laporan penelitian
TRANSCRIPT
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dispepsia merupakan istilah yang digunakan untuk suatu sindrom atau kumpulan
gejala/keluhan yang terdiri dari nyeri atau rasa tidak nyaman di ulu hati, kembung, mual,
muntah, sendawa, rasa cepat kenyang, perut rasa penuh. Keluhan ini tidak perlu selalu semua
ada pada tiap pasien dan bahkan pada satu pasien pun keluhan dapat berganti atau bervariasi
baik dari segi jenis keluhan maupun kualitasnya [1].
Keluhan dispepsia merupakan keadaan klinik yang sering dijumpai dalam praktek praktis
sehari – hari. Diperkirakan bahawa hampir 30% kasus pada praktek umum dan 60% pada
praktek gastroenterologist merupakan kasus dispepsia ini. Sindroma atau keluhan ini dapat
disebabkan oleh berbagai penyakit tentunya termasuk pula penyakit pada lambung. Penyakit
hepato-pancreato-bilier (hepatitis, pankreatitis kronik, kolesistitis kronik dan lain – lain)
merupakan penyakit tersering setelah penyakit yang melibatkan gangguan patologik pada
esofago-gastro-duodenal (tukak peptik, gastritis dan lain – lain). Beberapa penyakit di luar
sistem gastrointestinal dapat pula bermanifestasi dalam bentuk sindrom dispepsia seperti
yang cukup kita harus waspadai adalah gangguan kardiak (inferior iskemia/infark miokard),
penyakit tiroid, obat – obatan dan sebagainya [1].
Secara garis besar, penyebab sindrom dispepsia ini dibagi menjadi dua kelompok, yaitu
kelompok penyakit organik (tukak peptik, gastritis, batu kandung empedu dan lain - lain) dan
kelompok dimana sarana penunjang diagnostik yang konvensional atau baru (radiologi,
endoskopi, laboratorium) tidak dapat memperlihatkan adanya gangguan patologis struktural
atau biokimiawi. Kelompok terakhir ini disebut sebagai gangguan fungsional [1].
1
1.2 Identifikasi Masalah
Dari permasalahan di atas timbul pertanyaan penelitian, yaitu:
1.2.1 Pertanyaan Umum
Apakah penyebab tersering dispepsia pada pasien yang di rawat inap di RSUD Koja?
1.2.2 Pertanyaan Khusus
1. Berapakah persentase penyakit hepato-pankreo-bilier dapat menyebabkan
terjadinya dispepsia pada pasien yang dirawat inap di RSUD Koja?
2. Berapakah persentase penyakit digestif yang dapat menyebabkan terjadinya
dispepsia pada pasien yang dirawat inap di RSUD Koja?
3. Berapakah persentase penyakit sistemik metabolik yang dapat menyebabkan
terjadinya dispepsia pada pasien yang dirawat inap di RSUD Koja?
4. Berapakah persentase penyakit sistemik infeksi tropik yang dapat menyebabkan
terjadinya dispepsia pada pasien yang dirawat inap di RSUD Koja?
5. Berapakah persentase penderita yang ada riwayat penggunaan zat/obat yang dapat
menyebabkan terjadinya dispepsia pada pasien yang dirawat inap di RSUD Koja?
6. Berapakah persentase penderita yang mempunyai pola kehidupan yang tidak sehat
yang dapat menyebabkan terjadinya dispepsia pada pasien yang dirawat inap di
RSUD Koja?
7. Berapakah persentase penderita yang mempunyai riwayat stress psikososial yang
dapat menyebabkan terjadinya dispepsia pada pasien yang dirawat inap di RSUD
Koja?
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Mengetahui persentase penyebab dispepsia tersering pada pasien yang dirawat inap di
RSUD Koja.
2
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Diketahui persentase penyakit hepato-pankreo-bilier dapat menyebabkan
terjadinya dispepsia pada pasien yang dirawat inap di RSUD Koja.
2. Diketahui persentase penyakit digestif yang dapat menyebabkan terjadinya
dispepsia pada pasien yang dirawat inap di RSUD Koja.
3. Diketahui persentase penyakit sistemik metabolik yang dapat menyebabkan
terjadinya dispepsia pada pasien yang dirawat inap di RSUD Koja.
4. Diketahui persentase penyakit sistemik infeksi tropik yang dapat menyebabkan
terjadinya dispepsia pada pasien yang dirawat inap di RSUD Koja.
5. Diketahui persentase penderita yang ada riwayat penggunaan zat/obat yang dapat
menyebabkan terjadinya dispepsia pada pasien yang dirawat inap di RSUD Koja.
6. Diketahui persentase penderita yang mempunyai pola kehidupan yang tidak sehat
yang dapat menyebabkan terjadinya dispepsia pada pasien yang dirawat inap di
RSUD Koja.
7. Diketahui persentase penderita yang mempunyai riwayat stress psikososial yang
dapat menyebabkan terjadinya dispepsia pada pasien yang dirawat inap di RSUD
Koja.
1.4 Hipotesis Penelitian
Penelitian ini bersifat deskriptif, sehingga tidak memerlukan hipotesis.
1.5 Manfaat Penelitian
Dengan diketahui kausatif tersering pada dispepsia pada pasien yang dirawat inap di RSUD
Koja, maka penatalaksanaan penyebab dispepsia dapat menjadi lebih baik untuk
mengelakkan morbiditas dan mortilitas yang besar terhadap pasien yang dirawat inap di sini
di masa akan datang.
3
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA TEORI & KERANGKA KONSEP
2.1 Tinjauan Pustaka
2.1.1 Definisi
Dispepsia merupakan kumpulan keluhan/gejala klinis yang terdiri dari rasa tidak
enak/sakit di perut bagian atas yang menetap atau mengalami kekambuhan [2]. Dispepsia
mengacu pada suatu keadaan akut, kronis, atau berulang atau ketidaknyamanan yang
berpusat di perut bagian atas. Ketidaknyamanan ini dapat kenali atau berhubungan
dengan rasa penuh di perut bagian atas, cepat kenyang, rasa terbakar, kembung,
bersendawa, mual, dan muntah – muntah. Heartburn (rasa terbakar di retrosternal) harus
dibedakan dari dispepsia. Pasien dengan dispepsia sering mengeluh heartburn sebagai
gejala tambahan. Ketika heartburn merupakan suatu keluhan yang dominan, refluks
gastroesofagus hampir selalu menyertai. Dispepsia terjadi di 25% daripada populasi orang
dewasa dan 3% dari kunjungan medis umum [3].
Dispepsia berasal dari bahasa Yunani (Dys-), berarti sulit, dan (Pepse), berarti
pencernaan. Dispepsia merupakan kumpulan keluhan/gejala klinis yang terdiri dari rasa
tidak enak/sakit di perut bagian atas yang menetap atau mengalami kekambuhan. Keluhan
refluks gastroesofagus klasik berupa rasa panas di dada (heartburn) dan regurgitasi asam
lambung, kini tidak lagi termasuk dispepsia. Pengertian dispepsia terbagi dua, yaitu:
Dispepsia organik, bila telah diketahui adanya kelainan organik sebagai
penyebabnya. Sindroma dispepsi organik terdapat kelainan yang nyata terhadap
organ tubuh misalnya tukak.
Dispepsia nonorganik atau dispepsia fungsional, atau dispesia non-ulkus (DNU),
bila tidak jelas penyebabnya. Dispepsi fungsional tanpa disertai kelainan atau
gangguan struktur organ berdasarkan pemeriksaan klinis, laboratorium, radiologi,
dan endoskopi (teropong saluran pencernaan).
Definisi lain, dispepsia adalah nyeri atau rasa tidak nyaman pada perut bagian atas atau
dada, yang sering dirasakan sebagai adanya gas, perasaan penuh atau rasa sakit atau rasa
terbakar di perut [2].
4
2.1.2 Etiologi
Setiap orang dari berbagai usia dapat terkena dispepsia, baik pria maupun wanita. Sekitar
satu dari empat orang dapat terkena dispepsia dalam beberapa waktu. Seringnya,
dispepsia disebabkan oleh ulkus lambung atau penyakit acid reflux. Jika anda memiliki
penyakit acid reflux, asam lambung terdorong ke atas menuju esofagus (saluran muskulo
membranosa yang membentang dari faring ke dalam lambung). Hal ini menyebabkan
nyeri di dada. Beberapa obat-obatan, seperti obat anti-radang, dapat menyebabkan
dispepsia. Terkadang penyebab dispepsia belum dapat ditemukan. Penyebab dispepsia
secara rinci adalah:
1. Menelan udara (aerofagi).
2. Regurgitasi (alir balik, refluks) asam dari lambung.
3. Iritasi lambung (gastritis).
4. Ulkus gastrikum atau ulkus duodenalis.
5. Kanker lambung.
6. Peradangan kandung empedu (kolesistitis).
7. Intoleransi laktosa (ketidakmampuan mencerna susu dan produknya).
8. Kelainan gerakan usus.
9. Stress psikologis, kecemasan, atau depresi.
10. Infeksi Helicobacter pylori.
Dispepsia disebabkan oleh beragam hal yang dapat ditelusuri berdasarkan kategorinya:
1. Non-ulcer dyspepsia adalah dispepsia yang tidak diketahui penyebabnya karena
bila diendoskopi - bagian kerongkongan, perut, atau duodenum terlihat normal,
tidak menunjukkan borok sama sekali. Diperkirakan 6 dari 10 penderita dispepsia
tergolong dalam kategori ini.
2. Duodenal and stomach (gastric) ulcers yakni dispepsia yang disebabkan oleh
borok di usus dua belas jari atau lambung. Jenis ini kerap dinamai peptic ulcer.
3. Duodenitis dan gastritis atau radang di usus dua belas jari dan/atau lambung.
Radang tersebut bisa saja ringan atau parah, tergantung lukanya. Gastritis akut
dapat disebabkan oleh karena stress, zat kimia misalnya obat – obatan dan
alkohol, makanan yang pedas, panas maupun asam. Pada pasien yang mengalami
stress akan terjadi perangsangan saraf simpatis Nervus vagus yang akan
5
meningkatkan produksi asam klorida (HCl) di dalam lambung. Adanya HCl yang
berada di dalam lambung akan menimbulkan rasa mual, muntah dan anoreksia.
Zat kimia maupun makanan yang merangsang akan menyebabkan sel epitel
kolumner, yang berfungsi untuk menghasilkan mucus, mengurangi produksinya.
Sedangkan mukus itu fungsinya untuk memproteksi mukosa lambung agar tidak
ikut tercerna. Respon mukosa lambung karena penurunan sekresi mukus
bervariasi diantaranya vasodilatasi sel mukosa gaster. Lapisan mukosa gaster
terdapat sel yang memproduksi HCl (terutama daerah fundus) dan pembuluh
darah. Vasodilatasi mukosa gaster akan menyebabkan produksi HCl meningkat.
Anoreksia juga dapat menyebabkan rasa nyeri. Rasa nyeri ini ditimbulkan oleh
karena kontak HCl dengan mukosa gaster. Respon mukosa lambung akibat
penurunan sekresi mukus dapat berupa eksfeliasi (pengelupasan). Eksfeliasi sel
mukosa gaster akan mengakibatkan erosi pada sel mukosa. Hilangnya sel mukosa
akibat erosi memicu timbulnya perdarahan. Perdarahan yang terjadi dapat
mengancam hidup penderita, namun dapat juga berhenti sendiri karena proses
regenerasi, sehingga erosi menghilang dalam waktu 24–48 jam setelah
perdarahan. Helicobacter pylori merupakan bakteri gram negatif. Organisme ini
menyerang sel permukaan gaster, memperberat timbulnya deskuamasi sel dan
munculah respon radang kronis pada gaster yaitu : destruksi kelenjar dan
metaplasia [4].
4. Acid reflux, oesophagitis and GERD. Acid reflux terjadi ketika zat asam keluar
dari lambung dan naik ke kerongkongan. Acid reflux bisa menyebabkan esofagitis
(radang kerongkongan) atau gastro-oesophageal reflux disease (GERD – acid
reflux dengan atau tanpa esofagitis). Manifestasi klinis GERD dapat berupa gejala
yang tipikal (esofagus) dan gejala atipikal (ekstraesofagus). Gejala GERD 70%
merupakan tipikal, yaitu:
Heart burn, adalah sensasi terbakar di daerah retrosternal. Gejala heart burn
adalah gejala yang tersering.
Regurgitasi, adalah kondisi di mana material lambung terasa di faring.
Kemudian mulut terasa asam dan pahit. Kejadian ini dapat menyebabkan
komplikasi paru – paru.
Disfagia, biasanya terjadi oleh karena komplikasi berupa striktur.
6
Gejala atipikal (ekstraesofagus) seperti batuk kronik dan kadang wheezing, suara
serak, pneumonia aspirasi, fibrosis paru, bronkiektasis, dan nyeri dada non-
kardiak. Data yang ada kejadian suara serak 14,8%, bronkhitis 14%, disfagia
13,5%, dispepsia 10,6%, dan asma 9,3%. Kadang – kadang gejala GERD tumpang
tindih dengan gejala klinis dispepsia sehigga keluhan GERD yang tipikal tidak
mudah ditemukan. Spektrum klinik GERD bervariasi mulai gejala refluks berupa
heart burn, regurgitasi, dispepsia tipe ulkus atau motilitas. Terdapat dua kelompok
GERD yaitu GERD pada pemeriksaan endoskopi terdapat kelainan esofagitis
erosif yang ditandai dengan mucosal break dan yang tidak terdapat mucosal break
yang disebut Non Erosive Reflux Disease (NERD). Manifestasi klinis GERD
dapat menyerupai manifestasi klinis dispepsia berdasarkan gejala yang paling
dominan adalah:
Manifestasi klinis mirip refluks yaitu bila gejala yang dominan adalah rasa
panas di dada seperti terbakar.
Manifestasi klinis mirip ulkus yaitu bila gejala yang dominan adalah nyeri
ulu hati.
Manifestasi klinis dismotilitas yaitu gejala yang dominan adalah kembung,
mual, dan cepat kenyang.
Manifestasi klinis campuran atau nonspesifik menurut klasifikasi Los
Angeles.
5. Hiatus hernia atau lambung bagian atas menekan dada bagian bawah melalui
bagian diafragma yang bermasalah. Biasanya hiatus hernia hanya menyebabkan
GERD.
6. Infeksi bakteri H. pylori.
7. Efek samping obat – obatan tertentu, misalnya obat anti peradangan atau obat
lainnya (misalnya antibiotik dan steroid).
Tabel 1. Penyebab dispepsia [5].
Penyebab Dispepsia
Esofago-gastro-duodenal Tukak peptik, gastritis kronis, gastritis NSAID, keganasan
Obat-obatan Anti-inflamasi non-steroid, teofilin, digitalis, antibiotik
Hepato-bilier Hepatitis, kolesistitis, kolelitiasis, keganasan, disfungsi sfingter
Odii
7
Pankreas Pankreatitis, keganasan
Penyakit sistemik lain Diabetes melitus, penyakit tiroid, gagal ginjal, kehamilan,
penyakit jantung koroner/iskemik
Gangguan fungsional Dispepsia fungsional, irritable bowel syndrome
2.1.3 Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis didasarkan atas keluhan/gejala yang dominan, membagi dispepsia
menjadi tiga tipe:
Dispepsia dengan keluhan seperti ulkus (ulcus-like dyspepsia), dengan gejala:
- Nyeri epigastrium terlokalisasi
- Nyeri hilang setelah makan atau pemberian antasida, nyeri saat lapar dan
nyeri episodik.
Dispepsia dengan gejala seperti dismotilitas (dysmotility-like dyspesia), dengan
gejala:
- Mudah kenyang
- Perut cepat terasa penuh saat makan
- Mual
- Muntah
- Upper abdominal bloating (bengkak perut bagian atas)
- Rasa tak nyaman bertambah saat makan.
Dispepsia nonspesifik (tidak ada gejala seperti kedua tipe di atas). Sindroma
dispepsia dapat bersifat ringan, sedang, dan berat, serta dapat akut atau kronis
sesuai dengan perjalanan penyakitnya.
Pembagian akut dan kronik berdasarkan atas jangka waktu tiga bulan. Nyeri dan rasa
tidak nyaman pada perut atas atau dada mungkin disertai dengan sendawa dan suara usus
yang keras (borborigmi). Pada beberapa penderita, makan dapat memperburuk nyeri;
pada penderita yang lain, makan bisa mengurangi nyerinya. Gejala lain meliputi nafsu
makan yang menurun, mual, sembelit, diare dan flatulensi (perut kembung). Jika
dispepsia menetap selama lebih dari beberapa minggu, atau tidak memberi respon
terhadap pengobatan, atau disertai penurunan berat badan atau gejala lain yang tidak
biasa, maka penderita harus menjalani pemeriksaan.
8
Pada dispepsia kronik, sebagai pedoman untuk membedakan antara dispepsia fungsional
dan dispepsia organik seperti tukak duodenum, yaitu pada tukak duodenum dapat
ditemukan gejala peringatan (alarms symptom) antara lain berupa :
- Umur > 45-50 tahun dengan keluhan muncul pertama kali.
- Adanya pendarahan hematemesis/melena.
- Berat badan (BB) menurun > 10%.
- Anoreksia/rasa cepat kenyang.
- Riwayat tukak peptik sebelumnya.
- Muntah yang persisten.
- Anemia yang tidak diketahui sebabnya.
2.1.4 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan untuk penanganan dispepsia terbagi beberapa bagian, yaitu:
Pemeriksaan laboratorium biasanya meliputi hitung jenis sel darah yang lengkap
dan pemeriksaan darah dalam tinja, dan urin. Dari hasil pemeriksaan darah bila
ditemukan lekositosis berarti ada tanda-tanda infeksi. Pada pemeriksaan tinja, jika
tampak cair berlendir atau banyak mengandung lemak berarti kemungkinan
menderita malabsorpsi. Seseorang yang diduga menderita dispepsia tukak,
sebaiknya diperiksa asam lambung. Pada karsinoma saluran pencernaan perlu
diperiksa petanda tumor, misalnya dugaan karsinoma kolon perlu diperiksa CEA,
dugaan karsinoma pankreas perlu diperiksa CA 19-9.
Barium enema untuk memeriksa kerongkongan, lambung atau usus halus dapat
dilakukan pada orang yang mengalami kesulitan menelan atau muntah, penurunan
berat badan atau mengalami nyeri yang membaik atau memburuk bila penderita
makan.
Endoskopi bisa digunakan untuk memeriksa kerongkongan, lambung atau usus
kecil dan untuk mendapatkan contoh jaringan untuk biopsi dari lapisan lambung.
Contoh tersebut kemudian diperiksa dibawah mikroskop untuk mengetahui
apakah lambung terinfeksi oleh Helicobacter pylori. Endoskopi merupakan
pemeriksaan baku emas (gold standard), selain sebagai diagnostik sekaligus
terapeutik. Pemeriksaan yang dapat dilakukan dengan endoskopi adalah:
CLO (rapid urea test)
Patologi anatomi (PA)
9
Kultur mikroorgsanisme (MO) jaringan
PCR (polymerase chain reaction), hanya dalam rangka penelitian pemeriksaan
penunjang meliputi pemeriksaan radiologi, yaitu OMD dengan kontras ganda,
serologi Helicobacter pylori, dan urea breath test (belum tersedia di Indonesia)
(Mansjoer, 2007).
Pemeriksaan radiologis dilakukan terhadap saluran makan bagian atas dan sebaiknya
dengan kontras ganda. Pada refluks gastroesofageal akan tampak peristaltik di esofagus
yang menurun terutama di bagian distal, tampak anti-peristaltik di antrum yang meninggi
serta sering menutupnya pilorus, sehingga sedikit barium yang masuk ke intestinum
(Hadi, 2002). Tukak baik di lambung, maupun di duodenum akan terlihat gambar yang
disebut niche, yaitu suatu kawah dari tukak yang terisi kontras media. Bentuk niche dari
tukak yang jinak umumnya reguler, semisirkuler, dengan dasar licin. Kanker di lambung
secara radiologis, akan tampak massa yang irreguler tidak terlihat peristaltik di daerah
kanker, bentuk dari lambung berubah. Pankreatitis akuta perlu dibuat foto polos abdomen,
yang akan terlihat tanda seperti terpotongnya usus besar (colon cut off sign), atau tampak
dilatasi dari intestinum terutamadi jejunum yang disebut sentinal loops. Kadang
dilakukan pemeriksaan lain, seperti pengukuran kontraksi kerongkongan atau respon
kerongkongan terhadap asam.
Adalah tidak mengejutkan bahwa banyak penyakit pencernaan telah dikaitkan dengan
dispepsia. Bagaimanapun, banyak penyakit yang bukan pencernaan juga telah dikaitkan
dengan dispepsia. Contoh dari yang belakangan termasuk diabetes, hipertiroid (kelenjar
paratitoid yang terlalu aktif), dan penyakit ginjal yang berat. Adalah tidak jelas,
bagaimanapun, bagaimana penyakit bukan pencernaan ini mungkin menyebabkan
dispepsia. Penyebab kedua yang penting dari dyspepsia adalah obat – obatan Ternyata
bahwa banyak obat seringkali dikaitkan dengan dyspepsia, contohnya, obat anti-
peradangan nonsteroid (NSAIDs seperti ibuprofen, antibiotik dan estrogen).
Sesungguhnya, kebanyakan obat dilaporkan menyebabkan pada paling sedikit beberapa
pasien-pasien.
Seperti didiskusikan sebelumnya, kebanyakan dispepsia (bukan yang disebabkan oleh
penyakit bukan pencernaan atau obat – obatan) dipercayai disebabkan oleh fungsi yang
abnormal (disfungsi) dari otot dan organ sistim pencernaan atau syaraf yang mengontrol
10
organ. Kontrol syaraf dari sistem pencernaan, bagaimanapun, adalah kompleks (rumit).
Sistem syaraf yang menelusuri seluruh panjang dari sistem pencernaan dari kerongkongan
sampai ke anus (dubur) dalam dinding yang berotot dari organ. Syaraf ini berkomunikasi
dengan syaraf lain yang berjalan ke dan dari sumsum tulang belakang (spinal cord).
Syaraf di dalam sumsum tulang belakang pada gilirannya berjalan ke dan dari otak.
Jumlah syaraf yang dikandung sistem pencernaan dilebihi hanya oleh sumsum tulang
belakang dan otak. Jadi, fungsi abnormal dari sistem syaraf pada dispepsia mungkin
terjadi pada organ pencernaan yang berotot, sumsum tulang belakang (spinal cord),
atau otak.
Sistem syaraf yang mengontrol organ pencernaan, seperti dengan kebanyakan organ lain,
mengandung keduanya yaitu syaraf sensor dan motor. Syaraf sensor secara terus menerus
merasakan apa yang terjadi (aktivitas) didalam organ dan menyampaikan (merelay)
informasi ini pada syaraf dalam dinding organ. Dari sana, informasi dapat disampaikan
(direlay) pada sumsum tulang belakang dan otak. Informasi diterima dan diproses
didalam dinding organ, sumsum tulang belakang, atau otak. Kemudian, berdasarkan pada
masukan (input) sensor ini dan caranya masukan (input) diproses, perintah (respon)
dikirim ke organ melalui syaraf motor. Dua dari respon motor yang paling umum dalam
usus kecil adalah kontraksi atau pengenduran dari otot organ dan pengeluaran cairan
dan/atau lendir ke dalam organ.
Seperti telah disebutkan, fungsi abnormal dari syaraf organ pencernaan, paling sedikit
secara teori, mungkin terjadi pada organ, sumsum tulang belakang (spinal cord), atau
otak. Lebih dari itu, kelainan mungkin terjadi pada syaraf sensor, syaraf-syarf motor, atau
pada pusat pemrosesan dalam usus kecil, spinal cord, atau otak.
Beberapa peneliti memperdebatkan bahwa penyebab penyakit fungsional adalah kelainan
pada fungsi syaraf sensor. Contohnya, aktivitas normal, seperti peregangan usus kecil
oleh makanan, mungkin menimbulkan tanda sensor yang dikirim ke spinal cord dan otak,
dimana mereka dirasakan sebagai yang menyakitkan. Peneliti lain meperdebatkan bahwa
penyebab penyakit fungsional adalah kelainan pada fungsi dari syaraf motor. Contohnya,
perintah abnormal melalui syaraf motor mungkin menghasilkan kejang yang menyakitkan
(kontraksi) dari otot. Masih ada yang lain memperdebatkan bahwa pusat pemrosesan yang
berfungsi secara abnormal adalah bertanggung jawab pada penyakit fungsional karena
11
mereka salah menafsirkan sensasi (perasaan) normal atau mengirim perintah yang
abnormal ke organ. Sesungguhnya, beberapa penyakit fungsional mungkin disebabkan
oleh disfungsi sensor, disfungsi motor, atau disfungsi kedua – duanya yaitu sensor dan
motor. Yang lain mungkin disebabkan oleh kelainan didalam pusat pemprosesan.
Suatu konsep penting yang adalah relevan pada beberapa mekanisme yang potensial ini
dari penyakit fungsional adalah visceral hipersensitiviti. Konsep ini menyatakan bahwa
penyakit yang mempengaruhi organ pencernaan (viscera atau isi rongga perut) "membuat
peka" (merubah kemampuan reaksi dari) syaraf sensor atau pusat pemprosesan pada
sensasi yang datang dari organ. Menurut teori ini, penyakit semacam kolitis (peradangan
usus besar) dapat menyebabkan perubahan yang permanen dalam kepekaan dari syaraf
atau pusat pemprosesan dari kolon. Sebagai akibat dari peradangan sebelumnya ini,
stimuli normal dirasakan sebagai abnormal (contohnya, sebagai menyakitkan). Jadi,
kontraksi usus besar yang normal mungkin menyakitkan. Adalah tidak jelas penyakit apa
sebelumnya mungkin menjurus pada kepekaan yang sangat (hypersensitivity) pada orang,
meskipun penyakit infeksius (bakteri atau virus) dari saluran pencernaan disebutkan
paling sering. Visceral hypersensitivity telah ditunjukan secara jelas pada hewan dan
manusia. Perannya dalam penyakit fungsional yang umum, bagaimanapun, adalah tidak
jelas.
Penyakit dan kondisi lain dapat memperburuk penyakit fungsional, termasuk dispepsia.
Ketakutan dan/atau depresi adalah mungkin faktor yang memperburuk yang paling umum
dikenal untuk pasien dengan penyakit fungsional. Faktor yang memperburuk lain adalah
siklus menstrual. Selama periode mereka, wanita seringkali mencatat bahwa gejala
fungsional mereka adalah lebih buruk. Ini bersesuaian dengan waktu yang sewaktu itu
hormon wanita, estrogen dan progesteron, berada pada tingkat tertinggi mereka. Lebih
jauh, telah diamati bahwa merawat wanita yang mempunyai dispepsia dengan leuprolide,
obat suntikan yang menutup produksi estrogen dan progesteron tubuh, adalah efektif pada
pengurangan gejala dispepsia pada wanita yang pra-menopause. Pengamatan ini
mendukung peran untuk hormon dalam intensifikasi gejala fungsional
12
Penyakit Hepatobilier :Hepatitis
Sirosis hepatisKolesistitisPankreatitisKolelithiasis
Penyakit Digestif :Gastritis
EsofagitisGERD
DuodenitisUlcus Peptikum
Pola Kehidupan Tidak Sehat :
Makanan iritanMakan tidak teraturMakan dalam waktu
cepat
Faktor Psikososial :Pekerjaan
LingkunganStress
P’gunaan Obatan/Zat :Jamu Pegal LinuObatan Penyakit
Alkohol
Lain – lain :
Penyakit Sistemik :Diabetes melitus
HipertiroidDBD
Demam TifoidGagal Ginjal
Penyebab Dispepsia :
Simtom ALARMS :AnoreksiaBB turunAnemia
Onset terbaru peny.Melena/hematemesis
Sulit menelan
Pemeriksaan Penunjang :
Laboratorium :H2TL
SGOT/SGPTGDS
Imaging :USG
Foto RontgenEGD
13
2.2 Kerangka Teori
Penyebab Dispepsia :
Pemeriksaan Lab :H2TL
SGOT/SGPTGDS
Imaging :USGEGD
Anamnesis ALARMS :AnoreksiaBB turunAnemia
Onset terbaru peny.Melena/Hematemesis
Sulit menelan
Penyakit Hepatopankreatobilier (Hepatitis, Sirosis Hati, Kolesistisis, Pankreatitis)Penyakit Sistemik (DM, Hipertiroid, DBD, Demam Tifoid)Penyakit Digestif (Gastritis, GERD)Pola Makan (Makanan iritan, makan tak teratur, makan banyak dalam waktu cepat)Penggunaan Zat/ObatanFaktor Psikososial (Stress)
14
2.3 Kerangka Konsep
BAB 3
METODE PENELITIAN
3.1 Desain
Desain yang digunakan pada penelitian deskriptif kategorikal ini adalah desain cross-sectional.
3.2 Tempat & Waktu
Penelitian dilakukan di bangsal Penyakit Dalam (PD) pada RSUD Koja, dari tanggal 9 Augustus
sampai 19 September 2010.
3.3 Populasi & Sampel
Populasi terjangkau adalah semua pasien yang rawat inap di bangsal PD. Subjek penelitian
adalah mereka yang termasuk dalam populasi terjangkau dan memenuhi kriteria penelitian.
Metode pengambilan sampel adalah cara non-probability sampling iaitu consecutive sampling.
3.4 Kriteria Inklusi & Ekslusi
Kriteria inklusi: Pasien yang mempunyai keluhan dispepsia yang rawat inap di bangsal PD
RSUD Koja.
Kriteria eksklusi: Pasien yang menolak untuk diwawancara.
3.5 Besar Sampel
n1 = (za) 2 pq
d2
= (1.96) 2 x 0.3 x 0.7
(0.05)2
= 283.45
≈ 284
15
Keterangan:
za = 1.96
p = 0.3 [x]
q = 1 – p
d = 0.05
Target sampel menurut perkiraan berdasarkan penelitian deskriptif kategorikal adalah 284 orang.
Namun disebabkan kekurangn waktu dan tenaga kerja, jumlah sampel yang kami dapatkan hanya
150 orang.
3.5 Cara Kerja
- Semua pasien rawat inap di bangsal penyakit dalam (PD) lantai V dan bangsal IW lantai II
yang memenuhi kriteria inklusi didata dan jika memunuhi kriteria eksklusi dikeluarkan.
- Pasien diminta mengisi informed consent.
- Pasien didata dengan cara wawancara dan pengambilan data dari status pasien.
- Karakteristik yang didata:
A. Usia
B. Jenis kelamin
C. Keluhan
i. Keluhan dispepsia
- Merasa nyeri pada perut
- Mudah kenyang
- Rasa penuh perut
- Merasa perut kembung
- Sering sendawa
- Mual
- Muntah
ii. Alarms symptom
- Anoreksia
- Berat badan menurun
- Anemia
- Melena/hematemesis
- Onset terbaru penyakit progesif
- Kesulitan menelan
16
D. Penyebab
i. Penyakit digestif
- Keluhan regurgitasi
- Nyeri perut timbul setelah makan
- Nyeri perut berkurang setelah makan
- Rasa panas yang menjalar didada
ii. Penyakit hepato-pankreo-bilier
- Rasa tidak nyeri tidak enak pada kuadran kanan atas
- Rasa nyeri perut semakin hebat dan menjalar ke punggung
iii. Penyakit sistemik
a) Metabolik
- Riwayat Diabetes Mellitus (DM)
- Riwayat hipertiroid
b) Infeksi tropik
- Riwayat demam berdarah dengue (DBD)
- Riwayat demam tifoid
iv. Penggunaan obat dan zat
v. Faktor psikososial
- Stress (pekerjaan/pelajaran, keluarga)
vii. Pola kehidupan yang tidak sehat
- Makan makanan iritan
- Makan tidak teratur
- Makan banyak dan cepat
E. Pemeriksaan lab
- Hb
- Leukosit
- Trombosit
- Hematokrit
- SGOT
- SGPT
F. Pemeriksaan penunjang
- Ultrasonografi (USG)
- EGD
17
3.6 Identifikasi Variabel
1. Usia
2. Jenis kelamin
3. Keluhan klinis
4. Alarm symptom
5. Penyakit digestif
6. Penyakit hepatopankreobilier
7. Penyakit sistemik
a. Metabolik
b. Infeksi tropik
8. Penggunaan obat dan zat
9. Faktor psikososial
10. Pola kehidupan yang tidak sehat
3.7 Definisi Operasional Variabel
A. Usia
- Definisi: lama hidup seseorang dalam hitungan tahun
- Cara ukur: wawancara
- Alat ukur: tidak ada
- Hasil ukur: Kategorik, dikelompokkan menurut umur
B. Jenis kelamin:
- Definisi: sifat jasmani yang membedakan sebagai wanita atau pria.
- Cara ukur: wawancara
- Alat ukur: tidak ada
- Hasil ukur: Kategorik, laki-laki atau perempuan
C. Keluhan klinis
- Definisi: adanya satu atau lebih keluhan dispepsia (lihat dari tinjauan pustaka)
- Cara ukur: wawancara
- Alat ukur: tidak ada
- Hasil ukur: kategorik, ada keluhan atau tidak ada keluhan
18
D. Alarms symptom
- Definisi: adanya satu atau lebih keluhan simptom alarm (lihat dari tinjauan pustaka)
atau penurunan kadar Hb kurang dari 10g/dL.
- Cara ukur: wawancara, melihat pada status pasien
- Alat ukur: tidak ada
- Hasil ukur: kategorik, ada keluhan atau tidak ada keluhan
E. Penyakit digestif
- Definisi: adanya salah satu atau lebih dari keluhan berikut iaitu regurgitasi, nyeri
perut timbul setelah makan, nyeri perut berkurang setelah makan atau rasa panas yang
menjalar di dada, atau pada EGD ditemukan kelainan pada traktus digestif.
- Cara ukur: wawancara, melihat pada status pasien
- Alat ukur: tidak ada
- Hasil ukur: kategorik, ada keluhan atau tidak ada keluhan
F. Penyakit hepato-pankreo-bilier
- Definisi: adanya salah satu atau lebih dari keluhan berikut iaitu regurgitasi, nyeri
perut timbul setelah makan, nyeri perut berkurang setelah makan atau rasa panas yang
menjalar didada dan disertai dengan peningkatan kadar SGOT dan SGPT, atau pada
pemeriksaan USG ditemukan ada kelainan hepatopankreobilier.
- Cara ukur: wawancara dan melihat pada status pasien.
- Alat ukur: tidak ada
- Hasil ukur: kategorik, ada keluhan atau tidak ada keluhan
G. Penyakit sistemik infeksi tropik
- Definisi: adanya salah satu atau lebih dari keluhan berikut iaitu riwayat demam, tes
Widal positif atau trombosit ditemukan kurang dari 100.000/uL.
- Cara ukur: wawancara, melihat pada status pasien.
- Alat ukur: tidak ada
- Hasil ukur: kategorik, ada keluhan atau tidak ada keluhan
H. Penyakit sistemik metabolik endokrin
- Definisi: adanya salah satu dari riwayat DM atau riwayat hipertiroid.
- Cara ukur: wawancara, melihat pada status pasien
19
- Alat ukur: tidak ada
- Hasil ukur: kategorik, ada riwayat atau tidak ada riwayat
I. Penggunaan zat atau obat – obatan
- Definisi: adanya riwayat penggunaan zat atau obat – obatan.
- Cara ukur: wawancara
- Alat ukur: tidak ada
- Hasil ukur: kategorik, ada riwayat penggunaan atau tidak ada riwayat penggunaan
J. Faktor psikososial
- Definisi: adanya keluhan stress dengan pekerjaan/pelajaran atau keluarga.
- Cara ukur: wawancara
- Alat ukur: tidak ada
- Hasil ukur: kategorik, ada keluhan atau tidak ada keluhan
K. Pola kehidupan yang tidak sehat
- Definisi: adanya salah satu atau lebih dari pola makan berikut iaitu makan makanan
bersifat iritan, makan tidak teratur atau makan banyak dan cepat.
- Cara ukur: wawancara
- Alat ukur: tidak ada
- Hasil ukur: kategorik, ada atau tidak ada
3.8 Analisis Data
Semua data kategori disajikan dalam cara persentase dan proporsi.
3.9 Masalah Etika
Akan dimintakan ETHICAL CLEARANCE dari Panitia Etik Penelitian Kedokteran FK UKRIDA.
Data rekam medik yang dipergunakan dijaga kerahasiaannya
BAB 4
HASIL PENELITIAN
20
Telah dilakukan penelitian terhadap sejumlah pasien rawat inap dengan keluhan dispepsia di
bangsal IPD RSUD Koja. Didapatkan 150 orang dengan karakteristik yang sebagaimana
dilampirkan pada tabel 2.
Tabel 2. Karakteristik pasien dengan dyspepsia yang rawat inap
di bangsal PD RSUD Koja (n=150)
Karakteristik n %
Jenis kelamin
Lelaki 68 45
Perempuan 82 55
Usia
< 30 tahun 64 43
30 – 50 tahun 54 36
> 50 tahun 32 21
Keluhan dipepsia
< 3 keluhan 48 32
3 – 5 keluhan 75 50
> 5 keluhan 27 18
Alarms symptom
Ada 55 37
Tidak ada 95 63
Penyakit digestif
Ada 111 74
Tidak ada 39 26
Penyakit hepato-pankreo-bilier
Ada 30 20
Tidak ada 120 80
Penyakit sistemik infeksi tropik
21
Ada 86 57
Tidak ada 64 43
Penyakit sistemik metabolik
Ada 48 32
Tidak ada 102 68
Penggunaan zat dan obat – obatan
Jamu 30 20
Obat – obat 37 25
Jamu dan obat 23 15
Tidak mengunakan 60 40
Pola kehidupan tidak sehat
Ada 106 71
Tidak 44 29
Faktor psikososial (stress)
Pekerjaan/pelajaran 37 25
Keluarga 31 20
Pekerjaan/pelajaran dan keluarga 24 16
Tidak ada 58 39
45%
55%Lelaki
Perempuan
22
Gambar 1. Distribusi dispepsia menurut jenis kelamin.
Gambar 1 menunjukkan distribusi dyspepsia menurut jenis kelamin pada 150 pasien rawat inap
di bangsal IPD RSUD Koja. Didapatkan 68 orang (45%) pasien lelaki dan 82 orang (55%) pasien
wanita.
< 30 tahun 30 - 50 tahun > 50 tahun0
5
10
15
20
25
30
35
40
45
50
43%
36%
21%
Gambar 2. Distribusi dispepsia menurut kelompok usia.
Gambar 2 menunjukkan distribusi dyspepsia menurut usia pada 150 orang pasien rawat inap
bangsal PD RSUD Koja.. Subjek dibagikan kepada 3 kelompok usia. Didapatkan 64 orang (43%)
pasien dari kelompok usia kurang dari 30 tahun, 54 orang (36%) pasien dari kelompok usia 30
hingga 50 tahun, dan 32 orang (21%) pasien dari kelompok usia di atas 50 tahun.
32%
50%
18%
< 3 keluhan
3 - 5 keluhan
> 5 keluhan
Gambar 3. Distribusi kriteria keluhan dispepsia
23
Gambar 3 menunjukkan distribusi kriteria keluhan dispepsia pada 150 orang pasien dispepsia di
bangsal PD RSUD Koja. Kriteria dispepsia dibagikan kepada 3 kelompok. Didapatkan 48 orang
(32%) pasien dengan keluhan kurang dari 3, 75 orang (50%) pasien dengan keluhan antara 3 – 5,
dan 27 orang (18%) pasien dengan keluhan lebih dari 5.
37%
63%
Ada alarm simptom
Tidak ada alarm simptom
Gambar 4. Distribusi dispepsia dengan alarm symptom
Gambar 4 menunjukan distribusi dispepsia dengan adanya alarm symptom pada 150 pasien rawat
inap di bangsal PD RSUD Koja. Didapatkan 55 orang (37%) pasien ada alarm symptom
manakala 95 orang (63%) pasien tidak ada alarm symptom.
74%
26%
Ada penyakit digestif
Tidak ada penyakit digestif
Gambar 5. Distribusi dispepsia dengan penyakit digestif.
24
Gambar 5 menunjukkan distribusi dispepsia dengan adanya penyakit digestif pada 150 pasien
rawat inap di bangsal PD RSUD Koja. Didapatkan 111 (74%) orang pasien ada penyakit digestif
dan 39 (26%) orang pasien tidak ada penyakit digestif.
20%
80%
Ada penyakit hepato-pankreo-bilier
Tidak ada penyakit hepato-pankreo-bilier
Gambar 6. Distribusi dispepsia dengan penyakit hepato-pankreo-bilier.
Gambar 6 menunjukkan distribusi dispepsia dengan adanya penyakit hepato-pankreo-bilier pada
150 pasien rawat inap di bangsal PD RSUD Koja. Didapatkan 30 (20%) orang pasien ada
penyakit hepato-pankreo-bilier dan 120 (80%) orang pasien tidak ada penyakit hepato-pankreo-
bilier.
32%
68%
Ada penyakit metabo-lik endokrin
Tidak ada penyakit metabolik endokrin
Gambar 7. Distribusi dispepsia dengan penyakit sistemik metabolik.
25
Gambar 7 menunjukkan distribusi dispepsia dengan adanya penyakit sistemik metabolik pada
150 pasien rawat inap di bangsal PD RSUD Koja. Didapatkan 48 orang (32%) pasien ada
penyakit sistemik metabolik dan 102 orang (68%) pasien tidak ada penyakit sistemik metabolik.
57%
43%
Ada penyakit infeksi sistemik
Tidak ada penyakit infeksi sistemik
Gambar 8. Distribusi dispepsia dengan infeksi sistemik.
Gambar 8 menunjukkan distribusi dispepsia dengan adanya penyakit sistemik infeksi pada 150
pasien rawat inap di bangsal kPD RSUD Koja. Didapatkan 86 orang (57%) pasien ada penyakit
sistemik infeksi dan 64 orang (43%) pasien tidak ada penyakit sistemik infeksi
20%
25%
15%
40%Jamu
Obatan
Jamu dan obatan
Tidak meng-gunakan
Gambar 9. Distribusi dispepsia dengan penggunaan zat dan obat – obatan.
Gambar 9 menunjukkan distribusi dispepsia dengan adanya penggunaan zat dan obat – obatan
pada 150 pasien rawat inap di bangsal PD RSUD Koja. Didapatkan 90 orang (60%) pasien ada
riwayat penggunaan zat dan obat – obatan dimana 30 orang (20%) pasien menggunakan jamu, 37
26
orang (25%) pasien menggunakan obat – obatan, 23 orang (15%) pasien mengunakan kedua –
duanya. Manakala 60 orang (40%) pasien tidak mengunakan jamu atau obat – obatan.
71%
29%
Pola kehidupan tidak sehat
Pola kehidupan sehat
Gambar 10. Distribusi dispepsia dengan pola kehidupan yang tidak sehat.
Gambar 10 menunjukkan distribusi pola kehidupan yang tidak sehat pada 150 orang pasien
dispepsia di bangsal PD RSUD Koja. Didapatkan 106 orang (71%) pasien dengan pola
kehidupan tidak sehat dan 44 orang (29%) pasien dengan pola kehidupan sehat.
25%
20%16%
39%Pekerjaan/pelajaran
keluarga
Pekerjaan/pelajaran dan keluarga
Tidak ada
Gambar 11. Distribusi dispepsia dengan adanya faktor psikososial.
Gambar 11 menunjukkan distribusi dispepsia dengan adanya faktor psikososial pada 150 pasien
rawat inap di bangsal PD RSUD Koja. Didapatkan 92 orang (61%) dengan adanya faktor
psikososial dimana 37 orang (25%) pasien dengan stress dari pekerjaan/pelajaran, 31 orang
27
(20%) dengan stress dari keluarga, 24 orang (16%) dengan stress dari kedua – duanya. Manakala
58 orang (39%) pasien tidak mempunyai faktor stress.
BAB 5
PEMBAHASAN, KESIMPULAN & SARANAN
5.1 Pembahasan
Dispepsia sering ditemukan pada perempuan daripada lelaki [6]. Pada penelitian ini juga
didapatkan pasien dengan dispepsia terbanyak adalah perempuan iaitu sebanyak 82 orang (55%),
sedangkan lelaki sebanyak 68 orang (45%). Menurut penelitian yang dilakukan Sianturi C (2006)
dengan desain case series di RSUP H.Adam Malik Medan tahun 2001 – 2004 menemukan
proporsi kejadian dispepsia lebih tinggi pada perempuan sebesar 63%. Namun menurut penelitian
kami, proporsi lelaki dan perempuan hampir sama. Ini disebabkan oleh jumlah sampel jenis
kelamin lelaki dan perempuan sama banyak.
Dari tabel 2, didapatkan pasien dispepsia tertinggi berdasarkan usia adalah pasien dibawah usia
30 tahun iaitu 64 orang (43%), diikuti pasien dengan usia 30 – 50 tahun iaitu 54 orang (36%),
28
dan proporsi terendah adalah pasien dengan usia di atas 50 tahun iaitu 32 orang (21%). Tapi
menurut penelitian yang dilakukan oleh Eddy Bagus di Unit Gastroenterologi RSUD Soetomo
Surabaya tahun 2001, daripada 39 sampel yang diperiksa 79.4% usia penderita dispepsia berada
pada 30 hingga 50 tahun [7]. Hal ini karena pasien yang dirawat inap di RSUD Koja lebih
cenderung menghidap penyakit infeksi sistemik, terutama pada pasien dibawah usia 30 tahun.
Berdasarkan tabel 2, proposi pasien dispepsia yang ditemukan alarms symptom adalah 37%,
selebihnya 63% pasien tidak ditemukan alarms symptom. Alarm symptom merupakan salah satu
dari kriteria untuk menentukan adanya dispepsia organik [2]. Pada pasien yang dirawat inap di
RSUD Koja kebanyakan keluhan dispepsia adalah dispepsia fungsional, maka proporsi alarms
symptom yang ditemukan pada pasien dispepsia dalam penelitian adalah rendah.
Berdasarkan tabel 2, proporsi penyakit digestif pada pasien dengan keluhan dispepsia yang di
rawat inap di RSUD Koja adalah 74%, manakala selebihnya 26% pasien tidak menghidap
penyakit digestif. Keluhan dispepsia didominan oleh penyakit digestif karena hampir kebanyakan
pasien rawat inap yang datang mendapatkan pengobatan untuk keluhan utama penyakit akut atau
kronik turut mempunyai keluhan sampingan sakit maag. Menurut Bazaldua (1999), kebanyakan
gastritis tanpa gejala. Mereka yang mempunyai keluhan biasanya berupa keluhan yang tidak
khas. Keluhan yang sering dihubungkan dengan gastritis adalah nyeri panas dan pedih di ulu hati
disertai mual kadang - kadang sampai muntah [8]. Di Britain, sekitar 6 – 20% penduduk
penderita gastritis pada usia 35 tahun sedangkan prevalensinya 2-4% [9].
Berdasarkan tabel 2, proporsi penyakit hepatopankreobilier pada pasien dengan keluhan
dispepsia yang di rawat inap di RSUD Koja adalah 20%, manakala selebihnya 80% pasien tidak
menghidap penyakit hepatopankreobilier. Hal ini karena pasien yang di rawat inap di RSUD
Koja pada waktu penelitian dijalankan mayoritas bukan penyakit hepatopankreobilier. Menurut
Mansjoer (2007), ketidaknyamanan abdomen atas dapat juga disebabkan oleh kolelithiasis
simptomatik, keganasan pankreas, dan insufisiensi vascular mesentarikus [10]. Penelitian
terhadap dispepsia yang disebabkan oleh penyakit hepatopankreobilier tidak ditemukan.
Berdasarkan tabel 2, proporsi penyakit sistemik metabolik pada pasien dengan keluhan dispepsia
yang di rawat inap di RSUD Koja adalah 32%, manakala selebihnya 68% pasien tidak
menghidap penyakit sistemik metabolik. Menurut Mansjoer (2007), nyeri perut sering terjadi
pada pasien DM dikarenakan oleh gastroparesis DM, hiperkalsemia, dan uremia [10].
29
Berdasarkan tabel 2, proporsi penyakit infeksi sistemik pada pasien dengan keluhan dispepsia
yang di rawat inap di RSUD Koja adalah 57%, manakala selebihnya 43% pasien tidak
menghidap penyakit infeksi sistemik. Menurut Widoyono (2008), infeksi virus dengue dapat
ditemukan pada beberapa kelainan abdomen. Kelainan abdomen yang terjadi pada pasien DBD
berupa nyeri ulu hati, kembung, regurgitasi dan rasa panas didada. Kelainan ini terjadi karena
kebocoran plasma akibat peningkatan permeabiliatas kapiler yang menyababkan penumpukan
cairan dalam dinding organ dan rongga abdomen [11].
Berdasarkan tabel 2, proporsi penggunaan zat dan obat – obatan pada pasien dengan keluhan
dispepsia yang di rawat inap di RSUD Koja adalah 60%, dimana 20% darinya menggunakan
jamu, 25% darinya menggunakan obat – obatan, dan 15% darinya mengunakan kedua – duanya.
Selebihnya 40% tidak mengunakan jamu atau obat – obatan. Menurut Mansjoer (2007), obat
OAINS dan aspirin dapat menyebabkan terjadinya nyeri di bagian abdomen atas iaitu dengan
mekanismenya menghambat sintesa prostaglandin yang bertindak sebagai mediator peradangan.
Obat ini merupakan kontraindikasi pada pasien yang menderita tukak peptik aktif dan
pendarahan pada gastrointestinal [10].
Berdasarkan tabel 2, proporsi mengamalkan pola kehidupan yang tidak sehat pada 150 orang
pasien dispepsia di bangsal IPD RSUD Koja adalah 71%, dan selebihnya 29% mengamalkan
pola kehidupan sehat Menurut Arianto, modifikasi gaya hidup sangat berperanan dalam pencegah
terjadinya dispepsia bahkan memperbaikai kondisi lambung secara tidak langsung [12].
Berdasarkan tabel 2, proporsi adanya faktor psikososial pada 150 pasien rawat inap di bangsal
IPD RSUD Koja adalah 61%, dimana 25% darinya stress berpunca dari pekerjaan/pelajaran, 20%
darinya stress dari keluarga, dan 16% darinya adalah stress dari pekerjaan/pelajaran dan juga
keluarga. Selebihnya 39% tidak mempunyai faktor stressor. Menurut Yanti Harahap (2007),
stress memicu sekresi hormon katekolamin yang terdiri dari zat aktif dopamin, epinefrin dan
norepinefrin. Hormon ini akan menekan bagian otak yang berperan dalam ingatan jangka pendek.
Proses ini akan memicu terjadinya penyakit psikosomatik dengan gejala dispepsia seperti mual,
muntah, diare, pusing, sakit otot dan sendi [13].
30
5.2 Kesimpulan
- Proporsi tertinggi penderita dispepsia adalah perempuan (55%), kelompok umur
- < 30 tahun (43%), penderita yang ada 3 – 5 keluhan dispepsia (50%), penderita yang tidak
ada alarms symptom (63%).
- Penderita yang ada riwayat penyakit digestif (74%).
- Penderita yang tidak ada riwayat penyakit hepatopankreobilier (80%).
- Penderita yang tidak ada riwayat penyakit sistemik metabolik (68%), penderita yang ada
riwayat penyakit sistemik infeksi tropik (57%).
- Penderita yang ada riwayat penggunaan zat/obat (60%).
- Penderita yang mempunyai pola makan yang tidak teratur (71%).
- Penderita yang ada riwayat stress psikososial (61%).
5.3 Saran
Penelitian selanjutnya diharapkan untuk lebih mendalami dan mencari kausa definitif terhadap
kelainan yang ditemukan sehingga hasil penelitian akan menjadi lebih baik dan bermanfaat
kepada semua golongan di masa yang akan datang.
31
BAB 6
DAFTAR PUSTAKA
1. Djodjiningrat D. Dyspepsia fungsional. Dalam: Sudoyo A, Setiyohadi B, Alwi I,
Simadibratha M, Setiasi S, ed. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi V. Jakarta: Interna
Publishing, 2009; hlm 529-533.
2. Mcquaid KR. Dyspepsia. Dalam: Mcphee SJ, Papadakis MA. Ed. Current medical diagnosis
and treatment. Edisi ke-48. USA: McGraw-Hills company, 2009; chapter 15. hlm 473 – 477.
3. Talley MJ. Fungsional(non-ulcer) dyspepsia. Dalam: Goldman L, Ausiello D, ed. Cecil
medicine. Edisi 23. Philadelphia : Elsevier's inc, 2007; chap 139.
4. Taringan P. Ulkus gaster. Dalam: Sudoyo A, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibratha M, Setiasi
S, ed. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi V. Jakarta: Interna Publishing, 2009; hlm 513 -
528
5. Djojoningrat, D, Maret 2005. Dispepsia Fungsional. Majalah kedokteran Indonesia, Vol. 55,
No. 3 Hlm 219 – 222
6. Tarigan, C.J., 2003. Perbedaan Depresi Pada Pasien Dispepsia Fungsional Dan Dispepsia
Organik. USU Digital Library. http;//library.usu.ac.id
7. Bagus, E, 2002. Karakteristik Penderita Dispepsia di RSUD Prof Dr. Soetomo Surabaya.
http;//journal.lib.unair.ac.id/
8. Bazaldua O.V., David S, Oktober 1999. Evaluation and Management of Dyspepsia.
American Family Physician. Vol 60, No. 6 http;//www.aafp.org
9. Rani A, Soegondo S, Nasir AUZ, Wijaya IP, Nafrialdi, Mansjoer A, ed. Gastroenterologi.
Panduan pelayanan medik perhimpunan dokter spesialis penyakit daam indonesia. Jakarta:
Interna Publishing, 2009;h297-301
32
10. Mansjoer, A., dkk, 2001. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi Ketiga Jilid Pertama. Media
Aesculapius FKUI Jakarta.
11. Rani A. Soegondo S, Nasir Au. Panduan Pelayanan medic pimpinan himpunan dokter
spesialis penyakit dalam Indonesia. Jakarta: Pusat penerbitan FKUI, 2006. Halaman137 -8
12. Palmer, MacLeod F, Marshall J. Gut 2009:58:1217-21.
13. Yanti H, karakteristik penderita dispepsia rawat inap di RS martha Friska Medah Tahun
2007, 2010.
33