laporan penelitian eksistensi dan...
TRANSCRIPT
-
1
LAPORAN PENELITIAN
EKSISTENSI DAN TANGGUNGJAWAB MAJELIS ULAMA INDONESIA (MUI)
DALAM PENERAPAN SERTIFIKASI SERTA LABELISASI HALAL
PRODUK PANGAN DI INDONESIA
EXISTENCE AND RESPONSIBILITY OF MAJELIS ULAMA INDONESIA(MUI)
IN APPLICATION AND CERTIFICATION LABELING HALAL FOOD PRODUCTSIN INDONESIA
Oleh :
Rosi Rosmawati S.H., M.H.Dr. Hj. Renny Supriyatni, S.H.,M.H.
Berdasarkan SK Rektor Universitas PadjadjaranNomor: 2167/UN6.A/KP/2011
Tanggal 01 Juli 2011
FAKULTAS HUKUMUNIVERSITAS PADJADJARAN
TAHUN 2011
-
2
EKSISTENSI DAN TANGGUNGJAWAB MAJELIS ULAMA INDONESIA (MUI)
DALAM PENERAPAN SERTIFIKASI SERTA LABELISASI HALAL
PRODUK PANGAN DI INDONESIA
Abstrak
Sertifikasi halal dilakukan untuk memberikan kepastian status kehalalan suatu
produk sehingga dapat menentramkan batin para konsumen yang mengkonsumsinya,
terutama konsumen muslim. Konsumen mendapat kepastian dan jaminan bahwa produk
tersebut tidak mengandung sesuatu yang tidak halal dan juga diproduksi dengan cara
yang halal. Jaminan kualitas dan mutu akan berjalan beriringan untuk melindungi
kepentingan konsumen dan dalam usaha mewujudkan ketenangan ber-produksi bagi
produsen. Permasalahan dalam praktik, pengaturan dan penerapan serta tanggungjawab
MUI terhadap penyalah gunaan pelaku usaha dalam sertifikasi serta labelisasi halal
produk pangan. Penelitian bertujuan untuk memperoleh gambaran dalam praktik,
pengaturan dan penerapan sertifikasi dan labelisasi halal dalam produk pangan serta
menentukan tanggungjawab MUI terhadap penyalahgunaan pelaku usaha dalam
penerapan sertifikasi dan labelisasi halal produk pangan.
Penelitian yang dilakukan merupakan penelitian deskriptif analitis dengan
pendekatan yuridis normatif. Pengumpulan data dan informasi diperoleh dari penelitian
kepustakaan dan penelitian lapangan, dan selanjutnya dianalisis secara yuridis kualitatif.
Berdasarkan hasil penelitian, menunjukkan bahwa pengaturan dan penerapan
sertifikasi serta labelisasi halal produk pangan telah diatur dalam Hukum Positif, yaitu
melakukan pembinaan dan pengawasan dalam hal ketersediaan pangan yang memenuhi
persyaratan keamanan, mutu dan gizi bagi kepentingan kesehatan manusia, terciptanya
perdagangan pangan yang jujur (informasi yang benar). Tanggung jawab LP-POM MUI
adalah dalam melakukan telaah dan mengeluarkan Fatwa/Ketetapan (Beschiking)
mengenai izin produksi kepada pelaku usaha termasuk memberikan informasi yang benar
dan jaminan produk halal sesuai syariat Islam. Selain itu, merupakan pelaksanaan dari
tanggung jawab secara profesinal. Saran kepada Pemerintah, segera mengesahkan
Rancangan Undang-undang Jaminan Produk Halal, dan Sertifikasi halal menjadi
kewenangan MUI, karena merupakan ranah Hukum Islam. Hal ini meliputi; Pemeriksaan
(Auditing); Penetapan Fatwa oleh Komisi fatwa MUI; Standarisasi Lembaga, dan Sistem
Jaminan Halal.
Kata-kata kunci: Eksistensi, Tanggungjawab, Majelis Ulama Indonesia, Sertifikasi &
Labelisasi Halal, dan Produk Pangan.
-
3
EXISTENCE AND RESPONSIBILITY OF MAJELIS ULAMA INDONESIA (MUI)
IN APPLICATION AND CERTIFICATION LABELING HALAL
FOOD PRODUCTS IN INDONESIA
Abstract
Halal certification done to provide assurance of the halal status of a product so
as to appease the mind of the consumers who consume them, especially the Muslim
consumer. Consumers can ensure and guarantee that the product does not contain
anything that is not kosher and is also produced in a way that kosher.Quality assurance
and quality will go hand in hand to protect the interests of consumers and businesses to
realize peace in the air-production for manufacturers. Problems in practice, and
application settings as well as the responsibility of the MUI against misuse of business
actors in the halal certification and labeling of food products. The research aims to
obtain a picture in the practice, regulation and application of halal certification and
labeling of food products and determine the responsibilities of the MUI against misuse of
business actors in the implementation of certification and labeling of halal food products.
Research carried out a descriptive analytical study with a normative juridical
approach. The collection of data and information obtained from research literature and
field research, and subsequently analyzed by juridical qualitative.
Based on this research, suggests that the arrangement and application of halal
certification and labeling of food products has been regulated in the Positive Law, which
is conducting coaching and supervision in terms of food availability that meets the
requirements of safety, quality and nutrition for the benefit of human health, the creation
of fair food trade (information right).The responsibility of LP-POM MUI is in doing the
study and issued a Fatwa / Assessment (Beschiking) concerning production license to the
business, including providing the right information and the assurance of halal products
according to Islamic law. In addition, the implementation of responsibilities profesinal.
Advice to the Government, immediately endorsed the draft law Halal Product Assurance,
and the authority of the MUIs halal certification, because it is the domain of Islamic
law. This includes: Inspection (Auditing); Determination of MUI fatwas Fatwas by the
Commission; Standards Institute, and the Halal Assurance System.
Key words: Existence, Responsibility, the Indonesian Ulema Council, Halal certification
& labeling, and food products.
-
4
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, penulis panjatkan puji dan syukur kepada Allah Swt. yang telah
memberikan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga dapat menyelesaikan Laporan Penelitian
ini dengan judul: EKSISTENSI DAN TANGGUNGJAWAB MAJELIS ULAMA
INDONESIA (MUI) DALAM PENERAPAN SERTIFIKASI SERTA LABELISASI
HALAL PRODUK PANGAN DI INDONESIA
Laporan penelitian ini dapat diselesaikan dengan baik atas bantuan dan kerja sama
dari berbagai pihak, untuk itu dalam kesempatan ini ingin menyampaikan ucapan terima
kasih dan penghargaan yang tinggi kepada para pihak yang tidak mungkin disebutkan
satu persatu. Semoga Allah SWT. Membalas segala kebaikannya , amien.
Laporan ini masih jauh dari sempurna, untuk itu mohon kritik dan masukan yang
membangun demi kesempurnaan penelitian ini. Semoga bermanfaat.
Bandung, 25 November 2011
Penulis
-
5
DAFTAR ISI
HalamanLEMBAR IDENTITAS PENGESAHAN ....i
ABSTRAK .................ii
ABSTRACT ...........................iii
KATA PENGANTAR .ivDAFTAR ISI .v
BAB I PENDAHULUAN 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ....13A. Perlindungan Konsumen Pada Umumnya ...13
B. Label Pangan.16C. Ketentuan Halal Dan Haram Dalam Hukum Islam ..............................................21D. Penerapan Sertifikasi Dan Labelisasi Halal Di Indonesia ....................................35E. Prosedur Sertifikasi Halal .37F. Lembaga Pengkajian Pangan, Obat Dan Kosmetika (LP-POM) Majelis Ulama
Indonesia(MUI).....................................................................................................................41
G. Tanggung Jawab Hukum Pelaku Usaha Terhadap Konsumen Didasarkan PadaUndang-undang Perlindungan Konsumen ..42
BAB III TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN 46
BAB IV METODE PENELITIAN .47BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN ..50
A. Pengaturan Dan Penerapan Sertifikasi Dan Labelisasi Halal Dalam Produk
Pangan........................................................................................................................50
B. Tanggungjawab Majelis Ulama Indonesia (MUI) terhadap penyalah gunaan pelakuusaha dalam penerapan sertifikasi dan labelisasi halal produk pangan.....56
BAB VI KESIMPULAN ..........601. Kesimpulan . 602. Saran .....61
DAFTAR PUSTAKA .....63LAMPIRAN-LAMPIRAN
Curriculum Vitae....vi
-
6
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Manusia diciptakan Tuhan Yang Maha Kuasa, merupakan makhluk yang paling
sempurna, dikaruniai akal dan pikiran, disempurnakan dapat berkomunikasi dan
berbicara, yang membedakan manusia dengan makhluk lain yang ada di muka bumi ini.
Manusia semenjak dahulu memiliki pandangan yang berbeda dalam menilai makanan dan
minuman, baik menyangkut makanan yang diperbolehkan maupun makanan yang
dilarang, terutama makanan yang mengandung bahan yang berbahaya. Sementara
makanan dan minuman dari tumbuh-tumbuhan tidak banyak diperseselisihkan. Islam
tidak mengharamkan makanan dan minuman tersebut, kecuali jika makanan dapat
membahayakan kesehatan yan mengkonsumsinya.1
Pembangunan dan perkembangan perekonomian di bidang perindustrian dan
perdagangan nasional telah menghasilkan berbagai variasi barang dan jasa yang dapat
dikonsumsi, yaitu semakin banyaknya pilihan barang dan jasa yang ditawarkan dengan
aneka jenis dan kualitas. Kemajuan ilmu pengetahuan serta teknologi dan informasi
memperluas ruang gerak arus keluar masuknya barang dan jasa bahkan sampai melintasi
batas-batas negara. Hal ini juga berarti semakin terbuka kebebasan konsumen untuk
memilih aneka jenis dan kualitas barang dan jasa sesuai dengan keinginan dan
kemampuan konsumen. Kondisi seperti ini telah memberi banyak manfaat bagi
konsumen karena mempermudah masyarakat untuk memenuhi kebutuhan akan produk
barang dan jasa. Namun di sisi lain, hal ini dapat mengakibatkan kedudukan pelaku usaha
1 Yusuf Qhardawi, Halal dan Haram, Robbani Press, Jakarta, 2002, hlm. 5.
-
7
dan konsumen menjadi tidak seimbang karena konsumen kerap menjadi objek aktivitas
bisnis para pelaku usaha untuk meraup keuntungan sebanyak-banyaknya melalui
berbagai promosi maupun penjualan yang seringkali merugikan konsumen.
Indonesia merupakan negara dengan penduduk yang sebagian besar menganut
ajaran agama Islam. Masyarakat muslim merupakan pangsa pasar utama di negeri ini,
dengan jumlah penduduk yang mayoritas beragama Islam maka sudah sewajarnya
mendapat perhatian yang khusus dari pemerintah. Hak-hak mereka sebagai konsumen
sudah selayaknya dijamin oleh pemerintah melalui berbagai produk peraturan perundang-
undangan. Bagi umat Islam, mengkonsumsi produk pangan yang halal merupakan suatu
kebutuhan yang mutlak karena merupakan perintah dalam agama Islam, tidak hanya
bersifat anjuran tapi merupakan kewajiban yang harus dilakukan oleh umat Islam.2
Ajaran Islam melihat makanan dan minuman halal sebagai faktor yang amat penting bagi
kehidupan umat manusia, di samping ibadah-ibadah lainnya.
Di era globalisasi perkembangan perekonomian terutama di bidang perindustrian
dan perdagangan nasional sekarang, telah menghasilkan berbagai bentuk barang dan jasa
yang dapat dikonsumsi. Kondisi ini pada satu pihak menguntungkan konsumen, karena
kebutuhan konsumen akan barang dan jasa yang diinginkan dapat terpenuhi, serta
semakin lebar kebebasan konsumen untuk memilih aneka jenis dan kualitas barang dan
jasa sesuai dengan kemampuan konsumen. Di lain pihak, kondisi tersebut mengakibatkan
kedudukan konsumen dengan pelaku usaha tidak seimbang dan konsumen berada di
posisi yang lemah. Konsumen hanya menjadi objek, yang tidak mempunyai kekuatan
mandiri untuk menimbang suatu barang atau jasa. Ketika mendapati masalah, biasanya
2 Bahrul, Halal Pelindung Akidah Umat, (http://www.pkesinteraktif.com/lifestyle/halal/111-halal-pelindung-akidah-umat.html).
-
8
konsumen hanya diam. Sementara itu, pelaku usaha lebih tahu persis keadaan, kondisi
dan kualitas barang yang dihasilkan.3
Faktor penting sebagai penyebab lemahnya konsumen, menurut Badan Pembinaan
Hukum Nasional (BPHN), adalah sebagai berikut:4
1. Masih rendahnya tingkat kesadaran konsumen akan haknya.2. Belum terkondisinya masyarakat konsumen karena memang sebagian
masyarakat ada yang belum tahu akan hak-haknya dan kemana haknya dapatdisalurkan jika mendapatkan kesulitan atau kekurangan dari standar barang danjasa sewajarnya.
3. Belum terkondisinya masyarakat konsumen menjadi masyarakat yangmempunyai kemauan untuk menuntut hak-haknya.
4. Proses peradilan yang rumit dan waktu yang berkepanjangan.
Hal tersebut menyebabkan kedudukan konsumen sangat lemah dikarenakan tingkat
kesadaran dan pendidikan konsumen yang relatif rendah, juga semakin diperparah oleh
etos bisnis yang tidak benar, seperti bisnis yang bertujuan memperoleh keuntungan
semata-mata, bisnis tidak memiliki nurani, dan lain sebagainya.5 Sehingga perlindungan
konsumen harus mendapat perhatian yang penting karena membanjirnya berbagai produk
baik dari luar maupun yang dihasilkan di Indonesia tidak dapat dihindari, sejalan dengan
pesatnya pertumbuhan di bidang perdagangan. Oleh karena itu pemerintah
mengupayakan perlindungan terhadap konsumen muslim dari makanan dan minuman
yang tidak halal melalui sertifikasi halal.
Sertifikasi halal dilakukan untuk memberikan kepastian status kehalalan suatu
produk sehingga dapat menentramkan batin para konsumen yang mengkonsumsinya.6
Bagi konsumen, terutama konsumen muslim, keuntungan dari sertifikat halal sudah jelas,
3 N.H.T. Siahaan, Hukum Konsumen : Perlindungan Konsumen dan Tanggungjawab Produk. PantaiRei, Jakarta, 2005, hlm. 36-37.
4 N.H.T. Siahaan, Ibid, hlm. 42.5 Neni Sri Imaniyati, Hukum Ekonomi dan Ekonomi Islam, Mandar Maju, Bandung, 2002, hlm.161.6 Jakarta Islamic Centre, Sertifikasi Halal Untuk Tentramkan Konsumen, (http://www.info-
jic.org/berita-mainmenu-26/islamjakarta-mainmenu-34/1054-sertifikasi-halal-untuk-tenteramkan-konsumen), diungkapkan Lukmanul Hakim, Wakil Dirut LPPOM MUI, pada Republika di Jakarta.
-
9
mengetahui sebuah produk telah bersertifikat halal berarti keamanan dan ketenangan
batin dalam mengkonsumsi dan menggunakan produk tersebut. Konsumen mendapat
kepastian dan jaminan bahwa produk tersebut tidak mengandung sesuatu yang tidak halal
dan juga diproduksi dengan cara yang halal. Selain itu, jaminan kualitas dan mutu akan
berjalan beriringan untuk melindungi kepentingan konsumen dan dalam usaha
mewujudkan ketenangan ber-produksi bagi produsen.
Sertifikasi halal untuk produk pangan di Indonesia diawali sejak ada penelitian Dr
Tri Susanto (Universitas Brawijaya) tahun 1988 bersama mahasiswanya. Hasil penelitian
tersebut, ternyata ada makanan yang mengandung komplemen lemak babi.7Penelitian
yang diumumkan tersebut mempengaruhi kehidupan ekonomi masyarakat, terutama bagi
pengusaha produk pangan baik skala kecil, menengah maupun besar. Majelis Ulama
Indonesia (selanjutnya ditulis MUI) pada tahun 1989 mengadakan pertemuan bulan
Januari 1989, maka dibentuk lembaga yang secara khusus bertugas untuk mengaudit
produk-produk yang dikonsumsi oleh konsumen Muslim di Indonesia.8 Lembaga ini
adalah Lembaga Pengawasan dan Peredaran Obat dan MakananMajelis Ulama
Indonesia (selanjutnya ditulis LPPOM-MUI). Lembaga ini mengawasi produk yang
beredar di masyarakat dengan cara memberikan sertifikat halal sehingga produk yang
telah memiliki sertifikat halal tersebut dapat memberi label halal pada produknya.
Artinya produk tersebut secara proses dan kandungannya telah lulus diperiksa dan
terbebas dari unsur-unsur yang dilarang oleh ajaran agama Islam, atau produk tersebut
telah menjadi kategori produk halal dan tidak mengandung unsur haram dan dapat
dikonsumsi secara aman oleh konsumen Muslim.
7 Kontroversi halal dan haram, www.halalguide.com.8 LPPOM MUI, www.halalmui.go.id.
-
10
Gambaran kedudukan konsumen yang tidak seimbang dibandingkan dengan
kedudukan pelaku usaha tersebut, didalam sejarah perkembangannya maka lahir dasar
pemikiran untuk memberikan perlindungan konsumen, diantaranya: 9
1. Waspadalah konsumen (Caveat Emptor atau Let The Buyer Beware )
Dasar pemikiran ini telah dimulai pada abad pertengahan (Midle Ages). Pada masa itukonsumen harus waspada dalam mengkonsumsi barang atau jasa yang ditawarkan olehpelaku usaha, oleh karena konsumen tidak banyak memiliki peluang untuk memilihbarang atau jasa yang akan dikonsumsinya sesuai dengan selera, daya beli dankebutuhannya dan konsumen memikul sendiri resiko dari kerugian yang ditimbulkanakibat kerusakan dari produk yang dikonsumsinya. Strategi bisnis yang digunakan pelakuusaha berorientasi terutama pada kemampuannya untuk menghasilkan produk(production oriented /product out). Pada jaman Renaisance, dimana individualismetumbuh dan berkembang dasar pikiran ini semakin kokoh mempengaruhi situasiperdagangan pada masa itu.
2. Waspadalah pelaku usaha (Caveat venditor atau Let The Producer Beware).
Mulai abad ke 19 mulai disadari bahwa caveat emptor tidak dapat dipertahankan lagiuntuk melindungi konsumen. Hal ini seiring dengan perkembangan ilmu dan teknologi,konsumen mengalami peningkatan daya kritis dalam menjalani kehidupannya, termasukdalam memilih barang atau jasa yang akan dikonsumsinya. Di dalam kondisi semacamitu, pelaku usaha tidak lagi dapat bertahan pada strategi bisnisnya yang lama denganresiko barang atau jasa yang ditawarkan tidak laku di pasaran, melainkan harusmengubah strategi bisnisnya ke arah pemenuhan kebutuhan, selera dan daya beli pasar(market oriented/market in) Pada masa ini produsenlah yang harus waspada dalammemenuhi kebutuhan barang dan jasa dari konsumen, oleh karena itu dasar pemikirancaveat emptor berubah menjadi caveat venditor.
Selanjutnya, perkembangan dunia bisnis/perdagangan dewasa ini ada
kecenderungan untuk memperhatikan kembali pada caveat emptor, berdampingan dengan
caveat venditor, dengan alasan dunia bisnis/perdagangan didominasi oleh strategi untuk
mengubah pola kebutuhan konsumen, dengan sasaran bahwa konsumen akan berusaha
keras membeli sekalipun barangkali barang atau jasa tersebut tidak dibutuhkannya; tidak
sesuai dengan seleranya; serta tidak sesuai dengan kemampuan daya belinya. Di dalam
9 Johanes Gunawan, Tinjauan Hukum Terhadap UUPK Nomor 8 Tahun 1999 TentangPerlindungan Konsumen, Makalah, Astra Internasional, Jakarta, 1999, hlm, hlm. 2-3.
-
11
kondisi tersebut, di Indonesia telah lahir sebuah Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999
Tentang Perlindungan Konsumen yang esensinya mengatur perilaku pelaku usaha dengan
tujuan agar konsumen terlindungi. Bahkan dalam dasar pertimbangannya
diberlakukannya undang-undang tersebut, disebutkan, antara lain:
1. dapat menjamin peningkatan kesejahteraan masyarakat serta kepastian akanmutu,jumlah dan keamanan barang dan/atau jasa yang diperoleh di pasar;
2. dapat meningkatkan kesadaran, pengetahuan,kepedulian, kemampuan dankemandirian konsumen untuk melindungi dirinya serta menumbuh kembangkansikap pelaku usaha sehingga terciptanya perekonomian yang sehat.
Landasan hukum tentang perlindungan konsumen terdapat pada Pasal 27 Undang-
Undang Dasar 1945 yang memuat hak warga negara untuk mendapatkan penghidupan
yang layak. Hak warga negara yang tertuang dalam pasal tersebut selaras dengan hak-hak
yang diatur Guidelines for Consumer Protection of 1985 yang dikeluarkan oleh
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), yang mengatakan:10
Konsumen dimanapun mereka berada, dari segala bangsa, mempunyai hak-hak
tertentu, terlepas dari kaya, miskin apapun status sosialnya.
Salah satu hak tersebut adalah hak untuk mendapatkan perlindungan konsumen, termasuk
didalamnya perlindungan hukum bagi konsumen. Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 8
Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen (selanjutnya ditulis UUPK), dinyatakan
bahwa :
Perlindungan konsumen merupakan segala upaya yang menjamin adanya
kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen.
10 Az. Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen : Suatu Pengantar, Diadit Media, Jakarta, 2006,hlm. 3
-
12
Strategi yang dapat dilakukan untuk mendukung upaya perlindungan hukum terhadap
konsumen adalah:11
1. Voluntary self regulation yaitu perancangan dan penetapan peraturan olehpelaku usaha sendiri secara sukarela (voluntary) di dalam perusahaannya baikbarang maupun jasa.
2. Legislation yaitu perlindungan hukum terhadap konsumen yang dilakukandengan merancang dan menetapkan berbagai peraturan perundang-undangan.
3. Litigation yaitu perlindungan hukum kepada konsumen yang terakhir adalahmengajukan perkara yang terjadi antara pelaku usaha dengan konsumen kepengadilan.
Perlindungan Hak-hak konsumen diperlukan juga peran serta yang aktif dari para
konsumen apabila hak-haknya dilanggar, tetapi dalam kenyataan saat ini kesadaran para
konsumen belum berperan secara efektif untuk menjunjung tinggi haknya walaupun
dirugikan oleh pelaku usaha. Selain dari itu, teknologi yang terus berkembang dari waktu
ke waktu semakin mempermudah proses produksi barang-barang industri, termasuk
industri pangan. Sementara itu salah satu upaya yang mendukung percepatan pemasaran
produk pangan olahan industri adalah dengan mencantumkan label pada produk atau
kemasan pangan. Salah satu kegunaan label pada pada produk atau kemasan pangan
olahan industri adalah untuk memberikan informasi tentang produk pangan tersebut
kepada konsumen.
Perihal label pangan olahan industri tersebut di atas, telah diatur dalam Undang-
undang Nomor 7 Tahun 1996 Tentang Pangan (selanjutnya ditulis UUP) Jo. Undang-
undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen (selanjutnya ditulis
UUPK). Beberapa pertimbangan diundangkannya UUP tersebut, adalah:
1. untuk memberikan perlindungan bagi kesehatan rakyat;2. untuk mewujudkan system perdagangan pangan yang jujur dan bertanggung
jawab.
11 Johanes Gunawan, Hukum Perlindungan Konsumen, Program Pasca Sarjana, Universitas KatotikParahyangan Bandung, 1999 hlm. 3.
-
13
UUP memuat juga secara jelas tujuan berlakunya, yaitu:
1. Tersedianya pangan yang memenuhi persyaratan keamanan, mutu, dan gizibagi kepentingan kesehatan manusia;
2. Terciptanya perdagangan pangan yang jujur dan bertanggung jawab;3. terwujudnya tingkat kecukupan pangan dan harga yang wajar dan terjangkau
sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Salah satu ketentuan tentang Label Pangan, tercantum dalam Pasal 30 ayat (1) dan (2)
huruf e UUP yang menyatakan bahwa, Setiap yang memproduksi atau memasukkan ke
dalam wilayah Indonesia pangan yang dikemas untuk diperdagangkan wajib
mencantumkan label pada, di dalam, dan atau di kemasan pangan. Label, memuat
sekurang-kurangnya keterangan mengenai, keterangan tentang halal.
Isi Pasal 30 Undang-undang Pangan tersebut di atas, bila dikaitkan dengan
pertimbangan-pertimbangannya, kemudian disimpulkan bahwa ketentuan tentang label
pangan diberlakukan untuk melindungi masyarakat konsumen pemakai produk pangan.
Perlindungan tersebut meliputi keamanan, mutu, dan gizi bagi kepentingan kesehatan
manusia. Kebijakan pemerintah tersebut secara eksplisit dituangkan dalam Pasal 2
Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tentang Label Dan Iklan Pangan, yang menyatakan
bahwa, setiap orang yang memproduksi atau memasukkan pangan yang dikemas ke
dalam wilayah Indonesia untuk diperdagangkan wajib mencantumkan Label pada, di
dalam, dan atau di kemasan pangan. Pencantuman Label dilakukan sedemikian rupa
sehingga tidak mudah lepas dari kemasannya, tidak mudah luntur atau rusak, serta
terletak pada bagian kemasan pangan yang mudah untuk dilihat dan dibaca. Menurut
Pasal 3 Peraturan Pemerintah tersebut, menjelaskan pula bahwa, Label berisikan
keterangan mengenai pangan yang bersangkutan. Bagian utama Label pangan yang
memuat keterangan paling penting untuk diketahui oleh konsumen (Penjelasan Pasal 12
-
14
PP Nomor 69 Tahun 1999 Tentang Label Dan Iklan Pangan). Selanjutnya, Pasal 13 dan
Penjelasan Peraturan Pemerintah tersebut, menegaskan pula bahwa: Selain tiga
keterangan tersebut, maka keterangan tentang halal dapat dicantumkan pada bagian
utama label pangan, agar mudah dilihat dan dapat diketahui oleh masyarakat yang akan
membelinya (Penjelasan Pasal 13 PP).
Secara ideologis, khususnya bagi umat Islam persoalan makanan bukan hanya
harus sehat, melainkan juga harus halal. Persoalan makanan bagi umat Islam selain harus
memperhatikan aspek kesehatan, juga harus sesuai dengan tuntunan Syariat (Hukum
Islam). Makanan sehat adalah makanan yang mengandung gizi cukup dan seimbang
sebagaimana firman Allah SWT dalam Al-Quran, di antaranya QS. 16:14 yang
menganjurkan untuk mengkonsumsi daging segar dan ikan, sementara QS. 23:21 untuk
mengonsumsi daging hewan ternak berikut air susuya. Makanan yang seimbang artinya
sesuai dengan kebutuhan konsumen tidak terlalu berlebihan (tabzir) atau berkekurangan,
tidak melampaui batas yang wajar. Aman, artinya tidak menyebabkan penyakit, dengan
kata lain aman secara duniawi dan ukhrawi. Keamanan pangan (food safety) ini secara
implisit dinyatakan dalam QS. Al-Maidah:88 Dan makanlah makanan yang halal lagi
baik dari apa yang Allah telah rizkikan kepadamu, dan bertawakallah kepada Allah dan
kamu beriman kepada-Nya. Firman Allah:
"Hai orang-orang yang beriman! Makanlah yang baik-baik dari apa-apa yangtelah Kami berikan kepadamu, serta bersyukurlah kepada Allah kalau betul-betulkamu berbakti kepadaNya. Allah hanya mengharamkan kepadamu bangkai,darah, daging babi dan binatang yang disembelih bukan karena Allah. Makabarangsiapa dalam keadaan terpaksa dengan tidak sengaja dan tidak melewatibatas, maka tidaklah berdosa baginya, karena sesungguhnya Allah MahaPengampun dan Maha Belas-kasih." (al-Baqarah: 172-173)
-
15
Dalam seruan-Nya secara khusus kepada orang-orang mu'min ini, Allah SWT
memerintahkan mereka supaya suka makan yang baik dan supaya mereka suka
menunaikan hak nikmat itu, yaitu dengan bersyukur kepada Zat yang memberi nikmat.
Selanjutnya Allah menjelaskan pula, bahwa Ia tidak mengharamkan atas mereka kecuali
empat macam seperti tersebut di atas.
Sertifikat halal itu sendiri merupakan Fatwa MUI secara tertulis yang menyatakan
bahwa suatu produk sesuai dengan syariat Islam. Tujuan pelaksanaan sertifikasi halal
pada produk pangan, obat-obatan dan kosmetika adalah untuk memberikan kepastian
kehalalan suatu produk sehingga dapat menentramkan batin konsumen yang
mengkonsumsinya.12Bagi produsen, sertifikat halal akan dapat mencegah
kesimpangsiuran status kehalalan produk yang dihasilkan.13Sertifikat halal ini merupakan
syarat untuk mendapatkan izin pencantuman label halal dari instansi pemerintah yang
berwenang.14Pemegang sertifikat halal MUI bertanggungjawab untuk memelihara
kehalalan produk yang diproduksinya, dan sertifikat ini tidak dapat dipindahtangankan.15
Bila sertifikat halal sudah habis masa berlakunya, termasuk kopiannya tidak boleh
digunakan atau dipasang untuk maksud tertentu. Tiga jenis usaha pengolahan pangan
yang menjadi sasaran utama bagi sertifikasi halal yaitu:16
1. Industri Pengolahan;2. Restoran/rumah makan. Setiap restoran/rumah makan seyogyanya memiliki
sertifikat halal sebagai jaminan keamanan batin bagi konsumen. Disertifikasiadalah bahan baku dan proses yang terjadi selama pembuatan makanan, penyajiandan peralatan yang digunakan.
12 Ibid.13 Lembaga Pengkajian Pangan Obat dan Kosmetika MUI Jawa Barat, Panduan Sertifikasi Halal,
hlm. 2.14 LPPOM MUI, Ibid.15 LPPOM MUI Jawa Barat, Op. Cit, hlm. 6.16 Padli, Makanan Halal (http://padlipandiangan.blogspot.com/2009/03/makanan-halal.html).
-
16
3. Rumah potong hewan (RPH), daging yang tidak disembelih dengan benar secarasyari maupun niat hukumnya jatuh menjadi bangkai dan haram untuk dimakan.Penyembelihan yang benar mewajibkan terputusnya nadi (vena/arteri), saluranmakanan (kerongkongan), dan saluran udara (tenggorokan). Selain prosespemotongan, juga pemotongnya harus disertifikasi.
4. Makanan dalam kemasan, adalah makanan yang didistribusikan baik siap olahmaupun siap saji dalam kemasan plastik, kaleng, dan kertas. Selainperusahaannya mendapatkan sertifikat halal, juga diperlukan izin pencantumanlabel halal dari Badan POM. Pencantuman label halal tidak boleh dilakukansendiri tanpa sertifikasi dan izin.
Selanjutnya, pelanggaran yang seringkali muncul adalah dicantumkannya label
atau tanda halal pada berbagai produk tersebut belum pernah diperiksa sama sekali oleh
lembaga yang berwenang LPPOM MUI. Adanya label halal yang dicantumkan produsen
tanpa legalitas dari LPPOM MUI tidak terjamin penggunaan atau tercampurnya bahan-
bahan yang tidak halal. Praktik dimaksud jelas sangat merugikan konsumen.
Ketidakpahaman konsumen dan minimnya pengetahuan konsumen akan proses
pembuatan produk oleh pelaku usaha membuat konsumen cenderung bersikap pasrah dan
menerima apa adanya. Sedangkan konsumen seharusnya sadar akan hak-hak yang
mereka miliki sehingga dapat melakukan sosial kontrol terhadap perilaku pelaku usaha
dan pemerintah.
Disamping itu, banyak kasus terlihat pelaku bisnis tidak mau tahu bahwa ternyata
produk yang dihasilkannya merugikan konsumen. Pada sisi lain, pelaku usaha cenderung
menjalankan bisnisnya tanpa etika dan tidak memperhatikan peraturan. Kasus-kasus
konsumen yang tidak mendapat perhatian dari pelaku usaha dan pemerintah pada
perkembangan berikutnya semakin menghilangkan kepekaan pada masalah konsumen.
Ketidakpekaan ini kemudian menjurus kepada semakin jauhnya para pelaku usaha dari
norma-norma etika. Semakin menipisnya etika bisnis dikalangan pelaku usaha,
mengakibatkan semakin sulitnya para konsumen mendapat hak-haknya. Seperti pada
-
17
kasus penarikan beberapa produk minuman dari peredaran oleh BPOM karena menyalahi
ketentuan pelabelan.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, menarik untuk dikaji dan diteliti dengan
judul: EKSISTENSI DAN TANGGUNGJAWAB MAJELIS ULAMA
INDONESIA (MUI) TERHADAP PENERAPAN SERTIFIKASI DAN
LABELISASI HALAL DALAM PRODUK PANGAN DI INDONESIA. Selain itu
sepengetahuan penulis, belum pernah ada yang meneliti.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada bagian pendahuluan tersebut di atas, permasalahan yang
akan diteliti dirumuskan sebagai berikut:
1. Bagaimanakah dalam praktik, pengaturan dan penerapan sertifikasi dan labelisasi
halal dalam produk pangan ?;
2. Bagaimanakah tanggungjawab Majelis Ulama Indonesia (MUI) terhadap penyalah
gunaan pelaku usaha dalam penerapan sertifikasi dan labelisasi halal produk
pangan?;