laporan pendahuluan asma.docx
DESCRIPTION
lp kraniotomiTRANSCRIPT
A. LAPORAN PENDAHULUAN
1. Pengertian
Asma adalah penyakit jalan nafas obstruktif intermiten, reversibel dimana
trakea dan bronchi berspon dalam secaa hiperaktif terhadap stimuli tertentu.
(Smeltzer, C . Suzanne, 2002)
Asma bronkial adalah penyakit inflamasi dimana ukuran diameter
jalan nafas menyempit secara kronis akibat edema dan tidak stabil, selama
serangan pasien mengalami mengi dan kesulitan bernafas akibat
bronkospasme, edema mukosa, dan pembentukan mukus( Michael, 2006).
Menurut Suzanne (2001) berdasarkan penyebabnya, asma bronkhial
dapat diklasifikasikan menjadi 3 tipe, yaitu :
a. Ekstrinsik (alergik)
Ditandai dengan reaksi alergik yang disebabkan oleh faktor-faktor
pencetus yang spesifik, seperti debu, serbuk bunga, bulu binatang, obat-
obatan (antibiotic dan aspirin) dan spora jamur. Asma ekstrinsik sering
dihubungkan dengan adanya suatu predisposisi genetik terhadap alergi.
Oleh karena itu jika ada faktor-faktor pencetus spesifik seperti yang
disebutkan di atas, maka akan terjadi serangan asma ekstrinsik.
b. Intrinsik (non alergik)
Ditandai dengan adanya reaksi non alergi yang bereaksi terhadap
pencetus yang tidak spesifik atau tidak diketahui, seperti udara dingin atau
bisa juga disebabkan oleh adanya infeksi saluran pernafasan dan emosi.
Serangan asma ini menjadi lebih berat dan sering sejalan dengan berlalunya
waktu dan dapat berkembang menjadi bronkhitis kronik dan emfisema.
Beberapa pasien akan mengalami asma gabungan.
c. Asma gabungan
Bentuk asma yang paling umum. Asma ini mempunyai karakteristik
dari bentuk alergik dan non-alergik.
2. Etiologi
Ada beberapa hal yang merupakan faktor predisposisi dan presipitasi
timbulnya serangan asma bronkhial menurut Suzanne ( 2001) adalah:
a. Faktor predisposisi
Genetik
Dimana yang diturunkan adalah bakat alerginya, meskipun belum
diketahui bagaimana cara penurunannya yang jelas. Penderita dengan
penyakit alergi biasanya mempunyai keluarga dekat juga menderita
penyakit alergi. Karenaadanya bakat alergi ini, penderita sangat mudah
terkena penyakit asmabronkhial jika terpapar dengan foktor pencetus.
Selain itu hipersentifisitas saluran pernafasannya juga bisa diturunkan.
b. Faktor presipitasi
1) Alergen
Dimana alergen dapat dibagi menjadi 3 jenis, yaitu :
a) Inhalan, yang masuk melalui saluran pernapasan
contoh: debu, bulu binatang, serbuk bunga, spora jamur, bakteri dan
polusi
b) Ingestan, yang masuk melalui mulut
contoh: makanan dan obat-obatan
c) Kontaktan, yang masuk melalui kontak dengan kulit
contoh: perhiasan, logam dan jam tangan
c. Perubahan cuaca
Cuaca lembab dan hawa pegunungan yang dingin sering
mempengaruhi asma. Atmosfir yang mendadak dingin merupakan faktor
pemicu terjadinya serangan asma. Kadang-kadang serangan berhubungan
dengan musim, seperti: musim hujan, musim kemarau, musim bunga. Hal
ini berhubungan dengan arah angin serbuk bunga dan debu.
d. Stress
Stress/ gangguan emosi dapat menjadi pencetus serangan asma, selain
itu juga bisa memperberat serangan asma yang sudah ada. Disamping
gejala asma yang timbul harus segera diobati penderita asma yang
mengalami stress/gangguanemosi perlu diberi nasehat untuk
menyelesaikan masalah pribadinya. Karena jika stressnya belum diatasi
maka gejala asmanya belum bisa diobati.
e. Lingkungan kerja
Mempunyai hubungan langsung dengan sebab terjadinya serangan
asma. Hal ini berkaitan dengan dimana dia bekerja. Misalnya orang yang
bekerja di laboratorium hewan, industri tekstil, pabrik asbes, polisi lalu
lintas. Gejala ini membaik pada waktu libur atau cuti.
f. Olah raga/ aktifitas jasmani yang berat
Sebagian besar penderita asma akan mendapat serangan jika
melakukanaktifitas jasmani atau aloh raga yang berat. Lari cepat paling
mudahmenimbulkan serangan asma. Serangan asma karena aktifitas
biasanyaterjadi segera setelah selesai aktifitas tersebut.
3. Patofisiologis
Suatu serangan asthma timbul karena seorang yang atopi terpapar
dengan alergen yang ada dalam lingkungan sehari-hari dan membentuk
imunoglobulin E ( IgE ). Penyebab yang umum adalah hipersensitivitas
bronkhiolus terhadap benda-benda asing di udara. Reaksi yang timbul pada
asma tipe alergi diduga terjadi dengan cara sebagai berikut : seorang yang
alergi mempunyai kecenderungan untuk membentuk sejumlah antibody Ig E
abnormal dalam jumlah besar dan antibodi ini menyebabkan reaksi alergi bila
reaksi dengan antigen spesifikasinya. Pada asma, antibody ini terutama
melekat pada sel mast yang terdapat pada interstisial paru yang berhubungan
erat dengan brokhiolus dan bronkhus kecil. Bila seseorang menghirup alergen
maka antibody Ig E orang tersebut meningkat, alergen bereaksi dengan
antibodi yang telah terlekat pada sel mast dan menyebabkan sel ini akan
mengeluarkan berbagai macam zat, diantaranya histamin,at anafilaksis yang
bereaksi lambat (yang merupakan leukotrient), faktor kemotaktik eosinofilik
dan bradikinin. Efek gabungan dari semua faktor - faktor ini akan
menghasilkan edema lokal pada dinding bronkhioulus kecil maupun sekresi
mucus yang kental dalam lumen bronkhioulus dan spasme otot polos
bronkhiolus sehingga menyebabkan tahanan saluran napas menjadi sangat
meningkat.
Serangan asthma mendadak secara klinis dapat dibagi menjadi tiga
stadium. Stadium pertama ditandai dengan batuk-batuk berkala dan kering.
Batuk ini terjadi karena iritasi mukosa yang kental dan mengumpul. Pada
stadium ini terjadi edema dan pembengkakan bronkus. Stadiun kedua ditandai
dengan batuk disertai mukus yang jernih dan berbusa. Klien merasa sesak
nafas, berusaha untuk bernafas dalam, ekspirasi memanjang diikuti bunyi
mengi (wheezing ). Klien lebih suka duduk dengan tangan diletakkan pada
pinggir tempat tidur, penberita tampak pucat, gelisah, dan warna kulit sekitar
mulai membiru. Sedangkan stadiun ketiga ditandai hampir tidak terdengarnya
suara nafas karena aliran udara kecil, tidak ada batuk,pernafasan menjadi
dangkal dan tidak teratur, irama pernafasan tinggi karena asfiksia.
Pencetus serangan(alergen, emosi/stres, obat-obatan dan infeksi)
Bronkus sensitive oleh IgE
Dikeluarkannya substansi vasoaktif(histamin, bradikinin, dan anafilatoksin)
Permeabilitas Vaskuler naik
Respon bronkus
BronkospasmeEdema di mukosa
Hipersekresi mukosa
Bronkus menyempitPenumpukkan sekretWheezing
Gangguan Pola Nafas
Gangguan pertukaran gas
Ventilasi terganggu
Sekret tidak keluar
Suplai O2 ke otak
Turun
Koma
Suplai O2
Turun
Gangguan perfusi
Ansietas
Hiperkapnea
Hipoksemia
Napas melalui mulut
Mukosa kering
Resiko Infeksi
Batuk efektif
Tidak efektif jalan nafas
4. Tanda dan Gejala
a. Stadium dini
Faktor hipersekresi yang lebih menonjol
1) Batuk dengan dahak bisa dengan maupun tanpa pilek
2) Rochi basah halus pada serangan kedua atau ketiga, sifatnya hilang
timbul
3) Whezing belum ada
4) Belum ada kelainan bentuk thorak
5) Ada peningkatan eosinofil darah dan IG E
6) BGA belum patologis
Faktor spasme bronchiolus dan edema yang lebih dominan
1) Timbul sesak napas dengan atau tanpa sputum
2) Whezing
3) Ronchi basah bila terdapat hipersekresi
4) Penurunan tekanan parsial O2
b. Stadium lanjut/kronik
1) Batuk, ronchi
2) Sesak nafas berat dan dada seolah –olah tertekan
3) Dahak lengket dan sulit untuk dikeluarkan
4) Suara nafas melemah bahkan tak terdengan (silent Chest)
5) Thorak seperti barel chest
6) Tampak tarikan otot sternokleidomastoideus
7) Sianosis
8) BGA Pa o2 kurang dari 80%
9) Ro paru terdapat peningkatan gambaran bronchovaskuler kanan dan
kiri
10) Hipokapnea dan alkalosis bahkan asidosis respiratorik
5. Pemeriksaan Penunjang
a. Radiologi
Gambaran radiologi pada asma pada umumnya normal. Pada waktu
serangan menunjukan gambaran hiperinflasi pada paru-paru yakni
radiolusen yang bertambah dan peleburan rongga intercostalis, serta
diafragma yang menurun (Muttaqin, 2008).
b. Tes kulit
Tujuan uji kulit adalah untuk menunjukan adanya antibody lgE spesifik
dalam tubuh. Uji ini hanya menyokong anamnesis, karena uji allergen yang
positif tidak selalu merupakan penyebab asma, demikian pula sebaliknya.
Uji kulit membantu menentukan apakah pasien atopik dan dalam
identifikasi alergen penting yang memicu asma. Alergen penyebab gejala
rintis alergika mungkin juga memicu asma pada pasien yang mengidap
kedua penyakit tersebut (Muttaqin, 2008).
c. Scanning paru
Dengan scanning paru melalui inhalasi dapat dipelajari bahwa
redistribusi udara selama serangan asma tidak menyeluruh pada paru-paru
(Muttaqin, 2008).
d. Spirometri
Spirometri merupakan cara yang paling cepat dan sederhana untuk
menegakkan diagnose asma adalah melihat respon pengobatan dengan
bronkodilator. Pemeriksaan spirometri di lkukan sebelum dan sesudah
pemberian bronkodilator hirup ( inhaler/ nebulizer ) golongan adrenergic
beta. Peningkatan VEP1 atau KVP sebanyak ≥ 20 % menunjukkan
diagnosis asma. Tetapi respon yang kurang dari 20 % tidak berarti bukan
asma. Untuk melihat reversibilitas pada hal yang akhir mungkin diperlukan
pengobatan kombinasi adrenergik, teofilin dan bahkan kortikosteroid untuk
2-3 minggu. Reversibilitas dapat terjadi tanpa pengobatan yang dapat
terlihat dari hasil pemeriksaan spirometri yang dilakukan pada saat yang
berbeda-beda misalnya beberapa hari atau bulan kemudian. Pemeriksaan
spirometri tidak saja penting untuk menegakkan diagnosis tetapi juga
penting untuk menilai berat obstruksi dan efek pengobatan(Muttaqin,
2008).
e. X- Ray dada atau Thoraks
Pemeriksaan foto sinar-X thorax harus dilakukan pada evaluasi awal
semua pasien asma, dan secara berkala apabila respon klinis terhadap terapi
kurang memuaskan. Selama serangan asma, paru tampak mengalami hiper
inflasi dan mungkin dijumpai bercak infiltrat yang konsisten dengan
atelektasia segmental. Yang akhirnya dapatr mudah dibedakan dari
pneumonia karena cepat lenyap karena terapi asma yang sesuai(Muttaqin,
2008).
f. Uji provokasi bronkus
Jika pemeriksaan spirometri normal, untuk menunjukkan adanya
hiperreaktifitas bronkus di lakukan uji provokasi bronkus. Ada beberapa
cara untuk melakukan melakukan uji provokasi bronkus seperti uji
provokasi dengan histamine, metakolin, kegiatan jasmani, udara dingin,
larutan garam hipertonik, dan bahkan dengan aqua destilata. Penurunan
VEP1 sebesar 20% atau lebih dianggap bermakna. Uji dengan kegiatan
jasmani, dilakukan dengan menyuruh pasien berlari cepat selama 6 menit
sehingga mencapai denyut jantung 80-90 % dari maksimum. Dianggap
bermakna bila menunjukan penurunan APE (Arus Puncak Ekspirasi) paling
sedikit 10%. Akan halnya uji provokasi dengan allergen, hanya dilakukan
terhadap pasien yang alergi terhadap allergen yang di uji (Muttaqin, 2008).
g. Pemeriksaan sputum
Sputum eosinofil sangat karakteristik untuk asma sedangkan neutrofil
sangat dominan pada bronchitis kronik. Selain untuk melihat adanya
eosinofil, Kristal Charcot-Leyden, dan Spiral Curschmann, pemeriksaan ini
penting untuk melihat adanya miselium Aspergillus fumigates (Muttaqin,
2008).
h. Pemeriksaan darah (AGD )
Pemeriksaan ini hanya dilakukan pada asma yag berat. Pada fase awal
serangan, terjadi hipoksemia dan hipokapnia (PaCO2 < 35 mmHg)
kemudian pada stadium yang lebih berat PaCO2 justru mendekati normal
sampai normokapnia. Selanjutnya pada asma yang sangat berat terjadinya
hiperkapnia (PaCO2 ≥ 45 mmHg), hipoksemia dan asidosis respiratorik
(Muttaqin, 2008).
i. Sel eosinofil
Eosinofilia pada sputum merupakan ciri khas asma ; pada anak hal ini
dijumpai juga hanya pada sindrom hiper-IgE. Sputum dari pasien asma
tanpa keputihan, sangat kental, dan mengandung major basic protein
(MBP) eosinofil dalam kadar tinggi. Eosinofil darah sering meningkat
menjadi lebih dari 300 sel per milimeter kubik. Hitung sel darah putih total
dapat meningkat secara palsu apabila sempel diambil setelah pasien
mendapat obat adrenergik untuk asma. Peningkatan hitung sel darah putih
sering menyebabkan pemberian resep anti biotik yang sebenarnya tidak
diperlukan. Biakan sputum dan sekresi pernafasan yang lain biasanya tidak
memperlihatkan bakteri patogen. Sebaliknya, biakan untuk berbagai virus
pernafasan, terutama rinovirus, yang positif dikaitkan dengan serangan
mengi. Sel eosinofil pada klien dengan status asmatikus dapat mencapai
1000-1500/mm3 baik asma intrinsik ataupun ekstrinsik, sedangkan hitung
sel eosinofil normal antara 100-200/mm3. Perbaikan fungsi paru disertai
penurunan hitung jenis sel eosinofil menunjukkan pengobatan telah tepat
(Muttaqin, 2008).
6. Pengkajian Primer
a. Airway.
Yang kita dapatkan pada pengkajian airway ini diantaranya yaitu : batuk
kering/tidak produktif, wheezing yang nyaring, penggunaan otot –otot
aksesoris pernapasan ( retraksi otot interkosta).
b. Breathing.
Perpanjangan ekspirasi dan perpendekan periode inspirasi, dypsnea,
takypnea, taktil fremitus menurun pada palpasi, suara tambahan ronkhi,
hiperresonan pada perkusi.
c. Circulation.
Yang kita dapatkan pada pengkajian sirkulasi ini adalah adanya hipotensi,
diaforesis, sianosis, gelisah, fatique, perubahan tingkat kesadaran, pulsus
paradoxus > 10 mm.
7. Pengkajian Sekunder
a. Riwayat penyakit sekarang
Lama menderita asma, hal yang menimbulkan serangan, obat yang pakai
tiap hari dan saat serangan
b. Riwayat penyakit sebelumnya
Riwayat alergi, batuk pilek, menderita penyakit infeksi saluran nafas
bagian atas
c. Riwayat perawatan keluarga
Adakah riwayat penyakit asma pada keluarga
d. Riwayat sosial ekonomi
Lingkungan tempat tinggal dan bekerja, jenis pekerjaan, jenis makanan
yang berhubungan dengan alergen, hewan piaraan yang dimiliki, dan
tingkat stressor
e. Pemeriksaan fisik
1) Status kesehatan umum
Perlu dikaji tentang kesadaran klien, kecemasan, gelisah, kelemahan
suara bicara, tekanan darah nadi, frekuensi pernapasan yang
meningkatan, penggunaan otot-otot pembantu pernapasan sianosis
batuk dengan lendir lengket dan posisi istirahat klien.
2) Integumen
Dikaji adanya permukaan yang kasar, kering, kelainan pigmentasi,
turgor kulit, kelembapan, mengelupas atau bersisik, perdarahan,
pruritus, ensim, serta adanya bekas atau tanda urtikaria atau
dermatitis pada rambut di kaji warna rambut, kelembaban dan kusam.
3) Kepala.
Dikaji tentang bentuk kepala, simetris adanya penonjolan, riwayat
trauma, adanya keluhan sakit kepala atau pusing, vertigo kelang
ataupun hilang kesadaran.
4) Mata.
Adanya penurunan ketajaman penglihatan akan menambah stres yang
di rasakan klien. Serta riwayat penyakit mata lainya.
5) Hidung
Adanya pernafasan menggunakan cuping hidung,rinitis alergi dan
fungsi olfaktori.
6) Mulut dan laring
Dikaji adanya perdarahan pada gusi. Gangguan rasa menelan dan
mengunyah, dan sakit pada tenggorok serta sesak atau perubahan
suara.
7) Leher
Dikaji adanya nyeri leher, kaku pada pergerakaan, pembesran tiroid
serta penggunaan otot-otot pernafasan.
8) Thorak
a. Inspeksi
Dada di inspeksi terutama postur bentuk dan kesemetrisan
adanya peningkatan diameter anteroposterior, retraksi otot-otot
Interkostalis, sifat dan irama pernafasan serta frekwensi
peranfasan.
b. Palpasi.
Pada palpasi di kaji tentang kosimetrisan, ekspansi dan taktil
fremitus.
c. Perkusi
Pada perkusi didapatkan suara normal sampai hipersonor
sedangkan diafragma menjadi datar dan rendah.
d. Auskultasi.
Terdapat suara vesikuler yang meningkat disertai dengan
expirasi lebih dari 4 detik atau lebih dari 3x inspirasi, dengan
bunyi pernafasan dan Wheezing.
9) Kardiovaskuler.
Jantung di kaji adanya pembesaran jantung atau tidak, bising nafas
dan hyperinflasi suara jantung melemah. Tekanan darah dan nadi
yang meningkat serta adanya pulsus paradoksus.
10) Abdomen.
Perlu di kaji tentang bentuk, turgor, nyeri, serta tanda-tanda infeksi
karena dapat merangsang serangan asthma frekwensi pernafasan,
serta adanya konstipasi karena dapat nutrisi.
11) Ekstrimitas.
Di kaji adanya edema extremitas, tremor dan tanda-tanda infeksi pada
extremitas karena dapat merangsang serangan asma.
8. Diagnosa Keperawatan yang Mungkin Muncul
a. Tidak efektifnya bersihan jalan nafas
b. Ketidakefektifan pola nafas
c. Gangguan pertukaran gas
d. Cemas b.d krisis situasi
9. Intervensi Keperawatan
a. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan bronkospasme
dan sekresi kental berlebihan
Tujuan: pasien mempertahankan jalan nafas paten
Kriteria Hasil :
1) Bunyi nafas bersih
2) Kecepatan dan kedalaman pernafasan normal
3) Tak ada dispnea
Intervensi:
1) Kaji sputum terhadap warna, kekentalan dan jumlah
2) Ausultasi bunyi nafas, catat adanya bunyi nafas tambahan misalnya:
mengi, krekels, dan ronchi
3) Kaji kualitas dan kecepatan pernafasan
4) Kaji frekuensi dispnea: gelisah, ansietas distress pernapasan,
penggunan otot bantu
5) Beri klien posisi pada ketinggian yang nyaman dan mengoptimalkan
pernafasan : tinggikan kepala tempat tidur 60 – 90 derajat, sokong
punggung dengan bantal
6) Berikan oksigen aliran rendah dengan kateter sesuai pesanan
7) Pertahankan/ bantu batuk efektif dan bantu untuk fisioterapi dada
8) Tingkatkan masukan cairan sampai 3000 ml/hari dan berikan air
hangat
9) Berikan obat : epinefrin, aminofilin, antihistamin, ekspektoran,
kortikosteroid adrenal
10) Nebulisasi isoproterenol atau kromolin
b. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan penurunan ekspansi paru
selama serangan akut
Tujuan: pasien mempertahankan pola nafas efektif
Kriteria hasil:
1) Sesak berkurang atau hilang, RR 18-24x/menit
2) Frekuensi, irama dan kedalaman pernafasan
3) Tidak ada retraksi otot pernapasan
Intervensi:
1) Kaji tanda dan gejala ketidakefektifan pernapasan : dispnea,
penggunaan otot-otot pernapasan
2) Pantau tanda- tanda vital dan gas- gas darah arteri
3) Baringkan pasien dalam posisi fowler tinggi untuk memaksimalkan
ekspansi dada
4) Berikan terapi oksigen sesuai pesanan
5) Pertahankan patensi jalan nafas
6) Berikan obat sesuai pesanan
c. Diagnosa keperawatan: Kerusakan pertukaran gas b. d. gangguan suplai
oksigen (obstruksi jalan napas oleh sekret)
Kriteria hasil:
1) menunjukan pebaikan ventilasi dan oksigenasi jaringan adekuat
dengan GDA dalam rentang normal dan bebas gejala distress
pernapasan
2) pasien berpartisipasi dalam program pengobatan dalam tingkat
kemampuan/situasi
Intervensi:
Mandiri
1) Kaji frekuensi, kedalaman pernafasan. Catat penggunaan otot aksesori,
nafas bibir, ketidakmampusn bicara/berbincang.
2) Tinggikan kepala tempat tidur, bant pasien untuk memilih posisi yang
mudah untuk bernafas. Dorong nafas dalam perlahan atau nafas bibir
sesuai kebutuhan/ toleransi individu.
3) Kaji atau awasi secara rutin kulit dan warna membrane mukosa
4) Dorong mengeluarkan sputum: penghisapan bila diindikasikan.
5) Auskultasi bunyi nafas, catat area penurunan aliran udara dan/ atau
bunyi tambahan.
6) Palpasi fremitus
7) Awasi tingkat kesadran/ status mental. Selidiki adanya perubahan
8) Evaluasi tingkat toleransi aktivitas. Berikan lingkungan tenang dan
kalem. Batasi aktivitas pasien atau dorong untuk tidur / istirahat
dikursi selama fase akut. Mungkinkan pasien melakukan aktivitas
secara bertahap dan tingkatkan sesuai toleransi individu.
9) Awasi tanda vital dan irama jantung
Kolaborasi
1) Awasi/ gambarkan seri GDA ean nadi oksimetri
2) Berikan oksigen tambahan yang sesuai dengan indikasi hasil AGD dan
toleransi pasien
3) Berikan penekanan SPP (mis, antiansietas, sedative, atau narkotik)
dengan hati- hati.
4) Bantu intubasi, berikan/ pertahankan ventilsi mekanik, dan pindahkan
ke UPI sesuai instruksi untuk pasien.
d. Cemas berhubungan dengan krisis situasi, kesulitan bernafas, takut
serangan ulang
Tujuan : rasa cemas klien menjadi berkurang sampai hilang
Kriteria Hasil:
1) Klien tampak rileks
2) Mengungkapkan perasaan cemas berkurang
3) Tanda – tanda vital normal
Intervensi:
1) Kaji tingkat kecemasan klien (ringan, sedang, berat)
2) Ukur tanda-tanda vital
3) Berikan dukungan emosional
4) Implementasikan teknik relaksasi : petunjuk imajinasi, relaksasi otot
5) Jelaskan informasi yang diperlukan klien tentang penyakitnya,
perawatan dan pengobatannya
6) Ajarkan klien teknik relaksasi (memejamkan mata, menarik nafas
panjang)
7) Menganjurkan klien untuk istirahat
10. Kepustakaan
a. Davey Patrick. 2002. At a Glance Medicine. Jakarta: Erlangga
b. Doenges, Marilynn E. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan. Edisi 3.
Jakarta: EGC
c. Muttaqun, Arif. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan
Sistem Pernafasan. Jakarta: Salemba Medika
d. Price, Sylvia Anderson. 2005. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses- Proses
Penyakit. Jakarta: EGC
e. Smeltzer, Suzanne C. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Vol
2. Edisi 8. Jakarta: EGC
f. Somantri, Irman. 2007. Keperawatan Medikal Bedah: Asuhan
Keperawatan pada Pasien dengan Gangguan Sistem Pernafasan. Jakarta:
Salemba Medika
g. Sudoyo W, Aru. 2006. Ilmu Penytakit Dalam. Jilid 3. Edisi 4. Jakarta:
FKU