebih lanjut

yaitu proses sintering. Namun, PVA dapat aktif sebagai binder apabila PVA

berinteraksi dengan air dalam jumlah tertentu. Dalam percobaan terdapat variasi PVA

dalam campuran logam nikel – kromium sehingga jumlah air yang dibutuhkan untuk

setiap variasi tidak sama.

4.1.1. Pengaruh Penambahan Air dalam Campuran Logam – Binder

Jumlah air yang ditambahkan ke dalam campuran logam – binder memiliki peranan

penting karena dapat mempengaruhi struktur anoda setelah melalui tahap pressing.

Apabila jumlah air yang ditambahkan ke dalam campuran terlalu sedikit, maka

campuran tidak akan menyatu secara sempurna setelah proses pressing berlangsung

sehingga menyebabkan anoda tidak dapat diproses lebih lanjut yaitu proses sintering.

Namun, apabila air yang ditambahkan terlalu banyak, maka campuran tersebut akan

menyatu namun air akan terkonsentrasi pada satu bagian sehingga menyebabkan bentuk

piringan anoda tidak sempurna atau menyerupai mangkok. Bentuk piringan anoda yang

tidak sempurna dihindari karena akan berpengaruh pada saat anoda akan dipasangkan

dengan katoda MCFC pada fuel cell. Anoda akan diletakkan secara bertumpuk dengan

katoda dan matriks, apabila bentuk piringan anoda tidak sempurna, maka anoda akan

hancur. Gambar 4.1 menunjukkan perbandingan struktur permukaan anoda dengan

penambahan jumlah air yang berbeda sehingga menghasilkan struktur permukaan anoda

B1.1314.K.0337

Page 51: Laporan Penelitian TK4093

yang tidak diinginkan sedangkan Gambar 4.2 menunjukkan struktur anoda dengan

penambahan jumlah air optimum sehingga diperoleh struktur anoda yang diinginkan.

Untuk memperoleh jumlah optimum air yang harus dibutuhkan setiap variasi campuran

logam – binder, dilakukan percobaan secara iteratif terhadap campuran.

(a) (b)

(c) (d)

Gambar 4.1. Struktur anoda 1:1 dengan penambahan air (a) < 8 tetes tampak atas; (b)

< 8 tetes tampak samping; (c) >8 tetes tampak atas; (d) >8 tetes tampak

samping.

B1.1314.K.03

5 cm

5 cm

5 cm

2.5 mm

2.5 mm

2.5 mm

38

Page 52: Laporan Penelitian TK4093

(a) (b)

Gambar 4.2. Struktur anoda 1:1 dengan penambahan air optimum 8 tetes (a) tampak

atas; (b) tampak samping.

Hasil percobaan yang telah dilakukan untuk mengetahui jumlah optimum penambahan

air ke dalam campuran logam – binder untuk mendapatkan struktur piringan anoda yang

sempurna direpresentasikan dalam Tabel 4.1.

Tabel 4.1. Komposisi air yang harus ditambahkan pada sampel anoda.

Rasio logam : binder Massa logam – binder (gr) Jumlah air (ml)

1:1 5 0.40 (8 tetes)

2:1 6 0.30 (6 tetes)

4:1 7 0.35 (7 tetes)

8:1 8 0.40 (8 tetes)

Berdasarkan data pada Tabel 4.1, dapat dilihat bahwa jumlah air yang perlu

ditambahkan membentuk tren yang tidak beraturan. Padahal, seharusnya semakin

banyak PVA maka air yang dibutuhkan semakin banyak untuk mengaktifkan PVA

tersebut sebagai binder. Hubungan PVA dengan air akan mempengaruhi viskositas

larutan PVA tersebut dimana semakin tinggi konsentrasi larutan maka viskositas akan

semakin tinggi (Tao, 2003). Oleh karena itu, diperlukan penambahan jumlah air yang

sesuai sehingga larutan PVA tidak terkonsentrasi di dalam sampel tersebut. Untuk

sampel dengan jumlah PVA yang sedikit, meskipun PVA sudah tidak terkonsentrasi

dalam sampel, namun apabila sebatas melihat pada interaksi antara PVA dengan air,

maka sampel anoda masih belum dapat mempertahankan bentuknya meskipun telah

ditekan dengan tekanan yang sudah sesuai. Hal tersebut diakibatkan oleh kurangnya

kandungan PVA dalam sampel sehingga PVA yang aktif sebagai binder tidak dapat

mengikat logam – logam yang terkandung secara menyeluruh. Oleh karena itu,

penambahan air diperlukan untuk membuat slurry pada logam – logam yang tidak

terikat oleh binder PVA sampai menjadi slurry yang homogen (Palilla, 1986) sehingga

dapat ditekan dan dapat mempertahankan bentuknya sebagai pellet anoda.

B1.1314.K.0339

Page 53: Laporan Penelitian TK4093

Dari Tabel 4.1 dapat dilihat bahwa terdapat perbedaan massa pada setiap variasi

campuran logam – binder untuk memperoleh anoda dengan diameter 5 cm dan tebal 2.5

mm. Hal tersebut dikarenakan setiap campuran memiliki perbedaan massa jenis.

Semakin tinggi massa jenis, maka untuk mencapai volume yang sama dibutuhkan massa

yang lebih besar sesuai dengan persamaan (4.1).

ρ=mV

((4.1))

Keterangan: ρ = massa jenis (gr/cm3)

m = massa (gr)

V = volume (cm3)

Tabel 4.2 menunjukkan massa jenis tiap komponen dalam campuran.

Tabel 4.2. Massa jenis komponen.

Komponen Massa Jenis (gr/cm3)

Nikel 8.908

Kromium 7.15

PVA 1.19

Massa jenis nikel dan kromium lebih tinggi dibandingkan dengan PVA, maka untuk

memperoleh ketebalan yang seragam, campuran dengan kandungan logam yang lebih

besar akan membutuhkan massa yang lebih besar pula.

4.1.2. Pengaruh Jumlah PVA terhadap Struktur Permukaan Anoda

Jumlah PVA mempengaruhi struktur permukaan anoda setelah melalui proses pressing.

Hal tersebut karena PVA berfungsi sebagai pengikat logam – logam yang terdapat

dalam campuran. Semakin banyak PVA dalam campuran maka logam – logam akan

semakin terikat dan sebaliknya. Hal tersebut dapat dibuktikan secara kualitatif dari

struktur permukaan anoda pada berbagai variasi perbandingan logam – binder.

B1.1314.K.0340

Page 54: Laporan Penelitian TK4093

(a) (b)

(c) (d)

Gambar 4.3. Struktur permukaan anoda dengan rasio logam:binder (a) 1:1 ; (b) 2:1 ;

(c) 4:1 ; (d) 8:1.

Dari Gambar 4.3 dapat dilihat bahwa struktur permukaan paling mendekati sempurna

adalah anoda dengan rasio logam:binder 1:1. Semakin sedikit kandungan PVA dalam

anoda, secara kualitatif dapat dilihat bahwa struktur permukaan anoda semakin tidak

stabil atau rentan hancur dan tidak dapat menerima tekanan dari luar. Tekanan

maksimum yang dapat ditahan pada anoda tersebut terdapat pada anoda 1:1 yang setara

dengan rata – rata kekuatan genggaman tangan laki – laki dengan usia 20 sampai

dengan 29 yaitu 47 kg/cm2 dengan standar deviasi 9.7 (Gill, dkk., 2014). Namun

struktur permukaan anoda belum tentu mempengaruhi kinerja dari anoda MCFC

tersebut karena anoda tersebut masih diproses melalui tahap sintering yang diharapkan

setelah proses sintering berlangsung, struktur permukaan anoda dapat menjadi lebih

baik.

B1.1314.K.03

5 cm5 cm

5 cm5 cm

41

Page 55: Laporan Penelitian TK4093

Berdasarkan Gambar 4.3, hal lain yang dapat diamati adalah perbedaan warna yang

terdapat pada masing – masing anoda. Terlihat bahwa semakin sedikit kandungan PVA

dalam sampel anoda maka sampel tersebut akan berwarna semakin gelap (kehitaman)

sebaliknya semakin banyak kandungan PVA dalam sampel maka sampel akan berwarna

lebih terang (keabuan). Hal tersebut menandakan semakin gelap sampel anoda maka

kandungan logam di dalamnya semakin banyak karena warna dasar logam Ni dan Cr

yang berwarna gelap sedangkan PVA berwarna putih.

4.1.3. Proses Sintering Anoda

Anoda hasil pressing akan dilanjutkan ke proses sintering. Proses sintering dilakukan

untuk menyatukan butir – butir logam Ni dan Cr yang terkandung dalam campuran

dengan membentuk necking antar butir logam tersebut. Binder yang terkandung dalam

campuran tersebut akan menguap akibat temperatur furnace yang beroperasi di atas

temperatur pirolisis PVA. Gambar 4.4 menunjukkan penurunan massa PVA seiring

dengan kenaikan temperatur yang diperoleh melalui Thermal Gravimetric Analysis

(TGA). Berdasarkan Gambar 4.4, dapat dilihat bahwa PVA terdekomposisi sempurna

secara termal pada temperatur 600oC sehingga proses sintering anoda dilakukan diatas

temperatur 600oC. Binder tersebut akan membuat pori – pori pada anoda yang di-

sintering sehingga diharapkan anoda hasil sintering memiliki porositas yang sesuai

dengan literatur yaitu 55 – 70% (Zhang dkk., 2012).

B1.1314.K.0342

Page 56: Laporan Penelitian TK4093

Gambar 4.4. Variasi penurunan % massa PVA pada percobaan TGA dengan laju

pemanasan 10oC/menit (Moldoveanu, 2005).

Proses sintering anoda dilakukan dengan laju pemanasan 4oC/menit. Laju pemanasan

ditetapkan untuk mencegah kerusakan sampel anoda. Laju pemanasan yang terlalu besar

akan mengakibatkan pemuaian pada serbuk logam Ni dan Cr atau binder yang tidak

homogen pada anoda selama proses sintering. Persebaran serbuk logam dan binder

yang tidak merata juga dapat mengakibatkan kerusakan sampel anoda selama proses

sintering. Proses sintering juga dilakukan dengan mengalirkan nitrogen ke dalam

furnace untuk membuat suasana inert di dalam furnace dan mencegah terbentuknya

oksida logam – logam tersebut seperti NiO dan Cr2O3. Sampel anoda yang terdiri dari

sebagian besar Nikel akan rentan teroksidasi karena Nikel akan mulai teroksidasi

dengan udara pada temperatur 300oC (Ferguson dkk., 2007). Laju nitrogen yang terlalu

kecil akan mengakibatkan sampel anoda teroksidasi dan berwarna hijau yang

mengindikasikan adanya kandungan NiO pada sampel tersebut. Gambar 4.5 dan 4.6

menunjukkan perbandingan antara anoda yang teroksidasi selama proses sintering dan

anoda yang tidak teroksidasi selama proses sintering.

B1.1314.K.0343

Page 57: Laporan Penelitian TK4093

(a) (b)

Gambar 4.5. Anoda hasil sintering pada temperatur 700oC (a) sebelum sintering;

(b) setelah sintering.

(a) (b)

Gambar 4.6. Anoda hasil sintering pada 700oC (a) sebelum sintering ; (b) setelah

sintering.

Berdasarkan Gambar 4.5 (b) dan 4.6 (b) terlihat bahwa laju alir nitrogen memegang

peranan penting dalam proses sintering anoda. Gambar 4.5 merupakan anoda yang di

sintering dengan menggunakan laju alir nitrogen sebesar 50 ccm sedangkan Gambar 4.6

merupakan anoda yang di sintering menggunakan laju alir nitrogen sebesar 400 ccm.

Pada Gambar 4.5 (b) dan 4.6 (b) menunjukkan adanya perbedaan pada struktur

permukaan anoda setelah di sintering dimana pada Gambar 4.5 (b) struktur permukaan

B1.1314.K.03

5 cm

5 cm 5 cm

5 cm

44

Page 58: Laporan Penelitian TK4093

anoda terlihat rapuh dan berwarna kehijauan yang menunjukkan adanya oksida pada

sampel anoda tersebut sedangkan pada Gambar 4.6 (b) struktur permukaan anoda

terlihat berwarna keabuan yang menunjukkan proses sintering telah terjadi tanpa diikuti

adanya proses oksidasi pada logam tersebut. Laju nitrogen yang lebih besar akan lebih

mampu untuk mengisi ruang furnace tersebut dan oksigen yang semula masih tertinggal

dalam furnace dapat terbawa keluar bersamaan dengan gas nitrogen yang dialiri. Laju

nitrogen yang semakin besar akan mengakibatkan penurunan konsentrasi oksigen dalam

furnace. Perhitungan konsentrasi oksigen dalam furnace dilakukan dengan asumsi

komposisi gas nitrogen 99.995% dan kandungan oksigen di udara 21% sedangkan

sisanya nitrogen. Volume furnace 33 x 28 x 18 cm. Dengan menggunakan komposisi

tersebut, diperoleh konsentrasi oksigen pada laju alir 50 ccm 17.79% sedangkan pada

laju alir 400 ccm 8.6%. Untuk memastikan bahwa sistem di dalam furnace tersebut inert

maka ruang anoda dalam furnace tersebut diperkecil dengan membangun ruang dari

susunan kiln furnace yang ditunjukkan pada Gambar 4.7.

Gambar 4.7. Ruang anoda dalam furnace yang telah diperkecil.

Anoda yang setelah mengalami proses sintering masih dapat mempertahankan bentuk

lempengnya adalah anoda dengan perbandingan logam : binder 1:1 dan 2:1. Hal

tersebut dikarenakan anoda dengan perbandingan logam : binder 4:1 dan 8:1 tidak

memiliki mechanical strength yang cukup besar sehingga sangat rapuh setelah melalui

B1.1314.K.0345

Page 59: Laporan Penelitian TK4093

proses penekanan pada 60 – 70 kN. Namun, untuk anoda dengan perbandingan logam :

binder 2:1 setelah didiamkan beberapa hari juga menjadi sangat rapuh. Hal tersebut

dapat disebabkan oleh kandungan PVA yang relatif terlalu sedikit untuk mengikat

serbuk – serbuk nikel dan krom dalam campuran.

4.1.4. Uji Porositas

Sampel anoda setelah di sintering akan diuji porositasnya untuk mengetahui apakah

memenuhi syarat anoda MCFC atau tidak. Porositas diuji dengan mengikuti prosedur

ASTM C373-88. Terdapat 14 sampel yang diuji porositasnya dan hasil pengujian

porositas ditunjukkan pada Tabel 4.3.

Tabel 4.3. Hasil uji porositas sampel anoda.

Temperatur (oC) Logam:binder Porositas (%)

6501:1 66.412:1 64.04

700

1:1 65.122:1 64.194:1 63.528:1 62.78

800

1:1 57.122:1 56.904:1 55.408:1 53.51

900

1:1 50.642:1 46.444:1 43.598:1 42.72

Berdasarkan Tabel 4.3, semakin tinggi komposisi binder maka porositas akan semakin

tinggi. Hal tersebut dikarenakan PVA yang terkandung dalam campuran akan teruapkan

secara keseluruhan dan rongga yang semula mengandung PVA akan membentuk pori

pada anoda. Selain itu, semakin tinggi temperatur sintering maka porositas akan

semakin kecil, hal tersebut dikarenakan semakin banyaknya senyawa oksida yang akan

B1.1314.K.0346

Page 60: Laporan Penelitian TK4093

terbentuk khususnya pada permukaan anoda sehingga dapat menutupi pori yang

terdapat pada permukaan anoda tersebut dan mengurangi persen porositas dari anoda

tersebut. Dari hasil uji porositas, terdapat 9 sampel yang porositasnya memenuhi kriteria

anoda konvensional yaitu:

- Sampel anoda yang di sintering pada 650oC dengan komposisi logam:binder 1:1

- Sampel anoda yang di sintering pada 650oC dengan komposisi logam:binder 2:1

- Sampel anoda yang di sintering pada 700oC dengan komposisi logam:binder 1:1

- Sampel anoda yang di sintering pada 700oC dengan komposisi logam:binder 2:1

- Sampel anoda yang di sintering pada 700oC dengan komposisi logam:binder 4:1

- Sampel anoda yang di sintering pada 700oC dengan komposisi logam:binder 8:1

- Sampel anoda yang di sintering pada 800oC dengan komposisi logam:binder 1:1

- Sampel anoda yang di sintering pada 800oC dengan komposisi logam:binder 2:1

- Sampel anoda yang di sintering pada 800oC dengan komposisi logam:binder 4:1

Sampel yang kemudian akan dianalisis lebih lanjut adalah anoda dengan komposisi

logam:binder 1:1 pada 650oC, 700oC dan 900oC. Hal tersebut dikarenakan anoda dengan

komposisi logam:binder 2:1 tidak memiliki kekuatan mekanik yang cukup besar untuk

mempertahankan bentuknya setelah proses sintering selesai dilakukan. Pemilihan anoda

dengan komposisi logam:binder 1:1 yang di sintering pada suhu 900oC adalah anoda

tersebut memiliki struktur mekanik yang baik bila diamati secara kualitatif dan dapat

hasil analisis dapat digunakan sebagai pembanding apabila dilakukan proses sintering

pada suhu tinggi (>700oC).

4.2. Karakterisasi Fisik Anoda Molten Carbonate Fuel Cell (MCFC)

Setelah porositas anoda tersebut memenuhi syarat, terdapat beberapa uji untuk

memastikan apakah anoda tersebut layak untuk diaplikasikan ke fuel cell. Karakterisasi

fisik anoda MCFC dilakukan menggunakan SEM (Scanning Electron Microscopy) dan

XRD (X-Ray Diffraction).

B1.1314.K.0347

Page 61: Laporan Penelitian TK4093

4.2.1. Analisis Scanning Electron Microscopy (SEM)

Analisis SEM bertujuan untuk melihat struktur morfologi dari anoda yang dibuat.

Analisis dilakukan pada sampel anoda yang di sintering pada suhu 650oC, 700oC dan

900oC. Struktur morfologi tersebut kemudian akan dibandingkan dengan struktur

morfologi anoda standar. Perbesaran yang diamati yaitu 10000x. Gambar 4.8

menunjukkan hasil SEM pada anoda konvensional sedangkan Gambar 4.9 menunjukkan

hasil SEM pada anoda yang dibuat.

Gambar 4.8. Hasil analisis SEM pada anoda konvensional dengan perbesaran 10000x.

(Sempurna 2014)

(a)

B1.1314.K.0348

Page 62: Laporan Penelitian TK4093

(b)

(c)

Gambar 4.9. Hasil analisis SEM anoda pada perbesaran 10000x dengan perbandingan

alloy:binder 1:1 pada temperatur (a) 650oC; (b) 700oC; (c) 900oC.

Berdasarkan Gambar 4.9, uji SEM menunjukkan terjadinya necking pada butir – butir

logam yang terkandung dalam sampel anoda yang artinya proses sintering berlangsung.

Secara teoritis, peristiwa necking akan meningkatan mechanical strength dari anoda

(Graham dkk., 1997) namun yang dijumpai pada percobaan justru sebaliknya. Hal

tersebut dikarenakan senyawa oksida yang terbentuk akan menurunkan mechanical

strength pada anoda dan semakin tinggi temperatur akan menyebabkan senyawa oksida

yang terbentuk semakin banyak apabila sistem tidak inert. Adanya peristiwa necking

pada sampel anoda menunjukkan kemiripan dengan anoda konvensional, namun

perbedaannya terdapat pada struktur morfologinya. Gambar 4.8 menunjukkan butir –

butir halus dengan sedikit butir kasar sedangkan pada Gambar 4.9 menunjukkan

B1.1314.K.0349

Page 63: Laporan Penelitian TK4093

dominannya butir kasar pada sampel anoda. Hal tersebut menandakan bahwa

permukaan sampel anoda ditutupi oleh senyawa oksida yang terbentuk selama proses

sintering berlangsung. Butir halus tersebut menunjukkan logam sedangkan butir kasar

menunjukkan senyawa oksida. Hal tersebut dapat dibuktikkan pada Gambar 4.10 dan

Gambar 4.11 yang menunjukkan perbedaan struktur morfologi logam murni dengan

logam oksida yang dianalisis menggunakan SEM.

Gambar 4.10. Hasil analisis SEM serbuk nikel 99%

(Sumber: Systems Engineering Consultants Co., LTD., 2011)

Gambar 4.11. Hasil analisis SEM serbuk nikel oksida (Dongmok dkk., 2009)

Semakin tinggi temperatur sintering, maka berdasarkan analisis SEM pada Gambar 4.9,

semakin banyak oksida yang terbentuk. Hal ini dikarenakan jumlah oksigen pada 900oC

akan lebih tinggi dibandingkan dengan 650oC sesuai dengan persamaan gas ideal

dimana volume gas sebanding dengan temperatur. Semakin tinggi temperatur maka

volume gas akan semakin tinggi sehingga semakin banyak oksigen yang terkandung dan

B1.1314.K.0350

Page 64: Laporan Penelitian TK4093

dapat menyebabkan reaksi oksidasi terjadi antara gas oksigen tersebut dan sampel

anoda.

Berdasarkan Gambar 4.9, dapat dilihat juga persebaran pori yang tidak merata pada

permukaan anoda dimana terdapat pori yang berukuran lebih besar dibandingkan pori

lainnya. Hal tersebut dapat dikarenakan PVA yang tersebar secara tidak merata ataupun

terdapat pori yang tertutup senyawa oksida yang terbentuk akibat terjadinya

overlapping dimana senyawa nikel sudah mulai teroksidasi menjadi senyawa nikel

oksida sedangkan kandungan PVA masih belum terdekomposisi. Overlapping tersebut

terjadi mulai dari temperatur 300oC, Gambar 4.12, dimana nikel mulai teroksidasi

sedangkan PVA baru terdekomposisi 45%. Pori – pori yang semakin kecil dapat dilihat

pada Gambar 4.9 (c) yaitu pada anoda yang disintering pada suhu 900oC karena

senyawa oksida yang semakin banyak terbentuk dan menutupi pori sampel anoda.

Gambar 4.12. Kurva termogravimetri serbuk nikel pada laju pemanasan 4oC/menit

dengan udara (Kang dkk., 2013).

4.2.2. Analisis X-Ray Diffraction (XRD)

XRD bertujuan untuk mengetahui senyawa apa saja yang terkandung dalam sampel.

Senyawa yang tidak diharapkan pada sampel anoda adalah senyawa oksida. Hasil XRD

dari sampel anoda kemudian dibandingkan dengan sampel anoda standar untuk

B1.1314.K.0351

Page 65: Laporan Penelitian TK4093

membandingkan senyawa – senyawa yang terkandung. Gambar 4.13 menunjukkan hasil

XRD untuk anoda standar.

Gambar 4.13. Hasil XRD anoda standar. (Sempurna, 2014)

Berdasarkan Gambar 4.13, dapat dilihat bahwa pada anoda standar tidak mengandung

senyawa oksida sama sekali. Hasil XRD untuk sampel anoda yang telah di sintering

ditunjukkan pada Gambar 4.14.

0 10 20 30 40 50 60 70 80 900.00%

20.00%

40.00%

60.00%

80.00%

100.00%

120.00%

Inte

nsita

s

(a)

B1.1314.K.03

Intensitas (%)

NiO Ni Cr

52

Page 66: Laporan Penelitian TK4093

0 10 20 30 40 50 60 70 80 900.00%

20.00%

40.00%

60.00%

80.00%

100.00%

120.00%

Sudut (2θ)

Inte

nsita

s

(b)

0 10 20 30 40 50 60 70 80 900.00%

20.00%

40.00%

60.00%

80.00%

100.00%

120.00%

Sudut (2θ)

Inte

nsita

s

(c)

Gambar 4.14. Hasil XRD sampel anoda pada suhu sintering (a) 650oC; (b) 700oC;

(c) 900oC.

Senyawa Nikel akan muncul pada sudut difraksi 44.58o, 51.93o dan 76.43o (JCPDS, No.

01-1260) sedangkan Kromium akan muncul pada sudut difraksi 44.60o, 64.68o dan

82.35o (JCPDS, No. 01-1261). Berdasarkan Gambar 4.10, ternyata sampel anoda masih

B1.1314.K.03

NiO

NiO

Cr2O3

53

Page 67: Laporan Penelitian TK4093

teroksidasi. Hal tersebut ditunjukkan dari puncak – puncak yang terbentuk pada hasil

analisa XRD. 3 puncak yang utama menunjukkan bukan senyawa Nikel maupun

Kromium melainkan senyawa Oksida yang dominan Nikel Oksida (NiO) maupun Krom

Oksida (Cr2O3) pada seluruh permukaan sampel. Adanya senyawa oksida tersebut pada

anoda akan mengakibatkan berkurangnya sisi aktif anoda dan berakibat pada tahanan

internal yang semakin besar karena senyawa oksida bersifat isolator. Oleh karena itu,

anoda tersebut masih belum memenuhi standar anoda konvensional yang bebas dari

senyawa oksida. Nikel oksida akan muncul pada sudut difraksi 37.20o, 43.20o, 62.87o,

75.20o, 79.38o (JCPDS, No. 04-0835) sedangkan kromium oksida (Cr2O3) muncul pada

sudut difraksi 24.48o, 36.18o, 33.58o, 41.46o, 50.20o, 54.83o, 63.42o, 65.08o (JCPDS, No.

38-1479).

Dari ketiga variasi sampel anoda tersebut dapat dilihat bahwa puncak yang

menunjukkan senyawa Nikel dan Krom lebih banyak muncul pada sampel anoda yang

di sintering pada suhu 650oC dengan perbandingan logam:binder 1:1 namun intensitas

nya tidak sebesar dibandingkan senyawa Nikel dan Krom murni sedangkan yang paling

sedikit pada suhu 900oC. Hal tersebut menunjukkan bahwa semakin tinggi temperatur

sintering maka senyawa oksida yang terbentuk akan semakin banyak karena temperatur

oksidasi senyawa nikel berada pada 300oC dan menyebabkan sampel anoda terpapar

pada temperatur diatas temperatur oksidasi nikel pada saat menuju 900oC lebih lama

dibandingkan 650oC dengan laju pemanasan dan holding time yang sama. Selain itu,

kromium mulai teroksidasi pada temperature 800oC (Lillerud dan Kofstaf, 1980)

sehingga pada temperatur lebih tinggi akan terbentuk senyawa kromium oksida (Cr2O3)

sehingga akan lebih banyak senyawa oksida yang menutupi permukaan sampel anoda

yang di-sintering pada temperatur 900oC.

4.3. Karakterisasi Elektrokimia Anoda Molten Carbonate Fuel Cell (MCFC)

Karakterisasi elektrokimia anoda molten carbonate fuel cell dilakukan dengan menguji

tahanan internal anoda tersebut pada temperatur ruang dan tekanan atmosferik. Tahanan

B1.1314.K.0354

Page 68: Laporan Penelitian TK4093

internal diuji dengan menggunakan ohm meter. Tabel 4.4 menunjukkan hasil yang

diperoleh terhadap pengukuran tahanan internal pada sampel anoda.

Tabel 4.4. Hasil pengukuran hambatan internal menggunakan ohm meter.

Sampel Tahanan (ohm)

Anoda Standar 1.77 ± 0.057

Anoda 1:1 (650oC) 9.5 ± 3.4

Anoda 1:1 (700oC) 22.9 ± 2.5

Anoda 1:1 (900oC) Tidak terukur

Pengukuran hambatan dilakukan pada temperatur ruang karena tidak terdapat

perbedaaan yang signifikan terhadap hambatan anoda pada temperatur operasi (650oC).

Pada temperatur tinggi, konduktor seperti nikel (anoda) akan mengalami sedikit

peningkatan resistivitas karena saat terjadi peningkatan temperatur, ion yang terdapat di

dalam logam akan memperoleh energi dan mulai berosilasi. Osilasi ion ini akan

bertabrakan dengan elektron yang bergerak menghantarkan listrik sehingga

meningkatan hambatan pada logam (Laughlin dan Hono, 2014).

Hambatan internal pada anoda yang terukur tidak memberikan hasil yang homogen. Hal

tersebut dikarenakan distribusi senyawa oksida di permukaan anoda tidak merata

sehingga pada satu permukaan anoda, apabila hambatan diukur di tiga titik yang

berbeda maka akan memberikan nilai yang berbeda sesuai dengan komposisi senyawa

oksida yang ada pada area yang terukur tersebut. Adanya senyawa oksida membuat

tahanan yang diberikan oleh anoda semakin besar karena sifat senyawa oksida yang

merupakan insulator sehingga tidak dapat menghantar listrik dan memperbesar

hambatan pada anoda yang bersifat konduktor. Semakin tinggi temperatur, maka nilai

hambatan internal pada anoda akan semakin tinggi karena permukaan anoda yang

tertutupi oleh senyawa oksida akibat semakin banyaknya oksida yang terbentuk.

Senyawa oksida tersebut merupakan insulator yang menghambat hantaran listrik. Pada

anoda dengan komposisi logam:binder 1:1 yang disintering pada temperatur 900oC

tidak terukur hambatannya. Hambatan yang tidak terukur menandakan hambatan yang

terlalu besar sehingga melampaui kapasitas alat ohm meter yang digunakan (overload)

B1.1314.K.0355

Page 69: Laporan Penelitian TK4093

dan terjadi akibat banyaknya senyawa oksida yang menutupi permukaan anoda tersebut.

Pada umumnya, anoda MCFC memiliki hambatan internal sebesar 0.3 ohm/cm2

(Williams dkk., 2010). Dibandingkan dengan anoda yang difabrikasi, nilai hambatan

internal anoda yang difabrikasi masih sangat jauh dari ideal. Perhitungan resistivity

dilakukan pada anoda yang difabrikasi pada 650oC dengan panjang anoda 5 cm dan luas

anoda 2.5 mm x 2.5 mm. Nilai resistivity berada pada rentang 7.2 x 10-4 hingga 1.6 x 10-

3 ohm.m sedangkan untuk campuran nikel krom secara umum memiliki resistivity 1.1 x

10-6 hingga 1.5 x 10-6 ohm.m (Faughn dan Serway, 2003). Resistivity adalah ukuran

yang digunakan untuk melihat seberapa kuat suatu material dapat menghantarkan arus

listrik. Semakin kecil resistivity maka suatu material akan semakin dapat

menghantarkan listrik. Berdasarkan nilai yang diperoleh, hasil resistivity anoda yang

difabrikasi menunjukkan nilai yang jauh lebih besar dibandingkan campuran nikel krom

secara umum. Oleh karena itu, sebelum anoda tersebut digunakan untuk menghantarkan

listrik, perlu diadakannya proses reduksi anoda oleh gas H2 yang bertujuan untuk

mereduksi senyawa oksida yang terdapat pada permukaan anoda sehingga dapat

mengurangi hambatan internal dan dapat digunakan untuk menghantarkan listrik.

Proses reduksi anoda akan mengurangi kandungan NiO yang terkandung di dalam

sampel anoda. Berdasarkan Osuwa dan Onyejiuwa (2013), semakin tipis lapisan NiO

maka konduktivitas elektrik akan semakin meningkat. Osuwa dan Onyejiuwa (2013)

juga menyatakan, pengurangan lapisan NiO sebesar 0.2 μm akan meningkatkan

konduktivitas elektrik sebanyak ±20%. Tabel 4.5 menunjukkan hasil percobaan yang

dilakukan oleh Osuwa dan Onyejiuwa (2013).

Tabel 4.5 Hubungan konduktivitas elektrik dengan tebal lapisan NiO (Osuwa dan

Onyejiuwa, 2013)

Tebal lapisan NiO (μm) Konduktivitas (10-4 S/m)1.40 6.51.20 7.90.80 13.00.75 18.0BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

B1.1314.K.0356

Page 70: Laporan Penelitian TK4093

5.1. Kesimpulan

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, kesimpulan yang diperoleh yaitu rasio

optimum antara logam campuran Nikel dan Krom dengan binder adalah 1:1 sedangkan

temperatur sintering yang optimum untuk dapat menghasilkan anoda molten carbonate

fuel cell adalah 650oC dengan nilai porositas 66.41%, nilai hambatan internal 9.5 ±3.4

ohm dan nilai resistivitas berada dalam rentang 7.2 x 10-4 sampai dengan 1.6 x 10-3

ohm.m.

5.2. Saran

Berdasarkan hasil penelitian, saran yang dapat diberikan untuk penelitian selanjutnya

adalah:

1. Sebaiknya media yang digunakan untuk melakukan proses sintering di purge

terlebih dahulu pada waktu yang relatif lama dan sesuai dengan dimensi media

tersebut untuk memastikan tidak ada kandungan oksigen yang tertinggal sehingga

proses oksidasi pada logam dapat diminimalisir.

2. Diperlukan adanya uji pada rangkaian fuel cell untuk melihat apakah anoda yang

difabrikasi benar – benar dapat menghasilkan listrik atau tidak sehingga dapat

dilihat performansi dari anoda yang dibuat.

3. Diperlukan uji menggunakan gas sintesis dan dibandingkan efisiensinya apabila

menggunakan gas H2 dan CO2 murni sebagai bahan bakar pada fuel cell.

B1.1314.K.0357

Page 71: Laporan Penelitian TK4093

DAFTAR PUSTAKA

B1.1314.K.0358

Page 72: Laporan Penelitian TK4093

Aldous, J., “POSCO power installs fuel cell in Indonesia”. Fuel Cell Power, 2011.American Standard for Testing and Material (ASTM), www.astm.org (diakses pada

tanggal 23 Maret 2014, pk. 14.42 WIB)Birnbaum, U.; Haines, M.; Hake, J.Fr.; Linssen, J., “Reduction of greenhouse gas

emission through fuel cell combined heat and power application: 17 th world hydrogen energy conference”, Brisbane, Australia, 2008.

Beomjoo, K.; Dohyung, K.; Junghyun, L.; Seungwon, K.; dan Heechun, L., “The operation results of a 125 kW molten carbonate fuel cell system.” KEPCO Research Institute, Daejeon 305- 760, Republic of Korea. 2011.

Capart, R.; Fagbemi, L.; Gelus, M., “An experimental study of wood pyrolysis: a basis for predicting the gas product from the framatome process”, International Congress on Renewable Energy Sources (1986), Madrid-Spanyol.

Ciferno, J. P.; Marano, J. J., “Benchmarking biomass gasification technologies for fuels, chemicals and hydrogen production”, U.S. Department of Energy National Energy Technology Laboratory, 2002.

Crain, E.R., “Crain’s Petrophysical Handbook”, http://www.spec2000.net/09-xrd.htm (diakses pada tanggal 23 Maret 2014, pk. 10.38 WIB)

Chris, R.; Scott, S., “Introduction to Fuel Cell Technology”, Department of Aerospace and Mechanical Engineering, University of Notre Dame, Notre Dame, 2003.

Dhanaraj, P.V.; Rajesh, N.P., “Studies on growth, crystal structure and characterization of novel organic nicotinium trifluoroacetate single crystals”, http://www.intechopen.com/books/ doi:10.5772/53795. (diakses pada tanggal 10 April 2014, pk. 15.06 WIB)

Dokyol, L.; Dohwon, J.; Insung, L.; Kyungrae, B.; Heechun, L., “Simplified cost effective sintering processes for creep resistance Ni-10wt.%Cr MCFC anodes”, METALS AND MATERIALS International, 9(6) (2003), 605-611.

Dongmok, L; Wooyeon, K.; Jeshin, P.; Wonbaek, K; Injin, S., “Mechanical properties and consolidation of a nanocrystalline Al2O3 – reinforced Ni compositefrom mechanically synthesized powders by rapid sintering”, Journal of Ceramic Processing Research 10(4) (2009), 529-533.

EG&G Technical Service, Inc, “Fuel cell handbook 7th edition”, U.S. Department of

Energy, West Virginia, 2004. ESDM, Migas. “Tiap hari, Indonesia rogoh US$ 100 juta untuk impor minyakdan

BBM” Kamis, 13 Februari 2014. http://www.migas.esdm.go.id/wap /?op= Berita&id=3520 (diakses pada 21 Februari 2014, pk. 08.23 WIB)

Faughn, J. S.; Serway, A. S., “College physics” Pacific Grove, CA: Thomson Learning Inc., 2003.

Feng, Y.; Si-yi, L.; Zhi-quan, H.; Bo, X.; Gong, C., “Hydrogen-rich gas production by steam gasification of char from biomass fast pyrolysis in a fixed-bed reactor: Influence of temperature and steamon hydrogen yield and syngas composition”, Bioresource Technology, 101 (2010), 5633-5637.

Ferguson, J.D.; Spencer, J.A.; Berube, G.M.; Jordan, J.D., “Particle atomic layer deposition”, Advanced Packaging – The International Magazine for Electronic Packaging Applications, January/February ed. 32-37, 2007.

Gill, T. K.; Massy-Westropp, N. M.; Taylor, A. W.; Bohannon, R. W.; Hill, C. L., “Hand grip strength: age and gender stratified normative data in a population-

B1.1314.K.0359

Page 73: Laporan Penelitian TK4093

based study”, BMC Research Notes, doi: 10.1186/1756-0500-4-127, 2014. Graham, A. H.; Cimino, T. M.; Rawlings, A. J.; Rutz, H. G., “The effect of nickel

content, sintering temperature and density on the properties of a warm compacted 0.85 w/0 molybdenum prealloy”, International Conference on Powder Metallurgy & Particulate Materials, Chicago-Amerika Serikat, 1997.

Higman C.; Burgt, M., “ Gasification”, 2nd edition, Elsevier Inc., United Kingdom, 2008.

Jingtao, M.; Ge B.; Xiuping, L.; Changseng, D., “Preparation and electrochemical performance of hydrogen electrode and electrolyte for SOFC by tape casting and lamination”, China: State Key Laboratory of New Ceramics and Fine Processing, Institute of New and Nuclear Energy Technology, Tsinghua University, Beijing, 2010.

Kang, S, L.; Jo, G.; Lee, K., “Effect of passication on the sintering behavior of submicron nickel powder compacts for MLCC application”, Journal of Korean Powder Metallurgy Institute 20(6), 405-410, 2013.

Laughlin, D. E.; Hono, K., “Physical metallurgy”, 5th edition, Elsevier, Amsterdam, The Netherlands, 2014.

Lillerud, K. P.; Kofstaf, P., “On high temperature oxidation of chromium”, Journal of Electrochem. Soc. 127(11) (1980), 2397 – 2410.

Mingoo, K.; Shinae, S.; Seongcheol, J.; Inhwan, O.; Jonghee, H.; Shungpil, Y.; Sunghyun, K.; Seonggeun, O., “Fabrication of electrolyte-impregnated cathode by dry casting method for molten carbonate fuel cells”, Korean Journal Chemical Engineering 29(7) (2012), 876-885

Muliawati, N., “Hidrogen sebagai Sel Bahan Bakar : Sumber Energi Masa Depan”, 2008.

Moldoveanu, S.C., “Analytical pyrolysis of synthetic organic polymers” vol. 25, Elsevier B.V., The Netherlands, 2005.

Nasution, R., “Karakterisasi elektrokimia berdasarkan spektroskopi impedansi melalui pendekatan equivalent circuit pada molten carbonate fuel cell (MCFC)”, Tesis Magister, Institut Teknologi Bandung, 2013.

Osuwa, J. C.; Onyejiuwa, G. I., “Structural and electrical properties of annealed nickel oxide (NiO) thin films prepared by chemical bath deposition”, Journal of Ovonic Research 9(1), 9-15, 2013.

Palilla, F. C., “Process for the preparation of homogenous metal oxide varistors”, US Patent 4575440 A, 1986.

Pusat Data dan Informasi Pertanian, Departemen Pertanian Republik Indonesia, http://deptan.go.id (diakses pada 22 Februari 2014, pk. 23.11 WIB)

Scribner Associates, “Electrochemical Impedance Spectroscopy (EIS): a powerful and cost-effective tool for fuel cell diagnostics”, North California, 2010.

Sempurna, F. I., “Pengaruh komposisi gas produk gasifikasi terhadap kinerja dan daya tahan molten carbonate fuel cell (MCFC)”. Tesis Magister, Institut Teknologi Bandung, 2014.

Suhada, H., “Fuel cell sebagai penghasil energi abad 21”, Jurnal Teknik Mesin 3(2) (2001) 92-100.

Tao, J., “Effect of molecular weight and solution concentration on electrospinning of PVA” Tesis Magister, Worcester Polytechnic Institute, 2003.

Yunsung, K.; Junheok, L.; Haisoo, C., “Creep Mechanism of Porous MCFC Ni Anodes

B1.1314.K.0360

Page 74: Laporan Penelitian TK4093

Strengthened by Ni3Al”, American Institute of Chemical Engineers (AIChE) Journal 52 (2006), 359-365.

U.S. Department of Energy, “Fuel Cell Technologies Program”, www.eere.energy. gov/ hydrogenandfuelcells/tech_validation/, 2012. (diakses pada 20 Februari 2014, pk. 19.10 WIB)

U.S. Department of Energy, “How Fuel Cell Works?”, www.fueleconomy.gov/ feg/fcv_PEM, 2012. (diakses pada 20 Februari 2014, pk. 21.00 WIB)

Williams, M. C.; Krist, K.; Garland, N., “Fuel cell seminar 2009”, The Electrochemical Society, New Jersey, USA, 2010.

Zhang, J.; Liu, H.; Sun, X.; Zhang, L.; Liu, R., “Electrochemical technologies for energy storage and conversion”, Wiley-VCH Verlag & Co, KGaA, Weinheim, Germany, 2012.

B1.1314.K.0361

Page 75: Laporan Penelitian TK4093

DAFTAR SIMBOL

B1.1314.K.0362

Page 76: Laporan Penelitian TK4093

m : massa [kg]n : bilangan bulat 1,2,3,.... [-]W1 : massa kering [kg]W2 : massa spesimen di dalam air [kg]W3 : massa spesimen jenuh air [kg]V : tegangan [Volt]V : volume [m3]

Greek : panjang gelombang sinar X [m] : sudut difraksi [rad]ω : frekuensi sudut [rad/s]ρ : massa jenis [kg/m3]

B1.1314.K.0363

Page 77: Laporan Penelitian TK4093

LAMPIRAN A

PROSEDUR OPERASI ALAT PERCOBAAN DAN MSDS

B1.1314.K.0364

Page 78: Laporan Penelitian TK4093

Judul Penelitian Karakterisasi Elektrokimia untuk Molten Carbonate Fuel Cell (MCFC) Berbasis Gas Sintesis Hasil Gasifikasi Biomassa

Nama Mahasiswa Ivan Rene SoejatmikoValerius Vandru Hartanto

NIM: 13011052 13011057

Dosen Pembimbing Dr. Hary Devianto dan Dr. Dwiwahju Sasongko

N

o

Baha

n

Sifat Bahan Tindakan Penanggulangan

1 Serbuk nikel (Ni)

Tidak mudah terbakar

Tidak mudah meledak

Tidak reaktif Tidak berbau

Berwujud serbuk (padat)

Bersifat racun, berbahaya terhirup, terkena mata, atau terkena kulit

Selalu pastikan sistem ventilasi memadai dan jangan sampai terihirup

Hindari kontak dengan kulit, mata, dan pakaian

Selalu cuci tangan setelah penanganan

Simpan bahan pada tempat yang sejuk, kering, sirkulasi udara baik, dan tertutup

2 Serbuk krom (Cr)

Titik leleh: 1900 oC Specific gravity:

7,14 Berwujud padatan

Kontak dengan kulit dan mata menyebabkan iritasi

Hindari kontak langsung dengan kulit

Letakan di tempat tertutup Hindari kontak dengan air

6 PVA Specific gravity: 1,19 – 1,31

Titik leleh: 200 oC Berwujud padatan

Stabil Tidak berasa Terbakar pada

temperatur tinggi

Hindari kontak langsung dengan kulit

Letakan di tempat tertutup Jangan sampai terhirup

7 O2 OksidatorKontak dengan bahan bakar dapat menimbulkan kebakaran

Tidak berbau Tidak berwarna Berwujud gas

Hindari kontak dengan sumber api, seperti api rokok, dll.

Letakkan di tempat dengan ventilasi cukup

Letakkan berjauhan dari hidrogen

Selalu pastikan tabung gas tertutup/tidak bocor.

Pastikan sambungan selang tidak bocor

8 H2 ReduktorMudah terbakarMudah meledak

Tidak berwarna Tidak berbau Specific

gravity: 0,0696

Hindari kontak dengan sumber api, seperti api rokok, dll.

Letakkan di tempat dengan ventilasi cukup

Letakkan berjauhan dari oksigen

Selalu pastikan tabung gas tertutup/tidak bocor.

Pastikan sambungan selang tidak bocor

B1.1314.K.0365

Page 79: Laporan Penelitian TK4093

Kecelakaan yang mungkin terjadi Penanggulangan

Kebocoran gas, baik hidrogen maupun O2

Segera tutup keran regulator tabung gas dan buka ventilasi udara sebesar-besarnya, jangan sampai ada sumber api di sekitarnya

Ledakan akibat kontak antara H2 dan O2

Padamkan api bila memungkinkan, tutup jendela laboratorium, matikan listrik, segera evakuasi diri dari laboratorium

Tabung gas jatuh menimpa anggota tubuh

Angkat tabung gas dan kembalikan ke posisi semula, lakukan pertolongan pertama, apabila diperlukan segera memeriksakan diri ke rumah sakit

Iritasi mata Buka mata dan alirkan air secara kontinu selama minimal 15 menit, bawa ke rumah sakit terdekat. Penolong harus mendapatkan pemeriksaan medis

Iritasi kulit Aliri dengan air secara kontinu selama minimal 15 menit, tanggalkan pakaian yang ikut terkontaminasi, bawa ke rumah sakit terdekat, penolong harus mendapatkan pemeriksaan medis

Hubungan pendek pada alat Cabut sumber listrik dengan menggunakan sarung tangan kain kering, apabila sumber listrik terbakar gunakan tabung pemadam kebakaran yang tersedia di laboratorium

Perlengkapan keselamatan kerja

Sarung tangan Jaslab Masker Goggle

B1.1314.K.0366

Page 80: Laporan Penelitian TK4093

Prosedur Keselamatan Kerja

Bandung, 24 Juni 2015

B1.1314.K.03

Pasca Percobaan Dinginkan oven dan furnace secara

bertahap Tutup valve tabung gas Putuskan sambungan listrik pada semua

peralatan yang menggunakan listrik

Run berjalan Hindari komponen oven/ furnace

yang panas Hindari tekanan tabung gas terlalu

tinggi Hindari menyentuh bahan yang

panas secara langsung Hindari kebocoran gas N2

Persiapan Peralatan Lakukan pemanasan oven dan

furnace dengan hati-hati serta pastikan sambungan listrik tersambung sempurna

Lakukan pemasangan dan pengecekan ulang pada sambungan selang gas Nitrogen

Persiapan Bahan Penyiapan bahan berupa serbuk

menggunakan alat pelindung diri yang lengkap karena bahan serbuk dapat mengenai kulit, mata, dan mata.

Hati-hati saat menggerus bahan dengan ball mill karena ball mill cukup berat dan dapat terlepas dari tangan

67

Ketua Satuan Tugas Keselamatan Kerja,

Dr. Hary Devianto

Dosen Pembimbing I,

Dr. Hary Devianto

Dosen Pembimbing II,

Dr. Dwiwahju Sasongko

Page 81: Laporan Penelitian TK4093

LAMPIRAN B

HAZARD AND OPERABILITY (HAZOP) ALAT

PERCOBAAN

Judul Penelitian Karakterisasi Elektrokimia untuk Molten Carbonate Fuel Cell (MCFC) Berbasis Gas Sintesis Hasil Gasifikasi Biomassa

Nama Mahasiswa Ivan Rene SoejatmikoValerius Vandru Hartanto

NIM : 13011052 13011057

Dosen Pembimbing Dr. Hary Devianto dan Dr. Dwiwahju Sasongko

No. Guide Word+Parameter

Penyebab Konsekuensi Safeguard Tindakan yang dibutuhkan

1 No H2 Flow Ada kebocoran pada sambungan gas atau penyumbatan di dalam pipa atau selongsong tubular

Potensi kebakaran apabila ada pemicu api dan kontak dengan oksigen

Akumulasi tekanan di dalam pipa yang menyebabkan

Regulator, flowmeter atau rotameter

Peletakan tabung hidrogen di dekat jendela dan jauh dari tabung oksigen

Memasang pressure indicator

B1.1314.K.0368

Page 82: Laporan Penelitian TK4093

furnace over pressure

2 More furnace temperature

Temperatur yang terbaca pada peralatan terlalu tinggi

Kerusakan pada peralatan akibat temperatur yang terlalu tinggi

Temperatur indicator

Pengecekan temperatur berkala secara konvensional

3 Occupationalsafety

Gas beracun Bekerja pada

tekanan tinggi

Keracunan Menyebabkan luka

bakar

Penggunaan alatpelindung diri

Pastikan alat pelindung diri digunakan dengan baik saat operasi

4 Operational safety

Bekerja dengan tidak rapi dan hati-hati

Terpeleset, tertimpa tabung gas

Penggunaan alat-alat yang kokoh

Menjaga kebersihan dan peletakan peralatan dan bahan dengan rapi

Bandung, 24 Juni 2015

B1.1314.K.0369

Page 83: Laporan Penelitian TK4093

B1.1314.K.03

Ketua Satuan Tugas Keselamatan Kerja,

Dr. Hary Devianto

Dosen Pembimbing I,

Dr. Hary Devianto

Dosen Pembimbing II,

Dr. Dwiwahju Sasongko

70

Page 84: Laporan Penelitian TK4093

LAMPIRAN C

INSTRUKSI KERJA

Judul Penelitian Karakterisasi Elektrokimia untuk Molten Carbonate Fuel Cell (MCFC) Berbasis Gas Sintesis Hasil Gasifikasi Biomassa

Nama Mahasiswa Ivan Rene SoejatmikoValerius Vandru Hartanto

NIM : 13011052 13011057

Dosen Pembimbing Dr. Hary Devianto dan Dr. Dwiwahju Sasongko

1. Siapkan peralatan berupa ball mill dan wadah cetakan dry casting2. Sambungkan oven ke sumber tegangan 220 V dan set temperatur

oven3. Timbang serbuk nikel dan krom sesuai dengan rasio yang

ditentukan4. Campur serbuk nikel dan serbuk krom dalam ball mill kemudian

lakukan penggerusan 5. Ambil keseluruhan serbuk dari ball mill lalu letakan di wadah

cetakan keramik dan ratakan dengan menekan dengan tekanan 60 kN/m2

6. Ambil cetakan dari dalam oven dan diletakan pada furnace7. Sambungkan furnace ke sumber listrik dan set temperatur dengan

variasi tertentu lalu alirkan gas nitrogen8. Turunkan temperatur furnace secara perlahan hingga mencapai

temperatur ruang9. Ambil sampel anoda dari furnace10. Setiap potongan diambil citranya dengan SEM11. Setiap potongan dihitung porositasnya dengan metoda ASTM

C373 88 dimulai dengan menimbang berat anoda dan catat sebagai W1

12. Ikat anoda dengan benang dengan hati-hati namun kuat lalu celupkan ke dalam air, diamkan dalam air hingga tidak ada udara keluar

13. Timbang wadah air dengan anoda di dasar wadah tersebut, catat berat tertera sebagai p1

14. Pada saat wadah air di atas timbangan, angkat anoda dengan menarik tali, catat berat tertera saat anoda tepat akan keluar sebagai p2

15. Keluarkan anoda dan biarkan air menetes secukupnya lalu catat berat wadah air tanpa anoda yang tertera sebagai p3

16. Timbang anoda basah dan catat sebagai p417. Keringkan kembali anoda di dalam oven selama 24 jam 18. Persiapkan peralatan uji hambatan internal19. Anoda yang sudah kering dan didinginkan di pasang ke ohm

meter dan dilakukan pengukuran hambatan internal

B1.1314.K.0371

Page 85: Laporan Penelitian TK4093

Cara pengoperasian furnace:1. Sambungkan kabel furnace ke sumber listrik2. Nyalakan furnace3. Tekan tombol MD selama 3 detik4. Tekan tombol “up” dan pindahkan hingga rapU yang menandakan

laju kenaikan suhu dari suhu awal ke suhu yang di set dengan mengatur waktu.

5. Tekan tombol MD selama 3 detik6. Tekan tombol OUT7. Atur suhu yang diinginkan dengan menekan tombol “up” atau “down” .8. Apabila suhu furnace ingin diturunkan, tekan tombol SVD selama 3

detik dan tekan tombol “up” hingga rapD yang menandakan laju penurunan suhu dari suhu yang di set ke suhu yang diinginkan.

9. Tunggu hingga furnace mencapai suhu dibawah 200oC10. Matikan furnace11. Lepaskan kabel furnace dari sambungan listrik

CATATAN KESELAMATAN 1. Selalu pastikan bahwa meja dan daerah di sekitar Anda sudah

bersih dan kering sebelum meninggalkan ruangan laboratorium. 2. Selalu pastikan penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) berupa jas

lab, sarung tangan, goggle, dan masker. 3. Selalu pastikan bahwa sambungan listrik dan gas O2 yang

berhubungan dengan alat telah terlepas semua jika tidak digunakan.

B1.1314.K.0372

Page 86: Laporan Penelitian TK4093

LAMPIRAN D

JOB SAFETY ANALYSIS

Judul Penelitian Karakterisasi Elektrokimia untuk Molten Carbonate Fuel Cell (MCFC) Berbasis Gas Sintesis Hasil Gasifikasi Biomassa

Nama Mahasiswa Ivan Rene SoejatmikoValerius Vandru Hartanto

NIM : 13011052 13011057

Dosen Pembimbing Dr. Hary Devianto dan Dr. Dwiwahju Sasongko

Identifikasi Bahaya Mitigasi ResikoSambungan selang gas oksigen/hidrogen yang terlepas

Naikkan tekanan aliran secara perlahan dan bertahap

Furnace yang panasGunakan sepatu tertutup dan sarung tangan

Adanya debu saat bekerja dengan serbuk-serbuk bahan mentah katoda

Gunakan masker selama percobaan

Paparan panas dari oven atau furnance

Gunakan sarung tangan dan jaga jarak dengan alat yang sedang beroperasi

Paparan ke tekanan tinggiJangan berdiri terlalu dekat dengan selang bertekanan

Keteraturan alatPastikan alat-alat berada pada tempatnya sebelum memulai kegiatan

B1.1314.K.0373

Page 87: Laporan Penelitian TK4093

Bandung, 19 Mei 2014

B1.1314.K.03

Ketua Satuan Tugas Keselamatan Kerja,

Dr. Hary Devianto

Dosen Pembimbing I,

Dr. Hary Devianto

Dosen Pembimbing II,

Dr. Dwiwahju Sasongko

74