laporan pendahuluan combustio luka bakar

85
LAPORAN PENDAHULUAN COMBUSTIO/ LUKA BAKAR A. DEFINISI COMBUSTIO/ LUKA BAKAR Luka bakar adalah luka yang disebabkan oleh pengalihan energi dari suatu sumber panas pada tubuh, panas dapat dipindahkan oleh hantaran/radiasi electromagnet (Brunner & Suddarth, 2002). Luka bakar adalah kerusakan atau kehilangan jaringan yang disebabkan kontrak dengan sumber panas seperti api, air, panas, bahan kimia, listrik dan radiasi (Moenajar, 2002). Luka bakar adalah kerusakan pada kulit diakibatkan oleh panas, kimia atau radio aktif (Wong, 2003). Luka bakar adalah suatu bentuk kerusakan atau kehilangan jaringan yang disebabkan adanya kontak dengan sumber panas seperti api, air panas, bahan kimia, listrik dan radiasi. Kerusakan jaringan yang disebabkan api dan koloid (misalnya bubur panas) lebih berat dibandingkan air panas. Ledakan dapat menimbulkan luka bakar dan menyebabkan kerusakan organ. Bahan kimia terutama asam menyebabkan kerusakan yang hebat akibat reaksi jaringan sehingga terjadi diskonfigurasi jaringan yang menyebabkan gangguan proses penyembuhan. Lama kontak jaringan dengan sumber panas menentukan luas dan kedalaman kerusakan jaringan. Semakin lama waktu kontak, semakin luas dan dalam kerusakan jaringan yang terjadi (Moenadjat, 2003). Luka bakar adalah suatu bentuk kerusakan atau kehilangan jaringan yang disebabkan kontak dengan sumber panas, bahan kimia, listrik dan radiasi. Kulit dengan luka bakar akan mengalami kerusakan pada epidermis, dermis, maupun jaringan

Upload: kristono-wish-khalifa

Post on 08-Dec-2015

166 views

Category:

Documents


15 download

TRANSCRIPT

LAPORAN PENDAHULUAN COMBUSTIO/ LUKA BAKAR

A.    DEFINISI COMBUSTIO/ LUKA BAKAR

Luka bakar adalah luka yang disebabkan oleh pengalihan energi dari suatu sumber panas pada tubuh, panas dapat dipindahkan oleh hantaran/radiasi electromagnet (Brunner & Suddarth, 2002).

Luka bakar adalah kerusakan atau kehilangan jaringan yang disebabkan kontrak dengan sumber panas seperti api, air, panas, bahan kimia, listrik dan radiasi (Moenajar, 2002).

Luka bakar adalah kerusakan pada kulit diakibatkan oleh panas, kimia atau radio aktif (Wong, 2003).

Luka bakar adalah suatu bentuk kerusakan atau kehilangan jaringan yang disebabkan adanya kontak dengan sumber panas seperti api, air panas, bahan kimia, listrik dan radiasi. Kerusakan jaringan yang disebabkan api dan koloid (misalnya bubur panas) lebih berat dibandingkan air panas. Ledakan dapat menimbulkan luka bakar dan menyebabkan kerusakan organ. Bahan kimia terutama asam menyebabkan kerusakan yang hebat akibat reaksi jaringan sehingga terjadi diskonfigurasi jaringan yang menyebabkan gangguan proses penyembuhan. Lama kontak jaringan dengan sumber panas menentukan luas dan kedalaman kerusakan jaringan. Semakin lama waktu kontak, semakin luas dan dalam kerusakan jaringan yang terjadi (Moenadjat, 2003).

Luka bakar adalah suatu bentuk kerusakan atau kehilangan jaringan yang disebabkan kontak dengan sumber panas, bahan kimia, listrik dan radiasi. Kulit dengan luka bakar akan mengalami kerusakan pada epidermis, dermis, maupun jaringan subkutan tergantung faktor penyebab dan lamanya kontak dengan sumber panas/penyebabnya. Kedalaman luka bakar akan mempengaruhi kerusakan/ gangguan integritas kulit dan kematian sel-sel (Yepta, 2003).

Luka bakar adalah luka yang terjadi karena terbakar api langsung maupun tidak langsung, juga pajanan suhu tinggi dari matahari, listrik, maupun bahan kimia. Luka bakar karena api atau akibat tidak langsung dari api, misalnya tersiram air panas banyak terjadi pada kecelakaan rumah tangga (Sjamsuidajat, 2004)

Luka bakar yaitu luka yang disebabkan oleh suhu tinggi, dan disebabkan banyak faktor, yaitu fisik seperti api, air panas, listrik seperti kabel listrik yang mengelupas, petir, atau bahan kimia seperti asam atau basa kuat (Triana, 2007).

Luka bakar adalah suatu trauma yang disebabkan oleh panas, arus listrik bahan kimia dan petir yang mengenai kulit, mukosa dan jaringan yang lebih dalam (Kusumaningrum, 2008)

Luka bakar bisa berasal dari berbagai sumber, dari api, matahari, uap, listrik, bahan kimia, dan cairan atau benda panas. Luka bakar bisa saja hanya berupa luka ringan yang bisa diobati sendiri atau kondisi berat yang mengancam nyawa yang membutuhkan perawatan medis yang intensif (PRECISE, 2011)

B.     KLASIFIKASI COMBUSTIO/ LUKA BAKAR

           1.      Berdasarkan penyebab:

a.       Luka bakar karena api

b.      Luka bakar karena air panas

c.       Luka bakar karena bahan kimia

d.      Luka bakar karena listrik

e.       Luka bakar karena radiasi

f.       Luka bakar karena suhu  rendah (frost bite)

            2.      Berdasarkan  kedalaman  luka bakar:

a.       Luka bakar derajat I

Luka bakar derajat pertama adalah setiap luka bakar yang di dalam proses penyembuhannya tidak meninggalkan jaringan parut. Luka bakar derajat pertama tampak sebagai suatu daerah yang berwarna kemerahan, terdapat gelembung gelembung yang ditutupi oleh daerah putih, epidermis yang tidak mengandung pembuluh darah dan dibatasi oleh kulit yang berwarna merah serta hiperemis.

Luka bakar derajat pertama ini hanya mengenai epidermis dan biasanya sembuh dalam 5-7 hari, misalnya tersengat matahari. Luka tampak sebagai eritema dengan keluhan rasa nyeri atau hipersensitifitas setempat. Luka derajat pertama akan sembuh tanpa bekas.

Gambar 1. Luka bakar derajat I

b.      Luka bakar derajat II

Kerusakan yang terjadi pada epidermis dan sebagian dermis, berupa reaksi inflamasi akut disertai proses eksudasi, melepuh, dasar luka berwarna merah atau pucat, terletak lebih tinggi di atas permukaan kulit normal, nyeri karena ujungujung saraf teriritasi. Luka bakar derajat II ada dua:

1)      Derajat II dangkal (superficial)

Kerusakan yang mengenai bagian superficial dari dermis, apendises kulit seperti folikel rambut, kelenjar keringat, kelenjar sebasea masih utuh. Luka sembuh dalam waktu 10-14 hari.

2)      Derajat II dalam (deep)

Kerusakan hampir seluruh bagian dermis. Apendises kulit seperti folikel rambut, kelenjar keringat, kelenjar sebasea sebagian masih utuh. Penyembuhan terjadi lebih lama, tergantung apendises kulit yang tersisa. Biasanya penyembuhan terjadi dalam waktu lebih dari satu bulan.

Gambar 2. Luka bakar derajat II

c.       Luka bakar derajat III

Kerusakan meliputi seluruh ketebalan dermis dan lapisan yang lebih dalam, apendises kulit seperti folikel rambut, kelenjar keringat, kelenjar sebasea rusak, tidak ada pelepuhan, kulit berwarna abu-abu atau coklat, kering, letaknya lebih rendah dibandingkan kulit sekitar karena

koagulasi protein pada lapisan epidermis dan dermis, tidak timbul rasa nyeri. Penyembuhan lama karena tidak ada proses epitelisasi spontan.

Gambar 3. Luka bakar derajat III

           3.      Berdasarkan  tingkat  keseriusan luka

a.       Luka bakar ringan/ minor

1)      Luka bakar dengan luas < 15 % pada dewasa

2)      Luka bakar dengan luas < 10 % pada anak dan usia lanjut

3)      Luka bakar dengan luas < 2 % pada segala usia (tidak mengenai muka, tangan, kaki, dan perineum.

b.      Luka bakar sedang (moderate burn)

1)      Luka bakar dengan luas 15 – 25 % pada dewasa, dengan luka bakar derajat III kurang dari 10 %

2)      Luka bakar dengan luas 10 – 20 % pada anak usia < 10 tahun atau dewasa > 40 tahun, dengan luka bakar derajat III kurang dari 10 %

3)      Luka bakar dengan derajat III < 10 % pada anak maupun dewasa yang tidak mengenai muka, tangan, kaki, dan perineum.

c.       Luka bakar berat (major burn)

1)      Derajat II-III > 20 % pada pasien berusia di bawah 10 tahun atau di atas usia 50 tahun

2)      Derajat II-III > 25 % pada kelompok usia selain disebutkan pada butir pertama

3)      Luka bakar pada muka, telinga, tangan, kaki, dan perineum

4)      Adanya cedera pada jalan nafas (cedera inhalasi) tanpa memperhitungkan luas luka bakar

5)      Luka bakar listrik tegangan tinggi

6)      Disertai trauma lainnya

7)      Pasien-pasien dengan resiko tinggi.

C.    ETIOLOGI COMBUSTIO/ LUKA BAKAR

Luka bakar (Combustio) dapat disebabkan oleh paparan api, baik secara langsung maupun tidak langsung, misal akibat tersiram air panas yang banyak terjadi pada kecelakaan rumah tangga. Selain itu, pajanan suhu tinggi dari matahari, listrik maupun bahan kimia juga dapat menyebabkan luka bakar. Secara garis besar, penyebab terjadinya luka bakar dapat dibagi menjadi:

1.      Paparan api

§  Flame: Akibat kontak langsung antara jaringan dengan api terbuka, dan menyebabkan cedera langsung ke jaringan tersebut. Api dapat membakar pakaian terlebih dahulu baru mengenai tubuh. Serat alami memiliki kecenderungan untuk terbakar, sedangkan serat sintetik cenderung meleleh atau menyala dan menimbulkan cedera tambahan berupa cedera kontak.

§  Benda panas (kontak): Terjadi akibat kontak langsung dengan benda panas. Luka bakar yang dihasilkan terbatas pada area tubuh yang mengalami kontak. Contohnya antara lain adalah luka bakar akibat rokok dan alat-alat seperti solder besi atau peralatan masak.

2.      Scalds (air panas)

Terjadi akibat kontak dengan air panas. Semakin kental cairan dan semakin lama waktu kontaknya, semakin besar kerusakan yang akan ditimbulkan. Luka yang disengaja atau akibat kecelakaan dapat dibedakan berdasarkan pola luka bakarnya. Pada kasus kecelakaan, luka umumnya menunjukkan pola percikan, yang satu sama lain dipisahkan oleh kulit sehat. Sedangkan pada kasus yang disengaja, luka umumnya melibatkan keseluruhan ekstremitas dalam pola sirkumferensial dengan garis yang menandai permukaan cairan.

3.      Uap panas

Terutama ditemukan di daerah industri atau akibat kecelakaan radiator mobil. Uap panas menimbulkan cedera luas akibat kapasitas panas yang tinggi dari uap serta dispersi oleh uap bertekanan tinggi. Apabila terjadi inhalasi, uap panas dapat menyebabkan cedera hingga ke saluran napas distal di paru.

4.      Gas panas

Inhalasi menyebabkan cedera thermal pada saluran nafas bagian atas dan oklusi jalan nafas akibat edema.

5.      Aliran listrik

Cedera timbul akibat aliran listrik yang lewat menembus jaringan tubuh. Umumnya luka bakar mencapai kulit bagian dalam. Listrik yang menyebabkan percikan api dan membakar pakaian dapat menyebabkan luka bakar tambahan.

6.      Zat kimia (asam atau basa)

7.      Radiasi

8.      Sunburn sinar matahari, terapi radiasi.

D.    ANATOMI FISIOLOGI COMBUSTIO/ LUKA BAKAR

Kulit adalah organ tubuh terluas yang menutupi otot dan mempunyai fungsi sebagai pelindung tubuh dan berbagai trauma ataupun masuknya bakteri, kulit juga mempunyai fungsi utama reseptor yaitu untuk mengindera suhu, perasaan nyeri, sentuhan ringan dan tekanan, pada bagian stratum korneum mempunyai kemampuan menyerap air sehingga dengan demikian mencegah kehilangan air serta elektrolit yang berlebihan dan mempertahankan kelembaban dalam jaringan subkutan.

Tubuh secara terus menerus akan menghasilkan panas sebagai hasil metabolisme makanan yang memproduksi energi, panas ini akan hilang melalui kulit, selain itu kulit yang terpapar sinar ultraviolet dapat mengubah substansi yang diperlukan untuk mensintesis vitamin D. kulit tersusun atas 3 lapisan utama yaitu epidermis, dermis dan jaringan subkutan.

1.      Lapisan epidermis, terdiri atas:

a.       Stratum korneum, selnya sudah mati, tidak mempunyai inti sel, inti selnya sudah mati dan mengandung keratin, suatu protein fibrosa tidak larut yang membentuk barier terluar kulit dan mempunyai kapasitas untuk mengusir patogen dan mencegah kehilangan cairan berlebihan dari tubuh.

b.      Stratum lusidum. Selnya pipih, lapisan ini hanya terdapat pada telapak tangan dan telapak kaki.

c.       Stratum granulosum, stratum ini terdiri dari sel-sel pipi seperti kumparan, sel-sel tersebut terdapat hanya 2-3 lapis yang sejajar dengan permukaan kulit.

d.      Stratum spinosum/stratum akantosum. Lapisan ini merupakan lapisan yang paling tebal dan terdiri dari 5-8 lapisan. Sel-selnya terdiri dari sel yang bentuknya poligonal (banyak sudut dan mempunyai tanduk).

e.       Stratum basal/germinatum. Disebut stratum basal karena sel-selnya terletak di bagian basal/basis, stratum basal menggantikan sel-sel yang di atasnya dan merupakan sel-sel induk.

2.      Lapisan dermis terbagi menjadi dua yaitu:

a.       Bagian atas, pars papilaris (stratum papilaris)

Lapisan ini berada langsung di bawah epidermis dan tersusun dari sel-sel fibroblas yang menghasilkan salah satu bentuk kolagen.

b.      Bagian bawah, pars retikularis (stratum retikularis).

Lapisan ini terletak di bawah lapisan papilaris dan juga memproduksi kolagen.

Dermis juga tersusun dari pembuluh darah serta limfe, serabut saraf, kelenjar keringat serta sebasea dan akar rambut.

3.      Jaringan subkutan atau hipodermis

Merupakan lapisan kulit yang terdalam. Lapisan ini terutamanya adalah jaringan adipose yang memberikan bantalan antara lapisan kulit dan struktur internal seperti otot dan tu lang. Jaringan subkutan dan jumlah deposit lemak merupakan faktor penting dalam pengaturan suhu tubuh.

 

Kelenjar Pada Kulit

Kelenjar keringat ditemukan pada kulit pada sebagian besar permukaan tubuh. Kelenjar ini terutama terdapat pada telapak tangan dan kaki. Kelenjar keringat diklasifikasikan menjadi 2, yaitu kelenjar ekrin dan apokrin. Kelenjar ekrin ditemukan pada semua daerah kulit. Kelenjar apokrin berukuran lebih besar dan kelenjar ini terdapat aksila, anus, skrotum dan labia mayora.

Gambar 4. Anatomi Kulit

E.     PATOFISIOLOGI COMBUSTIO/ LUKA BAKAR

Luka bakar (Combustio) disebabkan oleh pengalihan energi dari suatu sumber panas kepada tubuh. Panas dapat dipindahkan lewat hantaran atau radiasi elektromagnetik. Destruksi jaringan terjadi akibat koagulasi, denaturasi protein atau ionisasi isi sel. Kulit dan mukosa saluran nafas atas merupakan lokasi destruksi jaringan. Jaringan yang dalam termasuk organ visceral dapat mengalami kerusakan karena luka bakar elektrik atau kontak yang lama dengan burning agent. Nekrosis dan keganasan organ dapat terjadi.

Kedalam luka bakar bergantung pada suhu agen penyebab luka bakar dan lamanya kontak dengan gen tersebut. Pajanan selama 15 menit dengan air panas dengan suhu sebesar 56.10C mengakibatkan cidera full thickness yang serupa. Perubahan patofisiologik yang disebabkan oleh luka bakar yang berat selama awal periode syok luka bakar mencakup hipoperfusi jaringan dan hipofungsi organ yang terjadi sekunder akibat penurunan curah jantung dengan diikuti oleh fase hiperdinamik serta hipermetabolik. Kejadian sistemik awal sesudah luka bakar yang berat adalah ketidakstabilan hemodinamika akibat hilangnya integritas kapiler dan kemudian terjadi perpindahan cairan, natrium serta protein dari ruang intravaskuler ke dalam ruanga interstisial.

Curah jantung akan menurun sebelum perubahan yang signifikan pada volume darah terlihat dengan jelas. Karena berkelanjutnya kehilangan cairan dan berkurangnya volume vaskuler, maka

curah jantung akan terus turun dan terjadi penurunan tekanan darah. Sebagai respon, system saraf simpatik akan melepaskan kotekolamin yang meningkatkan vasokontriksi dan frekuensi denyut nadi. Selanjutnya vasokontriksi pembuluh darah perifer menurunkan curah jantung.

Umumnya jumlah kebocoran cairan yang tersebar terjadi dalam 24 hingga 36 jam pertama sesudah luka bakar dan mencapai puncaknya dalam tempo 6-8 jam. Dengan terjadinya pemulihan integritas kapiler, syok luka bakar akan menghilang dan cairan mengalir kembali ke dalam kompartemen vaskuler, volume darah akan meningkat. Karena edema akan bertambah berat pada luka bakar yang melingkar. Tekanan terhadap pembuluh darah kecil dan saraf pada ekstremitas distal menyebabkan obstruksi aliran darah sehingga terjadi iskemia. Komplikasi ini dinamakan sindrom kompartemen.

Volume darah yang beredar akan menurun secara drastis pada saat terjadi syok luka bakar. Kehilangan cairan dapat mencapai 3-5 liter per 24 jam sebelum luka bakar ditutup. Selama syok luka bakar, respon luka bakar respon kadar natrium serum terhadap resusitasi cairan bervariasi. Biasanya hipnatremia terjadi segera setelah terjadinya luka bakar, hiperkalemia akan dijumpai sebagai akibat destruksi sel massif. Hipokalemia dapat terjadi kemudian dengan berpindahnya cairan dan tidak memadainya asupan cairan. Selain itu juga terjadi anemia akibat kerusakan sel darah merah mengakibatkan nilai hematokrit meninggi karena kehilangan plasma. Abnormalitas koagulasi yang mencakup trombositopenia dan masa pembekuan serta waktu protrombin memanjang juga ditemui pada kasus luka bakar.

Kasus luka bakar dapat dijumpai hipoksia. Pada luka bakar berat, konsumsi oksigen oleh jaringan meningkat 2 kali lipat sebagai akibat hipermetabolisme dan respon lokal. Fungsi renal dapat berubah sebagai akibat dari berkurangnya volume darah. Destruksi sel-sel darah merah pada lokasi cidera akan menghasilkan hemoglobin bebas dalam urin. Bila aliran darah lewat tubulus renal tidak memadai, hemoglobin dan mioglobin menyumbat tubulus renal sehingga timbul nekrosis akut tubuler dan gagal ginjal.

Kehilangan integritas kulit diperparah lagi dengan pelepasan faktor-faktor inflamasi yang abnormal, perubahan immunoglobulin serta komplemen serum, gangguan fungsi neutrofil, limfositopenia. Imunosupresi membuat pasien luka bakar beresiko tinggi untuk mengalami sepsis. Hilangnya kulit menyebabkan ketidakmampuan pengaturan suhunya. Beberapa jam pertama pasca luka bakar menyebabkan suhu tubuh rendah, tetapi pada jam-jam berikutnya menyebabkan hipertermi yang diakibatkan hipermetabolisme

Pathway

F.     MANIFESTASI KLINIS COMBUSTIO/ LUKA BAKAR

Kedalaman Dan Penyebab Luka Bakar

Bagian Kulit Yang Terkena

Gejala Penampilan Luka

Derajat Satu (Superfisial): tersengat matahari, terkena api dengan intensitas rendah

Epidermis Kesemutan, hiperestesia (supersensivitas), rasa nyeri mereda jika didinginkan

Memerah, menjadi putih ketika ditekan minimal atau tanpa edema

Derajat Dua (Partial-Thickness): tersiram air mendidih, terbakar oleh nyala api

Epidermis dan bagian dermis

Nyeri, hiperestesia, sensitif terhadap udara yang dingin

Melepuh, dasar luka berbintik-bintik merah, epidermis retak, permukaan luka basah, terdapat edema

Derajat Tiga (Full-Thickness): terbakar nyala api, terkena cairan mendidih dalam waktu yang lama, tersengat arus listrik

Epidermis, keseluruhan dermis dan kadang-kadang jaringan subkutan

Tidak terasa nyeri, syok, hematuria (adanya darah dalam urin) dan kemungkinan pula hemolisis (destruksi sel darah merah), kemungkinan terdapat luka masuk dan keluar (pada luka bakar listrik)

Kering, luka bakar berwarna putih seperti bahan kulit atau gosong, kulit retak dengan bagian lemak yang tampak, terdapat edema

.

G.    PENYEMBUHAN LUKA COMBUSTIO/ LUKA BAKAR

Proses yang kemudian pada jaringan rusak ini adalah penyembuhan luka yang dapat dibagi dalam 3 fase:

1.      Fase inflamasi

Fase yang berentang dari terjadinya luka bakar sampai 3-4 hari pasca luka bakar. Dalam fase ini terjadi perubahan vaskuler dan proliferasi seluler. Daerah luka mengalami agregasi trombosit dan mengeluarkan serotonin, mulai timbul epitelisasi.

2.      Fase proliferasi

Fase proliferasi disebut fase fibroplasia karena yang terjadi proses proliferasi fibroblast. Fase ini berlangsung sampai minggu ketiga. Pada fase proliferasi luka dipenuhi sel radang, fibroplasia dan kolagen, membentuk jaringan berwarna kemerahan dengan permukaan berbenjol halus yang disebut granulasi. Epitel tepi luka yang terdiri dari sel basal terlepas dari dasar dan mengisi permukaan luka, tempatnya diisi sel baru dari proses mitosis, proses migrasi terjadi ke arah yang lebih rendah atau datar. Proses fibroplasia akan berhenti dan mulailah proses pematangan.

3.      Fase maturasi

Terjadi proses pematangan kolagen. Pada fase ini terjadi pula penurunan aktivitas seluler dan vaskuler, berlangsung hingga 8 bulan sampai lebih dari 1 tahun dan berakhir jika sudah tidak ada tanda-tanda radang. Bentuk akhir dari fase ini berupa jaringan parut yang berwarna pucat, tipis, lemas tanpa rasa nyeri atau gatal.

H.    LUAS LUKA BAKAR

Berat luka bakar (Combustio) bergantung pada dalam, luas, dan letak luka. Usia dan kesehatan pasien sebelumnya akan sangat mempengaruhi prognosis. Adanya trauma inhalasi juga akan mempengaruhi berat luka bakar.

Jaringan lunak tubuh akan terbakar bila terpapar pada suhu di atas 46oC. Luasnya kerusakan akan ditentukan oleh suhu permukaan dan lamanya kontak. Luka bakar menyebabkan koagulasi jaringan lunak. Seiring dengan peningkatan suhu jaringan lunak, permeabilitas kapiler juga meningkat, terjadi kehilangan cairan, dan viskositas plasma meningkat dengan resultan pembentukan mikrotrombus. Hilangnya cairan dapat menyebabkan hipovolemi dan syok, tergantung banyaknya cairan yang hilang dan respon terhadap resusitasi. Luka bakar juga menyebabkan peningkatan laju metabolik dan energi metabolisme.

Semakin luas permukaan tubuh yang terlibat, morbiditas dan mortalitasnya meningkat, dan penanganannya juga akan semakin kompleks.  Luas luka bakar dinyatakan dalam persen

terhadap luas seluruh tubuh. Ada beberapa metode cepat untuk menentukan luas luka bakar, yaitu:

1.      Estimasi luas luka bakar menggunakan luas permukaan palmar pasien. Luas telapak tangan individu mewakili 1% luas permukaan tubuh. Luas luka bakar hanya dihitung pada pasien dengan derajat luka II atau III.

2.      Rumus 9 atau rule of nine untuk orang dewasa

Pada dewasa digunakan ‘rumus 9’, yaitu luas kepala dan leher, dada, punggung, pinggang dan bokong, ekstremitas atas kanan, ekstremitas atas kiri, paha kanan, paha kiri, tungkai dan kaki kanan, serta tungkai dan kaki kiri masing-masing 9%. Sisanya 1% adalah daerah genitalia. Rumus ini membantu menaksir luasnya permukaan tubuh yang terbakar pada orang dewasa.

Wallace membagi tubuh atas bagian 9% atau kelipatan 9 yang terkenal dengan nama rule of nine atua rule of wallace yaitu:

a.       Kepala dan leher                                     : 9%

b.      Lengan masing-masing 9%                       : 18%

c.       Badan depan 18%, badan belakang 18% : 36%

d.      Tungkai maisng-masing 18%                    : 36%

e.       Genetalia/perineum                                   : 1%

Total         : 100%

Pada anak dan bayi digunakan rumus lain karena luas relatif permukaan kepala anak jauh lebih besar dan luas relatif permukaan kaki lebih kecil. Karena perbandingan luas permukaan bagian tubuh anak kecil berbeda, dikenal rumus 10 untuk bayi, dan rumus 10-15-20 untuk anak.

Gambar 5. Luas luka bakar

3.      Metode Lund dan Browder

Metode yang diperkenalkan untuk kompensasi besarnya porsi massa tubuh di kepala pada anak. Metode ini digunakan untuk estimasi besarnya luas permukaan pada anak. Apabila tidak tersedia tabel tersebut, perkiraan luas permukaan tubuh pada anak dapat menggunakan ‘Rumus 9’ dan disesuaikan dengan usia:

o    Pada anak di bawah usia 1 tahun: kepala 18% dan tiap tungkai 14%. Torso dan lengan persentasenya sama dengan dewasa.

o    Untuk tiap pertambahan usia 1 tahun, tambahkan 0.5% untuk tiap tungkai dan turunkan persentasi kepala sebesar 1% hingga tercapai nilai dewasa.

Luas luka bakar

I.       KOMPLIKASI COMBUSTIO/ LUKA BAKAR

1.      Gagal jantung kongestif dan edema pulmonal

2.      Sindrom kompartemen

Sindrom kompartemen merupakan proses terjadinya pemulihan integritas kapiler, syok luka bakar akan menghilang dan cairan mengalir kembali ke dalam kompartemen vaskuler, volume darah akan meningkat. Karena edema akan bertambah berat pada luka bakar yang melingkar. Tekanan terhadap pembuluh darah kecil dan saraf pada ekstremitas distal menyebabkan obstruksi aliran darah sehingga terjadi iskemia.

3.      Adult Respiratory Distress Syndrome

Akibat kegagalan respirasi terjadi jika derajat gangguan ventilasi dan pertukaran gas sudah mengancam jiwa pasien.

4.      Ileus Paralitik dan Ulkus Curling

Berkurangnya peristaltic usus dan bising usus merupakan tanda-tanda ileus paralitik akibat luka bakar. Distensi lambung dan nausea dapat mengakibatnause. Perdarahan lambung yang terjadi sekunder akibat stress fisiologik yang massif (hipersekresi asam lambung) dapat ditandai oleh darah okulta dalam feces, regurgitasi muntahan atau vomitus yang berdarha, ini merupakan tanda-tanda ulkus curling.

5.      Syok sirkulasi terjadi akibat kelebihan muatan cairan atau bahkan hipovolemik yang terjadi sekunder akibat resusitasi cairan yang adekuat. Tandanya biasanya pasien menunjukkan mental berubah, perubahan status respirasi, penurunan pengeluaran urine, perubahan pada tekanan darah, curah jantung, tekanan vena sentral dan peningkatan frekuensi denyut nadi.

6.      Gagal ginjal akut

Pengeluran urine yang tidak memadai dapat menunjukkan resusiratsi cairan yang tidak adekuat khususnya hemoglobin atau mioglobin terdektis dalam urine.

J.      PEMERIKSAAN PENUNJANG COMBUSTIO/ LUKA BAKAR

1.      Hitung darah lengkap : Hb (Hemoglobin) turun menunjukkan adanya pengeluaran darah yang banyak sedangkan peningkatan lebih dari 15% mengindikasikan adanya cedera, pada Ht (Hematokrit) yang meningkat menunjukkan adanya kehilangan cairan sedangkan Ht turun dapat terjadi sehubungan dengan kerusakan yang diakibatkan oleh panas terhadap pembuluh darah.

2.      Leukosit : Leukositosis dapat terjadi sehubungan dengan adanya infeksi atau inflamasi.

3.      GDA (Gas Darah Arteri) : Untuk mengetahui adanya kecurigaaan cedera inhalasi. Penurunan tekanan oksigen (PaO2) atau peningkatan tekanan karbon dioksida (PaCO2) mungkin terlihat pada retensi karbon monoksida.

4.      Elektrolit Serum : Kalium dapat meningkat pada awal sehubungan dengan cedera jaringan dan penurunan fungsi ginjal, natrium pada awal mungkin menurun karena kehilangan cairan, hipertermi dapat terjadi saat konservasi ginjal dan hipokalemi dapat terjadi bila mulai diuresis.

5.      Natrium Urin : Lebih besar dari 20 mEq/L mengindikasikan kelebihan cairan , kurang dari 10 mEqAL menduga ketidakadekuatan cairan.

6.      Alkali Fosfat : Peningkatan Alkali Fosfat sehubungan dengan perpindahan cairan interstisial atau gangguan pompa, natrium.

7.      Glukosa Serum : Peninggian Glukosa Serum menunjukkan respon stress.

8.      Albumin Serum : Untuk mengetahui adanya kehilangan protein pada edema cairan.

9.      BUN atau Kreatinin : Peninggian menunjukkan penurunan perfusi atau fungsi ginjal, tetapi kreatinin dapat meningkat karena cedera jaringan.

10.  Loop aliran volume : Memberikan pengkajian non-invasif terhadap efek atau luasnya cedera.

11.  EKG : Untuk mengetahui adanya tanda iskemia miokardial atau distritmia.

12.  Fotografi luka bakar : Memberikan catatan untuk penyembuhan luka bakar.

K.    PENATALAKSANAAN COMBUSTIO/ LUKA BAKAR

Pasien luka bakar (Combustio) harus dievaluasi secara sistematik. Prioritas utama adalah mempertahankan jalan nafas tetap paten, ventilasi yang efektif dan mendukung sirkulasi sistemik. Intubasi endotrakea dilakukan pada pasien yang menderita luka bakar berat atau kecurigaan adanya jejas inhalasi atau luka bakar di jalan nafas atas. Intubasi dapat tidak dilakukan bila telah terjadi edema luka bakar atau pemberian cairan resusitasi yang terlampau banyak. Pada pasien luka bakar, intubasi orotrakea dan nasotrakea lebih dipilih daripada trakeostomi.

Pasien dengan luka bakar saja biasanya hipertensi. Adanya hipotensi awal yang tidak dapat dijelaskan atau adanya tanda-tanda hipovolemia sistemik pada pasien luka bakar menimbulkan kecurigaan adanya jejas „tersembunyi‟. Oleh karena itu, setelah mempertahankan ABC, prioritas berikutnya adalah mendiagnosis dan menata laksana jejas lain (trauma tumpul atau tajam) yang mengancam nyawa. Riwayat terjadinya luka bermanfaat untuk mencari trauma terkait dan kemungkinan adanya jejas inhalasi. Informasi riwayat penyakit dahulu, penggunaan obat, dan alergi juga penting dalam evaluasi awal.

Pakaian pasien dibuka semua, semua permukaan tubuh dinilai. Pemeriksaan radiologik pada tulang belakang servikal, pelvis, dan torak dapat membantu mengevaluasi adanya kemungkinan trauma tumpul.

Setelah mengeksklusi jejas signifikan lainnya, luka bakar dievaluasi. Terlepas dari luasnya area jejas, dua hal yang harus dilakukan sebelum dilakukan transfer pasien adalah mempertahankan ventilasi adekuat, dan jika diindikasikan, melepas dari eskar yang mengkonstriksi.

Tatalaksana resusitasi luka bakar

1.      Tatalaksana resusitasi jalan nafas:

a.       Intubasi

Tindakan intubasi dikerjakan sebelum edema mukosa menimbulkan manifestasi obstruksi. Tujuan intubasi mempertahankan jalan nafas dan sebagai fasilitas pemelliharaan jalan nafas.

b.      Krikotiroidotomi

Bertujuan sama dengan intubasi hanya saja dianggap terlalu agresif dan menimbulkan morbiditas lebih besar dibanding intubasi. Krikotiroidotomi memperkecil dead space, memperbesar tidal volume, lebih mudah mengerjakan bilasan bronkoalveolar dan pasien dapat berbicara jika dibanding dengan intubasi.

c.       Pemberian oksigen 100%

Bertujuan untuk menyediakan kebutuhan oksigen jika terdapat patologi jalan nafas yang menghalangi suplai oksigen. Hati-hati dalam pemberian oksigen dosis besar karena dapat menimbulkan stress oksidatif, sehingga akan terbentuk radikal bebas yang bersifat vasodilator dan modulator sepsis.

d.      Perawatan jalan nafas

e.       Penghisapan sekret (secara berkala)

f.       Pemberian terapi inhalasi

Bertujuan mengupayakan suasana udara yang lebih baik didalam lumen jalan nafas dan mencairkan sekret kental sehingga mudah dikeluarkan. Terapi inhalasi umumnya menggunakan cairan dasar natrium klorida 0,9% ditambah dengan bronkodilator bila perlu. Selain itu bias ditambahkan zat-zat dengan khasiat tertentu seperti atropin sulfat (menurunkan produksi sekret), natrium bikarbonat (mengatasi asidosis seluler) dan steroid (masih kontroversial)

g.      Bilasan bronkoalveolar

h.      Perawatan rehabilitatif untuk respirasi

i.        Eskarotomi pada dinding torak yang bertujuan untuk memperbaiki kompliansi paru

2.      Tatalaksana resusitasi cairan

Resusitasi cairan diberikan dengan tujuan preservasi perfusi yang adekuat dan seimbang di seluruh pembuluh darah vaskular regional, sehingga iskemia jaringan tidak terjadi pada setiap organ sistemik. Selain itu cairan diberikan agar dapat meminimalisasi dan eliminasi cairan bebas yang tidak diperlukan, optimalisasi status volume dan komposisi intravaskular untuk menjamin survival/maksimal dari seluruh sel, serta meminimalisasi respons inflamasi dan hipermetabolik dengan menggunakan kelebihan dan keuntungan dari berbagai macam cairan seperti kristaloid, hipertonik, koloid, dan sebagainya pada waktu yang tepat. Dengan adanya resusitasi cairan yang

tepat, kita dapat mengupayakan stabilisasi pasien secepat mungkin kembali ke kondisi fisiologik dalam persiapan menghadapi intervensi bedah seawal mungkin.

Resusitasi cairan dilakukan dengan memberikan cairan pengganti. Ada beberapa cara untuk menghitung kebutuhan cairan ini:

a.       Cara Evans

1)      Luas luka bakar (%) x BB (kg) menjadi mL NaCl per 24 jam

2)      Luas luka bakar (%) x BB (kg) menjadi mL plasma per 24 jam

3)      2.000 cc glukosa 5% per 24 jam

Separuh dari jumlah 1+2+3 diberikan dalam 8 jam pertama. Sisanya diberikan dalam 16 jam berikutnya. Pada hari kedua diberikan setengah jumlah cairan hari pertama. Pada hari ketiga diberikan setengah jumlah cairan hari kedua.

b.      Cara Baxter

Luas luka bakar (%) x BB (kg) x 4 mL

Separuh dari jumlah cairan diberikan dalam 8 jam pertama. Sisanya diberikan dalam 16 jam berikutnya. Pada hari kedua diberikan setengah jumlah cairan hari pertama. Pada hari ketiga diberikan setengah jumlah cairan hari kedua.

3.      Resusitasi nutrisi

Pada pasien luka bakar, pemberian nutrisi secara enteral sebaiknya dilakukan sejak dini dan pasien tidak perlu dipuasakan. Bila pasien tidak sadar, maka pemberian nutrisi dapat melalui naso-gastric tube (NGT). Nutrisi yang diberikan sebaiknya mengandung 10-15% protein, 50-60% karbohidrat dan 25-30% lemak. Pemberian nutrisi sejak awal ini dapat meningkatkan fungsi kekebalan tubuh dan mencegah terjadinya atrofi vili usus.

Perawatan luka bakar

Umumnya untuk menghilangkan rasa nyeri dari luka bakar (Combustio) digunakan morfin dalam dosis kecil secara intravena (dosis dewasa awal : 0,1-0,2 mg/kg dan „maintenance‟ 5-20 mg/70 kg setiap 4 jam, sedangkan dosis anak-anak 0,05-0,2 mg/kg setiap 4 jam). Tetapi ada juga yang menyatakan pemberian methadone (5-10 mg dosis dewasa) setiap 8 jam merupakan terapi penghilang nyeri kronik yang bagus untuk semua pasien luka bakar dewasa. Jika pasien masih merasakan nyeri walau dengan pemberian morfin atau methadone, dapat juga diberikan benzodiazepine sebagai tambahan.

Terapi pembedahan pada luka bakar

1.      Eksisi dini

Eksisi dini adalah tindakan pembuangan jaringan nekrosis dan debris (debridement) yang dilakukan dalam waktu kurang dari 7 hari (biasanya hari ke 5-7) pasca cedera termis. Dasar dari tindakan ini adalah:

a.       Mengupayakan proses penyembuhan berlangsung lebih cepat. Dengan dibuangnya jaringan nekrosis, debris dan eskar, proses inflamasi tidak akan berlangsung lebih lama dan segera dilanjutkan proses fibroplasia. Pada daerah sekitar luka bakar umumnya terjadi edema, hal ini akan menghambat aliran darah dari arteri yang dapat mengakibatkan terjadinya iskemi pada jaringan tersebut ataupun menghambat proses penyembuhan dari luka tersebut. Dengan semakin lama waktu terlepasnya eskar, semakin lama juga waktu yang diperlukan untuk penyembuhan.

b.      Memutus rantai proses inflamasi yang dapat berlanjut menjadi komplikasi – komplikasi luka bakar (seperti SIRS). Hal ini didasarkan atas jaringan nekrosis yang melepaskan “burn toxic” (lipid protein complex) yang menginduksi dilepasnya mediator-mediator inflamasi.

c.       Semakin lama penundaan tindakan eksisi, semakin banyaknya proses angiogenesis yang terjadi dan vasodilatasi di sekitar luka. Hal ini mengakibatkan banyaknya darah keluar saat dilakukan tindakan operasi. Selain itu, penundaan eksisi akan meningkatkan resiko kolonisasi mikro – organisme patogen yang akan menghambat pemulihan graft dan juga eskar yang melembut membuat tindakan eksisi semakin sulit.

Tindakan ini disertai anestesi baik lokal maupun general dan pemberian cairan melalui infus. Tindakan ini digunakan untuk mengatasi kasus luka bakar derajat II dalam dan derajat III. Tindakan ini diikuti tindakan hemostasis dan juga “skin grafting” (dianjurkan “split thickness skin grafting”). Tindakan ini juga tidak akan mengurangi mortalitas pada pasien luka bakar yang luas. Kriteria penatalaksanaan eksisi dini ditentukan oleh beberapa faktor, yaitu:

§  Kasus luka bakar dalam yang diperkirakan mengalami penyembuhan lebih dari 3 minggu.

§  Kondisi fisik yang memungkinkan untuk menjalani operasi besar.

§  Tidak ada masalah dengan proses pembekuan darah.

§  Tersedia donor yang cukup untuk menutupi permukaan terbuka yang timbul.

Eksisi dini diutamakan dilakukan pada daerah luka sekitar batang tubuh posterior. Eksisi dini terdiri dari eksisi tangensial dan eksisi fasial.

Eksisi tangensial adalah suatu teknik yang mengeksisi jaringan yang terluka lapis demi lapis sampai dijumpai permukaan yang mengeluarkan darah (endpoint). Adapun alat-alat yang digunakan dapat bermacam-macam, yaitu pisau Goulian atau Humbly yang digunakan pada luka

bakar dengan luas permukaan luka yang kecil, sedangkan pisau Watson maupun mesin yang dapat memotong jaringan kulit perlapis (dermatom) digunakan untuk luka bakar yang luas. Permukaan kulit yang dilakukan tindakan ini tidak boleh melebihi 25% dari seluruh luas permukaan tubuh. Untuk memperkecil perdarahan dapat dilakukan hemostasis, yaitu dengan tourniquet sebelum dilakukan eksisi atau pemberian larutan epinephrine 1:100.000 pada daerah yang dieksisi. Setelah dilakukan hal-hal tersebut, baru dilakukan “skin graft”. Keuntungan dari teknik ini adalah didapatnya fungsi optimal dari kulit dan keuntungan dari segi kosmetik. Kerugian dari teknik adalah perdarahan dengan jumlah yang banyak dan endpointbedah yang sulit ditentukan.

Eksisi fasial adalah teknik yang mengeksisi jaringan yang terluka sampai lapisan fascia. Teknik ini digunakan pada kasus luka bakar dengan ketebalan penuh (full thickness) yang sangat luas atau luka bakar yang sangat dalam. Alat yang digunakan pada teknik ini adalah pisau scalpel, mesin pemotong “electrocautery”. Adapun keuntungan dan kerugian dari teknik ini adalah:

§  Keuntungan : lebih mudah dikerjakan, cepat, perdarahan tidak banyak, endpoint yang lebih mudah ditentukan

§  Kerugian : kerugian bidang kosmetik, peningkatan resiko cedera pada saraf-saraf superfisial dan tendon sekitar, edema pada bagian distal dari eksisi

2.      Skin grafting

Skin grafting adalah metode penutupan luka sederhana. Tujuan dari metode ini adalah:

a.       Menghentikan evaporate heat loss

b.      Mengupayakan agar proses penyembuhan terjadi sesuai dengan waktu

c.       Melindungi jaringan yang terbuka

Skin grafting harus dilakukan secepatnya setelah dilakukan eksisi pada luka bakar pasien. Kulit yang digunakan dapat berupa kulit produk sintesis, kulit manusia yang berasal dari tubuh manusia lain yang telah diproses maupun berasal dari permukaan tubuh lain dari pasien (autograft). Daerah tubuh yang biasa digunakan sebagai daerah donor autograft adalah paha, bokong dan perut. Teknik mendapatkan kulit pasien secara autograft dapat dilakukan secara split thickness skin graft atau full thickness skin graft. Bedanya dari teknik – teknik tersebut adalah lapisan-lapisan kulit yang diambil sebagai donor. Untuk memaksimalkan penggunaan kulit donor tersebut, kulit donor tersebut dapat direnggangkan dan dibuat lubang – lubang pada kulit donor (seperti jaring-jaring dengan perbandingan tertentu, sekitar 1 : 1 sampai 1 : 6) dengan mesin. Metode ini disebut mess grafting. Ketebalan dari kulit donor tergantung dari lokasi luka yang akan dilakukan grafting, usia pasien, keparahan luka dan telah dilakukannya pengambilan kulit donor sebelumnya. Pengambilan kulit donor ini dapat dilakukan dengan mesin „dermatome‟

ataupun dengan manual dengan pisau Humbly atau Goulian. Sebelum dilakukan pengambilan donor diberikan juga vasokonstriktor (larutan epinefrin) dan juga anestesi.

Prosedur operasi skin grafting sering menjumpai masalah yang dihasilkan dari eksisi luka bakar pasien, dimana terdapat perdarahan dan hematom setelah dilakukan eksisi, sehingga pelekatan kulit donor juga terhambat. Oleh karenanya, pengendalian perdarahan sangat diperlukan. Adapun beberapa faktor yang mempengaruhi keberhasilan penyatuan kulit donor dengan jaringan yang mau dilakukan graftingadalah:

§  Kulit donor setipis mungkin

§  Pastikan kontak antara kulit donor dengan bed (jaringan yang dilakukan grafting), hal ini dapat dilakukan dengan cara :

o   Cegah gerakan geser, baik dengan pembalut elastik (balut tekan)

o   Drainase yang baik

o   Gunakan kasa adsorben

L.     PENGKAJIAN KEPERAWATAN COMBUSTIO/ LUKA BAKAR

1. Biodata

Terdiri atas nama, umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, alamt, tnggal MRS, dan informan apabila dalam melakukan pengkajian klita perlu informasi selain dari klien. Umur seseorang tidak hanya mempengaruhi hebatnya luka bakar akan tetapi  anak dibawah umur 2 tahun dan dewasa diatsa 80 tahun memiliki penilaian tinggi terhadap jumlah kematian (Lukman F dan Sorensen K.C). data pekerjaan perlu karena jenis pekerjaan memiliki resiko tinggi terhadap luka bakar agama dan pendidikan menentukan intervensi yanSg tepat dalam pendekatan

2. Keluhan utama

Keluhan utama yang dirasakan oleh klien luka bakar (Combustio) adalah nyeri, sesak nafas. Nyeri dapat disebabakna kerena iritasi terhadap saraf. Dalam melakukan pengkajian nyeri harus diperhatikan paliatif, severe, time, quality (p,q,r,s,t). sesak nafas yang timbul beberapa jam / hari setelah klien mengalami luka bakardan disebabkan karena pelebaran pembuluh darah sehingga timbul penyumbatan saluran nafas bagian atas, bila edema paru berakibat sampai pada penurunan ekspansi paru.

3.  Riwayat penyakit sekarang

Gambaran keadaan klien mulai tarjadinya luka bakar, penyabeb lamanya kontak, pertolongan pertama yang dilakuakn serta keluhan klien selama menjalani perawatan ketika dilakukan

pengkajian.  Apabila dirawat meliputi beberapa fase : fase emergency (±48 jam pertama terjadi perubahan pola bak), fase akut (48 jam pertama beberapa hari  /  bulan ), fase rehabilitatif (menjelang klien pulang)

4. Riwayat penyakit masa lalu

Merupakan riwayat penyakit yang mungkin pernah diderita oleh klien sebelum mengalami luka bakar. Resiko kematian akan meningkat jika klien mempunyai riwaya penyakit kardiovaskuler, paru, DM, neurologis, atau penyalagunaan obat dan alkohol

5. Riwayat penyakit keluarga

Merupakan gambaran keadaan kesehatan keluarga dan penyakit yang berhubungan dengan kesehatan klien, meliputi : jumlah anggota keluarga, kebiasaan keluarga mencari pertolongan, tanggapan keluarga mengenai masalah kesehatan, serta kemungkinan penyakit turunan

6. Pola ADL

Meliputi kebiasaan klien sehari-hari dirumah dan di RS dan apabila terjadi perubahan pola menimbulkan masalah bagi klien. Pada pemenuhan kebutuhan nutrisi kemungkinan didapatkan anoreksia, mual, dan muntah. Pada pemeliharaan kebersihan badan mengalami penurunan karena klien tidak dapat melakukan sendiri. Pola pemenuhan istirahat tidur juga mengalami gangguan. Hal ini disebabkan karena adanya rasa nyeri .

7. Riwayat psiko sosial

Pada klien dengan luka bakar sering muncul masalah konsep diri body image yang disebabkan karena fungsi kulit sebagai kosmetik mengalami gangguan perubahan. Selain itu juga luka bakar juga membutuhkan perawatan yang laam sehingga mengganggu klien dalam melakukan aktifitas. Hal ini menumbuhkan stress, rasa cemas, dan takut.

            8.      Aktifitas/istirahat:

Tanda: Penurunan kekuatan, tahanan; keterbatasan rentang gerak pada area yang sakit; gangguan massa otot, perubahan tonus.

            9.      Sirkulasi:

Tanda (dengan cedera luka bakar lebih dari 20% APTT): hipotensi (syok); penurunan nadi perifer distal pada ekstremitas yang cedera; vasokontriksi perifer umum dengan kehilangan nadi, kulit putih dan dingin (syok listrik); takikardia (syok/ansietas/nyeri); disritmia (syok listrik); pembentukan oedema jaringan (semua luka bakar).

10.  Integritas ego:

Gejala: masalah tentang keluarga, pekerjaan, keuangan, kecacatan.

Tanda: ansietas, menangis, ketergantungan, menyangkal, menarik diri, marah.

11. Eliminasi:

Tanda: pengeluaran urine menurun/tak ada selama fase darurat; warna mungkin hitam kemerahan bila terjadi mioglobin, mengindikasikan kerusakan otot dalam; diuresis (setelah kebocoran kapiler dan mobilisasi cairan ke dalam sirkulasi); penurunan bising usus/tak ada; khususnya pada luka bakar kutaneus lebih besar dari 20% sebagai stres penurunan motilitas/peristaltik gastrik.

12. Makanan/cairan:

Tanda: oedema jaringan umum; anoreksia; mual/muntah.

13. Neurosensori:

Gejala: area batas; kesemutan.

Tanda: perubahan orientasi; afek, perilaku; penurunan refleks tendon dalam (RTD) pada cedera ekstremitas; aktifitas kejang (syok listrik); laserasi korneal; kerusakan retinal; penurunan ketajaman penglihatan (syok listrik); ruptur membran timpanik (syok listrik); paralisis (cedera listrik pada aliran saraf).

14. Nyeri/kenyamanan:

Gejala: Berbagai nyeri; contoh luka bakar derajat pertama secara eksteren sensitif untuk disentuh; ditekan; gerakan udara dan perubahan suhu; luka bakar ketebalan sedang derajat kedua sangat nyeri; smentara respon pada luka bakar ketebalan derajat kedua tergantung pada keutuhan ujung saraf; luka bakar derajat tiga tidak nyeri.

15. Pernafasan:

Gejala: terkurung dalam ruang tertutup; terpajan lama (kemungkinan cedera inhalasi).

Tanda: serak; batuk mengii; partikel karbon dalam sputum; ketidakmampuan menelan sekresi oral dan sianosis; indikasi cedera inhalasi.

Pengembangan torak mungkin terbatas pada adanya luka bakar lingkar dada; jalan nafas atau stridor/mengii (obstruksi sehubungan dengan laringospasme, oedema laringeal); bunyi nafas: gemericik (oedema paru); stridor (oedema laringeal); sekret jalan nafas dalam (ronkhi).

16. Keamanan:

Tanda:

Kulit umum: destruksi jaringan dalam mungkin tidak terbukti selama 3-5 hari sehubungan dengan proses trobus mikrovaskuler pada beberapa luka. Area kulit tak terbakar mungkin dingin/lembab, pucat, dengan pengisian kapiler lambat pada adanya penurunan curah jantung sehubungan dengan kehilangan cairan/status syok.

Cedera api: terdapat area cedera campuran dalam sehubungan dengan variase intensitas panas yang dihasilkan bekuan terbakar. Bulu hidung gosong; mukosa hidung dan mulut kering; merah; lepuh pada faring posterior;oedema lingkar mulut dan atau lingkar nasal.

Cedera kimia: tampak luka bervariasi sesuai agen penyebab. Kulit mungkin coklat kekuningan dengan tekstur seprti kulit samak halus; lepuh; ulkus; nekrosis; atau jaringan parut tebal. Cedera secara umum lebih dalam dari tampaknya secara perkutan dan kerusakan jaringan dapat berlanjut sampai 72 jam setelah cedera.

Cedera listrik: cedera kutaneus eksternal biasanya lebih sedikit di bawah nekrosis. Penampilan luka bervariasi dapat meliputi luka aliran masuk/keluar (eksplosif), luka bakar dari gerakan aliran pada proksimal tubuh tertutup dan luka bakar termal sehubungan dengan pakaian terbakar. Adanya fraktur/dislokasi (jatuh, kecelakaan sepeda motor, kontraksi otot tetanik sehubungan dengan syok listrik).

17. Pemeriksaan fisik

a.       keadaan umum

Umumnya penderita datang dengan keadaan kotor mengeluh panas sakit dan  gelisah sampai menimbulkan penurunan tingkat kesadaran bila luka bakar mencapai derajat cukup berat

b.      TTV

Tekanan darah menurun nadi cepat, suhu dingin, pernafasan lemah sehingga tanda tidak adekuatnya pengembalian darah pada 48 jam pertama

c.       Pemeriksaan kepala dan leher

§  Kepala dan rambut

Catat bentuk kepala, penyebaran rambut, perubahan warna rambut setalah terkena luka bakar, adanya lesi akibat luka bakar, grade dan luas luka bakar

§  Mata

Catat kesimetrisan dan kelengkapan, edema, kelopak mata, lesi adanya benda asing yang menyebabkan gangguan penglihatan serta bulu mata yang rontok kena air panas, bahan kimia akibat luka bakar

§  Hidung

Catat adanya perdarahan, mukosa kering, sekret, sumbatan dan bulu hidung yang rontok.

§  Mulut

Sianosis karena kurangnya supplay darah ke otak, bibir kering karena intake cairan kurang

§  Telinga

Catat bentuk, gangguan pendengaran karena benda asing, perdarahan dan serumen

§  Leher

Catat posisi trakea, denyut nadi karotis mengalami peningkatan sebagai kompensasi untuk mengatasi kekurangan cairan

d.      Pemeriksaan thorak / dada

Inspeksi bentuk thorak, irama parnafasan, ireguler, ekspansi dada tidak maksimal, vokal fremitus kurang bergetar karena cairan yang masuk ke paru, auskultasi suara ucapan egoponi, suara nafas tambahan ronchi

e.       Abdomen

Inspeksi bentuk perut membuncit karena kembung, palpasi adanya nyeri pada area epigastrium yang mengidentifikasi adanya gastritis.

f.       Urogenital

Kaji kebersihan karena jika ada darah kotor / terdapat lesi merupakantempat pertumbuhan kuman yang paling nyaman, sehingga potensi sebagai sumber infeksi dan indikasi untuk pemasangan kateter.

g.      Muskuloskletal

Catat adanya atropi, amati kesimetrisan otot, bila terdapat luka baru pada muskuloskleletal, kekuatan otot menurun karena nyeri

h.      Pemeriksaan neurologi

Tingkat kesadaran secara kuantifikasi dinilai dengan GCS. Nilai bisa menurun bila supplay darah ke otak kurang (syok hipovolemik) dan nyeri yang hebat (syok neurogenik)

i.        Pemeriksaan kulit

Merupakan pemeriksaan pada daerah yang mengalami luka bakar (luas dan kedalaman luka). Prinsip pengukuran prosentase luas luka bakar menurut kaidah 9 (rule of nine lund and Browder) sebagai berikut :

BAG TUBUH 1 TH 2 TH DEWASA

Kepala leher 18% 14% 9%

Ekstrimitas  atas (kanan dan kiri) 18% 18% 18 %

Badan depan 18% 18% 18%

Badan belakang 18% 18% 18%

Ektrimitas bawah (kanan dan kiri) 27% 31% 30%

Genetalia 1% 1% 1%

Pengkajian kedalaman luka bakar dibagi menjadi 3 derajat (grade). Grade tersebut ditentukan berdasarkan pada keadaan luka, rasa nyeri yang dirasanya dan lamanya kesembuhan luka

.

           M.   DIAGNOSA KEPERAWATAN COMBUSTIO/ LUKA BAKAR 

1.      Nyeri akut berhubungan dengan kerusakan kulit  atau jaringan .

Kriteria hasil :

1)      Menyatakan nyeri berkurang  atau terkontrol

2)      Menunjukkan ekspresi wajah atau postur ptubuh rileks

3)      Berpartisipasi dalam aktivitas dari tidur atau istirahat dengan tepat

Intervensi :

1)      Tutup luka sesegera mungkin, kecuali perawatan luka bakar metode pemejanan pada udara terbuka

Rasional :

Suhu berubah dan tekanan udara dapat menyebabkan nyeri hebat pada pemajanan ujung saraf.

2)      Ubah pasien yang sering dan rentang gerak aktif dan pasif sesuai indikasi

Rasional :

Gerakan dan latihan menurunkan kekuatan sendi dan kekuatan otot tetapi tipe latihan tergantung indikasi dan luas cedera.

3)      Pertahankan suhu lingkungan nyaman, berikan lampu penghangat dan penutup tubuh

Rasional :

Pengaturan suhu dapat hilang karena luka bakar mayor, sumber panas eksternal perlu untuk mencegah menggigil.

4)      Kaji keluhan nyeri pertahankan lokasi, karakteristik dan intensitas (skala 0-10)

Rasional :

Nyeri hampir selalu ada pada derajat beratnya, keterlibatan jaringan atau kerusakan tetapi biasanya paling berat selama penggantian balutan dan debridement.

5)      Dorong ekspresi perasaan tentang nyeri

Rasional :

Pernyataan memungkinkan pengungkapan emosi dan dapat meningkatkan mekanisme koping.

6)      Dorong penggunaan tehnik manajemen stress, contoh relaksasi, nafas dalam, bimbingan imajinatif dan visualisasi.

Rasional :

Memfokuskan kembali perhatian, memperhatikan relaksasi dan meningkatkan rasa control yang dapat menurunkan ketergantungan farmakologi.

7)      Kolaborasi pemberian analgetik

Rasional :

Dapat menghilangkan nyeri

2.      Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan trauma

Kerusakan permukaan kulit karena destruksi lapisan kulit 

Kriteria Hasil :

1)      Menunjukkan regenerasi jaringan

2)      Mencapai penyembuhan tepat waktu pada area luka bakar

Intervensi :

1)      Kaji atau catat ukuran warna kedalaman luka, perhatikan jaringan metabolik dan kondisi sekitar luka

Rasional :

Memberikan informasi dasar tentang kebutuhan penanaman kulit dan kemungkinan petunjuk tentang sirkulasi pada area grafik.

2)      Berikan perawatan luka bakar yang tepat dan tindakan control infeksi

Rasional :

Menyiapkan jaringan tubuh untuk penanaman dan menurunkan resiko infeksi.

3.      Resiko tinggi kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan cairan melalui rute abnormal luka.

Kriteria Hasil :

Menunjukkan perbaikan keseimbangan cairan dibuktikan oleh pengeluaran urine individu, tanda-tanda vital stabil, membran mukosa  lembab.

Intervensi :

1)      Awasi tanda-tanda vital, perhatikan pengisian kapiler dan kekuatan nadi perifer.

Rasional :

Memberikan pedoman untuk penggantian cairan dan mengkaji respon kardiovaskuler .

1)      Awasi pengeluaran urine dan berat jenis, observasi warna dan hemates sesuai indikasi

Rasional :

Secara umum penggantian cairan harus difiltrasi untuk meyakinkan rata-rata pengeluaran urine 30-50 ml / jam (pada orang dewasa). Urine bisa tampak merah sampai hitam pada kerusakan otot massif sehubungan dengan adanya darah dan keluarnya mioglobin.

2)      Perkirakan deranase luka dan kehilangan yang tak tampak

Rasional :

Peningkatan permeabilitas  kapiler, perpindahan protein, proses inflamasi dan kehilangan melalui evaporasi besar mempengaruhi volume sirkulasi dan haluaran urine, khususnya selama 24-72 jam pertama setelah terbakar.

3)      Timbang berat badan tiap hari

Rasional :

Pergantian cairan tergantung pada berat badan pertama dan perubahan selanjutnya. Peningkatan berat badan 15-20% pada 72 jam pertama selama pergantian cairan dapat diantisipasi untuk mengembalikan keberat sebelum terbakar kira-kira 10 hari setelah terbakar.

4)      Selidiki perubahan mental

Rasional :

Penyimpangan pada tingkat kesadaran dapat mengindikasikan ketidakadekuatan volume sirkulasi atau penurunan perfusi serebral.

5)      Observasi distensi abdomen, hematemesess, feses hitam, hemates drainase NG dan feses secara periodik.

Rasional :

Stress (curling) ulkus terjadi pada setengah dan semua pasien pada luka bakar berat (dapat terjadi pada awal minggu pertama).

6)      Kolaborasi kateter urine

Rasional :

Memungkinkan observasi ketat fungsi ginjal dan menengah stasis atau reflek urine, potensi urine dengan produk sel jaringan yang rusak dapat menimbulkan disfungsi dan infeksi ginjal.

4.      Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan pertahanan primer tidak adekuat ; kerusakan perlindungan kulit

Kriteria Hasil :

Tidak ada tanda-tanda infeksi :

Intervensi :

1)      Implementasikan tehnik isolasi yang tepat sesuai indikasi

Rasional :

Tergantung tipe atau luasnya luka untuk menurunkan resiko kontaminasi silang atau terpajan pada flora bakteri multiple.

2)      Tekankan pentingnya tehnik cuci tangan yang baik untuk semua individu yang datang kontak ke pasien

Rasional : Mencegah kontaminasi silang

3)      Cukur rambut disekitar area yang terbakar meliputi 1 inci dari batas yang terbakar

Rasional : Rambut media baik untuk pertumbuhan bakteri

4)      Periksa area yang tidak terbakar (lipatan paha, lipatan leher, membran mukosa )

Rasional :

Infeksi oportunistik (misal : Jamur) seringkali terjadi sehubungan dengan depresi sistem imun atau proliferasi flora normal tubuh selama terapi antibiotik sistematik.

5)      Bersihkan jaringan nekrotik yang lepas (termasuk pecahnya lepuh) dengan gunting dan forcep.

Rasional : Meningkatkan penyembuhan

6)      Kolaborasi pemberian antibiotik

Rasional : Mencegah terjadinya infeksi

5.      Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan kekuatan dan ketahanan 

Kriteria Hasil :

Menyatakan dan menunjukkan keinginan berpartisipasi dalam aktivitas, mempertahankan posisi, fungsi dibuktikan oleh tidak adanya kontraktor, mempertahankan atau meningkatkan kekuatan dan fungsi yang sakit dan atau menunjukkan tehnik atau perilaku yang memampukan aktivitas.

Intervensi :

1)     Pertahankan posisi tubuh tepat dengan sokongan atau khususnya untuk luka bakar diatas sendi.

Rasional :

Meningkatkan posisi fungsional pada ekstermitas dan mencegah kontraktor yang lebih mungkin diatas sendi.

2)     Lakukan latihan rentang gerak secara konsisten, diawali pasif kemudian aktif

Rasional :

Mencegah secara progresif, mengencangkan jaringan parut dan kontraktor, meningkatkan pemeliharaan fungsi otot atau sendi dan menurunkan kehilangan kalsium dan tulang.

3)     Instruksikan dan Bantu dalam mobilitas, contoh tingkat walker secara tepat.

Rasional : Meningkatkan keamanan ambulasi

6.      Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh  berhubungan dengan status hipermetabolik

Kriteria Hasil :

Menunjukkan pemasukan nutrisi adekuat untuk memenuhi kebutuhan metabolik dibuktikan oleh berat badan stabil atau massa otot terukur, keseimbangan nitrogen positif dan regenerasi jaringan.

Intervensi :

1)     Auskultasi bising usus, perhatikan hipoaktif atau tidak ada bunyi

Rasional :

Ileus sering berhubungan dengan periode pasca luka bakar tetapi biasanya dalam 36-48 jam dimana makanan oral dapat dimulai.

2)     Pertahankan jumlah kalori berat, timbang BB / hari, kaji ulang persen area permukaan tubuh terbuka atau luka tiap minggu.

Rasional :

Pedoman tepat untuk pemasukan kalori tepat, sesuai penyembuhan luka, persentase area luka bakar dievaluasi untuk menghitung bentuk diet yang diberikan dan penilaian yang tepat dibuat.

3)     Awasi massa otot atau lemak subkutan sesuai indikasi

Rasional :

Mungkin berguna dalam memperkirakan perbaikan tubuh atau kehilangan dan keefektifan terapi.

4)     Berikan makan dan makanan sedikit dan sering

Rasional :

Membantu mencegah distensi gaster atau ketidaknyamanan dan meningkatkan pemasukan.

7.      Resiko tinggi terhadap perubahan perfusi jaringan berhubungan dengan interupsi aliran darah.

Intervensi :

1)     Tinggikan ekstermitas yang sakit dengan tepat

Rasional :

Meningkatkan sirkulasi sistematik atau aliran baik vena dan dapat menurunkan odema atau pengaruh gangguan lain yang mempengaruhi konstriksi jaringan oedema.

2)     Pertahankan penggantian cairan

Rasional : Memaksimalkan volume sirkulasi dan perfusi jaringan

8.      Ansietas berhubungan dengan krisis situasi : kecacatan .

Kriteria Hasil :

1)     Menyatakan kesadaran, perasaan dan menerimanya dengan cara sehat

2)     Mengatakan ansietas atau ketakutan menurun sampai tingkat yang dapat ditangani.

3)     Menunjukkan ketrampilan pemecahan masalah, penggunaan sumber yang efektif.

Intervensi :

1)     Berikan penjelasan dengan sering dan informasi tentang prosedur perawatan

Rasional :

Pengetahuan apa yang diharapkan menurunkan ketakutan dan ansietas, memperjelas kesahalan konsep dan meningkatkan kerjasama.

2)     Libatkan pasien atau orang terdekat dalam proses pengambilan keputusan kapanpun mungkin

Rasional :

Meningkatkan rasa kontrol dan kerjasama menurunkan perasaan tak berdaya atau putus asa

3)     Dorong pasien untuk bicara tentang luka bakar bila siap

Rasional :

Pasien perlu membicarakan apa yang terjadi terus-menerus untuk membuat beberapa rasa terhadap situasi apa yang menakutkan.

4)     Jelaskan pada pasien apa yang terjadi. Berikan kesempatan untuk bertanya dan berikan jawaban terbuka atau jujur.

Rasional :

Pertanyaan kompensasi menunjukkan realitas situasi yang dapat membantu pasien atau orang terdekat menerima realita dan mulai menerima apa yang terjadi.

9.      Gangguan citra tubuh berhubungan krisis situasi kecacatan.

Kriteria Hasil :

1)     Menyatakan penerimaan situasi diri

2)     Bicara dengan keluarga atau orang terdekat tentang situasi perubahan yang terjadi.

3)     Membuat tujuan realitas atau rencana untuk masa depan

4)     Memasukkan perubahan dalam konsep diri tanpa harga diri negatif

Intervensi :

1)     Kaji makna kehilangan atau perubahan pada pasien atau orang terdekat

Rasional :

Episode traumatik mengakibatkan perubahan tiba-tiba, tak diantisipasi membuat perasaan kehilangan aktual yang dirasakan.

2)     Bersikap realistik dan positif selama pengobatan pada penyuluhan kesehatan dan menyusun tujuan dalam keterbatasan.

Rasional :

Meningkatkan kepercayaan dan mengadakan hubungan baik antara pasien dan perawat.

3)     Berikan harapan dalam parameter situasi individu, jangan memberikan keyakinan yang salah.

Rasional :

Meningkatkan pandangan positif dan memberikan kesempatan untuk menyusun tujuan dan rencana untuk masa depan berdasarkan realitas.

DAFTAR PUSTAKA

Doengoes, M.E., 2000, Rencana Asuhan Keperawatan, EGC, Jakarta.

Johnson, M., et all. 2000. Nursing Outcomes Classification (NOC) Second Edition. New Jersey: Upper Saddle River

Mc Closkey, C.J., et all. 1996. Nursing Interventions Classification (NIC) Second Edition. New Jersey: Upper Saddle River

Santosa, Budi. 2007. Panduan Diagnosa Keperawatan NANDA 2005-2006. Jakarta: Prima Medika

Brunner & Suddart. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Vol 3. Jakarta: EGC

Ahmadsyah I, Prasetyono TOH. 2005. Luka. Dalam: Sjamsuhidajat R, de Jong W, editor. Buku ajar ilmu bedah. Edisi 2. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC

Crowin,E.J.2003. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: EGC.

Moenadjat Y. 2003. Luka bakar. Edisi 2. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2003.

Sjamsudiningrat, R & Jong. 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi II. Jakarta: EGC

Heimbach DM, Holmes JH. Burns. In: Brunicardi FC, Andersen DK, Billiar TR, Dunn DL, Hunter JG, Pollock RE, editors. 2007. Schwartz‟s principal surgery. 8th ed. USA: The McGraw-Hill Companies

Masoenjer,dkk. 2002. Kapita Selekta Kedokteran. FKUI. Jakarta : Media Aeuscullapius

Huddak & Gallo. 2006. Keperawatan Kritis Pendekatan Holistik. Jakarta: EGC.

ASKEP Luka Bakar

ASUHAN KEPERAWATAN KRITIS II PADA PASIEN DENGAN LUKA BAKAR   DISUSUN OLEH : KELOMPOK 4

PROGRAM S1 ILMU KEPERAWATAN FAKULTAS KEPERAWATANUNIVERSITAS AIRLANGGA 2013

 

BAB 1

PENDAHULUAN

 

1.1  Latar Belakang

Penanganan dan perawatan luka bakar sampai saat ini masih memerlukan perawatan yang kompleks dan masih merupakan tantangan bagi kita, karena sampai saat ini angka morbiditas dan mortalitas yang masih tinggi. Di Amerika dilaporkan sekitar 2 sampai 3 juta penderita setiap tahunnya dengan jumlah kematian sekitar 5-6 ribu kematian/tahun. Di indonesia sampai saat ini belum ada laporan tertulis mengenai jumlah penderita luka bakar dan jumlah angka kematian yang diakibatkannya. Di unit luka bakar RSUP Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta pada tahun 1998 dilaporkan sebanyak 107 kasus luka bakar yang dirawat, dengan angka kematian 37,38%. Di unit Luka bakar RSU Dr. Soetomo surabaya jumlah kasus yang dirawat selama satu tahun (Januari 2000 sampai Desember 2000) sebanyak 106 kasus atau 48,4% dari seluruh penderita bedah plastik yang dirawat yaitu sebanyak 219, jumlah kematian akibat luka bakar sebanyak 28 penderita atau sekitar 26,41% dari seluruh penderita luka bakar yang dirawat, kematian umumnya terjadi pada luka bakar dengan luas lebih dari 50% atau pada luka bakar yang disertai cedera pada saluran nafas dan 50% terjadi pada 7 hari pertama perawatan (Noer, 2006).

1.2  Tujuan

1.2.1   Tujuan umum

Mahasiswa mampu menyusun dan menjelaskan asuhan keperawatan kritis klien pada luka bakar dengan pendekatan proses keperawatan.

1.2.2   Tujuan khusus

1. Mengetahui definisi luka bakar.

2. Mengetahui etiologi luka bakar.

3. Mengetahui patofisologi dan efek patofisiologi luka bakar

4. Mengetahui fase, kedalaman, luas dan berat ringanya luka bakar

5. Mengetahui penatalaksanaan luka bakar

6. Mengetahui rencana asuhan keperawatan kritis pada klien dengan luka bakar.

BAB 2

KONSEP TEORI LUKA BAKAR

2.1    Definisi

Luka bakar adalah suatu trauma yang disebabkan oleh panas, arus listrik, bahan kimia dan petir yang mengenai kulit, mukosa dan jaringan yang lebih dalam (Musliha, 2010).

2.2    Etiologi

Menurut Rahayuningsih (2012), etiologi luka bakar antara lain :

1. Luka bakar suhu tinggi (thermal burn)

Luka bakar thermal disebabkan oleh karena terpapar atau kontak dengan api, cairan panas dan bahan padat (solid).

1. Luka bakar bahan kimia (Chemical burn)

Luka bakar kimia disebabkan oleh kontaknya jaringan kulit dengan asam atau basa kuat. Konsentrasi zat kimia, lamanya kontak dan banyaknya jaringan yang terpapar menentukan luasnya injuri karena zat kimia ini. luka bakar kimia dapat terjadi misalnya karena kontak dengan zat-zat pembersih yang sering digunakan untuk keperluan rumah tangga dan berbagai zat kimia yang digunakan dalam bidang industri, pertanian dan militer. Lebih dari 25.000 produk zat kimia diketahui dapat menyebabkan luka bakar kimia.

1. Luka bakar sengatan listrik (Electrical burn)

Lewatnya tenaga listrik bervoltase tinggi melalui jaringan menyebabkan perubahannya menjadi tenaga panas, ia menimbulkan luka bakar yang tidak hanya mengenai kulit dan jaringan sub kutis, tetapi juga semua jaringan pada jalur alur listrik tersebut. Luka bakar listrik biasanya disebabkan oleh kontak dengan sumber tenaga bervoltase tinggi. Anggota gerak merupakan kontak yang terlazim, dengan tangan dan lengan yang lebih sering cedera daripada tungkai dan kaki. Kontak sering menyebabkan gangguan jantung dan atau pernafasan, dan resusitasi kardiopulmonal sering diperlukan pada saat kecelakaan

tersebut terjadi. Luka pada daerah masuknya arus listrik biasanya gosong dan tampak cekung.

1. Luka bakar radiasi (Radiasi injury)

Luka bakar radiasi disebabkan oleh terpapar dengan sumber radioaktif. Tipe injury ini seringkali berhubungan dengan penggunaan radiasi ion pada industri atau dari sumber radiasi untuk keperluan terapeutik pada dunia kedokteran. Terpapar oleh sinar matahari akibat terpapar yang terlalu lama juga merupakan salah satu tipe luka bakar radiasi.

2.3    Patofisiologi Luka Bakar

Kulit adalah organ terluar tubuh manusia dengan luas 0,025 m2 pada anak baru lahir sampai 2 m2 pada orang dewasa. Apabila kulit terbakar atau terpajan suhu tinggi. Pembuluh kapiler dibawahnya, area sekitar dan area yang jauh sekalipun akan rusak dan menyebabkan permeabilitasnya meningkat. Terjadilah kebocoran cairan intrakapiler ke interstisial sehingga terjadi oedema dan bula yang mengandung banyak elektrolit. Rusaknya kulit akibat luka bakar akan mengakibatkan hilangnya fungsi kulit sebagai barier dan penahan penguapan.

Kedua penyebab diatas dengan cepat menyebabkan berkurangnya cairan intravaskuler. Pada luka bakar yang luasnya kurang dari 20%, mekanisme kompensasi tubuh masih bisa mengatasinya. Bila kulit yang terbakar luas (lebih dari 20%), dapat terjadi syok hipovolemik disertai gejala yang khas, seperti gelisah, pucat, dingin, berkeringat, nadi kecil dan cepat, tekanan darah menurun, dan produksi urin berkurang. Pembengkakan terjadi perlahan, maksimal terjadi setelah delapan jam.

Pembuluh kapiler yang terpajan suhu tinggi rusak dan permebilitas meninggi. Sel darah yang ada di dalamnya ikut rusak sehingga dapat terjadi anemia.

Pada kebakaran dalam ruang tertutup atau bila luka terjadi diwajah, dapat terjadi kerusaakan mukosa jalan napas dengan gejala sesak napas, takipnoe, stridor, suara parau, dan dahak berwarna gelap akibat jelaga.

Dapat juga terjadi keracunan gas CO atau gas beracun lainnya. Karbon monoksida sangat kuat terikat dengan hemoglobin sehingga hemoglobin tidak lagi mampu mengikat oksigen. Tanda keracunan ringan yaitu lemas, binggung, pusing, mual dan muntah.

Setelah 12-24 jam, permeabilitas kapiler mulai membaik dan terjadi mobilisasi serta penyerapan kembali cairan dari ruang intertisial ke pembuluh darah yang ditandai dengan meningkatnya diuresis.

Luka bakar umumnya tidak steril. Kontaminasi pada kulit mati yang merupakan medium yang baik untuk pertumbuhan kuman, akan mempermudah infeksi. Infeksi ini sulit diatasi

karena daerahnya tidak tercapai oleh pembuluh kapiler yang mengalami trombosis. Padahal, pembuluh ini membawa sistem pertahanan tubuh atau antibiotik. Kuman penyebab infeksi pada luka bakar, selain berasal dari kulit penderita sendiri, juga kontaminasi dari kuman saluran nafas atas dan kontaminasi kuman di lingkungan rumah sakit. Infeksi nosokomial biasnya sangat berbahaya karena kumanya banyak yang Sudah resisten terhadap berbagai antibiotik.

Pada awalnya, infeksi biasanya disebabkan oleh kuman gram positif yang berasal dari kulit sendiri atau dari saluran napas, tapi kemudian dapat terjadi infasi kuman gram negatif. Pseudomonas aeruginosa yang dapat menghasilkan eksotoksin protease dan toksin lain yang berbahaya, terkenal sangat agresif dalam invasinya pada luka bakar. Infeksi pseudomonas dapat dilihat dari warna hijau pada kasa penutup luka bakar. Kuman memproduksi enzim penghancur keropeng yang bersama dengan eksudasi oleh jaringan granulasi membentuk nanah.

Infeksi ringan dan noninvasif (tidak dalam) ditandai dengan keropeng yang mudah lepas dengan nanah yang banyak. Infeksi yang infasive ditandai dengan keropeng yang kering dengan perubahan jaringan keropeng yang mula-mula sehat menjadi nekrotik; akibatnya, luka bakar yang mula-mula derajat dua menjadi derajat tiga. Infeksi kuman menimbulkan vaskulitis pada pembuluh kapiler di jaringan yang terbakar dan menimbulkan trombosis.

Bila penderita dapat mengatasi infeksi, luka bakar derajat dua dapat sembuh dengan meninggalkan cacat berupa parut. Penyembuhan ini dimulai dari sisa elemen epitel yang masih vital, misalnya sel kelenjar sebasea, sel basal, sel keringat, atau sel pangkal rambut. Luka bakar derajat dua yang dalam mungkin meninggalkan parut hipertrofik yang nyeri, gatal, kaku, dan secara ekstetik sangat jelek.

Luka bakar yang derajat tiga yang dibiarkan sembuh sendiri akan mengalami kontraktur. Bila ini terjadi di persendian; fungsi sendi dapat berkurang atau hilang.

Stres atau beban faali serta hipoperfusi daerah splangnikus pada penderita luka bakar berat dapat menyebabkan terjadinya tukak dimukosa lambung atau duedonum dengan gejala yang sama dengan gejala tukak peptik. Kelainan ini dikenal dengan tukak Curling atau stress ulcer. Aliran darah ke lambung berkurang, sehingga terjadi iskemia mukosa. Bila keadaan ini berlanjut, dapat timbul ulkus akibat nekrosis mukosa lambung. Yang dikhawatirkan dari tukak Curling ini adalah penyulit perdarahan yang tampil sebagai hematemisis dan melena.

Fase permulaan luka bakar merupakan fase katabolisme sehingga keseimbangan protein menjadi negatif. Protein tubuh banyak hilang karena eksudasi, metabolisme tinggi, dan mudah terjadi infeksi. Penguapan berlebihan dari kulit yang rusak juga memerlukan kalori tambahan. Tenaga yang diperlukan tubuh pada fase ini terutama didapat dari

pembakaran protein dari otot skelet. Oleh karena itu, penderita menjadi sangat kurus, otot mengecil, dan berat badan menurun. Kecatatan akibat luka bakar inisangat hebat, terutama bila mengenai wajah. Penderita mungkin mengalami beban kejiwaan berat akibat cacat tersebut, sampai bisa menimbulkan gangguan jiwa yang disebut schizophrenia postburn. (Sjamsuhidajat, dkk, 2010).

2.4    Efek patofisiologi luka bakar

Menurut Pujilestari (2007), efek patofisiologi luka bakar antara lain :

1. Pada kulit

Perubahan patofisiologik yang terjadi pada kulit segera setelah luka bakar tergantung pada luas dan ukuran luka bakar. Untuk luka bakar yang kecil (smaller burn), respon tubuh bersifat lokal yaitu terbatas pada area yang mengalami injuri. Sedangkan pada luka bakar yang lebih luas 25% dari total permukaan tubuh (TBSA:total body surface area) atau lebih besar, maka respon tubuh terhadap injuri dapat bersifat sistemik dan sesuai dengan luas injuri. Injuri luka bakar yang luas dapat mempengaruhi semua sistem utama dari tubuh.

Menurut Noer (2006), Kerusakan jaringan kulit yang diakibatkan luka bakar juga mengakibatkan proteksi terhadap tubuh terganggu, sehingga terjadi penguapan yang berlebihan. Pada jaringan kulit normal penguapan terjadi antara 2-20 g/m2/jam atau kurang dari 40 ml/jam. Penguapan yang terjadi melalui jaringan kulit yang rusak akibat luka bakar sangat besar, dapat mencapai 140-180 gram/m2/jam. Bahkan pada luka bakar yang luas, proses eksudasi dan penguapan dapat mencapai 300 ml/jam atau lebih dari 7 L/hari. Kondisi Evaporative Heat Loss dan jaringan luka yang terbuka  menyebabkan terjadinya kehilangan cairan tubuh yang berlebihan, karenya perlu memphitungkan InsisibleWater Loss (IWL) lebih banyak dari biasanya.

Perhitungan IWL pada penderita lukabakar menggunakan persamaan

IWL = (25+% LB) x BSA x 24 jam

Dimana :

% LB : persentasi luas luka bakar

BSA : body surface area, dihitung menggunakan Chart luas permukaan tubuh

25 merupakan konstanta

1. Sistem kardiovaskuler

Segera setelah injuri luka bakar, dilepaskan substansi vasoaktif (catecholamine, histamin, serotonin,leukotrienes, dan prostaglandin) dari jaringan yang mengalami injuri. Substansi-substansi ini menyebabkan meningkatnya permeabilitas kapiler sehingga plasma merembes ke dalam sekitar jaringan. Injuri panas yang secara langsung mengenai pembuluh akan lebih meningkatkan permeabilitas kapiler. Injuri yang langsung mengenai membran sel menyebabkan sodium masuk dan potasium keluar dari sel. Secara keseluruhan akan menimbulkan tingginya tekanan osmotik yang menyebabkan meningkatnya cairan intracelluler dan interstitial dan yang dalam keadaan lebih lanjut menyebabkan kekurangan volume cairan intravaskuler. Luka bakar yang luas menyebabkan edema tubuh general baik pada area yang mengalami luka maupun jaringan yang tidak mengalami luka bakar dan terjadi penurunan sirkulasi volume darah intravaskuler. Denyut jantung meningkat sebagai respon terhadap pelepasan catecholamin dan terjadinya hipovolemia relatif, yang mengawali turunya cardiac output. Kadar hematocrit menigkat yang menunjukkan hemokonsentrasi dari pengeluaran cairan intravaskuler. Disamping itu pengeluaran cairan secara evaporasi melalui luka terjadi 4-20 kali lebih besar dari normal. Sedangkan pengeluaran cairan normal pada orang dewasa dengan sehu tubuh normal perhari adalah 350 ml.

Keadaan ini dapat mengakibatkan penurunan pada perfusi organ. Jika ruang  intravaskuler tidak diiisi kembali dengan cairan intravena maka syok hipovolemik dan ancaman kematian bagi penderita luka bakar yang luas dapat terjadi.

Kurang lebih 18-36 jam setelah luka bakar, tetapi tidak mencapai keadaan normal sampai 2 atau 3 minggu setelah injuri. Kardiak output kembali normal dan kemudian meningkat untuk memenuhi kebutuhan hipermetabolik tubuh kira-kira 24 jam setelah luka bakar. Perubahan pada kardiak output ini terjadi sebelum kadar volume sirkulasi intravena kembali menjadi normal. Pada awalnya terjadi kenaikan hematokrit yang kemudian menurun sampai dibawah normal dalam 3-4 hari setelah luka bakar karena kehilangan sel darah merah dan kerusakan yang terjadi pada waktu injuri. Tubuh kemudian mereabsorbsi cairan edema dan diuresis cairan dalam 2-3 minggu berikutnya.

1. Sistem renal dan gastrointestinal

Respon tubuh pada mulanya adalah berkurangnya darah ke ginjal dan menurunya GFR (glomerulus filtration rate) yang menyebabkan oliguri. Aliran darah menuju usus juga berkurang, yang pada akhirnya dapat terjadi ileus intestinal dan disfungsi gastrointestinal pada klien dengan luka bakar yang > 25%.

1. Sistem imun

Fungsi sitem imun mengalami depresi. Depresi pada aktifitas lympocyte, suatu penurunan dalam produksi hemoglobin, supresi aktivitas complement dan perubahan/gangguan pada fungsi neutrofil dan magrofag dapat terjadi pada klien yang mengalami luka bakar yang

luas. Perubahan-perubahan ini meningkatkan resiko terjadinya infeksi dan sepsis yang mengancam kelangsungan hidup klien.

1. Sistem respirasi

Dapat mengalami hipertensi arteri pulmonal, mengakibatkan penurunan kadar oksigen aretri dan “lung compliance”

1)   Smoke inhalation

Menghisap asap dapat mengakibatkan injuri pulmonal yang seringkali berhubungan dengan injuri akibat jilatan api. Keadaan injuri inhalasi ini diperkirakan lebih dari 30% untuk injuri yang diakibatkan oleh api.

Manifestasi klinik yang diduga injuri inhalasi meliputi adanya LB yang mengenai wajah, kemerahan dan pembengkakan oropharing atau nasopharing, rambut hidung yang gososng, agitasi atau kecemasan, takipnoe, kemerahan pada selaput hidung, stridor, wheezing, dyspnea, suara serak, terdapat carbon dalam sputum, dan batuk. Bronchoskopi dan scaning paru dapat mengkonfirmasi diagnosis.

Patofisiologi pulmoner yang dapat terjadi pada injuri inhalasi berkaitan dengan berat dan tipe asap atau gas yang dihirup.

2)   Keracunan carbon momoxide

CO merupakan produk yang sering dihasilkan bila suatu substansi organik terbakar. Ia merupakan gas yang tidak berwarna, tidak berbau, tidak berasa, yang dapat mengikat hemoglobin 200 kali lebih besar dari oksigen. Dengan terhirupnya CO, maka molekul oksigen digantikan dan CO secara reversible berikatan dengan hemoglobin sehingga membentuk carboxyhemoglobin (COHb). Hipoksia jaringan dapat terjadi akibat penurunan secara menyeluruh pada kemampuan pengantaran oksigen dalam darah. Kadar COHb dapat dengan mudah dimonitor melalui kadar serum darah. Manifestasi dari keracunan CO adalah:

(1)   Kadar CO 5-10% : gangguan tajam penglihatan

(2)   Kadar CO 11-20% : nyeri kepala

(3)   Kadar CO 21-30% : mual, gangguan ketangkasan

(4)   Kadar CO 31-40% : muntah, dizines, sincope

(5)   Kadar CO 40-50% : takipnea, takikardi

(6)   Kadar CO > 50% : coma, kematian

2.5    Fase luka bakar

Menurut Musliha (2010), fase luka bakar terbagi menjadi tiga fase :

1. Fase akut

Disebut fase awal atau fase syok. Dalam fase awal penderita akan mengalami ancaman gangguan airway (jalan nafas), breathing (mekanisme bernafas), circulation (sirkulasi). Gangguan airway tidak hanya dapat terjadi segera  atau beberapa saat setelah terbakar, namun masih dapat terjadi obstruksi saluran pernafasan akibat cedera inhalasi dalam 48-72 jam pasca trauma. Cedera inhalasi adalah penyebab kematian utama penderita pada fase akut.Pada fase akut sering terjadi gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit akibat cedera termal yang berdampak sistemik.

1. Fase sub akut

Berlangsung setelah fase syok teratasi. Masalah yang terjadi adalah kerusakan atau kehilangan jaringan akibat kontak dengan sumber panas. Luka yang terjadi menyebabkan:

1)      Proses inflamasi dan infeksi

2)      Problem penutupan luka

3)      Keadaan hipermetabolisme

1. Fase lanjut

Fase lanjut akan berlangsung hingga terjadinya maturasi parut akibat luka dan pemulihan fungsi organ-organ fungsional. Problem yang muncul pada fase ini adalah penyulit berupa parut yang hipertropik, kleoid, gangguan pigmentasi, deformitas dan kontraktur.

2.6    Zona luka bakar

Menurut Moenadjat (2009), Jackson membedakan tiga area pada luka bakar, yaitu:

1. Zona koagulasi, zona nekrosis

Daerah yang mengalami kontak langsung.Kerusakan jaringan berupa koagulasi (denaturasi) protein akibat pengaruh trauma termis.Jaringan ini bersifat non vital dan dapat dipastikan mengalami nekrosis beberapa saat setelah kontak, karenanya disebut juga zona nekrosis.

1. Zona statis

Daerah di luar/sekitar dan langsung berhubungan dengan zona koagulasi.Kerusakan yang terjadi di daerah ini terjadi karena perubahan endotel pembuluh darah, trombosit, dan respon inflamasi lokal; mengakibatkan terjadinya gangguan perfusi (no flow phenomena).Proses tersebut biasanya berlangsung dalam 12-24 jam pasca trauma; mungkin berakhir dengan zona nekrosis.

1. Zona hiperemia

Daerah di luar zona statis.Di daerah ini terjadi reaksi berupa vasodilatasi tanpa banyak melibatkan reaksi sel. Tergantung keadaan umum dan terapi yang diberikan, zona ketiga dapat mengalami penyembuhan spontan; atau berubah menjadi zona kedua bahkan zona pertama (perubahan derajat luka yang menunjukkan perburukan disebut degradasi luka).

Gambar 2.1 zona luka bakar

2.7    Kedalaman luka bakar

Menurut Kahan & Raves (2011) :

Derajat Lokasi yang terlibat

Karakteristik Perkembangan klinis Terapi

Derajat 1 atau ketebalan partial superfisial

Epidermis Eritema & nyeri Sembuh dalam waktu 3-4 hari tanpa pembentukan jaringan parut. Sel-sel epidermis yang mati mengalami deskuamasi (mengelupas).

Lotion dan obat anti inflamasi non steroid

Derajat 2 atau ketebalan partial - superfisial - dalam

Melewati epidermis dan sampai ke dermis

Merah muda/merah/mengeluarkan cairan, pembengkakan dan lepuh, sangat nyeri

Luka bakar dermis superfisial sembuh dalam waktu 1 minggu tanpa pembentukan jaringan parut atau gangguan fungsional. Luka bakar dermis yang dalam sembuh dalam waktu3-8 minggu tetapi disertai dengan pembentukan jaringan parut yang

Dilakukan eksisi dan graft pada luka bakar dermis yg dalam

beratdan gangguan fungsi

Derajat 3 atau ketebalan penuh

Semua lapisan melewati dermis

Putih atau hitam, seperti beludru, seperti lilin, tidak nyeri

Luka bakar hanya dapat sembuh dengan cara migrasi epitelial dari perifer dan kontraksi. Kecuali luka bakar berukuran kecil, luka bakar ini memerlukan tindakan graf.

Dilakukan eksisi dan graf

2.8    Luas luka bakar

Luas luka bakar pada dewasa dihitung menggunakan rumus sembilan (Rule of nine) yang diprovokasi oleh Wallace, yaitu:

Kepala dan leher                                      : 9%

Lengan masing-masing 9%                      : 18%

Badan depan 18%, badan belakang 18%            : 36%

Tungkai masing-masing 18%                   : 36%

Genitatalia/perinium                                 : 1%

Total         : 100%

Pada anak-anak menggunakan tabel dari lund atau Browder yang mengacu pada ukuran bagian tubuh terbesar pada seorang bayi/anak (yaitu kepala) (Moenadjat, 2009).

Usia (tahun) 0 1 5 10 15 dws

A-kepala (muka-belakang) 9 ½ 8 ½ 6 ½ 5 ½ 4 ½ 3 ½

B-1 paha (muka belakang) 2 ¾ 3 ¼ 4 4 ¼ 4 ½ 4 ¾

C-1 kaki (muka-belakang) 2 ½ 2 ½ 2 ¾ 3 3 ¼ 3 ½

Gambar 2.1  skema pembagian luas luka bakar

2.9    Berat ringanya luka bakar

1. Berat ringan luka bakar, ditinjau dari kedalaman dan kerusakan jaringan berdasarkan penyebab dan lama kontak (Pujilestari, 2007).

1)   Penyebab

Kerusakan jaringan disebabkan api lebih berat dibandingkan air panas, kerusakan jaringan akibat bahan yang bersifat koloid (misalnya bubur panas) lebih berat dibandingkan air panas. Ledakan selain menimbulkan luka bakar, juga menyebabkan kerusakan organ dalam akibat daya ledak (eksplosif). Bahan kimia, terutama menyebabkan kerusakan yang hebat akibat reaksi jaringan sehingga terjadi diskonfigurasi jaringan yang menyebabkan gangguan proses penyembuhan.

2)   Lama kontak

Lama kontak jaringan dengan sumber panas menentukan luas dan kedalama kerusakan jaringan. Semakin lama waktu kontak, semakin luas dan dalam kerusakan jaringan yang terjadi

1. Berat ringanya luka bakar menurut American college of soergeon:

1)      Parah-critical:

Tingkat II             : 30% atau lebih

Tingkat III           : 10% atau lebih

Tingkat III           : pada tangan, kaki dan wajah

Dengan adanya komplikasi pernapasan, jantung, fraktur, soft tissue yang luas

2)      Sedang-moderate

Tingkat II             : 15-30%

Tingkat III           : 1-10%

3)      Ringan-minor

Tingkat II             : kurang 15%

Tingkat III           : kurang 1 %

2.10     Pentalaksanaan

1. Penatalaksanaan luka bakar

1)   Pertolongan pertama saat kejadian menurut Sjamsuhidayat (2010)

(1)   Luka bakar suhu atau thermal

Upaya pertama saat terbakar adalah mematikan api pada tubuh, misalnya dengan menyelimuti dan menutup bagian yang terbakar dengan kain basah. Atau korban dengan cepat menjatuhkan diri dan berguling-guling agar bagian pakaian yang terbakar tidak meluas. Kontak dengan bahan yang panas juga harus cepat diakhiri, misalnya dengan mencelupkan bagian yang terbakar atau menyelupkan diri ke air dingin atau melepas baju yang tersiram air panas.

Pertolongan pertama setelah sumber panas dihilangkan adalah merendam daerah luka bakar dalam air mengalir selama sekurang-kurangnya lima belas menit. Upaya pendinginan ini, dan upaya mempertahankan suhu dingin pada jam pertama akan menghentikan proses koagulasi protein sel dijaringan yang terpajan suhu tinggi yang akan terlangsung walaupun api telah dipadamkan, sehingga destruksi tetap meluas.

(2)   Luka bakar kimia

Baju yang terkena zat kimia harus segera dilepas. Sikap yang sering mengakibatkan keadaan lebih buruk adalah menganggap ringan luka karena dari luar tampak sebagai kerusakan kulit yang hanya kecoklatan, padahal daya rusak masih terus menembus kulit, kadang sampai 72 jam.Pada umumnya penanganan dilakukan dengan mengencerkan zat kimia secara masif yaitu dengan mengguyur penderita dengan air mengalir dan kalau perlu diusahakan membersihkan pelan-pelan secara mekanis. Netralisasi dengan zat kimia lain merugikan karena membuang waktu untuk mencarinya, dan panas yang timbul dari reaksi kimianya dapat menambah kerusakan jaringan.

Sebagai tindak lanjut, kalau perlu dilakukan resusitasi, perbaikan keadaan umum, serta pemberian cairan dan elektrolit.

Pada kecelakaan akibat asam fluorida, pemberian calsium glukonat 10% dibawah jaringan yang terkena, bermanfaat mencegah ion fluor menembus jaringan dan menyebabkan dekalsifikasi tulang. Ion fluor akan terikat menjadi kalsium fluorida yang tidak larut. Jika ada  luka dalam, mungkin diperlukan debridemen yang disusulskin grafting dan rekonstruksi.

Pajanan zat kimia pada mata memerlukan tindakan darurat segera berupa irigasi dengan air atau sebaiknya larutan garam 0,9% secara terus menerus sampai penderita ditangani di rumah sakit.

(3)   Luka bakar arus listrik

Terlebih dahulu arus listrik harus diputus karena penderita mengandung muatan listrik selama masih terhubung dengan sumber arus. Kemudian kalau perlu, dilakukan resusitasi

jantung paru. Cairan parenteral harus diberikan dan umumnya diperlukan cairan yang lebih banyak dari yang diperkirakan karena kerusakan sering jauh lebih luas. Kadang luka bakar di kulit luar tampak ringan,  tetapi kerusakan jaringan ternyata lebih dalam. Kalau banyak terjadi kerusakan otot, urin akan berwarna gelap karena mengandung banyak mioglobin dan resusitasi pasien ini mengharuskan pengeluaran urin 75-100ml per jam. Selain itu, urin harus dirubah menjadi basa dengan natrium bikarbonat intravena, yang menghalangi pengendapan mioglobulin. Bila urin tidak segera bening atau pengeluaran urin tetap rendah, walaupun sudah diberikan sejumlah besar cairan, maka harus diberikan diuretik yang kuat bersama manitol. Pada penderita cedera otot yang masif, dosis manitol (12,5 gram per dosis) mungkin diperlukan selama 12-24 jam. Pasien yang gagal berespon terhadap dosis diatas mungkin membutuhkan amputasi anggota gerak gawat darurat atau pembersihan jaringan nonviabel.

Otot jantung, juga rentan trauma arus listrik. Elektrokardiogram (EKG) harus dilakukan untuk mengetahui adanya kerusakan jantung dan pemantauan jantung yang terus menerus dilakukan untuk mendiagnosis dan merawat aritmia. Kerusakan neurologi juga sering terjadi, terutama pada medulla spinalis, tetapi sulit dilihat, kecuali bila dilakukan tes elektrofisiologi. Pengamatan cermat atas abdomen perlu dilakukan pada tahap segera setelah cedera karena arus yang melewati kavitas peritonealis dapat menyebabkan kerusakan saluran pencernaan.

(4)   Luka bakar radiasi

Pada  kontaminasi lingkungan, penolong dapat terkena radiasi dari kontaminan sehingga harus menggunakan pelindung. Prinsip penolong penderita atau korban radiasi adalah memakai sarung tangan, masker, baju pelindung, dan detektor sinar ionisasi. Sumber kontaminasi harus dicari dan dihentikan, dan benda yang terkontaminasi dibersihkan dengan air sabun, deterjen atau secara mekanis disimpan dan dibuang di tempat aman.

Keseimbangan cairan dan elektrolit penderita perlu dipertahankan. Selain itu, perlu dipikirkan kemungkinan adanya anemia, leukopenia, trombositopenia, dan kerentanan terhadap infeksi. Sedapat mungkin tidak digunakan obat-obatan yang menekan fungsi sumsum tulang.

2)   Penatalaksanaan ABC (airway, breathing, circulation)

(1)      Airway

Menurut Moenadjat (2009), Membebaskan jalan nafas dari sumbatan yang terbentuk akibat edema mukosa jalan nafas ditambah sekret yang diproduksi berlebihan (hiperekskresi) dan mengalami pengentalan. Pada luka bakar kritis disertai trauma inhalasi, intubasi (pemasangan pipa endotrakeal) dan atau krikotiroidektomi emergensi dikerjakan pada kesempatan pertama sebelum dijumpai obstruksi jalan nafas yang dapat

menyebabkan distres pernafasan. Pada luka bakar akut dengan kecurigaan trauma inhalasi. Pemasangan pipa nasofaringeal, endotrakeal merupakan prioritas pertama pada resusitasi, tanpa menunggu adanya distres nafas. Baik pemasangan nasofaringeal, intubasi dan atau krikotiroidektomi merupakan sarana pembebasan jalan nafas dari sekret yang diproduksi, memfasilitasi terapi inhalasi yang efektif dan memungkinkan lavase bronkial dikerjakan. Namun pada kondisi sudah dijumpai obstruksi, krikotiroidektomi merupakan indikasi dan pilihan.

1. Pemasangan pipa Nasofaringeal

Pipa nasal merupakan pipa bulat lunak yang sesuai dengan anatomi nares, nasofaring dan hipofaring. Ia dimasukkan melalui satu atau kedua nares sehingga ujungnya mencapai tepat di atas epiglotis. Pipa nasal mempunyai keuntungan karena bisa dipasang pada penderita yang masih mempunyai reflek muntah tanpa menyebabkan muntah.

(2)      Breathing

Moenadjat (2009), Pastikan pernafasan adekuat dengan :

1. Pemberian oksigen

Oksigen diberikan 2-4 L/menit adalah memadai. Bila sekret banyak, dapat ditambah menjadi 4-6 L/menit. Dosis ini sudah mencukupi, penderita trauma inhalasi mengalami gangguan aliran masuk (input) oksigen karena patologi jalan nafas; bukan karena kekurangan oksigen. Hindari pemberian oksigen tinggi (>10 L/mnt) atau dengan tekanan karena akan menyebabkan hiperoksia (dan barotrauma) yang diikuti terjadinya stres oksidatif.

1. Humidifikasi

Oksigen diberikan bersama uap air. Tujuan pemberian uap air adalah untuk mengencerkan sekret kental (agar mudah dikeluarkan) dan meredam proses inflamasi mukosa.

1. Terapi inhalasi

Terapi inhalasi menggunakan nebulizer efektif bila dihembuskan melalui pipa endotrakea atau krikotiroidektomi. Prosedur ini dikerjakan pada kasus trauma inhalasi akibat uap gas atau sisa pembakaran bahan kimia yang bersifat toksik terhadap mukosa. Dasarnya adalah untuk mengatasi bronko konstriksi yang potensial terjadi akibat  zat kimia. Gejala hipersekresi diatasi dengan pemberian atropin sulfas dan mengatasi proses infalamasi akut menggunakan steroid.

1. Lavase bronkoalveolar

Prosedur lavase bronkoalveolar lebih dapat diandalkan untuk mengatasi permasalahan yang timbul pada mukosa jalan nafas dibandingkan tindakan humidifier atau nebulizer. Sumbatan oleh sekret yang melekat erat (mucusplug) dapat dilepas dan dikeluarkan. Prosedur ini dikerjakan menggunakan metode endoskopik (bronkoskopik) dan merupakan gold standart. Selain bertujuan terapeutik, tindakan ini merupakan prosedur diagnostik untuk melakukan evaluasi jalan nafas.

1. Rehabilitasi pernafasan

Proses rehabilitasi sistem pernafasan dimulai seawal mungkin. Beberapa prosedur rehabilitasi yang dapat dilakukan sejak fase akut antara lain:

-        Pengaturan posisi

-        Melatih reflek batuk

-        Melatih otot-otot pernafasan.

Prosedur ini awalnya dilakukan secara pasif kemudian dilakukan secara aktif saat hemodinamik stabil dan pasien sudah lebih kooperatif

1. Penggunaan ventilator

Penggunaan ventilator diperlukan pada kasus-kasus dengan distresparpernafasan secara bermakna memperbaiki fungsi sistem pernafasan dengan positive end-expiratory pressure (PEEP) dan volume kontrol.

(3)      Circulation

Menurut Djumhana (2011), penanganan sirkulasi dilakukan dengan pemasangan IV line dengan kateter yang cukup besar, dianjurkan untuk pemasangan CVP untuk mempertahankan volume sirkulasi

1. Pemasangan infus intravena atau IV line dengan 2 jalur menggunakan jarum atau kateter yang besar minimal no 18, hal ini penting untuk keperluan resusitasi dan tranfusi, dianjurkan pemasangan CVP

2. Pemasangan CVP (Central Venous Pressure)

Merupakan perangkat untuk memasukkan cairan, nutrisi parenteral dan merupakan parameter dalam menggambarkan informasi volume cairan yang ada dalam sirkulasi. Secara sederhana, penurunan CVP terjadi pada kondisi hipovolemia. Nilai CVP yang tidak meningkat pada resusitasi cairan dihubungkan dengan adanya peningkatan permeabilitas kapiler. Di saat permeabilitas kapiler membaik, pemberian cairan yang

berlebihan atau penarikan cairan yang berlebihan akibat pemberian koloid atau plasma akan menyebabkan hipervolemia yang ditandai dengan terjadinya peningkatan CVP.

3)   Melepaskan penghalang

Tujuan melakukan penilaian serta mencegah terjadinya konstriksi sekunder akibat edema

4)   Resusitasi cairan

Menurut Sunatrio (2000), pada luka bakar mayor terjadi perubahan permeabilitas kapiler yang akan diikuti dengan ekstrapasasi cairan (plasma protein dan elektrolit) dari intravaskuler ke jaringan interstisial mengakibatkan terjadinya hipovolemik intravaskuler dan edema interstisial. Keseimbangan tekanan hidrostatik dan onkotik terganggu sehingga sirkulasi kebagian distal terhambat, menyebabkan gangguan perfusi sel atau jaringan atau organ.

Pada luka bakar yang berat dengan perubahan permeabilitas kapiler yang hampir menyeluruh, terjadi penimbunan cairan massif di jaringan interstisial menyebabkan kondisi hipovolemik. Volume cairan intravaskuler mengalami defisit, timbul ketidakmampuan menyelenggarakan proses transportasi oksigen ke jaringan. Keadaan ini dikenal dengan sebutan syok. Syok yang timbul harus diatasi dalam waktu singkat, untuk mencegah kerusakan sel dan organ bertambah parah, sebab syok secara nyata bermakna memiliki korelasi dengan angka kematian.

Beberapa penelitian membuktikan bahwa penatalakannan syok dengan menggunakan metode resusitasi cairan konvensional (menggunakan regimen cairan yang ada) dengan penatalaksanaan syok dalam waktu singkat, menunjukan perbaikan prognosis, derajat kerusakan jaringan diperkecil (pemantauan kadar asam laktat), hipotermi dipersingkat dan koagulatif diperkecil kemungkinannya, ketiganya diketahui memiliki nilai prognostik terhadap angka mortalitas. Pada penanganan perbaikn sirkulasi pada luk bakar dikenal beberapa formula berikut:

(1)      Evans formula

(2)      Brooke formula

(3)      Parkland formula

(4)      Modifikasi Brooke

(5)      Monafo formula

Formula Cairan 24 jam pertama

Kristaloid pada 24 jam kedua

Koloid pada 24 jam kedua

Evans Larutan saline 1 ml/kg/%LB, 2000 ml D5W*, dan koloid 1 ml/ kg / %LB

50% volume cairan  24 jam pertama + 2000 ml D5W

50% volume cairan  24 jam pertama

Brooke RL 1.5 ml / kg / %LB, koloid 0.5 ml / kg/ %LB, dan 2000 ml D5W

50% volume cairan  24 jam pertama + 2000 ml D5W

50% volume cairan  24 jam pertama

Parkland RL  4 ml / kg / %LB 20-60% estimate plasma volume

Pemantauan output urine 30 ml/jam

Modified Brooke RL 2 ml / kg / %LB

Monafo hypertonic demling

250 mEq/L salinepantau output urine 30 ml/jam, dextran 40 dalam  lar. saline 2 ml/kg/jam untuk 8 jam, RL pantau output urine  30 ml/jam, dan fresh frozen plasma 0.5 ml/jam untuk 18 jam dimulai 8 jam setelah terbakar.

1/3  lar. Saline,pantau  output urine

.

METODE BAXTER  

Menurut Moenadjat (2009), metode resusitasi ini mengacu pada pemberian cairan kristaloid dalam hal ini Ringer Laktat (karena mengandung elektrolit dengan komposisi yang lebih fisiologis dibandingkan dengan Natrium Klorida) dengan alasan; cairan saja sudah cukup untuk mengantikan cairan yang hilang (perpindahan ke jaringan interstisium), pemberian kristaloid adalah tindakan resusitasi yang paling fifiologis dan aman

Hari pertama

Dewasa            : Ringer laktat 4cc x berat badan x %luas luka bakar per 24jam

Anak    : Ringer laktat : Dextran = 17:3

                        2cc x berat badan x % luas luka bakar ditamah kebutuhkan faal

Kebutuhan faal :

<1 tahun          : BB x 100cc

1-3 tahun         : BB x 75cc

3-5 tahun         : BB x 50cc

½ jumlah cairan diberikan alam 8 jam pertama

½ diberikan 16 jam berikutnya

Hari kedua

Dewasa            : dextran 500-2000 cc + D5%

Albumin (3xX) x 80 x berat badan g/hari

(Albumin 25 % = Gram x 4cc)

1cc/menit

Anak    : diberi sesuai kebutuhan faal

Protocol resesitasi :

Kebutuhan cairan dalam 24 jam pertama adalah 4 ml/kg/% luas luka bakar, pemberian berdasarkan pedoman berikut

Pedoman

1. Separuh kebutuhan diberikan dalam 8 jam I (dihitung mulai saat kejadian luka bakar)

2. Separuh kebutuhan diberikan dalam 16 jam sisanya

Contoh resusitasi cairan pada luka bakar menurut Hettiaratchy & papini (2004) :

Seorang laki-laki 25 tahun dengan berat 70 kg dengan luka bakar 30% datang ke UGD pukul 16.00. Pasien mengalami kejadian sekitar pukul 15.00.

1. Total cairan yang diberikan untuk 24 jam pertama adalah :

4ml x (30% total burn surface area) x (70kg) = 8400 ml dalam 24 jam.

Total cairan ini  diberikan setengah pada 8 jam pertama dan setengah lagi pada  16 jam berikutnya.

1. Perhitungan kecepatan infus perjam untuk 8 jam pertama adalah:

Bagi cairan pada point (a) dengan sisa waktu sampai 8 jam setelah pasien terbakar (pukul 15.00).

Kebakaran terjadi pada pukul 15.00, jadi 8 jam kedepan jatuh pada pukul 23.00. datang ke UGD pukul 16.00, jadi dibutuhkan 4200 ml selama 7 jam kedepan:

4200cc/7 = 600 cc/jam dari pukul 16.00 sampai pukul 23.00,

1. Perhitungan kecepatan infus perjam untuk 16 jam kedua adalah

4200cc/16 =  262 cc/jam dari pukul 23.00 sampai pukul 15.00

 

(1) Monitoring dalam fase resusitasi (sampai 72 jam)

Menurut Sjaifudin (2006)

1. Mengukur urin produksi. Urin produksi dapat sebagai indikator apakah resusitasi cukup adekuat atau tidak. Pada orang dewasa jumlah urin 30-50 cc urin/jam.

2. Berat berat jenis urin, pasca trauma luka bakar berat jenis dapat normal atau meningkat. Keadaan ini dapat menunjukkan keadaan hidrasi penderita. Keadaan ini dapat menunjukkan keadaan hidrasi penderita. Bilamana berat jenis meningkat berhubungan dengan naiknya kadar glukosa urin.

3. Vital sign

Manifestasi klinis pada penggantian cairan yang adekuat

(1)     Tekanan darah normal sampai batas tinggi

(2)     Frekuensi nadi < 120 x/menit

(3)     TVS < 12 cm H2O

(4)     Tekanan darah kapiler pulmonal < 18 mmhg

1. PH darah

2. Perfusi perifer

Hal lain yang harus diperhatikan selama fase resusitasitatif adalah perfusi aringan. Dengan cedera jaringan, pembuluh-pmbuluh menjadi rusak an terjadi thrombosis. Pembuluh utuh yang berdekatan segera melebar, dan platelet serta leukosit melekat pada endotel vaskuler, menyebabkan pembentukan keropeng.Jaringan yang mendasari membengkak, tetapi daerah pinggiran luka bakar dengan ketebalan penuh adalah takelastik dan tetap kontraktur. Keropeng mempengaruhi perlemahan status vaskuler dengan nekrosis iskemik, yang ahirnya akanmemerlukan amputasi. Ini sangat vital, oleh karena itu, perawat memantau perfusi jaringan setiap jam dengan memeriksa arus balik kapiler, perubahan-perbahan neurologis, suhu, warna kulit, serta adanya nadi perifer.Ekstremitas harus ditinggikan dan jaga agar dalam batas gerak pasif sedikitnya 5 menit perjam untuk mencegah edema dan mobilisasi yang memang berakumulasi.

1. Laboratorium (Serum elektrolit, Plasma albumin, Hemaktokrit, hemoglobin, Urine sodium, Elektrolit, Renal fungsion test, Total protein atau albumin, Pemeriksaan lain sesuai indikasi)

2. Penilaiaan keadaan paru

Pemeriksaan kondisi paruperlu diobservasi tiap jam untuk mengetahui adanya perubahan yang terjadi antara lain stridor, bronkhospam, adanya sekret, wheezing, atau dispnue merupakan adanya impending obstruksi.

1. Penilaian gastrointestinal

Monitoring gastrointestinal setiap 2-4 jam dengan melakukan auskultasi untuk mengetahui bisisng usus dan pemeriksaan sekresi lambung. Adanya darah dan PH kurang dari 5 merupakan tanda adanya Culing’s ulcer.

 

1. Penilaian luka bakarnya

Bila dilakukan perawatan tertutup, dinilai apakah kasa basah, ada cairan berbau atau ada tanda-tanda pus maka kasa perlu diganti. Bila bersih perawatan selanjutnya dilakukan 5 hari kemudian.

Formula resusitasi berkenaaan dengan perkiraan, dan haluaran urin dan tekanan darah harus dipantau per jam untuk mengevaluasi respon terhadap tindakan.Haluaran urin adalah indicator tunggal terbaik dari resusitasi cairan pada pasien dengan fungsi ginjal sebelumnya normal.Pasien biasanya ditimbang setiap hari.Penambahan berat badan15% dari berat pertama masuk rumah sakit dapat terjadi.Masukan dan haluaran urin harus dipantau dengan cermat.Awitan dieresis spontan adalah tanda yang menunjukkan akhir dari fase resusitatif. Kecepatan infuse harus diturunkan sampai 25% dalam satu jam jika haluaran urin memuaskan da dapat dipertahankan selama dua jam, penuruna dapat

diturunkan kemudian. Adalah penting bahwa haluaran urin dipertahankan dalam batas normal (50-70 ml/jam).

5)   Fluid Creep Phenomena

Dalam dekade terakhir, resusitasi cairan pada pasien luka bakar telah dilakukan sebagai proses yang rutin; kebanyakan klinisi menggunakan rumus Parkland dalam 24 jam pertama untuk menyesuaikan volume cairan yang diberikan.Sesuai dengan variasi situasi pada pasien luka bakar, penggunaan volume cairan yang berlebih cenderung terjadi untuk meningkatkan pengeluaran urin.Pemberian cairan yang berlebihan dapat mengakibatkan komplikasi edema yang dikenal dengan fenomena "fluid creep".Banyak penelitian yang telah dilakukan untuk optimasi titrasi dan jenis cairan yang digunakan, seperti pemakaian koloid atau larutan garam hipertonik.Tujuannya adalah untuk menurunkan kebutuhan volume cairan dan terjadinya edema.Penelitian saat ini tentang resusitasi cairan pasien luka bakar berkonsentrasi padapendekatan untuk meminimalisir fenomena "fluid creep" dengan memperketat kontrol cairan intravena.Formula Parkland sebaiknya hanya digunakan sebagai panduan dalam pemberian cairan.Untuk selanjutnya harus dilakukan penyesuaian pada volume dan kecepatan cairan intravena sesuai dengan respon pasien. Banyak penelitian menunjukkan perbandingan antara pemakaian kristaloid dan koloid pada 24 jam pertama setelah kejadian luka bakar. Saat ini, masih terdapat perdebatan penentuan waktu yang tepat untuk pemakaian cairan koloid untuk resusitasi. Bagaimanapun, penggunaan albumin 5% dalam 24 jam kedua dapat dipertimbangkan sebagai alternatif yang bisa diterima (Septrisa, 2012)

6)   Penatalaksanaan pencegahan infeksi

Menurut Hudak & Gallo (2000), ketika kestabilan hemodinamik dan pulmonal telah tercapai, perhatian ditujukan pada perawatan awal luka bakar.

Menurut Moenadjat (2009), Infeksi luka yang berkembang menjadi sepsis menjadi topik yang banyak dibahas dan merupakan penyebab kematian pada luka bakar. Konsekuensinya penggunaan antibiotika dalam penatalaksanaan luka bakar menjadi sesuatu kebutuhan yang mutlak. Tindakan yang dilakukan untuk mencegah dan mengatasi infeksi terdiri dari beberapa rangkaian, yaitu:

(1)      Tindakan aseptic

Yang dimaksud dengan tindakan aseptik adalah serangkaian perlakuan yang diterapkan dan mencerminkan upaya mencegah infeksi, dengan cara:

1. Mengupayakan ruang perawatan dalam kondisi aseptik. Hal ini diupayakan melalui beberapa cara termasuk desain ruangan yang memungkinkan ventilasi laminar berlangsung layaknya sebuah ruang operasi, penerapan sistem positive air

preasure air filter, termasuk perawatan yang bertalian dengan proses desinfeksi ruangan, dll.

2. Linen dan bahan lain yang steril

3. Penggunaan perangkat khusus seperti baju (piyama), skort, topi, masker, alas-kaki, pencucian tangan, penggunaan sarung tangan, dll. Hal ini mencerminkan perilaku petugas sebagai digariskan dalam general precaution upaya mencegah infeksi .

(2)      Pencucian luka

1. pencucian luka dilakukan menggunakan air yang disterilkan. Prinsip dilution is the best solution for pollution diterapkan.

1. Pencucian luka dikerjakan saat penderita masuk ke unit luka bakar (dalam delapan jam pertama) dan dilakukan satu sampai dua kali dalam sehari sebelum dilakukan nekrotomi dan debridement.

2. Tindakan nekrotomi dan debridement dilakukan bertujuan membuang eskar atau jaringan nekrosis maupun debris yang memicu respon inflamasi dan menghalangi proses penyembuhan luka karena berpotensi besar untuk berkembang menjadi fokus infeksi. Tindakan ini dilakukan seawal mungkin, dan dapat dilakukan tindakan ulangan sesuai kebutuhan. Yang dimaksud tindakan awal adalah dalam 3-4 hari pertama pasca trauma, saat konsistensi eskar masih padat dan belum mengalami lisis, eskar yang mengalami lisis memicu respon inflamasi sangat kuat dan sulit dilakukan. Pada prosedur ini, luka dicuci menggunakan larutan steril.

3. Perawatan pasca nekrotomi dan debridement, luka dicuci setiap kali penggantian balutan.

(3)      Eskarotomi,

Meskipun peninggian ekstrimitas dapat menurunkan edema, namun eskarotomi sering diperlukan. Eskarotomi adalah insisi pada jaringan parut yang menebal sehingga memungkinkan jaringan edematosa yang hidup di bawahnya melebar, dengan demikian memulihkan perfusi jaringan yang adekuat. Eskarotomi dibuat pada garis midlateral atau midmedial ekstrimitas yang terkait. Prosedur dilakukan di tempat tidur, dan tidak memerlukan anestesi lokal. Tempat eskarotomi ditutupi dengan agen topikal karena karena jaringan hidup terpajan, dan dipasang balutan tipis. Biasanya prosedur ini diperlukan hanya pada cedera yang terjadi lingkungan arus listrik bertegangan tinggi atau cedera hancur (Hudak, 1996).

(4)      Pemberian antibiotik

Pemberian antibiotik secara umum dibedakan atas:

Tujuan : profilaksis dan teraupetik

1. Antibiotika profilaksis pada luka bakar

Secara umum yang dimaksud dengan pemberian antibiotik profilaksis adalah pemberian antibiotik sistemik bertujuan mencegah berkembangnya infeksi sebelum melakukan sayatan tindakan pembedahan atau prosedur invasif lainnya. Antibiotik diberikan melalui jalur intravena 30 menit sebelum tindakan untuk satu kali pemberian (single dose). Jenis antibiotik yang diberikan didasari atas pola bakteri yang didasari atas pola bakteri yang paling sering menimbulkan infeksi di rumah sakit pada kurun waktu tertentu.

1. Antibiotika teraupetik pada luka bakar

Pemberian antibiotik sistemik yang ditujukan mengatasi infeksi yang timbul. Pemilihan jenis antibiotik dilakukan berdasarkan hasil kultur mikroorganisme penyebab infeksi dan memiliki sensitivitas terhadap mikroorganisme penyebab. Pemberiannya diberikan sesuai dosis lazim.

7)   Amputasi

Menurut Hudak & Gallo (1996), Indikasi amputasi apabila terdapat

(1)      Cedera otot masifakibat elektric injury disertai mioglobin pada urin yang gagal berespon terhadap resusitasi cairan dan pemberian diuretic kuat serta manitol

(2)      Keropeng dengan perlemahan status vaskuler dengan nekrosis iskemik.

(3)      Infeksi yang meluas hingga mengenai sebagian besar anggota gerak

BAB 3

KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN LUKA BAKAR

PADA KEPERAWATAN KRITIS

3.1    Pengkajian

1. Anamnese

1)   Data Demografi

Nama, umur, alamat, pekerjaan.

Umur : Meskipun luka bakar terjadi pada semua kelompok umur, insidennya lebih tinggi pada kedua kemompok ujung kontinum usia. Orang yang usianya lebih lebih muda dari 2

tahun dan lebih tua dari 60 tahun mempunyai angka mortalitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok usia lainnya dengan keparahan luka bakar yang sama. Seseorang yang berusia kurang dari 2 tahun akan lebih muda terkena infeksi karena respon imun yang imatur, dan orang yang tua mengalami proses degenaratif yang memperumit proses penyembuhan (Hudak dan Gallo, 1996)

2)   Keluhan utama :

Luas cedera akibat dari intensitas panas (suhu) dan durasi pemajanan, jika terdapat trauma inhalasi ditemukan keluhan stridor, takipnea, dispnea, dan pernafasan seperti bunyi burung gagak (Kidd, 2010).

3)   Riwayat penyakit sekarang:

Mekanisme trauma perlu diketahui karena ini penting, apakah penderita terjebak dalam ruang tertutup, sehingga kecurigaan terhadap trauma inhalasi yang dapat menimbulkan obstruksi jalan nafas. Kapan kejadiannya terjadi (Sjaifuddin, 2006).

4)   Riwayat penyakit masa lalu:

Penting dikaji untuk menetukan apakah pasien mempunyai penyakit yang tidak melemahkan kemampuan untuk mengatasi perpindahan cairan dan melawan infeksi (misalnya diabetes mellitus, gagal jantung kongestif, dan sirosis) atau bila terdapat masalah-masalah ginjal, pernapasan atau gastro intestinal. Beberapa masalah seperti diabetes, gagal ginjal dapat menjadi akut selama proses pembakaran. Jika terjadi cedera inhalasi pada keadaan penyakit kardiopulmonal (misalnya gagal jantung kongestif, emfisema) maka status pernapasan akan sangat terganggu (Hudak dan Gallo, 1996).

5)   Status kesehatan umum

Kaji tentang kesadaran pasien, tnda-tanda vital (TTV), berat badan (BB), dan pemeriksaan luka bakar (apakah termasuk luka bakar berat, sedang atau ringan)

(1)   Ditentukan luas luka bakar. Dipergunakan Rule of Nine untuk menentukan luas luka bakarnya.

(2)   Ditentukan kedalaman luka bakar (derajat kedalaman)

(Sjaifuddin, 2006)

1. Pemerikasaan fisik

1)   Breathing

Kaji adanya tanda disteres pernapasan, seperti rasa tercekik, tersedak, malas bernafas, atau adanya wheezing atau rasa tidak nyaman pada mata atu tenggorokan, hal ini

menandakan adanya iritasi pada mukosa.Adanya sesak napas atau kehilangan suara, takipnea atau kelainan pada uaskultasi seperi krepitasi atau ronchi. (Sjaifuddin, 2006)

2)   Blood

Pada luka bakar yang berat, perubahan permiabilitas kapiler yang hampir menyeluruh, terjadi penimbunan cairan massif di jaringan interstisial menyababkan kondisi hipovolemik. Volume cairan intravascular mengalami defisit, timbul ketidak mampuan menyelenggarakan proses transportasi oksigen kejaringan (syok). Sjaifuddin (2006)

3)   Brain

Manifestasi sistem saraf pusat karena keracunan karbon monoksida dapat berkisar dari sakit kepala, sampai koma, hingga kematian (Huddak dan Gallok, 1996) 

4)   Bledder

Haluaran urin menurun disebabkan karena hipotensi dan penurunan aliran darah ke ginjal dan sekresi hormone antideuretik serta aldosteron (Hudak dan Gallok, 1996)

5)   Bowel

Adanya resiko paralitik usus dan distensi lambung bisa terjadi distensi dan mual. Selain itu pembentukan ulkus gastrduodenal juga dikenal dengan Curling’s biasanya merupakan komplikasi utama dari luka bakar (Hudak dan Gallok, 1996).

6)   Bone

Penderita luka bakar dapat pula mengalami trauma lain misalnya mengalami patah tulang punggung atau spine.

1. Pemeriksaan penunjang

Menurut Schwartz (2000) & Engram (2000), Kidd (2010) pemeriksaan diaknostik pada penderita luka bakar meliputi :

1)   Pemeriksaan Laboratorium

(1)      Hitung darah lengkap, elektrolit dan profil biokimia standar perlu diperoleh segera setelah pasien tiba di fasilitas perawatan.

(2)      Koagulasi memeriksa faktor-faktor pembekuan yang dapat menurun pada luka bakar masif

(3)      Konsetrasi gas darah dan PO2 yang rendah (kurang dari 10 kPa pada konsentrasi oksigen 50 %, FiO2= 0,5) mencurigakan adanya trauma inhalasi. PaO2 biasanya normal pada fase awal, tetapi dapat meningkat pada fase lanjut.

(4)      Karboksihemoglobin perlu segera diukur oleh karena pemberian oksigen dapat menutupi keparahan keracunan kerbon monoksida yang dialami penderita. Pada trauma inhalasi, kadar COHb akan menurun setelah penderita menghirup udara normal. Pada kadar COHb 35-45% (berat), bahkan setelah tiga jam dari kejadian kadar COHb masih pada batas 20-25%. Bila kadar COHb lebih dari 15% setelah 3 jam kejadian ini merupakan bukti kuat adanya trauma inhalasi

(5)      Elektrolit serum mendeteksi ketidakseimbangan cairan dan biokimia. Ini terutama penting untuk memeriksa kalium terhadap peningkatan dalam 24 jam pertama karena peningkatan kalium dapat menyebabkan henti jantung.

(6)      Albumin serum, kadarnya mungkin rendah karena protein plasma terutama albumin hilang ke dalam jaringan yang cedera sekunder akibat peningkatan permeabilitas kapiler.

(7)      Urinalis menunjukkan mioglobin dan hemokromagen menandakan kerusakan otot pada luka bakar ketebalan penuh luas.

(8)      BUN dan kreatinin mengkaji fungsi ginjal

(9)      Pemeriksaan penyaring terhadap obat-obatan, antara lain etanol, memungkinkan penilaian status mental pasien dan antisipasi terjadinya gejala-gejala putus obat.

1)   Rontgen dada : Semua pasien sebaiknya dilakukan rontgen dada, tekanan yang terlalu kuat pada dada, usaha kanulasi pada vena sentralis, serta fraktur iga dapat menimbulkan pneumothoraks atau hematorak. Pasien yang juga mengalami trauma tumpul yang menyertai luka bakar harus menjalani pemeriksanaann radiografi dari seluruh vertebrata, tulang panjang, dan pelvis

2)   Bronkoskopi membantu memastikan cedera inhalasi asap

3)   Elektrocardiogram : EKG terutama diindikasikan pada luka bakar listrik karena disritmia jantung adalah komplikasi yang umum

4)   CT scan : menyingkirkan hemorargia intrakarnial pada pasien dengan penyimpangan neurologik yang menderita cedera listrik.

 

1.1    DiagnosaKeperawatan

1. Defisit volume cairan yang berhubungan dengan peningkatan permiabilitas kapiler, peningkatan tekanan hidrostatik kapiler, penurunan tekanan osmotic koloid kapiler, peningkatran kehilangan evaporative.

2. Bersihan jalan nafas tidak efektif b.d obstruksi saluran nafas atas; oedema laring & hipersekresi mukus.

3. Pertukaran gas yang berhubungan dengan cedera alveolar, keracunan karbon monoksida dan atau cedera inhalasi.

4. Perubahan perfusi jaringan perifer yang berhubungan dengan edema seluruh tubuh, jaringan avaskuler, penurunan haluaran jantung, dan hipovolemia.

5. Nyeri berhubungan dengan stimulasi terhadap sensor nyeri yang terpajan.

6. Kerusukan integritas kulit berhubungan dengan luka bakar, edema.

7. Resiko infeksi berhubungan dengan kerusakan integritas kulit, pertahanan primer tidak adekuat.